Determinan Kinerja Dokter Keluarga yang Dibayar Kapitasi di Kota Banda Aceh Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kinerja
Menurut Nawawi (2013) yang mengutip pendapat Suntoro, kinerja
(performance) adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau kelompok
orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab
masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan
secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.
Pengertian kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai
tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan atau kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang dituangkan melalui
perencanaan stretegis suatu organisasi. Kinerja dapat diketahui dan diukur jika
individu atau sekelompok karyawan telah mempunyai kriteria atau standar
keberhasilan tolak ukur yang ditetapkan oleh organisasi. Oleh karena itu, jika
tanpa tujuan dan target yang ditetapkan dalam pengukuran, maka kinerja pada
seseorang atau kinerja organisasi tidak mungkin dapat diketahui bila tidak ada
tolak ukur keberhasilannya (Moeheriono, 2014).
Handoko (2001) menyatakan bahwa kinerja (perfomance appraisal)
adalah proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai
prestasi kerja karyawan dimana dalam kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan-


Universitas Sumatera Utara

keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada para karyawan tentang
pelaksanaan kerja mereka.
Kinerja berasal dari kata-kata job performance dan disebut juga actual
performance atau prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang telah dicapai
oleh seseorang karyawan. Banyak sekali definisi atau pengertian dari kinerja yang
dikatakan oleh para ahli, namun semuanya mempunyai beberapa kesamaan arti
dan makna dari kinerja tersebut. Sedangkan pengukuran kinerja (performance
measurement) mempunyai pengertian suatu proses penilaian tentang kemajuan
pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran dalam pengelolaan sumber daya manusia
untuk menghasilkan barang dan jasa, termasuk informasi atas efisiensi serta
efektifitas tindakan dalam mencapai tujuan organisasi. Menurut Oxford
Dictionary, kinerja (performance) merupakan suatu tindakan proses atau cara
bertindak atau melakukan fungsi organisasi. Sebenarnya kinerja merupakan suatu
konstruk, dimana banyak para ahli yang masih memiliki sudut pandang yang
berbeda dalam mendefinisikan kinerja tersebut. Seperti yang dikembangkan oleh
robbins, mengatakan bahwa kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan
atau ability (A) motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity

(O), yaitu kinerja - f (A x M x O), artinya kinerja merupakan fungsi dari
kemampuan, motivasi dan kesempatan.
Pengertian atau definisi kinerja atau performance adalah hasil kerja yang
dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi baik
secara kuantitatif maupun kualitatif, sesuai dengan kewenangan dan tugas

Universitas Sumatera Utara

tanggung jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi
bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral
maupun etika (Moeheriono, 2014).
Menurut pendapat Hendrartini (2010) yang mengutip pendapat Bernardin
dan Russel, kinerja sebagai output yang dihasilkan dari fungsi atau aktifitas dari
suatu pekerjaan yang spesifik selama periode waktu tertentu. Fungsi dari
pekerjaan atau kegiatan tersebut menjadi dasar evaluasi kinerja. Sebagai contoh
pelayanan konsumen dapat menjadi dasar dalam mendeskripsikan kinerja suatu
organisasi. Institusi pelayanan kesehatan harus mempunyai instrumen penilaian
kinerja yang efektif bagi tenaga medis karena kinerja mereka menjadi salah satu
variabel yang penting bagi efektivitas organisasi.


2.2. Dokter Keluarga
Dokter keluarga adalah dokter yang mengutamakan penyediaan pelayanan
komprehensif bagi semua orang yang mencari pelayanan kedokteran, dan
mengatur pelayanan oleh provider lain bila diperlukan. Dokter ini adalah seorang
generalis yang menerima semua orang yang membutuhkan pelayanan kedokteran
tanpa adanya pembatasan usia, gender, ataupun jenis penyakit. Dikatakan pula
bahwa dokter keluarga adalah dokter yang mengasuh individu sebagai bagian dari
keluarga dan dalam lingkup komunitas dari individu tersebut. Tanpa membedakan
ras, budaya, dan tingkat sosial. Secara klinis, dokter ini berkompeten untuk
meyediakan pelayanan dengan sangat mempertimbangkan dan memperhatikan

Universitas Sumatera Utara

latar belakang budaya, sosioekonomi, dan psikologis pasien. Dokter ini
bertanggung jawab atas berlangsungnya pelayanan yang komprehensif dan
berkesinambung bagi pasiennya. (World Organization of Family Doctors, 1991).
Ikatan Dokter Indonesia (1982), mendefinisikan dokter kelaurga adalah
dokter yang dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi komunitas
dengan titik berat kepada keluarga, tidak hanya memandang penderita sebagai
individu yang sakit tetapi sebagai bagian dari unit keluarga dan tidak hanya

menanti secara pasif, tetapi bila perlu aktif mengunjungi penderita atau
keluarganya.
Penerapan Sistem Pelayanan Dokter Keluarga (SPDK) yang berarti
penerapan ancangan (approach) kedokteran keluarga telah menjadi kebutuhan
dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) bersama Organisasi Dokter Keluarga
Sedunia (WONCA) pada tahun 1994 telah menyusun rekomendasi bersama untuk
implementasi SPDK di setiap negara. Intinya rekomendasi itu antara lain
menganjurkan agar SPDK diterapkan di semua negara dan sistem pendidikan
kedokteran pun diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ancangan
kedokteran keluarga. Dalam penerapan SPDK, seorang Dokter Keluarga (DK)
yang sejatinya adalah Dokter Praktik Umum (DPU) yang kewenangan praktiknya
sebatas pelayanan primer - harus menggunakan prinsip pelayanan dokter keluarga
yang terdiri atas sembilan butir yaitu:
1. Menyelenggarakan pelayanan komprehensif dengan pendekatan holistik;
2. Menyelengarakan pelayanan yang bersinambung (kontinu);

Universitas Sumatera Utara

3. Menyelenggarakan pelayanan yang mengutamakan pencegahan;
4. Menyelenggarakan pelayanan yang bersifat koordinatif dan kolaboratif;

5. Menyelenggarakan pelayanan personal (individual) sebagai bagian integral dari
keluarganya;
6. Mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan;
7. Menjunjung tinggi etika, moral dan hukum;
8. Menyelenggarakan pelayanan yang sadar biaya dan sadar mutu; dan
9. Menyelenggarakan pelayanan yang dapat diaudit dan dipertangungjawabkan
(World Organization of Family Doctors, 1991).
Hendratini (2010) mengutip pendapat dari Boland; Bodenheimer dkk,
menyatakan bahwa salah satu peran penting dari dokter primer/ dokter keluarga
adalah berfungsi sebagai gate keeper untuk mengendalikan akses ke pelayanan
rujukan/ spesialis, melalui model pembayaran kapitasi. Sebagai gate keeper,
dokter primer bertindak selaku koordinator dari seluruh pelayanan yang
dibutuhkan oleh pasien, dengan cara memberikan otorisasi rujukan dan pelayanan
penunjang yang dibutuhkan.
Beberapa negara maju seperti huisarts di Belanda, hausartz di Jerman, GPs
(general practitioners) di negara Commonwealth seperti Inggris, Singapura dan
Australia serta family physician di Amerika telah menjadikan dokter praktik
umum sebagai pemberi pelayanan lini terdepan. Dalam beberapa dasawarsa yang
lalu terbentuk WONCA, yaitu organisasi federasi perkumpulan dokter keluarga
sedunia yang didukung WHO. WHO menganjurkan agar dokter keluarga


Universitas Sumatera Utara

merupakan pemberi pelayanan kesehatan utama di tingkat pelayanan kesehatan
strata primer (World Organization of Family Doctors, 1991)
WHO juga mencanangkan konsep Five Star Doctor sesuai konsep dokter
keluarga yang mencakup kompetensi dokter untuk mampu bertindak sebagai:
1. Penyedia layanan (Care provider)
2. Pengambil keputusan (Decision maker)
3. Penghubung/ pendidik (Communicator/educator)
4. Tokoh masyarakat (Community leader)
5. Manajer (Manager)
Berbagai kebijakan yang telah diterapkan dalam bidang kesehatan di
Indonesia seperti SKN telah menetapkan dokter keluarga sebagai pemberi
pelayanan dokter strata pertama karena pembangunan kesehatan dikaitkan dengan
pembangunan keluarga. Juga karena keluarga merupakan unit terkecil masyarakat
yang sangat penting fungsinya dan strategis sekali dalam pembangunan sosial.
Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang
Sistem Kesehatan Nasional disebutkan pelayanan kesehatan masyarakat primer
adalah pelayanan peningkatan dan pencegahan tanpa mengabaikan pengobatan

dan pemulihan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Paradigma baru pembangunan kesehatan yaitu paradigma sehat sangat
membutuhkan model pendekatan pelayanan dokter keluarga. Hal itu karena
paradigma sehat menekankan upaya pemeliharaan kesehatan yang mengutamakan
pelayanan kesehatan promotif dan preventif agar keluarga dan anggotanya dapat

Universitas Sumatera Utara

terus terjaga kesehatannya serta mengurangi beban sosial-ekonomi yang
dikeluarkan untuk berobat.
Hadirnya dokter praktik umum dan dokter keluarga di era BPJS secara
otomatis akan meningkatkan kualitas dokter itu sendiri. Saat ini ribuan tenaga
dokter tidak terdistribusi dengan baik, hanya mengumpul di satu kota sehingga
penghasilan yang mereka dapatkan pun tidak sesuai dengan harapan. Di era BPJS,
melalui sistem rujukan dengan peningkatan pelayanan kesehatan primer di
Puskesmas, dokter praktik umum dan dokter keluarga akan terjadi penyebaran
jumlah dokter hingga pelosok-pelosok daerah.
Optimalisasi

pelayanan


kesehatan

di

tingkat

pertama

ini

akan

mempetaruhkan kompetensi dokter, dimana dokter dituntut keahliannya selain
dari segi kuratif, dan yang terpenting adalah bagaimana mendidik peserta dengan
upaya promotif dan preventif, disinilah tantangannya. Di sisi lain itu beban
Puskesmas akan berkurang sehingga dapat fokus dalam upaya usaha-usaha
kesehatan masyarakat yang bersifat massal. Misalnya posyandu, fogging,
penyuluhan-penyuluhan kesehatan akan kembali aktif. Selain itu dokter sudah
memiliki pasar tersendiri di daerah tersebut dan akan menetap pada akhirnya

(distribusi dokter berjalan dengan baik).
Dokter keluarga menempati ranah pelayanan primer dalam tatanan Sistem
Kesehatan Nasional sedangkan dokter spesialis menempati ranah pelayanan
sekunder. Pemisahan atau pemeringkatan layanan itu diperlukan agar terjadi
mekanisme saling kontrol dan saling bina antara SDM di pelayanan primer dan

Universitas Sumatera Utara

sekunder. Dokter keluarga sebagai penyelenggara layanan primer, harus bekerja
keras agar dapat menyelesaikan semua jenis masalah kesehatan yang dipunyai
pasiennya tanpa memandang jenis kelamin, sistem organ, jenis penyakit, golongan
usia, dan status sosialnya. Dokter keluarga terutama bertugas meningkatkan taraf
kesehatan pasien, mencegah timbulnya penyakit, segera membuat diagnosis dan
mengobati penyakit yang ditemukan, mencegah timbulnya cacat serta mengatasi
keterbatasan akibat penyakit. Jika diperlukan sudah barang tentu harus sesegera
mungkin merujuk pasien ke sejawat dokter spesialis di ranah pelayanan sekunder.
Dari tatanan yang tercantum dalam SKN tersebut jelaslah bahwa kerjasama
mutualistis antara dokter keluarga dan dokter spesialis sangat penting agar pasien
merasa dilindungi dan mendapat layanan yang benar dan baik. (Wonodirekso,
2009)


2.3. Pengelolaan Pelayanan (Managed Care)
Belajar dari sejarah perkembangan sistem asuransi kesehatan di Indonesia
dan

pengalaman

negara

lain,

pemerintah

Indonesia

merekomendasikan

pengelolaan asuransi kesehatan menggunakan konsep Managed Care (MC).
Konsep ini merupakan alternatif terbaik untuk menyeimbangkan antara aspek
pelayanan, aspek pembiayaannya dengan aspek kualitas pelayanan kesehatan

sesuai dengan prosedur yang baku.
Menurut Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan
Indonesia

(PAMJAKI),

Managed

Care

sebagai

suatu

sistem

yang

Universitas Sumatera Utara

mengintegrasikan pembiayaan dan penyediaan perawatan kesehatan dalam suatu
sistem yang mengelola biaya dan kemudahan dalam mengakses pelayanan bagi
pesertanya. Integrasi pembiayaan dan penyediaan pelayanan kesehatan tersebut
melalui beberapa cara berikut :
1. Kesepakatan

dengan

pemberi

pelayanan

kesehatan

tertentu

untuk

melaksanakan serangkaian jasa pelayanan yang komprehensif bagi peserta
program. Kesepakatan dibentuk dalam satu kontrak dengan provider.
2. Patokan/ standar yang dinyatakan secara eksplisit dalam seleksi pemberi
pelayanan kesehatan.
3. Program formal untuk memperbaiki kualitas yang sudah ada dan kajian
pemanfaatannya.
4. Penekanan pada hal menjaga agar peserta tetap sehat sehingga penggunaan
jasa pelayanan berkurang. Dalam hal ini provider sebetulnya dituntut untuk
lebih berorientasi dalam pelaksanaan upaya promotif dan preventif.
5. Insentif pembiayaan bagi peserta dalam rangka memanfaatkan pemberi
pelayanan kesehatan dan pelayanan yang berkaitan dengan asuransinya.
Ciri umum dari sistem managed care terdiri dari :
1. Kajian pemanfaatan yang menyeluruh/ comprehensive;
2. Memantau dan menganalisa pola-pola praktek dokter;
3. Menggunakan tenaga dokter pelayanan primer dan provider lainnya untuk
melayani pasien;
4. Mengiring pasien kepada provider yang efisien dan bermutu tinggi;

Universitas Sumatera Utara

5. Program perbaikan mutu; dan
6. Sistem pembayaran yang membuat para dokter, rumah sakit dan provider
lainnya akuntabel baik biaya maupun kualitas pelayanan kesehatan.
Prinsip yang mendasari adalah adanya tanggung jawab atas pengendalian
dan integrasi keseluruhan pelayanan yang dibutuhkan pasien. Sedangkan tujuan
dasar dari sistem Mangaed Care adalah mengurangi biaya dengan cara
meningkatkan kelayakan dan efisiensi pelayanan kesehatan (PAMJAKI, 2008).

Gambar 2.1 Tugas dan Peran BPJS (Managed Care)
Sumber : Hendrartini, 2005 (quality assurance dalam implementasi managed care)
Menurut Wholey dkk (1997), pelayanan primer (Primary care) adalah
kunci penting dalam pelaksanaan Managed Care dimana primary care merupakan
penyediaan pelayanan kesehatan yang terpadu oleh dokter primer yang
bertanggung jawab untuk sebagian besar kebutuhan akan pelayanan kesehatan

Universitas Sumatera Utara

diri, membangun hubungan yang berkelanjutan dengan pasien, dan berorientasi
pada keluarga dan masyarakat.
Ada beberapa konsep Managed Care diantaranya :
1. Model Tiga Pihak (Tripartite Model)
Yang dimaksud dengan tripartite (tiga pihak) adalah pihak perusahaan
asuransi (insurance company) sebagai pengelola dana, pihak pemberi jasa
pelayanan kesehatan (health provider) dan pihak peserta (consumer). Ketiga
pihak harus saling bekerja sama terutama dalam hal pengawasan pelaksanaan
pelayanan kesehatan kepada peserta sehingga dapat dilaksanakan secara
efektif dan efisien.
2. Kapitasi Prabayar (Prepaid Capitation)
Adalah suatu sistem pembiayaan kesehatan yang dilakukan di muka
berdasarkan kapita atau jiwa yand diikutsertakan. Hal ini berbeda dengan “fee
for service”, pembiayaan kesehatan diberikan berdasarkan penggunaan
fasilitas/jasa. Jika seseorang memperoleh pelayanan kesehatan melebihi nilai
uang yang dibayarkan kepada pihak asuransi, kelebihan tersebut akan menjadi
risiko pemberi pelayanan kesehatan (health provider). Sebaliknya jika biaya
pelayanan yang diterima lebih kecil dari nilai uang yang telah dibayarkan,
kelebihan tersebut akan menjadi insentif kepada pemberi pelayanan kesehatan.
3. Pelayanan Menyeluruh (Comprehensive)
Bentuk pelayanan asuransi ini meliputi semua jenis pelayanan kesehatan mulai
dari yang bersifat preventif, promotif, kuratif sampai yang bersifat

Universitas Sumatera Utara

rehabilitatif. Di dalam pelaksanaannya, ada jaminan untuk pelayanan rawat
jalan tingkat pertama, pelayanan rawat jalan tingkat lanjutan, dan pelayanan
rawat inap serta pelayanan obat.
4. Konsep Wilayah (Dokter Keluarga/Puskesmas)
Peserta asuransi dikelompokkan dalam suatu wilayah tertentu. Pelayanan
kesehatan dasar diberikan oleh dokter umum atau dokter keluarga dengan
sistem pembiayaan prepaid capitation (prospective payment). Ada wilayah
kerja dikontrak dengan jaringan pelayanannya yang dinamakan purchasing
health yang dibayar dengan sistem kapitasi.
5. Sistem Paket (Budget System)
Adalah sistem pembiayaan yang dilakukan di fasilitas pelayanan rujukan
dengan cara menggabungkan beberapa jenis pelayanan atau tindakan medis
tertentu dengan tarif paket yang sudah diterapkan sebelumnya. Sistem seperti
ini ditempuh untuk menghindari pemanfaatan pelayanan yang berlebihan
(over utilization).
6. Konsep Rujukan
Konsep ini diterapkan dengan surat pernyataan rujukan dari institusi pemberi
pelayanan kesehatan dasar (misalnya: puskesmas) ke pemberi pelayanan
kesehatan rujukan.
Dokter keluarga sebagai salah satu “Pintu masuk” dalam sistem Managed
care harus mampu melaksanakan peran untuk menghasilkan pelayanan yang
efektif dan efisien kepada pasien. Dokter keluarga dituntut untuk melaksakan

Universitas Sumatera Utara

pelayanan kesehatan yang komprehensif atas biaya kapitasi yang diterima dari
BPJS. Salah satu faktor yang akan mendukung keberhasilan tersebut adalah
pemahaman dokter keluarga tentang peran dan tugasnya sebagai Gate keeper
dalam sistem Managed Care.

2.4. Konsep Penjaga Gerbang (Gate Keeper Concept)
Gate Keeper Concept adalah konsep sistem pelayanan kesehatan dimana
fasilitas kesehatan tingkat pertama yang berperan sebagai pemberi pelayanan
kesehatan dasar berfungsi optimal sesuai standar kompetensinya dan memberikan
pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan medik. (BPJS Kesehatan, 2015)
Tujuan Implementasi Gate Keeper adalah sebagai berikut:
1. Mengoptimalkan peran fasilitas kesehatan tingkat pertama dalam sistem
pelayanan kesehatan;
2. Mengoptimalkan fungsi fasilitas kesehatan untuk memberikan pelayanan
kesehatan sesuai dengan standar kompetensinya;
3. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di fasiltias kesehatan tingkat
lanjutan dengan melakukan penapisan pelayanan yang perlu dirujuk sehingga
mengurangi beban kerja rumah sakit.;
4. Menata sistem rujukan; dan
5. Meningkatkan kepuasan peserta dengan memberikan pelayanan kesehatan
yang berkualitas.

Universitas Sumatera Utara

Pelaksana Gate Keeper pada Era JKN merupakan fasilitas kesehatan
tingkat pertama yang telah bekerjasama dengan BPJS yang terdiri dari :
1. Puskesmas atau yang setara.;
2. Praktik dokter baik praktik perorangan maupun praktik bersama;
3. Praktik dokter gigi baik praktik perorangan maupun praktik bersama;
4. Klinik Pratama atau yang setara; dan
5. Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara.
2.4.1. Fungsi Pokok Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sebagai
Gate Keeper
Pelaksanaan pelayanan kesehatan di Era JKN, FKTP mempunyai fungsi
pokok sebagai berikut :
1.

Kontak pertama pelayanan (First Contact)
Fasilitas kesehatan tingkat pertama merupakan tempat pertama yang
dikunjungi peserta setiap kali mendapat masalah kesehatan.

2.

Pelayanan berkelanjutan (Continuity)
Hubungan fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan peserta dapat
berlangsung

secara

berkelanjutan/kontinyu

sehingga

penanganan

penyakit dapat berjalan optimal.
3.

Pelayanan paripurna (Comprehensiveness)
Fasilitas kesehatan tingkat pertama memberikan pelayanan yang
komprehensif terutama untuk pelayanan promotif dan preventif.

Universitas Sumatera Utara

4.

Koordinasi pelayanan (Coordination)
Fasilitas kesehatan tingkat pertama melakukan koordinasi pelayanan
dengan penyelenggara kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada peserta sesuai kebutuhannya. Dokter yang bertugas
berfungsi sebagai pengatur pelayanan (care manager).

KONTAK
PERTAMA

KOORDINASI
PELAYANAN

FASKES
TK I

PELAYANAN
BERKELAN
JUTAN

PELAYANAN
PARIPURANA

Gambar 2.2 Fungsi Pokok FKTP sebagai Gate Keeper
Sumber : BPJS Kesehatan, 2015 (Panduan Praktis Gate Keeper Concept)
Dokter merupakan pengatur pelayanan (care manager) dalam pelaksanaan
pelayanan di FKTP sebagai gate keeper. Untuk itu dokter diharapkan memiliki
kompetensi yang dibutuhkan untuk melakasanakan pelayanan di FKTP. Menurut
BPJS kesehatan, kompetensi fasilitas kesehatan sebagai Gate Keeper meliputi :

Universitas Sumatera Utara

1. Kompetensi yang wajib dimiliki oleh semua Gate Keeper adalah:
Standar kompetensi dokter umum sesuai dengan Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Standar Kompetensi
Dokter Indonesia yaitu pada kompetensi level 4A (kompetensi yang
dicapai saat lulus dokter) dimana pada level tersebut dokter mampu
mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas.
2. Kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh semua Gate Keeper adalah :
a. Standar Kompetensi Dokter Keluarga;
b. Advance Trauma Life Support (ATLS);
c. Advance Cardiac Life Support (ACLS);
d. Sertifikat Keahlian Medis Endokrin;
e. Pelatihan Kesehatan Kerja; dan
f. Sertifikat Pelatihan Kesehatan Lainnya. (BPJS Kesehatan, 2015)
2.4.2. Tugas dan Fungsi Gate Keeper
Gate Keeper dalam melaksakanan pelayanan di FKTP memiliki tugas dan
fungsi sebagai berikut:
Tugas Gate Keeper:
1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan secara paripurna, terpadu dan bermutu;
2. Mengatur akses kepada pelayanan kesehatan lanjutan melalui sistem
rujukan;
3. Penasehat, konselor, dan pendidik untuk mewujudkan keluarga sehat; dan

Universitas Sumatera Utara

4. Manajer sumber daya.
Fungsi Gate Keeper:
1. Kontak pertama pasien;
2. Penapis Rujukan; dan
3. Kendali Mutu dan Biaya. (BPJS Kesehatan, 2015)
2.4.3. Ruang Lingkup Pelayanan Gate Keeper
Pelayanan Gate Keeper memiliki ruang lingkup sebagai berikut:
1. Promosi kesehatan (promotif);
2. Pencegahan penyakit dan proteksi khusus (Preventive dan Specific
protection);
3. Pengobatan (Curative);
4. Pembatasan kecacatan (disability limitation); dan
5. Pemulihan kesehatan (rehabilitative). (BPJS Kesehatan, 2015)
2.4.4. Implementasi Gate Keeper Concept
Implementasi Gate Keeper Concept di Indonesia, dilaksanakan sebagai
berikut:
1. Setiap fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerjasama dengan
BPJS

Kesehatan

wajib

melalui

proses

kredensialing

dan

re-kredensialing sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Penguatan fungsi kontak pertama (first contact)
a.

Fasilitas kesehatan diupayakan untuk tidak memiliki beban kerja
yang berlebihan (overload) yang akan mempengaruhi kualitas

Universitas Sumatera Utara

pelayanan yang diberikan, untuk itu harus dipertimbangkan
jumlah pasien yang dilayani baik peserta BPJS Kesehatan maupun
bukan peserta BPJS Kesehatan, jumlah dokter yang bertugas,
lama kerja dokter dan ada tidaknya double job dokter.
b. Setiap peserta hanya boleh memilih dan mendaftar pada satu
fasilitas kesehatan tingkat pertama.
c.

Fasilitas kesehatan tingkat pertama harus mudah diakses secara
geografis oleh peserta.

d. Peserta menjadikan Fasilitas kesehatan tingkat pertama sebagai
tempat

pertama

untuk

mengakses

pelayanan

kesehatan,

berkonsultasi dan menyampaikan keluhannya, hal ini dapat dinilai
dengan indikator sebagai berikut :
1) Angka kunjungan;
2) Jumlah peserta yang datang ke fasilitas kesehatan tingkat
pertama lain;
3) Pasien datang langsung ke RS meskipun tidak dalam kondisi
gawat darurat; dan
4) Tidak ada keluhan peserta yang tidak mendapatkan pelayanan
dari dokternya.
Data di atas diperoleh melalui laporan, survey, walk through
audit, dll.

Universitas Sumatera Utara

e.

Mengutamakan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang dapat
diakses selama 24 jam.

f. Mendorong agar fasilitas kesehatan tingkat pertama yang tidak
beroperasi 24 jam tetap dapat diakses walaupun di luar jam
praktek formal dalam bentuk konsultasi jarak jauh, misalnya:
konsultasi melalui telepon, surat elektronik (email), sms atau
sarana komunikasi lainnya .
g. Fasilitas kesehatan tingkat pertama mempunyai komitmen untuk
melakukan kunjungan ke rumah pasien (home visit) yang dalam
kondisi tertentu tidak memungkinkan untuk mengunjungi dokter.
h. Perencanaan konsultasi non akut yaitu fasilitas kesehatan tingkat
pertama membuat jadwal konsultasi untuk peserta berdasarkan
dokumentasi informasi family folder yang ada padanya.
i.

Fasilitas kesehatan tingkat pertama melakukan klasifikasi
pesertaterdaftar berdasarkan beberapa kriteria misalnya kondisi
kesehatan peserta, demografi, tingkat pendidikan dan lain-lain.
Hal ini

digunakan untuk membuat perencanaan penjadwalan

pelayanan peserta dan edukasi secara langsung maupun tidak
langsung melalui berbagai media.

Universitas Sumatera Utara

3. Penguatan fungsi pelayanan berkelanjutan (continuity), antara lain:
a.

Meningkatkan kepercayaan peserta kepada fasilitas kesehatan
tingkat pertama untuk datang kembali melakukan kunjungan
ulang atas permasalahan kesehatan yang dialaminya.

b. Meningkatkan kualitas hubungan fasilitas kesehatan tingkat
pertama dengan peserta sehingga pelayanan kesehatan dapat
berlangsung dengan kontinyu dan berjalan optimal.
c.

Fasilitas kesehatan memiliki Family folder atau informasi
kesehatan per keluarga, dengan tujuan:
1) Pelayanan kesehatan berorientasi pada keluarga (family
centeredness)
2) Pelayanan kesehatan menjadi lebih terfokus kepada peserta
dan bukan pada penyakit yang diderita. Keterlibatan pasien
dalam pengambilan keputusan akan membuat pelayanan lebih
efektif.
3) Fasilitas kesehatan lebih mengenal pasien secara individu dan
keluarga

sehingga

dokter

lebih

mudah

mengetahui

permasalahan dan penanganan kesehatan.
4) Fasilitas kesehatan dapat menjalankan program promotif dan
preventif yang lebih baik dan terfokus pada individu.
d. Rata-rata waktu konsultasi setiap pasien minimal 15 menit.
e.

Jumlah ideal peserta terdaftar adalah 3.000 jiwa per dokter.

Universitas Sumatera Utara

f.

Minimal terdaftar selama 3 bulan tanpa ada keinginan untuk
berpindah ke fasilitas kesehatan tingkat pertama lain (trust
building).

g. Fasilitas kesehatan tingkat pertama mempunyai tanggung jawab
terhadap kebutuhan medik peserta yang terdaftar padanya.
h. Indikator atas menguatnya fungsi pelayanan yang berkelanjutan
adalah:
1) Jumlah peserta yang berpindah ke fasilitas kesehatan pertama
lain bukan karena pindah domisili rendah.
2) Keluhan peserta terhadap pelayanan dokternya rendah.
3) Indeks kepuasan peserta terhadap dokter dan fasilitas
kesehatan meningkat.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Penguatan Fungsi Gate Keeper
Sumber : BPJS Kesehatan, 2015 (Panduan Praktis Gate Keeper Concept)
4. Penguatan fungsi pelayanan paripurna (comprehensiveness)
a. Pelayanan yang paripurna dapat mengurangi rujukan untuk
pelayanan non-spesialisasi yang bisa diberikan di fasilitas kesehatan
tingkat pertama.
b. Fasilitas kesehatan tingkat pertama memberikan pelayanan yang
komprehensif terutama untuk pelayanan promotif dan preventif, hal
ini dapat dinilai dengan indikator sebagai berikut:
1) Jumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama yang mempunyai
fasilitas pendukung pelayanan yang menyeluruh yaitu dokter gigi,

Universitas Sumatera Utara

laboratorium dan apotik/depo farmasi dalam satu lokasi (One Stop
Service);
2) Dokter atau tenaga medis di fasilitas kesehatan tingkat pertama
harus mampu membuat diagnosa klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit secara mandiri dan tuntas minimal 144
Daftar Penyakit sesuai level kompetensi 4a dalam Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012 berpedoman
pada Panduan Praktik Klinis;
3) Pada pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif,
dokter pada fasilitas kesehatan tingkat pertama sebagai manager
untuk memberikan edukasi, promosi kesehatan dan program
pengelolaan Penyakit kronis. Fasilitas kesehatan tingkat pertama
juga harus memiliki program yang terorganisasi dan terukur untuk
pengelolaan terkait dengan edukasi, promosi, pembentukan klub
risti, frekuensi pemberian informasi yang teratur, sarana
penyampaian informasi melalui berbagai media termasuk menjadi
motivator bagi peserta untuk hidup sehat; dan
4) Fasilitas kesehatan tingkat pertama rutin melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap status kesehatan peserta yang terdaftar
padanya.

Universitas Sumatera Utara

5. Penguatan fungsi koordinasi pelayanan (coordination)
a. Fungsi koordinasi pelayanan:
1) Mencegah duplikasi pelayanan dan mengurangi bahaya akibat
pelayanan yang tumpang tindih;
2) Memudahkan dan mendekatkan pelayanan untuk orang dengan
fleksibilitas terbatas;
3) Memastikan kontinuitas pelayanan terutama jika pasien dilayani
di fasilitas kesehatan lain; dan
4) Sarana untuk meminta saran penanganan pasien (treatment)
sebelum diputuskan untuk dirujuk.
b. Koordinasi antar fasilitas kesehatan tingkat pertama
1) Fasilitas

kesehatan

Tingkat

pertama

dengan

Jejaringnya

Memastikan koordinasi antara dokter dengan jejaringnya (dokter
gigi, laboratorium, apotek, bidan, perawat, paramedis maupun
non medis lainnya) dapat berfungsi dengan optimal;
2) Antar fasilitas kesehatan tingkat pertama satu dengan yang lain.
Membentuk Forum komunikasi fasilitas kesehatan tingkat
pertama

dalam

satu

wilayah.

Hal

ini

berfungsi

untuk

meningkatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama,
misalnya :
a) Media sharing informasi, peer group review, forum group
discussion, dll;

Universitas Sumatera Utara

b) Sebagai alternatif dokter pengganti apabila dokter berhalangan
praktek; dan
c) Koordinasi dalam memberikan pelayanan kepada peserta.
c. Koordinasi fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan fasilitas
kesehatan rujukan.
1) Fasilitas kesehatan tingkat pertama melakukan koordinasi dengan
dokter spesialis di fasilitas kesehatan rujukan, petugas BPJS
Kesehatan Center dan Kantor Cabang/ Kantor Operasional
Kabupaten/ Kota BPJS Kesehatan setempat.
2) Fasilitas kesehatan tingkat pertama harus berfungsi sebagai
penapis rujukan dengan indikator pencapaian diukur dari rasio
rujukan dan tingkat (rate) rawat jalan tingkat lanjutan pasien yang
terdaftar pada fasilitas kesehatan tingkat pertama tersebut.
3) Fasilitas

kesehatan

tingkat

pertama

sebagai

coordinator

pelayanan program rujuk balik
4) Mengupayakan

fasilitas

kesehatan

tingkat

pertama

untuk

menggunakan aplikasi sistem informasi manajemen (Aplikasi
Primary Care BPJS Kesehatan) yang terintegrasi dengan
pelayanan rujukan.
5) Mengupayakan fasilitas kesehatan lanjutan untuk berkoordinasi
dengan fasilitas kesehatan tingkat pertama dalam menyusun tata

Universitas Sumatera Utara

laksana penanganan pasien pasca dirawat inap di rumah sakit
(discharge planning).
6) Fasilitas kesehatan tingkat pertama melakukan home visit ke
pasien pasca rawat inap.
6. Peningkatan kompetensi fasilitas kesehatan tingkat pertama
Untuk menunjang pemberian pelayanan kesehatan yang berkualitas,
tenaga medis dan paramedis di fasilitas kesehatan tingkat pertama harus
terus meningkatkan kompetensinya, melalui:
a. Seminar/Workshop bagi Fasilitas kesehatan tingkat pertama Berbasis
Kedokteran Keluarga;
b. Pelatihan dokter Program Penanganan Diabetes Mellitus Tipe 2
(PPDM Tipe 2) dan Program Penanganan Hipertensi (PPHT) BPJS
Kesehatan;
c. Seminar Kedokteran dan Obat; dan
d. Pertemuan Kemitraan Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan.
7. Kendali Mutu dan Biaya
a. Dalam rangka penyelenggaraan kendali mutu dan kendali biaya,
BPJS Kesehatan membentuk tim kendali mutu dan kendali biaya
yang terdiri dari unsur organisasi profesi, akademisi, dan pakar
klinis.

Universitas Sumatera Utara

b. Tim kendali mutu dan kendali biaya dapat melakukan:
1) sosialisasi kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan
praktik profesi sesuai kompetensi;
2) utilization review dan audit medis; dan/atau
3) pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan.
c. Penyelenggaraan kendali mutu dan kendali biaya oleh BPJS
Kesehatan dilakukan melalui:
1) pemenuhan standar mutu Fasilitas Kesehatan;
2) pemenuhan standar proses pelayanan kesehatan; dan
3) pemantauan terhadap luaran kesehatan Peserta.
d. Pada kasus tertentu, tim kendali mutu dan kendali biaya dapat
meminta informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit,
riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan Peserta dalam bentuk
salinan/fotokopi rekam medis kepada Fasilitas Kesehatan sesuai
kebutuhan. (BPJS Kesehatan, 2015)

2.5. Indikator Kinerja Dokter Keluarga
Untuk melihat pengaruh metode pembayaran kinerja Provider, sangat sulit
memisahkan isu tingkat sumber daya, efisiensi dan kualitas (WHO, 1993).
Penggunaan sumber daya penunjang juga merupakan suatu elemen yang sangat
penting dalam menentukan kinerja efisiensi dokter, termasuk didalamnya

Universitas Sumatera Utara

penggunaan sarana penunjang, seperti pelayanan laboratorium dan radiologi
(Riley dan Yauch, cit. Hendrartini, 2010).
Menurut Purwanto (2012), pentingnya menetapkankan indikator dalam
melakukan penilaian kinerja implementasi sebuah kebijakan akan membantu kita
mengenali kemajuan atau pencapaian tujuan dari kebijakan tersebut. Terdapat dua
indikator yang digunakan untuk menilai kinerja dari sebuah kebijakan yaitu :
1. Indikator Policy Output
Indikator ini digunakan untuk mengetahui konsekuensi langsung yang
dirasakan oleh kelompok sasaran akibat adanya realisasi kegiatan, aktivitas,
pendistribusian hibah, subsidi dan lain – lain yang dilaksanakan dalam
implementasi suatu kebijakan dimana apabila kebijakan yang dimaksud untuk
membantu masyarakat tidak mampu maka policy output nya terdiri dari :
a.

aksesibilitas (keterjangkauan),

b.

Cakupan (coverage),

c.

Frekuensi memperoleh layanan,

d.

Bias/ penyimpangan pelayanan kepada yang bukan menjadi sasaran

e.

Ketepatan layanan (service delivery)

f.

Akuntabilitas Kebijakan

g.

Kesesuaian program dengan kebutuhan

2. Indikator Policy Outcome
Indikator ini sisebut juga indikator dampak dari sebuah kebijakan yang
berkaitan dengan perubahan kondisi masyarakat yang menjadi kelompok

Universitas Sumatera Utara

sasaran kebijakan atau program yaitu dari kondisi awal yang tidak dikehendaki
(misalnya: kemiskinan dan keseakitan) menuju kekondisi baru yang lebih
dikehendaki (misalnya: sehat dan sejahtera).
Kinerja dokter sering kali dinilai dari volume pelayanan, kualitas
pelayanan dan campuran keduanya yang menjadi tujuan utama dalam
implementasi metode pembayaran (Tufano dkk., 2001). Beberapa pengukuran
outcome yang terkait dengan mutu pelayanan kesehatan, antara lain: kualitas
hidup, kuantitas hidup, readmission rate, dan kepuasan pasien (McCartney dan
Brown, 1999 cit. Hendrartini, 2010).
Beberapa peneliti menggunakan rujukan dan utilisasi sebagai output untuk
mengukur kinerja dokter dalam pembayaran kapitasi (Stearns dkk., 1992; Iversen
dan Luras, 2000). Sedangkan menurut BAPPENAS (2005), pada pelaksanaan
program Jaminan Pemeliharaan Masyarakat Miskin (JPKMM),

Departemen

Kesehatan juga menggunakan indikator angka kunjungan ke pelayanan primer dan
angka rujukan PPK I ke PPK II untuk menilai kinerja dokter. Target angka
kunjungan adalah sebesar 15 % per bulan, sedangkan target untuk angka rujukan
yaitu 12% dari angka kunjungan.
Robinson (2001) mengemukakan empat dimensi utama dalam pengukuran
kinerja praktik klinik dokter keluarga yang terkait dengan insentif ekonomi
(model pembayaran kepada dokter), yaitu produktifitas kerja (kunjungan pasien
dan pelayanan pasien, efisiensi dan kelayakan pelayanan, penerimaan terhadap
risiko dan kerjasama serta evidence based medicine. Penilaian kinerja dokter di

Universitas Sumatera Utara

FKTP lebih kepada keberhasilan dari sistem pembayaran kapitasi, dimana fungsi
dokter keluarga sebagai gatekeepper harus bisa diimbangi dengan respon yang
baik dari masayarakat terhadap kualitas pelayanan yang diterima sebagai
konsekwensi menjadi peserta BPJS. Hendrartini (2010) mengemukakan, kinerja
dokter adalah perilaku dokter primer dalam pengendalian biaya dan mutu layanan
yang terkait dengan pembayaran kapitasi, yang merupakan respon konatif dan
diukur dengan tiga variabel yaitu : kepuasan pasien, angka utilisasi, angka
rujukan.
Indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja dokter dalam
pembayaran kapitasi harus mencakup lima komponen, yaitu: kepuasan pasien,
kemampuan interpersonal (termasuk komunikasi), partisipasi dokter dalam
organisasi profesi dan akademik, dan produktivitas yang dihasilkan berbasis
kompensasi (baik dari kapitasi maupun fee for service). Dari kelima komponen di
atas, kepuasan pasien merupakan prioritas tertinggi dalam mengukur kinerja
tersebut (Hendrartini 2008).
2.5.1. Angka Utilisasi
Secara teori pembayaran kapitasi kepada dokter dapat menurunkan biaya
pelayanan kesehatan dengan pengurungan volume pelayanan melalui manajemen
utilisasi pelayanan yang cost effective (Anderson dan Weller, 1999, cit.
Hendrartini 2010). Kapitasi memberikan dorongan finansial kepada provider
untuk meminimalkan biaya dalam rangka memaksimalkan penghasilan. Hal ini
memicu provider untuk berinovasi dalam mengurangi kunjungan pasien,

Universitas Sumatera Utara

pemberian perawatan yang rendah biaya, serta membatasi penggunaan tenologi
(Barnum dkk., 1995).
Menurut Pardede dan Wibisana (2004) rasio rujukan per kunjungan di
fasilitas tingkat pertama masih tinggi. Meski upaya pelayanan kesehatan tingkat
primer telah banyak dilakukan, akan tetapi sebagian penyelenggaraan upaya
pelayanan kesehatan tingkat primer masih banyak menghadapi masalah. Beberapa
masalah utama yang dihadapi adalah:
1. Pemerataan pelayanan
2. Kualitas (mutu) pelayanan
3. Inefisiensi pelayanan kesehatan
4. Pola pembiayaan dan subsidi yang tidak terarah
5. Mutu sumber daya penyelenggara upaya pelayanan
6. Pemenuhan obat dan bahan habis pakai
7. Belum berjalannya sistem rujukan dengan baik.
Utilisasi pelayanan adalah sebuah kegiatan pemanfaatan pelayanan oleh
sekelompok orang maupun individu. Salah satu faktor yang mempengaruhi
seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan tergantung dari pengetahuan
masing-masing individu (Nugroho, 2009).
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara pembayaran kapitasi
dengan tingkat kunjungan pasien. Menurut Zierler dkk dalam Hendrartini (2010)
menyatakan bahwa hasil evaluasi menunjukkan model pembayaran dokter akan
mempengaruhi tingkat kunjungan pasien.

Universitas Sumatera Utara

Menurut

Hendrartini

(2007)

yang mengutip

pendapat

Thabrany,

mengemukaan metode pembayaran kapitasi yang diberikan terpisah antara
pelayanan rawat jalan tingkat pertama dan pelayanan lanjutan tanpa diimbangi
dengan insentif yang memadai untuk mengurangi rujukan, PPK akan dengan
mudah merujuk pasiennya kespesialis. Dengan merujuk, waktunya untuk
memeriksa menjadi lebih cepat.
2.5.2. Kepuasan Pasien
Pemahaman mengenai kepuasan/ketidakpuasan masyarakat merupakan
perbedaan antara harapan tentang kinerja suatu pelayanan dengan yang dialami
atau diterima. Dengan menggunakan terminologi ini masyarakat merasakan
kepuasan apabila ada kesesuaian persepsi antara harapan dan kenyataan
(PUSLITBANGWAS, BPKP, 2003).
Menurut Azwar (1996), dimensi kepuasan pasien sangat bervariasi. Ada 2
macam dimensi kepuasan pasien yaitu :
1.

Kepuasan yang mengacu pada penerapan dan standart kode etik profesi
dimana dalam melakukan pengukuran terhadap kualitas pelayanan yang
bermutu dilihat dari penerapan standar operasional pelaksanaan pelayanan
kesehatan dan pelaksanaan kode etik profesi. Dalam hal ini kepuasan pasien
mencakup kepada :
a. Hubungan dokter - pasien
Hubungan dokter dan pasien yang baik adalah salah satu kewajiban etik.
Dokter diharapkan dapat dan bersedia memberikan perhatian yang cukup

Universitas Sumatera Utara

kepada pasiennya secara pribadi, menampung dan mendengarkan semua
keluhan, serta menjawab dan memerikan keterangan yang sejelas jelasnya
tentang segala hal yang ingin diketahui pasiennya.
b. Kenyamanan pelayanan (Amenities)
Kenyamanan pasien merujuk kepada ketersediaan dan kualitas yang baik
dari fasilitas yang berada sarana pelayanan kesehatan. Namun yang lebih
utama adalah kenyamanan yang timbul dari sikap dan tindakan para
petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.
c. Kebebasan melakukan pilihan (Choice)
Kebebasan yang dimaksud merupakan kebasan pasien bebas memilih
pelayanan

yang

diinginkannya

dan

fasilitas

kesehatan

sebagai

penyelenggara harus memberikan mutu yang diharapkan pasien.
d. Pengetahuan

dan

kompetensi

teknis

(Scientific

Knowledge

and

Technical Skill)
Rasa puas pasien terhadap kualitas pelayanan yang bermutu merupakan
hasil dari tingkat pengetahuan dan kompetensi dokter dalam menagani
diagnosa penyakit pasien yang baik.
e. Efektivitas pelayanan (Effectivess)
Pelayanan yang efektif merupakan prinsip pokok penerapan standart
profesi dimana pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien.

Universitas Sumatera Utara

f. Keamanan tindakan (Safety)
Pemberian kepastian jaminan kemanan tindakan kepada pasien juga
merupakan bagian penting yang dapat memberikan kenyamanan dan
kepuasan terhadap pelayanan kesehatan yang diterima
2. Kepuasan yang mengacu pada penerapan pelayanan kesehatan dimana ukuran
ukuran yang mengacu pada penerapan pelayanan kesehatan meliputi :
a. Ketersediaan pelayanan kesehatan (Available)
yaitu apabila pelayanan kesehatan itu tersedia dimasyarakat
b. Kewajaran pelayanan kesehatan (Appropriate)
artinya bahwa pelayanannya bersifat wajar dan dapat mengatasi masalah
kesehatan yang dihadapi.
c. Kesinambungan pelayanan kesehatan (Acceptable)
Dapat diterima atau tidaknya pelayanan kesehatan sangat menentukan puas
dan tidaknya pasien terhadap pelayanan kesehatan.
d. Ketercapaian pelayanan kesehatan (Accesible)
Pelayanan kesehatan yang lokasinya terlalu jauh dari tempat tinggal tentu
tidak mudah dicapai sehingga tidak memuaskan pasien.
e. Keterjangkauan pelayanan Kesehatan (Affordable)
Pelayanan kesehatan yang terlalu mahal tidak akan dapat dijangkau oleh
masyarakat sebagai pengguna jasa maka akan membuat pasien enggan
kembali sehingga pasien tidak akan meras puas.

Universitas Sumatera Utara

f. Efisiensi Pelayanan Kesehatan (Efficient)
Efisiensi pelayanan kesehatan mengacu pada baiaya yang dikeluarkan oleh
pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
g. Mutu Pelayanan Kesehatan (Quality)
Mutu pelayanan kesehatan yang dimaksud disini adalah yang menunjuk
pada kesembuhan penyakit serta keamanan tindakan.
Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan yang diberikan khususnya dalam bidang kesehatan, perlu diperoleh
lebih dahulu gambaran mengenai harapan masyarakat terhadap pelayanan dan
kenyataan pelayanan yang diterima. Dengan cara ini diharapkan ada upaya konkrit
yang dapat disarankan kepada pihak pemberi jasa untuk peningkatan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat sehingga dapat memenuhi harapan masyarakat.
Kerangka yang digunakan dalam penelitian ketidakpuasan, yaitu mengurai
pelayanan ke dalam lima dimensi, yaitu dimensi kehandalan (reliability) yaitu
kemampuan untuk memenuhi layanan yang dijanjikan secara tepat dan tanpa
menunggu diminta, dimensi tanggapan (responsiveness) yaitu keinginan untuk
menolong dan memberikan layanan dengan segera, dimensi jaminan (assurance)
yaitu kemampuan untuk membangkitkan rasa percaya diri dan saling percaya satu
dengan yang lain, dimensi empati (empathy) yaitu memberikan perhatian dan turut
merasakan, dan dimensi tampilan (tangible) yaitu fasilitas fisik, peralatan dan
personalia (Carman, 1990).

Universitas Sumatera Utara

Kepuasan pasien merupakan salah satu indikator untuk menilai mutu
pelayanan

kesehatan

dalam

pembayaran

kapitasi.

Etner

dkk.

(2006)

mengembangkan alat untuk mengukur kepuasan pasien dalam pelayanan
kesehatan dengan medel manage care dan menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara insentif dokter dengan kualitas pelayanan kesehatan, yang
tercermin dari skor kepuasan pasien.
2.5.3. Tingkat Rujukan
Rujukan merupakan suatu rangkaian kegiatan sebagai respon terhadap
ketidak mampuan suatu pusat layanan kesehatan atau fasilitas kesehatan dalam
melaksanakan tindakan medis terhadap pasien. Sistem Rujukan pelayanan
kesehatan merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur
pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik
baik vertikal maupun horizontal. Sistem rujukan diwajibkan bagi pasien yang
merupakan peserta jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan pemberi
pelayanan kesehatan. Dalam rangka meningkatkan aksesibilitas, pemerataan dan
peningkatan efektifitas pelayanan kesehatan, rujukan dilakukan ke fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat yang memiliki kemampuan pelayanan sesuai
kebutuhan pasien.
Rujukan dilaksanakan dari suatu fasilitas kesehatan kepada fasilitas
kesehatan lainnya. Rujukan terbagi menjadi dua jenis yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1. Rujukan vertikal : rujukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan.
Di Era JKN, tingkatan fasilitas pelayanan kesehatan terbagi menjadi FKTP
dan FKRTL.
2. Rujukan horizontal yaitu rujukan antar pelayanan kesehatan dalam satu
tingkatan. Rujukan horizontal dilakukan apabila perujuk tidak dapat
memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena
keterbatasan fasilitas, peralatan dan atau ketenagaan yang sifatnya sementara
atau menetap. (Permenkes, 2012)
Thabrany (2000) mengemukakan, konsep rujukan dalam konteks
pembayaran kapitasi dimaksudkan agar setiap peserta dalam asuransi kesehatan
dapat memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat keahlian dan sarana
kesehatan yang diperlukan. Menurut Hendrartini (2010), Angka rujukan adalah
rata-rata perbandingan antara jumlah pasien yang dirujuk ke dokter spesialis atau
rumah sakit dengan kunjungan pasien dalam satu bulan di nyatakan dalam
persentase dimana standar nasional rujukan dengan kriteria baik antara 7%-12%,
12% termasuk kriteria buruk. Dalam Peraturan BPJS Kesehatan
Nomor 2 Tahun 2015 juga disebutkan bahwa zona aman rujukan kasus “nonspesialistik” dari FKTP ke FKTL adalah < 5 %.
Forrest dkk, dalam Hendrartini (2010) menyatakan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi keputusan doker primer untuk merujuk kespesialis antara
lain: pengetahuan lembaga asuransi kesehatan terhadap “gate keeper”, jumlah
pasien yang terlau besar, dan faktor yang paling besar pengaruhnya adalam

Universitas Sumatera Utara

keputusan dokter untuk merujuk adalah karakteristik dan tuntutan pasien.
Tuntutan pasien untuk meminta rujukan dan memilih dokter spesialis membuat
dokter primer kesulitan dalam mengendalikan rujukan.
2.5.4. Hierarki Kebutuhan Manusia
Maslow (2003) menyartakan bahwa manusia mempunyai lima kebutuhan
yang membentuk tingkatan-tingkatan atau disebut juga hirarki dari yang paling
penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk
dicapai atau didapat. Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang
dibutuhkan oleh manusia dalam menjaga keseimbangan baik secara fisiologis
maupun psikologis yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan
kesehatan.
Teori Hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow
menyatakan bahwa setiap manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yaitu :
1.

Kebutuhan Fisiologis, yang merupakan kebutuhan paling dasar pada manusia.
Antara lain ; pemenuhan kebutuhan oksigen dan pertukaran gas, cairan
(minuman), nutrisi (makanan), eliminasi, istirahat dan tidur, aktivitas,
keseimbangan suhu tubuh, serta seksual.

2.

Kebutuhan rasa aman dan perlindungan, dibagi menjadi perlindungan fisik
dan perlindungan psikologis. Perlindungan fisik, meliputi perlindungan dari
ancaman terhadap tubuh dan kehidupan seperti kecelakaan, penyakit, bahaya
lingkungan, dll. Perlindungan psikologis, perlindungan dari ancaman

Universitas Sumatera Utara

peristiwa atau pengalaman baru atau asing yang dapat mempengaruhi kondisi
kejiwaan seseorang.
3.

Kebutuhan rasa cinta, yaitu kebutuhan untuk memiliki dan dimiliki, memberi
dan menerima kasih sayang, kehangatan, persahabatan, dan kekeluargaan.

4.

Kebutuhan akan harga diri dan perasaan dihargai oleh orang lain serta
pengakuan dari orang lain.

5.

Kebutuhan aktualisasi diri, ini merupakan kebutuhan tertinggi dalam hierarki
Maslow, yang berupa kebutuhan untuk berkontribusi pada orang lain atau
lingkungan serta mencapai potensi diri sepenuhnya.

2.6. Determinan Kinerja Dokter Keluarga
Determinan kinerja dokter keluarga dalam sistem kapitasi merupakan studi
analisis terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja dokter keluarga
dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dengan sistem
pembayaran kapitasi. Hendrartini (2010), dalam penelitiannya menyebutkan
bahwa determinan kinerja dokter primer dalam kapitasi terdiri dari persentase
pendapatan kapitasi, pengetahuan dokter tentang kapitasi, sikap terhadap
pembayaran kapitasi, kepuasan dokter dan norma subyektif. Sikap menjadi
variabel yang paling berpengaruh yang menjembatani pengetahuan dan kepuasan
dokter terhadap sistem kapitasi.
Berdasarkan hasil survei awal yang tealah dilakukan oleh peneliti
menunjukkan bahwa kinerja dokter keluarga masih kurang optimal di wilayah

Universitas Sumatera Utara

Kota Banda Aceh juga berhubungan dengan belum meratanya jumlah dokter
keluarga yang tersebar di Wilayah Kota Banda Aceh. Menyebabkan berkurangnya
aksesibilitas masyarakat dalam menjangkau sarana pelayanan kesehatan, selain
dari pada itu sering terjadi penumpukan jumlah pasien dan mengakibatkan
lamanya waktu tunggu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan serta berdampak
pada kualitas layanan yang di berikan.
Menurut Hendrartini (2010) yang mengutip Herzberg Faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua faktor,
yaitu faktor ketidakpuasan (dissastifiers) atau Hygiene factors (faktor untuk
memelihara) dan faktor pemuas (satisfiers) atau motivator. Faktor hygiene
meliputi : gaji/upah, pengawasan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan
status. Faktor satisfier meliputi : pekerjaan yang menantang, karakteristik
pekrjaan yang sesuai dengan kebutuhan, kesempatan berprestasi, penghargaan dan
promosi.
2.6.1. Determinan Pengetahuan Dokter Keluarga
Menurut Notoadmodjo (2003), Pengetahuan merupakan domain yang
sangat penting dalam membentuk perilaku seseorang (overt behavior). Perilaku
yang baik akan bertahan lama, jika didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan
sikap yang positif. Sebelum seseorang berperilaku baru, di dalam diri orang
tersebut terjadi proses berurutan, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1. Awarene