Kejadian Dalam Bahasa Batak Toba: Kajian Metabahasa Semantik Alami

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu verba
kejadian, komponen semantis, kategorisasi, dan makna.
Verba kejadian merupakan bagian dari verba yang mendeskripsikan
perubahan suatu entitas dari suatu keadaan menjadi keadaan yang lain. Ini terjadi
karena batas keadaan yang lama telah dilampaui. Entitas yang dimaksud adalah
entitas non insani misalnya, tanaman pada tumbuhan itu tumbuh. Ciri dari verba ini
adalah [+dinamis], [+/-perfektif] dan [+/- pungtual] (Mulyadi 2009:59).
Komponen semantis adalah perangkat makna yang dimiliki oleh sebuah
butir leksikon (Mulyadi, 2000:40). Mulyadi ( 2000:40) mengatakan bahwa komponen
semantis mencakup kombinasi dari perangkat makna seperti ‘sesuatu terjadi pada
sesuatu’.
Kategorisasi adalah pengelompokan butir leksikal berdasarkan kesamaan
komponen

semantisnya

(


Mulyadi

2010:

169).

Misalnya,



komponen

TERJADI/MELAKUKAN’ memuat anggota patah, putus,dan retak yang terdapat
dalam satu ranah semantik yang sama.
Makna sebuah kata adalah konfigurasi dari makna asali untuk setiap kata
(Wierzbicka, 1996: 170). Konfigurasi yang dimaksud adalah kombinasi antara satu

7
Universitas Sumatera Utara


makna asali dengan makna asali yang lain yang membentuk sintaksis makna
universal.

1.4 Landasan Teori
Kajian semantik verba kejadian Batak Toba ini menggunakan teori MSA
(Metabahasa Semantik Alami). Teori MSA yang dikembangkan oleh Wierzbicka ini
dirancang untuk mengeksplikasi semua makna, baik makna leksikal, makna
gramatikal maupun makna ilokusi. Asumsi dasar teori MSA menyatakan bahwa
analisis makna akan menjadi tuntas, dalam arti makna kompleks apapun dapat
dijelaskan tanpa perlu berputar-putar dan residu dalam kombinasi makna yang lain (
Wierzbicka, 1996: 10).
Terkait dengan hal itu, MSA tidak terlepas dari sejumlah konsep teoretis
penting seperti makna asali, polisemi dan sintaksis makna universal. Makna asali
adalah seperangkat makna yang tidak berubah yang telah diwarisi manusia sejak
lahir. Dengan kata lain, makna asali merupakan makna pertama dari sebuah kata yang
tidak mudah berubah walaupun ada perubahan kebudayaan (Goddard, 1994:2).
Makna asali dapat diuraikan dengan tuntas dari bahasa alamiah yang merupakan satusatunya cara menyajikan makna (Wierzbicka, 1996:31). Uraian makna itu harus
meliputi makna kata yang secara intuitif memiliki medan makna yang sama.
Berdasarkan hasil penelitian Wierzbicka ( 1996 dalam Mulyadi 2000:41)
ditemukan makna asali sejumlah bahasa di dunia, seperti bahasa Cina, Jepang,


8
Universitas Sumatera Utara

Inggris, dan bahasa Aborigin di Australia. Pada tahun 1972, dia menemukan 14 buah
makna asali, kemudian pada tahun 1980 menjadi 15 buah makna asali. Kemudian,
Wierzbicka (1996) dan Goddard (2006) mengusulkan 63 buah makna asali seperti di
bawah ini:
Tabel 2.1
Perangkat Makna Asali Bahasa Indonesia
KOMPONEN
Substantif
Subtantif relasional
Pewatas

ELEMEN
AKU, KAMU, SESEORANG, ORANG, SESUATU/HAL,
TUBUH
JENIS, BAGIAN
INI, SAMA, LAIN


Penjumlah
Evaluator
Deskriptor
Predikat Mental
Ujaran
Tindakan,
peristiwa,
gerakan, perkenaan
Tempat,
keberadaan,
milik, dan spesifikasi

SATU, DUA, BANYAK, BEBERAPA, SEMUA
BAIK, BURUK
BESAR, KECIL
PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, LIHAT, DENGAR
UJAR, KATA, BENAR
LAKU, TERJADI, GERAK, SENTUH


Hidup dan Mati

HIDUP, MATI

Waktu

Konsep Logis

BILA/WAKTU, SEKARANG, SEBELUM, SETELAH,
LAMA, SINGKAT, SEBENTAR, SAAT
(DI) MANA/TEMPAT, (DI) SINI, ( DI) ATAS, (DI)
BAWAH, JAUH, DEKAT, SISI, (DI) DALAM
TIDAK, MUNGKIN, DAPAT

Augmentor Intensifier

SANGAT, LEBIH

Kesamaan


SEPERTI

Ruang

ADA, PUNYA, ADALAH, ( SESEORANG/ SESUATU)

Sumber : Mulyadi (2012: 38)

9
Universitas Sumatera Utara

Konsep dasar lain dalam MSA adalah polisemi. Polisemi adalah leksikon
tunggal yang dapat mengekspresikan dua makna asali yang berbeda. Ini terjadi karena
adanya hubungan komposisi antara satu eksponen dengan eksponen yang lainnya
karena memiliki kerangka gramatikal yang berbedaWierzbicka (dalam Mulyadi
2006:71). Ada dua hubungan nonkomposisi, yaitu hubungan yang ‘menyerupai
pengartian’ dan ‘hubungan implikasi’

Wierzbicka(dalam Mulyadi 2006:71).


Hubungan yang menyerupai pengartian tampak pada MELAKUKAN /TERJADI dan
MELAKUKAN PADA/TERJADI. Contoh: jika X MELAKUKAN SESUATU
PADA Y. SESUATU TERJADI PADA Y. hubungan implikasi terdapat pada
eksponen TERJADI dan MERASAKAN. Contoh: jika X MERASAKAN SESUATU,
SESUATU TERJADI PADA X.
Konsep dasar selanjutnya adalah sintaksis makna universal. Sintaksis makna
universal dikembangkan oleh Wierzbicka pada akhir tahun 1980-an. Sintaksis makna
universal terdiri atas kombinasi leksikon butir makna asali yang membentuk preposisi
sederhana sesuai dengan perangkat morfosintaksis bahasa yang bersangkutan.
Misalnya, INGIN memiliki kaidah universal tertentu dalam konteks: saya ingin
melakukan sesuatu. Selanjutnya, unit dasar sintaksis makna universal ini dapat
disamakan dengan klausa yang dibentuk oleh subtantif, predikat, dan elemen-elemen
lain. Kombinasi elemen tersebut akan membentuk kalimat kanonis (Indrawati, 2006:
148). Kalimat kanonis adalah kalimat sederhana berbentuk parafrasa yang dibentuk
oleh kombinasi elemen-elemen makna asali.
Unit dasar sintaksis universal dapat disamakan dengan ‘klausa’, dibentuk
oleh subtantif dan predikat, serta beberapa elemen tambahan sesuai dengan cirri
predikatnya (Mulyadi, 2006:71). Contoh pola sintaksis universal antara lain:
(4) aku melihat sesuatu ditempat ini.
10

Universitas Sumatera Utara

(5) sesuatu yang buruk terjadi padaku.
(6) jika aku melakukan ini , orang akan mengatakan sesuatu yang buruk
tentang aku.
(7) aku tahu bahwa kamu orang yang baik
Pola kombinasi yang berbeda dalam sintaksis universal mengimplikasikan
gagasan

pilihan

valensi.

Contohnya,

elemen

MENGATAKAN,

disamping


memerlukan ‘Subjek’ dan ‘Komplemen’ wajib (seperti ‘ seseorang mengatakan
sesuatu’), juga ‘pesapa’ (seperti ‘ seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang’)
atau ‘topik’ (seperti ‘seseorang mengatakan sesuatu tentang sesuatu’) atau ‘pesapa
dan topik’ (seseorang mengatakan sesuatu pada seseorang tentang sesuatu’) (Mulyadi
dan Siregar, 2006:71). Hubungan ketiga konsep tersebut dapat diringkas dengan
skema di bawah ini:
Makna Asali
Sintaksis Makna
Polisemi
Universal

Makna Asali

Makna

Gambar 2.1: Hubungan Makna Asali, Polisemi, Sintaksis Makna Universal, dan
Makna.
(Sumber: Mulyadi dan Rumnasari, 2006:71)
Bagan di atas menunjukkan bahwa gabungan dari dua makna asali

berkombinasi untuk membentuk polisemi. Polisemi merupakan kunci untuk
mengetahui makna dan dasar pembentukan sintaksis makna universal yang melalui

11
Universitas Sumatera Utara

skenario pada sintaksis makna universal persamaan dan perbedaan makna dapat
diungkapkan dengan tuntas dan tidak berputar-putar.
Verba kejadian memiliki tipe semantis TERJADI. Struktur semantis verba
kejadian merupakan relasi dua peristiwa, dalam arti peristiwa yang menggambarkan
perubahan entitas terjadi akibat peristiwa sebelumya. Kedua, peristiwa itu dalam
struktur semantik yang dihubungkan oleh elemen KARENA. Makna verba kejadian
dimarkahi TERJADI/MELAKUKAN. Peristiwa dipicu oleh karena seseorang
melakukan sesuatu, seperti retak ‘retak’, possa ‘pecah’. Entitas bernyawa dan tidak
bernyawa juga memodifikasi makna verba ini. Perubahan yang terjadi pada verba ini
adalah perubahan fisik (tubu ‘tumbuh’, mengge ‘larut’, lomak ‘mekar’).
Perlu diketahui bahwa verba kejadian dalam bahasa Batak Toba memiliki fitur
semantis khusus untuk membedakan satu butir leksikal dengan butir leksikal lain.
Perbedaan di antara butir-butir leksikal tersebut dapat ditujukan dengan menggunakan
komponen semantis. Dalam teori MSA komponen itu disebut perangkat makna asali

(Wierzbicka).
Makna verba kejadian dapat diparafrase seperti contoh di bawah ini:
Model parafrase
(a) pada waktu itu, sesuatu terjadi pada seseorang/sesuatu(X) karena seseorang
(Y) melakukan sesuatu pada sesuatu (X)
(b) sebelum ini, X keadaan yang sama (keaadaan awal)
(c) setelah ini, X keaadaan yang berbeda ( keadaan akhir)
(d) sesuatu terjadi pada X seperti ini
12
Universitas Sumatera Utara

1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap verba sudah banyak dilakukan oleh beberapa ahli.
Selanjutnya akan menjelaskan penelitian- penelitian sebelumnya yang mirip atau
relevan dengan penelitian ini.
Mulyadi (2000) dalam artikel yang berjudul “ Struktur Semantis Verba
dalam bahasa Indonesia” membahas dua masalah pokok, yakni kategorisasi semantis
dan peran semantis.

Penelitian ini menggunakan metode simak yang didukung

dengan teknik catat. Data dianalisis dengan mrnggunakan metode padan dan metode
agih dan teori yang digunakan adalah Metabahasa Semantik Alami

Dari hasil

penelitiannya disimpulkan bahwa VBI dibagi tiga, yaitu verba keaadaan, verba
proses, dan verba tindakan. Verba keadaan mempunyai kelas kognisi, pengetahuan,
emosi, dan persepsi. Verba proses mempunyai kelas kejadian dan proses badaniah,
dan gerakan bukan agentif. Verba tindakan mempunyai kelas gerakan agentif, dan
perpindahan. Kemudian, struktur semantis verba bahasa Indonesia diformulasikan
dari sejumlah polisemi dan dari kombinasi makna asali ini terlihat persamaan dan
perbedaan struktur semantisnya.
Penelitian Mulyadi memberi banyak masukan dari segi teori dan cara
menganalis verba dalam bahasa Batak Toba. Masukan dari segi teori terlihat pada
fitur-fitur pembeda dan pola sintaksis yang digunakan dalam penelitian tersebut.
Kemudian, masukan dari segi cara menganalisis verba tampak pada penggunaan
parafrase yang bersumber dari makna asali. Kontribusi Mulyadi ini akan
dikembangkan pada penelitian verba kejadian dalam bahasa Batak Toba.

13
Universitas Sumatera Utara

Beratha (2000) dalam artikelnya yang berjudul “ Struktur dan

Peran

Semantis Verba Ujaran dalam Bahasa Bali” menguraikan semantik verba ujaran
denga menggunakan teori MSA. Metode yang digunakan dalam menganalisis datanya
adalah metode padan dan metode agih, sedangkan penyajian hasil analisis data
menggunakan metode formal dan informal. Hasil kajian Beratha menunjukkan bahwa
ada sejumlah verba tindakan yang bertipe ujaran dalam bahasa Bali seperti ngidih dan
nunas ‘meminta’, nunden dan nikain ‘memerintah’, nombang ‘melarang’, majanji
‘berjanji’, nyadad ‘mengkritik’, nesek dan matakon ‘bertanya’. Struktur semantis
verba tindakan tipe ujaran ini diformulasikan dalam komponen ‘X mengatakan
sesuatu kepada Y’.
Penelitian Beratha memberi banyak masukan dari segi teori yang digunakan
dan juga cara menganalisis verba. Dari segi teori dapat diketahui pola sintaksis makna
universal yang digunakan dalam penelitian tersebut dan juga dari cara menganalis
verba ujaran tampak pada penggunaan parafrasa yang bersumber dari perangkat
makna asali.
Mulyadi (2003) dalam artikelnya yang berjudul “Struktur Semantis Verba
Tindakan Bahasa Indonesia” mengkaji kategorisasi dan peran semantis verba
tindakan dengan menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA). Teori
MSA digunakan untuk mengetahui makna asali verba tindakan bahasa Indonesia dan
memetakan struktur semantis verba tindakan bahasa Indonesia. Beliau membatasi
lingkup kajian hanya pada enam verba, yaitu menangkap, menendang, membeli,
menangis, pergi, dan bertemu. Pada kategorisasi itu verba bahasa Indonesia

14
Universitas Sumatera Utara

digolongkan menjadi tiga kelas yaitu tindakan, proses dan keadaaan. Dalam
kajiannya Mulyadi mengemukakan bahwa kajian semantis terhadap verba tindakan
bahasa Indonesia memperlihatkan beberapa implikasi yang menarik. Pertama, ada
korelasi antara valensi verba tindakan dan komponen yang inheren pada verba
tersebut, terutama pada eksponen pertama. Komponen untuk verba bervalensi satu
ialah 'X melakukan sesuatu', sedangkan komponen untuk verba bervalensi dua adalah
'X melakukan sesuatu pada Y'. Kedua, struktur semantis verba tindakan tidak
bersesuaian dengan tipe verbanya. Verba bervalensi dua, seperti menangkap,
menendang, dan membeli dengan verba bervalensi satu, seperti pergi pada
kenyataannya bertumpang tindih pada komponen kedua. Komponen yang dimaksud
ialah 'sesuatu terjadi karena X menginginkan sesuatu'. Ketiga, dari eksplikasi yang
dilakukan terlihat bahwa struktur semantis verba tindakan bahasa Indonesia tidak
memperlihatkan adanya keteraturan dalam jaringan elemennya.
Penelitian Mulyadi menjadi acuan untuk menerapkan teori MSA pada verba
proses kejadian bahasa Batak Toba. Komponen semantisnya ialah (1) predikat mental
[ PIKIR, TAHU, INGIN, RASA, LIHAT, DENGAR], (2) ujaran (UJAR, KATA),
tindakan, peristiwa, pergerakan, perkenaan [LAKU,TERJADI, GERAK ,SENTUH],
(4) keberadaan dan milik [ADA dan PUNYA], dan (5) hidup dan mati [HIDUP dan
MATI].
Subiyanto (2008) mengkaji verba gerakan bukan agentif dalam bahasa Jawa.
Teori MSA digunakan untuk menganalisis komponen semantis dan struktur semantis
verba tersebut. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode padan dan metode
agih. Berdasarkan hasil penelitiannya, komponen semantik verba gerakan bukan
15
Universitas Sumatera Utara

agentif bahasa Jawa memiliki ciri [+dinamis], [-kesengajaan], [+/-kepungtualan], [+/telik],dan[ -kinesis]. Selanjutnya, struktur semantik verba gerakan bukan agentif
bahasa Jawa ditentukan oleh berdasarkan arah gerakan, yakni BERGERAK dan
MELAKUKAN dan

berdasarkan kualitas gerakan, yaitu MELAKUKAN dan

TERJADI.
Penelitian Subiyanto memberikan kontribusi dalam penerapan teori MSA
dalam menetapkan kategorisasi dan makna. Penelitian ini memberikan gambaran
yang mudah dipahami. Masukan dari segi teori terlihat pada fitur-fitur pembedadan
pola sintaksis yang digunakan. Kemudian, masukan dari segi menganalisis verba
pada penggunaan parafrase yang bersumber dari perangkat makna asali.
Lumban Gaol (2014) mengkaji kategorisasi dan makna verba potong dalam
bahasa Batak Toba. Teori MSA digunakan untuk mengetahui makna asali dari verba
POTONG dan mengategorisasikan serta menentukan makna verba tersebur dalam
bahasa Batak Toba. Data dianalisis dengan menggunakan metode agih dan hasilnya
disajikan dengan metode formal dan informal. Kategorisasi verba POTONG dalam
bahasa Batak Toba terdiri atas alat yang digunakan ( ‘X melakukan sesuatu dengan
sesuatu’) dan

(‘ X melakukan sesuatu pada seseorang/ sesuatu’). Makna verba

POTONG bahasa Batak Toba dibentuk oleh

makna asali

MELAKUKAN dan

TERJADI yang berpolisemi membentuk sintaksis makna universal ‘X melakukan
sesuatu pada Y karena ini sesuatu terjadi pada Y’.

16
Universitas Sumatera Utara

Penelitian Lumban Gaol memperluas wawasan peneliti tentang penerapan
teori MSA dalam bahasa Batak Toba dengan menggunakan teori MSA. Penelitian ini
juga memberikan masukan cara menganalisis verba kejadian pada penggunaan
parafrase yang bersumber dari perangkat makna asali. Penelitian ini juga
berkontribusi dalam mendeskripsikan kategorisasi semantis verba kejadian dalam
bahasa Batak Toba. Penelitian ini juga mendorong peneliti untuk meneliti verba
kejadian dalam bahasa Batak Toba.

17
Universitas Sumatera Utara