Verba 'Ambil' dalam Bahasa Batak Toba: Kajian Metabahasa Semantik Alami

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu verba
AMBIL, komponen semantis, kategorisasi, makna, polisemi, dan sintaksis makna
universal. Konsep-konsep tersebut perlu dibatasi untuk menghindari salah tafsir
pembaca.
Verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan,
sedangkan ambil adalah pegang lalu dibawa, diangkat, dan sebagainya (Alwi,
2008). Jadi, verba AMBIL adalah kata yang menggambarkan perbuatan seseorang
dalam mengambil sesuatu. Verba AMBIL memiliki aktivitas fisik yang kompleks
(complex physical activities) yang mencakup motivasi prototypical, entitas yang
diperlakukan, alat yang digunakan, cara mengambil, dan hasil yang diinginkan.
Verba “mengambil” tersebut memiliki fitur semantik khusus yang disebut subtle
difference (Goddard, 2002) yang melekat pada beberapa leksikon.
Ciri-ciri verba AMBIL adalah (1) objeknya mengalami peralihan
kepemilikan (2) objeknya mengalami perpindahan tempat, (3) memerlukan dua
argumen, (4) verba dasarnya merupakan kata kerja, dan (5) seseorang (X)
kehilangan sesuatu.
Komponen semantis adalah perangkat makna yang terdapat pada sebuah
butir leksikon (Mulyadi , 2000b). Mulyadi (2000b:42) mengatakan bahwa

komponen yang dimaksud mencakup kombinasi dari perangkat makna asali
seperti ‘seseorang’, ‘sesuatu’, ‘mengatakan’, ‘terjadi’, ‘ini’, dan ‘baik’.

7
Universitas Sumatera Utara

Kategorisasi adalah pengelompokan butir leksikal berdasarkan kesamaan
komponen semantisnya (Mulyadi, 2010: 169). Misalnya,
‛komponen X
menginginkan sesuatu dari Y sehingga X melakukan sesuatu’ memuat anggota
verba mangarampus, manintak, dan manarbut ‘merampas’, manbandit‘
mencopet’ yang terdapat dalam satu ranah semantis yang sama.
Makna sebuah kata adalah konfigurasi dari makna asali untuk setiap kata
(Wierzbicka, 1996: 170). Konfigurasi yang dimaksud adalah kombinasi antara
satu makna asali dengan makna asali yang lain yang membentuk sintaksis makna
universal. Makna yang dikaji dalam penelitian ini adalah makna denotasi.
Polisemi merupakan bentuk leksikon tunggal yang dapat mengekspresikan
dua makna asali yang berbeda (Mulyadi, 2000: 43). Menurut Goddard (1998: 31)
ada dua hubungan komposisi yang paling kuat : hubungan pengartian dan
hubungan implikasi. Hubungan pengartian tampak pada MELAKUKAN/

TERJADI dan hubungan implikasi tampak pada MERASAKAN / TERJADI.
Sintaksis makna universal adalah kombinasi dari butir-butir leksikon
makna asali yang membentuk proposisi sederhana sesuai dengan perangkat
morfosintaksisnya (Mulyadi dan Rumnasari, 2006: 71).
2.2 Landasan Teori
Dalam penelitian ini, teori yang digunakan untuk mengetahui kategorisasi
dan struktur semantis verba bahasa Batak Toba adalah teori Metabahasa Semantik
Alami (MSA) yang dipelopori oleh Anna Wierzbicka (1996). Teori ini dipilih
karena dapat menetapkan kategorisasi dan mengeksplikasi semua makna leksikal,
gramatikal, ilokusi, dan pragmatik, termasuk aspek tata bahasa dan tipologi
universal melalui seperangkat elemen sederhana. Sebagai bagian dari kategori

8
Universitas Sumatera Utara

leksikal, verba AMBIL dapat dieksplikasi dengan teori MSA. Parafrase makna
yang dihasilkan mudah dipahami oleh banyak orang, khususnya penutur jati
bahasa yang dibicarakan sebab parafrasenya dibingkai dalam sebuah metabahasa
yang bersumber dari bahasa alamiah (Mulyadi, 2012: 34).
Teori MSA berhubungan dengan Prinsip Semiotis. Prinsip ini menyatakan

bahwa makna kompleks apa pun dapat dijelaskan tanpa perlu berputar-putar dan
tanpa residu dalam kombinasi makna diskret yang lain (Goddard, 1998: 2,
Wierzbicka, 1996:10). Untuk itu, digunakan perangkat makna asali (semantic
primitives) sebagai elemen akhir dalam analisis makna. Yang dimaksud makna
asali adalah makna yang tidak dapat berubah (Goddard, 1998: 2) karena sudah
diwarisi manusia sejak lahir (innate).
2.2.1 Makna Asali
Konsep teoritis dalam teori MSA yang pertama adalah makna asali.
Menurut Wierzbicka (1996:31), makna asali merupakan refleksi dan pembentukan
pikiran yang dapat dieksplikasi dari bahasa alamiah yang merupakan satu-satunya
cara mempresentasikan makna. Eksplikasi makna tersebut meliputi makna katakata yang intuitif berhubungan atau sekurang-kurangnya memiliki medan makna
yang sama, dan makna kata-kata itu dianalisis berdasarkan komponennya.
Wierzbicka (1996:3-11) mengatakan bahwa ada 55 elemen makna asali yang
dapat digunakan untuk memparafrasekan makna kata sebuah butir leksikon dan
kemudian jumlah itu dikembangkan lagi oleh Goddard menjadi 65 makna asali.
Makna asali merupakan seperangkat makna yang tidak dapat berubah dan telah
diwarisi manusia sejak lahir . Seperangkat makna asali diharapkan dapat
menjelaskan makna kompleks menjadi lebih sederhana tanpa harus berputar-putar

9

Universitas Sumatera Utara

(Goddard, 1998:2). Wierzbcka (1996:35) dan Goddard (1998:24-37) mengusulkan
63 makna asali yang ditemukannya terhadap sejumlah bahasa di dunia. Berikut
merupakan elemen makna asali.
Tabel 2.1
Perangkat Makna Asali dalam Bahasa Indonesia
KOMPONEN
Substantif

Substantif
Relasional
Pewatas
Penjumlah
Evaluator
Deskriptor
Predikat mental
Ujaran
Tindakan,
peristiwa, gerakan,

perkenaan
Keberadaan dan
Milik
Hidup dan mati
Waktu

Ruang

Konsep logis
Augmentor,
Intensifier
Kesamaan

ELEMEN MAKNA ASALI
AKU, KAMU,
SESEORANG/ORANG,
SESUATU/ HAL, TUBUH
JENIS, BAGIAN
INI, SAMA, LAIN
SATU, DUA, SEMUA, BANYAK,

BEBERAPA
BAIK, BURUK
BESAR, KECIL
PIKIR, TAHU, INGIN, RASA,
LIHAT, DENGAR
UJAR, KATA, BENAR
LAKU, TERJADI, GERAK,
SENTUH
ADA, PUNYA
HIDUP, MATI
BILA/WAKTU, SEKARANG,
SEBELUM, SETELAH, LAMA,
SEKEJAP, SEBENTAR,
SEKARANG, SAAT
(DI) MANA/TEMPAT, (DI) SINI,
(DI) ATAS, (DI) BAWAH, JAUH,
DEKAT, SEBELAH, DALAM
TIDAK, MUNGKIN, DAPAT,
KARENA, JIKA
SANGAT, LEBIH

SEPERTI

Sumber : (Mulyadi 2009:58, diadaptasi dari Goddard, 2006:12)
2.2.2 Polisemi Nonkomposisi
Polisemi merupakan bentuk leksikon tunggal yang dapat mengekspresikan
dua makna asali yang berbeda (Mulyadi, 2000: 43). Ini terjadi karena adanya

10
Universitas Sumatera Utara

hubungan komposisi antara satu eksponen dengan eksponen lainnya karena
eksponen tersebut memiliki kerangka gramatikal yang berbeda.
Menurut Goddard (1998: 31) ada dua hubungan komposisi yang paling
kuat: hubungan pengartian dan hubungan implikasi. Hubungan pengartian tampak
pada MELAKUKAN/ TERJADI dan hubungan implikasi tampak pada
MERASAKAN / TERJADI. Perhatikan contoh berikut.
(4) X MELAKUKAN sesuatu pada Y
sesuatu TERJADI pada Y
(5) Jika X MERASAKAN sesuatu tentang Y
sesuatu TERJADI pada X

Perbedaan sintaksis yang dapat diketahui dari verba MELAKUKAN dan
TERJADI pada contoh (4) di atas ialah bahwa MELAKUKAN memerlukan dua
argumen, sedangkan TERJADI hanya membutuhkan satu argumen. Hal yang
sama terjadi pada verba TERJADI dan MERASAKAN, tetapi pada verba
MERASAKAN tipe argumen yang muncul berbeda, yaitu tentang ‘Y’.
2.2.3 Sintaksis Makna Universal
Sintaksis makna universal yang dikembangkan Wierzbicka pada akhir
tahun 1980 merupakan perluasan dari sistem makna asali. Wierzbicka (1996: 19)
menyatakan bahwa makna memiliki struktur yang sangat kompleks, dan tidak
hanya dibentuk dari elemen sederhana, seperti seseorang, ingin, tahu, tetapi dari
komponen berstruktur kompleks, seperti ‘aku menginginkan sesuatu’, ‘ini baik’,
atau ‘kau melakukan sesuatu yang buruk’. Kalimat seperti ini disebut sintaksis
makna universal. Jadi, sintaksis makna universal adalah kombinasi dari butir-butir
leksikon makna asali yang membentuk proposisi sederhana sesuai dengan
perangkat morfosintaksisnya (Mulyadi dan Rumnasari, 2006: 71). Dalam teori

11
Universitas Sumatera Utara

MSA, untuk merumuskan struktur semantis digunakan teknik parafrase, yang

menurut Wierzbicka (1996: 35) harus mengikuti kaidah-kaidah berikut:
1. Parafrase

harus

menggunakan

kombinasi

sejumlah

makna

asali

Wierzbicka. Kombinasi sejumlah makna asali diperlakukan terkait dengan
klaim teori MSA, yaitu suatu bentuk tidak dapat diuraikan hanya dengan
memakai saasali.
2. Parafrase dapat pula dilakukan dengan memakai unsur yang merupakan
kekhasan suatu bahasa. Hal ini dapat dilakukan dengan menggabungkan

unsurunsur yang merupakan keunikan bahasa itu sendiri untuk
menguraikan makna.
3. Kalimat parafrase harus mengikuti kaidah sintaksis bahasa.
4. Parafrase selalu menggunakan bahasa yang sederhana.
5. Kalimat parafrase kadang-kadang memerlukan indensasi dan spasi khusus.
Unit dasar sintaksis makna universal dapat disamakan dengan “klausa”,
dibentuk oleh substantif dan predikat, serta beberapa elemen tambahan sesuai
dengan ciri predikatnya. Contoh pola sintaksis makna universal ditunjukkan di
bawah ini :
(6) Aku melihat sesuatu di tempat ini.
(7) Sesuatu yang buruk terjadi padaku.
(8) Jika aku melakukan ini, orang akan mengatakan sesuatu yang buruk tentang
aku.
(9) Aku tahu bahwa kamu orang yang baik.
(10) Aku melihat sesuatu terjadi di sana.
(11) Aku mendengar sesuatu yang baik.

12
Universitas Sumatera Utara


Makna asali, polisemi takkomposisi, dan sintaksis makna universal
merupakan komponen utama dalam merumuskan struktur semantis. Hubungan
ketiga konsep tersebut dalam kajian makna diringkas dalam gambar di bawah ini.
Makna asali

Polisemi

Sintaksis
Makna
Universal

Makna asali
makna
Gambar 2.1
Hubungan Makna Asali, Polisemi, Sintaksis Makna Universal, dan Makna
(Sumber : Mulyadi dan Rumnasari, 2006:71)
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa gabungan dari dua makna asali
berkombinasi untuk membentuk polisemi. Kombinasi dari makna asli membentuk
kalimat berupa parafrase untuk mengetahui makna.
Dalam menjelaskan struktur semantis verba AMBIL bahasa Batak Toba,
model parafrase yang digunakan mengikuti Wierzbicka dengan formulasi berikut
ini.
mambandit ‘mencopet’
(a) seseorang (X) melakukan sesuatu pada sesuatu (tas)Y)
(b) karena ini sesuatu (Y) berpindah pada (X) pada waktu yang sama
(c) .......................................................................
(d) X melakukan ini dengan waktu yang SINGKAT
(e) X menginginkan ini
(f) X melakukan sesuatu seperti ini
manangko ‘mencuri’
(a) seseorang (X) melakukan sesuatu pada sesuatu (laptop)Y)
(b) karena ini sesuatu (Y) berpindah pada (X) pada waktu yang sama
(c) ......................................................................
(d) X melakukan ini dengan waktu yang LAMA
(e) X menginginkan ini
(f) X melakukan sesuatu seperti ini

13
Universitas Sumatera Utara

2.3 Tinjauan Pustaka
Penelitian terhadap verba sudah pernah dilakukan oleh beberapa ahli.
Berikut akan dijelaskan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian
ini.
Rehana (2016) dalam tesisnya meneliti struktur semantis verba AMBIL
dalam bahasa Aceh. Teori yang digunakan adalah Metabahasa Semantik Alami
(MSA). Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode cakap
dengan teknik pancing, teknik cakap semuka, teknik cakap tansemuka, teknik
rekam, dan teknik catat. Data dianalisis dengan metode padan dan agih. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa verba yang bermakna AMBIL dalam bahasa
Aceh terdiri atas dua kategori, yaitu verba AMBIL (X MELAKUKAN SESUATU
PADA SESUATU/SESEORANG (Y) DENGAN SESUATU (Z) dan (X
MELAKUKAN SESUATU PADA SESUATU/SESEORANG (Y) DENGAN
SALAH SATU BAGIAN TUBUH (Z). Verba AMBIL dalam bahasa Aceh
dibentuk

oleh

makna

asali

yaitu

MELAKUKAN/BERPINDAH

yang

berkombinasi membentuk sintaksis makna universal ‘X MELAKUKAN
SESUATU PADA Y KARENA INI SESUATU BERPINDAH PADA X.’
Penelitian Rehana memberikan sumbangsi yang besar dari segi data verba
AMBIL dalam bahasa Aceh. Teori yang digunakan, metode beserta teknik yang
digunakan dalam mengumpulkan dan menganalisis data. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa verba AMBIL dalam bahasa Aceh terdiri atas dua makna
asali yakni MELAKUKAN/BERPINDAH yang berkombinasi membentuk
sintaksis makna universal ‘X MELAKUKAN SESUATU PADA Y KARENA INI
SESUATU BERPINDAH PADA X’. Penelitian Rehana memberikan sumbangsih

14
Universitas Sumatera Utara

yang sangat besar karena selain verba dan teori, rumusan masalahnya juga sama,
yakni sama-sama membahas kategorisasi, makna, dan struktur semantis.
Widani (2016) dalam artikelnya meneliti makna verba “MENGAMBIL”
dalam bahasa Bali. Teori yang digunakan adalah Metabahasa Semantik Alami
(MSA). Teori ini digunakan untuk mendapatkan konfigurasi makna yang
komprehensif dari leksikal verba “mengambil” bahasa Bali. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatif dengan
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : klasifikasi data, menganalisis
struktur semantik dari verba “mengambil” dan menjabarkan komponen-komponen
yang diperoleh menghasilkan konfigurasi makna tentang fitur khusus, terutama
menerapkan parafrase. Hasil penelitian menunjukkan verba “mengambil” dalam
bahasa

Bali

dapat

diekspresikan

dalam

beberapa

leksikon,

yaitu:

“nyemak/ngambil, nyuang, nyurud, nuduk, ngalap, nima, ngotek, nyedok,
ngarebut, nyopet, ngarampok, nyrambet, ngamaling, dan ngutil/ngamalit.”
Penelitian Widani memberi banyak masukan dari segi data verba AMBIL
bahasa Bali, dimana data tersebut dapat menambah pengetahuan penulis tentang
konsep verba AMBIL dalam bahasa Bali. Selain dari segi data, metode yang
digunakan juga memiliki sumbangsih dalam menganalisis data hingga
menghasilkan konfigurasi makna tentang fitur khusus sebuah verba.
Sianturi

(2015) dalam skripsinya meneliti semantik verba “BAWA”

dalam bahasa Batak Toba. Teori yang digunakan adalah MSA (Metabahasa
Semantik Alami). Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah
metode simak dengan teknik sadap, teknik simak libat cakap, dan metode cakap
dengan teknik catat dan teknik rekam. Data dianalisis dengan menggunakan

15
Universitas Sumatera Utara

metode agih. Hasil dari penelitian ini menunjukkan verba BAWA dalam bahasa
Batak Toba dibentuk oleh dua makna asali yaitu MELAKUKAN dan TERJADI
yang membentuk sintaksis makna universal ‘X melakukan sesuatu pada sesuatu
(Y) karena itu sesuatu terjadi pada Y pada waktu yang sama. Apabila ditinjau dari
alat yang digunakan maka verba BAWA dibedakan atas berdasarkan verba
BAWA yang menggunakan alat berupa kendaraan, benda tajam, atau dengan
melibatkan anggota-anggota tubuh seperti tangan, kepala, bahu, leher, punggung,
dan lain sebagainya. Semantis verba BAWA dalam bahasa Batak Toba dicirikan
dengan komponen ‘X melakukan sesuatu dengan sesuatu’. Struktur semantis
verba BAWA dikaji dengan menggunakan makna asali untuk membatasi makna
kata dengan menggunakan sistem parafrase.
Penelitian ini memberi banyak masukan dari data yang dianalisis dan cara
menganalisis makna verba BAWA dalam bahasa Batak Toba. Hasil dari
penelitiann tersebut juga memiliki sumbangsih karena verba AMBIL dan BAWA
berada dalam tipe yang sama yakni verba tindakan dan subtipe yang sama yakni
mengalami perpindahan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa verba
BAWA dibentuk oleh dua makna asali yaitu MELAKUKAN dan TERJADI yang
membentuk sintaksis makna universal ‘X melakukan sesuatu pada sesuatu (Y)
karena itu sesuatu terjadi pada Y pada waktu yang sama.
Lumban Gaol (2014) dalam skripsinya meneliti verba POTONG dalam
bahasa Batak Toba. Teori yang digunakan adalah teori Metabahasa Semantik
Alami (MSA). Teori ini digunakan untuk mengetahui makna dan kategorisasi
verba POTONG dalam bahasa Batak Toba. Untuk memperoleh data digunakan
metode cakap dan metode simak. Data verba POTONG dianalisis dengan

16
Universitas Sumatera Utara

menggunakan metode agih dan hasilnya disajikan dengan menggunakan metode
formal dan informal. Hasil kajian Giovani menunjukkan bahwa verba yang
bermakna POTONG dalam bahasa Batak Toba dikategorisasikan berdasarkan alat
dan objek. Selanjutnya, makna verba POTONG bahasa Batak Toba dibentuk oleh
dua makna asali yakni MELAKUKAN dan TERJADI yang berkombinasi
membentuk sintaksis makna universal‛X melakukan sesuatu pada Y karena ini
sesuatu terjadi.
Penelitian Lumban Gaol memberi banyak masukan dari segi masalah yang
dibahas yakni kategorisasi dan makna, data-data verba POTONG, teori, dan
metode yang digunakan dalam mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan
hasil analisis data.
Sinaga (2014) dalam skripsinya meneliti verba ujaran dalam bahasa
Simalungun. Aspek yang dikaji adalah tipe-tipe semantis, makna, dan struktur
semantis verba ujaran. Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori
“Metabahasa Semantik Alami” (MSA). Data yang digunakan adalah data lisan,
data tulis dan data intuitif. Data dikumpulkan dengan metode cakap dan metode
simak. Kemudian, data dianalisis dengan metode agih dan metode padan.
Hasilnya disajikan dengan metode formal dan informal. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa verba ujaran bahasa Simalungun digolongkan atas enam tipe
semantis,MENGATAKAN/TERJADI,MENGATAKAN/MELAKUKAN,MENG
ATAKAN/MENGETAHUI,MENGATAKAN/MERASAKAN,MENGATAKAN/
BERPIKIR, dan MENGATAKAN / MENGATAKAN. Makna verba ujaran
memiliki ciri utama yang membangun makna verba ujaran, yaitu dari segi waktu
(masa lalu, masa sekarang, masa mendatang, fungtual, dan duratif ) dan juga

17
Universitas Sumatera Utara

tindakan (baik dan buruk). Selanjutnya struktur semantis verba ujaran dibentuk
oleh tiga komponen yang sama, yaitu diformulasikan ‘X mengatakan sesuatu
kepada Y...’, ‘X mengatakan ini karena...’, X mengatakan sesuatu seperti ini...’.
Komponen yang bisa menjadi ciri pembeda di antara anggota verba ujaran.
Penelitian Sinaga memberi banyak masukan dari masalah yang dikaji
yakni

makna

dan

struktur

semantis,

metode

yang

digunakan

dalam

mengumpulkan data, mengelolah data, dan menyajikan hasil analisis data. Hasil
dari penelitian tersebut juga memberikan sumbangsih terhadap tulisan ini.
Selanjutnya, Sudipa (2012) dalam artikelnya meneliti makna “mengikat”
bahasa Bali. Data dianalisis menggunakan teori MSA (Metabahasa Semantik
Alami). Bahan kajian ini bersumber dari data lisan yang dikumpulkan melalui
metode libat cakap, serta data tulis dengan teknik simak ‘observasi’ (Sudaryanto
1993:132-134). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telaah terhadap verba
“ngiket” dengan menggunakan teori MSA memberikan peluang untuk
mendapatkan “konfigurasi” “makna” yang jelas, tanpa residu sehingga terpola
satu makna satu bentuk dan sebaliknya. Dengan cara tersebut maka tidak akan ada
lagi kesalahan memilih leksikon yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ada
di benak penuturnya. Sama halnya dengan intruksi “impus kucite” jelas yag
dimaksud ‘ikat kaki’ babi itu.
Penelitian ini memberi banyak masukan dari segi teori yang digunakan,
cara mengumpulkan data yakni dari data lisan dengan menggunakan metode libat
cakap dan data tulis dengan teknik simak ‘obsevasi’.

Namun yang menjadi

kekurangannya, penelitian ini tidak memaparkan bagaimana cara menganalisis
data dan menyajikan hasil analisis data.

18
Universitas Sumatera Utara