Eufemisme Dalam Bahasa Melayu Riau Chapter III V
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Dasar
Berdasarkan permasalahan yang diteliti, metode dan jenis Penelitian ini
menggunakan penelitian metode penelitian
lapangan. Metode ini dipandang
dapat untuk menjawab tujuan permasalahan yang di bicarakan di atas. Karena
metode penelitian lapangan berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat
yang diteliti dan hasil yang didapat juga lebih akurat. sebab seorang peneliti harus
berbaur langsung dengan keseharian masyarakat dan mengikuti semua tatacara
adat Budaya yang mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini
bertujuan untuk menemukan ada atau tidaknya ungkapan bahasa eufeumisme
yang digunakan dalam keseharian sesuai budaya masyarakat setempat.
Bentuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Bogdan dan Taylor (dalam Basrowi dan Suwandi ,2009:21) mengatakan, “Metode
kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis dari orang-orang dan perilakunya dapat diamati”. Pada Penelitian ini
digunakan
bentuk
kualitatif
karena
penelitian
ini
menganalisis
dan
menggambarkan tentang eufemisme dalam BMR
3.2 Lokasi dan Sumber Data
Lokasi penelitian adalah Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten
Kampar. Alasan penulis memilih lokasi penelitian ini adalah karena penduduknya
asli etnis Melayu Riau dan eufemisme disana masih asli atau belum dipengaruhi
Universitas Sumatera Utara
oleh kebudayaan lain.Kamus yang digunakan sebagai sumber data tulis antara lain
keajaiban pepatah minang karangan Drs. Gouzali Saydam, Bc. T.T.
3.3 Intrumen Penelitian
Sebelum
penulis
melakukan
penelitian,
penulis
terlebih
dahulu
mempersiapkan instrumen atau alat bantu penelitian. Instrument penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah: buku catatan untuk mencatat hal-hal yang
terdapat dalam dokumen yang menjadi data penelitian dan alat perekam atau tape
recorder, yang digunakan untuk membantu merekam wawancara dengan
informan sehingga mempermudah penulis saat pengolahan data.
3.4 Metode pengumpulan Data
Studi kepustakaan ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka. Membaca, mendokumentasikan, dan
melakukan wawancara langsung. Mendatangi tempat dan benda peninggalan
bersejarah, menelaah sumber pustaka dari perpustakaan setempat, dan ikut serta
mengambil bagian dalam setiap kegiatan kebudayaan yang diadakan. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Teknik Observasi
Pada penelitian ini teknik pengambilan data yang digunakan adalah
langsung turun ke lapangan untuk mencari data yang ada dan lengkap dari
informan (tokoh-tokoh adat) dan masyarakat setempat yang penulis jadikan
sebagai informan dalam melakukan penelitian.Penulis bertanya seefektif mungkin
Universitas Sumatera Utara
sehingga data yang didapat dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya dan
tidak terjadi kesalahpahaman.
b. Teknik Wawancara Langsung
Tantawi
(2014)
dalam
bukunya
Bahasa
Indonesia
Akademik
mengatakan bahwa melalui metode wawancara merupakan salah satu cara
memperoleh data dari seseorang yang memiliki kompetensi tentang sesuatu.
Metode wawancara ini sangat dibutuhkan dan diutamakan dibanding metode
angket dan dokumentasi.
Penulis mengutamakan data dari setiap penduduk (pemakai bahasa) atas
bahasa yang digunakan sehari-hari untuk mengetahui peranan penghalusan makna
melalui sistem percakapan mereka, baik di tempat kerja maupun dalam acara
tertentu yang bertemakan kebudayaan Melayu Riau. Penulis berbaur dan ikut
dalam keseharian mereka dan berprilaku layaknya adat istiadat budaya Melayu
Riau.
c. TeknikKepustakaan (Dokumentasi)
Arikunto (2002:135) menyatakan
bahwa dokumentasi asal katanya
“dokumen” yang artinya barang-barang tertulis. Dalam melaksanakan metode
dokumentasi, penulis menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku, majalah,
peraturan, catatan harian, serta dokumen lainnya. Metode ini digunakan untuk
memperoleh data mengenai tabel penduduk, gambar peta wilayah, bahasa
keseharian, gambaran umum penduduk pada wilayah ajang penelitian.
Universitas Sumatera Utara
3.5 Metode Analisis Data
Metode
analisis
data
merupakan
proses
pengaturan
data
dan
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola. Dalam penelitian ini data yang
diperoleh akan diolah dan dianalisis secara deskriptif. Metode ini digunakan
untuk mengolah data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah.
Adapun langkah-langkah dalam metode analisis data adalah sebagai
berikut:
a.
Data diklasifikasikan sesuai dengan objek pengkajian;
b.
Menganalisis data yang di dalamnya terdapat bahasa eufemisme BMR;
c.
Menginterpretasikan hasil analisis dalam bentuk tulisan yang sistematis; dan
d.
Memberikan kesimpulan tentang eufemisme dalam BMR.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1Tipe-tipe Eufemisme dalam BMR
Allan dan
Burridge
mengelompokkan tipe-tipe eufemisme
yang
dijumpainya dalam bahasa Inggris sebanyak 16 tipe yakni (1) ekspresi figuratif
(figurative expressions), (2) metafora (metaphor), (3) plipansi (flippancy), (4)
memodelkan kembali (remodelling), (5) sirkumlokasi (circumlocutions), (6)
kliping (clipping), (7) akronim (acronyms), (8) singkatan (abbreviation),(9)
pelesapan ( omission), (10) satu kata untuk menggantikan satu kata lain (11)
umum ke khusus (general for specific), (12) sebahagian untuk keseluruhan (part
for whole euphemism), (13) hiperbola (hyperbole), (14) makna di luar pernyataan
(understatement), (15) jargon (jargon) dan (16) kolokial (qolloquial)
Berdasarkan hasil penelitian, dalam BMR hanya enam tipe yang
ditemukan dari keenam belas tipe dalam bahasa Inggris tersebut. Keenam tipe
yang ditemukan di atas merupakan sesuatu hal yang wajar, karena BM khususnya
BMR merupakan bahasa yang sederhana. Jika kembali ke masa lampau.
Dikatakan bahwa kesederhanaan BM merupakan salah satu syarat untuk diangkat
menjadi Bahasa Indonesia.
Meski hanya enam tipe yang ditemukan namun ungkapan mengenai
eufemisme sangat banyak dalam BMR. Sebahagian besar kata-kata ataupun
ungkapan dalam BMR merupakan eufemisme. Hal ini tentu sejalan dengan
budaya dalam MMR yang sangat bersopan santun dalam semua aspek kehidupan,
termasuk dalam hal berbicar.a
Universitas Sumatera Utara
Kesopan santunan ini membuat MMR enggan menyampaikan segala
sesuatu dengan terus terang, untuk itu dicari kata-kata atau ungkapan yang lebih
halus untuk menggantikan ungkapan yang dianggap kasar, kurang menyenangkan
ataupun menyakitkan hati pendengar.
Berikut ini contoh keenam tipe eufemisme BMR tersebut, seperti:
A. Ekspresi Figuratif (figurative expressions)
Eufemisme ini bersifat perlambangan, ibarat, atau kiasan.
Contoh:
(1) Ketika ado jangan dimakan, lah tak ado baru dimakan.
‘Ketika ada jangan dimakan, sesudah tidak ada baru dimakan.’
Maknanya:
Sepintas kalimat di atas merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Karena
sesuatu yang dimakan itu adalah ketika memiliki makanan, dan tidak bisa
memakan sesuatu yang tidak ada kita miliki. Namun, bila kita teliti lebih
mendalam, eufemisme ini merupakan nasihat jitu yang harus dilaksanakan agar
kita terhindar dari kelaparan dan kesukaran. Eufemisme ini menggambarkan sikap
yang selalu hemat dalam menggunakan harta benda, senantiasa mengingat masa
depan yang mungkin tidak cerah. Ia menyarankan agar kita berhemat selagi ada
sehingga hasil penghematan kita itu dapat dimanfaatkan pada musim paceklik.
B. Metaphor (metafor)
Metaphor adalah perbandingan yang implisit, jadi tanpa kata seperti atau
sebagaidiantaranya dua hal yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Contoh:
(2) Kenyang lah lintah melekat di kaki.
(3) Angin lalu membawa berita.
C. Satu Kata Menggantikan Kata Lain (one for one substitution)
Contoh :
(4) ayam penaik rumah>anak bujang yang suka bertandang ke rumah
gadis atau sebaliknya.
(5) karambia cukia > alat kelamin perempuan
D. Umum ke Khusus (general for specific)
Contoh:
(6) gunting> alat yang dibutuhkan untuk keperluan menjahit
(7) berisi> masih gadis
(8) burung salah nama> burung punai
E. Hiperbola (hyperbole)
Hiperbola adalah ungkapan yang melebih-lebihkan apa sebenarnya
dimaksudkan, seperti jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya.
Contoh:
(9) Cintaku tak mungkin luntur
(10) Akan kubawa nama kanda sampai ke liang kubur.
F. Kolokial (colloquial)
Kolokial adalah bahasa yang digunakan sehari-hari
Universitas Sumatera Utara
Contoh:
(11) datang bulan > haid
4.2 Fungsi Eufemisme
Berdasarkan hasil penelitian, eufemisme dalam BMR berfungsi untuk:
1. Sapaan
2. Menghindari tabu
3. Menyatakan cara
4. Menyatakan situasi
4.2.1 Sapaan (untuk Menjaga Hubungan)
A. Nama Tuhan
Sebagai umat yang beragama MMR yang dikenal ketaatannya dalam
menjalankan agama yang dipeluknya, yakni agama Islam, selalu menjaga
hubungan baik dengan sang pencipta, yakni Tuhan. Dengan demikian, sudah
menjadi hal yang tidak asing lagi dalam BMR, banyak ditemukan nama untuk
menggantikan kata Tuhan yang digunakan dalam situasi resmi, maupun situasi
tidak resmi yakni dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya Allah azza wazalla,
Nur Ilahi Robbi, Bismillah, dan sebagainya.
B.
Nama Orang yang Didasarkan kepada Perbedaan Umur, Gender Latar
Belakang Sosial, dan Fungsi Sosial
MMR sangat menghargai sopan santun dalam masyarakat.Salah satu hal
dari perwujudan sopan santun itu ialah menyapa orang lain.Dalam MMR sangat
dipantangkan memanggil nama seseorang yang lebih tua dari penutur. Yang
Universitas Sumatera Utara
terutama harus dilihat sebelum menyapa yakni umur dan jenis kelamim seseorang.
Apakah lebih tua atau lebih muda dari penyapa kepada orang yang lebih tua
usianya dari penutur akan disapa dengan abahjika laki-lakidan akak jika
perempuan. Jika usia seseorang tersebut lebih tua dari usia penutur, maka
dipanggil uwak, jika lebih muda usianya dari orang tua si penutur,maka si penutur
akan memanggilnya dengan pakcik jika laki-laki, dan makcik jika perempuan.
Masyarakat Melayu tersusun dari peringkat yang paling bawah yaitu
rakyat jelata. Sistem sosial dalam masyarakat Melayu yakni sistem susunan lapis
dan pelapisan masyarakat. Urutan yang paling tinggi berada pada raja dan sultan,
selanjutnya rakyat berada di bawahnya.
Selain itu merupakan hal yang penting diperhatikan. Dalam masyarakat
Melayu panggilan kepada seseorang didasarkan urutan kelahiran. Anak pertama
harus disebut ulung, ulong, long, iyung ataupun yong. Anak kedua disebut ngah
atau angah, anak ketiga disebut alang, anak keempat disebut uda , anak kelima
disebut andak , anak keenam disebut uteh, anak ketujuh disebut itam ,anak
kedelapan disebut acik atau cik, anak kesembilan disebut ucu atau bungsu.
Sebutan itu berlaku umum kecuali sapaan terhadap anak-anak.
C. Nama Binatang Buas
Ternyata hubungan baik tidak saja kepada sang pencipta ataupun kepada
sesama umat manusia, yang harus dijaga juga hubungan baik tersebut.Untuk itu,
ada nama-nama tertentu pada hewan yang tidak dibenarkan disebut sesuka hati,
karena ia dapat marah .
Contoh:
Universitas Sumatera Utara
Kata ular harus diganti dengan kata akar.
Jika di dalam laut agar ia tidak menggigit ataupun mengejar
Kata harimau jika berada didalam hutan, harus diganti dengan kata nenek
ataupun datuk.
4.2.2 Menghindari Tabu
Sesuatu yang tabu merupakan suatu hal yang tidak boleh dilanggar
karena akan menyebabkan sesuatu terjadi pada diri kita yang melanggar tabu
tersebut . Misalnya kata kapur tabu diucapkan pada malam hari karena jika kata
tersebut diucapkan maka penyakit akan menimpa terutama terhadap anak-anak
dari keluarga yang mengucapkanya . Sebagai gantinya
digunakan kata tahi
burung . Kata minyak tabu diucapkan pada malam hari karena jika diucapkan akan
mendatangkan bahaya kebakaran, sebagai gantinya digunakan kata air.
Berbeda halnya dengan eufemisme, jika seseorang melanggar atau
tidak menggunakannya, maka akibatnya berupa sanksi sosial, yakni dikatakan
tidak sopan, tidak tahu adat. Sesuatu yang ditabukan dipastikan masuk ke dalam
eufemisme, namun sebaliknya eufemisme tidak dapat dikatakan tabu.
Menurut Allan dan Burridge dalam bahasa Inggris ada 9 hal yang
ditabukan, sedangkan di dalam bahasa Indonesia ada 7 yakni: (1) bahagian tubuh,
(2) seks, (3) haid, (4) cacat mental atau tubuh (5) yang dibuang/dikeluarkan dari
tubuh (6) kematian, sedangkan tiga lagi yakni tabu terhadap bagian tubuh,
penyakit dan seni tidak ditemukan.
A. Tabu atas Bahagian Tubuh Khusus
Universitas Sumatera Utara
Terdapat kata-kata tabu pada bahagian tubuh khusus dalam BMR.
Contoh:
Kata conek ‘alat kelamin laki-laki’ sangat keras ditabukan. Sebagai
gantinya dipakai kata burung dengan makna kandungan yaitu burung di dalam
celana.
Kata pantek ‘alat kelamin perempuan’ juga ditabukan, sebagai gantinya
digunakan kata ayam atau kata kerambil ‘kelapa’.
Kata tetek ‘buah dada’ sangat keras ditabukan dalam MMR. Tidak ada
pengganti untuk itu. Penghindaran penyebutan bentuk itu berkaitan dengan
penghormatan atau sikap santun pada bahagian tubuh yang menjadi pusat
penyaluran makanan manusia pada awal kehidupannya.
B. Tabu dalam Bidang Seks
BMR sebagaimana halnya dengan bahasa-bahasa lain di dunia, bahwa
kata-kata yang mengarah ke bidang seks dianggap sesuatu yang tabu. Contoh:
kata malam pertama digunakan untuk menggantikan kata pengantin yang telah
melakukan hubungan badan sebagai suami istri untuk pertama kalinya. Kata
hubungan suami istri sangat ditabukan untuk disebut, maka sebagai gantinya
digunakan kata gunting. Kata perawan untuk menyatakan seorang istri yang
masih gadis pada malam pertama juga ditabukan disebut, sebagai gantinya
digunakan kata berisi.
C.Tabu di Bidang Kesehatan
Kata haid dalam BMR juga ditabukan. Seorang wanita akan merah
mukanya menahan malu jika dikatakan ia sedang haid. Sebagai penggantinya
digunakan kata datang bulan atau sering juga disebut tamu bulanan. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
disebutkan demikian karena datangnya sekali dalam satu bulan bagi wanita yang
normal kesehatannya.
D. Tabu Atas Cacat Mental dan Tubuh.
Cacat mental merupakan suatu hal yang tabu untuk diceritakan dalam
MMR. Jika ingin mengetahui kebenaran dari cerita yang didengar menyangkut
cacat mental seseorang, maka ia sangat ditabukan untuk menanyakan langsung
kepada keluarga yang bersangkutan. Ia harus menanyakan kebenaran cerita itu
kepada orang lain yang dipercayainya. Dengan ungkapan terganggu ingatan
untuk menggantikan kata gila yang bermakna cacat mental dalam BMR.
Sama halnya dengan cacat mental ‘cacat pada anggota tubuh’ yang
lainnya juga sangat ditabukan dalam BMR. Kata pincang ‘cacat anggota tubuh’
pada kaki. Sebutan buta untuk mata, bengang (turiak);pakak untuk cacat
pendengaran, dan sebagainya. Yang berhubungan dengan cacat pada anggota
tubuh sangat ditabukan untuk disebutkan. Keseluruhan kata itu dapat digantikan
dengan kata berubah.
(11) sudah berubah den tengok kakinyo tu
(12) Iao, sudah tak elok den tengok doh. Kena apo kakinyo tu?
E .Tabu Atas yang Dibuang/yang Dikeluarkan Tubuh
Ada hal-hal yang tabu untuk dibicarakan pada bahagian tubuh atau yang
dibuang atau yang dikeluarkan tubuh . Contoh bere ’buang air besar’ sangat tabu
diucapkan, dianggap sangat tidak sopan jika seseorang mengucapkan kata Awak
endak bere. Kata itu harus diganti dengan kata Aden ka buang ae besar.
Universitas Sumatera Utara
Kata kencing juga sangat ditabukan untuk diucapkan, sebagai gantinya
digunakan kata kemeh.
Contoh .
Adekmu ingin kemeh kebelakang.
F . Tabu Atas Kematian
Mati yang melenyapkan semua kenikmatan dari dalam dunia sangat
ditabukan untuk disebut-sebut. Orang tua sangat marah sekali jika ia mengetahui
anaknya menyebut-nyebut katamati, apalagi meminta untuk mati. Dalam BMR
kata matidiganti dengan pulang atau udah duluan.
4.2.3 Cara Eufemisme Digunakan
Untuk mengatakan cara eufemisme, digunakan strategi komonikasi.
Contoh:seorang tamu yang sangat haus, ketika sudah berbicara panjang lebar
belum juga melihat tuan rumah akan menyediakan minuman, maka ia akan
berkata sebagai berikut:
(15) Ape mati aer disini?
Ungkapan itu sangat halus bila dibandingkan dengan ungkapan yang sama
maknanya tapi membuat tuan rumah akan kehilangan muka, seperti:
(16) Awak udah haus kali ne, bagilah minom.
Contoh berikut ini juga menunjukkan strategi komunikasi yang digunakan
untuk menyatakan cara. Contoh:Aminah memerlukan bantuan Badu untuk
mengerjakan PR-nya.
Universitas Sumatera Utara
4.2.4 Menyatakan Situasi
Terdapat dua hal yang penting untuk menyatakan situasi yakni:
A. Situasi Resmi
Situasi resmi yang dalam hal ini diwakili oleh dua hal yakni dalam acara
(1) perkawinan, dan(2)kematian.Untuk dapat diketahui dengan jelas perhatikanlah
contoh berikut ini.
Contoh:
(18)
Ampun datuk,
Nikah dimaksud sebelum mengetam
Langsung mahar setengah bagian
Jumlah genap 64 ringgit
Tepat pada tujuh Sya’ban
Contoh (18)menunjukkan situasi resmi yakni suatu rangkaian dari acara
perkawinan, untuk menetapkan hari aqad nikah yakni pada tujuh Sya’ban. Tempat
dilaksanakan aqad niah yakni di rumah mempelai perempuan. Situasi resmi ini
dapat pula dijumpai pada acara kematian, berupa kata-kata yang dapat diwakili
dengan kalimat berikut.
(19) Raja mangkat, raja menanam.
Raja meninggal raja menanam.
Hanya pada saat upacara kematian saja dapat dijumpai ungkapan yang
berbunyi (19). Jadi, pada saat raja wafat langsung dilantik pengganti raja, yang
tugas pertamanya dimulai dengan pemimpin acara kematian raja yang
digantikannya .
Universitas Sumatera Utara
B. Situasi Penggunaan Tidak Resmi
Dua peristiwa yakni perkawinan dan kematian telah mewakili penggunaan
situasi secara resmi dalam eufemisme. Sedangkan situasi yang tidak resmi
terdapat dalam kehidupan sehari hari. Misalnya jika seseorang berjumpa ‘ular’ di
dalam laut tidak boleh disebut ular. Harus digantikan dengan kata akar atau kayu.
Menurut kepercayaan Masyarakat Melayu Serdang (MMS) jika seorang menyebut
nama ‘ular’, maka ular tersebut akan menggigit ataupun mengejar. Kata ‘harimau’
Tidak dibenarkan disebut jika berada di dalam hutan sebagai gantinya harus
disebut nenek atau datuk.
Selain hal di atas, tabu (pantang) disebut ‘nama orang tua’. Hal ini
dilakukan agar nama orang tua tetap dihormati. Sebagai gantinya disebut ayah
untuk ‘orang tua laki-laki’, dan emak untuk ‘orang tua perempuan’.
Kata ‘kapur’ juga ditabukan penggunaannya terutama di malam hari. Kata
itu harus diganti dengan kata tai burung, agar tidak menimbulkan bencana sakit
bagi yang menyebutnya.
Kata ‘jarum’ dihindari menyebutnya pada malam hari, sabagai
penggantinya digunakan kata tombak, sesuai dengan sifat benda itu yang tajam.
Masyarakat penutur BMS percaya bahwa jika barang tersebut diucapkan namanya
maka kerugian dalam perdagangan akan menimpa. Sama halnya dengan kata
minyak lampu yang tidak boleh disebutkan pada malam hari, karena akan
mendatangkan bahaya kebakaran. Sebagai penggantinya digunakan kata aer.
Universitas Sumatera Utara
4.3 Makna Eufemisme
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam metode analisis data, bahwa
untuk menentukan makna digunakan kajian pragmatik. Dengan tahap yakni
menjelaskan makna sesuai dengan konteks yang meliputi : (1) penutur dan lawan
tutur, (2) konteks tuturan, (3) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, (4)
tujuan tuturan, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.
4.3.1 Penutur dan Lawan Tutur
Konsep ini mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang dijadikan
objek dikomunikasikan dengan media tulisan. Ada empat aspek penting yang
berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini yakni : usia, latar belakang sosial
ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban. Untuk lebih jelasnya perhatikan
tuturan berikut ini.
Tuturan dalam BMR (20)
Sireh besusun pinang belonggok
Tepak berbaris menunggu sape
Anak beru menunggu izin
Dari keluarge Datok Husny mulie
TDBI
(20)
Sireh besusun pinang berlonggok
Tepak berbaris menunggu sapa
Anak beru menunggu izin
Dari keluarge Datok Husny mulia
Universitas Sumatera Utara
Tuturan dalam BMR (21)
Ampun Datok,
Seperti sireh pulang ke gagang
Seperti pisang pulang ke tampok
Tak ade raje menolak sembah
Hidup dikandung adat
Mati dikandong tanah
Lembage diisi adat dituang
TDBI
(21)
Ampun Datok,
Seperti sirih pulang ke gagang
Seperti pisang pulang ke tampuk
Tak ada raja menolak sembah
Hidup dikandung adat
Mati dikandung tanah
Lembaga diisi adat dituang
A. Usia Penutur dan Lawan Tutur
Tuturan di atas dikutip dari sebahagian pantun dalam rangkaian acara
peminangan. Tuturan tersebut dituturkan oleh penutur (telangkai) yang berusian
sekitar 40-an, diambil dari rata rata usia penutur dalam acara adat, khususnya
acara perkawinan Meskipun kadang-kadang dijuimpai penutur yang berusia
sekitar 50-an, namun ini jarang terjadi. Hal ini disebabkan banyaknya rangkaian
acara yang harus diikuti dalam acara perkawinan, mulai dari merisik, meminang,
mengantar, menikah, dan bersanding. Untuk itu maka dipilih usia 40-an suatu usia
Universitas Sumatera Utara
yang dianggap sudah matang dari segi fisik dan mental untuk mengikuti rangkaian
acara yang sedemikian banyak tersebut.
Sama halnya dengan usia penutur, usia lawan tutur pun rata-rata berkisar
40-an. Pada umumnya pihak yang ikut ambil bagian dalam acara tersebut hanya
yang sudah berumah tangga. Kecuali dalam acara mengantar diikutkan seorang
anak dara, dan seorang anak lajang, masing masing mereka akan mengiringkan
pengantin.
B. Latar Belakang Sosial Ekonomi Penutur dan Lawan Tutur
Pada umumnya latar belakang sosial ekonomi penutur dan lawan tutur
yakni menengah ke atas. Sebagaiman hal yang sudah umum diketahui bahwa
hanya golongan kelas menengah ke atas yang mempunyai waktu untuk mengikuti
acara-acara adat. Kelas ekonomi menengah ke bawah, pastilah disibukkan oleh
tuntutan kebutuhan hidup yang harus mau tidak mau dipenuhinya seharian penuh,
sehingga tidak memungkinkannya lagi untuk mengikuti rangkaian acara yang
demikian rupa.
C. Jenis Kelamin Penutur dan Lawan Tutur
Sesuai aturan dalam agama islam yang dianut oleh masyarakat Melayu,
dimana kaum lelaki ditempatkan sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Maka
dalam acara adat , seperti perkawinan , dimana penutur dianggap sebagai
pemimpin dalam acara tersebut, begitu juga dengan lawan tutur, keduanya
berjenis kelamin laki-laki. Belum pernah ditemukan penutur dalam acara adat
berjenis kelamin perempuan.
Universitas Sumatera Utara
D. Tingkat Keakraban Penutur dan Lawan Tutur
Tingkat keakraban penutur dan lawan tutur pada tuturan di atas, dikatakan
tidak akrab. Penutur dan lawan tutur baru saling berkenalan pada acara tersebut
berlangsung. Hal ini diketahui dari tuturan, (20) Anak beru menunggu izin, dari
keluarge Datok Husny mulie, jika hubungan antara penutur dan lawan tutur sudah
akrab, biasanya nama tidak lagi disebutkan pada acara tersebut.
4.3.2 Konteks Tuturan
Austin (1962), dalam Wijana (1996:24-25) mengatakan bahwa konteks
tuturan harus memenuhi tiga syarat (1) orang yang mengutarkan dan situasi
pengutaraan harus sesuai, (2) tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguh
oleh penutur dan lawan tutur, (3) penutur dan lawan tutur harus memiliki niat
yang sungguh-sungguh untuk melakukan tindakan itu.
A. Orang yang Mengutarakan dan Situasi Pengutaraan harus Sesuai
Tuturan dalam BMR (22)
Kalau die kene isok teketawaran lagi, jangan
dilanggar pantang, macam-macam saje isok tibe, ke
atas te bepucok, ke bawah te berakar, ne bukan kate
ambe, tapi kate orang halus
TDBI (22)
Kalau dia kena nanti, tidak dapat dibantu lagi,
jangan dilanggar pantang, macam-macam saja nanti
ke atas tidak berpucuk ke bawah tidak berakar, ini
bukan kata penulis tapi kata orang halus
Universitas Sumatera Utara
Diperlihatkan dari Tuturan (22) di atas bahwa syarat 1, telah dipenuhi
yakni kesesuaian antara orang yang mengutarakan dan situasi pengutaraan.
Tuturan (22) Dikatakan bahwa kesesuaian itu dapat dipenuhi di sini karena
tuturan dalam konteks (22) di atas dituturkan oleh pawang laut pada acara jamu
laut, bertempat di pinggir pantai. Acara ini merupakan peninggalan animisme
berupa kepercayaan dalam masyarakat untuk mempersembahkan kepada
penunggu laut, agar hasil-hasil dari laut melimpah ruah.
B. Tindakan Harus Dilakukan Secara Sungguh-sungguh oleh Penutur dan
Lawan Tutur
Tindakan yang dilakukan oleh pawang laut dalam hal ini sebagai penutur,
juga diyakini secara sungguh-sungguh oleh lawan tutur dalam hal ini masyarakat
yang hadir dengan cara mematuhi pantangan yang telah disebutkan penutur (22)
kalau die kene isok, teketawaran lagi... Semua masyarakat sebagai lawan tutur
yakin bahwa jika mereka melanggar pantangan tersebut, maka mereka tidak dapat
disembuhkan lagi.
C. Penutur dan Lawan Tutur Harus Memenuhi Niat yang Sungguh-sungguh
Untuk Melakukan tindakan
Tuturan berikut ini menunjukkan bahwa hal itu terlaksana, sehingga
tuturan berikut ini dikatakan valid.
Tuturan dalam BMR (23)
Sedeh sunggoh anak piatu
Tiade beharte diri dibenci
Adat rumah tentu bepintu
Adat pintu tetap bekunci
TDBI (23)
Sedih sungguh anak piatu
Universitas Sumatera Utara
Tidak berharta diri dibenci
Adat rumah tentu berpintu
Adat berpintu tentu berkunci
Tuturan dalam BMR (24)
Kalau rumah tide berpintu
Dimane arah boleh disingkup
Kalau puan kate begitu
Inilah kunci due serangka
TDBI (24)
Kalau rumah tidak berpintu
Dimana arah boleh disingkap
Kalau puan kata begitu
Inilah kunci dua serangkap
Niat penutur dan lawan tutur memang terlihat sungguh-sungguh untuk
melakukan tindakan yakni memenuhi janji berupa (uang hempang pintu) yang
telah mereka tetapkan bersama. Dalam konteks ini niat memberi kunci (uang
hempang pintu) yang diberikan dengan ikhlas oleh penutur telah diterima dengan
ikhlas pula oleh lawan tutur. Keikhlasan tersebut tercermin dengan dipenuhinya
pemberian tersebut, Inilah kunci dua serangkap.
4.3.3 Tujuan Tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh
maksud dan tujuan tertentu (wijana,1996:11). Bentuk tuturan yang bermacammacam dapat digunakan untuk menyampaikan maksud yang sama. Sebaliknya
berbagi macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Tuturan dalam BMR (25) same umor dah setahun jagung
(26) same darah setampok pinang
(27) same akal lumboh ke luar
TDBI
(25) sama umur sudah setahun jagung
(26) sama darah setumpuk pinang
(27) sama akal tumbuh ke luar
Tuturan (25), (26), (27), meski disampaikan dalam bentuk yang berbeda-
beda, namun ketiga bentuk tuturan tersebut mempunyai makna yang sama yakni
menyatakan ‘usia yang masih muda’.
Selanjutnya, berbeda halnya dengan kata mendai, jika diucapkan dalam
berbagai variasi dan situasi yang berbeda-beda dapat berarti :
(1) mengejek
seseorang yang kelakuannya kurang baik, lihat tuturan (8) berikut ini :
Tuturan dalam BMR (28)
TDBI (28)
Mendai betol peelmu.
Bagus benar kelakuanmu.
Kata mendai juga dapat diartikan (2) sebagai kelakuan yang baik, lihat
tutura (29) berikut ini.
Tuturan dalam BMR (29) Mendai betol kelakuan subang ne genari.
TDBI (29) Bagus benar kelakuan subang ini sekarang
Kata mendai dapat juga berarti (3) ‘kabar baik’ contoh perhatikan tuturan
(30). Dan jawaban tuturan pada no (31), berikut ini.
Tuturan dalam BMR (30) Maye kabarmu genari ?
(31) Mendai
TDBI
(30) Apa kabarmu sekarang ?
(31) Bagus
Universitas Sumatera Utara
Dari tuturan no (31) jelas diketahui bahwa kata mendai diartikan sebagai kabar
baik.
4.3.4 Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan Atau Aktivitas.
Hal ini menyangkut
penutur,
lawan tutur, tempat,
dan waktu
diselenggarakannya tuturan.
Tuturan dalam BMR (32)
Lancang kuning belayar malam
Arus deras karangnye tajam
Jike mualem kurang paham
Alamat kapal akan tenggelam
TDBI
(32)
Lancang kuning berlayar malam
Arus deras karangnya tajam
Jika mualim kurang paham
Alamat kapal akan tenggelam
Penutur pada tuturan di atas yakni telangkai, yakni utusan dari pihak
pengantin perempuan. Tuturan itu ditujukan kepada pihak mempelai pria sebagai
sindiran agar ia berhati-hati dalam menjalankan kehidupan rumah tangga yang
akan dijalaninya.Pria sebagai kepala rumah tangga akan sangat menentukan sekali
dalam
kelanggengan
rumah
tangga
yang
dipimpinnya.Tempat
tuturan
dilangsungkan yakni di rumah mempelai wanita, dan waktu berlangsung acara ini
ialah pada siang hari, setelah akad nikah dilaksanakan.
Universitas Sumatera Utara
4.3.5 Tuturan Sebagai Bentuk Tindak Verbal
A. Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
Penggunaan suatu kalimat secara konvensional sesuai dengan fungsinya.
Misal kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu, kalimat tanya untuk
menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah digunakan untuk memerintah sesuatu.
Perhatikan contoh berikut.
Tuturan dalam BMR (33)
Kami orang jauh di sungai
(34)
Bolehkah bunga kalau dipetik ?
(35)
Mari kite bersantap
Tindak tutur tidak langsung dapat dibentuk dari kalimat perintah, yang
diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya dimaksudkan untuk
memperhalus perintah tersebut.
Tuturan dalam BMR (36)
TDBI
Teruna sudah lelah
(37)
Kemane anak mas te ?
(36)
Teruna sudah lelah
(37)
Kemana anak emas tersebut ?
Tuturan (36) bila diucapkan kepada panitia acara itu berarti memerintahkan agar
acara dipercepat karena pengantin pria telah lelah. Berikutnya tuturan (37) bila
diucapkan kepada lawan tutur dimaksudkan untuk memerintah agar lawan tutur
mencari anak ke penulisngan yang sedang tidak berada di tempat.
Tindak tutur tidak langsung, tidak dapat dijawab secara langsung, namun
memerlukan tindakan yang segera harus dilaksanakan.
Universitas Sumatera Utara
Tuturan dalam BMR :
(38) Maaf ye,Abang dak berangkat ne.
(39) Ielah,patek pun dak mengorak sile lah ne.
TDBI
(38) Maaf ya Abang akan berangkat.
(39) Oh ya, penulis pun mohon dirilah.
Dari uraian di atas skema penggunaan modus kalimat, dalam hubungannya
dengan tindak tutur digambarkan oleh Wijana (1996:32) sebagai berikut :
Tabel 7 :
Penggunaan Modus Kalimat dalam Hubungannya dengan
Berlangsungnya Tindak Tutur
Modus
Tindak Tutur
Langsung
Tidak Langsung
berita
memberitakan
menyuruh
tanya
bertanya
menyuruh
perintah
memerintah
-
B. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal
Tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang
menyusunnya disebut tindak tutur literal, sedangkan tindak tutur yang maksudnya
tidak sama atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya disebut
tindak tutur tidak literal.
Tuturan dalam BMR :
(40) Pelukis ian lukisannye bagus.
(41) Lukisanmu bagos, tapi usahko ngelukis.
(42) Tapenye kuatke awak dak nyatat lagu ne.
Universitas Sumatera Utara
(43)Tapenye tide kuat, Tolong kuatkue awak endak belajar.
TDBI
:
(40) Pelukis itu lukisannya bagus.
(41) Lukisan mu bagus, tapi tidak usah kau melukis.
(42) Tapenya keraskan! Penulis ingin mencatat lagu.
(43) Tapenya kurang keras, tolong keraskan lagi akau mau
belajar.
Tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung disinggungkan
(diinterseksikan) dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, maka
akan didapatkan variasi berikut ini :
1. Tindak tutur langsung literal
2. Tindak tutur tidak langsusng literal
1. Tindak tutur langsung tidak literal
2. Tindak tutur tidak langsung tidak literal
C.Tindak Tutur Langsung Literal
Tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama
dengan maksud pengutaraannya disebut tindak tutur langsung literal. Perhatikan
contoh berikut (42) dan (43).
Tuturan dalam BMR:
(44) Kami dengar Datok orang arif, orang bijaksane
(45) Bolehkah bunge kalau dipetik ?
Tuturan (44) dan (45) merupakan tindak tutur langsung literal karena
dimaksudkan menyatakan bahwa orang yang dibicarakan sangat pandai (46),
sedangkan tuturan (47) dimaksudkan untuk menanyakan apakah anak gadis boleh
Universitas Sumatera Utara
dipinang.Maksud memberitahukan diutarakan dengan kalimat berita, maksud
bertanya diutarakan dengan kalimat tanya.
D. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
Tindak tutur yang diungkapkan dengan maksud yang tidak sesuai dengan
maksud pengutaraannya, tetapi kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa
yang dimaksudkan penutur disebut tindak tutur tidak langsung literal. Maksud
memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya. Perhatikan
tuturan (47), dan (48) berikut ini :
Tuturan dalam BMR (47)
+ Rumah ne tide disapu.
- le lah, biar awak sapu genari.
(48)
+ Kemane bunge tenan ?
- Sekejap ye ,awak carike.
TDBI
(47)
+ Rumah ini tidak disapu.
- Ialah, biar penulis sapu sekarang.
(48)
+ Kemana anak gadis tadi pergi ?
- Sebentarlah, penulis carikan.
E. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
Tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan
maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang
sama dengan maksud penuturnya disebut tindak tutur langsung tidak literal.
Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah, dan maksud
menginformasikan diungkapkan dengan kalimat berita. Untuk jelasnya perhatikan
contoh di bawah ini :
Universitas Sumatera Utara
Tuturan dalam BMR (49)
(50)
Suaremu merdu betul
Kalau duduk biar nampak sopan, naikke kakimu
Tidak tutur langsung tidak literal yang dimaksudkan penutur pada (49)
yakni untuk menyatakan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus. Sementara
tuturan (50) penutur menyuruh lawan tuturnya untuk tidak menaikkan kaki saat
duduk agar terlihat sopan.
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act)
yakni tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat
yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Untuk menyuruh anak
menyapu lantai yang kotor, ibu bisa menggunakan tuturan (51). Demikian juga
bila hendak menyuruh adik untuk mengecilkan volume televisi, penutur dapat
mengutarakan kalimat berita dan kalimat tanya (52), dan (53) berikut ini :
Tuturan dalam BMR (51)
Lantainye bersih betol
(52)
Televisinye telalu pelan,tide kedengaran
(53)
Ape radio yang pelan begian dapat engko dengar?
Penutur bahasa umumnya menggunakan dua jenis makna yakni makna
harfiah dan makna tidak harfiah. Makna harfiah merupakan makna yang sama
dengan makna bahasa, sedangkan yang dimaksud dengan makna tidak harfiah
yakni makna yang berbeda dengan makna bahasa.
Dibicarakan mengenai makna pada awal pembahasan ini karena untuk
mengindentifikasi dan mengelompokkan tipe-tipe eufemisme dalam BMS terlebih
dahulu harus dilihat status maknanya.
Apakah makna pada kata tersebut harfiah atau tidak. Jika makna pada
suatu kata merupakan makna tidak harfiah, maka kata tersebutlah yang diduga
Universitas Sumatera Utara
(cenderung) eufemisme. Selanjutnya, kata-kata yang diduga (cenderung)
eufemisme ini bukan berarti sudah dapat dikategorikan ke dalam eufemisme.
Harus dilihat pula apakah makna pada kata tersebut mengandung unsur halus,
sopan, ataupun merupakan penghindaran terhadap kata-kata yang dianggap tabu.
Jika salah satu unsur sebagaimana yang telah disebutkan tadi terpenuhi, barulah
kata-kata ini dapat digolongkan ke dalam eufemisme.Hal inilah yang
mengakibatkan semua aspek kehidupan dalam BMR banyak di sampaikan dengan
eufemisme.
Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi budaya maka MMR tidak
saja menghargai keberadaan dirinya, namun mengharigai sang pencipta dan
makhluk lain yang diciptakan-Nya.Salah satu hal yang merupakan perwujudan
dari menghargai yang diciptakan di luar dirinya dapat dilihat dalam penggunaan
terhadap sapaan.MMR tidak dapat langsung menyapa seseorang, ada tiga hal yang
penting yang harus diperhatikannya sebelum menyapa yakni sebagai berikut : (1)
usia, (2) jenis kelamin, (3)urutan kelahiran.
Usia menentukan seseorang untuk disapa, apakah usia di atas pesapa, di
bawah atau sebaya dengan pesapa. Apakah usia di atas orang tua pesapa, di bawah
atau sebaya dengan orang tua pesapa.Meski seseorang sudah diketahui keberadaan
usianya, harus diketahui jenis kelamin pesapa. Seseorang yang berada di atas
pesapa harus di panggil akak atau abah, untuk itu usia dan jenis kelamin sangat
menentukan di sini.
Tidak hanya kedua hal di atas yakni usia dan jenis kelamin yang harus
dilihat, tetapi juga urutan kelahiran sangat menentukan dalam BMR. Seseorang
tidak saja disapa dengan uwak, abah atau akak harus jelas uwak yang mana? Wak
Universitas Sumatera Utara
yong, wak ngah, wak alang, dan seterusnya sesuai urutan kelahiran. Demikian
juga untuk abah dan akak. Jadi urutan ini umum sifatnya untuk seluruh sapaan.
Sebagai masyarakat yang taat dalam menjalankan aturan agama, maka
sapaan untuk Tuhan sangat banyak ditemukan dalam BMR. Dalam hal ini sesuai
dengan agama islam satu-satunya agama yang dianut masyarakat Melayu. Untuk
itu sapaan kepada Tuhan diambil dari ajaran agama Islam yang didasarkan pada
bahasa sumbernya yakni bahasa Arab.
Kepada makhluk ciptaan Tuhan harus dijaga hubungan sosial, jangan
sampai makhluk
tersebut
marah sehingga
mengakibatkan terganggunya
kelangsungan hidup yang penuh tentram dan harmonis. Untuk itu dijumpai sapaan
terhadap binatang seperti ‘ular’ yang harus di sapa dengan akar agar ia tidak
menggigit dan mengejar, ‘harimau’ disapa dengan datuk dan juga ‘lipan’ disapa
dengan pengantin. MasyarakatMelayu Riau merupakan masyarakat yang
menjunjung tinggi adat istiadat yang secara turun temurun diuraikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Adat istiadat itu dipelihara dan dijalankan dalam
kehidupan sehari-hari.
Salah satu hal dari adat istiadat tersebut dijumpai larangan-larangan yang
merupakan ‘tabu’ yang harus dihindari disebabkan dalam MMR diyakini bahwa
siapa pun yang berani melanggar larangan tersebut akan datang bencana (bala)
baik kepada dirinya, keluarganya maupun masyarakt sekitarnya.
Berbeda halnya jika seseorang yang tidak menggunakan pemakaian
eufemisme dengan tepat, maka hanya ia yang dianggap sebagai orang yang tidak
tahu bersopan santun atau tidak mempunyai adat. Hal ini menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat Melayu khususnya MMR lebih merasa takut jika melanggar larangan
tabu, dibandingkan bila ia melanggar larangan eufemisme.
Makna dalam eufemisme dikaji dari sudut pandang pragmatik karena
menentukan makna tergantung pada konteks. Hanya dari kontekslah dapat
diketahui makna yang terkandung dalam kalimat maupun ucapan seseorang. Ada
lima hal yang dikaji untuk menjelaskan makna eufemisme yakni :
a. penutur dan lawan tutur yang mencakup : (1) usia diperkirakan 40 tahun. Hal
ini mengingat banyaknya rangkaian acara yang harus diikuti dengan aktif , (2)
latar belakang sosial ekonomi menengah ke atas. Penutur yang kelas
ekonominya menengah kebawah tidak dapat mengikuti dan aktif. Karena ia
harus memenuhi nafkah keluarganya , (3) Jenis kelamin laki-laki. Tidak ada
dijumpai penutur dalam acara adat perempuan, (4) tingkat keakraban ternyata
tidak akrab karena baru pertama kali berjumpa pada saat itu. Hal ini dapat
dilihat dari pernyataan , anak beru menunggu izin, Dari keluarga Datuk Husny
b. konteks tuturan. Dalam hal ini semuanya sudah terpenuhi yakni kesesuaian
antara penutur dan lawan tutur, waktu dan tempat tuturan.
c. tujuan tuturan, dapat berbeda-beda tergantung kepada maksud dan tujuan
tertentu dari si penutur. Bentuk dan bermacam-macam dapat mengungkapkan
maksud yang sama.
Same umur setahun jagung
Same darah setampuk pinang
Same akal tumbuh keluar
Universitas Sumatera Utara
d. tuturan sebagai tindakan atau aktivitas. Meliputi penutur, lawan tutur, tempat
dan waktu tuturan.
e. tuturan sebagai produk tindak verbal. Vandijk (1977) sebagaimana dilaporkan
Astuti 2001 : 170 – Tindak tutur merupakan pusat dalam pragmatik. Itulah
sebabnya jenis-jenis tuturan sangat banyak dijumpai sebagaimana yang
dikemukakan berikut ini :
1. Tindak tutur langsung yakni penggunaan kalimat disesuaikan dengan
fungsinya. Hal ini merupakan yang sangat biasa digunakan. Kalimat berita
dipakai untuk menginformasikan sesuatu. Kalimat tanya untuk bertanya.
2. Tindak tutur tidak langsung merupakan kebalikan dari tindak tutur langsung.
Kalimat berita dapat digunakan untuk bertanya atau memerintah.
3. Tindak tutur literal yakni tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna
kata-kata yang menyusunnya contoh. Penari Yen, bagus tariannye.
4. Tindak tutur tidak literal. Kalimat yang digunakan berlawanan dengan makna
kata yang disusunnya. Mendai nilaimu, tapi usahlah engko sekolah
.
5. Tindak tutur langsung literal, modus tuturan dan makna sama dengan maksud
penutur. Maksud memuji digunakan mendai betul bajumu.
6. Tindak tutur tidak langsung literal, modus kalimat tidak sesuai dengan maksud
pengutaraan, sedangkan makna kata sesuai dengan maksud penutur. Maksud
memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya.
Contoh :
Rumahne kotor
Dimane bukuku
Universitas Sumatera Utara
7. Tindak tutur langsung tidak literal, modus kalimat sesuai dengan tuturan katakata tidak mempunyai maksud yang sama dengan maksud penutur.
Contoh :
Biar nampak cantikmu, usah ko berbedak.
Maksudnya pakailah bedak, agar engkau kelihatan cantik.
8. Tindak tutur tidak langsung tidak literal, modus dan makna kalimat tidak sesuai
dengan apa yang dimaksudkan.
Contoh : seorang ibu yang akan menyuruh anaknya mengecilkan tape ketika
sedang belajar mengatakan,
Besarke tape kolo engko belajar.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Umumnya eufemisme banyak dijumpai dalam BMS sehingga tidak salah
bila dikatakan sebahagian besar kata-kata atau ungkapan terdiri dari eufemisme
dalam BMR. Hal ini sesuai dengan budaya MMR yang antara lain sangat
menjunjung tinggi prinsip-prinsip sopan santun. Ketinggian dalam bersopan
santun menyebabkan terdapat keengganan untuk mengungkapkan hal hal yang
tidak disenangi ataupun untuk menegur orang lain secara terus terang. Untuk itu,
dicarilah kata-kata tertentu yang dapat mengungkapkan perasaan tanpa harus
menyinggung perasaan orang yang di tegur, yakni ungkapan eufemisme.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tipe eufemisme dalam BMR
ada sebanyak 6 tipe, yakni: (1) ekspresif figuratif (figurative expressions) , (2)
metaphor (metafor), (3) satu kata menggantikan kata lain (one for one
substitution), (4) umum ke khusus (general for specific), (5) hiperbola
(hyperbole), dan (6) kolokial (colloquial).
Fungsi eufemisme dalam BMR ada 4 yakni : (1) fungsi sapaan, (2)
menghindari tabu, (3) menyatakan cara, dan (4) menyatakan situasi. Khususnya
pada fungsi sapaan dalam BMR urutan kelahiran seseorang sangat menentukan
untuk disapa.
Makna dalam Eufemisme dikaji dari sudut pandang pragmatik karena
merupakan makna tuturan. Makna ujaran seseorang sangat bervariasi tergantung
dari berbagai aspek.Makna dapat dijelaskan sesuai dengan konteks yang meliputi:
(1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3) tuturan sebagai bentuk
Universitas Sumatera Utara
tindakan atau aktivitas, (4) tujuan tuturan, dan (5) tuturan sebagai produk tindak
verbal.
6.2 Saran
Mengingat hampir sebahagian besar kata dan ungkapan terdiri dari
eufemisme dalam BMS. Namun di sisi lain generasi muda Melayu (GMM)
sebagai generasi penerus pada umumnya tidak lagi menggunakan eufemisme
dalam berbicara, maka segera harus diambil langkah-langkah agar bahasa Melayu
Riau tetap dipakai oleh masyarakat Riau. Revitalisasi perlu dilakuan jika tidak
menginginkan kehilangan eufemisme dalam BMR yang merupakan salah satu
bahagian dari budaya bangsa.
Universitas Sumatera Utara
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Dasar
Berdasarkan permasalahan yang diteliti, metode dan jenis Penelitian ini
menggunakan penelitian metode penelitian
lapangan. Metode ini dipandang
dapat untuk menjawab tujuan permasalahan yang di bicarakan di atas. Karena
metode penelitian lapangan berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat
yang diteliti dan hasil yang didapat juga lebih akurat. sebab seorang peneliti harus
berbaur langsung dengan keseharian masyarakat dan mengikuti semua tatacara
adat Budaya yang mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini
bertujuan untuk menemukan ada atau tidaknya ungkapan bahasa eufeumisme
yang digunakan dalam keseharian sesuai budaya masyarakat setempat.
Bentuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Bogdan dan Taylor (dalam Basrowi dan Suwandi ,2009:21) mengatakan, “Metode
kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis dari orang-orang dan perilakunya dapat diamati”. Pada Penelitian ini
digunakan
bentuk
kualitatif
karena
penelitian
ini
menganalisis
dan
menggambarkan tentang eufemisme dalam BMR
3.2 Lokasi dan Sumber Data
Lokasi penelitian adalah Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten
Kampar. Alasan penulis memilih lokasi penelitian ini adalah karena penduduknya
asli etnis Melayu Riau dan eufemisme disana masih asli atau belum dipengaruhi
Universitas Sumatera Utara
oleh kebudayaan lain.Kamus yang digunakan sebagai sumber data tulis antara lain
keajaiban pepatah minang karangan Drs. Gouzali Saydam, Bc. T.T.
3.3 Intrumen Penelitian
Sebelum
penulis
melakukan
penelitian,
penulis
terlebih
dahulu
mempersiapkan instrumen atau alat bantu penelitian. Instrument penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah: buku catatan untuk mencatat hal-hal yang
terdapat dalam dokumen yang menjadi data penelitian dan alat perekam atau tape
recorder, yang digunakan untuk membantu merekam wawancara dengan
informan sehingga mempermudah penulis saat pengolahan data.
3.4 Metode pengumpulan Data
Studi kepustakaan ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka. Membaca, mendokumentasikan, dan
melakukan wawancara langsung. Mendatangi tempat dan benda peninggalan
bersejarah, menelaah sumber pustaka dari perpustakaan setempat, dan ikut serta
mengambil bagian dalam setiap kegiatan kebudayaan yang diadakan. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Teknik Observasi
Pada penelitian ini teknik pengambilan data yang digunakan adalah
langsung turun ke lapangan untuk mencari data yang ada dan lengkap dari
informan (tokoh-tokoh adat) dan masyarakat setempat yang penulis jadikan
sebagai informan dalam melakukan penelitian.Penulis bertanya seefektif mungkin
Universitas Sumatera Utara
sehingga data yang didapat dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya dan
tidak terjadi kesalahpahaman.
b. Teknik Wawancara Langsung
Tantawi
(2014)
dalam
bukunya
Bahasa
Indonesia
Akademik
mengatakan bahwa melalui metode wawancara merupakan salah satu cara
memperoleh data dari seseorang yang memiliki kompetensi tentang sesuatu.
Metode wawancara ini sangat dibutuhkan dan diutamakan dibanding metode
angket dan dokumentasi.
Penulis mengutamakan data dari setiap penduduk (pemakai bahasa) atas
bahasa yang digunakan sehari-hari untuk mengetahui peranan penghalusan makna
melalui sistem percakapan mereka, baik di tempat kerja maupun dalam acara
tertentu yang bertemakan kebudayaan Melayu Riau. Penulis berbaur dan ikut
dalam keseharian mereka dan berprilaku layaknya adat istiadat budaya Melayu
Riau.
c. TeknikKepustakaan (Dokumentasi)
Arikunto (2002:135) menyatakan
bahwa dokumentasi asal katanya
“dokumen” yang artinya barang-barang tertulis. Dalam melaksanakan metode
dokumentasi, penulis menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku, majalah,
peraturan, catatan harian, serta dokumen lainnya. Metode ini digunakan untuk
memperoleh data mengenai tabel penduduk, gambar peta wilayah, bahasa
keseharian, gambaran umum penduduk pada wilayah ajang penelitian.
Universitas Sumatera Utara
3.5 Metode Analisis Data
Metode
analisis
data
merupakan
proses
pengaturan
data
dan
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola. Dalam penelitian ini data yang
diperoleh akan diolah dan dianalisis secara deskriptif. Metode ini digunakan
untuk mengolah data mentah sehingga menjadi data akurat dan ilmiah.
Adapun langkah-langkah dalam metode analisis data adalah sebagai
berikut:
a.
Data diklasifikasikan sesuai dengan objek pengkajian;
b.
Menganalisis data yang di dalamnya terdapat bahasa eufemisme BMR;
c.
Menginterpretasikan hasil analisis dalam bentuk tulisan yang sistematis; dan
d.
Memberikan kesimpulan tentang eufemisme dalam BMR.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1Tipe-tipe Eufemisme dalam BMR
Allan dan
Burridge
mengelompokkan tipe-tipe eufemisme
yang
dijumpainya dalam bahasa Inggris sebanyak 16 tipe yakni (1) ekspresi figuratif
(figurative expressions), (2) metafora (metaphor), (3) plipansi (flippancy), (4)
memodelkan kembali (remodelling), (5) sirkumlokasi (circumlocutions), (6)
kliping (clipping), (7) akronim (acronyms), (8) singkatan (abbreviation),(9)
pelesapan ( omission), (10) satu kata untuk menggantikan satu kata lain (11)
umum ke khusus (general for specific), (12) sebahagian untuk keseluruhan (part
for whole euphemism), (13) hiperbola (hyperbole), (14) makna di luar pernyataan
(understatement), (15) jargon (jargon) dan (16) kolokial (qolloquial)
Berdasarkan hasil penelitian, dalam BMR hanya enam tipe yang
ditemukan dari keenam belas tipe dalam bahasa Inggris tersebut. Keenam tipe
yang ditemukan di atas merupakan sesuatu hal yang wajar, karena BM khususnya
BMR merupakan bahasa yang sederhana. Jika kembali ke masa lampau.
Dikatakan bahwa kesederhanaan BM merupakan salah satu syarat untuk diangkat
menjadi Bahasa Indonesia.
Meski hanya enam tipe yang ditemukan namun ungkapan mengenai
eufemisme sangat banyak dalam BMR. Sebahagian besar kata-kata ataupun
ungkapan dalam BMR merupakan eufemisme. Hal ini tentu sejalan dengan
budaya dalam MMR yang sangat bersopan santun dalam semua aspek kehidupan,
termasuk dalam hal berbicar.a
Universitas Sumatera Utara
Kesopan santunan ini membuat MMR enggan menyampaikan segala
sesuatu dengan terus terang, untuk itu dicari kata-kata atau ungkapan yang lebih
halus untuk menggantikan ungkapan yang dianggap kasar, kurang menyenangkan
ataupun menyakitkan hati pendengar.
Berikut ini contoh keenam tipe eufemisme BMR tersebut, seperti:
A. Ekspresi Figuratif (figurative expressions)
Eufemisme ini bersifat perlambangan, ibarat, atau kiasan.
Contoh:
(1) Ketika ado jangan dimakan, lah tak ado baru dimakan.
‘Ketika ada jangan dimakan, sesudah tidak ada baru dimakan.’
Maknanya:
Sepintas kalimat di atas merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Karena
sesuatu yang dimakan itu adalah ketika memiliki makanan, dan tidak bisa
memakan sesuatu yang tidak ada kita miliki. Namun, bila kita teliti lebih
mendalam, eufemisme ini merupakan nasihat jitu yang harus dilaksanakan agar
kita terhindar dari kelaparan dan kesukaran. Eufemisme ini menggambarkan sikap
yang selalu hemat dalam menggunakan harta benda, senantiasa mengingat masa
depan yang mungkin tidak cerah. Ia menyarankan agar kita berhemat selagi ada
sehingga hasil penghematan kita itu dapat dimanfaatkan pada musim paceklik.
B. Metaphor (metafor)
Metaphor adalah perbandingan yang implisit, jadi tanpa kata seperti atau
sebagaidiantaranya dua hal yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Contoh:
(2) Kenyang lah lintah melekat di kaki.
(3) Angin lalu membawa berita.
C. Satu Kata Menggantikan Kata Lain (one for one substitution)
Contoh :
(4) ayam penaik rumah>anak bujang yang suka bertandang ke rumah
gadis atau sebaliknya.
(5) karambia cukia > alat kelamin perempuan
D. Umum ke Khusus (general for specific)
Contoh:
(6) gunting> alat yang dibutuhkan untuk keperluan menjahit
(7) berisi> masih gadis
(8) burung salah nama> burung punai
E. Hiperbola (hyperbole)
Hiperbola adalah ungkapan yang melebih-lebihkan apa sebenarnya
dimaksudkan, seperti jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya.
Contoh:
(9) Cintaku tak mungkin luntur
(10) Akan kubawa nama kanda sampai ke liang kubur.
F. Kolokial (colloquial)
Kolokial adalah bahasa yang digunakan sehari-hari
Universitas Sumatera Utara
Contoh:
(11) datang bulan > haid
4.2 Fungsi Eufemisme
Berdasarkan hasil penelitian, eufemisme dalam BMR berfungsi untuk:
1. Sapaan
2. Menghindari tabu
3. Menyatakan cara
4. Menyatakan situasi
4.2.1 Sapaan (untuk Menjaga Hubungan)
A. Nama Tuhan
Sebagai umat yang beragama MMR yang dikenal ketaatannya dalam
menjalankan agama yang dipeluknya, yakni agama Islam, selalu menjaga
hubungan baik dengan sang pencipta, yakni Tuhan. Dengan demikian, sudah
menjadi hal yang tidak asing lagi dalam BMR, banyak ditemukan nama untuk
menggantikan kata Tuhan yang digunakan dalam situasi resmi, maupun situasi
tidak resmi yakni dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya Allah azza wazalla,
Nur Ilahi Robbi, Bismillah, dan sebagainya.
B.
Nama Orang yang Didasarkan kepada Perbedaan Umur, Gender Latar
Belakang Sosial, dan Fungsi Sosial
MMR sangat menghargai sopan santun dalam masyarakat.Salah satu hal
dari perwujudan sopan santun itu ialah menyapa orang lain.Dalam MMR sangat
dipantangkan memanggil nama seseorang yang lebih tua dari penutur. Yang
Universitas Sumatera Utara
terutama harus dilihat sebelum menyapa yakni umur dan jenis kelamim seseorang.
Apakah lebih tua atau lebih muda dari penyapa kepada orang yang lebih tua
usianya dari penutur akan disapa dengan abahjika laki-lakidan akak jika
perempuan. Jika usia seseorang tersebut lebih tua dari usia penutur, maka
dipanggil uwak, jika lebih muda usianya dari orang tua si penutur,maka si penutur
akan memanggilnya dengan pakcik jika laki-laki, dan makcik jika perempuan.
Masyarakat Melayu tersusun dari peringkat yang paling bawah yaitu
rakyat jelata. Sistem sosial dalam masyarakat Melayu yakni sistem susunan lapis
dan pelapisan masyarakat. Urutan yang paling tinggi berada pada raja dan sultan,
selanjutnya rakyat berada di bawahnya.
Selain itu merupakan hal yang penting diperhatikan. Dalam masyarakat
Melayu panggilan kepada seseorang didasarkan urutan kelahiran. Anak pertama
harus disebut ulung, ulong, long, iyung ataupun yong. Anak kedua disebut ngah
atau angah, anak ketiga disebut alang, anak keempat disebut uda , anak kelima
disebut andak , anak keenam disebut uteh, anak ketujuh disebut itam ,anak
kedelapan disebut acik atau cik, anak kesembilan disebut ucu atau bungsu.
Sebutan itu berlaku umum kecuali sapaan terhadap anak-anak.
C. Nama Binatang Buas
Ternyata hubungan baik tidak saja kepada sang pencipta ataupun kepada
sesama umat manusia, yang harus dijaga juga hubungan baik tersebut.Untuk itu,
ada nama-nama tertentu pada hewan yang tidak dibenarkan disebut sesuka hati,
karena ia dapat marah .
Contoh:
Universitas Sumatera Utara
Kata ular harus diganti dengan kata akar.
Jika di dalam laut agar ia tidak menggigit ataupun mengejar
Kata harimau jika berada didalam hutan, harus diganti dengan kata nenek
ataupun datuk.
4.2.2 Menghindari Tabu
Sesuatu yang tabu merupakan suatu hal yang tidak boleh dilanggar
karena akan menyebabkan sesuatu terjadi pada diri kita yang melanggar tabu
tersebut . Misalnya kata kapur tabu diucapkan pada malam hari karena jika kata
tersebut diucapkan maka penyakit akan menimpa terutama terhadap anak-anak
dari keluarga yang mengucapkanya . Sebagai gantinya
digunakan kata tahi
burung . Kata minyak tabu diucapkan pada malam hari karena jika diucapkan akan
mendatangkan bahaya kebakaran, sebagai gantinya digunakan kata air.
Berbeda halnya dengan eufemisme, jika seseorang melanggar atau
tidak menggunakannya, maka akibatnya berupa sanksi sosial, yakni dikatakan
tidak sopan, tidak tahu adat. Sesuatu yang ditabukan dipastikan masuk ke dalam
eufemisme, namun sebaliknya eufemisme tidak dapat dikatakan tabu.
Menurut Allan dan Burridge dalam bahasa Inggris ada 9 hal yang
ditabukan, sedangkan di dalam bahasa Indonesia ada 7 yakni: (1) bahagian tubuh,
(2) seks, (3) haid, (4) cacat mental atau tubuh (5) yang dibuang/dikeluarkan dari
tubuh (6) kematian, sedangkan tiga lagi yakni tabu terhadap bagian tubuh,
penyakit dan seni tidak ditemukan.
A. Tabu atas Bahagian Tubuh Khusus
Universitas Sumatera Utara
Terdapat kata-kata tabu pada bahagian tubuh khusus dalam BMR.
Contoh:
Kata conek ‘alat kelamin laki-laki’ sangat keras ditabukan. Sebagai
gantinya dipakai kata burung dengan makna kandungan yaitu burung di dalam
celana.
Kata pantek ‘alat kelamin perempuan’ juga ditabukan, sebagai gantinya
digunakan kata ayam atau kata kerambil ‘kelapa’.
Kata tetek ‘buah dada’ sangat keras ditabukan dalam MMR. Tidak ada
pengganti untuk itu. Penghindaran penyebutan bentuk itu berkaitan dengan
penghormatan atau sikap santun pada bahagian tubuh yang menjadi pusat
penyaluran makanan manusia pada awal kehidupannya.
B. Tabu dalam Bidang Seks
BMR sebagaimana halnya dengan bahasa-bahasa lain di dunia, bahwa
kata-kata yang mengarah ke bidang seks dianggap sesuatu yang tabu. Contoh:
kata malam pertama digunakan untuk menggantikan kata pengantin yang telah
melakukan hubungan badan sebagai suami istri untuk pertama kalinya. Kata
hubungan suami istri sangat ditabukan untuk disebut, maka sebagai gantinya
digunakan kata gunting. Kata perawan untuk menyatakan seorang istri yang
masih gadis pada malam pertama juga ditabukan disebut, sebagai gantinya
digunakan kata berisi.
C.Tabu di Bidang Kesehatan
Kata haid dalam BMR juga ditabukan. Seorang wanita akan merah
mukanya menahan malu jika dikatakan ia sedang haid. Sebagai penggantinya
digunakan kata datang bulan atau sering juga disebut tamu bulanan. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
disebutkan demikian karena datangnya sekali dalam satu bulan bagi wanita yang
normal kesehatannya.
D. Tabu Atas Cacat Mental dan Tubuh.
Cacat mental merupakan suatu hal yang tabu untuk diceritakan dalam
MMR. Jika ingin mengetahui kebenaran dari cerita yang didengar menyangkut
cacat mental seseorang, maka ia sangat ditabukan untuk menanyakan langsung
kepada keluarga yang bersangkutan. Ia harus menanyakan kebenaran cerita itu
kepada orang lain yang dipercayainya. Dengan ungkapan terganggu ingatan
untuk menggantikan kata gila yang bermakna cacat mental dalam BMR.
Sama halnya dengan cacat mental ‘cacat pada anggota tubuh’ yang
lainnya juga sangat ditabukan dalam BMR. Kata pincang ‘cacat anggota tubuh’
pada kaki. Sebutan buta untuk mata, bengang (turiak);pakak untuk cacat
pendengaran, dan sebagainya. Yang berhubungan dengan cacat pada anggota
tubuh sangat ditabukan untuk disebutkan. Keseluruhan kata itu dapat digantikan
dengan kata berubah.
(11) sudah berubah den tengok kakinyo tu
(12) Iao, sudah tak elok den tengok doh. Kena apo kakinyo tu?
E .Tabu Atas yang Dibuang/yang Dikeluarkan Tubuh
Ada hal-hal yang tabu untuk dibicarakan pada bahagian tubuh atau yang
dibuang atau yang dikeluarkan tubuh . Contoh bere ’buang air besar’ sangat tabu
diucapkan, dianggap sangat tidak sopan jika seseorang mengucapkan kata Awak
endak bere. Kata itu harus diganti dengan kata Aden ka buang ae besar.
Universitas Sumatera Utara
Kata kencing juga sangat ditabukan untuk diucapkan, sebagai gantinya
digunakan kata kemeh.
Contoh .
Adekmu ingin kemeh kebelakang.
F . Tabu Atas Kematian
Mati yang melenyapkan semua kenikmatan dari dalam dunia sangat
ditabukan untuk disebut-sebut. Orang tua sangat marah sekali jika ia mengetahui
anaknya menyebut-nyebut katamati, apalagi meminta untuk mati. Dalam BMR
kata matidiganti dengan pulang atau udah duluan.
4.2.3 Cara Eufemisme Digunakan
Untuk mengatakan cara eufemisme, digunakan strategi komonikasi.
Contoh:seorang tamu yang sangat haus, ketika sudah berbicara panjang lebar
belum juga melihat tuan rumah akan menyediakan minuman, maka ia akan
berkata sebagai berikut:
(15) Ape mati aer disini?
Ungkapan itu sangat halus bila dibandingkan dengan ungkapan yang sama
maknanya tapi membuat tuan rumah akan kehilangan muka, seperti:
(16) Awak udah haus kali ne, bagilah minom.
Contoh berikut ini juga menunjukkan strategi komunikasi yang digunakan
untuk menyatakan cara. Contoh:Aminah memerlukan bantuan Badu untuk
mengerjakan PR-nya.
Universitas Sumatera Utara
4.2.4 Menyatakan Situasi
Terdapat dua hal yang penting untuk menyatakan situasi yakni:
A. Situasi Resmi
Situasi resmi yang dalam hal ini diwakili oleh dua hal yakni dalam acara
(1) perkawinan, dan(2)kematian.Untuk dapat diketahui dengan jelas perhatikanlah
contoh berikut ini.
Contoh:
(18)
Ampun datuk,
Nikah dimaksud sebelum mengetam
Langsung mahar setengah bagian
Jumlah genap 64 ringgit
Tepat pada tujuh Sya’ban
Contoh (18)menunjukkan situasi resmi yakni suatu rangkaian dari acara
perkawinan, untuk menetapkan hari aqad nikah yakni pada tujuh Sya’ban. Tempat
dilaksanakan aqad niah yakni di rumah mempelai perempuan. Situasi resmi ini
dapat pula dijumpai pada acara kematian, berupa kata-kata yang dapat diwakili
dengan kalimat berikut.
(19) Raja mangkat, raja menanam.
Raja meninggal raja menanam.
Hanya pada saat upacara kematian saja dapat dijumpai ungkapan yang
berbunyi (19). Jadi, pada saat raja wafat langsung dilantik pengganti raja, yang
tugas pertamanya dimulai dengan pemimpin acara kematian raja yang
digantikannya .
Universitas Sumatera Utara
B. Situasi Penggunaan Tidak Resmi
Dua peristiwa yakni perkawinan dan kematian telah mewakili penggunaan
situasi secara resmi dalam eufemisme. Sedangkan situasi yang tidak resmi
terdapat dalam kehidupan sehari hari. Misalnya jika seseorang berjumpa ‘ular’ di
dalam laut tidak boleh disebut ular. Harus digantikan dengan kata akar atau kayu.
Menurut kepercayaan Masyarakat Melayu Serdang (MMS) jika seorang menyebut
nama ‘ular’, maka ular tersebut akan menggigit ataupun mengejar. Kata ‘harimau’
Tidak dibenarkan disebut jika berada di dalam hutan sebagai gantinya harus
disebut nenek atau datuk.
Selain hal di atas, tabu (pantang) disebut ‘nama orang tua’. Hal ini
dilakukan agar nama orang tua tetap dihormati. Sebagai gantinya disebut ayah
untuk ‘orang tua laki-laki’, dan emak untuk ‘orang tua perempuan’.
Kata ‘kapur’ juga ditabukan penggunaannya terutama di malam hari. Kata
itu harus diganti dengan kata tai burung, agar tidak menimbulkan bencana sakit
bagi yang menyebutnya.
Kata ‘jarum’ dihindari menyebutnya pada malam hari, sabagai
penggantinya digunakan kata tombak, sesuai dengan sifat benda itu yang tajam.
Masyarakat penutur BMS percaya bahwa jika barang tersebut diucapkan namanya
maka kerugian dalam perdagangan akan menimpa. Sama halnya dengan kata
minyak lampu yang tidak boleh disebutkan pada malam hari, karena akan
mendatangkan bahaya kebakaran. Sebagai penggantinya digunakan kata aer.
Universitas Sumatera Utara
4.3 Makna Eufemisme
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam metode analisis data, bahwa
untuk menentukan makna digunakan kajian pragmatik. Dengan tahap yakni
menjelaskan makna sesuai dengan konteks yang meliputi : (1) penutur dan lawan
tutur, (2) konteks tuturan, (3) tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, (4)
tujuan tuturan, dan (5) tuturan sebagai produk tindak verbal.
4.3.1 Penutur dan Lawan Tutur
Konsep ini mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang dijadikan
objek dikomunikasikan dengan media tulisan. Ada empat aspek penting yang
berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini yakni : usia, latar belakang sosial
ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban. Untuk lebih jelasnya perhatikan
tuturan berikut ini.
Tuturan dalam BMR (20)
Sireh besusun pinang belonggok
Tepak berbaris menunggu sape
Anak beru menunggu izin
Dari keluarge Datok Husny mulie
TDBI
(20)
Sireh besusun pinang berlonggok
Tepak berbaris menunggu sapa
Anak beru menunggu izin
Dari keluarge Datok Husny mulia
Universitas Sumatera Utara
Tuturan dalam BMR (21)
Ampun Datok,
Seperti sireh pulang ke gagang
Seperti pisang pulang ke tampok
Tak ade raje menolak sembah
Hidup dikandung adat
Mati dikandong tanah
Lembage diisi adat dituang
TDBI
(21)
Ampun Datok,
Seperti sirih pulang ke gagang
Seperti pisang pulang ke tampuk
Tak ada raja menolak sembah
Hidup dikandung adat
Mati dikandung tanah
Lembaga diisi adat dituang
A. Usia Penutur dan Lawan Tutur
Tuturan di atas dikutip dari sebahagian pantun dalam rangkaian acara
peminangan. Tuturan tersebut dituturkan oleh penutur (telangkai) yang berusian
sekitar 40-an, diambil dari rata rata usia penutur dalam acara adat, khususnya
acara perkawinan Meskipun kadang-kadang dijuimpai penutur yang berusia
sekitar 50-an, namun ini jarang terjadi. Hal ini disebabkan banyaknya rangkaian
acara yang harus diikuti dalam acara perkawinan, mulai dari merisik, meminang,
mengantar, menikah, dan bersanding. Untuk itu maka dipilih usia 40-an suatu usia
Universitas Sumatera Utara
yang dianggap sudah matang dari segi fisik dan mental untuk mengikuti rangkaian
acara yang sedemikian banyak tersebut.
Sama halnya dengan usia penutur, usia lawan tutur pun rata-rata berkisar
40-an. Pada umumnya pihak yang ikut ambil bagian dalam acara tersebut hanya
yang sudah berumah tangga. Kecuali dalam acara mengantar diikutkan seorang
anak dara, dan seorang anak lajang, masing masing mereka akan mengiringkan
pengantin.
B. Latar Belakang Sosial Ekonomi Penutur dan Lawan Tutur
Pada umumnya latar belakang sosial ekonomi penutur dan lawan tutur
yakni menengah ke atas. Sebagaiman hal yang sudah umum diketahui bahwa
hanya golongan kelas menengah ke atas yang mempunyai waktu untuk mengikuti
acara-acara adat. Kelas ekonomi menengah ke bawah, pastilah disibukkan oleh
tuntutan kebutuhan hidup yang harus mau tidak mau dipenuhinya seharian penuh,
sehingga tidak memungkinkannya lagi untuk mengikuti rangkaian acara yang
demikian rupa.
C. Jenis Kelamin Penutur dan Lawan Tutur
Sesuai aturan dalam agama islam yang dianut oleh masyarakat Melayu,
dimana kaum lelaki ditempatkan sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Maka
dalam acara adat , seperti perkawinan , dimana penutur dianggap sebagai
pemimpin dalam acara tersebut, begitu juga dengan lawan tutur, keduanya
berjenis kelamin laki-laki. Belum pernah ditemukan penutur dalam acara adat
berjenis kelamin perempuan.
Universitas Sumatera Utara
D. Tingkat Keakraban Penutur dan Lawan Tutur
Tingkat keakraban penutur dan lawan tutur pada tuturan di atas, dikatakan
tidak akrab. Penutur dan lawan tutur baru saling berkenalan pada acara tersebut
berlangsung. Hal ini diketahui dari tuturan, (20) Anak beru menunggu izin, dari
keluarge Datok Husny mulie, jika hubungan antara penutur dan lawan tutur sudah
akrab, biasanya nama tidak lagi disebutkan pada acara tersebut.
4.3.2 Konteks Tuturan
Austin (1962), dalam Wijana (1996:24-25) mengatakan bahwa konteks
tuturan harus memenuhi tiga syarat (1) orang yang mengutarkan dan situasi
pengutaraan harus sesuai, (2) tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguh
oleh penutur dan lawan tutur, (3) penutur dan lawan tutur harus memiliki niat
yang sungguh-sungguh untuk melakukan tindakan itu.
A. Orang yang Mengutarakan dan Situasi Pengutaraan harus Sesuai
Tuturan dalam BMR (22)
Kalau die kene isok teketawaran lagi, jangan
dilanggar pantang, macam-macam saje isok tibe, ke
atas te bepucok, ke bawah te berakar, ne bukan kate
ambe, tapi kate orang halus
TDBI (22)
Kalau dia kena nanti, tidak dapat dibantu lagi,
jangan dilanggar pantang, macam-macam saja nanti
ke atas tidak berpucuk ke bawah tidak berakar, ini
bukan kata penulis tapi kata orang halus
Universitas Sumatera Utara
Diperlihatkan dari Tuturan (22) di atas bahwa syarat 1, telah dipenuhi
yakni kesesuaian antara orang yang mengutarakan dan situasi pengutaraan.
Tuturan (22) Dikatakan bahwa kesesuaian itu dapat dipenuhi di sini karena
tuturan dalam konteks (22) di atas dituturkan oleh pawang laut pada acara jamu
laut, bertempat di pinggir pantai. Acara ini merupakan peninggalan animisme
berupa kepercayaan dalam masyarakat untuk mempersembahkan kepada
penunggu laut, agar hasil-hasil dari laut melimpah ruah.
B. Tindakan Harus Dilakukan Secara Sungguh-sungguh oleh Penutur dan
Lawan Tutur
Tindakan yang dilakukan oleh pawang laut dalam hal ini sebagai penutur,
juga diyakini secara sungguh-sungguh oleh lawan tutur dalam hal ini masyarakat
yang hadir dengan cara mematuhi pantangan yang telah disebutkan penutur (22)
kalau die kene isok, teketawaran lagi... Semua masyarakat sebagai lawan tutur
yakin bahwa jika mereka melanggar pantangan tersebut, maka mereka tidak dapat
disembuhkan lagi.
C. Penutur dan Lawan Tutur Harus Memenuhi Niat yang Sungguh-sungguh
Untuk Melakukan tindakan
Tuturan berikut ini menunjukkan bahwa hal itu terlaksana, sehingga
tuturan berikut ini dikatakan valid.
Tuturan dalam BMR (23)
Sedeh sunggoh anak piatu
Tiade beharte diri dibenci
Adat rumah tentu bepintu
Adat pintu tetap bekunci
TDBI (23)
Sedih sungguh anak piatu
Universitas Sumatera Utara
Tidak berharta diri dibenci
Adat rumah tentu berpintu
Adat berpintu tentu berkunci
Tuturan dalam BMR (24)
Kalau rumah tide berpintu
Dimane arah boleh disingkup
Kalau puan kate begitu
Inilah kunci due serangka
TDBI (24)
Kalau rumah tidak berpintu
Dimana arah boleh disingkap
Kalau puan kata begitu
Inilah kunci dua serangkap
Niat penutur dan lawan tutur memang terlihat sungguh-sungguh untuk
melakukan tindakan yakni memenuhi janji berupa (uang hempang pintu) yang
telah mereka tetapkan bersama. Dalam konteks ini niat memberi kunci (uang
hempang pintu) yang diberikan dengan ikhlas oleh penutur telah diterima dengan
ikhlas pula oleh lawan tutur. Keikhlasan tersebut tercermin dengan dipenuhinya
pemberian tersebut, Inilah kunci dua serangkap.
4.3.3 Tujuan Tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh
maksud dan tujuan tertentu (wijana,1996:11). Bentuk tuturan yang bermacammacam dapat digunakan untuk menyampaikan maksud yang sama. Sebaliknya
berbagi macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama.
Universitas Sumatera Utara
Tuturan dalam BMR (25) same umor dah setahun jagung
(26) same darah setampok pinang
(27) same akal lumboh ke luar
TDBI
(25) sama umur sudah setahun jagung
(26) sama darah setumpuk pinang
(27) sama akal tumbuh ke luar
Tuturan (25), (26), (27), meski disampaikan dalam bentuk yang berbeda-
beda, namun ketiga bentuk tuturan tersebut mempunyai makna yang sama yakni
menyatakan ‘usia yang masih muda’.
Selanjutnya, berbeda halnya dengan kata mendai, jika diucapkan dalam
berbagai variasi dan situasi yang berbeda-beda dapat berarti :
(1) mengejek
seseorang yang kelakuannya kurang baik, lihat tuturan (8) berikut ini :
Tuturan dalam BMR (28)
TDBI (28)
Mendai betol peelmu.
Bagus benar kelakuanmu.
Kata mendai juga dapat diartikan (2) sebagai kelakuan yang baik, lihat
tutura (29) berikut ini.
Tuturan dalam BMR (29) Mendai betol kelakuan subang ne genari.
TDBI (29) Bagus benar kelakuan subang ini sekarang
Kata mendai dapat juga berarti (3) ‘kabar baik’ contoh perhatikan tuturan
(30). Dan jawaban tuturan pada no (31), berikut ini.
Tuturan dalam BMR (30) Maye kabarmu genari ?
(31) Mendai
TDBI
(30) Apa kabarmu sekarang ?
(31) Bagus
Universitas Sumatera Utara
Dari tuturan no (31) jelas diketahui bahwa kata mendai diartikan sebagai kabar
baik.
4.3.4 Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan Atau Aktivitas.
Hal ini menyangkut
penutur,
lawan tutur, tempat,
dan waktu
diselenggarakannya tuturan.
Tuturan dalam BMR (32)
Lancang kuning belayar malam
Arus deras karangnye tajam
Jike mualem kurang paham
Alamat kapal akan tenggelam
TDBI
(32)
Lancang kuning berlayar malam
Arus deras karangnya tajam
Jika mualim kurang paham
Alamat kapal akan tenggelam
Penutur pada tuturan di atas yakni telangkai, yakni utusan dari pihak
pengantin perempuan. Tuturan itu ditujukan kepada pihak mempelai pria sebagai
sindiran agar ia berhati-hati dalam menjalankan kehidupan rumah tangga yang
akan dijalaninya.Pria sebagai kepala rumah tangga akan sangat menentukan sekali
dalam
kelanggengan
rumah
tangga
yang
dipimpinnya.Tempat
tuturan
dilangsungkan yakni di rumah mempelai wanita, dan waktu berlangsung acara ini
ialah pada siang hari, setelah akad nikah dilaksanakan.
Universitas Sumatera Utara
4.3.5 Tuturan Sebagai Bentuk Tindak Verbal
A. Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
Penggunaan suatu kalimat secara konvensional sesuai dengan fungsinya.
Misal kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu, kalimat tanya untuk
menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah digunakan untuk memerintah sesuatu.
Perhatikan contoh berikut.
Tuturan dalam BMR (33)
Kami orang jauh di sungai
(34)
Bolehkah bunga kalau dipetik ?
(35)
Mari kite bersantap
Tindak tutur tidak langsung dapat dibentuk dari kalimat perintah, yang
diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya dimaksudkan untuk
memperhalus perintah tersebut.
Tuturan dalam BMR (36)
TDBI
Teruna sudah lelah
(37)
Kemane anak mas te ?
(36)
Teruna sudah lelah
(37)
Kemana anak emas tersebut ?
Tuturan (36) bila diucapkan kepada panitia acara itu berarti memerintahkan agar
acara dipercepat karena pengantin pria telah lelah. Berikutnya tuturan (37) bila
diucapkan kepada lawan tutur dimaksudkan untuk memerintah agar lawan tutur
mencari anak ke penulisngan yang sedang tidak berada di tempat.
Tindak tutur tidak langsung, tidak dapat dijawab secara langsung, namun
memerlukan tindakan yang segera harus dilaksanakan.
Universitas Sumatera Utara
Tuturan dalam BMR :
(38) Maaf ye,Abang dak berangkat ne.
(39) Ielah,patek pun dak mengorak sile lah ne.
TDBI
(38) Maaf ya Abang akan berangkat.
(39) Oh ya, penulis pun mohon dirilah.
Dari uraian di atas skema penggunaan modus kalimat, dalam hubungannya
dengan tindak tutur digambarkan oleh Wijana (1996:32) sebagai berikut :
Tabel 7 :
Penggunaan Modus Kalimat dalam Hubungannya dengan
Berlangsungnya Tindak Tutur
Modus
Tindak Tutur
Langsung
Tidak Langsung
berita
memberitakan
menyuruh
tanya
bertanya
menyuruh
perintah
memerintah
-
B. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal
Tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang
menyusunnya disebut tindak tutur literal, sedangkan tindak tutur yang maksudnya
tidak sama atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya disebut
tindak tutur tidak literal.
Tuturan dalam BMR :
(40) Pelukis ian lukisannye bagus.
(41) Lukisanmu bagos, tapi usahko ngelukis.
(42) Tapenye kuatke awak dak nyatat lagu ne.
Universitas Sumatera Utara
(43)Tapenye tide kuat, Tolong kuatkue awak endak belajar.
TDBI
:
(40) Pelukis itu lukisannya bagus.
(41) Lukisan mu bagus, tapi tidak usah kau melukis.
(42) Tapenya keraskan! Penulis ingin mencatat lagu.
(43) Tapenya kurang keras, tolong keraskan lagi akau mau
belajar.
Tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung disinggungkan
(diinterseksikan) dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, maka
akan didapatkan variasi berikut ini :
1. Tindak tutur langsung literal
2. Tindak tutur tidak langsusng literal
1. Tindak tutur langsung tidak literal
2. Tindak tutur tidak langsung tidak literal
C.Tindak Tutur Langsung Literal
Tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama
dengan maksud pengutaraannya disebut tindak tutur langsung literal. Perhatikan
contoh berikut (42) dan (43).
Tuturan dalam BMR:
(44) Kami dengar Datok orang arif, orang bijaksane
(45) Bolehkah bunge kalau dipetik ?
Tuturan (44) dan (45) merupakan tindak tutur langsung literal karena
dimaksudkan menyatakan bahwa orang yang dibicarakan sangat pandai (46),
sedangkan tuturan (47) dimaksudkan untuk menanyakan apakah anak gadis boleh
Universitas Sumatera Utara
dipinang.Maksud memberitahukan diutarakan dengan kalimat berita, maksud
bertanya diutarakan dengan kalimat tanya.
D. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
Tindak tutur yang diungkapkan dengan maksud yang tidak sesuai dengan
maksud pengutaraannya, tetapi kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa
yang dimaksudkan penutur disebut tindak tutur tidak langsung literal. Maksud
memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya. Perhatikan
tuturan (47), dan (48) berikut ini :
Tuturan dalam BMR (47)
+ Rumah ne tide disapu.
- le lah, biar awak sapu genari.
(48)
+ Kemane bunge tenan ?
- Sekejap ye ,awak carike.
TDBI
(47)
+ Rumah ini tidak disapu.
- Ialah, biar penulis sapu sekarang.
(48)
+ Kemana anak gadis tadi pergi ?
- Sebentarlah, penulis carikan.
E. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
Tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan
maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang
sama dengan maksud penuturnya disebut tindak tutur langsung tidak literal.
Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah, dan maksud
menginformasikan diungkapkan dengan kalimat berita. Untuk jelasnya perhatikan
contoh di bawah ini :
Universitas Sumatera Utara
Tuturan dalam BMR (49)
(50)
Suaremu merdu betul
Kalau duduk biar nampak sopan, naikke kakimu
Tidak tutur langsung tidak literal yang dimaksudkan penutur pada (49)
yakni untuk menyatakan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus. Sementara
tuturan (50) penutur menyuruh lawan tuturnya untuk tidak menaikkan kaki saat
duduk agar terlihat sopan.
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act)
yakni tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat
yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Untuk menyuruh anak
menyapu lantai yang kotor, ibu bisa menggunakan tuturan (51). Demikian juga
bila hendak menyuruh adik untuk mengecilkan volume televisi, penutur dapat
mengutarakan kalimat berita dan kalimat tanya (52), dan (53) berikut ini :
Tuturan dalam BMR (51)
Lantainye bersih betol
(52)
Televisinye telalu pelan,tide kedengaran
(53)
Ape radio yang pelan begian dapat engko dengar?
Penutur bahasa umumnya menggunakan dua jenis makna yakni makna
harfiah dan makna tidak harfiah. Makna harfiah merupakan makna yang sama
dengan makna bahasa, sedangkan yang dimaksud dengan makna tidak harfiah
yakni makna yang berbeda dengan makna bahasa.
Dibicarakan mengenai makna pada awal pembahasan ini karena untuk
mengindentifikasi dan mengelompokkan tipe-tipe eufemisme dalam BMS terlebih
dahulu harus dilihat status maknanya.
Apakah makna pada kata tersebut harfiah atau tidak. Jika makna pada
suatu kata merupakan makna tidak harfiah, maka kata tersebutlah yang diduga
Universitas Sumatera Utara
(cenderung) eufemisme. Selanjutnya, kata-kata yang diduga (cenderung)
eufemisme ini bukan berarti sudah dapat dikategorikan ke dalam eufemisme.
Harus dilihat pula apakah makna pada kata tersebut mengandung unsur halus,
sopan, ataupun merupakan penghindaran terhadap kata-kata yang dianggap tabu.
Jika salah satu unsur sebagaimana yang telah disebutkan tadi terpenuhi, barulah
kata-kata ini dapat digolongkan ke dalam eufemisme.Hal inilah yang
mengakibatkan semua aspek kehidupan dalam BMR banyak di sampaikan dengan
eufemisme.
Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi budaya maka MMR tidak
saja menghargai keberadaan dirinya, namun mengharigai sang pencipta dan
makhluk lain yang diciptakan-Nya.Salah satu hal yang merupakan perwujudan
dari menghargai yang diciptakan di luar dirinya dapat dilihat dalam penggunaan
terhadap sapaan.MMR tidak dapat langsung menyapa seseorang, ada tiga hal yang
penting yang harus diperhatikannya sebelum menyapa yakni sebagai berikut : (1)
usia, (2) jenis kelamin, (3)urutan kelahiran.
Usia menentukan seseorang untuk disapa, apakah usia di atas pesapa, di
bawah atau sebaya dengan pesapa. Apakah usia di atas orang tua pesapa, di bawah
atau sebaya dengan orang tua pesapa.Meski seseorang sudah diketahui keberadaan
usianya, harus diketahui jenis kelamin pesapa. Seseorang yang berada di atas
pesapa harus di panggil akak atau abah, untuk itu usia dan jenis kelamin sangat
menentukan di sini.
Tidak hanya kedua hal di atas yakni usia dan jenis kelamin yang harus
dilihat, tetapi juga urutan kelahiran sangat menentukan dalam BMR. Seseorang
tidak saja disapa dengan uwak, abah atau akak harus jelas uwak yang mana? Wak
Universitas Sumatera Utara
yong, wak ngah, wak alang, dan seterusnya sesuai urutan kelahiran. Demikian
juga untuk abah dan akak. Jadi urutan ini umum sifatnya untuk seluruh sapaan.
Sebagai masyarakat yang taat dalam menjalankan aturan agama, maka
sapaan untuk Tuhan sangat banyak ditemukan dalam BMR. Dalam hal ini sesuai
dengan agama islam satu-satunya agama yang dianut masyarakat Melayu. Untuk
itu sapaan kepada Tuhan diambil dari ajaran agama Islam yang didasarkan pada
bahasa sumbernya yakni bahasa Arab.
Kepada makhluk ciptaan Tuhan harus dijaga hubungan sosial, jangan
sampai makhluk
tersebut
marah sehingga
mengakibatkan terganggunya
kelangsungan hidup yang penuh tentram dan harmonis. Untuk itu dijumpai sapaan
terhadap binatang seperti ‘ular’ yang harus di sapa dengan akar agar ia tidak
menggigit dan mengejar, ‘harimau’ disapa dengan datuk dan juga ‘lipan’ disapa
dengan pengantin. MasyarakatMelayu Riau merupakan masyarakat yang
menjunjung tinggi adat istiadat yang secara turun temurun diuraikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Adat istiadat itu dipelihara dan dijalankan dalam
kehidupan sehari-hari.
Salah satu hal dari adat istiadat tersebut dijumpai larangan-larangan yang
merupakan ‘tabu’ yang harus dihindari disebabkan dalam MMR diyakini bahwa
siapa pun yang berani melanggar larangan tersebut akan datang bencana (bala)
baik kepada dirinya, keluarganya maupun masyarakt sekitarnya.
Berbeda halnya jika seseorang yang tidak menggunakan pemakaian
eufemisme dengan tepat, maka hanya ia yang dianggap sebagai orang yang tidak
tahu bersopan santun atau tidak mempunyai adat. Hal ini menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
masyarakat Melayu khususnya MMR lebih merasa takut jika melanggar larangan
tabu, dibandingkan bila ia melanggar larangan eufemisme.
Makna dalam eufemisme dikaji dari sudut pandang pragmatik karena
menentukan makna tergantung pada konteks. Hanya dari kontekslah dapat
diketahui makna yang terkandung dalam kalimat maupun ucapan seseorang. Ada
lima hal yang dikaji untuk menjelaskan makna eufemisme yakni :
a. penutur dan lawan tutur yang mencakup : (1) usia diperkirakan 40 tahun. Hal
ini mengingat banyaknya rangkaian acara yang harus diikuti dengan aktif , (2)
latar belakang sosial ekonomi menengah ke atas. Penutur yang kelas
ekonominya menengah kebawah tidak dapat mengikuti dan aktif. Karena ia
harus memenuhi nafkah keluarganya , (3) Jenis kelamin laki-laki. Tidak ada
dijumpai penutur dalam acara adat perempuan, (4) tingkat keakraban ternyata
tidak akrab karena baru pertama kali berjumpa pada saat itu. Hal ini dapat
dilihat dari pernyataan , anak beru menunggu izin, Dari keluarga Datuk Husny
b. konteks tuturan. Dalam hal ini semuanya sudah terpenuhi yakni kesesuaian
antara penutur dan lawan tutur, waktu dan tempat tuturan.
c. tujuan tuturan, dapat berbeda-beda tergantung kepada maksud dan tujuan
tertentu dari si penutur. Bentuk dan bermacam-macam dapat mengungkapkan
maksud yang sama.
Same umur setahun jagung
Same darah setampuk pinang
Same akal tumbuh keluar
Universitas Sumatera Utara
d. tuturan sebagai tindakan atau aktivitas. Meliputi penutur, lawan tutur, tempat
dan waktu tuturan.
e. tuturan sebagai produk tindak verbal. Vandijk (1977) sebagaimana dilaporkan
Astuti 2001 : 170 – Tindak tutur merupakan pusat dalam pragmatik. Itulah
sebabnya jenis-jenis tuturan sangat banyak dijumpai sebagaimana yang
dikemukakan berikut ini :
1. Tindak tutur langsung yakni penggunaan kalimat disesuaikan dengan
fungsinya. Hal ini merupakan yang sangat biasa digunakan. Kalimat berita
dipakai untuk menginformasikan sesuatu. Kalimat tanya untuk bertanya.
2. Tindak tutur tidak langsung merupakan kebalikan dari tindak tutur langsung.
Kalimat berita dapat digunakan untuk bertanya atau memerintah.
3. Tindak tutur literal yakni tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna
kata-kata yang menyusunnya contoh. Penari Yen, bagus tariannye.
4. Tindak tutur tidak literal. Kalimat yang digunakan berlawanan dengan makna
kata yang disusunnya. Mendai nilaimu, tapi usahlah engko sekolah
.
5. Tindak tutur langsung literal, modus tuturan dan makna sama dengan maksud
penutur. Maksud memuji digunakan mendai betul bajumu.
6. Tindak tutur tidak langsung literal, modus kalimat tidak sesuai dengan maksud
pengutaraan, sedangkan makna kata sesuai dengan maksud penutur. Maksud
memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya.
Contoh :
Rumahne kotor
Dimane bukuku
Universitas Sumatera Utara
7. Tindak tutur langsung tidak literal, modus kalimat sesuai dengan tuturan katakata tidak mempunyai maksud yang sama dengan maksud penutur.
Contoh :
Biar nampak cantikmu, usah ko berbedak.
Maksudnya pakailah bedak, agar engkau kelihatan cantik.
8. Tindak tutur tidak langsung tidak literal, modus dan makna kalimat tidak sesuai
dengan apa yang dimaksudkan.
Contoh : seorang ibu yang akan menyuruh anaknya mengecilkan tape ketika
sedang belajar mengatakan,
Besarke tape kolo engko belajar.
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Umumnya eufemisme banyak dijumpai dalam BMS sehingga tidak salah
bila dikatakan sebahagian besar kata-kata atau ungkapan terdiri dari eufemisme
dalam BMR. Hal ini sesuai dengan budaya MMR yang antara lain sangat
menjunjung tinggi prinsip-prinsip sopan santun. Ketinggian dalam bersopan
santun menyebabkan terdapat keengganan untuk mengungkapkan hal hal yang
tidak disenangi ataupun untuk menegur orang lain secara terus terang. Untuk itu,
dicarilah kata-kata tertentu yang dapat mengungkapkan perasaan tanpa harus
menyinggung perasaan orang yang di tegur, yakni ungkapan eufemisme.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tipe eufemisme dalam BMR
ada sebanyak 6 tipe, yakni: (1) ekspresif figuratif (figurative expressions) , (2)
metaphor (metafor), (3) satu kata menggantikan kata lain (one for one
substitution), (4) umum ke khusus (general for specific), (5) hiperbola
(hyperbole), dan (6) kolokial (colloquial).
Fungsi eufemisme dalam BMR ada 4 yakni : (1) fungsi sapaan, (2)
menghindari tabu, (3) menyatakan cara, dan (4) menyatakan situasi. Khususnya
pada fungsi sapaan dalam BMR urutan kelahiran seseorang sangat menentukan
untuk disapa.
Makna dalam Eufemisme dikaji dari sudut pandang pragmatik karena
merupakan makna tuturan. Makna ujaran seseorang sangat bervariasi tergantung
dari berbagai aspek.Makna dapat dijelaskan sesuai dengan konteks yang meliputi:
(1) penutur dan lawan tutur, (2) konteks tuturan, (3) tuturan sebagai bentuk
Universitas Sumatera Utara
tindakan atau aktivitas, (4) tujuan tuturan, dan (5) tuturan sebagai produk tindak
verbal.
6.2 Saran
Mengingat hampir sebahagian besar kata dan ungkapan terdiri dari
eufemisme dalam BMS. Namun di sisi lain generasi muda Melayu (GMM)
sebagai generasi penerus pada umumnya tidak lagi menggunakan eufemisme
dalam berbicara, maka segera harus diambil langkah-langkah agar bahasa Melayu
Riau tetap dipakai oleh masyarakat Riau. Revitalisasi perlu dilakuan jika tidak
menginginkan kehilangan eufemisme dalam BMR yang merupakan salah satu
bahagian dari budaya bangsa.
Universitas Sumatera Utara