Eufemisme Dalam Bahasa Melayu Riau

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan
Penulisan karya ilmiah tentunya tidak terlepas dari buku-buku pendukung
yang relevan. Penulis perlu melakukan serangkaian kepustakaan, yaitu membaca
sejumlah buku dan tulisan yang berkaitan dengan topik penelitian. Tujuan studi
kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep, teori, serta informasi yang
dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan.
Tiga judul tesis sebelumnya yang penulis jadikan rujukan untuk penelitian
ini, seperti yang tertera berikut ini. Tesis pertama berjudul “Eufemisme dalam
Bahasa Simalungun” (Purba,2002). Tujuan penelitian ini adalah memahami
sosiolinguistik masyarakat Simalungun. Landasan teori yang digunakan adalah
teori Allan dan Burridge.
Tesis kedua oleh Faridah (2002) dengan judul “Eufemisme dalam Bahasa
Melayu Serdang”. Lokasi Penelitian di wilayah Serdang Bedagai. Tujuan
Penelitian adalahmengindetifikasikan dan mengelompokkan tipe-tipe eufemisme
dalam BMS.Tujuan penelitian yang kedua adalah mendeskripsikan fungsi
eufemisme dalam BMS. Selanjutnya yang ketiga adalah mendeskripsikan makna
eufemisme dalam BMS. Dengan landasan teori menggunakan teori Allan dan
Burridge(1991:14).

Tesis ketiga berjudul, “Eufemisme dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa
Nemokke” oleh Andayani (2005). Lokasi penelitian adalah perkumpulan
masyarakat Jawa yang tinggal di wilayah Medan. Tujuan Penelitian yakni

Universitas Sumatera Utara

menemukan tipe-tipe eufemisme dalam upacara perkawinan yang menggunakan
ragam bahasa Jawa nemokke di Medan. Landasan teori menggunakan teori Allan
dan Burridge(1991:12)
Ketiga tesis ini membicarakan tentang eufemisme, khusus pembahasannya
terfokus kepada sosiolinguistik masyarakat Simalungun, pengelompokan tipe-tipe
eufeumisme beserta fungsi dan maknanya.
Khusus untuk penelitian ini penulis merujuk kepada tesis Faridah (2002)
yang judulnya mirip dengan judul yang penulis angkat, hanya saja kajiannya
berbeda dari penelitian sebelumnya. Dari beberapa sumber yang telah dikemukan
di atas dapat diketahui bahwa penelitian mengenai BMR yang telah dilakukan
yang berhubungan dengan masalah eufemisme belum pernah diteliti. Penulis
mengacu kepada eufemisme BMS yang sudah diteliti sebelumnya oleh Faridah di
Kabupaten Serdang Bedagai


2.2 Landasan Teori
Secara etimologi, teori berasal dari bahasa Yunani, theria yang berarti
kebetulan alam atau realita.Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah
teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam
penelitian.
Teori merupakan landasan fundamental sebagai argumentasi dasar untuk
menjelaskan atau memberi jawaban terhadap masalah yang digarap, dengan
landasan teori maka segala masalah yang timbul dalam skripsi nantinya akan
terjawab.

Universitas Sumatera Utara

2.2.1 Eufemisme
Secaraetimologi, eufemisme berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti
bagus dan phemeo yang berarti berbicara. Jadi dapat dikatakan bahwa eufemisme
berarti berbicara dengan menggunakan perkataan yang baik/halus, yang
memberikan kesan baik.Dengan istilah yang lunak yang tidak mengejutkan atau
menakutkan.Selanjutnya Sutarno (1988) membagi tiga jenis eufeumisme yakni
kategori baik, buruk, dan memanifulasi kenyataan.
Kategori buruk dalam eufemisme karena digunakan untuk memanipulasi

makna sebenarnya dan bersifat politis, contoh harga naikmenjadidisesuaikan,
rakyat kelaparanmenjadirawan gizi.
Kategori baik berhubungan dengan sopan santun, misalnya jika seseorang
kencingatau berak, rasanya lebih sopan jika dikatakan hendak ke belakang.
Demikian juga kata mati, lebih tepat diganti dengan ungkapan meninggal dunia
atau dipanggil Tuhan.
Selain kedua kategori diatas sebenarnya ada satu bentuk lagi yang
digunakan dalam eufemisme yakni memanipulasi kenyataan.Contoh, di suatu
daerah yang terjadi pembunuhan besar-besaran yang telah mengambil banyak
korban namun disebutkan hal itu merupakan tindakan kriminal biasa.
Dalam bahasa Melayu dapat dikatakan bahwa penggunaan eufemisme
kerap digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Missal: seorang bocah yang
kelewat nakal akan digelar dengan si baek, bukan si nakal. Sebab pantang untuk
menyebut nakal secara langsung karena dianggap akan menjadikan anak itu nakal
terus-menerus. Panggilan baek dilakukan dengan harapan suatu saat anak yang
nakal akan berubah menjadi baik. Sebaiknya anak balita yang begitu cantik, sehat

Universitas Sumatera Utara

dan lincah akan dipanggil si busok sebab pantang menyebut sifat-sifat baiknya

karena diyakini akan mendatangkan keburukan pada si bayi(takut akan menjadi
takabur nantinya).
Eufemisme juga digunakan dalam upacara adat, baik dalam pemakaian
pantun-pantun maupun tuturan. Contoh untuk menyatakan seseorang yang masih
muda di pakai kalimat umur dah setahun jagung, darah sudah setampuk pinang.
Untuk menyatakan seorang ilmuwan digunakan kami dengar datuk orang arif
orang bijaksana, tahu di kias di umpama. Untuk mengatakan seseorang yang tidak
sombong digunakan kata kami yang hina dan terbuang.
Tabu dikategorikan ke dalam eufemisme, berasal dari kata tabo yang
dipungut dari bahasa Tonga salah satu dari rumpun bahasa Polinesia. Kata tabu
pada masyarakat Tonga merujuk pada tindakan yang dilarang atau dihindari.
Selanjutnya Fromkin dan Rodman, (1983:226) dalam Ohuiwutun (1997:94)
mengatakan bahwa tabu sebagai kata-kata yang tidak boleh digunakan setidaktidaknya tidak dipakai di tengah masyakat beradab.
Apakah suatu kata tergantung tabu atau tidak, dapat dinilai dari pandangan
yang dianut masyarakat bahasa serta tradisi kebudyaan masyarakat setempat.
Kebanyakan dalam masyarakat kata-kata yang berbau sek dianggap tabu
meskipun demikian dapat saja dua kata atau ungkapan yang sama maknanya
diperlakukan secara berbeda. Contoh vagina dalam bahasa Latin dianggap tidak
kotor sedangkan cunt dalam bahasa Inggris dianggap jorok. Demikian juga
dengan kata penis dianggap biasa, sementara prick atau cock dinilai jorok.


Universitas Sumatera Utara

BMR juga mempunyai kata-kata yang di anggap tabu dalam bidang seks,
contoh alat kelamin wanita disebut ayam. Kata bersebadan digunakan untuk
menggantikan kata bersenggama.
Dari hal-hal yang di atas diasumsikan bahwa tabu tentulah eufemisme,
sebaliknya eufemisme belum tentu tabu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa tabu
berhubungan dengan konsep natural, ada kekuatan magis di dalamnya, sedangkan
eufemisme berhubungan dengan konsep budaya.
Hal-hal yang dibahas dalam eufemisme berikut ini ialah bagaimanakah
kita mengungkapkan sesuatu dalam konteks tertentu seperti bagian tubuh, fungsi
tubuh, seks, nafsu, ketidakterimaan, kemarahan, kebencian, penyakit, kematian,
ketakutan, dan tentang Tuhan.

2.2.1.1 Tipe-tipe Eufemisme
Dinyatakan oleh Allan dan Burridge mengenai tipe eufemisme sebagai
berikut:
1. Ekspresi figurative
2. Metafora

3. Plipanci
4. Memodelkan kembali
5. Sirkumlokasi
6. Kliping
7. Akronim
8. Singkatan
9. Pelesapan

Universitas Sumatera Utara

10. Satu kata untuk menggantikan kata lain
11. Umum ke khusus
12. Sebagiaan dari keseluruhan
13. Hiperbola
14. Makna diluar pernyataan
15. Jargon
16. Kolokial

2.2.1.2 Fungsi Eufemisme
Sebagai perisai/tameng eufemisme memiliki fungsi dalam penggunaannya.

Beberapa macam eufemisme yang digunakan dalam masyarakat pemakainya:
a. nama Tuhan;
b. nama orang yang didasarkan pada perbedaan umumr, gender, latar
belakarang, dan hubungan sosial, nama anggota keluarga;
c. nama binatang buas; dan
d. nama yang berhubungan dengan kegiatan berisiko seperti : pertambangan,
berburu, memancing, berburu.
Menghindari Tabu
a. bahagian tubuh
b. bagian tubuh khusus
c. seks
d. haid
e. penyakit
f. cacat mental dan cacat tubuh
g. yang di buang / di keluarkan dari tubuh
h. seni
i.

kematian


Universitas Sumatera Utara

2.2.1.3 Makna Eufemisme
Aspek makna merupakan hal yang penting dalam eufemisme, oleh karena
itu membicarakan eufemisme tidak memadai jika tidak membicarakan makna.
Berbahasa atau menggunakan bahasa pada dasarnya adalah menggunakan
makna.Oleh sebab itu, mempelajari bahasa termasuk di dalamnya mempelajari
makna-makna yang sudah di sepakati oleh penutur bahasa itu dan mempelajari
bagaimana menggabungkan setiap unsur bahasa yang memiliki makna (morfem,
kata, dan sebagainya) menjadi suatu ungkapan bahasa yang baik dan benar. Hal
ini juga disebabkan satu dan lain hal oleh kenyataan bahwa sebagai penutur
bahasa kita tidak dapat memberikan kata sebuah makna yang bukan maknanya
(siregar, 1995:1)
Kajian makna pada tataran linguistic menurut urutannya berada pada
bagian semantic setelah bidang kajian fonologi, morfologi, dan sintaksis.Dalam
semantic kajian makna terarah pada dua bidang kajian, yaitu kajian makna kata
dan kajian makna kalimat atau ujaran.Kajian tentang makna kata telah dilakukan
sejak lama, yang menghasilkan sejumlah besar kamus-kamus dalam berbagai
bahasa.Kajian ini biasanya berhubungan dengan pengkajian cirri makna dan
hubungan makna antara kata-kata yang mencakup pembahasan tentang

kebermaknaan, hiponimi, sinonimi, antonimi, polisemi, dan homonimi.Kajian ini
sering juga disebut kajian leksikologi ataupun kajian juga kajian semantic
leksikon karena arah pengkajiannya kepada kata pada khususnya.
Kajian makna kalimat belum mendapat perhatian sebesar yang diberikan
kepada kajian makna kata atau leksikologi.Menjelang tahun enam puluhan
barulah kajian makna kalimat mendapat perhatian yang lebih serius, dalam

Universitas Sumatera Utara

perkembangan selanjutnya kajian makna kalimat kemudian dibedakan pula kajian
makna ujaran. (Katz dan Fodor :1963) dalam mengkaji makna kalimat lebih
menonjolkan kajian cirri makna dan hubungan makna. Kajian ini juga
membicarakan aspek-aspek perubahan dan perkembangan makna dalam bahasa,
salah satu diantaranya adalah eufemisme (Djajasudarma, 1993: 78-79).
Seseorang yang berbahasa akan menggunakan dua jenis makna, yaitu
makna bahasa (makna linguistik) atau makna penutur bahasa. Makna bahasa dari
sebuah kalimat atau ungkapan adalah makna yang diberikan kepada kaliamat atau
ungkapan tersebut dalam bentuk uraian bahasa.Sedangkan makna yang
dimaksudkan penutur ketika berbahasa di sebut makna penutur. Dalam bahasa
Indonesia, misalnya bahasa Indonesia baku, kata amplop memiliki makna berbeda

pada masing-masing kalimat (1) dan (2)
(1) Ahmad disuruh ibu membeli amplop.
(2) Supaya urusanmu cepat selesai, berikan saja dia amplop.
Makna penutur dapat dibedakan ke dalam makna harfiah dan makna tidak harfiah.
Makna tidak harfiah sama sekali berbeda dengan makna bahasa, sedangkan makna
harfiah tidak berbeda dengan makna bahasa atau makna linguistic. Dengan kata
lain makna tidak harfiah adalah makna yang berhubungan dengan factor di luar
bahasa dan makna harfiah adalah makna yang sebenarnya menurut bahasa.
Digunakan beberapa cara untuk berbicara secara tidak harfiah antara lain adalah
dengan cara ironis, berlebih-lebihan, eufemisme, dan dengan menggunakan gaya
bahasa yang lainnya (Siregar, 1995:6).
Berbicara ironis berarti menggunakan makna berlawanan dengan makna
kata (ujaran) dan berbicara berlebih-lebihan berarti melebihkan makna dari

Universitas Sumatera Utara

keadaan yang sebenarnya. Eufemisme menurut Djajasudarma (1993:78) adalah
pergeseran makna (melemahkan makna) dengan cara menggantikan symbol (kata,
frasa) dengan yang baru. eufemisme terjadi karena kata-kata yang digunakan
memiliki makna menyinggung perasaan orang yang mengalaminya.


Universitas Sumatera Utara