Perbedaan Skor Apgar Bayi yang Lahir melalui Persalinan Normal dan Sesar Teknik Spinal Tahun 2014 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Jalan Lahir
2.1.1. Pelvis
Pelvis adalah bagian tubuh yang terletak di bawah abdomen. Pelvis terdiri
dari empat tulang, yaitu sakrum, koksigeus, dan dua tulang inominata (Gambar
2.1.). Masing-masing tulang inominata ini dibentuk oleh penyatuan ilium, iskium,
dan pubis. Tulang-tulang inominata disatukan ke sacrum pada sinkondrosis
sakroiliaka dan pada simfisis pubis (Cunningham, et al., 2013).

Gambar 2.1. Anatomi pelvis (Paulsen & Waschke, 2013)

Pelvis dapat dibagi menjadi dua bagian oleh apertura pelvis superior, yang
dibentuk di belakang oleh promontorium os sacrum, di lateral oleh linea
terminalis, dan di anterior oleh symphysis pubica. Di atas apertura pelvis superior

Universitas Sumatera Utara

5

terdapat pelvis major atau false pelvis yang membentuk sebagian cavitas
abdominalis, sedangkan yang di bawah apertura pelvis superior terdapat pelvis
minor atau true pelvis yang terdapat pada gambar 2.2. Pelvis major melindungi isi
abdomen dan setelah kehamilan bulan ketiga, membantu menyokong uterus
gravidarum. Selama stadium awal persalinan, pelvis major membantu menuntun
janin masuk ke pelvis minor (Snell, 2006; Cunningham, et al., 2013).

Gambar 2.2. Gambaran true pelvis dan false pelvis wanita dewasa
(Cunningham, et al., 2013)

Caldwell-Molloy mengklasifikasikan pelvis berdasarkan pada pengukuran
diameter transversal terbesar di pintu atas pelvis dan pembagiannya menjadi
segmen anterior dan posterior (gambar 2.3.), sehingga pelvis diklasifikasikan
menjadi empat jenis, yaitu:
1. Jenis ginekoid
Bentuk pintu atas pelvis yang hampir bulat. Panjang diameter antero-posterior
kira-kira sama dengan diameter transversa. Jenis ginekoid merupakan jenis pelvis
yang sering ditemukan pada wanita.

Universitas Sumatera Utara


6
2. Jenis android
Merupakan bentuk pintu atas pelvis yang hampir menyerupai segi tiga. Panjang
diameter antero-posterior hampir sama dengan diameter transversa, akan tetapi
jauh lebih mendekati sakrum.
3. Jenis antropoid
Pintu atas pelvis yang agak lonjong , seperti telur. Panjang diameter anteroposterior lebih besar daripada diameter transversa.
4. Jenis platipelloid
Merupakan jenis ginekoid yang menyepit pada arah muka belakang. Ukuran
melintang jauh lebih besar daripada ukuran muka belakang (Prawirohardjo, 2012).

Gambar 2.3. Jenis-jenis pelvis (Cunningham, et al., 2013)

Universitas Sumatera Utara

7
Dan ada juga yang disebut dengan bidang Hodge, yaitu bidang yang
digunakan untuk menentukan seberapa jauh bagian depan janin turun ke dalam
rongga pelvis (gambar 2.4.). Bidang Hodge terdiri dari 4 bagian, yaitu:

1. Hodge I, merupakan bidang datar yang melalui bagian atas simfisis dan
promontorium. Bidang ini sama dengan pintu atas pelvis.
2. Hodge II, yaitu bidang yang sejajar dengan Hodge I dan terletak setinggi
bagian bawah simpisis pubis.
3. Hodge III , yaitu bidang yang sejajar dengan Hodge II dan terletak setinggi
spina ischiadicae.
4. Hodge IV, yaitu bidang yang sejajar dengan Hodge III melalui ujung os
coccygeus (Prawirohardjo, 2012).

Gambar 2.4. Bidang-bidang Hodge (Prawirohardjo, 2012)

Universitas Sumatera Utara

8
2.1.2. Uterus
Uterus yang tidak hamil terletak di rongga pelvis di antara kandung kemih
di anterior dan rektum di posterior. Uterus digambarkan berbentuk piriformis atau
berbentuk buah pir. Berat uterus adalah 70 g dan kapasitas 10 ml atau kurang.
Uterus terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian segitiga atas yang disebut
corpus atau badan, dan bagian silindris bawah yang disebut serviks yang masuk

ke dalam vagina yang terlihat pada gambar 2.5. Hampir seluruh dinding posterior
uterus ditutupi oleh serosa (peritoneum viserale). Bagian bawah peritoneum ini
membentuk batas anterior cul-de-sac rektouterina atau kavum douglasi.
Peritoneum di daerah ini juga mengarah ke depan kandung kemih membentuk
kavum vesikouterinum. Bagian bawah dinding uterus anterior disatukan ke
dinding posterior kandung kemih oleh jaringan ikat longgar yang berbatas tegas,
spatium vesikouterinum (Prawirohardjo, 2012; Cunningham, et al., 2013).

Gambar 2.5. Anatomi Uterus dan Serviks (Cunningham, et al., 2013)

Universitas Sumatera Utara

9
2.1.3. Serviks uteri
Serviks uteri atau biasa disebut serviks terdapat di setengah hingga
sepertiga bawah uterus, berbentuk silindris atau fusiformis, dan menghubungkan
uterus dengan vagina melalui kanal endoservikal. Serviks uteri terdiri dari portio
vaginalis, yaitu bagian yang menonjol ke arah vagina dan bagian supravaginal.
Panjang serviks uteri kira-kira 2,5 – 3cm dan memiliki diameter 2 - 2,5cm. Pada
bagian anterior serviks berbatasan dengan kantung kemih dan batas atasnya

adalah ostium internum. Pada bagian posterior, serviks ditutupi oleh peritoneum
yang membentuk garis cul-de-sac (Snell, 2006; Cunningham, et al., 2013).

2.1.4. Vagina
Struktur muskolomembranosa ini memanjang dari uterus ke vulva dan
bagian anterior berbatasan dengan kandung kemih, sedangkan bagian posterior
berbatasan dengan rektum. Batas anterior dipisahkan oleh jaringan ikat, yaitu
septum vesikovaginal, dan batas posterior dipisahkan oleh jaringan ikat, yaitu
septum rektovaginal. Umumnya panjang dinding vagina anterior kira-kira 6 - 8
cm dan panjang posterior kira-kira 7 - 10 cm (Cunningham, et al., 2013).

2.2. Perubahan Anatomi dan Fisiologi Ibu Hamil
a. Uterus
Selama kehamilan, uterus akan berubah menjadi suatu organ yang mampu
menampung janin, plasenta, dan cairan amnion rata-rata pada akhir kehamilan
volume totalnya mencapai 5 l bahkan dapat mencapai 20 l atau lebih dengan berat
rata-rata 1100 g. Pada saat akhir kehamilan, daerah fundus dan korpus akan
membulat dan akan menjadi bentuk sferis dan panjang uterus akan bertambah
lebih cepat dibandingkan lebarnya sehingga akan berbentuk oval (Prawirohardjo,
2012).

Uterus juga mengalami penebalan yag distimulasi terutama oleh hormon
estrogen dan sedikit oleh progesteron. Posisi plasenta juga mempengaruhi
penebalan sel-sel otot uterus, dimana bagian uterus yang mengelilingi tempat

Universitas Sumatera Utara

10
implantasi plasenta akan bertambah besar lebih cepat dibandingkan bagian lainnya
sehingga akan menyebabkan uterus tidak rata. Fenomena ini dikenal dengan tanda
Piscaseck (Prawirohardjo, 2012).

b. Serviks
Saat telah terjadi konsepsi selama satu bulan, serviks akan berubah
menjadi lebih lunak dan berwarna kebiruan. Hal tersebut terjadi karena banyaknya
penambahan vaskularisasi dan terjadinya edema pada seluruh serviks, hipertrofi,
dan hiperplasia pada kelenjar-kelenjar serviks (Prawirohardjo, 2012).

c. Vagina
Selama kehamilan peningkatan vaskularisasi dan hiperemia terlihat jelas
pada kulit dan otot-otot di perineum sehingga pada vagina akan terlihat berwarna

keunguan yang dikenal sebagai tanda Chadwick. Perubahan ini meliputi penipisan
mukosa dan hilangnya sejumlah jaringan ikat dan hipertrofi dari sel-sel otot polos
(Prawirohardjo, 2012).

2.3. Persalinan Pervaginam
2.3.1. Definisi
Pelahiran bayi adalah proses fisiologis

dimulai dari periode kontraksi

uterus secara reguler hingga keluarnya plasenta. Definisi persalinan yang tepat
adalah kontraksi uterus yang memperlihatkan pendataran dan dilatasi serviks
(Cunningham, et al., 2013).

2.3.2. Karakteristik
Beberapa

metode

dapat


digunakan untuk menentukan permulaan

persalinan. Satu metode menunjukan awitan saat kontraksi yang nyeri menjadi
regular. Metode kedua menentukan awitan persalinan sebagai permulaan untuk
masuk ke dalam ruang persalinan. Di National Maternity Hospital di Dublin,
dilakukan usaha untuk mengodekan kriteria admisi

(O’Driscoll et al, 1984).

Universitas Sumatera Utara

11
Kriteria ini pada kehamilan aterm mengharuskan adanya kontraksi uterus yang
nyeri disertai salah satu dari tanda berikut ini: (1) ruptur membran, (2) bercak
darah (bloody show) atau (3) pembukaan serviks komplet (Cunningham, et al.,
2013).

2.3.3. Fisiologi
Menjelang terjadinya persalinan, otot polos uterus mulai menunjukkan

aktivitas kontraksi secara terkoordinasi, diselingi dengan suatu periode relaksasi,
dan mencapai puncaknya menjelang persalinan, serta secara berangsur
menghilang pada periode postpartum (Prawirohardjo, 2012).

2.3.4. Faktor yang mempengaruhi
Menurut Perry dkk (2014) keberhasilan proses persalinan dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Sedikitnya ada lima faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor
tersebut dapat diingat dengan mudah dengan singkatan Ps. Kepanjangan singkatan
tersebut adalah passenger (fetus dan plasenta), passageway (jalan lahir), powers
(kontraksi atau HIS), posisi ibu, dan psychologic response.
a. Faktor passenger yang mempengaruhi proses persalinan, antara lain:
i. ukuran kepala bayi
ii. presentasi bayi
iii. letak bayi
iv. postur bayi
v. posisi bayi
b. Faktor jalan lahir yang mempengaruhi proses persalinan, antara lain:
i. tulang pelvis ibu
ii. jaringan lunak dari serviks, dasar pelvis, vagina dan introitus
c. Faktor his atau powers yang mempengaruhi proses persalinan, antara lain:

i. primary powers, yaitu tanda awal persalinan yang diawali oleh tanda
kontraksi uterus secara involunter

Universitas Sumatera Utara

12
ii. Secondary powers, yaitu ketika serviks telah berdilatasi dan ibu berusaha
meningkatkan kekuatan kontraksi primer secara volunter
d. Faktor posisi ibu dalam mempengaruhi proses persalinan.
Salah satunya adalah posisi tegak lurus yaitu posisi berjalan, duduk, berlutut,
dan berjongkok. Posisi ini bermanfaat untuk curah jantung ibu yang biasanya
pada saat persalinan akan meningkat yang ditunjukan pada gambar 2.6.
e. Faktor psikologis ibu (Perry, et al., 2014).

Gambar 2.6. Posisi Ibu yang Mempengaruhi Proses Persalinan
(Perry, et al., 2014)

2.3.5. Kala persalinan
Kala persalinan dibagi atas 4 kala, yaitu kala satu hingga kala empat. Akan
tetapi, yang termasuk dalam persalinan aktif adalah kala satu hingga kala tiga.


Universitas Sumatera Utara

13
Kala satu persalinan dimulai ketika telah tercapai kontraksi uterus dengan
frekuensi, intensitas, dan durasi yang cukup untuk menghasilkan pendataran dan
dilatasi serviks yang progresif. Kala satu persalinan selesai ketika serviks telah
membuka lengkap (sekitar 10 cm) sehingga memungkinkan kepala janin lewat.
Oleh karena itu, kala satu persalinan disebut juga stadium pendataran dan dilatasi
serviks. Kala dua persalinan dimulai ketika dilatasi serviks telah lengkap, dan
berakhir ketika janin sudah lahir. Kala dua persalinan disebut juga sebagai stadium
ekspulsi janin. Kala tiga persalinan dimulai saat bayi telah lahir dan berakhir
ketika lahirnya plasenta dan selaput ketuban janin. Kala tiga persalinan disebut
juga sebagai stadium pemisahan dan ekspulsi plasenta. Sedangkan kala empat
hanya melakukan pemantauan dan pemeriksaan plasenta, selaput ketuban, dan tali
pusat telah lengkap atau tidak dan ditemukan ada tidaknya anomali.
(Prawirohardjo, 2012; Cunningham, et al., 2013).

2.4.

Sesar

2.4.1. Definisi
Sesar adalah suatu prosedur operatif/bedah

yang dilakukan di bawah

pengaruh anestesi untuk melahirkan janin, plasenta, dan membran melalui sebuah
insisi di dinding abdomen dan uterus (Fraser dan Cooper, 2012).

2.4.2. Epidemiologi
Di Indonesia, persentase kelahiran sesar sebesar 9,8 persen dengan proporsi
tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di Sulawesi Tenggara (3,3%) dan
secara umum pola persalinan melalui sesar menurut karakteristik menunjukkan
proporsi tertinggi pada kuintil indeks kepemilikan teratas (18,9%), tinggal di
perkotaan (13,8%), pekerjaan sebagai pegawai (20,9%) dan pendidikan
tinggi/lulus PT (25,1%) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI, 2013).

Universitas Sumatera Utara

14
2.4.3. Indikasi
Indikasi untuk dilakukannya sesar bisa indikasi absolut ataupun indikasi
relatif. Setiap keadaan yang membuat kelahiran lewat jalan lahir tidak mungkin
terlaksana merupakan indikasi absolut untuk sesar abdominal. Di antaranya adalah
kesempitan pelvis yang sangat berat dan neoplasma yang menyumbat jalan lahir.
Pada indikasi relatif, kelahiran lewat vagina bisa terlaksana tetapi keadaan adalah
sedemikian rupa sehingga kelahiran lewat sesar akan lebih aman bagi ibu, anak
atau pun keduanya (Oxorn dan Forte, 2010).
Persalinan tidak dapat dilakukan secara pervaginam atau normal, bisa
dikarenakan faktor-faktor Ps terganggu, yaitu kontraksi yang tidak adekuat, jalan
lahir yang sempit, presentasi bayi yang tidak normal, dll.
Sedangkan menurut Rasjidi (2009), indikasi sesar dibagi atas 3, yaitu:
1.

Indikasi mutlak:
a. Indikasi ibu:
i. pelvis sempit absolut
ii. Kegagalan maelahirkan secara normal karena kurang
adekuatnya stimulasi
iii. Tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi
iv. Stenosis serviks atau vagina
v. Plesenta previa
vi. Disproporsi sefalopelvik
vii. Ruptur uteri membakar
b. Indikasi janin:
i. Kelainan letak
ii. Kelainan letak
iii. Gawat janin
iv. Prolapsus plasenta
v. Perkembangan bayi yang terhambat
vi.

Mencegah hipoksia janin, misalnya karena preeklamsia

Universitas Sumatera Utara

15
2.

Indikasi relatif
i. Riwayat sesar sebelumnya
ii. Presentasi bokong
iii. Distosia
iv. Distress janin
v. Preeklamsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes
vi. Ibu dengan HIV positif sebelum inpartu
vii. Gemeli, menurut Eastman, sesar dianjurkan:
a. Bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu
b. Bila terjadi posisi bayi yang saling mengunci atau interlock
c. Kematian janin dalam rahim

3.

Indikasi sosial
i.

Wanita yang takut melahirkan berdasarkan pengalaman
sebelumnya

ii.

Wanita yang ingin sesar elektif karena takut bayinya
mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan atau
mengurangi risiko kerusakan dasar pelvis

iii.

Wanita yang takut terjadinya perubahan pada tubuhnya atau
sexuality image setelah melahirkan

2.4.4. Kontraindikasi
Menurut Rasjidi (2009), kontraindikasi dilakukannya sesar adalah sebagai
berikut ini:
1. Infeksi piogenik pada dinding abdomen
2. Janin mati
3. Syok
4. Anemia berat
5. Kelainan kongenital berat
6. Minimnya fasilitas operasi sesar

Universitas Sumatera Utara

16
2.4.5. Klasifikasi menurut Jenis Anestesi yang Digunakan
Pemilihan anestesi untuk melakukan sesar dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu: indikasi dilakukannya bedah sesar, kegawatdaruratan, preferensi
pasien atau dokter, dan skil yang dimiliki oleh ahli anestesi (Morgan dan Mikhail,
2006).
Pilihan anestesi yang tersedia untuk dilakukannya sesar dibagi atas 2, yaitu:
a. Anestesi regional
Anestesi regional yang dipakai saat dilakukannya sesar dibagi atas 3
teknik, yaitu:
1. Anestesi spinal.
Anestesi spinal adalah pilihan utama untuk kebanyakan pasien sesar
berencana dan emergensi. Dengan cara memasukan anestesi lokal ke
dalam ruang subaraknoid untuk memberikan efek analgesia yang telah
lama digunakan untuk pelahiran. Keuntungan digunakannya anestesi
spinal untuk sesar adalah mudah, blok yang mantap, dan kinerja yang
cepat.
2. Anestesi epidural.
Pemasukan atau injeksi agen anestetik lokal ke dalam ruang epidural
atau peridural dan biasanya dilakukan melalui ruang intravertebral
lumbal.
3. Anestesi kombinasi spinal-epidural.
Setelah meletakan jarum epidural dengan tepat, jarum spinal ukuran
kecil dimasukan melalui jarum epidural ke dalam ruang subaraknoid
dan menginjeksi agen anestetik lokal.

b. Anestesi umum
Beberapa pasien kontraindikasi untuk dilakukan anestesi regional
seperti koagulapati, perdarahan dengan kardiovaskular yang masih labil
atau prolaps tali pusat dengan bradikardia janin hebat. Anestesi umum
endotrakeal menjadi pilihan. Untuk mengurangi risiko aspirasi, berikan

Universitas Sumatera Utara

17
antasida non partikel (natrium sitrat) dan lakukan sekuen induksi secara
cepat (rapid-sequence induction). Biasanya anestesi umum digunakan
untuk sectio caesarea dalam keadaan gawat darurat karena dapat
meningkat risiko kematian. Jenis anestesi ini tidak dianjurkan untuk
dilakukan tanpa adanya indikasi yang jelas yang mengharuskan
melakukan

dengan

teknik

ini

(Morgan

dan

Mikhail,

2006;

Prawirohardjo, 2012; Cunningham, et al., 2013).

2.4.6. Kelebihan menurut Jenis Anestesi yang Digunakan
Secara internasional, pedoman anestesi obstetrik (Obstetric Anaesthesia
Guidelines) merekomendasikan teknik anestesia spinal ataupun epidural
dibandingkan dengan anestesia umum untuk sebagian besar seksio sesarea.
Kelebihan penggunaan anestesi regional adalah: rendahnya terpajannya neonatus
pada obat depresan, rendahnya risiko aspirasi pulmonari pada ibu, dan ibu dalam
keadaan sadar saat persalinan. Anestesi epidural lebih dipilih daripada spinal
karena penurunan tekanan darah secara bertahap dan mengontrol level sensorik
lebih baik. Sedangkan anestesi spinal lebih mudah dilakukan, lebih cepat, onset
yang dapat diprediksi, dan idak memiliki potensi dalam keracunan obat sistemik
yang serius. Sedangkan kelebihan dalam menggunakan anestesi umum adalah:
onset yang cepat dan reliabel, mengontrol jalan nafas dan ventilasi, risiko
hipotensi yang rendah (Morgan dan Mikhail, 2006; Flora, et al., 2014).

2.4.7. Komplikasi
Komplikasi utama persalinan sesar adalah kerusakan organ-organ seperti
vesika urinaria dan uterus saat dialngsungkannya operasi, komplikasi anestesi,
perdarahan, infeksi dan tromboemboli (Rasjidi, 2009).
Komplikasi yang tebanyak yang disebabkan oleh anestesi regional, yaitu:
hipotensi, postdural puncture headache, pruritus, blokade regional yang gagal,
blokade spinal tinggi, meningitis kimia atau abses epidural atau hematoma
(Cunningham, et al., 2013).

Universitas Sumatera Utara

18
Sedangkan, anestesi umum

dapat menyebabkan aspirasi pulmonari,

berpotensi tidak dapat dilakukannya untuk mengintubasi pasien, dan obat yang
sebabkan depresi janin (drug-induced fetal depression) (Morgan dan Mikhail,
2006).
Arah dari komplikasi dan efek yang ditimbulkan dalam persalinan sesar, akan
tetapi tidak menggambarkan besarnya efek dan komplikasi dirangkumkan pada
tabel 2.1.

Tabel 2.1. Rangkuman Efek sesar Dibandingkan dengan Persalinan
Pervaginam pada Ibu dan Bayinya (Rasjidi, 2009)
Meningkat pada sesar
1. Nyeri Abdomen
2. Perlukaan vesika
urinaria
3. Kebutuhan operasi
pada persalinan
selanjutnya
4. Histerektomi
5. Perawatan intensif
6. Penyakit
tromboemboli
7. Kematian maternal
8. Plasenta previa
9. Ruptur uterus
10. Morbiditas pernafasan
pada neonatus

Tidak berbeda setelah
sesar
1. Perdarahan
2. Infeksi
3. Perlukaan organ
genital
4. Inkontinensia alvi
5. Nyeri punggung
6. Nyeri saat
senggama
7. Depresi stelah
melahirkan
8. Perdarahan
intrakranial
9. Perlukaan pleksus
brakialis
10. Cerebral Palsy

Berkurang pada sesar
1. Nyeri
perineum
2. Inkontinensia
ari
3. Prolaps
uretrovaginal

2.5. Anestesi Teknik Spinal pada Sectio Caesarea
2.5.1. Mekanisme
Anestesi spinal merupakan hasil dari menginjeksikan obat anastesi lokal
secara langsung ke dalam cairan serebrospinal melalui ruang araknoid atau
intratekal. Sesudah menginjeksikan ke dalam intratekal, yang di pengaruhi
terlebih dahulu adalah saraf simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk
rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir

Universitas Sumatera Utara

19
adalah serabut motoris, rasa getar (vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade
simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah
anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris
yang pertama kali pulih kembali (Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007; Gwinnutt, 2008).
Jarum suntik spinal hanya dapat diinsersikan dibawah L₂ dan diatas S₁.
Ukuran jarum suntik yang digunakan adalah 22-29 gauge, dengan bentuk ‘pencil
point’. Diameter jarum suntik yang kecil dan bentuknya bertujuan untuk
mengurangi risiko terjadinya postdural puncture headache (Gwinnutt, 2008).

2.5.2. Kelebihan
Anestesi spinal lebih mudah dilakukan, lebih cepat, onset yang dapat
diprediksi, dan idak memiliki potensi dalam keracunan obat sistemik yang serius
(Morgan dan Mikhail, 2006).

2.5.3. Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi dilakukannya sesar teknik spinal, yaitu mendapat persetujuan pasien
atau preferensi dokter dan pasien, kontraindikasi untuk dilakukan jenis teknik
spinal regional yang lain. Sedangkan kontraindikasinya untuk dilakukan sesar
teknik spinal adalah pasien menolak, infeksi kulit di lokasi yang akan dilakukan
pungsi lumbal, syok hipovolemik berat, koagulopati, dan meningkatnya tekanan
intrakranial, alergi terhadap obat anestesi lokal jenis amide, pasien yang tidak
kooperatif, anatomi spinal yang abnormal (Morgan dan Mikhail, 2006; Gwinnutt,
2008).

2.5.4. Komplikasi
Komplikasi yang dapat disebabkan oleh anestesi regional teknik spinal,
yaitu: nyeri saat injeksi, nyeri punggung (backache), sakit kepala, retensi urin,
meningitis, injuri vaskular, injuri saraf, hipotensi, mual, muntah, bradikardi, dan
aritmia (Morgan dan Mikhail, 2006; Gwinnutt, 2008).

Universitas Sumatera Utara

20
2.6. Klasifikasi Status Fisik Menurut American Society of Anesthesiologists
Menurut Malamed (2000), klasifikasi status fisik yang diklasifikasikan
oleh organisasi anestesi Amerika adalah sebagai berikut:
ASA I

: Pasien yang tidak ada tanda penyakit sistemik

ASA II

: Pasien dengan penyakit sistemik ringan

ASA III

: Pasien dengan penyakit sistemik yang berat dan aktivitas
yang terbatas

ASA IV

: Pasien dengan penyakit sistemik yang berat dan tidak
mampu beraktivitas sehingga perlu pengobatan secara
konstan untuk hidup

ASA V

: Pasien yang kemungkinan hidupnya kurang dari 24 jam
dengan atau tanpa perawatan

2.7. Skor APGAR
2.7.1. Definisi
Merupakan suatu metode praktis atau sistem pengukuran yang sistematis
dan sederhana untuk menilai bayi baru lahir segera sesudah lahir, untuk
membantu mengidentifikasi bayi yang memerlukan resusitasi akibat stress
intrapartum atau asidosis hipoksik dan menilai efektivitas setiap tindakan
resusitasi. Metode ini ditemukan oleh Virginia APGAR, dan kepanjangan dari
APGAR adalah warna kulit (appearance), frekuensi denyut jantung (pulse),
kepekaan refleks (grimace), tonus otot (activity) dan upaya bernafas (respiration)
(Rudolph, et al., 2006; Behrman, et al., 2013; Cunningham, et al., 2013).

2.7.2. Sistem penilaian
Sistem penilaian pada bayi yang abru lahir dengan menggunakan sistem
skor APGAR dilakukan dengan memberikan skor 0 hingga 2 pada masing-masing
dari kelima variabel (lihat tabel 2.2.). Kelima variabel yang perlu diperiksa adalah
frekuensi denyut jantung, upaya bernafas, tonus otot, kepekaan refleks dan warna
kulit. Penilaian dilakukan pada menit pertama kelahiran dan menit kelima

Universitas Sumatera Utara

21
kelahiran, akan tetapi secara keseluruhan dilakukan setiap 5 menit, sampai skor
mencapai nilai 7 (Behrman, et al., 2013).
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (2010),
bahwa skor APGAR pada menit kelima setelah kelahiran berhubungan dengan
status neurologi bayi. Menurut Sittidech dkk (2015), derajat keparahan asfiksia
menurut skor APGAR adalah sebagai berikut:
1. Normal

: skor APGAR 7 – 10

2. Sedang

: skor APGAR 4 – 6

3. Berat

: skor APGAR < 4

Tabel 2.2. Sistem skor APGAR (Cunningham, et al, 2013)
Skor

0

1

2

Appearance
(Warna kulit)

Biru, pucat

Tubuh merah muda,
ekstremitas biru
(akrosianosis)

Seluruh tubuh
merah muda

Pulse
(Frekuensi denyut
jantung)

Tidak ada

Kurang dari 100
kali per menit

Lebih dari 100 kali
per menit

Grimace
(Kepekaan refleks)

Tidak ada

Menyeringai

Menyeringai &
batuk atau bersin

Activity
(Tonus otot)

Lemas

Ekstremitas sedikit
fleksi

Gerakan aktif

Respiration
(Upaya bernafas)

Tidak ada

Lambat, tidak
teratur

Baik, menangis

Universitas Sumatera Utara

22
2.7.3. Faktor yang Mempengaruhi
Beberapa elemen skor APGAR bergantung sebagian pada kematangan
fisiologis bayi baru lahir, bayi kurang bulan yang sehat dapat menerima skor
rendah. Skor APGAR mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk, tidak
terbatas pada, malformasi janin, obat-obatan ibu, infeksi, jenis persalinan dan
teknik anestesi yang digunakan saat persalinan sesar (Cunningham, et al., 2013;
Rahmanina, et al., 2014).

2.8. Asfiksia pada Bayi Baru Lahir
2.8.1. Definisi
Asfiksia neonaturum merupakan suatu kondisi di mana bayi tidak dapat
bernapas secara spontan setelah lahir. Keadaan tersebut dapat disertai
dengan adanya hipoksia, hiperkapnea, sampai asidosis (Hidayat, 2008).

2.8.2. Karakteristik
Asfiksia pada BBL ditandai dengan keadaan hipoksemia, hiperkarbia, dan
asidosis. Menurut American Academy of Pediatrics dan American College
of Obstetricians and Gynecologists (2004) dalam Kosim dkk (2010) dan
Leuthner dan Das (2004), asfiksia perinatal pada seorang bayi menunjukan
karakteristik berikut:
1. umbilical cord arterial pH

: