Lindung Nilai Sarana Hukum Menjaga Stabilitas Perekonomian (Studi Tentang Pengaturan Kewajiban Lindung Nilai)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Krisis ekonomi tahun 2008 menyebabkan kurs rupiah terdepresiasi terhadap valuta
asing. 1 Dampak dari krisis tersebut tidak hanya dirasakan di Indonesia tapi juga hampir di
seluruh negara dan memicu terjadinya resesi ekonomi dunia. Di Indonesia krisis ini telah
membawa peta perubahan dalam transaksi derivatif. 2 Terutama derivatif valuta asing (foreign

1

Krisis global tahun 2008 diawali dengan terjadinya kredit macet subprime mortgage di Amerika Serikat.
Bank investasi Lehman Brothers yang sudah berusia 158 tahun mengajukan kebangkrutan pada 15 September 2008.
Kebangkrutan ini adalah yang terbesar dalam sejarah Amerika Serikat, Lehman Brothers mencatat kerugian sekitar
USD 3,9 miliar pada triwulan III-2008 menyusul beberapa kejadian penghapusan buku pada aset kredit perumahan
yang
dipegang
perusahaan
ituAkses
internet
terakhir

dikunjungi
11
Desember
2014,
http://www.ciputraentrepreneurship.com/ amankan-bisnis/Lehman Brothers Kebangkrutan Terbesar Dalam Sejarah
Bisnis Amerika Serikat
2
Dalam disertasi ini penulis menggunakan istillah derivatif dan transaksi derivatif secara bergantian tetapi
dengan pengertian dan maksud yang sama. Para ahli sejarah telah menemukan bahwa transaksi derivatif telah terjadi
semenjak tahun 2000 SM yang terjadi di pulau Bahrain. Sejenis kontrak dengan elemen penyerahan kemudian
(future delivery) ditemukan juga di Mesopotamia 4.000 tahun yang lalu. Future contract juga ditemukan di Inggris
pada tahun 1275. Tulisan lain ada yang menyebutkan bahwa pasar komoditas yang diatur (regulated) juga ada si
China, Mesir, Arabia dan India pada tahun1600-an perdagangan atas “kupon” beras juga terjadi di Jepang pada abad
ke-19. Di dalam zaman modern telah berkembang pula derivatif valuta asing (foreign exchange derivative). Sistem
nilai tukar tetap (fixed exchange rates) kemudian menjadi sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rates)
telah mengakibatkan timbulnya pemikiran untuk melakukan perlindungan terhadap fluktuasi tingkat suku bunga dan
nilai kurs dengan menggunakan future contracts dengan cara yang sama digunakan untuk melindungi fluktuasi
harga komoditi lebih dari satu abad yang lalu, Bismar Nasution, Aspek Hukum Transaksi Derivatif, Makalah pada
Seminar Sehari Solusi Hukum dan Ekonomi Produk Derivatif Perbankan Case Study Structure Product, (Makalah
dalam seminar sehari, Grand Angkasa Hotel Medan, Kamis 02 Oktober 2009), hal 3. Dalam Wikipedia bahasa

Indonesia, Insiklopedia bebas memberi defenisi Derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran
pembayaran yang nilainya diturunkan atau berasal dari produk yang menjadi acuan pokok atau juga produk turunan
(underlying product);daripada memperdagangkan atau menukarkan secara fisik suatu asset atau suatu nilai disuatu
masa yang akan datang dengan mengacu pada aset yang menjadi acuan pokok. Bandingkan dengan pendapat Edi
Broto Suwarno, Derivatif adalah sebuah istilah portofolio yang mengaitkan suatu kenaikan jumlah produk dan jenisjenis produk dengan seperangkat penggunaan yang semakin yang semakin membingungkan. Kelompok-kelompok
orisinil dari produk yang dianggap derivatif telah diperluas untuk mencakup: produk baru, klasifikasi produk baru,
pasar-pasar baru, dan bentuk risiko baru. Dua klasifikasi terbesar dari derivatif adalah derivatif berbasis forward
(forward based derivatives) dan derivatif berbasis Option (options based derivatives), Edi Broto Suwarno, Derivatif:
Tinjauan Hukum Dan Praktek Di Pasar Modal Indonesia, Makalah yang disampaikan dalam Finance Law
Workshop: Derivatives Transaction (Jakarta, Hotel Borobudur, tanggal 21 September 2003), Selanjutnya di Broto
Suwarno menyebutkan: Transaksi derivatif merupakan perjanjian antara dua pihak yang dikenal dengan
counterparties (pihak-pihak yang saling berhubungan), hingga dalam istillah umum, transaksi derivatif adalah
sebuah kontrak bilateral atau perjanjian tukar menukar pembayaran yang nilainya tergantung pada-diturunkan darinilai asset, tingkat referensi atau indeks. Saat ini, transaksi derivatif terdiri dari sejumlah acuan pokok (underlying)
yaitu suku bunga (interest rate), kurs tukar (currency), komoditas (commodity), ekuitas (equity) dan indeks (index)
lainnya. Menurut para dealer dan penggunaan akhir (end user fungsi dari suatu transaksi derivatif adalah untuk
melindungi nilai (hedging) beberapa risiko tertentu. Bandingkan Ricardo Simajuntak, Transaksi derivatif adalah

exchange derivative atau disebut juga forex derivative). Ketidakpastian muncul ketika rupiah
terdepresiasi 30,9% dari Rp 9.840,- per Januari 2008 menjadi Rp 12.100,- per November 2008
dengan volatilitas yang tinggi. 3 Akibat volatilitas yang tinggi tersebut memunculkan masalah

hukum kontrak derivatif. Masalah hukum dimaksud adalah terungkapnya status produk derivatif
valuta asing (foreign exchange derivative) yang ditawarkan bank kepada nasabah ternyata bukan
merupakan lindung nilai (hedging) 4 melainkan produk spekulatif, antara lain structured product.
Tujuan lindung nilai adalah untuk menetralkan risiko atas posisi terbuka assets dan
liabilities terhadap harga pasar yang berlawanan dengan posisi terbuka tersebut dengan cara
mengalihkan risiko terhadap pihak lain. 5

Berbeda dengan lindung nilai, tujuan structured

product adalah untuk mendapatkan tambahan pendapatan (income atau return enchancement)
yang dapat mendorong transaksi pembelian atau penjualan valuta asing (valas) terhadap rupiah
untuk tujuan spekulatif yang diharapkan dari ketidakstabilan rupiah. Budi Mulya mengatakan
pada tahun 2009, produk terstruktur (structured product) yang bernuansa spekulatif tercatat
sebesar Rp.6,9 triliun atau 1,7 % (persen) dari total produk derivatif. Pada Desember 2008 total
transaksi Rp.40,9 triliun dari total nilai produk derivatif yang mencapai Rp.60-70 triliun. 6
Transaksi tersebut terus menurun setelah Bank Indonesia melakukan pelarangan terhadap jenis
upaya lindung nilai (hedging) atau manajemen risiko. Kausa dibedakan atas kausa subjektif dan kausa objektif.
Kausa subjektif adalah kausa ataupun sebab dari terjadinya suatu kontrak yang didasari oleh keinginan ataupun
tujuan dari pihak yang berkontrak (subjek hukum tersebut). Sementara kausa objektif adalah kausa yang didasarkan
apa sebenarnya alasan hakiki yang mendasari (dasar prestasi) terjadinya transaksi yang diperjanjikan tersebut,

Ricardo Simajuntak, Aspek Yuridis Transaksi Derivatif di Indonesia, hal 1. selanjutnya Bismar Nasution, Op.Cit.,
hal 4, Beberapa yang hal yang dapat disimpulkan dari sebuah transaksi derivatif adalah:a.transaksi derivatif
merupakan instrument keuangan (financial instrument); b.Transaksi derivatif merupakan instrumen untuk
memperdagangkan risiko (trading risk); c.Nilai transaksi derivatif merupakan turunan dari nilai instrumen yang
mendasarinya; d;Transaksi derivatif dapat diikuti dengan atau tanpa pergerakan dana; e;Transaksi derivatif
merupakan suatu kontrak.
3
Akses internet terakhir dikunjungi 12 Desember 2014, http://finance.detik.com/read/2013/08/28/
153840/2343208/6/ ini penyebab dari krisis di 2008 miripkah dengan kondisi sekarang
4
Dalam disertasi ini penulis menggunakan istillah lindung nilai dan hedging secara bergantian tetapi dengan
pengertian dan maksud yang sama.
5
Dian Ediana Rae, Transaksi Derivatif Dan Masalah Regulasi Ekonomi Di Indonesia, (Jakarta : Elex
Media Komputindo, 2008) hal 99.
6
Deputi Gubernur Bank Indonesia saat itu tahun 2009

produk ini mulai Desember 2008 karena dinilai telah memberikan tekanan terhadap nilai tukar
rupiah sehingga anjlok menembus Rp.12.000,-.

Krisis ekonomi tahun 2008 tersebut mengajarkan bahwa pengaturan derivatif khususnya
melarang produk spekulatif dan mewajibkan lindung nilai menjadi sesuatu yang penting agar
tidak menyebabkan terjadinya devatifobia atau adanya rasa takut untuk menggunakan fasilitas
produk derivatif. Pengaturan derivatif khususnya derivatif valuta asing secara sistematis dan
efisien tentunya akan membawa manfaat bagi kemajuan ekonomi dan stabilitas mata uang.
Dengan demikian penelitian yang berkenaan dengan transaksi derivatif valuta asing menjadi
penting didasari oleh alasan-alasan sebagai berikut :
Pertama, Negara seperti Indonesia yang menganut rezim nilai tukar mengambang bebas
(free floating exchange rate) akan cenderung mengakibatkan pergerakan nilai tukar mata uang
yang bersifat volatile. 7 Tekanan terhadap nilai tukar rupiah menyebabkan ketidakmampuan
nasabah dalam memenuhi kontrak derivatif valuta asing. Hal inilah yang kemudian menjadi
pengalaman memunculkan sengketa transaksi derivatif valuta asing di Indonesia. 8 Nasabah bank
menolak meneruskan kontrak derivatif valuta asing (unwind) dengan alasan bank menawarkan
produk untuk tujuan lindung nilai ternyata pada saat krisis diketahui sebagai produk spekulatif.
Nasabah merasa dirugikan dan melakukan gugatan kepada bank dengan mendalilkan bank
melakukan tindakan penyalahgunaan keadaan (“misbruik van omstandigheden”–“undue
influence”) 9. Peneliti mencatat beberapa kasus kontrak derivatif valuta asing (Foreign exchange

7


Imam Mukhlis,(Artikel) Analisis Volatilitas Nilai Tukar Mata Uang Rupiah Terhadap Dolar, Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Malang, hal 175.
8
David M.L.Tobing, Analisis Hukum Perlindungan nasabah Terkait Structured Product Perbankan (Study
Kasus), (Makalah dalam seminar sehari, Grand Angkasa Hotel, Medan 2 Oktober 2009), hal 2.
9
Di Negara-negara common law ajaran penyalahgunaan keadaan telah dikenal dalam dokrin equity. Dalam
kasus Lloyds Bank v. Bundy. Lord Denning MR mencoba menunjukkan bahwa penyalahgunaan keadaan bukanlah
dokrin yang benar-benar berdiri sendiri . Dokrin ini sebenarnya perluasan dari power of equity bagi pengadilan
untuk mengintervensi suatu perjanjian yang didalamnya terdapat suatu penyelahgunaan posisi yang tidak seimbang
diantara para pihak. Equity adalah doktrin yang membolehkan hakim untuk membuat suatu putusan yang didasarkan

derivative) sepanjang tahun 2009 di Indonesia menyebutkan bahwa nasabah tidak menyadari
bahwa transaksi derivatif yang ditawarkan bank adalah structured product yang mengandung
unsur spekulatif. Adapun beberapa kasus dimaksud yang menjadi perhatian publik antara lain :
Pertama, PT Toba Surimi Industries (Surimi), menggugat The Hongkong and Shanghai
Banking Corporation Ltd (HCBC) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. PT. Surimi
mengajukan gugatan pembatalan perjanjian derivatif yang pernah dibuat. PT. Surimi
menggugat HCBC sudah melakukan perbuatan melawan hukum karena menawarkan
structured product. Kedua, PT.Gunung Bintang Abadi menggugat PT.Bank CIMB Niaga,Tbk

(pada tingkat kasasi) atas transaksi jual beli valuta asing. PT.Gunung Bintang Abadi berdalil
sebagai pihak yang lemah dan wajib diberikan perlindungan nasabah dengan menyatakan bank
telah melakukan perbuatan penipuan yaitu dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan
yang tidak benar disertai dengan kelicikan sehingga pihak perusahaan terbujuk karenanya untuk
membuat perjanjian transaksi valuta asing dan bank telah melakukan penyalahgunaan keadaan.
Ketiga, PT.Nubika menggugat Standar Chartered Bank (SCB) 10 menyatakan bank telah
melakukan tindakan penyalahgunaan keadaan. Bank menawarkan structured product dengan
nama produk Callable Forward Option (CFO) yang ternyata produk spekulatif. Bank membuat
asumsi perhitungan-perhitungan yang menarik tetapi pada kenyataannya berbeda, PT.Nubika
merugi karena transaksi derivatif tersebut dan akhirnya PT.Nubika tidak mampu memenuhi isi
perjanjian dan menimbulkan sengketa. Keempat, PT.Citoputra Indoprima menggugat PT.Bank
CIMB Niaga,Tbk. PT. Citoputra Indoprima adalah distributor kertas yang pendapatannya dalam
rupiah, sehingga perusahaan tidak mempunyai persediaan uang dalam bentuk dollar Amerika

pada asas kepatutan, persamaan hak, hak moral, dan hukum alam. Lihat Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam
Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003) hal 19.
10
Kasus PT Nubika Jaya vs standard Chartered Bank (“SCB”)

("USD") untuk dijual kepada bank. Bank memberikan Fasilitas Transaksi Valuta Asing

berdasarkan Perjanjian Jual Beli Valuta Asing. Awalnya jenis fasilitas valuta asing yang
ditawarkan bank kepada perusahaan adalah Forward/Swap/Option dengan jangka waktu 12 (dua
belas) bulan. Kemudian bank menawarkan produk Callable Forward Transaction ("CFT").
Penawaran produk tersebut dilakukan dengan singkat dan hanya dijelaskan bahwa produk
tersebut adalah untuk tujuan lindung nilai yang menguntungkan bagi nasabah dan tidak
mengandung risiko kerugian tidak terbatas sehingga perusahaan tertarik dengan tawaran bank.
Kemudian dilanjutkan penandatanganan transaksi Confirmation For Callable Forward
Transaction untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Namun ketika krisis terjadi di tahun 2008
PT.Citoputra yang ingin mengakhiri transaksi tersebut diwajibkan membayar kewajiban dengan
nilai yang sangat besar yang tidak pernah dijelaskan oleh bank. Kelima,

PT. Esa Kertas

Nusantara (PT EKN) mengugat PT.Bank Danamon Indonesia,Tbk atas dasar perbuatan melawan
hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bank awalnya telah memberikan fasilitas kepada
PT EKN yaitu berupa Omnibus Trade Finance. Kemudian bank juga menawarkan melakukan
lindung nilai terhadap potensi penerimaan USD sebagai hasil penerimaan Ekspornya. Menurut
bank fasilitas dimaksud adalah fasilitas untuk melakukan transaksi derivatif yang pada akhirnya
diketahui sebagai produk spekulatif. Dalam aktivitasnya ternyata perusahaan gagal memenuhi
kewajiban pembayaran kepada bank sampai dengan tanggal jatuh tempo. PT EKN menyatakan

ketidakmampuannya untuk melunasi utang-utang yang telah jatuh tempo dan selanjutnya
mengajukan permohonan agar bank

melakukan restrukturisasi atau penjadualan ulang atas

utang-utangnya karena terkait dengan transaksi derivatif yang dilarang. Keenam, PT.Permata
Hijau Sawit (PHS) menggugat Citibank dengan menyatakan bank telah melakukan tindakan
penyalahgunaan keadaan. Dalam perjanjian pemberian fasilitas produk perbankan (Banking

Facility Aggrement) antara PT.Permata Hijau Sawit dan Citibank disebutkan transaksi Forex
derivatif dalam mata uang dolar Amerika (United States Dollar/USD). Kemudian Citibank
menawarkan stuctured product
lindung nilai melalui

yang diberi nama Callable Forward yang bertujuan untuk

karyawan PHS. Menurut PHS, bank menyatakan bahwa PHS tidak

mungkin merugi dan berdasarkan prediksi termin transaksi (Term sheet prediction) diasumsikan
rupiah tidak lebih dari Rp.10.000,-/USD. Sebagai tindak lanjutnya Confirmation letter

ditandatangani pada tanggal 5 September 2008 yang merupakan perjanjian untuk melakukan
transaksi callable forward. Dalam perjanjian tersebut PHS akan menyerahkan/menjual USD
kepada Citibank setiap minggu selama 52 minggu dengan ketentuan nilai USD yang sudah
dipatok di angka tertentu menggunakan istillah strike price. Perselisihan muncul ketika rupiah
terdepresiasi sehingga PHS harus menjual dua kali lipat dari jumlah USD yang harus diserahkan
kepada bank. PT.PHS menyatakan perjanjian mengandung ketidak seimbangan.
Kasus-kasus derivatif valuta asing yang muncul pada tahun 2009 tersebut diatas adalah
transaksi derivatif yang bernuasa spekulatif yang berbentuk structured product, tetapi
mengambil kamuflase transaksi tersebut seakan-akan sebagai lindung nilai. Transaksi tersebut
menyimpang dari tujuan lindung nilai yaitu memberikan kepastian nilai tukar. Latar belakang
bank menjual produk derivatif yang bersifat spekulatif di tahun 2008 adalah keinginan untuk
memperoleh keuntungan (profit oriented) dari keuntungan selain bunga bank (fee based income).
Hal ini berbeda dengan transaksi derivatif sebagai lindung nilai dimana kontrak atau perjanjian
pembayaran yang nilainya bergantung pada atau diturunkan dari suatu aset yang mendasarinya
(underlying asset), baik yang diikuti dengan pergerakan dana atau tanpa pergerakan
dana/instrument. 11

11

Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal xi.


Kedua, transaksi derivatif tidak mudah untuk dipahami, dan membutuhkan pengetahuan
serta keahlian yang memadai. Kegiatan transaksi derivatif harus sejalan dengan sifat usaha
perbankan yang mengandalkan prinsip kehati-hatian (prudential principles). Transaksi derivatif
dapat dijadikan spekulasi sehingga perlu menjadi perhatian bagi regulator hal-hal sebagai
berikut : 12
pertama, masalah risiko yang terkait dengan produk-produk derivatif, kedua,
ketidakpastian hukum sebagai akibat pengaturan yang tidak jelas atau tidak memadai
terutama meluruskan dan menegaskan transaksi lindung nilai sehingga terurai jelas antara
lindung nilai dan spekulasi, ketiga, kurang informasi bagi partisipan pasar dan regulator
(public disclosure), keempat, masalah perlindungan terhadap pengguna khususnya
pengguna yang bersifat retail atau unsophisticated (investor protection).
Berdasarkan pengamatan peneliti, perkembangan transaksi derivatif yang cepat dan
rumit, menyulitkan masyarakat awam membedakan antara spekulatif dan lindung nilai. Selain itu
juga mengundang berbagai persoalan hukum dalam praktik bisnis terutama: pertama, legalitas
dan manfaat dari produk-produk derivatif masih menjadi persoalan, kedua, kemungkinan
terjadinya asymmetric information antara pihak nasabah dan bank dalam perjanjian, ketiga,
dalam transaksi derivatif dibutuhkan pendalaman teknis yang rumit terdapat kekhususan dari
sifat jenis-jenis transaksi tertentu yang selama ini tidak dikenal dalam literatur hukum perdata.
Berdasarkan pengalaman kasus yang sudah terjadi, argumentasi hukum penyelesaian
mengandalkan penafsiran jurisprudensi yang telah ada maupun doktrin, sehingga keputusan
pengadilan berbeda atas kasus sejenis.
Ketiga, Pengaturan derivatif tidak mudah. Kesulitan pengaturan derivatif juga lebih
diperberat oleh sifat global dari transaksi derivatif. Transaksi derivatif merupakan bagian dari
pasar global yang memerlukan pendekatan dan solusi secara global. 13 Pengalaman krisis tahun
2008 menyebabkan regulator harus mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor
12
13

Ibid., hal 37.
Ibid., hal 152.

11/26/PBI/2009 yang ditetapkan pada 1 Juli 2009 tentang prinsip kehati-hatian dalam
melaksanakan structured

product bagi bank umum. PBI tersebut dikeluarkan untuk

mengantisipasi serta dijadikan pedoman yang jelas terkait dengan prinsip kehati-hatian,
manajemen risiko, serta aspek transparansi bagi bank yang akan melaksanakan kegiatan
structured product. Pasal 15 ayat (2) PBI menentukan bahwa, dalam melakukan kegiatan
structured product bank wajib menetapkan klasifikasi nasabah. Klasifikasi nasabah terdiri dari,
nasabah profesional, nasabah eligible, dan nasabah retail. 14 Regulator perlu mengawasi dan
mengatur transaksi structured product untuk melindungi konsumen karena tingkat risiko yang
tinggi. Peraturan pengaturan derivatif di Indonesia melarang produk derivatif yang mengandung
unsur spekulatif, tetapi belum pada tingkat mewajibkan orang untuk menggunakan produk
derivatif sebagai lindung nilai. Selain itu, peraturan di Indonesia masih dikeluarkan otoritas bank

14

Lihat juga Pasal 15 ayat (3), Nasabah digolongkan sebagai nasabah profesional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a apabila Nasabah tersebut memiliki pemahaman terhadap karateristik, fitur, dan risiko dari
Structure Product dan terdiri dari: a. Perusahaan yang bergerak dibidang keuangan, yang terdiri dari: 1.Bank,
2.Perusahaan efek, 3.Perusahaan pembiayaan, 4.Perdagangan Kontrak Berjangka, sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang perbankan, pasar modal, lembaga pembiayaan dan
perdagangan berjangka komoditi yang berlaku. b.Perusahaan selain perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a
yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1.memiliki modal paling kurang lebih besar dari Rp.20 miliar atau
ekuivalennya dalam valuta asing, dan, 2.telah melakukan kegiatan usaha paling kurang 36 bulan berturut-turut.
c.Pemerintah Republik Indonesia atau Pemerintah Negara lain, d.Bank Indonesia atau bank central Negara lain,
e.Bank atau lembaga pembangunan multilateral. Ayat (4) Nasabah digolongkan sebagai Nasabah eligible
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila Nasabah tersebut memiliki pemahaman terhadap karateristik,
fitur, dan risiko dari Structure Product dan terdiri dari: a.perusahaan yang bergerak di bidang keuangan berupa:
1.dana pensiun; atau 2.perusahaan perasuransian , sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan dibidang dana pensiun dan usaha perasuransian yang berlaku. b.perusahaan selain perusahaan
sebagaimana dimaksud pada huruf a yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; 1.memiliki modal paling kurang
Rp.5 miliar atau akuivalennya dalam valuta asing; dan 2.telah melakukan kegiatan usaha paling kurang 12 bulan
berturut-turut; dan c.Nasabah perorangan yang memiliki portofolio asset berupa kas, giro, tabungan, dan/atau
deposito paling kurang Rp.5 miliar rupiah atau akuivalennya dalam valuta asing. Ayat (5) Nasabah digolongkan
sebagai Nasabah retail sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c apabila Nasabah tersebut tidak memenuhi
kriteria sebagai nasabah professional dan Nasabah eligible. Pasal 16 Bank wajib melakukan pengkinian terhadap
klasifikasi Nasabah retail sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 apabila terdapat hal-hal yang dapat mengakibatkan
perubahan klasifikasi yang telah ditetapkan terhadap Nasabah dimaksud. Bandingkan dengan Perlindungan
konsumen perbankan seluruhnya berkaitan dengan pengaturan sektor publik dan hal tersebut memiliki alasan
tertentu. Menurut Dr.S.Sundari Arie, dalam tulisan berjudul Peranan Bank Indonesia sebagai Otoritas Perbankan
untuk mencegah dan Menangani Tindak Pidana di Bidang Perbankan, disebutkan : “… tiga alasan utama perlu
pengaturan pemerintah di sektor publik adalah : 1.Untuk melindungi nasabah bank dari kekuatan monopolistic,
2.Untuk melindungi nasabah yang lebih kecil atau yang bergerak disektor retail yang pada umumnya kurang
mendapat informasi yang cukup, 3.Untuk memastikan terciptanya kestabilan sistem keuangan.

yang tersebar dalam Peraturan Bank Indonesia. Di Amerika Serikat sebagai pusat transaksi
derivatif pernah diusulkan dalam tingkat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
pengawasan transaksi derivatif secara ketat. Anggota kongres di Amerika Serikat pernah
mengusulkan berbagai solusi yang lebih luas dari mendirikan Federal Derivatives Commission
sampai dengan larangan umum kepada bank untuk melakukan transaksi derivatif yang tidak
termasuk pengertian “hedging”. 15
Keempat, Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor

21 tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menyebabkan peran Bank Indonesia (BI) dalam tugas dan
pengawasan bank dialihkan kepada OJK. BI berperan dalam macroprudential dan OJK berperan
dalam microprudential.

Sistem tersebut pernah dijalankan Inggris dalam bentuk Financial

Supervisory Authority (FSA) namun mengalami kegagalan.

Sementara Jepang berhasil

menjalankan Financial Supervisory Agency (FSA) hingga saat ini. Keefektifan peranan BI dan
OJK hanya dapat teruji ketika krisis terjadi. Otoritas pengawas keuangan wajib mengedepankan
asas demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. 16 Ketentuan ini,
menunjukkan bahwa prinsip kehati-hatian adalah norma terpenting yang diterapkan dan wajib
dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan transaksi derivatif. Prinsip kehati-hatian tersebut
mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan transaksi
derivatif dalam arti harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan dari otoritas pengawas
keuangan maupun peraturan perundang-undangan dengan profesional dan iktikad baik.
Penerapan prinsip kehati-hatian dalam seluruh kegiatan perbankan merupakan salah satu cara
15

Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 146.
Lihat pasal 2 Undang-Undang Kesulitan pengaturan derivatif juga lebih diperberat oleh sifat global dari
transaksi derivatif. Transaksi derivatif merupakan bagian dari pasar global yang memerlukan pendekatan dan solusi
secara global pula UU No. 10 Tahun 1998, Lihat juga Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia,
(Jakarta, Kencana, 2005) hal 124, Mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian juga diterapkan dalam pasal 29 ayat
(2) dikemukakan bahwa : Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan
modal, kwalitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lainnya yang berhubungan
dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
16

untuk menciptakan perbankan yang sehat, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap
perekonomian secara makro. Penerapan prinsip kehati-hatian harus menyeluruh, tidak hanya
menyangkut masalah pemberian kredit dan pengelolaan manajemen pada saat operasional, tetapi
harus sejak pendirinya bank yang bersangkutan. 17
Peranan otoritas pengawas bank, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam
melaksanakan fungsinya semakin berat dalam mengawasi setiap perkembangan yang terjadi
yang berdampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perbankan. Sementara itu,
pembinaan dan pengawasan bank semakin sulit karena semakin pesatnya perkembangan produk
bank yang berisiko tinggi. Bentuk transaksi produk bank pada dasarnya melibatkan peserta pasar
keuangan yang bersifat global, sehingga upaya mengawasi perilaku bank dalam kegiatan tersebut
seringkali berada di luar jangkauan serta kemampuan pengendalian otoritas pengawas bank. 18
Dalam kasus perselisihan transaksi derivatif valuta asing antara nasabah dengan bank. Nasabah
diposisikan lebih lemah atau kurang diuntungkan dibandingkan dengan bank. Dalam rangka
untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah, perbankan dan masyarakat perlu memiliki
agenda untuk memperkuat perlindungan konsumen yang berimplikasi pada munculnya
kepercayaan kepada bank. Tindakan dimaksud dapat berupa penyusunan aturan transaksi
derivatif terutama dalam mekanisme lindung nilai dan peningkatan transparansi informasi
produk 19 serta perlunya edukasi produk bank terutama produk derivatif kepada konsumen.

17

Hermansyah, Ibid, hal 155.
Dian Ediana Rae, Op.Cit., hal 159.
19
Lihat David M.L. Tobing, Op.Cit., hal 14. Bank Indonesia juga berupaya untuk memberi perlindungan
kepada nasabah dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/6/PBI/2005 Tentang Transparansi
Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah. Peraturan tersebut mewajibkan bank untuk menetapkan
kebijakan dan memiliki prosedur tertulis tentang transparansi informasi produk bank dan transparansi penggunaan
data pribadi nasabah, Kewajiban bank untuk melakukan transparansi informasi produk bank meliputi kewajiban
menyediakan dan menyampaikan informasi baik mengenai produk yang diterbitkan bank maupun produk lembaga
keuangan lain yang dipasarkan melalui bank. Bank diwajibkan untuk memberi informasi. Bank harus
mengungkapkan karateristik produk bank secara memadai, terutama mengenai manfaat, risiko dan biaya-biaya yang
melekat pada produk bank tersebut. Ketentuan yang tercantum dalam perturan tersebut merupakan bagian dari upaya
18

Berbicara tentang prudential banking dan perlindungan adalah dua objek yang berbeda.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menyusun sebuah paradigma baru tentang kaitan antara
prudential banking dan perlindungan konsumen (nasabah bank). Kebijakan sektor keuangan
perlu memberikan perhatian yang seimbang antara prudential banking regulations dan
perlindungan konsumen.
Globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi
serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan
saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. 20 Atas
dasar tersebut OJK berkewajiban untuk membangun dan

menyusun sebuah paradigma baru

tentang kaitan antara prudential banking dan perlindungan konsumen (nasabah bank). Artinya
kebijakan sektor keuangan

perlu memberikan perhatian yang seimbang antara prudential

banking regulations dan perlindungan konsumen.
Dasar pemikiran tersebut adalah salah satu langkah proaktif untuk mengedukasi
masyarakat tentang perbedaan spekulatif dan lindung nilai. Diharapkan aturan publik yang baik
dapat mencegah risiko transaksi derivatif dan memberikan kepastian hukum. Berkenaan dengan
hal tersebut perlu diteliti bagaimana sebaiknya pengaturan lindung nilai kedepannya. Kemajuan
transaksi derivatif valuta asing

harus diikuti dengan ketersediaan peraturan hukum yang

memadai. Untuk itu diperlukan kajian ilmiah bidang ilmu hukum untuk mengisi keefektifan
penerapan hukum transaksi derivatif dalam bentuk lindung nilai di Indonesia. Ketersediaan
peraturan lindung nilai akan memberikan perlindungan dan rasa aman kepada konsumen. Untuk

untuk melindungi kepentingan nasabah yang secara nyata berbentuk pelayanan informasi pada nasabah yang
mempunyai hak untuk dilindungi selaku konsumen, yang diantaranya, mereka berhak untuk mendapat informasi.
Dengan dihargainya hak-hak konsumen tersebut, maka akan terpelihara suatu hubungan yang baik antara perbankan
dengan konsumennya, sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat kepada bank.
20
Penjelasan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor : 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

itu nasabah perlu memahami pentingnya pengaturan lindung nilai dapat mengurangi risiko
kerugian bagi nasabah sehingga terhindar dari kebangkrutan. Disamping itu, secara makro
pengaturan lindung nilai akan mengurangi tekanan terhadap permintaan valas sehingga
mengurangi volitalitas nilai tukar. Dengan demikian akan menciptakan stabilitas ekonomi.
Kelima, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar adalah landasan dalam rangka pelaporan lalu lintas devisa yang ditujukan untuk
kepentingan stabilitas moneter. Belajar dari sejarah pada pokoknya aturan dalam UndangUndang itu menyebabkan sistem devisa dan nilai tukar terlalu liberal, nilai kurs rupiah sangat
sensitif di pasar uang. Sehingga sudah mendesak peraturan tersebut perlu disesuaikan dan
disempurnakan dengan perkembangan sistem moneter pada zamannya. Dari berbagai kasus dan
data yang peneliti sampaikan di atas, terungkap bahwa produk derivatif valuta asing dapat
berkembang dengan subur di negara yang menganut rezim devisa bebas dan nilai tukar
mengambang bebas seperti Indonesia. Diperlukan kajian ilmu hukum secara rasional untuk
pengaturan transaksi derivatif yang aman dan efisien.
Berdasarkan latar belakang dan alasan-alasan di atas perlu dilakukan penelitian aspek
hukum transaksi lindung nilai dengan menggunakan prinsip-prinsip ekonomi yaitu menggunakan
cost and benefit analysis untuk menghitung secara rasional yang dijadikan dasar pengambilan
sebuah kebijakan atau aturan yang efektif dan efisien untuk mengatur transaksi derivatif valuta
asing yaitu lindung nilai agar keberadaan transaksi derivatif valuta asing bermanfaat bagi
kemajuan ekonomi dan menjaga stabilitas nilai tukar. Berdasarkan argumentasi tersebut, maka

peneliti mengangkat judul disertasi 21 “Lindung Nilai Sarana Hukum Menjaga Stabilitas
Perekonomian (Studi Tentang Pengaturan Kewajiban Lindung Nilai)”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dalam tulisan ini, peneliti mengangkat beberapa
permasalahan yang menjadi pokok penelitian dan pembahasan dalam disertasi ini, antara lain :
a. Mengapa terjadi kasus transaksi derivatif valuta asing di Indonesia (foreign exchange
derivative) ?
b. Bagaimana penerapan aturan prudential banking principles dalam sistem hukum

di

Indonesia dalam kaitannya dengan transaksi derivatif valuta asing (foreign exchange
derivative) ?
c. Bagaimana pengaturan transaksi derivatif valuta asing pada ius constituendum di Indonesia
terutama kembali kepada filosofi derivatif sebagai lindung nilai (hedging) ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan :
a. untuk mengetahui akar permasalahan penyebab terjadinya kasus derivatif valuta asing di
Indonesia.
b. untuk mengetahui bagaimana penerapan prudential banking principles : Pertama, setelah
adanya pembagian tugas dan kewenangan antara Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yaitu sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang

21

Disertasi adalah karya ilmiah yang mengemukakan dalil yang dapat dibuktikan oleh penulis berdasarkan
data dan fakta yang sahih dengan analisis yang terinci. Zubeirsyah, Nurhayati Lubis, Bahasa Indonesia dan Teknik
Penyusunan Karangan Ilmiah (Medan, Universitas Sumatera Utara Press, 1998) hal 120.

Otoritas Jasa Keuangan. Kedua, setelah munculnya wacana revisi Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
c. untuk mengetahui : Pertama, bagaimana sebaiknya pengaturan lindung nilai dalam transaksi
derivatif valuta asing yang memberikan manfaat dan kepastian hukum bagi masyarakat, bank
dan negara. Kedua, hasil penelitian diharapkan menghasilkan sebuah pemikiran atau gagasan
yang dapat memperbaiki sistem pengaturan lindung nilai di Indonesia.

D. Keaslian Penelitian
Transaksi derivatif valuta asing telah berjalan sedemikian rupa di dunia bisnis melalui
intermediasi bank. Fungsi intermediasi bank dalam transaksi derivatif khususnya lindung nilai
merupakan kebutuhan primer bagi exportir maupun importir. Berkenaan dengan hal tersebut,
peneliti berusaha menemukan berbagai literatur dari berbagai sumber tentang perkembangan
derivatif valuta asing di Indonesia : Seperti buku Dian Ediana Rae : Transaksi Derivatif dan
Masalah Regulasi Ekonomi di Indonesia, , Joko Salim : Betting Forex, Bismar Nasution :
Makalah Aspek Hukum Transaksi Derivatif, David M.L.Tobing : Makalah Analisis Hukum
Perlindungan Nasabah Terkait Structured Product Perbankan.
Semua buku dan makalah tersebut merupakan kajian ilmiah bidang hukum yang terkait
dengan penelitian transaksi derivatif valuta asing. Peneliti melakukan penelitian normatif
tentang peraturan prudential banking principles dan perlindungan nasabah dalam transaksi
derivatif dikaitkan dengan lindung nilai. Penelitian ini dapat dikatakan sebagai suatu sub-sistem
dari hukum ekonomi yang secara spesifik meneliti peraturan dalam transaksi lindung nilai di
Indonesia.

Praktik transaksi derivatif valuta asing sudah berjalan lama dengan aturan yang belum
memadai. Sebagai orang yang pernah bekerja di bank, peneliti terpanggil untuk melakukan
penelitian terhadap transaksi derivatif valuta asing. Banyaknya kasus yang muncul terhadap
transaksi derivatif valuta asing menunjukan adanya kepincangan berupa kelemahan aturan
hukum derivatif. Transaksi derivatif bagaikan pisau bermata dua, satu sisi adalah sebuah
kebutuhan dunia bisnis sebagai pengaman yaitu lindung nilai tetapi pada sisi yang lain sebagai
sebuah ancaman akibat unsur spekulatif.
Pengajuan judul yang disebutkan di atas telah melalui tahap penelusuran pada data
pustaka baik toko buku, perpustakaan maupun di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan
Universitas Indonesia Jakarta. Diperoleh informasi belum adanya pengangkatan judul yang
diajukan peneliti. Oleh karena itu, peneliti berkeyakinan penelitian tersebut masih asli dan
aktual.
Seperti disebutkan bahwa penelitian disertasi ini secara khusus akan melihat berbagai
dampak dari akibat yang muncul dari transaksi derivatif valuta asing. Studi kasus sengketa akibat
transaksi derivatif valuta asing dimana nasabah menggugat bank-bank di Indonesia. Selain itu,
peneliti juga akan melakukan studi perbandingkan keputusan pengadilan di Inggris dan Amerika
Serikat dalam kaitannya penerapan prinsip kehati-hatian dan perlindungan nasabah transaksi
derivatif valuta asing.

E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini yang dilakukan adalah penelitian normatif yang bersifat teoretis.
Diharapkan penelitian ini menghasilkan sumbangan pemikiran dalam rangka menyempurnakan
regulasi dibidang ekonomi nasional Indonesia (ius constituendum) yang kompetitif untuk dapat

masuk dan mengambil manfaat dari globalisasi dan integrasi ekonomi dibidang transaksi
derivatif valuta asing yang terus berkembang. Semua pemangku kepentingan (stakeholder)
seperti bank, nasabah, regulator, akademisi dan siapa saja yang memerlukan referensi
pengetahuan hukum tentang transaksi derivatif valuta asing dapat memanfaat penelitian ini.
Dengan demikian manfaat yang diharapkan adalah :
1. Manfaat Teoretis
Hasil dari penelitian ini dijadikan acuan, masukan dan sumbangan pemikiran ilmiah
perkembangan transaksi derivatif valuta asing khususnya lindung nilai kepada

kalangan

perbankan dalam kaitannya dengan berbagai masalah hukum yang ditimbulkannya. Hasil
penelitian ini merupakan literatur bagi pihak akademisi maupun pihak terkait lain yang
memerlukannya.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini mengharapkan : Pertama, bagi pihak bank dan praktisi
perbankan dapat memahami sisi hukum dari keberadaan transaksi derivatif valuta asing. Mampu
untuk mengadakan antisipasi secara proaktif mencegah celah hukum yang dapat merugikan
pihak bank akibat kurang berhati-hati (prudent). Kedua, diharapkan disertasi ini nantinya
menawarkan sesuatu yang baru (something new) terhadap regulator untuk membuat aturan
transaksi derivatif valuta asing yang efisien efektif. Ketiga, bagi nasabah dan masyarakat,
mengetahui hak dan kewajiban dalam transaksi derivatif valuta asing, dimana nasabah dapat
membedakan transaksi yang berunsur spekulatif dan yang berunsur lindung nilai (hedging).
Keempat, diharapkan disertasi ini dapat menjadi salah satu bahan baku untuk melahirkan aturan
yang lebih baik dan menjawab kebutuhan masyarakat akibat berkembangan transaksi derivatif

valuta asing di Indonesia, sehingga cita-cita kepastian hukum dapat menyentuh nilai keadilan
hukum di masyarakat.

F. Kerangka Teoretis Dan Konseptual
1. Kerangka Teoretis
Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa Latin yang berarti “perenungan”, yang
pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa yunani yang secara hakiki menyiratkan
sesuatu yang disebut dengan realitas. 22 Teori hukum dalam khasanah ilmu hukum dipergunakan
sebagai pisau analisis terhadap suatu kajian ilmiah tentang ilmu hukum. Teori hukum adalah
ilmu yang mempelajari pengertian-pengertian pokok dan sistem hukum.
Pembahasan tentang hukum sebagai suatu sistem, 23 pemikiran harus difokuskan pada
hukum yang sesungguhnya. 24 Sistem terletak kepada keterkaitan antara unsur-unsur atau bagian-

22

H.R.Otje Salman S dan Anton F.Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpul dan Membuka Kembali,(
Bandung, PT.Refika Aditama, 2004) hal 21.
23
Dalam teori sistem menyebutkan suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan
landasan, dimana dibangun tertib hukum. Asas secara etimologi dalam kamus WJS Poerwardaminta : 1. Dasar, alas,
pondamen; misalnya batu yang baik untuk rumah, 2. Suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan
berpikir (berpendapat dan sebagainya; misalnya; bertentangan dengan asas-asas hukum pidana, pada asasnya saya
setuju dengan usul saudara), 3. cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya; misalnya,
membicarakan asas dan tujuannya). Asas dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “principle” dalam black law
dictionary diberi pengertian A fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which
furnishes a basis or origin for others; a settled rule of action, procedure, or legal determination. A truth or
proposition so clear that it can not be proved or contradicted unless by a proposition which is still clearer. That
which constitutes the essence of body or its constituent parts. That which pertains to the theoretical part of a
science. Mahadi, dalam bukunya yang membahas tentang asas mengangkat pendapat C.W.Paton : “Principle is the
broad reason, which lies at the base of rule of law”. Dalam alih bahasa Indonesia kalimat tersebut dapat berbunyi
“Asas ialah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang mendasari adanya suatu norma hukum”.
Disingkat terdapat beberapa unsur : 1. alam pikiran, 2. rumusan luas, 3. dasar bagi penentu norma hukum. Jadi, asas
adalah suatu alam pikiran yang melatar belakangi pembentukan norma hukum. Menurut van Eikema asas hukum
tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkret, tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau petunjuk
bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan
kata lain asas hukum adalah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. Dengan demikian
kedudukan asas dalam hukum menjadi sangat penting. Syamsul Arifin mengutip pendapat Notohamidjojo tentang
fungsi dari asas-asas hukum antara lain : 1. Pengundang-undangan harus mempergunakan asas-asas hukum dalam
pedoman bagi kerjanya, 2, Hakim melakukan interprestasi hukum berdasarkan asas-asas hukum, 3. Hakim
memerlukan asas-asas hukum, apabila ia perlu mengadakan analogi, 4. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap
peraturan undang-undang, karena tidak dipakai terancam kehilangan makna. Asas dibuat tidak terlepas dari
keinginan untuk melihat nilai keadilan, perlindungan dan kepastian hukum. Pada gilirannya keberadaan asas adalah

bagiannya dan bekerja sama dari unsur-unsur/bagian-bagian itu untuk mencapai tujuan. Dalam
konteks ini Tan Kamello secara tepat mengutip pernyataan Mariam Darus Badrulzaman
menyebutkan sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas
mana dibangun tertib hukum. 25 Sedangkan suatu teori hukum merupakan pemikiran (tentunya
yang bersifat abstrak yang dapat di capai oleh ilmu hukum. 26 Fungsi teori dalam penelitian
disertasi ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala
yang diamati. 27
Ada 2 (dua) sarjana yang mengemukakan fungsi teori adalah :
Pertama, Snelbecker mengemukakan 4 (empat) fungsi dari teori, yaitu (1)
mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, (2) menjadi pendorong untuk
menyusun hipotesis dan dengan hipotesis membimbing peneliti mencari jawabanjawaban, (3) membuat ramalan atas dasar penemuan, dan (4) menyajikan penjelasan dan
dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan “mengapa”. Kedua, Glaser dan Strauss,
walaupun mengkhususkan fungsi teorinya dalam sosiologi, berlaku juga disiplin lainnya,
menyatakan sebagai berikut. Tugas yang saling berkaitan dari teori dalam sosiologi
adalah : (1) memberikan kesempatan untuk meramalkan dan menerangkan perilaku, (2)
bermanfaat dalam menemukan teori sosiologi, (3) digunakan dalam aplikasi praktisperamalan dan penjelasannya harus memberikan pengertian bagi para praktisi dan
beberapa pengawasan terhadap situasi, (4) memberi perspektif bagi perilaku, yaitu
pandangan yang harus menjaring dari data, dan (5) membimbing serta menyajikan gaya
bagi peneliti dalam beberapa bidang perilaku. 28
Mengutip Syahril Sofyan yang mengambil pendapat David Madsen menjelaskan bahwa
dikenal tiga jenis teori yang terdiri dari ”grand or wide-ranging theories”, middle-range

fundamental kebenaran untuk menjaga kepentingan pihak-pihak dalam suatu keadaan atau peristiwa hukum. Roscou
Pound membuat penggolongan atas kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum adalah:
a. Kepentingan Umum (public interest)
b. Kepentingan Masyarakat (social interest)
c. Kepentingan Pribadi (private interest)
24
Ibid., hal 147.
25
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : PT.Alumni,
2004) hal 19
26
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung, PT.Citra Aditya
Bakti, 2004) hal 11.
27
Tan Kamello, Op.Cit., hal 17.
28
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1994) hal 35.

theories” dan ”limited theories” yang digunakan untuk menjelaskan kejadian-kejadian tertentu
atau kasus-kasus khusus (specific intances or special cases). 29
Dalam penelitian

tentang ”Lindung Nilai Sarana Menjaga Stabilitas Perekonomian

(Studi Tentang Pengaturan Kewajiban Lindung Nilai)”, peneliti menggunakan ”teori hukum
pembangunan” sebagai grand theory atau wide-ranging theories. Perkembangan transaksi
derivatif valuta asing yang terjadi di masyarakat merupakan contoh nyata adanya keterkaitan
fungsi hukum dan kepentingan perkembangan pembangunan di bidang ekonomi. 30 Hukum
bukan hanya memelihara ketertiban tetapi harus memainkan peranan yang lebih besar dalam
pembangunan. Teori hukum pembangunan yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja
mengembangkan konsepsi ”Law as a tool of social engeneering” yang menyatakan bahwa :
“Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum
bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian
diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun,
karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan
tetapi, masyarakat yang sedang membangun,yang dalam defenisi kita berarti masyarakat
yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga
harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang
hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan
menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat
memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.” 31
Selanjutnya Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, mengutip pendapat Mochtar
Kusumaatmadja yang menyatakan :
29

Syahril Sofyan, Op.Cit., Standar Perjanjian Misrepresentasi Dalam Transaksi Bisnis, (Proposal
Penelitian Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2011), hal 14.
30
Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia memperkuat persatuan Nasional, Mendorong
Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, mengutip pendapat L. Michael Hager menyebutkan:
Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi
tidak akan berhasil tanpa pembaruan hukum. Dikatakan bahwa memperkuat institusi-institusi hukum adalah
"precondition for economic change", "crucial to the viability of new political systems", and "an agent of social
change’, Makalah Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII,
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
Denpasar 14-18 Juli 2003, hal 1.
31
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan(Kumpulan Karya Tulis)
(Bandung : Penerbit Alumni, Bandung, 2002), hal 14.

Bahwa konsepsi hukum sebagai “sarana” pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas
jangkauan dan ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya.
Alasannya oleh karena lebih menonjolnya perundang-undangan dalam proses
pembaharuan hukum di Indonesia (walau yurisprudensi memegang peranan pula) dan
ditolaknya aplikasi mekanisme dari konsepsi tersebut yang digambarkan akan
mengakibatkan hasil yang sama dari penerapan faham legisme yang banyak ditentang di
Indonesia. 32
Meneruskan apa yang dikemukakan Mochtar Kusumaatmadja dalam teori hukum
pembangunan tersebut di atas. Penguasa negara harus segera mencarikan solusi terhadap faktorfaktor hukum yang dapat memunculkan rasa kepastian hukum masyarakat. Hukum harus
berfungsi membangun, mendorong dan beradaptasi dengan perobahan di masyarakat. Berkenaan
dengan hal tersebut Erman Rajagukguk mengutip pendapat Leonard J. Theberge, menyebutkan 33
:
Faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan ekonomi
adalah apakah hukum mampu menciptakan "stability", "predictability", "fairness"
ditambah dengan education‟, dan “the special development abilities of the lawyer”. Dua
hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi.
Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan
mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi
hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang
diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali
memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional.
Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku
Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang
berlebihan. Tidak adanya standar tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil adalah masalah besar
dihadapi olehnegara-negara berkembang. Dalam jangka panjang ketiadaan standar tersebut menjadi
sebab utama hilangnya legitimasi pemerintah.
Perlu disadari bahwa tujuan pokok dan pertama dari segala hukum adalah ketertiban yang
merupakan syarat fundamental bagi adanya suatu masyarakat yang teratur untuk tercapai
ketertiban diperlukan kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Selama
perubahan dilakukan dengan cara yang tertib, selama itu masih ada tempat bagi peranan

32

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op.Cit., hal 79.
Erman Rajagukguk, Op.Cit., mengutip tulisan Leonard J. Theberge. "Law and Economic Development",
Journal of lnternational Law and Politic vol. 9 (1989). hal 232.
33

hukum. 34 Ketertiban dimaksudkan untuk mencapai tujuan keadilan. Mochtar Kusumaatmadja
menempatkan keadilan sebagai tujuan paling ideal, sekalipun ia meyakini makna keadilan ini
bisa sangat beragam. Isi keadilan ini berbeda-beda menurut masyarakat dan zamannya namun
semua ini diarahkan kepada keberhasilan pembangunan nasional dalam konteks sosial. 35
Sejalan dengan teori hukum pembangunan tersebut, bahwa hukum yang dibuat harus
sesuai dan harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Hukum tidak boleh
menghambat modernisasi. Hukum agar dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan
masyarakat hendaknya harus ada legalisasi dari kekuasaan negara, sesuai adigium
“hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah
kezaliman”, supaya ada kepastian hukum maka h