Gangguan Fungsi Ginjal Janin dan Neonatus Pada Pertumbuhan Janin Terhambat

43

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Pertumbuhan Janin Terhambat
PJT

merupakan

salah

satu

penyebab

kematian

perinatal

tersering,yaitu 26 % atau lebih. Jika ditemukan, maka angka kematian
akan meningkat 7 kali lipat. Alat Bantu yang paling baik dalam

menentukan PJT adalah ultrasonografi, karena dengan alat ini PJT dapat
ditetapkan dengan akurat. Disamping itu dapatjuga digunakan untuk
membedakan jenis-jenis PJT yang simetris atau asimetris (Manning,
2003).

2.1.1 Definisi
PJT adalah berat janin kurang dari persentil ke 10 atau janin yang
tidak dapat mencapai pertumbuhan potensial sesuai dengan usia
gestasinya, yang disebabkan oleh satu atau banyak faktor (Bianchi,
Crombleholme dan D’Alton, 2000).
Standar pertumbuhan normal janin adalah berada diantara 2 SD
dari rata-rata persentil 2,5 – 97,5 atau antara persentil ke 10 – 90 sesuai
usia gestasi. Tidak semua janin dengan pertumbuhan di bawah persentil
10 adalah PJT. Hanya 40 % yang benar-benar PJT, sedangkan 40% lagi
secara konstitusional memang kecil, biasanya disebabkan

oleh ibu

dengan berat badan dibawah 50 kg, dan sisanya 20% karena faktor
kromosom atau lingkungan seperti trisomi 18, infeksi sitomegalovirus, fetal


Universitas Sumatera Utara

44

alkohol syndrome, dll (Resnik, Creasy, 2014; Cuningham, 2006; RCOG
2002; Sohn, 2004; Thureen, 2001; Harper 2005).
Arbuckle (1993) membuat normogram berat janin persentil ke 10
berdasarkan jenis kelamin laki dan perempuan dengan janin laki-laki lebih
berat dari janin perempuan. Penelitian ini berdasarkan dari hasil
pengamatan

2 juta janin tunggal dan 10.000 janin kembar di Kanada

pada tahun 1986 - 1988 dengan normogram berat janin yang lebih besar
dibanding data tahun 1970, sehingga dianjurkan grafik pertumbuhan janin
diperbaharui tiap 5 – 10 tahun.
Berdasarkan penelitian epidemiologi, PJT akan meningkatkan risiko
terjadinya penyakit jantung, hipertensi, penyakit jantung iskemia, intoleran
glukosa, resistensi insulin, DM tipe II, dll. Diketahui bahwa gangguan

pertumbuhan janin di dalam uterus akan menyebabkan perubahan
permanen dari struktur jaringan yang dikenal dengan nama FETAL
PROGRAMMING (Fowden dan Giussani, 2006; Chavette-Palmeret al.,.,
2015).

Universitas Sumatera Utara

45

Tabel 2.1.Akibat yang ditimbulkan pada fetal programming (Fowden,
Giussani dan Forhead, 2006; Chavette-Palmeret al.,., 2015).

Universitas Sumatera Utara

46

Organ
Sistem Kardiovaskuler

Sistem Metabolik


Sistem reproduksi

Sistem respirasi
Sistem endokrin
Sistem saraf

Sistem skeletal

Penyakit
Hipertensi
Peny. Jantung coroner
Stroke
Ateroskerosis
Gangguan koagulasi darah
Preeklamsia
Gangguan toleransi glukosa
Resistensi insulin
Dislipidemia
Diabetes tipe 2

Sindroma ovarium polikistik
Menarke dini
Menopause dini
Peny. Paru obstruksi kronik
Asma
Hiperkortisolism
Hipertiroid
Kelainan neurologi
Skizofrenia
Dimensia
Osteoporesis

Universitas Sumatera Utara

47

Gambar 2.1.Fetal Programming penyebab dan konsekuensinya (Fowden,
Giussani dan Forhead, 2006).

2.1.2 Insiden

Insiden PJT sangat tergantung pada populasi yang diteliti, geografi,
standar kurva pertumbuhan yang dipergunakan, serta persentil yang
dipilih antara lain 3, 5, 10 atau 15. Umumnya digunakan persentil 10.
Lebih kurang 1/3 atau 1/4 bayi-bayi yang dilahirkan, berat badannya <
2500 gr. Diperkirakan angka PJT di negara maju 6 – 8% dari seluruh
kelahiran dan di negara berkembang 4 – 30% (Resnik dan Creasy, 2014).
Janin dengan PJT asimetris lebih sering ditemukan daripada janin
dengan PJT simetris, yaitu berturut-turut 70-80% vs 20-30%. PJT
asimetris terjadi pada trimester akhir. Dashe (2000) melaporkan hasil yang

Universitas Sumatera Utara

48

berlawanan yaitu dari 1364 janin PJT, 20% adalah PJT asimetris dan 80%
PJT simetris. PJT asimetris berisiko lebih besar terhadap terjadinya fetal
distress, tindakan operasi dan skore Apgar lebih rendah dibanding PJT
simetris (Resnik dan Carera, 2014; Lin, 1998; Brodsky, 2004; Dashe,
2000).


2.1.3. Angka kesakitan dan kematian
Secara umum terjadi peningkatan angka kematian janin 6 – 10 kali
lipat dibanding dengan janin normal. Hal ini disebabkan oleh fetal distress,
asfiksia, hipoglikemia, hipokalsemia, aspirasi mekonium dan lahir mati
(Dogra et al.,.,2006; Meyer dan Joseph, 2013).
Angka kematian bayi PJT meningkat seiring dengan semakin
tuanya kehamilan. Begitu juga bila berat badan lahirnya semakin kecil.
Bayi yang dilahirkan dengan berat badan < 1500 gr mempunyai angka
kematian 70 – 100 kali lipat janin normal. Sedangkan berat badan lahir
1500 – 2500 gr angka kematiannya 5 – 30 kali janin normal (Resnik dan
Creasy, 2014).
Manning (2003) yang meneliti 1560 kasus PJT persentil 1-10,
melaporkan bahwa angka kematian bayi sangat tinggi bila berat badan
lahir kurang dari persentil 6.

Universitas Sumatera Utara

49

2.1.4. Etiologi

PJT dapat disebabkan oleh faktor maternal, janin atau plasenta.
Sebagian dapat diketahui intrauterine dan sebagian lagi baru diketahui
setelah dilakukan otopsi

(Resnik dan Creasy,

2014; Brodsky dan

Christou, 2004).

2.1.4.1. Faktor maternal
Faktor maternal sebesar 25 – 30%
a. Hipertensi.
b. Diabetes mellitus.
c. Penyakit ginjal.
d. Penyakit kollagen.
e. Thrombophilia.
f. Sindroma antifosfolipid.
g. Hipoksia persisten (High altitude, penyakit paru, penyakit
jantung, anemia).

h. Kelainan bentuk uterus.
i.

Malnutrisi.

j.

Toksin ( merokok, alkohol, obat-obatan dll).

2.1.4.2. Faktor plasenta
a. Invasi trophoblast abnormal.
b. Infark plasenta.
c. Plasenta previa.

Universitas Sumatera Utara

50

d. Plasenta circumvallate.
e. Chorioangioma.

f. Insersi velamentosa.
g. Anomali vaskular umbilikal-plasenta.

2.1.4.3. Faktor janin(Resnik dan Creasy, 2014; Doubilet, 1995; Brodsky,
2004; Harper, 2005 ).
a. Genetik (20%). (kelainan kromosom, kelainan kongenital)
b. Kehamilan ganda (5%).
c. Infeksi intrauterine (sitomegalovirus, malaria, parvovirus,
rubella, toxoplasmosis, hespes virus, HIV )

Meskipun ukuran plasenta tidak harus sesuai dengan fungsinya,
namun fungsi plasenta tidak dapat diketahui secara rinci bila hanya
melakukan pemeriksaan klinis, dalam hubungan antara ukuran dan
morfologi dengan luaran janin. Umumnya bayi-bayi besar mempunyai
ukuran plasenta yang besar juga. Berdasarkan penelitian pada hewan dan
manusia, janin dengan PJT tanpa anomali umumnya mempunya ukuran
plasenta 24% lebih kecil.
Plasenta tumbuh sesuai dengan semakin tuanya kehamilan namun
pada PJT sebelum dan setelah 36 minggu laju pertambahan berat
plasenta melambat, yaitu, setelah dikurangi berat tali pusat dan selaput

ketuban, kurang dari 350g (Resnik dan Creasy, 2014).
.

Universitas Sumatera Utara

51

Rasio berat janin plasenta akan terus meningkat terutama sejak
usia kehamilan 20 minggu. Bila rasio janin plasenta lebih dari 10 maka
kemungkinan terjadinya PJT dan fetal distress akan meningkat karena
kapasitas plasenta untuk menyalurkan nutrisi kurang.
Kemampuan transfer nutrisi dari plasenta bukan hanya tergantung
dari beratnya, namun juga kedalaman invasi trophoblast pada decidual
bed

uterus, yang sangat berperan penting untuk suplai nutrisi yang

adekuat.
Invasi trophoblast pada arteri spiralis di tempat implantasinya
menyebabkan remodelling endotel dan otot polos arteri spiralis sehingga
resistensi pembuluh darahnya menurun dan perfusi uteroplasenter
menjadi besar. Banyak yang melaporkan bahwa PJT early onset
disebabkan oleh invasi tropoblast yang dangkal ( Resnik dan Creasy,
2014).

2.1.4.4. Faktor genetik
Lebih kurang 40 % faktor genetik ibu dan janin berpengaruh
terhadap variasi berat janin dan 60% merupakan kontribusi dari faktor
lingkungan janin termasuk plasenta. Meskipun faktor genetik ayah juga
berpengaruh terhadap berat janin namun ternyata faktor genetik ibu lebih
berperan ( Resnik dan Creasy, 2014).
Penelitian terhadap kuda jantan normal yang dikawinkan dengan
ibu kuda poni (kecil), mendapatkan anak kuda yang kecil. Sebaliknya bila
kuda poni jantan dikawinkan dengan kuda betina normal maka anak kuda

Universitas Sumatera Utara

52

yang dilahirkan adalah kuda dengan berat badan normal. Hal ini
membuktikan bahwa, faktor ibu lebih berperan dibandingkan ayah
terhadap pengaruh besar kecilnya keturunan (Resnik dan Creasy, 2014)
Ibu – ibu yang terlahir dengan PJT akan cenderung melahirkan bayi
dengan PJT juga. Jika seorang wanita dengan berat badan < 50 kg pada
awal kehamilan akan berisiko melahirkan bayi PJT dua kali lipat (Suhag
dan Berghella, 2013).
ibu yang kurus ( underweight ) sebelum hamil , berisiko melahirkan
janin PJT, meskipun terjadi kenaikan berat badan selama hamil lebih dari
9 kg. (Brownet al.,., 2011)

2.1.4.5. Kelainan kongenital
Pada penelitian terhadap13.000 bayi dengan kelainan kongenital
didapati 22% disertai dengan PJT. Secara umum semakin berat
malformasinya maka semakin mungkin bayi tersebut mengalami PJT. Hal
ini jelas terlihat pada janin yang mengalami malformasi kromosom atau
malformasi kardiovaskuler yang serius (Puccio, Giuffre dan Piro, 2013).

2.1.4.6. Infeksi
Infeksi

oleh

virus,

bakteri,

protozoa

dan

spiroket

dapat

menyebabkan terjadinya PJT (5%). Rubella dan sitomegalo virus adalah
penyebab utama. Rubella menyebabkan kerusakan endotel kapiler
selama organogenesis, sehingga terjadi pengurangan jumlah sel dengan
jumlah sitoplasma yang tetap. Jika infeksi terjadi pada bayi baru lahir akan

Universitas Sumatera Utara

53

menyebabkan gangguan pertumbuhan kelenjar adrenal, timus dan otak.
Sitomegalovirus akan menyebabkan sitolisis dan nekrosis sel. Jika terjadi
pada

bayi

baru

lahir

maka

banyak

organ

yang

tergangggu

pertumbuhannya.Toksoplasma gondii adalah protozoa yang paling sering
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, begitu juga dengan malaria
(Resnik dan Craesy, 2014; Cunningham, 2006).

2.1.4.7. Efek Rokok, alkohol dan obat-obatan.
Merokok, alkohol, penggunaan obat-obat selama hamil seperti:
steroid, coumadin, hidantoin, kokain dan heroin dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Merokok
darah pada uterus

sehingga

menyebabkan pengurangan arus

oksigenisasi terhadap janin terganggu

(Resnik dan Creasy, 2004; Cunningham, 2006; Doubilet, 1995; Brodsky
danChristou 2004 ).

2.1.4.8. Penyakit vaskuler kronik
Hipertensi, DM, penyakit ginjal dan penyakit kolagen merupakan
penyebab utama gangguan pertumbuhan janin yang banyak ditemui di
negara - negara maju. Sedang pada negara – negara berkembang PJT
umumnya terjadi karena malnutrisi.
Thombophilia dan sindrome antifospolipid juga menyebabkan
gangguan pertumbuhan dengan terjadinya trombosis pada plasenta dan
efek sekunder dari hipertensi yang terjadi (Brodsky dan Christou 2004,
Baschat, 2012).

Universitas Sumatera Utara

54

2.2. Patofisiologi
Ada 3 faktor sebagai penyebab PJT antara lain:
1. Gangguan fungsi plasenta.
2. Faktor ibu: asupan makanan dan oksigen tidak adekuat.
3. Faktor janin: kekurangmampuan janin menggunakan asupan.
Gangguan fungsi plasenta bisa berupa pertumbuhan dan perfusi
abnormal dan disfungsi dari villi plasenta. Pada preeklampsi terjadi invasi
trofoblast yang dangkal, sehingga menyebabkan berkurangnya perfusi
dan hipoksia plasenta setempat yang akan mengakibatkan terjadinya PJT.
(Bianchi et al.,2010).
Disfungsi villi, yang disebabkan oleh apoptosis pada trofoblast,
stress oksidatif, infark dan kerusakan oleh cytokine, akan menyebabkan
terjadi angiogenesis tidak menentu pada plasenta, sehingga menghambat
fungsidari plasenta (Bianchiet al.,2010; Baschat, 2012).
Baru-baru ini ditemukan faktor spesifik lain sebagai penyebab
terjadinya PJT yaitu insulin dan insulinegrowth like factors (IGF) – 1 dan 2
yang merupakan hormon anabolik untuk pertumbuhan janin. Pada PJT
ditemukan kadar IGF-1 rendah dan IGF binding protein yang tinggi. Hal ini
didukung dari suatu penelitian yang melaporkan delesi parsial pada gen
IGF-1 yang ditemukan pada bayi PJT dengan berat badan yang ekstrim.
Disamping itu IGF-1 juga berperan pada invasi dan differensiasi trofoblast
serta pertumbuhan dari plasenta (Bianchiet al.,2010; Baschat, 2012).

Universitas Sumatera Utara

55

Gambar 2.2: Patofisiologi PJT dan akibat yang ditimbulkannya (Brodsky
dan Christou, 2004).

Pada binatang percobaan dan manusia ditemukan bahwa leptin
juga berperan dalam regulasi dan pertumbuhan janin. Leptin adalah
hormon polipeptida yang diproduksi oleh jaringan lemak, kadar yang
rendah pada sirkulasi janin dan plasenta menunjukkan adanya gangguan
pertumbuhan, disamping itu leptin juga mempunyai hubungan yang erat
dengan hormon-hormon pertumbuhan lainnya yaitu insulin, kortisol dan
IGF-1 (Pilu, 2000; Brown et al., 2011).

Universitas Sumatera Utara

56

2.3. Diagnosis
2.3.1. Pengukuran tinggi fundus uteri
Penetapan usia gestasi secara dini, pertambahan berat badan ibu
serta pengukuran tinggi fundus uteri dengan cermat selama kehamilan
akan banyak menolong identifikasi banyak kasus pertumbuhan janin
abnormal pada wanita tanpa resiko (Cunningham, 2006; Bamfo dan
Odibo, 2011).
Pengukuran tinggi fundus uteri secara cermat dan serial selama
kehamilan merupakan metode yag sederhana, aman dan tidak mahal
serta

cukup

akurat untuk mendeteksi PJT.Pemeriksaan

ini rutin

dilaksanakan sejak usia gestasi 20 minggu. Bila dijumpai selisih 3 cm
atau lebih dari tinggi normal maka harus dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi. Dengan pengukuran tinggi fundus uteri hanya 26% janin
PJT yang dapat didiagnosis (Cuningham, 2006; Resnik dan Creasy,
2014).Bila tinggi fundus uteri disesuaikan dengan tinggi ibu, berat badan,
golongan etnis tertentu maka angka deteksi akan meningkatkan dari 29,2
% menjadi 47,9% (Lin dan Sataloya, 1998).
Gardosi dan Francis (1999) melaporkan sensitifitas pengukuran
tinggi fundus uteri bervariasi dari 17 sampai 86% dengan spesifitas 64
sampai 88 %. Namun salah satu kesimpulan Cochrane, tidak cukup bukti
akurasi jarak simpisis – fundus dalam menetapkan PJT (Brodsky dan
Christou, 2004; Gardosi, 2012).

Universitas Sumatera Utara

57

2.3.2 Ultrasonografi
2.3.2.1. Biometri janin
Parameter yang paling banyak digunakan dalam ultrasonografi
untuk menaksir berat janin adalah Biparietal Diameter (BPD), Femur
Length (FL) dan AbdominalCircumference (AC). Pengurangan ukuran AC
adalah merupakan cara yang paling baik untuk memprediksi PJT dengan
10%negatif palsu (Doubilet dan Benson, 1995; Dashe, 2000; Talmor et al.,
2013).
Pertumbuhan

janin

adalah

proses

yang

dinamik,

maka

pemeriksaan secara potong lintang kurang bermanfaat. Sehingga sangat
dianjurkan

dilakukan

pemeriksaan

biometri

secara

serial

dalam

menetapkan PJT. Bila ditemukan AC < persentil 10, disertai peningkatan
rasio S/D arteri umbilikalis > persentil 90, dan dikombinasikan dengan
pemeriksaan jumlah cairan amnion, akurasi diagnostik akan meningkat
dengan prediksi positif dari 38,1% menjadi 66,7% (Lin dan Sataloya, 1998
).
Pengukuran diameter biparietal, lingkar abdomen dan panjang
femur merupakan formula yang baik digunakan dalam menaksir berat
janin dalam menentukan adanya PJT, baik simetris, asimetris ataupun
kombinasi (Hadlock, 1984 ).
Faktor intrinsik yang terjadi pada awal kehamilan seperti,
abnormalitas kromosom, kelainan kongenital, obat-obatan, dan zat kimia
yang akan mengganggu pembelahan sel, dapat menyebabkan terjadinya
PJT simetris. Sedang bila ada faktor ektrinsik di belakang, yang ditandai

Universitas Sumatera Utara

58

dengan nutrisi yang tidak adekuat, akan menimbulkan PJT asimetris
(Manning, 2000).

2.3.2.2. Volume amnion
Oligohidramnion adalah komplikasi yang umum terjadi dalam
kehamilan, yang selalu berkaitan dengan insufisiensi plasenta dan PJT.
Bila tidak ditemui anomali janin, oligohidramnion merupakan tanda dari
hipoksemia janin yang disebabkanberkurangnya produksi urin janin.
Sedang

pada

postmaturitas,

oligohidramnionyang

terjadi

bukan

disebabkan oleh hipoksemia (Gagnon et al., 2002; Gagnon, Basso dan
Bos, 2013).
Percobaan pada kambing, dengan melakukan embolisasi arteri
uterina untuk membuat janin PJT, menghasilkan janin PJT dengan air
ketuban berkurang. Namun produksi urin janin tidak berkurang bila
dibandingkan sebelum dan setelah embolisasi. Dilaporkan bahwa
oligohidramnionyang terjadi karena absorbsi intramembranous air ketuban
yang berlebihan( Gagnon et al., 2002; Janot et al., 2014).
Berkurangnya jumlah cairan amnion adalahtanda pertama PJT.
Dikatakan oligohidramnion bila tinggi kuadran terbesar, dengan cara
pengukuran vertikal, kurang dari 2 cm atau ICA (indeks cairan amnion)
kurang dari 5 cm. Pada salah satu studi insiden PJT akan meningkat4 kali
dan angka kesakitan meningkat 2 kali dengan ICA borderline ( 5 – 10 cm)
(Bank, dan Miller, 1999 ).

Universitas Sumatera Utara

59

Peneliti lain mendapatkan hal yang berlawanan. Dilaporkan bahwa
oligohidramnion tidak meningkatkan angka kematian janin, meskipun
keadaan oligohidramnion dan lingkar abdomen dibawah persentil ke 10,
namun akan meningkatkan akurasi diagnosis PJT dari 38,1% menjadi
66,7% (Lin dan Santaloya, 1998).Lin (1998) melaporkan dari 147 janin
PJT yang diamatinya, 29% oligohidramnion terjadi pada trimester III dan
tidak ada komplikasi pada janin.
Gagnon (2002) mengatakan bahwa insufisiensi plasenta kronik
menyebabkan terjadinya oligohidramnion, namun tidak disebabkan oleh
jumlah produksi urin janin yang kurang tetapi karena terjadi absorsi air
ketuban yang berlebihan oleh intraamniotik.

2.4. Nefrologi Janin
Pada PJT terjadi peningkatan risiko hipertensi, penyakit jantung,
resistensi insulin dan DM. Namun demikian mekanismenya belum
diketahui secara pasti. Dalam fetal origin hypothesis diduga bukan hanya
terjadi PJT, namun juga terjadi pengurangan pertumbuhan organ-organ
lain. Tujuannya adalah untuk adaptasi dari lingkungan yang kurang baik,
namun dapat mengakibatkan gangguan kesehatan pada masa dewasa
beberapa tahun kemudian (Chatelin, 2000; Lucas, 1999; Patel, 2002;
Resnik dan Craesy, 2014).

Universitas Sumatera Utara

60

2.4.1. Pertumbuhan ginjal
Pertumbuhan ginjal pada janin melalui 3 tahapan.
1. Pronephros.

Pada

Pasangan–pasangan

tahapan
tubulus

ini

ginjal

terbentuk

belum
untuk

berfungsi.
membentuk

pronephros. Dimulai pada usia 3 minggu dan selesai dalam
waktu 2 minggu.
2. Mesonephros. Dimulai dari minggu ke 5 dan selesai pada saat
janin berusia 11 – 12 minggu. Terbentuk 20 pasang glomerulus
dan terjadi penebalan dari dinding tubulus. Pada tahap ini ginjal
sudah dapat memproduksi urin.
3. Metanephros. Pada tahap ini nephrogenesis sangat tergantung
dari interaksi antara uretric bud dengan sel mesenchymal

Tubulus telah berfungsi pada waktu janin berusia 9 – 12 minggu
sedang loop of henle pada minggu ke 14 (Keijzer-Veen, dan van der
Heijden, 2012).
Nephrogenesis pada janin terus berlangsung sampai usia 36
minggu sehingga pada janin yang lahir aterm nephrogenesis sudah
komplet, sedang pada janin yang lahir preterm pertambahan nefron masih
berlangsung setelah lahir (Kusnadi, 2002, Koleganova, 2012 ).

Universitas Sumatera Utara

61

Gambar 2.3.Renal Banching morphogenesis and nephron formation
(Shah, Sampogna dan Sakurai, 2004 ).

Universitas Sumatera Utara

62

Gambar 2.4. Pertumbuhan Ginjal intrauterine pronephros, mesonephros
dan metanephros (Shah, Sampogna dan Sakurai, 2004 ).

2.4.2. Fisiologi ginjal
Ginjal adalah organ ekskresi. Fungsi utama ginjal adalah menjaga
keseimbangan

internal

dengan

jalan

menjaga

komposisi

cairan

ektraselular. Untuk melaksanakan hal itu sejumlah besar cairan difiltrasi di
glomerulus dan kemudian diresorbsi dan disekresikan sepanjang nefron
sehingga

zat-zat

yang

berguna

diserap

kembali

dan

sisa-sisa

metabolisme dikeluarkan sebagai urin, sedang air ditahan sesuai dengan
kebutuhan tubuh ( Alatas, 2002; Koleganova, 2012).

Universitas Sumatera Utara

63

2.4.3. Dua fungsi ginjal
1. Fungsi ekskresi
a. Ekskresi sisa metabolisme protein
Sisa metabolisme protein yaitu ureum, kalium, fosfat, sulfat
organik dan asam urat dikeluarkan melalui ginjal. Sedang sisa
metabolisme karbohidrat dan lemak yaitu CO2 dan H2O dikeluarkan
melalui kulit dan paru (Kusnadi, 2002 ).

b. Regulasi volume cairan tubuh
Mekanisme ini diperantarai oleh hormon anti diuretik (ADH). Bila
tubuh kelebihan cairan maka terjadi rangsang melalui arteri karotis
interna ke osmoreseptor di hipotalamus anterior, kemudian diteruskan
ke hipofisis posteroir sehingga produksi ADH berkurang. Begitu juga
sebaliknya bila kekurangan cairan maka produksi ADH meningkat
(Kusnadi, 2002; Koleganova, 2012).

c. Menjaga keseimbangan asam basa
Keseimbangan asam basa diatur oleh paru dan ginjal. Paru
menjaga jumlah H2CO3 dengan mengatur kadar pCO2 dan ginjal
menjaga konsentrasi NaHCO3.

Universitas Sumatera Utara

64

2. Fungsi endokrin
a. Eritropoesis
Pada pembentukan sel darah merah diperlukan eritropoetin
yang berasal dari proeritropoetin. Proeritropoetin dibentuk oleh hati
dengan perantaraan zat yang dibentuk oleh ginjal yaitu faktor
eritropoetik ginjal (Alatas, 2002; Hershkovitz, Burbea dan Skorcki,
2007).

b. Pengatur tekanan darah
Bila terjadi iskemia ginjal karena stenosis arteri renalis maka
renin

akan

mengubah

angiotensinogen

dalam

tubuh

menjadi

angiotension I, kemudian diubah oleh enzim konvertase di paru
menjadi angiotension II, sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh
darah

perifer

dan

merangsang

kelenjar

adrenal

memproduksi

aldosteron.
Aldosteron bersifat meretensi air dan natrium sehingga volume
darah bertambah. Kombinasi dari keduanya akan menyebabkan
hipertensi (Alatas, 2002; Hershkovitz, Burbea dan Skorcki, 2007).

c. Keseimbangan kalsium dan posfor
Ginjal mempunyai peranan dalam metabolisme vitamin D
(kolekalsiferol). Di hati kolekasiferol akan diubah menjadi

25 OH-

kolekasiferol/D3 yang kemudian oleh ginjal diubah lagi menjadi

Universitas Sumatera Utara

65

metabolit aktif yaitu 1.25 (OH)2 D3 yang dapat menyerap kalsium di
usus (Alatas, 2002; Patel 2010).

2.4.4. Filtrasi glomerulus
Dengan mengalirnya darah ke dalam kapiler glomerulus maka
plasma akan disaring. Hasil filtrasi yang bebas seltersebut, mengandung
semua substansi plasma (elektrolit, glukosa, fosfat, ureum, kreatinin,
peptida, protein-protein dengan berat molekul rendah) kecuali protein
yang berat molekulnya > 68.000 D seperti albumin dan globulin (Alatas,
2002; Patel 2010).
Jumlah filtrasi glomerulus pada janin meningkat seiring dengan
semakin tuanya kehamilan. Namun sebenarnya relatif konstan jika
dibandingkan antara berat ginjal dengan berat janinnyayaitu 1,07 ± 0,12
ml/menit/kg berat janin.
Pada percobaan dengan domba, didapatkan jumlah urin yang
memasuki cairan amnion melalui urachus lewat uretra adalah 600 – 1200
cc/hari. Sedang produksi urin janin

manusia

yang memasuki cairan

amnion adalah 230 – 660 ml/hari (Smith et al., 2000;Patel 2010).

2.4.5. Urin janin
Terjadi peningkatan ekskresi urin yang bersifat tetap antara umur
kehamilan 30-40 minggu dan sesuai dengan berat badan janin. Produksi
urin 9,6±0,9ml/jam pada umur kehamilan 30 minggu, kemudian meningkat
sampai 27,3±2,3ml/jam pada 40 minggu. Berdasarkan berat badan janin,

Universitas Sumatera Utara

66

jumlahnya adalah 6-10 ml/kg/jam pada umur kehamilan 30-40 minggu
(Kusnadi, 2002; Shivalingaiah et al., 2014).
Suatu cara pemeriksaan tidak langsung untuk mengevaluasi
produksi urin adalah USG volume kandung kencingserial. Pemeriksaan
produksi urin janin dengan USG 2D merupakan metode nonivasif, yang
dapat untuk menilai kesejahteraan janin. Dengan metode ini didapatkan
angka kesalahan untuk ukuran kandung kencing 5 – 40 ml adalah 10,9 –
17,3%. Hal ini dapat terjadi karena seleksi gambar yang tidak akurat,
freezing error, atau penempatan titik pengukuran yang kurang tepat
(Fagerquist, Fagerquist dan Oden, 2001; Fagesquist, Fagerquist dan
Steykal, 2002; Fagerquist, Fagerquist dan Oden, 2003). Angka kesalahan
ini dapat dikurangi menjadi 5,5-12.5% dengan
tranduser berupa: sliding, twisting dan

teknik menggerakkan

rocking(Fagerquist,

Fagerquist

dan Oden, 2001).

Universitas Sumatera Utara

67

Gambar 2.5: a Sliding, b Twisting dan c Rocking ( Fagerquist, Fagerquist
dan Steykal, 2002).

Universitas Sumatera Utara

68

Gambar 2.6: Penampang longitudinal dan transversal kandung kencing (
Fagerquist, Fagerquist dan Steykal, 2002).

Pengukuran

volume

kandung

penampamg longitudinal dan tranversal,

kencing

dilakukan

melalui

dengan penempatan titik

pengukuran pada bagian dalam.
Volume dapat diukur dengan formula:
Volume: 4/3 x η x a/2 x b/2 x c/2.

Universitas Sumatera Utara

69

Kalau dilakukan rotasi pada pemotongan longitudinal maka diameter d
adalah sama dengan b dan c sehingga didapat formula:
Volume = 4/3 x η x a/2 x d/2 x d/2 (Fagerquist, Fagerquist dan Oden,
2001; Fagesquist dan Steykal, 2002; Fagerquist danOden, 2003).
Mengukur volume kandung kencing dengan 3 dimensi, jauh lebih
akurat dibanding 2 dimensi, karena secara 2 dimensi diasumsikan bahwa
kandung kencing berbentuk ellips. Bentuk kandung kencing bisa berubah
pada saat urin masuk dari ureter, dimana daerah fundus akan segera jauh
lebih lebar dibandingkan daerah di bawahnya, sehingga asumsi bentuk
ellips akan meningkatkan angka kesalahan.
Untuk menghitung jumlah sekresi urin dilakukan pengukuran
volume serial

kandung kencing setiap 5 – 10 menit. Metode yang

digunakan adalah Virtual Organ Computer-aided Analysis ( VOCAL) 3
dimensi. Dengan rotasi transduser 30o, batas kandung kencing diukur
secara manual sesuai dengan bentuknya pada saat itu (Suwanrath et al.,
2009, Embabe, Abdelmoneum dan Galal, 2014). Sekresi urin setiap jam
dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Urine (ml/jam)= (Volume kandung kencing 2-Volume kandung kencing 1) x
60/n.
n adalah interval waktu pengukuran pertama dan kedua.
Dengan cara ini Lee et al., (2007) melaporkan terjadi peningkatan
produksi urin janin dari 7,3 ml/jam pada usia kehamilan 24 minggu
menjadi 71,4 ml/jam pada saat aterm.

Universitas Sumatera Utara

70

Gambar 2.7. Pengukuran volume kandung kencing secara 3 D VOCAL
(Lee et al., 2007).

Tabel 2.2. Persentil produksi urin janin menurut usia kehamilan (Lee et al.,
2007).

Universitas Sumatera Utara

71

UPR percentiles (mL/h)
GA (weeks)

n

5th

10th

25th

50th

75th

90th

95th

24 + 0 to 25 + 6

16

2.9

3.6

5.0

7.3

10.6

14.8

18.2

26 + 0 to 27 + 6

17

4.6

5.6

7.8 11.2

16.2

22.6

27.6

28 + 0 to 29 + 6

28

6.8

8.3 11.5 16.6

24.0

33.5

40.9

30 + 0 to 31 + 6

31

9.7 11.8 16.5 23.9

34.5

48.1

58.7

32 + 0 to 33 + 6

13 13.4 16.4 22.9 33.1

47.8

66.6

81.3

34 + 0 to 35 + 6

21 18.0 22.0 30.6 44.2

63.9

89.1

108.8

36 + 0 to 37 + 6

12 23.2 28.3 39.6 57.2

82.7

115.4

141.1

38 + 0 to 39 + 6

16 28.6 35.1 49.2 71.4

103.8

145.5

178.3

GA=Gestation age, UPR=urine production rate

Setelah lahir, jumlah urin tiap jam menurun secara nyata pada
neonatus cukup bulan. Setelah penyesuaian pascanatal, laju aliran urin
menurun dan menetap 2-3 ml/kg/jam. Bayi prematur mengeluarkan lebih
banyak urin. Pada umur 28-35 minggu bayi prematur menghasilkan urin
1,01 ml/menit/1,73m2, mendekati 2 kali bayi yang lahir cukup bulan dan
tetap tinggi dalam 6 minggu pertama setelah lahir (Kusnadi, 2002; Kelly
dan Seri, 2008 ).
Oliguria pada neonatus adalah pengeluaran urin < 1 ml/kg/jam.
Tetapi fungsi ginjal neonatus yang baik, tidak hanya dapat ditetapkan dari
produksi urin, sebab banyak kelainan ginjal berat seperti displasia dan
ginjal multisistik produksi urinnya dapat tetap normal. Pada neonatus yang
fungsi ginjalnya diduga terganggu, harus disertakan pemeriksaan kadar

Universitas Sumatera Utara

72

ureum dan kreatinin untuk menegakkan diagnosis (Kusnadi, 2002;
Fagerquist, 2012).

2.5. Ginjal pada Janin PJT
2.5.1. Periode kritis pertumbuhan ginjal
Nefron janin manusia terbentuk sempurna sampai usia kehamilan
36 minggu dan tidak ada pertumbuhan selanjutnya sampai lahir. Hal ini
berbeda dengan tikus yang akan berlanjut sampai 2 minggu setelah lahir.
Konje (1996) melakukan pemeriksaan ultrasonografi ginjal janin
pada potongan longitudinal dan tidak menemukan perbedaan antara ginjal
janin PJT dengan janin normal. Namun ternyata pertumbuhan diameter
antero-posterior, transversal dan sirkumferensial janin PJT lebih rendah,
terutama bila PJT terjadi sejak usia 26 minggu. Perbedaan ini paling jelas
antara usia 26 – 34 minggu dan menetap sampai lahir, sehingga diduga
periode kritis nephrogenesis adalah 26 – 34 minggu. Gangguan pada
masa itu akan menyebabkan berkurangnya jumlah nefron.

2.5.2. Jumlah nefron dan ukuran glomerulus
Dengan menggunakan metode klasik jumlah nefron rata-rata tiap
ginjal adalah 1 juta buah. Namun jumlah yang sebenarnya masih
kontroversi karena metodologi perhitungannya berbeda-beda. Jumlah 1
juta ini ditetapkan dengan metode acid maceration dan histological section
analysis dengan angka bias yang cukup besar (Moore, 1931).

Universitas Sumatera Utara

73

Metode terbaru penghitungan jumlah nefron adalah unbiased
fractionator-sampling/

dissector-counting

methodology.

Metode

ini

pertama kali diterapkan pada 37 orang Denmark dewasa dan ditemukan
jumlah nefron rata-ratanya adalah 617.000 buah ( 331.000 – 1.424.000
buah). Namun 2/3 dari subjek penelitian berumur > 50 tahun, sehingga
kurang menggambarkan jumlah yang sebenarnya. Jumlah nefron akan
semakin berkurang dengan semakin tuanya usia seseorang (Nyengaard
dan Bendtsen,1992; Hoy, Hughson dan Bertram, 2005).
Jumlah glomerulus sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, ras
dan berat badan lahir. Pada pria jumlah nefronnya 17 % lebih banyak dari
pada wanita. Diperkirakan terjadi pengurangan sejumlah 4500 nefron/
tahun pada tiap ginjal sejak usia 18 sampai 70 tahun (Nyengaard dan
Bendtsen, 1992; Hoy, Hughson dan Bertram, 2005; Hughsonet al.,2003;
Sulemanji dan Vakili, 2013). Menurut Nyengaard dan Bendtsen (1992)
pengurangan paling nyata terlihat sejak usia > 60 tahun.
Dari penelitian terhadap 78 orang Amerika dan Australia dewasa
didapatkan jumlah nefron yang hampir sama, yaitu rata-rata 810.646 buah
untuk setiap ginjal, dengan kisaran 228.441 – 1.825.380 buah. Studi lain
melaporkan adanya hubungan langsung antara berat badan lahir dengan
jumlah nefron, dimana ada pertambahan jumlah nefron 250.000 buah
setiap ginjal/kilogram kenaikan berat badan. Berat badan lahir berbanding
lurus dengan jumlah nefron dan berbanding terbalik dengan rata-rata
volume glomerulus (Nyengaard dan Bendtsen, 1992; Hoy, Hughson dan
Bertram, 2005; Hughson et al.,2003; Sulemanji dan Vakili, 2013).

Universitas Sumatera Utara

74

Tabel 2.3 :Karakteristik ginjal kanan dari hasil otopsi orang – orang
Amerika dan Australia pada usia > 18 tahun (Hoy, Hughson dan Bertram,
2005).

Birth Weight (kg)

n

Range1.81 to 3.121
Mean (SD) 2.65 (0.29)

29

770,860
(658,757 to
882,963)

28

965,729
(885,714 to
1,075,744)

Range 3.18 to 3.38
Mean (SD) 3.27 (0.07)
Range 3.41 to 4.94
Mean (SD) 3.93 (0.35)
Pd

No. of
Glomerulib

30

1,005,356
(900,094 to
1,110,599)
0.0126

Mean
Total
Glomerular
Glomerular
Tuft
Tuft
Volume
Volume
(μm3 x
(cm3)c
6 c
10 )
9.2
6.7
(8.3 to
10.1)
(5.9 to 7.5)
7.2

6.8

(6.3 to 8.2)

(6.1 to 7.7)

6.9

6.6

(6.1 to 7.8)
0.0022

(5.9 to 7.4)
0.920

Disamping besarnya variasi dari jumlah nefron pada beberapa
studi, ada 2 hal yang konsisten didapat yaitu: berkurangnya jumlah nefron
pada janin PJT dan volume glomerulus yang lebih besar (Hoy, Hughson
dan

Bertram,

2005).Dari

penemuan

ini

diduga

bahwa

besarnya

glomerulus merupakan kompensasi dari hiperfiltrasi dan hipertopi subyek
atas berkurangnya jumlah nefron (Hoy, Hughson dan Bertram, 2005).
Pada orang-orang yang mempunyai risiko tinggi gagal ginjal seperti
orang kulit hitam, suku Pima India dan penduduk Aborigin Australia, pada
stadium awal penyakit ginjal, terjadi pembesaran glomerulus dan
kemudian akan mengecil dan sklerosis (Zandi-nejad, Luyckx dan Brenner,

Universitas Sumatera Utara

75

2006;Schmidt,Pesce dan Liu, 1992; Young, Hoy dan Kincaid-smith,
2003).
Pada percobaan dengan tikus dengan PJT spontan dan PJT
buatan yang dilakukan ligasi arteri uterina bilateral, terjadi pengurangan
jumlah nefron 20%. Namun rata-rata volume glomerulus lebih besar bila
dibandingkan dengan yang normal dan juga terdapat peningkatan sekresi
proteinuria ( Schreuderet al.,2005).
Pada percobaan binatang yang dibuat PJT dengan pengurangan
konsumsi protein, juga terjadi pengurangan jumlah nefron dan juga
penurunan jumlah filtrasi ginjal, meskipun telah dilakukan koreksi terhadap
berat badan (Schreuder et al.,2005 ).

Grafik 2.1 . Jumlah dan Rata-rata volume glomerulus pada PJT spontan,
PJT buatan dan

kontrol pada tikus jantan dan betina.( Schreuder, et

al.,.,2005)

Universitas Sumatera Utara

76

Grafik 2.2. Jumlah proteinuria pada PJT spontan, PJT buatan dan kontrol
pada tikus( Schreuder, et al.,.,2005)

Studi terhadap 422 orang usia 19 tahun yang lahir preterm (< 32
minggu ) dengan berat badan yang sesuai dengan usianya, tidak ditemui
pengurangan jumlah nefron. Artinya tetap terjadi pertambahan nefron
setelah lahir sampai nephrogenesis komplit sesuai usia kehamilan 36
minggu (Keijzer-Veen, Schrevel dan Finken, 2005).
Hinchcliffe (1992) melakukan penelitian jumlah nefron padan janin
lahir mati dan bayi yang meninggal dalam usia 1 tahun karena PJT dan
mendapatkan pengurangan jumlah nefron yang nyata dibanding dengan
bayi normal.

Universitas Sumatera Utara

77

2.5.3. Pemeriksaan USG volume ginjal janin
Pemeriksaan USG 2D ginjal janin, yaitu menggunakan perkalian
konstanta 0,5233 dengan anggapan bahwa ginjal berbentuk ellips atau
sferis, kurang begitu tepat karena ginjal adalah organ 3 dimensi(El Behery
et al., 2012).
Chen-Hsiang (2000) melakukan pemeriksaan volume ginjal dengan
menggunakan USG 3 D terhadap 152 janin usia 20 – 40 minggu.
Dilakukan visualisasi ginjal dengan penampang longitudinal tepat di
bawah tulang belakang dan dibuat normogram volume ginjal berdasarkan
usia kehamilan. Pada penelitian ini tidak dijumpai perbedaan

yang

signifikan antara volume ginjal kanan dan kiri.

Gambar 2.8. Pengukuran volume ginjal janin dengan 3 D (Chen-Hsianget
al.,2000 ).

Universitas Sumatera Utara

78

Keterbatasan pengukuran USG 3 D adalah pengukurannya harus
dilakukan secara manual dan mengikuti permukaan ginjal dalam keadaan
janin diam. Di samping itu tidak dapat dilakukan pengukuran volume ginjal
pada usia kehamilan < 20 minggu karena batas permukaan ginjal tidak
tampak dengan jelas(Chen-Hsiang et al.,2000 ) .

Tabel 2.4. Volume ginjal kanan berdasarkan usia kehamilan dengan USG
3D (Chen-Hsianget al.,2000) .
RRV
GA
(wk)
5th (mL) 10th (mL)
20
0.32
0.58
21
0.38
1.15
22
1.36
1.73
23
1.89
2.31
24
2.43
2.89
25
2.96
3.47
26
3.49
4.05
27
4.02
4.63
28
4.55
5.20
29
5.08
5.78
30
5.61
6.36
31
6.14
6.94
32
6.67
7.52
33
7.20
8.10
34
7.73
8.68
35
8.26
9.26
36
8.79
9.83
37
9.32
10.99
38
9.85
10.99
39
10.36
11.57
40
10.92
12.15
RRV= Right Renal Volume

50th (mL)
1.49
2.23
2.97
3.71
4.46
5.20
5.94
6.68
7.42
8.16
8.90
9.64
10.38
11.12
11.86
12.60
13.34
14.82
14.82
15.56
16.30

90th (mL)
2.41
3.31
4.21
5.11
6.02
6.92
7.83
8.73
9.63
10.53
11.43
12.34
13.24
14.14
15.04
15.95
16.85
18.65
18.65
19.56
20.46

95th (mL)
2.68
3.63
4.58
5.53
6.49
7.44
8.39
9.34
10.29
11.24
12.19
13.14
14.09
15.04
16.00
16.94
17.89
19.79
19.79
20.74
21.69

Universitas Sumatera Utara

79

Tabel 2.5. Volume ginjal kiri berdasarkan usia kehamilan dengan USG 3D
(Chen-Hsiang, et al.,2000).
LRV
GA
(wk)
5th (mL) 10th (mL)
20
0.63
0.90
21
1.09
1.43
22
1.56
1.96
23
2.03
2.50
24
2.49
3.03
25
2.96
3.56
26
3.42
4.10
27
3.89
4.63
28
4.36
5.16
29
4.82
5.70
30
5.29
6.23
31
5.75
6.76
32
6.22
7.30
33
6.69
7.83
34
7.15
8.36
35
7.62
8.90
36
8.08
9.43
37
8.55
9.97
38
9.01
10.50
39
9.48
11.03
40
9.95
11.57
LRV= Left Renal Volume

50th (mL)
1.80
2.56
3.32
4.08
4.84
5.60
9.36
7.12
7.88
8.65
9.41
10.17
10.93
11.69
12.45
13.21
13.97
14.73
15.50
16.26
17.16

90th (mL)
2.70
3.69
4.68
5.56
6.65
7.64
8.63
9.62
10.61
11.59
12.58
13.57
14.60
15.55
16.54
17.52
18.51
19.50
20.49
21.48
22.47

95th (mL)
2.68
4.02
5.08
6.13
7.19
8.25
9.30
10.36
11.41
12.47
13.53
14.58
15.64
16.69
17.75
18.81
19.86
20.92
21.97
23.02
24.09

Chiung-Hsin (2008) melakukan pengukuran volume ginjal terhadap
28 janin PJT dan membandingkannya dengan janin normal. Terdapat
perbedaan yang signifikan antara volume ginjal janin PJT dengan janin
normal, serta diperoleh nilai cutoff volume ginjal janin PJT yaitu pada
persentil 10 dengan sensitifitas 96,4% dan spesifitas 95,9%.

Universitas Sumatera Utara

80

2.5.4. Penyebab berkurangnya jumlah nefron
Banyak keadaan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ginjal
janin.Secara umum pada binatang percobaan, pengaruh lingkungan
merupakan faktor yang paling menentukan.
Pada manusia nephrogenesis dimulai pada usia kehamilan 8
minggu dan berakhir sampai sampai usia 36 minggu. 2/3 pertumbuhan
nefron terjadi pada trimester akhir (McMillen dan Robinson, 2005; Zandinejad, Luyckx dan Brenner, 2006 ).

Beberapa dugaan etiologi berkurangnya jumlah nefron:
1. Teori Kehidupan.
2. Defisiensi Glial cell line – Derived Neutrophic Factor.
3. Peningkatan apoptosis.
4. Penurunan sistem renin angiotension.
5. Peningkatan glukokortikoid.

1. Teori Kehidupan
Dibuat percobaan binatang malnutrisi protein dan kalori sesuai
dengan teori kehidupan. Pada keadaan malnutrisi akan terjadi proteksi
terhadap pertumbuhan organ-organ penting seperti otak, jantung dan
kelenjar adrenal dengan peningkatan aliran darah ke organ tersebut.
Sedangkan pada ginjal terjadi penurunan aliran darah sehingga terjadi
pengurangan pertumbuhan pada ginjal (Cullen-Mcewen, Kett dan
Dowling, 2003).

Universitas Sumatera Utara

81

Kekurangan nutrisi asam amino methionine dan glycine akan
mengubah metilasi DNA yang akan menyebabkan terganggunya regulasi
dari expresi gen pembuat nefron sehingga menyebabkan berkurangnya
jumlah nefron (McMillen danRobinson,2005; Zandi-nejad, Luyckx dan
Brenner, 2006 ).

2. Defisiensi Glial cell line – derived neutrophic factor (GDNF)
GDNF merupakan inisiator proses percabangan uretric melalui
pengaruhnya terhadap reseptor tirosin kinase ret. Defisiensi homozygote
GDNF pada tikus akan menyebabkan renaldisgenesis yang berat dan
tikus akan segera meninggal setelah lahir. Sedangkan bila heterozygote
akan terjadi pengurangan 30% jumlah nephron, yang segera berlanjut
menjadi hipertensi dan glomerulomegali. Menariknya pemberian vitamin A
dapat mencegah gangguan nephrogenesis ini, yaitu dengan menstimulasi
langsung tirosis kinase ret(Cullen-Mcewen, Kett, Dowling, 2003).

3. Peningkatan Apoptosis
Pertumbuhan organ merupakan keimbangan antara proliferasi
dengan apoptosis. Pada PJT karena kekurangan diet protein ataupun
insufisiensi uteroplasenter akan menyebabkan peningkatan metanephric
apoptosis. Sehingga sel progenitor yang penting untuk proliferasi nefron
berkurang (Cullen-Mcewen et al., 2003; Hershkovitz et al., 2007 ).
Diduga terjadi penurunan Pax-2 dan Bcl-2 yang merupakan anti
apoptosis dan peningkatan faktor proapoptosis (Bax dan p53). Perubahan

Universitas Sumatera Utara

82

pada p53 mRNA, yang merupakan promoter region, sangat erat kaitannya
dengan berkurangnya metilasi pada DNA, yang juga menyebabkan
hipometilasi pada exon 5 dan exon 8, sehingga terjadi peningkatan
caspase-3 dan berkurangnya jumlah nefron. Peneliti lain menduga
insufisiensi uteroplasenter menimbulkan stress oksidatif dan berkurangnya
kadar glutathione ginjal, sehingga terjadi apoptosis (Pham, MacLennan
dan Chiu, 2003; Welham, Wade dan Woolf, 2002, Welham, Riley dan
Wade, 2005).

Gambar 2.9. Mekanisme pengurangan jumlah nefron pada PJT ( Zandinejad, Luyckx, Brenner, 2006).

Universitas Sumatera Utara

83

4. Penurunan Renin-Angitension Sistem
Seluruh bagian dari RAS sangat berperan dalam nephrogenesis.
Pada PJT dengan penurunan

RAS pada saat nephrogenesis akan

menyebabkan pengurangan jumlah nephron
angiotension II tipe 2 reseptor

dan hipertensi,

karena

merupakan stimulus Pax-2 sebagai

antiapoptosis. Selain itu peningkatan glokukortikoid pada PJT akan
menyebabkan berkurangnya kadar intra renal RAS (Vehaskari, Stewart
dan Lafont, 2004; Wood dan Rasch, 1998, Segar, 1995; Zhang,2004).

Gambar 2.10. Insufisensi plasenta pada periode kritis dari nephrogenesis.
(McMillen danRobinson, 2005).
5. Peningkatan kadar Glukokortikoid

Universitas Sumatera Utara

84

Pada

tahun

1990

dipublikasikan

hubungan

antara

kadar

glokukortikoid dengan terjadinya hipertensi pada orang dewasa (Edward,
Benediksson dan Lindsay, 1993).Dalam keadaan normal janin terlindungi
dari kortikosteroid dibawah pengaruh 11 B- hydroxysteroid dehydrogenase
type 2 (11B-HSD2) plasenta, yang mengubah kortisol menjadi kortison
yang tidak aktif. Hanya sebagian kecil dari kortison yang diteruskan ke
janin yaitu< 20%. Pada PJT terjadi penurunan kadar 11B-HSD2 sehingga
didapati kadar steroid yang tinggi. Kadar steroid yang tinggi ini akan
menghambat nephrogenesis dengan cara mempengaruhi transpor ion dan
RAS(Jones et al., 2011).

Gambar

2.11.

Pengaruh

dari

Renin

angiotension

system

pada

nephrogenesis pada periode kritis nephrogenesis pada tikus dan kambing
( McMillen dan Robinson, 2005).

2.5.5. Program pembentukan ginjal

Universitas Sumatera Utara

85

Pertumbuhan ginjal dapat terprogram dengan beberapa keadaan
intrauterine ataupun pada saat neonatal termasuk faktor ibu berupa
malnutrisi, insufisiensi plasenta, penyakit-penyakit ibu seperti hipertensi,
diabetes malletus, efek perubahan hormon dan pengaruh obat-obatan,
alkohol, toksin dll. Gangguan pertumbuhan janin intrauterine merupakan
penyebab paling sering terganggu perkembangan dari ginjal, sedangkan
faktor dari ginjal sendiri yang berpengaruh adalah, sistem renin
angiotension, ekresi dan resorbsi natium di tubulus nefron serta efek saraf
simpatik dari ginjal (Kett dan Denton, 2010 ). Faktor lain yang
berpengaruh terhadap program pembentukan ginjal adalah stress
oksidatif, infitrasi sel immun serta perubahan reaktivitas pembuluh darah
ginjal. Semua faktor - faktor ini bersinergi dalam pembentukan program
ginjal.
Dasar pembuktian adanya program ini adalah berdasarkan
penelitian pada hewan yang memperlihatkan perubahan struktur dan
fungsi dari ginjal sebagai hadil adaptasi terhadap lingkungan yang buruk
selama intrauterine.Salah satu tanda terjadinya renal programming karena
berkurangnya jumlah nefron adalah hiperfiltrasi dan hipertropi dari
glomerulus dan tubulus yang sudah dimulai sejak didalam kandungan dan
berlanjut terus sampai lahir, yang pada saat dewasa nanti akan
menyebabkan hipertensi dan gagal ginjal (Kett dan Denton, 2010).

Universitas Sumatera Utara

86

Gambar 2.12. Skema pengaruh stressor fisiologis dan lingkungan
terhadap pemrograman ginjal dari konsepsi sampai kematian pada
manusia (Kett, Denton, 2011).

Universitas Sumatera Utara

87

2.5.6. Ekskresi sodium
Pada modelfetal programming, pemberian deksametason akan
menyebabkan PJT, ukuran ginjal lebih kecil, kurangnya jumlah nephron,
hipertensi, albuminuria, penurunan filtrasi glomerulus, penurunan ekskresi
sodium yang menyebabkan penumpukan sodium pada jaringan. Hal yang
sama ditemukan pada percobaan binatang, pemberian deksametason
menyebabkan PJT, kurangnya jumlah nefron dan terjadi hipertensi pada
usia 8 minggu, namun tidak terjadi penumpukan sodium.Hal ini
disebabkan karena peningkatan ekspressi sodium cotransforters NA-K2CL ( BSC1 302% ) dan Na – Cl (TSC 157%) ( Celsi, Kistner dan Eklof
1998; Bauer, Walter dan Klupsch, 2002; Manning, Buetler dan Knepper,
2002 ).

Gambar2.13. Presentasi reabsorbsi sodium sepanjang nefron ( Mullins,
Baley dan Mullins, 2006).

Universitas Sumatera Utara

88

2.5.7. Proteinuria pada PJT
Kurangnya jumlah nefron pada PJT akan meningkatkan risiko
hipertensi

dan penyakit ginjal. Hal ini disebabkan karena terjadinya

hiperfitrasi dan hipertropi pada glomerulus. Dengan berkurangnya jumlah
nefron pada ginjal, maka untuk tetap dapat berfungsi dengan baik, sisa
nefron yang ada akan membesar(hipertropi) karena terjadi hiperfiltrasi.
Akibat terjadi hiperfitrasi pada nefron akan menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik intra kapiler glomerulus, yang pada akhirnya
menimbulkan kerusakan dinding kapiler.Kerusakan ini menyebabkan
proteinuria dan penurunan filtrasi glomerulus (Brenner, Lawler dan
Mackenzie, 1996).
Aspek klinis dari kurangnya nefron dapat dilihat pada individu yang
hanya mempunyai 1 buah ginjal seperti agenesis ginjal unilateral
ataunephrectomy. Kejadian proteinuria, hipertensi, gagal ginjal kronik
meningkat secara bermakna dibandingkan kontrol ( Rugui, 1986; Thorner,
1984; Zucchelli, 1985 ).

Universitas Sumatera Utara

89

Gambar 2.14. Mekanisme terjadinya gangguan fungsi ginjal pada PJT
(Hershkovitz, Burbea dan Skorecki, 2007).

2.5.8. Arteri renalis
Tiap ginjal menerima kira-kira 25% isi sekuncup jantung. Bila
dibandingkan dengan berat organ ginjal hal ini merupakan suplai darah
terbesar di dalam tubuh manusia. Suplai darah pada setiap ginjal
biasanya berasal dari arteri renalis yang keluar dari aorta. Arteri renalis
bercabang menjadi arteri interlobaris, yang berjalan melewati medula
menuju batas antara kortek dan medula. Di sini arteri interlobaris
bercabang membentuk arteri arkuata yang berjalan sejajar dengan
permukaaan ginjal. Arteri interlobularis berasal dari arteri arkuata akan
bercabang menjadi arteriol aferen glomerulus (Alatas, 2002).

Universitas Sumatera Utara

90

2.5.9.1.Pemeriksaan doppler arteri renalis
Cara terbaik untuk memeriksa arteri renalis adalah dengan
menampilkan lebih dahulu aorta dan hilum ginjal dengan pemotongan
koronal, dimana arteri renalis akan tampak berada di sebelah lateral aorta
abdominal. Bila janin bergerak atau bernafas akan sangat sulit
mendapatkan sinyal yang adekuat. Dengan kesabaran dan pengalaman
dari operator, umumnya pemeriksaan doppler arteri renalis

dapat

dilakukan pada 90% kasus.
Dengan menggunakan color flow mapping pembuluh darah kecil
pada janin dapat terlihat dengan baik termasuk arteri renalis. Pengukuran
doppler pada arteri renalis telah banyak dilakukan pada keadaan patologis
seperti

pertumbuhan

janin

terhambat,

kehamilan

lewat

waktu,

polihidramnios, oligohidramnion, dsb (Vyas, Nicolaides dan Cambell,
1989; Arduini dan Rizzo 1991).
Melakukan color mapping berguna untuk membedakan bahwa
sinyal yang datang bukan berasal dari aorta. Gambaran khas gelombang
doppler arteri renalis adalah puncak sistol yang tinggi disertai gelombang
diastol yang rendah namun kontinu. Dengan demikian mudah dibedakan
dengan gelombang doppler aorta.
Lokasi

pemeriksaan

doppler

arteri

renalis

ternyata

sangat

bervariasi. Bila dilakukan di proksimal dekat percabangan aorta maka
sering terjadi turbulensi arus darah sehingga hasil yang didapatkan tidak
optimal. Jadi sebaiknya menurut Veille (1997) pengukuran dilakukan
pada daerah distal. Haugen (2004) mengatakan pengukuran dilakukan

Universitas Sumatera Utara

91

Gambar 2.15. Arteri renalis berada di lateral kanan dan kiri aorta
abdominal (Veille dan Kanaan, 1989).
pada daerah distal sebelum mencapai percabangan di ginjal serta
menganjurkan pemeriksaan doppler arteri renalis kiri.
Pemeriksaan

doppler

juga

sangat

tergantung

dari

sudut

pengambilan. Bila sudut pengambilan > 30° akan dengan nyata
mempengaruhi doppler shift dan sinyal gelombang doppler. Bila sudut
80°-90° maka tidak akan dijumpai adanya doppler shift sehingga
visualisasi gelombang doppler akan gagal (Veille dan Kanaan, 1989).

2.5.9.2. Pemeriksaaan doppler arteri renalis janin normal
Vyas (1989) pertama kali melaporkan pemeriksaan doppler pada
arteri renalis pada 114 janin normal berusia 17 – 43 minggu kehamilan,
dimana nilai pulsatility index (PI) arus darah arteri renalis menurun dengan

Universitas Sumatera Utara

92

semakin tuanya kehamilan. Pada lebih dari 54% janin normal didapati
absent end diastolic flow. Oleh karena itu Vyas (1989) membuat
normogram gelombang arteri renalis berdasarkan nilai PI.
Hal yang sama juga dilaporkan oleh Hecher (1989) yang
melakukan pemeriksaan doppler arteri renalis pada 19 kasus janin normal
dengan usia antara 22 – 40 minggu. Ia mendapatkan lebih dari 20% kasus
dengan gelombang absent end diastolic flow, meskipun pertumbuhan
janin normal dengan air ketuban yang cukup. Pada penelitian longitudinal
yang dilakukan oleh Veille (1989) terhadap 22 janin normal, didapatkan
semuanya gelombang diastolenya absent.
Veille (1989) melakukan penelitian longitudinal doppler arteri renalis
terhadap janin normal usia 20 – 40 minggu dan mendapatkan:
1. Peak flow velocity ( PFV) sedikit meningkat seiring dengan semakin
tuanya kehamilan, meskipun tidak berbeda secara significant.

Grafik 2.16. Normogram normal PI arteri renalis usia 17 – 43 minggu (
Vyas, Nicolaides dan Cambell, 1989 ).

Universitas Sumatera Utara

93

2. Tidak dijumpai perbedaan yang bermakna rasio sistolik-diastolik
(SD) dengan semakin tuanya kehamilan.
3. Time velocity integral (TVI) meningkat secara nyata dengan
semakin tuanya kehamilan.
Hougen (2004) mengatakan arteri renalis kanan berada lebih tinggi
dan lebih panjang dari arteri renalis kiri. Oleh karena arteri renalis kanan
lebih panjang maka variasi morfologi pada saat pengukuran akan sangat
tinggi sehingga untuk mendapatkan nilai yang optimal dianjurkan
pengukuran arus darah pada arteri renalis kiri. Disamping itu, pengukuran
pada daerah proksimal dekat aorta abdominal akan sering terjadi
turbulensi,

maka

sebaiknya

dilakukan

pada

daerah

distal

dekat

percabangan arteri renalis pada ginjal.
Pada janin PJT nilai PI senantiasa lebih tinggi dari janin normal dan
ditemui korelasi negatif dengan jumlah air ketuban dimana pada
oligohidramnios terjadi kenaikan nilai PI (Sohn, 2004: Mari, 2001).Arus
darah Arteri renalis relatif stabil pada PJT dibanding janin normal kecuali
bila telah terjadi sentralisasi arus darah ke kepala yang ditandai dengan PI
arteri cereberal < 2. (Serralde, Flgueroa-Diesel dan Hernandez-andrade,
2006)
Pada keadaan normal resistensi arteri renalis akan menurun seiring
dengan tuanya kehamilan yang menandakan terjadinya peningkatan
perfusi darah ke ginjal (Takey dan Cambell, 2000). Namun tidak semua
parameter arus darahnya meningkat. Beberapa peneliti mendapatkan