Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB II

(1)

BAB II

KONFLIK, PELA GANDONG,

KONSELING LINTAS AGAMA DAN BUDAYA

A. KONFLIK

1. KONFLIKTUAL HUBUNGAN ISLAM KRISTEN: LINTAS SEJARAH

1.1.Konteks Timur Tengah - Eropa

Hugh Goddard,1 mengungkapkan bahwasannya hubungan Islam-Kristen dalam bingkai sejarah dunia menorehkan catatan yang panjang dan meyakitkan. Keduanya lahir dan berkembang di Timur Tengah, dan berangsur-angsur merebah dan menancapkan pengaruh ke berbagai benua: Kristen di Eropa dan Amerika, sementara Islam di Afrika dan Asia. Selama dua abad terakhir, sebagai akibat dari hubungan dagang, migrasi dan pertumbuhan berbagai kerajaan, kedua komunitas itu berkembang semakin mendunia. Perjumpaan Islam-Kristen cenderung menimbulkan konflik di Eropa terutama di negara-negara pecahan Yugoslavia. Asia-Afrika: Filipina, sudan, Nigeria diricuhkan oleh konflik yang melahirkan sikap saling curiga dan mengikis rasa percaya. Selain itu, warisan konflik mulai dari ekspansi Islam pada periode awal, perang salib, hinga imperialisme Eropa.

Goddard,2 memberikan pemahaman yang fundamental dalam melihat hubungan Islam-Kristen melalui penelitian sejarahnya, sebagaimana teruraikan dalam periodesasi, sebagai berikut:

1.1.1. Periode perkembangan Kekritenan dan awal perjumpaannya dengan Islam di Timur Tengah (Abad IV)

Pada periode ini, perkembangan yang penting berkaitan dengan asal-usul gereja Kristen dan komunitas Islam di Timur Tengah yakni, sebagai akibat dari masuknya Kaisar Romawi, Konstantinus ke dalam agama Kristen. Kekristenan yang pada saat itu adalah kelompok minoritas dengan sedikit atau bahkan tanpa pengaruh dan kekuasaan politik tiba-tiba menjadi agama resmi negara. Konversi

1

Hugh Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen: Titik Temu dan Titik Seteru Dua Komunitas Agama Terebesar di Dunia. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013), 17

2


(2)

agama konstantinus ke agama Kristen justru melahirkan perpecahan di tubuh gereja yang semakin lama semakin berkembang dan memunculkan berbagai komunitas Kristen. Islam sendiri muncul pada abad ketujuh dalam konteks tercabik-cabiknya kekristenan oleh konflik internal dengan alasan teologis3 maupun geografis. Kondisi ini berperan penting dalam pembentukan peta politik dan sosial di kawasan Timur Tengah yang kemudian menjadi panggung bagi kelahiran komunitas Islam.4

1.1.2. Periode setelah wafatnya Muhamad (Abad VII).

Pada periode ini, Negara Islam berkembang dengan sangat pesat. Komunitas Islam berkembang menjadi kekuatan dominan di Arab dan merambat sepuluh tahun berikutnya. Ketika berhadapan dengan komunitas Kristen, kaum Muslim mengambil dua sikap utama: keras atau konfrontatif dan lemah lembut atau toleran. Dengan dasar ajaran agama (alquran), mereka lebih banyak menerapkan pendekatan militeris yang sangat keras. Pemeluk agamanya diminta untuk menerima Islam atau hengkam dari tanah Arab. Akan tetapi, sesekali bersikap toleran, ketika menerapkan beberapa syarat dan batasan terhadap kaum Kristen, memberikan jaminan perlindungan atas jiwa dan harta mereka, serta memberikan kebebasan beribadah. Sikap yang negositif, juga diperlihatkan penguasa muslim terhadap kaum kristen, seperti kepada Kerajaan Bizantium, meskipun harus menyerahkan sebagian wilayahnya, tetapi masih memiliki kedudukan yang kuat.5

3

Sama halnya dengan agama-agama lain: Yahudi, agama kristen memandang keberadaan agama lain dalam sikap eksklusivisme atau antagonisme. Sebaliknya, pandangan Islam terhadap agama lain: Kristen-Yahudi berdasarkan penafsiran teks Alquran, sebagai orang “kafir“. Islam pun menolak pengakuan “Ketuhanan Yesus“. Paradigma eklusivis dan biblisentris inilah yang kemudian memanifestasikan kebencian dan permusuhan. Olehnya, persoalan dalam sejarah hubungan Islam-Kristen yakni adanya penerapan “Standar Ganda“. Penjelasan mengenai ini dapat dilihat dalam Goddard, Hugh. Menepis Standar Ganda: Membangun Saling PengertianMuslim-Krsiten. (Terj). (Yogjakarta: Qalam). 2000.

4

Di Jazirah Arab (pusat Islam), terdapat dua kerajaan adidaya (Bizantium dan Persia), beberapa suku Arab yang tinggal berbatasan dengan wilayah Bizantium telah menerima agama Kristen sejak awal abad keempat dan pada abad ke enam kekristenan mendapat peranan politik yang dominan karena salah satu pimpinan suku arab (Kabilah), Harits ibn Jabalah, diangkat oleh Bizantium sebagai pemimpin suku. Penyebaran kekristenan sekaligus berarti perluasan kebijakan politik kerajaan Bizantium (Kristen). Bdg. Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen…,2013,39-43

5


(3)

Jhon. L. Esposito,6 juga menekankan hal yang senada, berkaitan dengan keadaan dunia timur tengah di abad ketujuh, masa lahirnya Islam adalah dunia yang keras, di mana ada peperangan antar suku. Timur tengah terbagi dua, diantara dua kekuasaan besar yang saat itu saling berperang yakni kekaisaran Bizantium dan Persia,yang saling bersaing satu sama lain untuk mendominasi dunia.

Menurut Crone dan Cook,7 serangan-serangan awal cenderung menampakan fakta sikap permusuhan terhadap agama Kristen. Seperti yang dialami oleh pasukan Bizantium, ketika menolak anjuran pasukan Islam untuk beralih agama, mengingkari Kristus maka mereka semua dibunuh. Contoh sikap antipati lainnya yakni, pembakaran Gereja, penghancuran Biara, hujatan terhadap Kristus dan Gereja. Sikap keras negara Muslim terhadap komunitas Kristen masih nampak terhadap para penduduk di kota-kota taklukan (Toledo, Kordoba), mereka diberikan pilihan untuk menyerah -dengan jaminan perlindungan nyawa, kekayaan, memberi kebebasan- atau diperangi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan Islam-Kristen pada periode pasca wafatnya Nabi Muhamad, dalam konteks bangkitnya negara Islam, Umat Muslim mengambil sikap keras (memaksa) dan sekaligus toleran (bersyarat) terhadap orang Kristen yang pada saat itu merupakan kelompok minoritas di Arab.

1.1.3. Periode ekspansi Islam (Abad pertengahan).

Periode Abad pertengahan menandai tentang bagaimana kaum Islam memulai perluasan ekspansinya sampai ke Eropa. Berawal dengan penaklukan Afrika kemudian ke Spanyol dan Prancis Selatan. Dalam konteks masa spanyol, hubungan Islam-Kristen semakin pelik ditandai dengan berdirinya kekhalifahan Bani Umayyah, sehingga agenda Harun al-Rasyhid (khaliah Abbasyiyah) membina hubungan baik dengan bangsa Frangka untuk mendapatkan dukungan untuk melawan Bani Umayyah dan menciptakan perlawanan antar sesama Bangsa Muslim. Raja Karolus Agung (penguasa Roma) mengirimkan pasukan ke spanyol

6

Jhon.L. Esposito. Unholy war: Teror Atas Nama Islam. (Yogyakarta: IkonTeralitera, 2003),33

7

P.Crone dan M.Cook, Hagarisme:The Making of the Islamic World. (Cambridge:University Press, 1977),120


(4)

untuk membantu Harun. Namun, ketika kembali ke Prancis, pasukan yang membantu itu diserang dari belakang dan dibantai oleh kaum Muslim.

Rangkaian peristiwa konfliktual dalam sejarah perjumpaan Islam-Kristen di Spanyol menimbulkan tanggapan khas Barat yang cenderung negatif terhadap Islam. Pandangan tersebut dilatari oleh keadaan yang menyakitkan -seperti larangan beribadah di muka umum, terisolasi dari ilmu pengetahuan agama mapun sekuler- yang dialami orang Kristen dalam penguasaan kekhalifahan Bani Umayyah di Spanyol. 8

Pandangan itu akhirnya memicu bangkitnya sebuah gerakan kekristenan, yakni gerakan kemartiran Spanyol“ yang menganggap Islam sebagai ancaman bagi kekristenan, sebagai tanda kemunculan “antikritus“ (beberapa Pendeta, menggunakan bagian-bagian Alkitab seperti: Daniel, Injil, dan Wahyu untuk melegitimasi pandangan ini), karenanya memerangi Islam berarti memerangi Iblis, atau mati karena mempertahankan iman adalah mati bagi Kristus, mati sebagai seorang Martir. 9

Jadi, point penting dalam melihat hubungan Islam-Kristen pada periodesasi ini yakni bahwa, pandangan negatif umat Kristen Barat terhadap kaum Islam dilatar belakangi oleh serangkaian sikap dan perilaku kaum Islam yang keras terhadap Kristen (Barat). Sikap kaum Islam terhadap Kristen inilah yang menjadi pemicu lahirnya gerakan perlawanan dan permusuhan dengan motif religius.

1.1.4. Periode perang Salib (Abad XI).

Perang Salib (1095-1272) merupakan perang untuk memperebutkan Yerusalem. Perang ini kemudian meluas menjadi konflik antar agama paling dasyat sepanjang sejarah. Perang salib diawali dengan munculnya gerakan Kristen Militan yang juga bagian dari pasukan salib. Pemicu gerakan ini sendiri adalah pemahaman buruk di masa Spanyol yang kemudian melekat dan mempengaruhi pikiran kaum Kristen Barat. Pecahnya Perang Salib (1095) dilatarbelakangi

8

R.W.Souther, Westren Views of Islam in the Middle Ages, (Amerika:Harvard University Press,1992),19-21

9


(5)

dengan motif religius, dalam artian kerinduan untuk merebut tanah suci dari kaum “kafir“ muslim dan juga motif duniawi yakni mendapatkan harta dan tanah.10

Pada peristiwa penaklukan Yerusalem (1099), terdapat ribuan anggota pasukan dan bahkan seluruh penduduk Muslim dan orang Yahudi yang melarikan di ke sinagoge kemudian dibantai habis, dan hanya dalam waktu dua hari, sekitar 40.000 umat Muslim dibantai habis oleh pasukan Salib. Salah satu keanehan terjadi pada peristiwa tersebut adalah bahwa ketika orang Kristen khususnya para pendeta yang tetap memilih bertahan ketika terjadi pembantaian itu diusir oleh pasukan Salib. Fenomena ini mempertegaskan tujuan mereka bahwa Yerusalem bukan hanya kota Kristen, melainkan kota Kristen Latin/Barat. Hal ini mengindikasikan bahwa, seruan Perang Salib oleh Paus Ubanus adalah demi alasan politik dari pada religius. Olehnya, masing-masing komunitas: Islam maupun Kristen dapat menciptakan spirit dan komitmennya untuk membela keyakinannya dan berjuang melawan orang “kafir“.11

Senada dengan ini, bagi Amstrong12, perang salib menjadi gambaran konflik, prasangka dan tindak kekerasan antara dunia Islam dan Barat. Goddard13 melanjutkan bahwa: warisan perang salib dapat dilihat dalam enam aspek, antara lain: kecurigaan abadi terhadap kalangan Kristen Barat; mendorong ekspansi Islam; sentimen bahwa Yeruslem merupakan tempat suci Ketiga bagi Islam; kecurigaan terhadap kaum Kristen (“dicurigai sebagai pasukan salib berikutnya“) yang hidup di bawah pemerintahan Islam; meningkatkan perkembangan antara Islam dan Eropa Barat.

Berdasarkan paparan para hali dapat disimpulkan bahwa hubungan Islam-Kristen secara menglobal telah menampakan keadaan yang sarat dengan pertentangan. Isu global yang sentral dalam hubungan kedua agama besar di dunia ini tidak lain adalah tentang pandangan “standar ganda“ (Goddard) yang dianut

kedua agama ini yang memunculkan prasangka teologis dan memperkeruh hubungan kedua agama ini.

10

Hugh. Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen… (2013),164

11

John. L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau realita? (Terj). (Bandung: Mizan. 1994),50-51

12

Karen Amstrong. Holly War. (Londong: Maximilian. 1998), xiv.

13


(6)

Selanjutnya, Konfliktual interaksi Islam dengan Kekristenan Barat, yang nampak melalui konflik, kekerasan, ditaklukkan dan menaklukan antara keduanya, (mis, di Timur Tengah, spanyol hingga perang salib, ), sebagaimana yang diungkapkan Esposito:14 ...Baik orang Muslim mapun Nasarani melihat yang lainnya sebagai suatu ketetapan yang untuk ditaklukan, diajak masuk agama, atau membasmi yang lainnya dan dengan demikian sebagai musuh

Tuhan“... menimbulkan dampak yang membekas dalam imajinasi kedua

komunitas. Orang Barat memandang Islam sebagai agama pedang, agama jihad. Sebaliknya, bagi kaum Muslim, Nasarani adalah agama perang salib dan ambisi hegemoni. Dalam konteks itulah berkembang kecurigaan-kecurigaan: stereotip yang melatari pandangan Islam di seluruh dunia tentang kekristen barat dan berimbas sampai ke komunitas kristen di seluruh dunia.

1.2.Konteks Indonesia

Jan S. Aritonang15, meneliti perjumpaan Islam-Kristen di Indonesia secara khusus pada tataran konseptual, dan lebih difokuskan pada perjumpaan bidang politik di aras Nasional baik dalam konteks zaman pemerintahan penjajahan maupun pada zaman Indonesia Merdeka. Pada perjumpaan itu, bisa terjadi persesuaian atau terlihat akrab, tetapi sebaliknya bisa juga terjadi konflik. Pembabakan perjumpaan Islam-Kristen didasarkan pada periode pemerintahan di negeri ini, yakni antara lain:

1.2.1. Masa Portugis dan VOC (1511-1799).

Pada masa ini, Portugis (juga spanyol) dan Belanda yang dikenal dengan negara Kristen Katolik dan protestan hendak meluaskan jaringan perdagangan dan penyebaran agama mereka. Pada kenyataannya, Maluku sebagai salah satu kawasan Indonesia Timur telah dihuni oleh Agama Islam yang tersebar oleh pedagang Islam Timur Tengah melalui kerajaan-kerajaan lokal di Maluku Utara: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo, serta menjelma menjadi agama kerajaan. Islam menguasai perdagangan. Para sultan-sultan Tarnate tercatat sebagai

14

Jhon.L. Esposito. Unholy war. . . (2003),91

15

Jan.S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia. (Jakarta:BPK. G. Mulia. 2006),1.


(7)

penakluk wilayah dan penyebar agama Islam. Dalam rangka perluasan jaringan kekuasaannya ia menuntut pengakuan bahwa kerajaan-kerajaan itu mengakui kesultanan Tarnate dan menuntut penduduknya menganut agama Islam. Bertolak dari kepentingan perdagangan inilah maka tak jarang kerajaan-kerajaan ini beraliansi dengan Portugis bahkan juga Belanda yang menjanjikan keuntungan dan kekayaan yang lebih besar.16

Salah satu peristiwa pemicu konflik Islam-Kristen yang berkepanjangan pada masa portugis yang terjadi sampai kedatangan VOC adalah kasus pembunuhan Sultan Tarnate, seperti dicatat oleh Radjawane:17 Sultan Hairun berkoalisi dengan raja-raja di Maluku berencana untuk membasmi semua orang Kristen dan orang-orang asing terutama Portugis dan menanamkan Islam di Pulau Ambon. Atas keikut sertaan Hitu (1558) mereka melakukan pemberontakan dan mengusir orang Portugis. Banyak kampung-kapung pesisir di pulau Ambon yang berhasil diislamkan dengan kekerasan, dan terutama sekali hampir semua negeri di Hitu yang baru saja di Kristenkan oleh Xaverius dijadikan negeri-negeri Islam.

Bermula dari peristiwa tersebut, banyak juga pertikaian dan perang antara masyarakat Islam-Kristen terjadi di Pulau Ambon, yaitu setelah penyerbuan tersebut ada sejumlah pejabat Portugis yang mendukung Sultan Hairun dalam menghadapi lawannya, yakni kerajaan-kerajaan di Maluku untuk memperoleh keuntungan bisnis yang besar bagi bisnis pribadi.18 Oleh karena itu, penyebab pertikaian yang melibatkan Islam-Kristen di Ambon bukan semata-mata karena masalah agama melainkan juga masalah sosial-politik.19 Kedatangan belanda pada umumnya tak lepas dari pertarungan di bidang politik, persaingan dagang dan ekonomi, untuk kepentingan ini berkoalisi dengan Islam untuk menguasai Portugis.

16

Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia… (2006),13-22

17

A.N. Rajawane, “Islam di Ambon dan Haruku”, dalam Panggilan Kita di Indonesia Dewasa ini, Editor:W. B. Sidjabat(Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1964),78

18

M.P.M. Muskens (red), Sejarah Gereja Katolik di Indonesia, jilid 1. (Jakarta: Dokpen MAWI,1974), 223

19


(8)

1.2.2. Masa Hindia Belanda (1800-1942).

Pada masa ini, eksistensi keberagamaan Islam-Kristen sama-sama mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kondisi ini didorong oleh semangat kebebasan beragama yang dirancang H-B (PP 1818 dan 1854) dan buah dari kebangunan semangat penginjilan yang terjadi di Eropa (Kristen). Akan tetapi, kenyataanya terdapat campur tangan pemerintah H-B melalui kebijakan yang tidak netral, yang menguntungkan pihak Kristen dan merugikan serta mendiskriminasikan pihak Islam.20 Realita ini sering kali menjadi pemicu ketegangan hubungan di antara umat Kristen dan Islam. Pemerintah H-B juga membatasi dan melarang penginjilan (mengawasi gerak-gerik para ulama yang dicurigai sebagai fanatik pemberontak) karena dianggap sebagai ancaman dan demi ketertiban dan keamanan.21

Khusus di Pulau Jawa, Sumartana,22 mengungkapkan bahwa hubungan di antara masyarakat pribumi Kristen dan Islam masih sangat terbatas dan terutama di daerah pedalaman karena sejak awalnya agama Kristen sering dicap sebagai “Agama Belanda“ atau “Stigma soaial“ sebagai agama kolonial23

. Pelabelan negatif ini semakin nampak ketika ada dari orang Kristen Jawa itu berlagak seperti orang Belanda dan ikut-ikutan mencap kaum Islam sebagai “orang kafir“. Kendati demikian, hubungan keduanya semakin lebih baik ketika tokoh-tokoh penginjil memperlihatkan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, sehingga perjumpaan itu bukan lagi terutama berlangsung diantara orang Eropa yang Kristen dan orang Arab yang Muslim, melainkan di antara sesama orang jawa yang Kristen dan Islam.

Kebijakan pemerintah H-B di kala ini melahirkan gerakan-gerakan keagamaan baik di pihak Kristen maupun islam, seperti Pan Islamisme (yang muncul dari Turki abad ke-18, pada masa dinasi kesultanan Usami) yang hendak

20

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985),19

21

Aritonang. Sejarah Perjumpaan…(2006),73-96

22

Th. Sumartana, Mission At The Groossroads-Indigenous Church, European Missionaries, Islamic Assocoation Socio-Religious Change in Java1812-1936. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997),22-27.

23 “Stigma Sosial”

agama Kolonial oleh umat Islam terhadap Kekristenan berkaitan dengan hubungan sejarah Kristen dengan sejarah kolonialisme. Dalam artian bahwa masuknya kekristenan di Indonesia bersamaan dengan ekspansi bangsa-bangsa barat (Portugis dan Belanda) berdasarkan kepentingan ekonomi dan perdagangan. Stigma Sosial bertransformasi menjadi Stereotip sosial pada masa Orde Baru. Lht. Julianus Mojau, Mediakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia. (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2012),1-4


(9)

menegakan kembali kekuasaan pada kalifah sebagai penguasa di bidang politik dan agama. Di mata H-B, Pan Islamisme ditenggarai membangkitkan semangat melawan penjajah. Gagasan Pan Islamisme kembali dihidupkan di Indonesia pada masa selanjutnya melalui beberapa partai politik (Era Reformasi 1998). Selain itu, terdapat juga gerakan dan partai politik Islam yang muncul: Sarekat Islam, Muhammadiyah; dan Kristen: Perserikatan Kaum Christen, Partai Kaum Masehi Indonesia.24

1.2.3. Masa Jepang dan Revolusi (1942-1949).

Pada masa ini, Jepang berusaha menjalin hubungan yang baik dengan semua pihak di Indonesia sebagai jalan untuk mendukung tujuan menopang perang dan mendominasi ekonomi jangka panjang di Asia Timur dan Tengah. Propaganda pro Islam dilakukan untuk menarik para pemimpin Islam.25 Melalui politik mobilisasinya, Jepang merangkul kekuatan Islam Indonesia dan penghubung antara mereka dengan masyarakat Jawa. Pemerintah Jepang berusaha menghapus pengaruh-pengaruh Barat, khususnya Belanda dengan mendorong penyebaran konsep Indonesia kepada rakyat. Pada bulan Maret 1942, Jepang membubarkan partai politik yang ada, namun khusus buat Islam organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhamadiah dibiarkan tetap hidup.26

Sementara itu, terhadap Zending dan kaum Kristen dituduh sebagai kaki tangan Belanda, mereka dianiaya, ditangkap bahkan dibunuh. Seperti dikatakan Kahin:27“...dalam waktu enam bulan sejak kedatangannya, Jepang memenjarakan semua penduduk Belanda, sebagian besar orang Indo, dan sejumlah orang Kristen Indonesia yang dicurigai Pro Belanda, ke dalam Kamp Konsentrasi.

Selain itu, kependudukan Jepang membuka ruang bagi proses berdirinya atau kemerdekaan bangsa Indonesia. Proses perumusan dasar negara dan UUD didapati ternyata sarat dengan muatan dan kepentingan agama tertentu, bermula dengan berdebatan antara tokoh Islam dan nasional-sekuler tentang bentuk

24

Aritonang,, Sejarah Perjumpaan... (2006),122-132

25

Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit (Terj), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985),133-134

26

Aritonang. Sejarah Perjumpaan. . . ,. (2006), 215

27

George Mc Turnan. Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (terj), (Solo: Press, 1995),131


(10)

Negara. Pertanyaan pokok perdebatan para tokoh BPUPKI adalah: haruskah dasar resmi untuk negara Indonesia terbentuk dari asas-asas Islam, dinyatakan dengan peristilahan Islam, ataukah Indonesia didasarkan kepada Pancasila dan menjadi suatu contoh dari negara yang rakyatnya menganut beranekaragam agama, yang di dalamnya para pengikut dari berbagai agama hidup dan bekerjasama dengan saling menghormati?28 Pembahasan terhadap pertanyaan yang menjadi polimek tersebut kemudian digodok dalam kelompok kecil: “Tim 9“, dijadikan dokumen politik yang dinamai: “Piagam Jakarta“.

Alwi Hihab29, melihat persoalan Piagam Jakarta yang kontroversial di kalangan pemimpin Indonesia pada saat menjelang kemerdekaan itu, mencirikan ketegangan pertama dalam hubungan Kristen-Muslim di Indonesia selama era pasca penjajahan. Persoalan tersebut hampir merusak kesatuan dan persatuan negeri Indonesia.

1.2.4. Masa Orde Lama (1950-1965).

Pada masa ini,kedaulatan penuh yang telah dimiliki oleh Indonesia sebagai suatu negara pada kurun waktu ini justru memunculkan gejolak internal dan ancaman dari berbagai gerakan separatis yang sebagian bermuatan atau berlabel agama: Darul Islam/Tentara Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia (DI/TII/NII). Kalangan islam “menagih janji“ perwujudan negara (berdasarkan) Islam. Terutama mereka yang bercorak modernis terus berlanjut. Keadaan ini ikut mempengaruhi hubungan dan perjumpaan Kristen dan Islam, karena mereka bersikap paling keras terhadap kalangan Kristen.30

Islam menjadi Ideologi politik yang diperjuangkan kaumnya dalam konteks perpolitikan dalam pemerintahan Soekarno. Pemilu 1955 merupakan ajang perjuangan mereka yang pertama. Akan tetapi toh gagal mencapai kemenangan mayoritas dalam pemilu tersebut. Selain masalah Dasar Negara, Kebebasan Beragama pun menjadi perdebatan-perdebatan sengit diantara kalangan Kristen dan Islam. Misalnya, Masyumi yang dengan tegas mengusulkan agar agama resmi

28

B.J. Bolan. Pergumulan Islam di Indonesia (Terj). (Jakarta: Grafiti Pers, 1985),25-26

29

Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhhamadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Terj). (Bandung: Mizan, 1998),167

30


(11)

negara adalah agama Islam -atas alasan posisi mayoritas kewarganegaraan yang didominasi Islam- ditentang Parkindo karena ketika Islam dijadikan dasar negara berarti hukum Islam akan menjadi superior dan ini bertentangan dengan asas kedudukan yang sama (asas demokrasi). Di dalam negara Islam, golongan non muslim (zimmi) diperlakukan sebagai golongan inferior.31

1.2.5. Masa Orde Baru (1966-1998).

Pada masa ini, ketegangan antara umat Islam dan Kristen merebak seiring tudingan umat Islam bahwa umat Kristen lebih diuntungkan oleh pemerintah32 dan adanya semangat kristenisasi yang ditandai dengan bertambahnya jumlah umat Kristen secara signifikan. Penginjilan kristen dianggap tidak sehat, dengan masifnya pembangunan Gedung Gereja di berbagai daerah. Contohnya di Aceh. Kondisi ini memunculkan konflik langsung, seperti yang terjadi di Makasar pada tanggal 1 oktober 1967, ketika sejumlah pemuda Islam di Makasar merusak sejumlah gedung Gereja, dan kantor organisasi Kristen, termasuk melukai beberapa pemuda Kristen. Peristiwa ini dinilai oleh para tokoh Islam, Natzir:33 . . . sebagai akibat dari kegiatan mengkristenkan orang Islam. Kekuasaan mutlak dalam materi dan keuangan pihak Kristen yang digunakan untuk mengkristenkan umat Islam melukai hati umat Muslim.

Ada juga konflik antar umat Kristen dan Islam yang berkaitan dengan pembangunan Gedung Gereja -yang dilakukan di daerah-daerah yang dikenal sebagai basis Islam ini- yang membuat sebagian umat Islam merasa terganggu, bahkan terancam dan yang menuntut pemerintah menerbitkan SKB no. 1/1969. Keputusan pemerintah ini segera ditanggapi DGI dengan memorandum yang mencatat bahwa:34 adanya pertentangan di dalam SKB tersebut. Di satu pihak, hak kebesan beragama dan mengekspresikan kehidupan beragama dijamin, namun dipihak lain karena tidak ada petunjuk yang jelas tentang implementasi dari

31

Daniel. Sopamena, Perjumpaan Islam dan Kristen pada Pentas Politik di Indonesia 1945-1985. (Jakarta: STT Jakarta, 1996). (Tesis),133-134

32

Salah satu penulis Muslim. Husein. Mengungkapkan kedekatan hubungan antara penguasa: Soeharto dengan pengusaha tionghoa (sering diasosiakan dengan orang Kristen) membuat Islam sangat marah, iri dan curiga dengan orang Kristen.

33

M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia,(Jakarta: Media Da’wah,1988),208-210.

34

Teks lengkap memorandum tsb. Dimuat dalam Sairin, Himpunan Peraturan di Bidang Keagamaan. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994),443-44.


(12)

peraturan perijinan tentang pendirian rumah ibadah tersebut sehingga kebebasan mengekspresikan kehidupan beragama menjadi tidak terjamin.

Selanjutnya, pada masa akhir era Orde Baru, terdapat suatu perkembangan penting yaitu pembentukan ICMI yang memperlihatkan kebangkitan kalangan Islam dan kedekatan mereka dengan kekuasaan (pemerintah) dan membuat kalangan Kristen merasa semakin terdesak dan terpinggir.35 ICMI kemudian menjadi wadah politik bagi tokoh intelektual Islam untuk mencapai kekuasaan. ICMI dikendalikan oleh penguasa dan peran sentral Habibie. Keberadaan ICMI oleh Gus Dur36 dipandang sebagai organisasi yang cenderung sektarian dan eksklusif. Secara tajam, Gus Dur menilai bahwa dengan wataknya yang sektarian itu, beberapa tokoh ICMI berdiri dibalik berbagai peristiwa kerusuhan dan pengrusakan rumah ibadah sejak tahun 1996:37 Situbondo, Sidotopo, Rengasdengklok, Banjarmasin.

1.2.6. Masa Reformasi (1998-2003).

Pada Masa ini, Indonesia mengalami beberapa gejolak politik dalam konteks pergantian rezim orde baru; peristiwa-peristiwa internasional 2001 di New York; ledakan bom bali 2002; serangan AS bersama sekutu atas Irak 2003 tak diduga berdampak negatif nampak pada buruknya hubungan di antara penganut agama Islam-Kristen. Belum lagi serangkaian kerusuhan, pertikaian dan bencana yang bersimpah darah, berskala besar memunculkan permasalahan yang isu pokoknya sudah sebenarnya sangat klasik, yaitu upaya kalangan Islam tertentu untuk memberlakukan Syariat Islam yang mengarah pada perwujudan negara Islam. Hancurnya hubungan kedua agama ini dilatari oleh gejolak-gejolak sosial-ekonomi-politis.38

Gerakan reformasi muncul dalam pemilu, rangkaian krisis dan protes sejak tahun 1997. Sejak tahun 1997 pula badai krisis perekonomian berkepanjangan

35

Aritonang. Sejarah Perjumpaan… (2006), 453

36

Gus Dur menilai bahwa yang berwatak sectarian itu sebenarnya bukan ICMI-nya, melainkan sejumlah pengurus dan anggota yang menduduki jabatan strategis di ICMI mapupun di birokrasi. Dalam Abdul. Aziz. Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. (Jakarta: Fema Insani Press. 1996), 94.

37

K.A.Van Dijk, A Country in Despair. Indonesia between 1997-2000. (Leiden. KITLV. 2001),18

38


(13)

menerpa Indonesia, disusul krisis politik, sosial, budaya, moral pada pemerintahan orde baru ini. Serangkaian aksi protes, demonstrasi dari mahasiswa mengkritisi pemerintah soeharto yang dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, maka 1998 soeharto lengser pada tahun 1998. Tercatat dalam peristiwa kerusuhan itu, terdapat luka fisik maupun batin, penuh keberengisan dan kebiadaban dilakukan oleh segerombolan orang yang meneriakan yel-yel keagamaan sambil melecehkan agama lain, kasus pemerkosaan terhadap perempuan china yang dilakukan oleh umat muslim39 dan pengrusakan dan pembakaran beberapa fasilitas pemerintah dan juga gedung Gereja.40

Selanjutnya, terjadi beberapa peristiwa dan bencana lanjutan yang melibatkan penganut kedua agama mewarnai masa transisi pergantian kepemimpinan negara. Peristiwa kerusuhan sering kali dipicu oleh peristiwa yang sepele dan tidak punya hubungan dengan masalah agama, tetapi ketika kerusuhan kian berkobar, muatan keagamaanya semakin meningkat dan menjadi tanda tanya tentang siapa dan apakah yang menjadi faktor pemicu atau dalang dari peristiwa itu. Adakalanya peristiwa kerusuhan diakibatkan karena provokasi dari kalangan tertentu di luar daerah konflik (Jakarta). Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain: Ketapang, Posso, Ambon, kalimantan barat dan tenggah, peledakan Bom di malam Natal, Bom Bali 12 oktober 2002.41

Peristiwa Ketapang Jakarta dan Kupang 1998, misalnya yang dipicu oleh perkelahian antar pribadi, dan para preman yang sebagian besar dari suku Ambon42 yang menjaga lokasi tempat hiburan bulu tangkas alias judi di jalan. Z. Arifin. Penyebabnya adalah perebutan tempat parkir, dan ketersinggungan Islam yang terganggu dengan keramaian di lokasi itu. Terjadi pengeroyokan terhadap pemuda kampung yang penyelesaiannya berujung pada bentrok dengan para preman itu. Di keesokan harinya tepat pada hari raya Isra’Mi’raj gerembolan

39

Menurut H. Sudarto Kalangan Islam menilai hal ini sebagai pencitraan buruk yang dilakukan terhadap barat dan kekristenan, yang mamandang penyebaran agama Islam melalui kekerasan. Lht. H. Sudarto, Konflik-Islam Kristen- menguak akar Masalah Hubungan Antar Umat Beragama di Indonesia. (Semaran: Pustaka Rizki Putra. Cetakan ke2),133

40

Aritonang, Sejarah Perjumpaan…(2006),520

41

Aritonang, Sejarah Perjumpaan. . . (2006),532

42

Seluk beluk preman ambon di Jakarta sejak 1980-an, termasuk akses mereka dengan kalangan penguasa, dan persaingan diantara penguasa terungkapkan oleh Aditjondro, bahwa Ternyata, preman Ambon bukan hanya terdiri dari orang Kristen tetapi juga Islam. G. Adhicondro, Orang-Orang Jakarta Di Balik Tragedi Maluku. 2001, Moluccas International Campaign for Human Right.


(14)

preman itu datang menentang warga kampung dan menyerang warga secara membabi buta, mengrusakan Mesjid dan seorang preman ditahan oleh pihak FPI, terungkap oleh Tahan bahwa dia bayar untuk melakukan peneroran terhadap umat Islam di situ. Disusul dengan kerusuhan besar-besaran antara masa dari warga kampung sekitar Ketapang dengan preman-preman itu.

Pokok isu dibalik amukan masa itu adalah bahwa mesjid telah dibakar (yang terbukti tidak benar), akibatnya terjadi pengrusakan dan pembakaran gedung Gereja yang berada di sekitar lokasi preman-preman itu. Melalui peristiwa itu, preman-preman itu kemudian dipulangkan ke Ambon, dan diduga menjadi provokator dalam konflik Ambon, disamping ada juga keterlibatan militer. Kasus ketapang ini kemudian diduga telah diskenariokan oleh kalangan militer, dengan tujuan mengalihkan isu dan perhatian masyarakat dari tuntutan pertanggungjawaban mantan Presiden Soeharto, Wakil Presiden Habibie dan Menhankam/Pangab Wiranto atas tragedi Semanggi dan lainnya, menjadi isu SARA. Jadi kerusuhan ini di duga adalah skenario, upaya untuk mengalihkan dari konflik vertikal (Pemerintah vs Masyarakat) menjadi konflik horizontal (Rakyat vs Rakyat). 43

Berkaitan dengan catatan peristiwa-peristiwa konflik dan kekerasan dalam hubungan antar Agama Islam-Kristen. Khususnya pada kasus pengrusakan gedung Gereja. Richard M. Dauly mengkaji tentang dua masalah pokok pergulatan Kekristenan dalam konteks perkembangan perpolitikan di Indonesia pada Era Reformasi, antara lain: sikap intoleransi dan pengingkaran terhadap kebebasan beragama dan politik Syariat Islam dan diskriminasi.44

Untuk itu, menurut Van Klinken,45 konflik atau kekerasan kolektif (konflik komunal) dalam episode-episode sejarah Indonesia –Sebelum Orde Baru hingga pasca Orde Baru atau pada masa pergantian rezim politik Soekarno ke Soeharto hingga Soeharto ke Reformasi- dironai dengan masalah-masalah ideologi politik bangsa atau kelas yang berbaur dengan identitas-identitas etnis atau religious.

43

PGI Mengeluarkan surat pernyataan keprihatinan atas peristiwa ini, sambil meminta pemerintah agar mengusutnya dengan tuntas. Lih. Sairin Weinata(peny), Pesan-pesan Kenabian di Pusaran Zaman. (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2002),171-172

44

Lht. Richard M. Daulay, Agama dan Politik di Indonesia: Umat Kristen di Tengah Kebangkitan Islam. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015),1-16.

45

Gerry. Van Klinkel. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokrasi Di Indonesia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007),1-9.


(15)

Khusus pada masa pasca Orde Baru pertarungan-pertarungan yang terjadi hampir sepenuhnya berdasarkan identitas-identitas komunal tersebut.

2. Defenisi, Jenis, Penyebab,Dampak, dan Proses Konflik. 2.1. Defenisi Konflik

Cummings, P. W46 mendefenisikan konflik sebagai suatu proses interaksi sosial di antara dua orang atau lebih, atau dua kelompok atau lebih, berbeda atau bertentangan dalam pendapat atau tujuan mereka. Oleh S. T. Alisyabana, aspek perbedaan pendapat dan pandangan di antara kelompok-kelompok masyarakat juga dilihat sebagai konflik47.

Selain aspek perbedaan pendapat dan pandangan, seperti yang dikatakan kedua ahli diatas, adapun menurut Stoner dan Wankel konflik organisasi adalah ketidaksesuaian antara dua orang anggota organsisasi yang timbul karena fakta bahwa mereka harus berbagi dalam hal mendapatkan sumber –sumber daya yang terbatas, atau aktifitas-aktifitas pekerjaan, dan atau karena fakta bahwa mereka memiliki status, tujuan, nilai-nilai atau persepsi yang berbeda.48

Menurut Wahyudi, konflik dari prespektif interpersonal atau dalam lingkup organisasi atau masyarakat yang majemuk adalah sebuah kondisi wajar manakala ada saling berbenturan kepentingan di antara anggotanya.49 Senada dengan itu, Wirawan mendefisinikan konflik sebagai proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik.50

Berdasarkan pemikiran para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan salah satu realitas esensial dari kehidupan dan perkembangan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekomoni, sistem hukum bangsa, suku, agama, kepercayaan, aliran politik,

46

P.W. Cummings, “Open Management: Guides to Succesful Praktice”, dalam Manajemen Konflik Organisasi Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner , Editor:Wahyudi. (Bandung: CV. Alfabeta. 2011),16

47

S.T. Alisjahbana, Antropologi Baru. (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986),41

48

Wahyudi, Manajemen Konflik… (2011),18

49

Wahyudi, Manajemen Konflik… (2011),16

50

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori dan Aplikasi (Jakarta: Salemba Humanika, 2010),5-7


(16)

serta budaya dan tujuan hidupnya. Perbedaan-perbedaan atau keberagaman tersebut merupakan identitas yang di bawa individu atau kelompok dalam proses interaksinya dengan pihak lain dapat menimbulkan pertentangan.

2.2. Jenis-jenis Konflik

Konflik memiliki banyak jenis dan dapat dikelompokan berdasarkan berbagai kriteria. Sebagai contoh, konflik dapat dikelompokan berdasarkan latar terjadi konflik, pihak-pihak yang terkait dalam konflik dan substansi konflik:51

2.2.1. Konflik menurut bidang kehidupan: Konflik bidang kehidupan adalah objek konflik. Sering berdiri sendiri atau saling kait mengaitkan. Contoh, konflik sosial yang sering kali tidak hanya oleh perbedaan suku, ras, atau kelompok sosial tetapi disebakan oleh kecemburuan ekonomi, kehidupan politik dan perbedaan agama. Oleh karena itu sering sulit membedakan suatu fenomena konflik apakah merupakan konflik sosial, konflik politik, atau konflik ekonomi. Maka sejak merdeka bangsa dan negara Indonesia mengalamai berbagai jenis konflik. Berikut adalah contoh konflik multidimensional yang melandai bangsa Indonesia:52

1. Konflik ekonomi. Konflik ekonomi adalah konfilk yang terjadi karena perbutan sumber-sumber ekonomi yang terbatas. Seperti, sengketa batas tanah antara warga dan perusahaan perkebunan, antara warga dengan warga yang lain; perebutan wilayah pasar oleh para pedagang pada satu daerah.

2. Konflik politik. Konflik politik adalah konflik yang terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik berupaya mendapatkan dan mengumpulkan kekuasaan yang sama pada jumlahnya yang terbatas dan menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan atau ideologinya.

3. Konflik agama. Konflik agama adalah konflik diantar pemeluk, bukan konflik diantara ajaran atau kitab suci agama. Terdapat banyak jenis konflik agama, salah satunya yakni: konflik antara individu atau komunitas yang menganut agama yang berbeda. Konflik ini sering menimbulkan konflik fisik dan kekerasan, seperti perang salib. Ada juga konflik agama yang terjadi karena pemanfaatan agama untuk tujuan tertentu. Agama dijadikan alat untuk mencapai tujuan politik, ekonomi, dan sosial dari satu kelompok atau

51

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010), 55-93

52


(17)

individu tertentu. Dalam bidang politik, agama dijadikan sebagai ideologi dan simbol partai untuk mencapai kekuasaan partai: berikut akan dikemukakan contoh kasus konflik di antara pemeluk agama.

4. Konflik Sosial. Konflik sosial adalah konflik yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Pertama, karena masyarakat terdiri atas sejumlah kelompok sosial mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain: konflik kelas-kelas sosial. Kedua, kemiskinan bisa menjadi pemicu terjadinya konflik ketika ada ketimpangan antara jumlah orang miskin dan orang kaya, yang pada akhirnya dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Ketiga, karena migrasi manusia dari suatu tempat ke tempat yang lain. Orang yang bermigrasi adalah orang yang ingin memperbaiki kehidupannya: perdagangan, pekerjaan. Pada konteks ini, konflik sering terjadi antara para imigran dan penduduk asli suatu daerah. Keempat, konflik sosial terjadi karena kelompok mempunyai karakteristik dan perilaku yang inklusif. Kelompok-kelompok sosial tersebut saling terpisah dan ingin mendominasi kehidupan politik, ekonomi dan kemasyarakatan. Perpisahan ini menimbulkan prototype, prasangka, stigma dan curiga atau kecemburuan satu antar yang lain.

Salah satu contoh konflik sosial, yakni: Konflik Maluku. Konflik Maluku merupakan konflik horizontal yang menimbulkan banyak korban jiwa, rusaknya fasilitas pemerintah, sekolah, rumah penduduk serta terjadi dalam kurun waktu lama. Konflik kecil terjadi antara warga Kristen-Muslim telah terjadi semenjak tahun 1995, dan secara terbuka tahun 1999, 2005. Konflik ini terjadi secara sporadis, bersifat multidimensi, meliputi konflik politik, konflik sosial, konflik ekonomi, konflik agama, dan konflik budaya. Oleh karena itu, faktor penyebabnya beragam: Politik. Pencalonan dan pemilihan kepala daerah yang nepotisme, gerakan separatism RMS. Ekonomi, penduduk Maluku terdiri dari berbagai suku/ras. Penduduk Maluku, orang bugis, buton, makasar, cina, arab, dan jawa. Orang pendatang menguasai perdagangan, ini menimbulkan kecemburuan ekonomi.

Konflik yang terjadi makin memiskinkan sebagian besar warga Maluku. Agama, Maluku sebelum konflik merupakan pemeluk yang hidup rukun dan toleransi. Konflik didorong oleh sentiment agama. Kemiskinan, yang


(18)

bersumber pada penurunan harga cengekh dan pala. Kemiskinan disebabkan oleh rendahnya jiwa berwirausaha generasi muda. Keterlibatan TNI dan Polri. Ada kecenderungan TNI membela kelompok-kelompok yang bertikai berdasarkan hubungan keluarga dan agama. Premanisme, sering kali konflik terjadi antar kelompok preman maupun individu. Pada akhir November 1999 sejumlah preman Maluku pulang ke Ambon karena kasus bentrok ketapang Jakarta. Di ambon mereka kemudian ikut memicu konflik. Laskar Jihad, Jilid satu dipimpin oleh Jafar Umar Talib, yang dibentuk FKAW untuk membantu umat Islam di Poso dan Ambon yang diserang oleh kelompok FKM dan untuk mempertahankan NKRI. Mereka membentuk pusat pelatihan militer di sejumlah kota di Indonesia. Ketika terjadi konflik di Poso dan Ambon, mereka dikirim. Ada juga jemaah Islamiah yang membangun dan membiayai kekuatan para militer di Poso dan Maluku untuk mempertahankan umat Islam. Memudarnya pelaksanaan dan norma adat: pela gandong, masohi dan badati. Penegakan hukum. Karena lemahnya penegakan hukum. Pada awal reformasi, terjadi reformasi TNI dan Polri yang sebelumnya merupakan suatu kesatuan dalam ABRI. Perubahan tersebut menurunkan kemampuan dan koordinasi dalam penegakan hukum.

2.3.Penyebab Konflik

Menurut Wirawan,53 Konflik dapat terjadi secara alami karena adanya “kondisi objektif”. Misalnya, keterbatasan sumber; tujuan yang berbeda; saling tergantung atau interdependensi tugas; diferensiasi organisasi; sistem imbalan yang tidak layak; komunikasi yang tidak baik; perilaku yang tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia dan melanggar hukum; beragam interaksi sitem sosial: perbedaan agama, suku, ideologi; pribadi orang: egoism, curiga, berpikir negatif, kurang dapat mengendalikan emosi, ingin menang sendiri.

Berkaitan dengan kondisi objektif sebagai penyebab konflik seperti yang dibahasakan wirawan, Alo liliweri mencatat kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya konflik, yakni: ada sejumlah individu atau kelompok yang merasa bahwa mereka dipisahkan, dibedakan, dianaktirikan dari suatu kebersamaan; tidak

53


(19)

ada interaksi antar anggota kelompok. Interaksi mengandalkan kontak dan komunikasi; ada perbedaan posisi dan peran para anggota kelompok; ada kelangkaan kebutuhan dan keinginan terhadap sumber daya yang membuat banyak orang merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumber daya tersebut; karena ada suatu perbedaan yang menyulut ketidaksepakatan dalam mengambil keputusan bersama antara dua pihak.54

2.4.Dampak Konflik

Konflik mempunyai pengaruh atau berdampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia baik secar aindividu maupun kelompok. 55Dampak positif, yakni menciptakan perubahan, misalnya, antara penjajah dan bangsa yang dijajah, antara ras menciptakan pesamaan hak, konflik dengan orde lama dan baru, baru dan reformasi; membawa objek konflik kepermukaan; memahami orang lain lebih baik, memahami adanya perbedaan pendapat, pola pikir, dan karakter; menstimulus cara berpikir kritis dan meningkatkan kreativitas; konflik menyebabkan revitalisasi norma.

Sedangkan Pengaruh negatif, yakni seperti menurunnya produktifitas karena hilangnya jam kerja, penurunan kesehatan fisik dan jiwa; merusak hubungan komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat konflik; menciptakan rasa tidak tenang, marah, benci, antipasti dan agresi terhadap lawan konflik; merusak sistem organisasi; kerusakan sistem menciptakan sinergi negatif; menurunkan mutu pengambilan keputusan karena kebuntuan diskusi, fitnah, agresi, sabotase dan hilangkanya rasa saling percaya.

2.5.Proses Konflik

Menurut wirawan, konflik merupakan proses yang berawal dari adanya sesuatu yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik-objek konflik-sampai terjadinya solusi. Proses konflik terdiri dari beberapa fase. Fase-fase tersebut antara lain: Pertama, penyebab konflik. Pada fase ini, perbedaan tujuan terjadi. Atau tujuan sama, tetapi perbedaan untuk mencapai tujuan tersebut. Kelangkaan

54

Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. (Yogjakarta: LKIS, 2005), 256-261

55


(20)

sumberdaya terjadi, seperti anggaran, seumberdaya manusia dan alam terbatas. Terjadi kompetisi dan perbutan sumberdaya dan kemudian menciptakan konflik.

kedua, laten atau tidak terlihat. Pada fase ini, penyebab konflik telah ada. perbedaan pendapat telah terjadi. Akan tetapi pihak-pihak yang terlibat konflik diam saja dan belum mengekspresikannya. Konflik belum disadari.

Ketiga, pemicu. Pada fase ini, masing-masing pihak telah mengekspresikan pertentangan mereka. Ekspresi tersebut merupakan pemicu konflik secara terbuka. Ekspresi pertentangan berupa: sikap, perilaku dengan menggunakan kata atau tulisan. Konflik terbuka dan menyadarkan masing-masing pihak akan konflik tersebut. Masing mencari asal-usul, menentukan posisi dalam konflik, dan menentukan strategi untuk menghadapi lawan konfliknya. Dalam fase ini terjadi proses diferensiasi (menyadari perbedaan diantara keduanya. Masing-masing pihak menganalisis posisi lawan konfliknya). Kemudian menyusun strategi dan taktik konflik untuk melakukan interaksi konflik.

Keempat, eskalasi. Konflik tidak terselesaikan, perbedaan pendapat semakin tajam sehingga kedua pihak akan mengalami frustrasi karena tidak dapat mencapai tujuannya. Masing-masing mengembakan polarisasi. Konflik yang awalnya konflik interpersonal kemudian berubah menjadi konflik personal diantara individu atau kelompok yang menjadi aktor dalam konflik. Sikap negatif terhadap lawan konflik semakin membesar. Masing-masing merasa dirinya yang benar dan lawannya yang salah. Kekuasaan mulai digunakan untuk mendesak posisi lawannya.

Kelima, krisis. Jika fase eskalasi tidak menghasilkan solusi, konflik meningkat menjadi fase krisis. Ciri-ciri fase ini, antara lain: Konflik membesar dan sering kali melibatkan pihak lainnya yang memihak salah satu pihak yang terlibat konflik. ; Konflik menjadi emosional dan irasional; Norma dan peraturan tidak berlaku; Pihak yang merasa kuat melakukan agresi; Pihak yang terlibat konflik berusaha menghancurkan lawannya dan memenangkan konflik dengan konsekuensi apapun.

Keenam, resolusi konflik. Pada fase ini terjadi salah satu fenomena: diantara pihak yang terlibat konflik tidak ada yang menang atau tidak ada yang kalah. Keduanya akan kehabisan energi. Konflik akan berhenti sementara dan


(21)

kemungkinan akan terjadi lagi. Terjadi solusi dengan cara mengatur sendiri atau melalui pihak ketiga. Ketujuh, pasca konflik. Pada fase ini terjadi beberapa kemungkinan antara lain: Hubungan antar pihak sedikit demi sedikit kembali harmonis dan membaik. Terjadi win & win solution sehingga ada kepuasan. Apabila solusi ini diikuti dengan kembalinya saling membutuhkan dan saling percaya, maka hubungan akan menjadi harmonis kembali; Hubungan antar pihak kembali renggang. Apabila tidak ada kepuasaan antara pihak-pihak yang terlibat.

3. Manajemen Konflik

3.1. Defenisi dan Tujuan Manajemen Konflik

Wirawan, mendefenisikan manajemen konflik sebagai proses pihak-pihak yang berkonflik menyusun strategi konflik dan diterapkan untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan56. Senada dengan Wirawan, Otomar J.Bartos dan Paul Wehr Manajemen konflik adalah proses setiap pihak, termasuk pihak ketiga, untuk menggunakan keahlian dan pengetahuan untuk menciptkan strategi konflik yang tepat57. Jadi manajemen konflik merupakan proses penyusunan strategi konflik yang dilakukan bersama keduabelah pihak atau pihak ketiga sebagai rencana untuk menangani atau menyelesaikan konflik. Adapun menurut Ross, manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan konflik kearah hasil-hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketegangan, hali positif, kreatif, bermufakat, kerjasama dan pemecahan masalah (dengan atau tanpa pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada proses manajemen konflik meunjukan pada pola komunikasi (termasuk perilaku) dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan dan penafsiran terhadap konflik.58 Jadi sebagai langkah penanganan konflik, manajemen konflik yang efektif dapat mengarah pada penyelsaiannya atau sebaliknya tidak efektif maka konflik tidak dapat terselesaikan.

56

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik.. . (2010),129-134

57

Lht. Novri Susan, Penghantar Sosiologi Konflik (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009),123

58

Marc. Howard Ross, The management of conflict: interpretations and interest in comparative. (Yale University Press. 1993), 3


(22)

Sementara, tujuan manajemen konflik menurut wirawan antara lain, mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri pada visi, misi dan tujuan organisasi atau kelompok; memahami orang lain dan menghormati keragaman; meningkatkan kreatifitas; meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai informasi dan sudut pandang; memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman bersama, dan kerjasama; menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik.59

Dalam konteks organisatoris, manajemen konflik betujuan untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminilakan akibat konflik yang merugikan; pemeliharaan dan meminimalkan konflik diperjuangkan dalam hubungan yang baik antar pihak-pihak yang berkonflik.60 Jadi tujuan manajemen konflik dalam pemikiran para ahli diatas hendak menjelaskan tentang berbagai langkah-langkah positif penuntun kerjasama pihak-pihak yang berkonflik pada upaya penyelesaian konflik.

3.2. Gaya Manajemen Konflik

Menurut Wirawan, gaya manajemen konflik atau teknik penyelesaian konflik61 adalah pola perilaku tertentu yang diekspresikan pihak-pihak berkonflik. Terdapat beberapa gaya manajemen konflik yang telah dikembangkan oleh para ahli, diantaranya: Teori Grid, Teori Thomas dan Kilmann62, dan Teori Rahim. Ketiganya memiliki masing-masing lima jenis gaya manajemen konflik. pertama,

memaksa, konfrontasi, kompromi, menarik diri, mengakomodasi; kedua,

kompetisi, kolaborasi, kompromi, menghindar, mengakomodasi; ketiga,dominasi, integrasi, kompromi, menghindar, menurut. Salah satu jenis yang sama terdapat dalam ketiga teori tersebut, yakni kompromi, dengan mencari alternatif titik tengah yang memuaskan sebagian keinginan dan tujuan masing-masing pihak.

59

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik… (2010), 147,173

60

Pemikiran-pemikian terkait tujuan manajemen konflik ini di kemukakan oleh R. E. Walton dan Hardjana yang dapat dilihat dalam Wahyudi Manajemen Konflik…. (2011), 48

61

Hendrik,W dalam Wahyudi, Manajemen Konflik.. . (2011),61 menyamakan istilah teknik penyelesaian konflik dengan gaya (Style) manajemen konflik yang dapat diterapkan dalam penyelesaian konflik.

62


(23)

Sedangkan, kelima jenis gaya manajemen konflik yang dikembangkan dalam teori Thomas Killmann–Rahim memiliki kesamaan makna hanya saja berbeda dari segi pengistilahannya. Kompetisi atau dominasi, dengan kekuasaan yang dimiliki pihak berkonflik hanya berupaya memenuhi tujuan sendiri dan tidak memperhatikan kebutuhan lawannya; kolaborasi atau integrasi, menciptakan resolusi konflik -saling memahami permasalahan atau ketidaksepakatan-yang secara maksimal memenuhi tujuan dirinya sendiri dan tujuan lawannya; menarik diri63 atau menghindar, tidak mau menghadapi konflik, menolak untuk berdiskusi mengenai pokok permasalahan konflik yang terjadi. Ia menolak untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan kebutuhan lawannya dengan jalan menunda waktu penyelesaian; mengakomodasi atau menurut, mengkombinasikan perhatiannya yang tinggi terhadap lawannya dengan perhatiannya yang rendah terhadap diirinya sendiri.64

Selanjutnya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi gaya manajemen konflik yang digunakan oleh para pelaku konflik. Menurut wirawan, antara lain:65

Pertama, asumsi mengenai konflik, yakni pendapat pihak-pihak yang terlibat terhadap suatu konflik akan mempengaruhi perilakunya; Kedua: persepsi mengenai penyebab konflik, atau pandangan terhadap penyebab konflik menentukan gaya manajemen yang akan dipilih; Ketiga, ekspektasi atas reaksi lawan konflik. Kesadaran akan reaksi lawan konflik turut mempengaruhi gaya manajemen konflik; Keempat, pola komunikasi dalam interaksi konflik. Gaya manajemen juga ditentukan berdasarkan pola komunikasi yang terjadi dalam interaksi pihak-pihak yang berkonflik.

Kelima, kekuasaan yang dimiliki. Jika pihak yang terlibat konflik memiliki kekuasaan maka gaya manajemen yang dipilih juga biasanya ditentukan oleh pihak yang lebih besar kuasanya. Keenam, pengalaman menghadapi situasi konflik. pengalaman pihak yang terlibat konflik menentukan gaya manajemen konflik yang berdasarkan konflik yang dihadapi; Ketujuh, Sumber yang dimiliki.

63

Menurut Blake dan Mouton, Pruit, Walton dan Mckersie, dalam Dr. Wahyudi, Manajemen

Konflik…. 2011. Menarik diri merupakan perilaku reaktif yang paling utama dan sering digunakan individu atau kelompok yang terlibat konflik

64

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik... (2010),138-144

65


(24)

Sumber daya yang dimiliki turut menentukan bagi pihak yang berkonflik meilih gaya manajemen konflik yang akan digunakan. Kedelapan, jenis kelamin.

4. Resolusi Konflik

Diskursus penyelesaian konflik umumnya telah menghasilkan definisi yang beragam tentang resolusi konflik (conflict Resolution). Dalam webster Dictionary menurut Levine, Resolusi adalah rangkaian tindakan yang dimulai dari penguraian suatu permasalahan, pemecahan, hingga penghapusan atau penghilangan permasalahan.66 Sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah dalam konflik, resolusi konflik menurut Weitzman & Weitman, dilakukan bersama oleh pihak-pihak yang terlibat konflik (solve a problem together).67 Sementara itu, Fisher et al mendefenisikan resolusi konflik sebagai upaya menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru.68 Berdasarkan pemikiran para ahli diatas, dapat dipahami bahwa resolusi konflik merupakan serangkain tindakan yang mengarah pada upaya penyelesaian konflik melalui hubungan kerjasama yang dibangun oleh pihak-pihak yang berkonflik.

4.1.Metode Resolusi Konflik

Menurut Wirawan, metode resolusi konflik adalah proses manajemen konflik yang digunakan untuk menghasilkan keluaran konflik. Metode resolusi konflik dapat dikelompokan menjadi: pengaturan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan konflik, dan atau melalui intervensi pihak ketiga, melalui pengadilan, proses adminstratif, dan perselisihan alternatif. Khususnya dalam metode konflik pengaturan sendiri oleh pihak yang terlibat konflik, mereka menyusun strategi konflik dan menggunakan taktik konflik untuk mencapai tujuan terlibat konflik melalui saling pendekatan dan negosiasi.69

66

Levine, Webstern Dictionary, 1998,3

67

Deutch Morton & P. T. Coleman, The Handbooks of Conflict Resolution: Teori & Practice. (San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. 2000), 89

68

Fisher et al. Mengelolah konflik, Keterampilan dan stategi, Resolusi Konflik Berbasis Kearifan Lokal, (Terj). (Jogjakarta: Global Pustaka Utama, 2001),7

69


(25)

Sementara itu, Hugh Miall, mengungkapkan konsep negosiasi sebagai alat bagi masing-masing individu atau kelompok menghasilkan suatu kerjasama atau konsensus. Miall mendefenisikan negosiasi sebagai suatu proses di mana individu atau kelompok yang bertikai mencari cara untuk mengakhiri atau menyelesaikan konflik mereka. Proses ini biasanya melalui mediasi yang melibatkan pihak ketiga.70

Sejalan dengan Miall, menurut Wirawan, dalam proses pengupayaan penyelesaian sebuah konflik, mediasi juga merupakan salah satu jenis resolusi konflik alternatif untuk mencapai penyelesaian konflik. Mediasi adalah proses manajemen konflik yang dilangsungkan melalui negosiasi untuk mencapai kesepakatan bersama atau sebagai solusi mengenai objek konflik. Mediasi memerlukan keinginan dan keterlibatan pihak-pihak yang berkonflik dengan bantuan mediator (profesional). Negosiasi sebagai sebuah hubungan sementara, yang didalamnya terdapat tawar-menawar (bergaining) secara sukarela. Negosiasi dapat dilakukan secara rahasia –hanya diketahui pihak-pihak yang terlibat– atau secara terbuka –diketahui oleh masyarakat. Terdapat beberapa tujuan spesifik dari mediasi, antara lain: menciptakan win-win solution; memfokuskan diri lebih ke mana depan daripada sebaliknya; kontrol hubungan; menyediakan pilihan-pilihan alternatif penyelesaian konflik; mencari kesepakatan yang memuaskan bersama.71

Pemikiran diatas hendak menjelaskan tentang resolusi konflik sebagai suatu metode penyelesaian konflik yang berlangsung atas dasar keinginan bersama pihak-pihak yang berkonflik untuk bernegosiasi (perundingan antara kedua belah pihak), dan atau melalui mediasi (perundingan antar kedua pelah pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral) membangun kesepakatan atau konsensus bersama. Dengan demikian, maka sebuah penyelesaian konflik merupakan sebuah kesepakatan bersama antar pihak-pihak yang berkonflik melalui proses negosiasi dan mediasi.

70

H.Miall, dkk.“Resolusi Damai Konflik Kontemporer:menyelesaikan, mencegah, mengelolah, dan mengubah konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras.(Jakarta:PTRaja Grafindo Persada, 2002),31-32

71


(26)

4.2.Rekonsiliasi

Dalam kamus bahasa Indonesia, rekonsiliasi (to reconsile) merupakan upaya membangun kembali hubungan erat yang menenangkan, membereskan, menyelesaikan dan membawa seseorang untuk menerima. Rekonsiliasi juga berarti perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula.72 Dalam manajemen konflik, rekonsiliasi merupakan proses resolusi konflik yang mentransformasi ke keadaan sebelum terjadinya konflik, yaitu keadaan kehidupan yang harmonis dan damai.73

Berkaitan dengan model resolusi konflik, secara khusus rekonsililiasi, Menurut Wirawan merupakan proses tua yang berakar pada agama dan adat istiadat masyarakat.74 Ia mencontohkan masyarakat yang berbudaya islam, dimana rekonsiliasi terdiri atas beberapa ritual antara lain sebagai berikut: Fase pertama sulh. ritual memilih muslihs atau mediator yang dihormati keduabelah pihak. Kedua belah pihak mengakui telah terjadi perbuatan kriminal. Fase kedua Musalaha. Muslihs bekerja untuk menciptakan situasi yang saling memaafkan dan menyelesaikan. Kedua belah pihak wajib menghormati masyarakat (baik individu maupun komunal) bahkan ketika terjadi kejahatan. Fase ketiga rekonsiliasi. Ritual masyarakt dilakukan sehingga membawa masyarakat yang bersatu sebagai jaminan pemberian maaf. Model rekonsiliasi yang berbasis pada adat istiadat sebagai penyelesaian konflik mengingatkan kita tentang karakter bangsa Indonesia sebagai yang memiliki keberagaman budaya. Setiap budaya memiliki kearifan lokal (local wisdom) sendiri dalam menyikapi permasalahan hidup, termasuk didalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik.75

Selanjutnya, dalam studi konflik dan perdamaian, Johan Galtung membagi perdamaian menjadi dua tipe: positif dan negatif peace. Positif peace adalah keadaan dimana tidak adanya kekerasan langsung di tingkat struktural, sedangkan

72

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008)

73

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik…. (2010),197

74

Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik…. (2010),195.

75

Konjtaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1993),31


(27)

negatif peace adalah keadaan ketika kekerasan yang terjadi secara langsung sudah tidak ada lagi.76

Oleh Yulius Hermawan, kedua tipe perdamaian dalam pemandangan Galtung, dijabarkan kedalam tiga tahap proses penyelesaian konflik, antara lain:77 Pertama:

Peacekeeping, adalah proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan melalui intervensi militer78 yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral. Kedua, Peacemaking, adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan stategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. Ketiga,

Peacebuilding, adalah proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi (perubahan struktur dalam masyarakat yang menimbulkan ketidakadilan, kecemburuan, kesenjangan, kemiskinan dsb) demi terciptanya perdamaian yang langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan negative peace (atau the absence of violence) berubah menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif.

76

Johan Galtung and Carl G. Jacobsen, Searching for Peace: The Road to TRANSCEND, (Pluto Press: London, 2000).

77

Yulius Hermawan, Transformasi dalam studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007), 93

78

Lht. Jhon. Galtung. “Three Approaches to Peace: Peacekeeping, Peacemaking, and Peacebuilding””. In Editor, J. Galtung. Peace, War and Defence: Essays in Peace Research. (Copenhagen: Christian Ejlders, 1976),284-288, Ia meneliti tentang pola-pola intervensi PBB selaku pihak ketiga dalam penanganan konflik struktural, peran militer sebagai peacekeeping cenderung bersifat memihak. Namun tidak sertamerta Galtung menolak pendekatan ini, baginya, peacekeeping dapat efektik menghentikan konflik horizontal ketika peacekeeping bisa mengambil posisi seperti dinding perbatasan antara kedua belah pihak yang berkonflik dengan menolak kekerasan dari dalam.


(28)

B. PELA GANDONG

1. Sejarah pembentukan dan Pemaknaan Pela Gandong

Ikatan pela hanya dapat di Maluku Tengah mencakup wilayah pulau Ambon dan pulau-pulau lease (Saparua, Nusa Laut, Seram). Dieter Bartles membuat suatu rekonstruksi yang bersifat etnohistoris, dia memulai rekonstruksi tersebut di masa sebelum ekspansi Islam ke Maluku Tengah, dari suatu masa yang disebut “masa perburuan kepala manusia“, kemudian masa ekspansi Islam lau berakhir pada waktu bercokol orang Belanda di Maluku.79

Hubungan pela yang dibangun di Maluku Tengah dalam rekonstruksi Bartles, dikembangkan oleh John Chr. Ruhulessin80. Ia membagi tahap-tahap pembentukan pela dalam 3 Fase, yaitu: sebelum masuknya Islam Kristen; masa masuknya Islam-Kristen dan sesudah masuknya Islam Kristen; masa sesudah masuknya kolonialisme Protugis dan Belanda. Kronologis ketiga fase tersebut, sebagai berikut:

1.1.Masa sebelum masuknya Islam.

Asal mula Pela di Maluku Tengah berkaitan dengan kehidupan sosial yang berkembang di masyarakat Nunusaku di Pulau Seram. Perkembangan kehidupan sosial masyarakat Nunusaku yang dari satu segi mengalami pertumbuhan penduduk yang mengakibatkan keterbatasannya ketersediaan dan pengelolaan sumberdaya alam. Perkembangan tersebut mengakibatkan perpecahan dan terjadi migrasi kelompok suku, selain ke daerah timur maupun barat pulau itu, juga ke arah Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease. Proses migrasi cenderung mengakibatkan peperangan antar kelompok (Patasiwa dan Patalima) bahkan internal kelompok sebagai upaya untuk mempertahankan diri dan perebutan wilayah kekuasaan.81

79

Dieter, Bartels. Guarding the Invisibles Mountain; Inter-village Alliences, Religious Syncretism and Ethnic Identity Among Ambonese Christian and Moslems In The Moluccas. (Ithaca: Cornell University (Ph. D. Dissetation),24

80

John.Chr. Ruhulessin,. Etika Publik: Menggali dari Tradisi Pela di Maluku. (Salatiga: Satya Wacana University Press-Program Pasca Sarjana Program Studi Sosiologi Agama. 2007),155-170

81

C.M.Pattiruhu dkk. Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon, Ambon: Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 1997, 8. Salah satu contoh perpecahan internal (serumpun) yang terjadi yakni dalam rumpun Patasiwa: Patasiwa Putih dan Patasiwa Hitam. Untuk mengantipasi perpecahan tersebut maka dibentuklah Lembaga Pendidikan Kakehang. Peperangan sering diatasi dengan Ikrar atau perjanjian yang selalu disertai dengan nyanyian atau “Kapata” yang hidup di


(29)

Cerita tentang pemisahan yang terjadi dalam wilayah Pulau Seram itu sering dikaitkan dengan tiga batang Air Tala Eti Sapalewa. Tempat ini menjadi tempat terpisahnya adik dan kakak. Contohnya, adik-kakak sekandung yang memutuskan tinggal berpisah, sebagian di Seram, Saparua, pulau Ambon. Begitu juga antara adik-kakak sekandung (berbeda ayah) yang memutuskan tinggal di pulau Ambon dan di Nusa laut. Faktor yang berfungsi menyatukan mereka terletak pada kesadaran mengenai ikatan genealogis (satu nenek moyang) dan teritorial (pernah menetap pada satu tempat). Dengan demikian, maka jenis hubungan pela yang menonjol terbangun pada masa ini dapat dipahami sebagai ikatan persaudaraan antar negeri-negeri (terpisah secara teritorial) namun berasal dari satu nenek moyang.

1.2.Masa masuknya Islam-Kristen.

Pada masa ini, hubungan pela antar dua negeri yang pertama-tama terbentuk yakni antara negeri Passo dan Batu Merah. Pembentukannya terjadi pada masa pemerintahan kerajaan Ternate yang pada saat itu telah berhasil membangun kekuasaannya hingga mencapai sebagian pesisir pulau Ambon. Ikatan tersebut dimulai ketika kora-kora (perahu) milik orang Passo mengalami kecelakaan sehingga hampir menenggelamkan orang serta isinya. Pada saat itu datang bantuan dari orang Hatukau (Batu Merah) sehingga mereka (Passo) terselematkan. Semenjak itulah diangkat janji disertai sumpah yang mengikat keduanya sebagai orang yang berpela. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa latar belakang terbentuknya hubungan pela pada masa ini secara khusus bukan karena faktor geneologis melainkan oleh adanya sebuah peristiwa penting yang dialami bersama antara negeri yang berpela.

1.3. Masa setelah Pemerintahan VOC.

Hubungan pela yang terjadi antara negeri Waai dan Kaibobu82; Hatuhaha (Pulau Haruku) dan Tuhaha (Pulau Saparua); Hatuhaha dan Oma; Hatuhaha dan

Pulau Seram yang selanjutnya menjadi prototype dari pela gandong. Implementasi makna perjanjian pela ditandai dengan saling berpeluk atau berciuman dengan mengosokan hidung (antar wanita) atau saling menepuk bahu sebagai tanda saling mengasihi dan akrab dalam persaudaraan sekandung dan persahabatan sejati.

82


(30)

Tihulale. Hubungan pela terbangun pada masa berlangsungnya perang Hongi (abad 17-18) yang bergerak dan beroperasi pada wilayah sekitar seram-Leihitu di pulau Ambon. Diperparah dengan hadirnya para bajak laut orang Tobelo yang melakukan perampokan barang dan manusia untuk dijadikan budak. Hal tersebut tidak menguntungkan bagi masyarakat Kaibobu di pesisir pulau Seram Barat yang sebagian besar nelayan. Untuk menghadapi persoalan itu, Raja Kaibobu memutuskan untuk meminta bantuan dari VOC agar dibangun sebuah pos keamanan di daerah pesisir. Di situlah Raja Waai membantu dengan mempertemukan Raja Kaibobu dengan Pihak VOC di Benteng Victoria (Kota Ambon). Atas kebaikan budi itu maka Kaibobu mengangkat Waai sebagai

saudara-pelanya.

Lebih lanjut, Pattiruhu, C.M (et al) memberikan catatan tambahan bahwa pada masa VOC ini, terbentuk juga pela antara negeri akibat perlawanan terhadap VOC sendiri. Misalnya, pela antara Ema dan Ameth; Iha (Islam) dan Samasuru (Kristen). Dikisahkan bahwa ketika penduduk Iha terhalau oleh Belanda, mereka melarikan diri ke Seram. Akan tetapi di sana mereka menghadapi penduduk Seram. Hanya dengan batuan orang Samasuru, orang Iha diselamatkan.83

Selain itu, pada rentanan abad ke-20 juga terbangun hubungan pela: Galala (Negeri Kristen) dan Hitu Lama (Negeri Islam) di tahun 1959. Relasi pela ini dibangun karena kebiasaan bekersajama antara raja dan masyarakat kedua negeri. Ada juga, hubungan pela yang terbangun antara beberapa negeri, di Ambon dengan negeri-negeri di pantai Seram. Hubungan ini terbangun karena situasi ekonomi yang memburuk di kalangan para penduduk Maluku Tengah. Ambon menjadi wilayah kekurangan makanan, terutama sagu. Sedangkan Seram memiliki kelimpahan makanan, dan pohon sagu sehingga melalui saling membantu, bergotong royong maka hubungan pela terbangun.

Selanjutnya, ada juga hubungan pela yang terbangun atas motif kemanusiaan: cinta. Misalnya, negeri Nolot (di Pulau Saparua) dan Haruku. Dikisahkan, bahwa pada suatu saat bekas Raja Nolot berangkat ke Tulehu. Di tengah jalan, jangkar perahu Nolot terputus. Karena itu, perahu Nolot singgah di Haruku untuk meminjam jangkar. Raja haruku mengabulkan permintaan mereka. Raja Nolot

83


(31)

kemudian jatuh cinta pada puteri Raja Haruku. Sekembali dari Tulehu, raja Nolot singgah di Haruku dengan alasan ingin mengembalikan jangkar yang dipinjamnya. Pada saat itu raja Nolot menyampaikan isi hatinya pada raja Haruku. Kedua orang itu kemudian diizinkan menikah. Tetapi belum ditentukan kepastian tanggal menikahnya, dan ketika bekas raja Nolot itu datang kembali ke Haruku untuk menikah, tetapi ternyata puteri raja Haruku telah meninggal. Karena cintanya yang luar biasa, ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan upacara pernikahannya sekalipun dengan mayat. Tekad ini yang menyatukan kedua negeri, Nolot dan Haruku dalam ikatan hubungan berpela.

Perlu disampaikan pula, terkait dengan hubungan pela yang mengakomodasi penganut agama berbeda (Islam-Kristen). Dalam sejarah pela negeri Booy, Aboru, Kariuw, dan Huakoy, yang terbangun sebelum masuknya agama ke negeri-negeri ini, dan berkembang sampai saat masuknya agama ke Maluku. Persaudaraan natara negeri-negeri ini berawal dari migrasi di Nunusaku. Moyang mereka bersaudara dan saat migrasi terjadi, mereka melakukan perjalanan bersama menelusuri air (sungai) Tala dan tinggal di Wae Tuni. Karena kurang betah, mereka pindah ke daerah selatan, menetap di dusun Wae Lei. Migrasi tetap mereka lakukan ke desa-desa lainnya, dan akhirnya tiba di Nunu Hatu. Di tempat itu, mereka berpisah, dan sebelum itu mereka bersumpah “Kapala Soka, Nusa Soka Mo Tasio Kusue, Nusa Kusue Mo“, artinya “Meskipun kami berpisah ke

berbagai tempat seperti kapal berlayar, namun persekutuan persaudaraan tetap utuh bagaikan sebuah pulau di tengah samudera“.

Ikatan pela keempat negeri ini semakin mengental sejak peristiwa perang Mosol Amaika (±14). Amaika (negeri Islam) adalah nama sebuah negeri yang terletak di pedalaman bagian timur pulau Haruku. Negeri ini merupakan salah satu pusat perdagangan yang strategis di pulau Haruku; tempat penukaran hasil Hutan: rotan, damar antara orang pribumi dengan pedagang dari China, dan juga dengan pedagang dari kepulauan Banda yang beragama Islam.

Peperangan saat itu disebabkan karena beberapa hal seperti, perampokan, pembunuhan, dan ancaman kekerasan yang sering dilakukan orang-orang Amaika terhadap orang-orang kariuw dan Aboru. Panglima perang negeri Aboru menahan gempuran pasukan Amaika. Tetapi karena kesaktian panglima Amaika, maka


(32)

panglima Aboru meminta bantuan dari ketiga saudaranya, yaitu: Kariuw, Booy, Hualoy. Mereka berkumpul dan mengatur strategi perang mereka. Akhirnya panglima Amaika berhasil dibunuh panglima Aboru. Seluruh penduduk kota Amaika dibunuh, dan semua bangunan dibakar habis.

Aspek yang menonjol yang mewarnai hubungan pela di Maluku Tengah hingga saat ini adalah kerjasama untuk membangun rumah ibadah milik anggota dari saudara pela. Dari pengalaman itu, ditemukan bahwa hubungan Islam dan Kristen di Maluku bersifat ambigu: satu sisi hormanis dan tidak harmonis. Ketidak harmonisan diperparah dengan konteks masuknya penjajah belanda yang melanggengkan pola-pola hubungan yang tidak saling menghormati. Sisa-sisa dari hubungan seperti itu telah mengatur hubungan Islam dan Kristen di Maluku dalam kemelut sejarah yang kelam dan suram.

Berdasarkan tinjauan perkembangan hubungan pela, ditemukan bahwa sesungguhnya esensi dari pela ini menerangkan hubungan antar saudara yang terbatas pada klan atau suku terkait. Latar belakang pemahan ini menimbulkan persekutuan pela di mana jumlah anggota-anggota dikenal dengan dengan bi-negeri dan multi-bi-negeri.84 Persekutuan bi-negeri terbentuk karena konteks tertentu seperti perang dan saling menolong tanpa faktor kedekatan geneologi. Sedangkan persekutuan pela multi-negeri cenderung memiliki latar belakang mengenai hubungan-hubungan geneologi.

Nilai dari persekutuan itu dihidupi dan tampak dari tindakan mereka yang saling membantu untuk menyelesaikan persoalan masing-masing. Aspek lain yang penting juga adalah makna dari pela sebagai saudara menempatkan masing-masing anggota pela dalam posisi yang setara, harus dihormati, saling membutuhkan (mutual). Tindakan kepada orang lain diartikan sama dengan terhadap dirinya sendiri.

2. Pela Gandong Dalam Tatanan Struktur Sosial Masyarakat Ambon

F.Sahusilawane mengelompokan susunan masyarakat Ambon (Pulau Ambon) berdasarkan ukuran geneologis atau keturunan dan ukuran teritorial atau

84

Lht. C.M. Pattiruhu, dkk, Seri Budaya Pela Gandong dari Pulau Ambon… (1997),25-26. Persekutuanan bi-negeri antara lain: perserikatan Halong, Hitu, Hukurila-Kilang. Dan persekutuan multi-negeri: antara Tulehu, Tial, Asilulu, Hulaliu, Paperu, SIla dan Laimu.


(1)

terjadi karena pihak yang berkonflik perupaya mengumpulkan, mendapatkan dan menggunakan kekuasaan untuk menggolkan tujuan atau ideologinya; konflik agama atau konflik diantar pemeluk (individu-komunitas) yang bukan karena dasar perbedaan ajaran atau kitab suci agama, seperti perang salib.

Agama juga dapat dimanfaatkan atau menjadi alat ideologi golongan tertentu untuk pencapaian tujuan politik, ekonomi, dan sosial dari satu kelompok atau individu tertentu. Disini, agama bersangkut paut dengan politik ideologi; konflik sosial atau konflik karena latar multidimensi (kemiskinan, ketidakadilan, perbedaan cultural, perbedaan pandangan dan sikap hidup dsb) konflik sosial dapat menimbulkan streotipe, prasangka, stigma, curiga atau kecemburuan antar suku, seperti konflik Maluku.

Konflik alamiah karena adanya penyebab atau “kondisi objektif”, antara lain: keterbatasan sumber; tujuan yang berbeda; saling tergantung; sistem imbalan yang tidak layak; beragam interaksi sitem sosial: perbedaan agama, suku, ideologi. Penyebab konflik lainnya juga, seperti: ada rasa dipisahkan, dibedakan, dianaktirikan dari suatu kebersamaan; tidak ada interaksi antar anggota kelompok; ada perbedaan posisi dan peran para anggota kelompok; ada kelangkaan kebutuhan dan keinginan terhadap sumber daya yang membuat banyak orang merasa tidak puas atas ketidakadilan distribusi sumber daya tersebut.

Konflik mempunyai pengaruh atau berdampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia baik secara individu maupun kelompok. Dampak positif, yakni menciptakan perubahan, pesamaan hak; membawa objek konflik kepermukaan; memahami orang lain lebih baik, memahami adanya perbedaan pendapat, pola pikir, dan karakter; konflik menyebabkan revitalisasi norma. Sedangkan Pengaruh negatif, yakni seperti menurunnya produktifitas karena hilangnya jam kerja, penurunan kesehatan fisik dan jiwa; merusak hubungan komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat konflik; menciptakan rasa tidak tenang, marah, benci, antipasti dan agresi terhadap lawan konflik; merusak sistem organisasi; kerusakan sistem menciptakan sinergi negatif; menurunkan mutu pengambilan keputusan karena kebuntuan diskusi, fitnah, agresi, sabotase dan hilangkanya rasa saling percaya.


(2)

Konflik sebagai suatu proses sirkul yang berawal dari adanya sesuatu yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik-objek konflik-sampai terjadinya solusi. Secara bertahap, konflik berproses dari Penyebab Konflik; Laten atau tidak terlihat; Fase Pemicu; Fase eskalasi; Fase Krisis; Fase resolusi konflik; Fase Pasca Konflik.

3. Serangkaian upaya menggiring konflik kearah yang positif atau membangun memerlukan suatu instrument pengelolaan konflik. Manajemen konflik menjadi alat yang penting untuk pihak-pihak yang berkonflik untuk belajar mengenali konflik dan cara mengelolah konflik itu. Manajemen konflik merupakan proses pihak-pihak yang berkonflik menyusun strategi konflik dan diterapkan untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Strategi konflik sebagai bagian dari upaya manajemen konflik merupakan langkah-langkah penanganan konflik yang terarah pada penyelesaian atau sebaliknya tidak menyelesaikan konflik.

Manajemen konflik bertujuan untuk mengarahkan fokus pihak-pihak berkonflik terhadap visi-misi dan tujuan sebuah organisasi; memahami orang lain dan menghormati keragaman; meningkatkan kreatifitas; meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkan pemikiran berbagai informasi dan sudut pandang; memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman bersama, dan kerjasama; menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik.

Adapun strategi konflik atau gaya manajemen konflik, diantaranya: pertama, memaksa, konfrontasi, kompromi, menarik diri, mengakomodasi; kedua, kompetisi, kolaborasi, kompromi, menghindar, mengakomodasi; ketiga, dominasi, integrasi, kompromi, menghindar.

4. Terakhir, resolusi konflik dapat dipahami sebagai rangkaian tindakan yang dimulai dari penguraian suatu permasalahan, pemecahan, hingga penghapusan atau penghilangan permasalahan. Resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah konflik, dapat dilakukan bersama dalam kerjasama pihak-pihak yang terlibat konflik (dan atau melalui pihak ketiga dengan persetujuan pihak-pihak yang terlibat konflik). Resolusi konflik sebagai bagian dari manajemen konflik, yakni sebagai sebuah metode


(3)

penyeleasian konflik yang bisa digunaka oleh pihak-pihak yang teliba konflik atau melaui intervensi pihak ketiga. Metode resolusi konflik, diantaranya yakni: mediasi, negosiasi untuk mengasilkan kesepakatan bersama menciptakan win-win solution, fokus kemasa depan, memfokuskan diri lebih ke mana depan; kontrol hubungan; menyediakan pilihan-pilihan alternatif penyelesaian konflik.

Salah satu metode resolusi konflik yang lain, yakni rekonsiliasi. Rekonsiliasi merupakan upaya membangun kembali kerekatan hubungan, membereskan, dan menyelesaikan konflik. Rekonsiliasi adalah bentuk akomodatif dari pihak-pihak yang terlibat konflik destruktif untuk saling menghargai satu sama lain, menyingkirkan rasa sakit, dendam, takut, benci, dan bahaya terhadap pihak lawan. Rekonsiliasi merupakan Wirawan adalah proses tua yang berakar pada agama dan adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat atau budaya Indonesia memiliki kearifan lokal penyelesaian konflik. Rekonsiliasi atau perdamaian terbagi dalam dua tipe: positif dan negatif peace. Keduanya dijabarkan dalam tiga tahap, yakni: Peacekeeping, Peacemaking, dan Peacebuilding

5. Budaya Pela Gandong merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Ambon (Maluku). Rekonstruksi sejarah hubungan Pela Gandong, dimulai dari masa sebelum masuknya Islam, yang berkembang seturut dengan kemajuan masyarakat Nunusaku (Pulau Seram). Hubungan pela yang terbangun pada masa ini dapat dipahami sebagai ikatan persaudaraan antar negeri-negeri (terpisah secara teritorial) namun berasal dari satu nenek moyang (jenis Pela Gandong); pada masa masuknya Islam-Kristen. Hubungan Pela terbangun bukan karena faktor geneologis melainkan oleh adanya sebuah peristiwa penting yang dialami bersama antara negeri yang berpela; masa setelah Pemerintahan VOC. Hubungan pela terbangun pada masa ini dilatari pada hubungan kemanusiaan, saling tolong-menolong dan kerjasama saat peperangan melawan VOC (Jenis Pela Tuni, Keras, Darah, Tampa-siri).

6. Pela Gandong dalam sistem sosial masyarakat Maluku adalah sebuah jaringan persekutuan antar masing-masing kelompok (negeri). Hakekat hubungan Pela


(4)

Gandong yang mengakomodir atau mengintegrasikan masyarakat Maluku yang berbeda agama (Islam-Kristen) dan etnis dalam perserikatan yakni nilai Gandong: Sekandung atau sebagai “orang basudara“. Orang Maluku terikat dengan kesepakatan bersama melalui perjanjian “angkat sumpah“ Pela yang menjadi hak dan kewajiban atau seperangkat aturan yang harus ditaati oleh seluruh komponen masyarakat berpela Gandong. Makna kemanusian dalam Pela Gandong membentuk hakekat manusia Maluku yang setara dan solider. Pela Gandong juga menjadi alat, media penyelesaian masalah (konflik) internal sekutu Pela Gandong.

7. Pela Gandong memiliki fungsi sosial, menghubungkan seluruh anak negeri, orang asli-pendatang dalam wilayah kedua komunitas yang berPela Gandong. Fungsi dan peranan Pela Gandong bagi masyarakat, yakni: pertama, negeri-negeri yang yang terikat dalam hubungan pela saling membantu dalam saat-saat krisis (perang atau bencana alam); kedua, jika dibutuhkan satu negeri berpela harus membantu sekutu pela nya dalam menangani proyek-proyek bersama masyarakat, seperti pembangunan gereja, mesjid dan sekolah; ketiga, saat seseorang mengunyungi negeri pelanya, ia berhak mendapat makanan dan ia tidak perlu meminta ijin untuk memenuhi kebutuhannya akan hasil-hasil pertanian sehingga ia dapat membawanya pulang; keempat, semua anggota negeri yang termasuk dalam hubungan berpela diperlakukan sebagai satu darah.

8. Pela Gandong sebagai adat istiadat mengungkapkan jatidiri dan identitas orang Maluku sebagai “orang basudara“ yang menghargai, menerima keragaman (kemajemukan) eksistensi individu-komunitas terlestarikan dan terwariskan dalam ritus panas pela atau “pembaruan pakta Pela“ Ritual panas pela dilaksanakan secara periodik dan juga manakala hubungan antara kedua pihak mengalami persoalan-persoalan tertentu yang perlu diputuskan dan diselesaikan.

9. Manusia adalah insan yang beragama dan berbudaya. Agama dan Budaya bertumbuh dan berkembang dalam konteks bermasyarakat. Keduanya dapat membedakan individu-komunitas. Tetapi juga saling terkait sebagai piranti pembentukan identitas individu-komunitas. Agama dan budaya memiliki


(5)

mekanisme ritual (berdimensi spiritual) yang memfasilitasi kedekatan dengan yang transenden dan mengatur pola pikir atau pandangan dan perilaku masyarakat (nilai budaya universal juga terdapat dalam agama). Karena itu, dimensi nilai dalam agama dan budaya yang menjadi faktor penting dalam interaksi manusia yang dapat dipelajari, dipahami dan dikembangkan sebagai pedoman membentuk karakter manusia (hakekat manusia). Dimensi spiritual dalam agama dan budaya masyarakat, dapat berkontribusi dalam menyikapi dilema konseling dalam masyarakat majemuk (konteks Indonesia).

10. Konseling merupakan relasi pertolongan, dan pemberdayaan antar sesama (konselor-konseli). Keberhasilan proses konseling ditentukan oleh pandangan bahwa manusia (konseli) adalah orang yang berharga, karena itu harus dicintai. Perwujudan cinta kasih dalam proses konseling adalah tentang bagaimana memperhatikan orang lain dengan kehadirannya, penuh perhatian, menghargai, mendengarkan, saling bekerjasama, bersikap lembah lembut, ramah dan penuh kehangatan, serta menyatakan empati yang tepat, tidak berpura-pura.

11. Konseling Lintas Agama dan Budaya merupakan suatu proses pemberian bantuan: menolong antara konselor dan konseli (individu-komunitas) yang berbeda latar belakang agama dan budaya. Perbedaan-perbedaan memungkinkan terjadinya interaksi antar budaya yang berbeda. Olehnya itu, konseling menurut supriadi adalah perjumpaan antar budaya. Menyikapi aspek persamaan budaya, konseling lintas agama dan budaya juga dapat terjadi atas dasar pemahaman bahwa individu-komunitas berbudaya tetapi memiliki keunikan (sifat unik budaya).

12. Konseling lintas agama dan budaya harus mempertimbangkan aspek latar belakang agama dan budaya, dan nilai-nilai yang dianut konselor dan konseli. Latar belakang tersebut mempengaruhi dan menentukan proses, pendekatan dan teknik konseling. Artinya, berbagai pendekatan yang telah berkembang secara historis dan dalam konteks budaya barat (Individualtistik) dapat kurang sesuai dan bahkan menghambat proses konseling khusus dalam konteks Indonesia yang memiliki sifat-sifat budaya yang kolektif. Karena itu,


(6)

konseling lintas agama dan budaya mesti memperhitungkan pendekatan-pendekatan yang bersumber dari budaya asli masyarakat.

13. Konselor lintas agama dan budaya juga harus memiliki kompetensi atau ketrampilan yang berwawasan lintas agama dan budaya, diantaranya yakni, sadar dan menerima perbedaan dan persamaan nilai-nilai sosio-budaya yang dimiliki konselor-konseli; sadar tentang kaidah, terutama tentang implementasi pendekatan-pendekatan dan teknik konseling; konselor dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekatan eklektik; kesadaran konselor akan nilai-nilai budaya yang dimiliki konseli dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling; menjadi pengetahuan, terkait dengan budaya yang sebaiknya harus dikembangkan dan tentang bagaiman konteks sosio-politik dan sosio-budaya dari kelompok etnis tertentu mempengaruhi proses konseling, dan keterampilan membangun hubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB VI

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB V

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB IV

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB I

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Simbol dan Rekonsiliasi Gong Perdamaian Dunia sebagai Simbol Rekonsiliasi Lintas Agama di Ambon T2 752015017 BAB II

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ain Ni Ain sebagai Pendekatan Konseling Perdamaian Berbasis Budaya T2 752015029 BAB II

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB II

0 0 25

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Media Sosial sebagai Ruang Publik Komunitas MudaMudi dalam Ancaman Konflik Ambon Akibat Segregasi T2 BAB II

0 1 32