Analisis Hukum Tindak yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik Dalam Persfektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.17 Pid.Sus-TPK 2016 PN.MDN)

BAB II
PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA KORUPSI
DANA DESA
Di Indonesia langkah - langkah pembentukan hukum positif untuk
menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan
sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah
korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya
Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat
(Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur
mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut : 54
1. Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:
a. Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh
Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan
Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada
dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk
kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan
suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian
keuangan atau perekonomian. 55 Tiap perbuatan yang dilakukan oleh
seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan
mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang


54

Evi Hartanti, Op.cit, halaman 22
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UUNo.31
Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung 2001, hlm. 13.
55

41
Universitas Sumatera Utara

diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa
keuntungan keuangan material baginya. 56
b. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang
pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat
secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk
perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya
lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta
Benda (PHB).
c. Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan

peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh
Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang
dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari
Pengadilan Tinggi.
d. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor
PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.
e. Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor
PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor
42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan
Laut. 57
2. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

58

Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang- Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari
56


Ibid, hlm.13-14.
Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi
Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005
58
Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, halaman 15
57

42
Universitas Sumatera Utara

berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat kedaruratan,
menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.

59

Undang ini

merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun

1961. 60
3. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387),
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan
undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150),
tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember
2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137.
TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang
hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam pasal tersebut
dinyatakan, “ Ketentuan- ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini
Undang- undangjuga berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan
perundang- undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh UndangUndang ditentukan lain.” 61
Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang- undangan mengatur
lain daripada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk

59


Konstitusi RIS dicabut dengan berlakunya UUDS 1950 dan UUDS 1950 dicabutdengan Dekrit
Presiden RI tanggal 5 Juli 1959
60
Evi Hartanti, op. Cit, halaman 22-23
61
Ibid, hlm., 23

43
Universitas Sumatera Utara

aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi
Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan
perundang- undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuanketentuan yang telah diatur dalam KUHP.
Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya
terdapat ketentuan- ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang
melakukan delik jabatan, pada khususnya delik- delik yang dilakukan oleh pejabat
yang terkait dengan korupsi.
Ketentuan- ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP
dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan
tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundangundangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisis

serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan
berlakunya Undang- Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi,
maka ketentuan Pasal 209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388
KUHP, Pasal 415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal
419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP, Pasal 434
KUHP dinyatakan tidak berlaku. 62
Perumusan tindak pidana korupsi menutur pasal 2 ayat 1 Undang- undang
Nomor 31 tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi) yang
memenuhi unsur/elemen dari pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak
pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap Orang”, tidak ada keharusan
62

Ibid, hlm. 25.

44
Universitas Sumatera Utara

Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus
sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau
perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau korporasi adalah sebagai berikut: 63
1. Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa perbuatan melawan hukum itu
pelaku menikmatibertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya
sendiri.
2. Memperkaya orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum
dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya
atau bertambahnya harta bendanya. Jadi, di sini yang diuntungkan bukan
pelaku langsung.
3. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan
dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu
korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang
terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum
(Pasal 1 angka 1 undang- undang Nomor 31 Tahun 1999).
Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak
peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana
korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang- Undang
Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun
2002. Secara substansi Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur


63

Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, 2002, halaman 31.

45
Universitas Sumatera Utara

berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak
pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam Undang- Undang ini tindak pidana
korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri
telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang
tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum
sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undangundang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula
dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut
umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam
segi pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan
sebagai kontrol, undang- undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan
mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran

Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana
korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan dunia Internasioanal. Hal ini
dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang
memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa
lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkan
dengan penanda tangan jonvensi ini. Salah satu yang penting dalam konvensi inia
adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil
korupsi yang ada di luar negeri. 64

64

Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penerbit Penaku bekerjasamadengan
Maharini Press, Jakarta 2008, halaman 49-50.

46
Universitas Sumatera Utara

A. Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No.20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

a. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang
No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pengertian Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang- Undang No.31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki pengertian yaitu : 65
” Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Dari bunyi pasal yang demikian, jelas pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun
2001, menghendaki agar siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana
korupsi, sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001,
akan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Berkaitan dengan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam pasal 2

ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, pada pasal 2 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001,
Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak

65

UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi

47
Universitas Sumatera Utara

Pidana Korupsi, juga menegaskan bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan
bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang
meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak
pidana korupsi, maka para pelaku tersebut dapat di pidana mati.
Menurut Darwin Prinst, (2002 : 23), keseluruhan sanksi yang terdapat
dalam UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999,
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan khususnya yang terdapat
dalam pasal 2 ayat (1) pada dasarnya menganut 3 sifat dari ancaman pidana,
yakni: Pertama, kata “dan atau” yang tertuang dalam suatu ketentuan pemidanaan,
maka pemidanaan dalam ketentuan tersebut bersifat komulatif dan alternatif. 66
Kedua, kata “dan” yang terdapat dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka
pemidanaan dalam ketentuan tersebut adalah bersifat komulatif. Ketiga, kata
“atau” yang tertera dalam suatu ketentuan pemidanaan, maka pemidanaan dalam
ketentuan tersebut bersifat alternatif.
Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31
Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga menghendaki
agar istilah korupsi diartikan sebagai setiap orang baik pejabat pemerintah
maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Itu berarti, unsur/elemen yang terkandung dalam pasal ini
dan harus dibuktikan berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah
Pertama, Adanya pelaku dalam hal ini SETIAP ORANG. Kedua, adanya
66

Darwin Prinst,Op.Cit hlm.23.

48
Universitas Sumatera Utara

perbuatan yang mana perbuatan tersebut harus dilakukan secara MELAWAN
HUKUM. Ketiga, tujuan dari perbuatan tersebut yakni untuk MEMPERKAYA
DIRI SENDIRI, ORANG LAIN ATAU KORPORASI. Keempat, akibat
perbuatan tersebut adalah DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA
ATAU PEREKONOMIAN NEGARA. SETIAP ORANG Pasal 2 ayat (1) UU
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menghendaki
agar yang disebut sebagai pelaku tindak pidana korupsi adalah “setiap orang”.
Istilah “setiap orang” dalam konteks hukum pidana harus dipahami sebagai orang
perorangan (Persoonlijkheid) dan badan hukum (Rechtspersoon).
Untuk konteks UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, para koruptor itu bisa juga korporasi (lembaga yang berbadan
hukum maupun lembaga yang bukan berbadan hukum) atau siapa saja, entah itu
pegawai negeri, tentara, masyarakat, pengusaha dan sebagainya asal memenuhi
unsur-unsur yang terkandung dalam pasal ini. MELAWAN HUKUM Perbuatan
melawan hukum dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, seharusnya
dipahami secara formil maupun secara materil. Secara formil berati perbuatan
yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melawan/bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Seperti UU No. 8 Tahun 1981, Tentang KUHP, UU No. 20 Tahun 2001,
Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999, Tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, 67 PP No. 105 Tahun 2000,

67

UU Nomor.28 Tahun 1999,Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi,Kolusi dan Nepotisme.

49
Universitas Sumatera Utara

tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, 68 PP No. 109
Tahun 2000, Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah, PP No. 110 Tahun 2000, tentang kedudukan keuangan DPRD, 69 dll.
Sedangkan secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak pidana
korupsi adalah perbuatan yang walaupun tidak bertentangan peraturan perundangundangan yang berlaku namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat di pidana. Perluasan unsur “melawan
hukum” ini sangat ditentang oleh sebagian ahli hukum dan sangat berpengaruh
dalam proses penegakan hukum sekarang.
Alasan dari pihak yang menolak perluasan unsur melawan hukum ini
adalah jika unsur “melawan hukum” ini diartikan secara luas, maka pengertian
melawan hukum secara materil (Materiele Wederrechttelijkeheid) dalam Hukum
pidana diartikan sama dengan pengertian “melawan hukum (Onrechtmatige
Daad)” dalam pasal 1365 KUH Perdata dan ini sangat bertentangan dengan asas
legalitas yang dalam bahasa Latin, disebut : “Nullum Delictum Nulla Poena Lege
Pravie Poenali” yang dalam hukum pidana Indonesiaa pengertiannya telah
diadopsi dan dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “suatu
perbuatan tidak dapat dihukum/dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan yang telah ada”.
Pasal 2 ayat (1) juga merupakan pasal utama dalam hal menjerat para
pelaku tindak pidana korupsi,memiliki unsur-unsur yaitu sebagai berikut : 70
68

Peraturan Pemerintah Nomor. 109 Tahun 2000, Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah.
69
Peraturan Pemerintah No. 110 Tahun 2000, tentang kedudukan keuangan DPRD.

50
Universitas Sumatera Utara

a. Setiap Orang;
b. Melawan Hukum;
c. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi;
d. Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.
Penjelasan unsur-unsur tersebut sebagai berikut :
1. Setiap Orang
Kata “setiap orang” menunjukan kepada siapa orannya harus bertanggung
jawab atas perbuatan/kejadian yang didakwakan atau siapa orang yang harus
dijadikan terdakwa. Kata setiaporang identic dengan terminology kata “barang
siapa” atau hij dengan pengertian sebagai siapa saja yang harus dijadikan
terdakwa/dadar atau setiap orang sebagai subjek hukum (pendukung hak dan
kewajiban) yang dapat diminta pertanggung jawaban dalam segala tindakannya
sehingga secara historis kronologis manusia sebagai subjek hukum telah dengan
sendirinya ada kemampuan bertanggung jawab kecuali secara tegas undangundang menentukan lain. Oleh karena itu kemampuan bertanggung jawab
(toeerekeningsvaaanbaarheid) tidak perlu dibuktikan lagi karena setiap subjek
hukum melekat erat dengan kemampuan bertanggung jawab sebagaimana
ditegaskan dalam Memorie van Toelichting (MvT).
Maksud dari kata “setiap orang” dalam pasal 1 butir 3 UU No. 31 /1999
adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Dalam hal ini adalah subjek
atau pelaku tindak pidana yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya
yang terdiri dari perseorangan atau korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang
dan atau kekayaan yang teroganissi baik merupakan badan hukum maupun bukan
70

Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999

51
Universitas Sumatera Utara

badan hukum. Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999
ditegaskan bahwa:
“Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya”.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 20 ayat 1 dijelaskan bahwa dimaksud
dengan “pengurus”

adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan

korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggran dasar, termasuk mereka yang
dalam kenyataanya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan
korporasi yang dapat dikualifikasi sebagi tindak pidana korupsi. 71
2. Melawan hukum
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dijelaskan dalam
penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 31/1999 yaitu mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formal amaupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggab tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut
dapat dipidana. Kemudian dalam penjelasan pasal 1 ayat 1 sub a UU No. 3/1971
bahwa perbuatan “melawan hukum tidak dijadikan sebagai perbuatan yang dapat
dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah sarana untuk melakukan
perbuatan yang dapat dihukum yaitu “memeperkaya diri sendiri” atau “orang
lain” atau “suatu badan”.
Dalam unsur ini, pembentuk undang-undang mempertegas elemen secara
melawan hukum yang mencakup perbuatan melawan secara formil dan materiil,

71

Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Buku II, Edisi Revisi tahun 2005, hal 209
dan Putusan MA No. 1398 K/pid/1994 tanggal 30 Juni 1995.

52
Universitas Sumatera Utara

yakni meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
akan tetapi apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, perbuatan
tersebut dapat dipidana.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub a UU No. 3/1971 bahwa
“perbuatan melawan hukum” tidak dijadikan sebagai perbuatan yang dapat
dihukum, melainkan melawan hukum ini sarana untuk melakkan perbuatan yang
dapatdihukum yaitu “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu
badan”.
Dalam unsur ini, pembentuk undang-undangmempertegas elemensecara
“melawan hukum” yang mencakup perbuatan melawan hukum secara formil dan
materiil, yakni meskipun perbuatan ini tidak diatur dalam peraturan perundangundangan , akan tetapi apabila diangap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, perbuatan
tersebut dapat dipidana.
Pada

dasarnya

perbuatan

melawan

hukum

formal

(formale

wederrechtelijk) dan perbuatan hukum materiil (materiede wederrechtelijk) telah
lama dianut dalam sistem peradilan peradilan. Kemudian dalam praktik peradilan
tindak pidana korupsi khususnya terhadap perbuatan melawan hukum materiil
(materiele wederrechtelijk) melalui yurisprudensi.
Putusan MA No. 42.K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 yang menerapkan
sifat melawan hukum materiil dengan fungsi yang bertujuan menghilangkan alas
an penghapus pidana (tidak tertulis). Mahkamah Agung berpendapat bahwa
adannya tiga factor yang menghapuskan sifat melawan hukum suatu perbuatan.

53
Universitas Sumatera Utara

Pertimbangan didasararkan asas-asas keadilan dan asas-asas hukum yang tidak
tertulis. 72
3. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
Memperkaya diri sendiri atau suaty memperkaya korporasi perkataan
“memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan” yang jika
dihubungkan dengan pasal 18 ayat 2 UU No. 3/1971, maka merupakan upaya
untuk mengumpulkan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau
penambahan kekayan dari sumber-sumber yang tidak sah, yang memberi
kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan sumber kekayaanya
sedemikian rupa.
Terminology “memeperkaya” dalam konteks tindak pidana korupsi ini
telah dikenal mellaui ketentuan pasal 12 ayat 2 Peraturan Perang Pusat Kepala
Staf Angkatan Darat No. Prt/peperpu/013/1958 tanggal 16 April 1958 jo
Peraturan Pengusaha Perang kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I/1/7 tanggal 17
April 1958, Pasal 1 huruf b UU No. 24 Prp Thaun 1960, pasal 1 ayat 1 huruf a UU
no. 3/1971 dan Pasal 2 ayat 1 UU no. 3/1971.
Pada dasarnya, maksud “memeperkaya diri sendiri” dapat ditafsirkan
bahwa pelaku bertambah kekayaanya atau menjadi lebih kaya karena perbuatan
korupsi yag dilakukan tersebut. Modus operanndi perbuatan memperkaya diri
sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan membeli, menjual,

72

Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, normative, teoritis, Praktik dan masalahnya, alumni
Bandung, hal 83.

54
Universitas Sumatera Utara

memindah bukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainny
sehingga pelakujadi bertambah kekayaanya. Memperkaya “orang lain” menurut
Darwin Prinst adalah bahwa akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh pelaku , ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau
bertambahnya harta bendannya. 73
4. Dapat merugikan keuangan /perekonomian negara
Keuangan Negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan Negara dalam
bentuk apa pun, yang dipisahkan

atau yang tidak dipisahkan,

termasuk

didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang
timbul karena :
a) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat
lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah;
b) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan

pertanggung jawaban Badan

Usaha Milik Negara / Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan Hukum,
dan Perusahaan yang menyertakan

modal Negara atau perusahaan yang

menyertakan pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian

yang disusun

sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat
secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat
maupun didaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan
kepada kehidupan rakyat. Referensi praktik peradilan Mahkamah Agung

RI

dalam Putusan No. 1164 K/Pid/1985 tanggal 31 Oktober 1986 dalam perkara
73

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT Citra Aditya Bakti, bandung hal.31.

55
Universitas Sumatera Utara

Tony Gozaly als Go Tiong Kien memberikan konklusi tentang perbuatan terdakwa
yang merugikan perekonomian Negara yaitu perbuatan terdakwa yang
membangun tanpa izin diwilayah perairan milik Negara sehinnga Negara tidak
bisa mempergunakan untuk kepentingan umum, sehingga perbuatan tersebut
dikategorikan sebagai perbuatan yang merugikan keuangan Negara. Adapun
pertimbangan Mahkamah Agung RI dalam putusan tersebut adalah bahwa
“perbutan terdakwa tersebut adalah melawan hukum, karena ia membangun
diatasnnya tanpa hak/tanpa izin yang berwajib dan sebagai akibat dari
perbuatannya tersebut sebagian

dari wilayah perairan

pelabuhan ujung

pandang tidak dapat digunakan lagi untuk kepentingan umum. Bahwa wilayah
perairan tersebut adalah milik Negara, sehingga penggunaan dari padannya
oleh terdakwa jelas merugikan perekonomian Negara”.
b. Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang No.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara tegas
menyatakan : 74
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

74

Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

56
Universitas Sumatera Utara

Unsur-unsur Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 juncto Undangundang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yaitu:
a) Setiap orang;
b) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
c) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan;
d) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
1. Unsur “Setiap orang”
Bahwa, dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-undang No. 31 Tahun 1999
secara tegas menyatakan definisi dan pengertian dari kata “Setiap Orang” adalah
orang perseorangan atau termasuk korporasi. 75
Bahwa, menurut Sudikno Mertokusumo:
“Subyek hukum (subjectum juris) adalah segala sesuatu yang dapat
memperoleh, mempunyai atau menyandang hak dan kewajiban dari
hukum, yang terdiri dari :
a) orang (natuurlijkepersoon);
b) badan hukum (rechtspersoon).”
Unsur “setiap orang” hanya merupakan element delicht dan bukan
bestandeel delict (delic inti) yang harus dibuktikan. Artinya, unsur setiap orang
harus dihubungkan dengan perbuatan selanjutnya, apakah perbuatan tersebut
memenuhi unsur pidana atau tidak. Menurut Simons, merumuskan strafbaar feit
atau delik sebagai berikut :
“eene strafbaar gestelde, onrechtmatige. Met schuld in verband staande,
van een toekeningsvatbaar persoon”

75

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty Yogyakarta, Yogyakarta,
1999, h. 12, 68-69)

57
Universitas Sumatera Utara

Artinya : Suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan pidana,
bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang
itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya. 76
Mr. Drs. H.J. Van Schravensijk, berpendapat mengenai unsur barang siapa
sebagai berikut:
“Barang siapa mengerdjakan suatu perbuatan, jang tidak dapat
ditanggungkan kepadanja karena kurang sempurna ‘akalnja atau karena
sakit berubah’ akal, tidak boleh dihukum.” 77
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga,
pengertian “barangsiapa” adalah sama dengan: “siapapun, sembarang orang, siapa
saja”.

78

UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

yang dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001,
mengartikan Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara adalah sebagai
berikut:
A. Pegawai Negeri Sipil:
” Pegawai Negeri adalah meliputi :
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Kepegawaian;
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah;

76

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, h. 98
Mr. Drs. H.J. Van Schravensijk, Buku Peladjaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B.
WOLTERS, Djakarta-Groningen, 1956, hlm. 138
78
Hasan Alwi, Dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Ketiga, Departemen
Pendidikan Nasional-Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hlm. 1059

77

58
Universitas Sumatera Utara

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.”
B. Penyelenggara Negara:
”Pasal 5 ayat 2: Ayat (2): Yang dimaksud dengan "penyelenggara negara"
dalam Pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih

dan

Bebas

dari

Korupsi,

Kolusi,

dan

Nepotisme.

Pengertian

"penyelenggara negara" tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam
Undang-undang ini.”
Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme:
”Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
2. Unsur “Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”
Bahwa, menurut R. Wiyono, menyatakan:
“Yang dimaksud “menguntungkan” adalah sama artinya dengan
mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari
pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang
diperolehnya”.

59
Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian, yang dimaksud dengan unsur “Menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan
mendapatkan untung untuk diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”. 79
3. Unsur “Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan”.

Bahwa, menurut R. Wiyono,

menyatakan:
“Yang dimaksud “Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” adalah
menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada
jabatan atau kedudukan yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak
pidana korupsi untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan,
kesempatan atau sarana tersebut.” 80

Menurut E Utrecht - Moh. Saleh Djindang yang dimaksud dengan
“jabatan”

adalah

suatu

lingkungan

pekerjaan

tetap

(kring

van

vaste

weerkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara/
kepentingan umum atau yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi
yang diberi nama negara.
4. Unsur “Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
Bahwa, menurut R. Wiyono, menyatakan :
“Yang dimaksud dengan “merugikan” adalah sama artinya dengan
menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang
dimaksudkan dengan unsur “merugikan keuangan negara” adalah sama
artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya
keuangan negara.” 81
Pengertian “keuangan negara” menurut Undang-undang No. 31 tahun
1999 adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau

79

R. Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2005, hlm.3.
80
Ibid, hlm.. 38
81
Ibid, hlm.. 31

60
Universitas Sumatera Utara

yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
pejabat lembaga negara, baik tingkat Pusat maupun di Daerah;
b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan negara.
Bahwa, menurut R. Wiyono, menyatakan :
“Dengan tetap berpegangan pada arti kata “merugikan” yang sama
artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, maka apa yang
dimaksud dengan unsur “merugikan perekonomian negara” adalah sama
artinya dengan perekonomian negara menjadi rugi atau perekonomian
negara menjadi kurang berjalan.” 82
Pengertian “perekonomian negara” menurut Undang-undang No. 31 tahun
1999 adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang
didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di
daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh
kehidupan rakyat.
B. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang
Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

82

Ibid, hlm.. 33

61
Universitas Sumatera Utara

Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penggunaan Dana Desa
dengan memperbaiki tahapan penyaluran Dana Desa, telah diterbitkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang
Bersumber

dari

Anggaran

Pendapatan

dan

Belanja

Negara.

Sebagai

pelaksanaanya diterbitkan pula Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tahun
2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan
Evaluasi Dana Desa.
Rekening Kas Desa (RKD) adalah rekening tempat menyimpan uang
Pemerintahan Desa yang menampung seluruh penerimaan Desa dan untuk
membayar seluruh pengeluaran Desa pada bank yang ditetapkan.
Rekening

Kas

Umum

Daerah (RKUD) adalah

rekening tempat

menyimpan uang daerah yang ditentukan oleh bupati/walikota untuk menampung
seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada
bank yang ditetapkan.
Ketentuan Pasal 16 PP Nomor 8 Tahun 2016 menyatakan bahwa
penyaluran Dana Desa dilakukan secara bertahap pada tahun anggaran berjalan,
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima di RKUD, kemudian dalam
Pasal 14 ayat (2) PMK Nomor 49 Tahun 2016, bahwa Penyaluran Dana Desa
dilakukan secara bertahap dengan ketentuan Tahap I, pada bulan Maret sebesar
60% dan Tahap II, pada bulan Agustus sebesar 40%.
Pasal 17 ayat (1) PP Nomor 8 Tahun 2016, bahwa Penyaluran Dana Desa
dari

RKUN

ke

RKUD

dilakukan

setelah

Menteri

menerima

dari

bupati/walikota: (1) Peraturan Daerah mengenai APBD Kabupaten/Kota tahun

62
Universitas Sumatera Utara

berjalan; (2) Peraturan Bupati/Walikota mengenai tata cara pembagian dan
penetapan rincian Dana Desa; dan (3) Laporan realisasi penyaluran dan
konsolidasi penggunaan Dana Desa tahap sebelumnya.

Pasal 17 ayat (2) PP Nomor 8 Tahun 2016, bahwa Penyaluran Dana Desa
dari RKUD ke RKD dilakukan setelah bupati/walikota menerima dari Kepala
Desa: (1) Peraturan

Desa

mengenai

APBDesa

tahun

anggaran

berjalan;

dan (2) laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahap sebelumnya.
Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat, mengacu pada Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Sedangkan pelaksanaan
kegiatan yang dibiayai dari Dana Desa berpedoman pada pedoman teknis yang
ditetapkan oleh bupati/walikota mengenai kegiatan yang dibiayai dari Dana Desa.

63
Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Anak/2014/PN.MDN)

8 157 125

Penerapan Dissenting Opinion Dalam Putusan Tindak Pidana Pencucian Uang“ (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Tpk/2015/Pn.Mdn.)

2 28 161

Penerapan Dissenting Opinion Dalam Putusan Tindak Pidana Pencucian Uang“ (Studi Kasus Putusan No.21 Pid.Sus-Tpk 2015 Pn.Mdn.)

0 0 9

Penerapan Dissenting Opinion Dalam Putusan Tindak Pidana Pencucian Uang“ (Studi Kasus Putusan No.21 Pid.Sus-Tpk 2015 Pn.Mdn.)

0 0 1

Penerapan Dissenting Opinion Dalam Putusan Tindak Pidana Pencucian Uang“ (Studi Kasus Putusan No.21 Pid.Sus-Tpk 2015 Pn.Mdn.)

0 0 32

Analisis Hukum Tindak yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik Dalam Persfektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.17 Pid.Sus-TPK 2016 PN.MDN)

0 0 9

Analisis Hukum Tindak yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik Dalam Persfektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.17 Pid.Sus-TPK 2016 PN.MDN)

0 0 1

Analisis Hukum Tindak yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik Dalam Persfektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.17 Pid.Sus-TPK 2016 PN.MDN)

0 0 40

Analisis Hukum Tindak yang dilakukan oleh Kepala Desa Paya Itik Dalam Persfektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.17 Pid.Sus-TPK 2016 PN.MDN)

0 0 4

Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Anak/2014/PN.MDN)

0 3 9