Determinan Kinerja Dokter Keluarga yang Dibayar Kapitasi di Kota Banda Aceh Tahun 2015

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pelayanan dokter dalam sistem pelayanan kesehatan adalah salah satu jenis
medical service yang berbentuk pelayanan individu, atau untuk saat ini dikenal
sebagai Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). UKP sendiri, terdiri dari berbagai
strata, yaitu primer, skunder dan tersier. UKP strata primer seringkali disebut
dengan pelayanan atau praktik kedokteran dasar atau di beberapa Negara
dikembangkan sebagai praktik kedokteran keluarga.
Masalah mendasar dalam mencapai pelayanan kesehatan yang optimal
adalah adanya kesenjangan antara das sollen (cita-cita ideal akan pelayanan yang
baik) dengan das sain (kondisi nyata yang ada di lapangan). Cita-cita model
pelayanan kesehatan ideal seringkali terbentur pada kenyataan bahwa perspektif
pembuat kebijakan, profesional kesehatan, institusi akademis, manajer kesehatan
masyarakat dan komunitas, seringkali berbenturan karena perbedaan sisi pandang
yang kadangkala politis sifatnya (Idris, 2006).
Pembayaran kapitasi merupakan suatu alat yang sangat efektif yang dapat
mempengaruhi perilaku dokter untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ada
hubungan antara sistem kompensasi dengan produktifitas serta perilaku dokter,
khususnya dalam pasar yang kompetitif. Produktifitas diukur dari kinerja dokter

yang mencerminkan perilaku dokter dalam mengendalikan biaya dan kualitas

Universitas Sumatera Utara

pelayanan. Kinerja ini dipengaruhi oleh karakteristik dokter, tingkat pemahaman
terhadap fungsi asuransi dan aspek ekonomi terkait (Chilingerian, 1995;
Kongstvedt, 1997).
Pergeseran sistem pembiayaan kesehatan dari fee for service (FFS) ke arah
asuransi kesehatan sosial dengan model managed care (pelayanan terkendali)
merupakan salah satu solusi untuk mengendalikan kualitas dan biaya pelayanan
kesehatan (Mukti, 2007). Hal ini juga tersirat dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang lebih efektif dan efisien melalui sistem jaminan kesehatan. Cara
penyelenggaraan

jaminan

kesehatan

dilakukan


dengan

mengintegrasikan

penyelengaraan dan pembiayaan pelayanan kesehatan melalui kendali biaya dan
kendali mutu, yang dikenal dengan sistem pelayanan terkendali (managed care).
Implementasi sistem managed care di Indonesia sudah dilakukan oleh
beberapa perusahaan asuransi kesehatan, termasuk PT Askes, PT Jamsostek serta
program Jaminan Kesehatan Daerah di beberapa wilayah Indonesia. Bahkan
beberapa sarana kesehatan di BUMN (Badan Usaha Milik Negara) juga
menggunakan sistem managed care untuk mengendalikan peningkatan biaya
pelayanan kesehatan tanpa mengurangi kualitas layanan yang diberikan.
Salah satu ciri dari sistem asuransi kesehatan yang menerapkan sistem
managed care adalah mengontrak tenaga dokter pelayanan primer sebagai dokter
keluarga yang dibayar secara pra upaya, antara lain dengan model pembayaran
kapitasi. PT Askes juga melakukan kontrak dengan dokter keluarga sebagai dokter

Universitas Sumatera Utara


primer PT Askes yang melayani peserta PT Askes dengan model pembayaran
kapitasi (Hendrartini, 2010).
Kompensasi bagi seorang dokter bukanlah sekedar nilai uang, tetapi lebih
seabagai alat strategis yang dapat digunakan untuk menghasilkan perilaku
tertentu. Salah satu tujuan dari implementasi pembayaran kapitasi adalah
pengendalian biaya dengan menempatkan dokter primer sebagai gatekeeper.
Kinerja gatekeeper ini merupakan kunci penyelenggaraan sistem pelayanan yang
efektif dan efisien yang merupakan tujuan dari penyelenggaraan asuransi
kesehatan dengan sistem managed care (Goroll dkk, 2007).
Menurut Bodenheimer, dalam Hendratini (2010) menyebutkan bahwa
perubahan fungsi dokter primer menjadi “gate keeper” tidak akan berjalan baik,
tanpa adanya perubahan dalam insentif pembayaran. Kondisi ini yang mendorong
perubahan sistem pembayaran dokter primer dari pembayaran retrospektif (yang
lazim adalah Fee for Service) menjadi pembayaran prospektif (antara lain
kapitasi).
Menurut Boland yang dikutip dalam Hendrartini (2010) menyatakan
bahwa penerapan sistem kompensasi pada dokter harus dipertimbangkan dengan
baik, karena merupakan salah satu penentu yang mempengaruhi kinerja dokter
yang bersangkutan. Secara teori pembayaran kapitasi pada dokter akan
menurunkan biaya kesehatan dengan mengurangi volume pelayanan (angka

utilisasi dan kunjungan) melalui pemberian palayanan kesehatan yang efektif.

Universitas Sumatera Utara

Pembayaran kapitasi akan memaksa dokter untuk mengubah pola pikir,
dari yang semula berorientasi pada orang sakit, akan berubah menjadi berorientasi
ke orang sehat dengan jalan meningkatkan pelayanan promotif dan preventif, yang
pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan efisiensi biaya pelayanan kesehatan
(Couturier dkk., 2000; Langenbrunner dkk., 2009).
Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengendalian biaya kesehatan
dengan menempatkan fasilitas kesehatan pada posisi menanggung risiko,
seluruhnya atau sebagian, dengan menerima pembayaran borongan. Pembayaran
borongan/ paket dengan berbagai bentuknya sudah biasa di sektor luar kesehatan
seperti dalam paket perjalanan wisata, paket rapat/pertemuan, apaket bangunan
ruamh, dan lain-lain. Secara makro, pembayaran kapitasi merupakan salah satu
cara meningkatkan efisiensi dengan memanfaatkan mekanisme pasar layanan
kesehatan. Akan tetapi pembayaran kapitasi baru efektif apabila dilaksankan
dalam konteks JKN atau program pemerintah. Pembayaran kapitasi tidak berfungi
baik jika jaminan/ asuransi kesehatan dilepas ke mekanisme pasar. Pada situasi
pasar kompetitif, faske akan memasang tarif sama dengan rata-rata harga pasar.

Tetapi pada pasar monopsoni atau oligopsoni harga kapitasi dapat disepakati sama
untuk suatu kelompok layanan disuatu wilayah. Fasilitas kesehatan yang dibayar
secara kapitasi akan menekan biaya operasional, biaya obat, dan lain-lain agar
tidak menerima surplus.
Seorang dokter yang taat akan sumpah dokter, tidak akan mengorbankan
layanan medis kepada peserta. Insentif mendapat surplus yang diinginkan akan

Universitas Sumatera Utara

dilakukan dengan upaya promotif-preventif perorangan agar peserta yang terdaftar
padanya akan tetap sehat. Namun, seorang dokter yang tidak taat pada sumpahnya
akan menekan biaya dengan kurang peduli pada kesehatan pesertanya. Ia bisa saja
sering-sering merujuk peserta agar biaya obat yang menjadi tanggungjawabnya
akan lebih kecil dan ia mendapat surplus yang lebih besar (Thabrany, 2014).
Kongstvedt (1997) menyatakan bahwa tingkat pemahaman dokter tentang
fungsi asuransi dan aspek ekonomi khususnya tentang kapitasi, akan berpengaruh
terhadap perilaku praktek dokter dalam manage care. HIAA (2000) menjelaskan
hal lain yang ikut mempengaruhi kinerja dokter dalam mengendalikan biaya
adalah pengetahuan dan pemahaman dokter terhadap sistem manage care yang
akan mempengaruhi keberhasilan sistem pembayaran kapitasi.

Menurut Green dkk (2009), kepuasan dokter terhadap pekerjaannya sangat
penting, karena hal ini berpengaruh baik terhadap peningkatan retensi maupun
peningkatan kinerja yang positif. Sedangkan Hendrartini (2010) yang mengutip
pendapat Keer dkk, menyatakan bahwa kepuasan dokter dalam pemberian
pelayanan kesehatan bagi pasien kapitasi ditekankan pada hubungan dokter dan
pasien, kebebasan untuk merujuk ke spesialis, kualitas pelayanan, dan kebebasan
dalam menentukan pengobatan pasien.
Tergantung dari besaran kapitasinya (serta pemberian dosis tepat dalam
terapi), pembayaran kapitasi dapat mendorong reaksi positif maupun reaksi
negatif. Reaksi positif akan terjadi jika besaran kapitasi layak dan adil dengan

Universitas Sumatera Utara

telaah utilisasi dilakukan secara terbuka. Reaksi negatif mudah terjadi jika besaran
kapitasi terlau rendah (Thabrany, 2014).
Hasil review Christianson dkk (2007) terhadap 1544 artikel tentang sistem
insentif/pembayaran provider dan hubungannya dengan kualitas pelayanan
kesehatan dari tahun 1988 sampai dengan 2006, belum dapat menyimpulkan
tingkat (level) pembayaran dokter yang dibutuhkan untuk mencapai output yang
diinginkan. Berapa besar persentasi pembayaran kapitasi dokter yang dapat

mendorong peningkatan kualitas pelayanan (termasuk efisiensi biaya) belum
dapat digeneralisir. Persentase pendapatan kapitasi ini sangat penting untuk
mengubah perilaku dokter dan dapat menjadi rekomendasi bagi pihak pembayar
untuk mencapai output yang diharapkan dari pembayaran kapitasi.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Profil Kesehatan Indonesia, rasio
dokter umum pada tahun 2014 tercatat sebesar 16,18 per 100.000 penduduk lebih
rendah dari target yang telah ditetapkan, yaitu 40 dokter umum per 100.000
penduduk. Belum ada satupun provinsi di Indonesia yang telah memenuhi target
yang ditetapkan. Provinsi dengan rasio dokter umum terhadap 100.000 penduduk
tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Utara, Kalimantan Utara dan Aceh.
Sedangkan rasio dokter umum per 100.000 penduduk terendah terdapat di
Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Lampung (Profil Kesehatan Indonesia,
2014).
Menurut catatan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sampai bulan april
2016 adalah sebagai berikut: jumlah dokter (umum/primer) 110.915 orang, jumlah

Universitas Sumatera Utara

dokter gigi 27.238 orang, jumlah dokter spesialis 30.280 orang, jumlah dokter gigi
spesialis 2.858 orang. Jumlah seluruh dokter dan dokter gigi menjadi 171.226

(KKI, 2016).
Indonesia memiliki beberapa karakteristik yang menyebabkan terjadinya
maldistribusi tenaga dokter. Secara geografis, Indonesia memiliki berbagai daerah
yang sulit untuk dijangkau, dimana daerah-daerah tersebut sama sekali tidak
menarik minat dokter untuk bekerja dalam jangka waktu yang lama. Dari sisi
kemampuan ekonomi, Indonesia memiliki variasi kemampuan yang sangat lebar.
Ada daerah dengan kekuatan ekonomi yang sangat kuat, namun ada juga daerah
yang sangat terbelakang. Situasi ini menyebabkan terjadinya penumpukan dokter
pada daerah tertentu dan kekurangan tenaga dokter pada daerah yang lainnya
(Meliala, 2009).
Kota Banda Aceh merupakan Ibu Kota Provinsi Aceh dengan jumlah
penduduk pada tahun 2014 mencapai 249.499 jiwa. Terdapat tenaga medis
sebanyak 89 orang yang terdiri dari 22 orang dokter spesialis, 50 orang dokter
umum, 15 dokter gigi dan 2 orang dokter gigi spesialis. Dengan rasio dokter
spesialis per 100.000 penduduk adalah 8,81, rasio dokter umum per 100.000
penduduk adalah 20,04, rasio dokter gigi per 100.000 penduduk dalah 6,01 dan
rasio dekter gigi spesialis per 100.000 penduduk adalah 0,80. Angka rasio dokter
umum lebih rendah dari target yang telah ditetapkan, yaitu 40 dokter umum per
100.000 penduduk (Profil Kesehatan Kota Banda Aceh, 2014)


Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan data dari rasio tenaga dokter umum, dokter spesialis, dokter
gigi, dan dokter gigi spesialis di atas dapat dipahami jika ada penjenjangan
layanan dimana peserta JKN dibolehkan langsung berobat ke dokter spesialis,
maka jumlah dokter/ dokter gigi spesialis tidak akan memadai. Selain itu, gaji/
jasa dokter/ dokter gigi spesialis lebih mahal dan tidak semua penyakit
membutuhkan layanan spesialis. Maka sesuai dengan piramida penyakit, maka
pendekatan manajemen rasional sistem kesehatan atau sistem jaminan kesehatan
adalah mengharuskan peserta JKN berobat ke dokter/ dokter gigi (umum/primer)
terlebih dahulu. Karena distribusi penyakit dan biaya pengobatan sebagian besar
penyakit tidak bervariasi besar, maka pembayaran dokter/ dokter gigi primer layak
dilakukan dengan cara kapitasi, atau bayar borongan.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dengan konsep dokter keluarga
diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam pelayanan kedokteran tingkat
pertama. Dokter keluarga merupakan dokter penyelenggara pelayanan primer
yang berprofesi sebagai Dokter Praktik Umum dalam hal ini adalah Dokter
Praktek Perorangan (DPP).
Dokter Praktek Perorangan (DPP) yang terdaftar di BPJS Kesehatan
Kantor Cabang Banda Aceh sampai dengan bulan April pada tahun 2016 tercatat

sebanyak 7 orang yang tersebar di 5 Kab/Kota. Adapun sebanyak 5 orang dokter
bertugas di Kota Banda Aceh, 1 orang dokter bertugas di Kabupaten Pidie dan 1
orang dokter bertugas di Kota Sabang, sedangkan untuk Kabupaten Aceh Besar

Universitas Sumatera Utara

dan Kabupaten Pidie Jaya tidak terdapat DPP (BPJS Kesehatan Kantor Wilayah
Aceh, 2016).
Pemanfaatan dokter keluarga sebagai sarana pelayanan kesehatan masih
belum sesuai dengan yang diharapkan. Pelayanan dokter keluarga sebagai
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang berfungsi sebagai gate keeper
seharusnya menjadi tujuan awal bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dasar. Namun berdasarkan data yang diperoleh dari BPJS Kesehatan
Kantor Wilayah Aceh menunjukkan bahwa pada tahun 2015 kunjungan perserta
BPJS ke Dokter Keluaga untuk memperoleh pelayanan kesehatan adalah sebanyak
21.231 orang, sedangkan untuk kunjungan perserta BPJS khusus di Kota Banda
Aceh sebanyak 15.288 orang, meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2014
dimana angka kunjungan sebanyak 10.774 orang (BPJS Kesehatan Kantor
Wialayah Aceh, 2016).
Fakta dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar dokter yang

menyatakan tidak puas dengan besaran jasa yang diterima dari kapitasi JKN. Para
dokter tersebut menyatakan bahwa besaran jasa sebagai hasil pembagian kapitasi
tersebut masih belum representatif dengan tingkat kinerja yang telah diberikan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hendratini (2002), menyatakan bahwa
sebagian besar dokter tidak puas terhadap pembayaran kapitasi, dan hal ini
berkaitan dengan tingkat pemahaman dokter primer terhadap pembayaran kapitasi
masih belum baik. Selain itu dokter merasa pembayaran kapitasi tidak adil karena
dokter tidak dilibatkan dalam penetapan besaran jasa medis.

Universitas Sumatera Utara

Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 59 tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan
Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Besaran tarif
kapitasi berkisar antara Rp.8.000-Rp.10.000 per orang tanggungan. Terdapat dua
hal dasar yang dibutuhkan dalam pelaksanaan dokter keluarga secara konsisten,
yaitu mekanisme pelayanan kesehatan berjenjang dan sistem pembiayaan
kesehatan berbasis asuransi. Sayangnya sistem pembiayaan yang ada, seperti yang
diterapkan oleh BPJS Kesehatan belum ideal. Karena Menurut Thabrany (2014)
sesuai dengan berbagai studi yang telah dilakukan oleh tim konsultan
menghasilkan besaran kapitasi antara Rp.12.000 - Rp.20.000 per orang
tanggungan untuk dokter praktik/klinik swasta, tergantung dari wilayah. Tentu
angka ini masih belum sesuai dibandingkan dengan yang telah dilaksanakan
(Rp.8.000 - Rp.10.000) per orang tanggungan. Tanpa pelaksanaan mekanisme
pelayanan kesehatan berjenjang sangat sulit untuk mengedukasi masyarakat akan
peran dan manfaat dokter keluarga. Tanpa pembiayaan kesehatan berbasis
asuransi yang merata, juga akan tetap sangat sulit bagi masyarkat untuk
mengakses pelayanan dokter keluarga.
Hasil survei awal dilapangan menunjukkan bahwa masih terdapatnya
masyarakat yang menyatakan tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh
dokter kepada pasien BPJS Kesehatan. Masyarakat lebih cenderung memilih
untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan di klinik swasta yang belum

Universitas Sumatera Utara

bekerjasama dengan BPJS Kesehatan atau langsung meminta rujukan untuk
berobat ke Rumah Sakit padahal seharusnya penyakit yang diderita tersebut masih
dapat di tangani oleh dokter keluarga. Hal ini dapat dilihat dari data yang
diperoleh dari BPJS Kesehatan Kantor Wilayah Aceh, terjadi peningkatan jumlah
pasien yang dirujuk mencapai 2.255 orang, meningkat jika dibandingkan dengan
jumlah rujukan pada tahun 2014 yaitu sebanyak 1.216 orang dengan rasio rujukan
rata-rata per bulannya mencapai 8,52%, rasio rujukan ini mengalami peningkatan
jika dibandingkan dengan rasio rujukan pada tahun 2014 yaitu sebesar 8,43%.
Rasio rujukan ini belum sesuai dengan target yang telah disepakati antara BPJS
Kesehatan dengan Asosiasi Fasiltas Kesehatan Tingkat Pertama sebagaimana
diatur dalam Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 2 Tahun 2015, yaitu: a) target
pada zona aman sebasar kurang dari 5% (lima persen) setiap bulan; dan b) target
pada zona prestasi sebesar kurang dari 1% (satu persen) setiap bulan. Menurut
Pardede dan Wibisana (2004), data menunjukkan bahwa sesungguhnya 85% kasus
rawat jalan sebenarnya adalah kasus rawat jalan tingkat pertama (RJTP), hanya
15% sisanyalah yang merupakan kasus rawat jalan tingkat lanjutan dan rawat
inap.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa fungsi Dokter Keluarga
dalam menangani kasus primer belum berjalan sesuai dengan harapan, sehingga
kasus yang seharusnya dapat ditangani di Dokter Keluarga dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat lanjutan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian

Universitas Sumatera Utara

untuk mengidentifikasi determinan kinerja dokter keluarga yang dibayar kapitasi
di Kota Banda Aceh.

1.2. Fokus Penelitian
Setelah melakukan survei awal selama satu bulan, maka yang ditetapkan
sebagai tempat penelitian adalah Dokter Praktek Perorangan (DPP) sebagai
Dokter Keluarga di Kota Banda Aceh, BPJS Kesehatan Kantor Cabang Banda
Aceh, dan Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh. Fokus penelitian diarahkan pada:
1. Pengetahuan dokter keluarga mengenai sistem kapitasi;
2. Kepuasan kinerja dokter keluarga dalam sistem kapitasi;
3. Kesesuaian pendapatan kapitasi yang diharapkan oleh dokter keluarga;
4. Kinerja dokter keluarga yang ditinjau dari indikator angka utilisasi, kepuasan
pasien, dan tingkat rujukan.

1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas maka rumusan penelitian ini
adalah apasajakah yang merupakan determinan kinerja dokter keluarga yang
dibayar kapitasi di Kota Banda Aceh.

1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi determinan
kinerja dokter keluarga yang dibayar kapitasi di Kota Banda Aceh.

Universitas Sumatera Utara

1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi BPJS Kesehatan Kantor Cabang Banda Aceh
Diharapkan dapat menjadi masukan dalam merumuskan kebijakan yang
membangun dalam upaya peningkatan kinerja dokter keluarga yang bertujuan
untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang optimal bagi masyarakat.
2. Bagi Dokter Keluarga
Diharapkan dapat menjadi masukan untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan
kepada masyarkat yang pada akhirnya dapat meningkatkan derjat kesehatan
masyarakat di Kota Banda Aceh.
3. Bagi Peneliti
Memberikan wacana dan pengetahuan tambahan tentang faktor apa saja yang
menjadi Determinan kinerja Dokter Keluarga.
4. Bagi Peneliti Lanjutan
Diharapkan dapat menjadi referensi dan perbandingan bagi peneliti lanjutan
yang mengkaji topik yang relevan dengan penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara