Setelah Haji, What Next? Kiblat
Edisi 03, Dzulhijjah 1434 | www.kiblat.net |
Mampu Berkurban Setelah Menabung,
Selama Tujuh Tahun
S
eorang nenek pemulung,
Sahati Wati, 68, akhirnya
mampu menuntaskan
keinginannya untuk berkurban.
Per satu pekan, Sahati bisa
menyisihkan Rp 8.000 hingga Rp12
ribu dari hasil penjualan botol
bekasnya.
Pemulung asal Kampung Kutalebak,
Kelurahan Sriwedari, Kecamatan
Gunung Puyuh, Sukabumi, Jawa
Barat, itu bisa berkurban pada Idul
Adha kali ini setelah mengumpulkan
uang selama tujuh tahun.
Jika uang yang dikumpulkan di
bantal sudah mencapai Rp100 ribu
hingga Rp200 ribu, Sahati
menitipkan uangnya kepada Yeyet.
Menurut Ketua RT di Kutalebak, Yeyet
Mulyati, Sahati membeli kambing
seharga Rp 2 juta untuk dipotong di
Hari Raya Idul Adha tahun ini.
Uang tersebut merupakan tabungan
yang disisihkan Sahati dari hasil jual
botol bekas. Sahati biasa
menyisihkan uangnya di sebuah
amplop lusuh di bawah bantal.
Tak ayal, kata Yeyet, warga di sekitar
kerukunan yang ia pimpin bangga
dan kagum terhadap Sahati. Usia tua
dan penghasilan yang pas-pasan,
ternyata tidak menghalangi Sahati
untuk berkurban. [Sumber:
Metrotvnews.com/foto:
vivanews.co.id]
Puasa pada Hari Tasyrik bagi yang Sudah Terbiasa Puasa Sunnah
Saudara kita yang terbiasa puasa sunnah
mungkin bertanya-tanya, bolehkah tetap
berpuasa pada hari Tasyrik? Sebab Rasulullah n
melarang puasa pada hari-hari tertentu, tetapi
membolehkan bagi yang sudah terbiasa
menjalankan puasa sunnah. Misalnya, beliau
melarang puasa khusus pada hari Jumat, tetapi
membolehkan puasa bagi yang berpuasa Daud
dan bertepatan dengan hari Jumat.
Bagaimana dengan puasa hari Tasyrik? Hari
Tasyrik adalah tiga hari setelah hari raya Idul
Adha. Hari ini (Kamis, 17 September 2013)
adalah hari kedua. Orang yang biasa puasa
Senin Kamis tentu memiliki perasaan sayang bila
sudah terbiasa kemudian tidak berpuasa, tanpa
alasan yang sesuai syariat. Maka dalam hal ini
kita memerlukan ilmu yang benar.
Para ulama menjelaskan bahwa puasa pada tiga
hari Tasyrik tidak dibolehkan. Dalilnya ialah
sabda Nabi n:
ﷲ
ِﺮ
ِﹾ
ﻛ
ﺫ
ِﻭ
ﺮٍﺏ
ﺷ
ﻭ
ﻞ
ٍﹾ
ﻛ
ﺃ
ﹶ
ﻡ
ﺎ
ﻳ
ﺃ
ﹶ
ﻖ
ِﻳ
ﺮ
ِﺸ
ﺘ
ﻟ
ﺍ
ﻡ
ﺎ
ﻳ
ﺃ
ﹶ
“Hari-hari tasyrik ialah hari-hari untuk makan,
minum, dan zikir kepada Allah.” (HR Muslim).
Abu Daud meriwayatkan dari Abu Murrah,
mantan budak Umu Hani', bahwa ia dan
Abdullah bin Amr masuk ke tempat Amr bin AlAsh. Lalu keduanya disuguhi makanan. Amr
mengatakan, “Makanlah.” Abdullah menjawab,
“Saya puasa.” Amr mengatakan, “Makanlah! Ini
adalah hari-hari yang Rasulullah n menyuruh
kami berbuka dan melarang berpuasa.” Imam
Malik berkata, “Itu adalah hari-hari Tasyrik.”
(Dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Abi Daud)
Imam Nawawi v mengatakan, “Hari Tasyrik
dimasukkan dalam hari Id. Hukum yang
berlaku pada hari Id secara umum juga berlaku
pada hari Tasyrik, seperti hari tasyriq memiliki
kesamaan dalam waktu pelaksanaan
penyembelihan kurban, diharamkan puasa
dan dianjurkan untuk bertakbir ketika itu.”
(Syarh Shahih Muslim, 6: 184).
Tetapi, puasa pada hari-hari tasyrik dibolehkan
bagi orang yang berhaji dan tidak
vol. 3, September 2013
mendapatkan kurban (hadyu). Aisyah dan Ibnu Umar mengatakan, “Tidak
ada kebolehan berpuasa pada hari-hari Tasyrik kecuali bagi orang berhaji
yang tidak mendapatkan hadyu.” (HR Al-Bukhari)
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Orang yang berhaji qiran dan
tamattu' boleh berpuasa pada hari-hari tasyrik bila tidak mendapatkan
hewan kurban. Agar tidak melewatkan musim haji, sementara puasanya
(puasa denda) belum dilaksanakan.”
Dengan demikian orang yang terbiasa puasa sunnah tidak dibolehkan
berpuasa pada hari-hari Tasyrik. Tetapi semoga Allah mencatatnya
sebagai pahala atas keistiqamahan amal, seperti disebutkan di hadits
lain. []
Setelah Haji, What Next?
S
atu tahap penting setelah melakukan suatu ibadah ialah
evaluasi, apakah diterima atau tidak. Bisa melaksanakan
amal saleh merupakan kenikmatan yang agung. Tetapi
itu tidak akan sempurna tanpa disertai kenikmatan lain yang
lebih agung, yaitu diterima oleh Allah. Hal ini juga berlaku dalam
ibadah haji.
Ibadah haji memadukan beberapa komponen dari pelakunya.
Ya, terutama harta dan fisik. Karena itulah haji juga disebut jihad.
Alangkah malangnya bila ibadahnya tidak diterima.
Diterima atau tidaknya ibadah haji memang urusan Allah Yang
Mahakuasa. Tetapi setidaknya ada upaya agar amal itu diterima,
selanjutnya ialah tawakal dan berharap kepada-Nya. Berikut ini
beberapa poin penting yang perlu diperhatikan setelah berhaji:
1. Merasa kecil dan tidak sombong atas amal.
Haji dengan biaya sebesar apa pun sejatinya tidak bisa
dianggap sebagai upaya yang impas untuk mewujudkan
syukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan
kepadanya. Karena itulah, sifat orang yang ikhlas ialah
menganggap kecil setiap amal ibadahnya. Ia tidak melihat
itu sebagai amal yang besar, sehingga tidak timbul
kesombongan. Salah satu wujud pembentengan hati dari
sifat bangga dan sombong ialah menolak panggilan atau
penambahan kata haji pada namanya. Bukanlah sifat yang
terpuji bila setelah pulang haji, mukanya merengut karena
tidak dipanggil “Pak Haji” atau “Bu Hajjah”.
Hendaknya kita mengetahui keagungan Allah, nikmat-Nya
yang luas, dan mengingat dosa agar tidak sombong atas
amal apa pun. Allah berfirman, “Hai orang yang berselimut,
bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu
agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan
dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (AlMudatstsir: 1-6).
Hasan Bashri memaknai ayat-ayat tersebut, “Janganlah
engkau membanggakan amal kepada Rabbmu, lalu merasa
berhak mendapatkan imbalan lebih banyak dari-Nya.”
2. Membangun perasaan takut amalnya tidak diterima.
Ini adalah perasaan yang baik. Orang-orang saleh masa lalu
sangat memperhatikan urusan diterima atau tidaknya
setiap ibadah. Bahkan mereka sangat khawatir dan takut.
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang memberikan apa
yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena
mereka tahu bahwa) mereka akan kembali kepada Tuhan
mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikankebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera
memperolehnya.” (Al-Mukminun: 60-61).
Nabi n menjelaskan bahwa maksudnya ialah ahli puasa,
shalat, dan sedekah yang khawatir amal mereka tidak
vol. 3, September 2013
diterima. Ali a mengatakan, “Mereka lebih memperhatikan
upaya agar amal diterima daripada amal itu sendiri. Apakah
kalian belum mendengar Allah berfirman, 'Sesungguhnya
Allah hanyalah menerima (amal) orang-orang yang
bertakwa.” (Al-Maidah: 27).
3. Berharap dan banyak berdoa agar diterima.
Takut saja tidaklah cukup. Ia harus diiringi dengan rasa
berharap kepada Allah. Takut saja tanpa berharap bisa
menyebabkan orang putus asa dan bosan. Berharap saja
tanpa ada rasa takut bisa menyebabkan orang merasa
aman dari ancaman Allah.
Gabungan dari dua rasa itu bisa mengantarkan kepada
ketawadukan dan kekhusyukan kepada Allah. Ini
menambah iman seseorang. Dengan harapan yang tinggi,
orang akan tergerak untuk memohon kepada Allah agar
ibadahnya diterima. Ibrahim pun melakukan ini setelah
lelah dan menguras tenaga untuk membangun Ka'bah.
Allah berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim
meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdoa), 'Ya Tuhan Kami terimalah dari kami
(amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui'.” (Al-Baqarah: 127).
4. Banyak Istigfar.
Meskipun sebelum berangkat haji telah disiapkan secara
matang, baik ilmu maupun persyaratannya, janganlah
seseorang merasa bahwa hajinya telah sempurna. Mungkin
saja ada yang kurang tetapi tanpa disadari. Karena itulah
Allah mengajarkan kepada kita untuk beristigfar setelah
beribadah. Allah berfirman, “Kemudian bertolaklah kamu
dari tempat bertolaknya orang-orang banyak ('Arafah) dan
mohonlah ampun kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 199).
Perhatikanlah surah An-Nashr yang sering kita baca. Allah
memerintah Nabi n untuk memuji dan beristigfar setelah
upaya dakwah dan jihad beliau membuahkan hasil, dan
manusia masuk Islam berbondong-bondong.
5. Memperbanyak amal saleh lainnya.
Setelah pulang dari Tanah Suci, tidak sepantasnya yang
berhaji merasa cukup. Rukun Islam yang lima telah
dilaksanakan semua. Maka sempurnalah amalnya. Ini
adalah perasaan yang menipu. Sebaliknya, sepulang haji
harus lebih semangat beribadah dan berbuat kebaikan.
Lebih sering memakai “peci putih” dan dekat dengan
ma s j i d . B u ka n memp er a l a t “p eci p u t i h ” u n t u k
memperlancar urusan duniawinya.
Itulah beberapa perkara yang patut diperhatikan setelah
berhaji di Tanah Suci. Semoga Allah menerima amal dan
ibadah kita semua. []
Mampu Berkurban Setelah Menabung,
Selama Tujuh Tahun
S
eorang nenek pemulung,
Sahati Wati, 68, akhirnya
mampu menuntaskan
keinginannya untuk berkurban.
Per satu pekan, Sahati bisa
menyisihkan Rp 8.000 hingga Rp12
ribu dari hasil penjualan botol
bekasnya.
Pemulung asal Kampung Kutalebak,
Kelurahan Sriwedari, Kecamatan
Gunung Puyuh, Sukabumi, Jawa
Barat, itu bisa berkurban pada Idul
Adha kali ini setelah mengumpulkan
uang selama tujuh tahun.
Jika uang yang dikumpulkan di
bantal sudah mencapai Rp100 ribu
hingga Rp200 ribu, Sahati
menitipkan uangnya kepada Yeyet.
Menurut Ketua RT di Kutalebak, Yeyet
Mulyati, Sahati membeli kambing
seharga Rp 2 juta untuk dipotong di
Hari Raya Idul Adha tahun ini.
Uang tersebut merupakan tabungan
yang disisihkan Sahati dari hasil jual
botol bekas. Sahati biasa
menyisihkan uangnya di sebuah
amplop lusuh di bawah bantal.
Tak ayal, kata Yeyet, warga di sekitar
kerukunan yang ia pimpin bangga
dan kagum terhadap Sahati. Usia tua
dan penghasilan yang pas-pasan,
ternyata tidak menghalangi Sahati
untuk berkurban. [Sumber:
Metrotvnews.com/foto:
vivanews.co.id]
Puasa pada Hari Tasyrik bagi yang Sudah Terbiasa Puasa Sunnah
Saudara kita yang terbiasa puasa sunnah
mungkin bertanya-tanya, bolehkah tetap
berpuasa pada hari Tasyrik? Sebab Rasulullah n
melarang puasa pada hari-hari tertentu, tetapi
membolehkan bagi yang sudah terbiasa
menjalankan puasa sunnah. Misalnya, beliau
melarang puasa khusus pada hari Jumat, tetapi
membolehkan puasa bagi yang berpuasa Daud
dan bertepatan dengan hari Jumat.
Bagaimana dengan puasa hari Tasyrik? Hari
Tasyrik adalah tiga hari setelah hari raya Idul
Adha. Hari ini (Kamis, 17 September 2013)
adalah hari kedua. Orang yang biasa puasa
Senin Kamis tentu memiliki perasaan sayang bila
sudah terbiasa kemudian tidak berpuasa, tanpa
alasan yang sesuai syariat. Maka dalam hal ini
kita memerlukan ilmu yang benar.
Para ulama menjelaskan bahwa puasa pada tiga
hari Tasyrik tidak dibolehkan. Dalilnya ialah
sabda Nabi n:
ﷲ
ِﺮ
ِﹾ
ﻛ
ﺫ
ِﻭ
ﺮٍﺏ
ﺷ
ﻭ
ﻞ
ٍﹾ
ﻛ
ﺃ
ﹶ
ﻡ
ﺎ
ﻳ
ﺃ
ﹶ
ﻖ
ِﻳ
ﺮ
ِﺸ
ﺘ
ﻟ
ﺍ
ﻡ
ﺎ
ﻳ
ﺃ
ﹶ
“Hari-hari tasyrik ialah hari-hari untuk makan,
minum, dan zikir kepada Allah.” (HR Muslim).
Abu Daud meriwayatkan dari Abu Murrah,
mantan budak Umu Hani', bahwa ia dan
Abdullah bin Amr masuk ke tempat Amr bin AlAsh. Lalu keduanya disuguhi makanan. Amr
mengatakan, “Makanlah.” Abdullah menjawab,
“Saya puasa.” Amr mengatakan, “Makanlah! Ini
adalah hari-hari yang Rasulullah n menyuruh
kami berbuka dan melarang berpuasa.” Imam
Malik berkata, “Itu adalah hari-hari Tasyrik.”
(Dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Abi Daud)
Imam Nawawi v mengatakan, “Hari Tasyrik
dimasukkan dalam hari Id. Hukum yang
berlaku pada hari Id secara umum juga berlaku
pada hari Tasyrik, seperti hari tasyriq memiliki
kesamaan dalam waktu pelaksanaan
penyembelihan kurban, diharamkan puasa
dan dianjurkan untuk bertakbir ketika itu.”
(Syarh Shahih Muslim, 6: 184).
Tetapi, puasa pada hari-hari tasyrik dibolehkan
bagi orang yang berhaji dan tidak
vol. 3, September 2013
mendapatkan kurban (hadyu). Aisyah dan Ibnu Umar mengatakan, “Tidak
ada kebolehan berpuasa pada hari-hari Tasyrik kecuali bagi orang berhaji
yang tidak mendapatkan hadyu.” (HR Al-Bukhari)
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Orang yang berhaji qiran dan
tamattu' boleh berpuasa pada hari-hari tasyrik bila tidak mendapatkan
hewan kurban. Agar tidak melewatkan musim haji, sementara puasanya
(puasa denda) belum dilaksanakan.”
Dengan demikian orang yang terbiasa puasa sunnah tidak dibolehkan
berpuasa pada hari-hari Tasyrik. Tetapi semoga Allah mencatatnya
sebagai pahala atas keistiqamahan amal, seperti disebutkan di hadits
lain. []
Setelah Haji, What Next?
S
atu tahap penting setelah melakukan suatu ibadah ialah
evaluasi, apakah diterima atau tidak. Bisa melaksanakan
amal saleh merupakan kenikmatan yang agung. Tetapi
itu tidak akan sempurna tanpa disertai kenikmatan lain yang
lebih agung, yaitu diterima oleh Allah. Hal ini juga berlaku dalam
ibadah haji.
Ibadah haji memadukan beberapa komponen dari pelakunya.
Ya, terutama harta dan fisik. Karena itulah haji juga disebut jihad.
Alangkah malangnya bila ibadahnya tidak diterima.
Diterima atau tidaknya ibadah haji memang urusan Allah Yang
Mahakuasa. Tetapi setidaknya ada upaya agar amal itu diterima,
selanjutnya ialah tawakal dan berharap kepada-Nya. Berikut ini
beberapa poin penting yang perlu diperhatikan setelah berhaji:
1. Merasa kecil dan tidak sombong atas amal.
Haji dengan biaya sebesar apa pun sejatinya tidak bisa
dianggap sebagai upaya yang impas untuk mewujudkan
syukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan
kepadanya. Karena itulah, sifat orang yang ikhlas ialah
menganggap kecil setiap amal ibadahnya. Ia tidak melihat
itu sebagai amal yang besar, sehingga tidak timbul
kesombongan. Salah satu wujud pembentengan hati dari
sifat bangga dan sombong ialah menolak panggilan atau
penambahan kata haji pada namanya. Bukanlah sifat yang
terpuji bila setelah pulang haji, mukanya merengut karena
tidak dipanggil “Pak Haji” atau “Bu Hajjah”.
Hendaknya kita mengetahui keagungan Allah, nikmat-Nya
yang luas, dan mengingat dosa agar tidak sombong atas
amal apa pun. Allah berfirman, “Hai orang yang berselimut,
bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu
agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan
dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan
maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (AlMudatstsir: 1-6).
Hasan Bashri memaknai ayat-ayat tersebut, “Janganlah
engkau membanggakan amal kepada Rabbmu, lalu merasa
berhak mendapatkan imbalan lebih banyak dari-Nya.”
2. Membangun perasaan takut amalnya tidak diterima.
Ini adalah perasaan yang baik. Orang-orang saleh masa lalu
sangat memperhatikan urusan diterima atau tidaknya
setiap ibadah. Bahkan mereka sangat khawatir dan takut.
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang memberikan apa
yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena
mereka tahu bahwa) mereka akan kembali kepada Tuhan
mereka. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikankebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera
memperolehnya.” (Al-Mukminun: 60-61).
Nabi n menjelaskan bahwa maksudnya ialah ahli puasa,
shalat, dan sedekah yang khawatir amal mereka tidak
vol. 3, September 2013
diterima. Ali a mengatakan, “Mereka lebih memperhatikan
upaya agar amal diterima daripada amal itu sendiri. Apakah
kalian belum mendengar Allah berfirman, 'Sesungguhnya
Allah hanyalah menerima (amal) orang-orang yang
bertakwa.” (Al-Maidah: 27).
3. Berharap dan banyak berdoa agar diterima.
Takut saja tidaklah cukup. Ia harus diiringi dengan rasa
berharap kepada Allah. Takut saja tanpa berharap bisa
menyebabkan orang putus asa dan bosan. Berharap saja
tanpa ada rasa takut bisa menyebabkan orang merasa
aman dari ancaman Allah.
Gabungan dari dua rasa itu bisa mengantarkan kepada
ketawadukan dan kekhusyukan kepada Allah. Ini
menambah iman seseorang. Dengan harapan yang tinggi,
orang akan tergerak untuk memohon kepada Allah agar
ibadahnya diterima. Ibrahim pun melakukan ini setelah
lelah dan menguras tenaga untuk membangun Ka'bah.
Allah berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim
meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdoa), 'Ya Tuhan Kami terimalah dari kami
(amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui'.” (Al-Baqarah: 127).
4. Banyak Istigfar.
Meskipun sebelum berangkat haji telah disiapkan secara
matang, baik ilmu maupun persyaratannya, janganlah
seseorang merasa bahwa hajinya telah sempurna. Mungkin
saja ada yang kurang tetapi tanpa disadari. Karena itulah
Allah mengajarkan kepada kita untuk beristigfar setelah
beribadah. Allah berfirman, “Kemudian bertolaklah kamu
dari tempat bertolaknya orang-orang banyak ('Arafah) dan
mohonlah ampun kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 199).
Perhatikanlah surah An-Nashr yang sering kita baca. Allah
memerintah Nabi n untuk memuji dan beristigfar setelah
upaya dakwah dan jihad beliau membuahkan hasil, dan
manusia masuk Islam berbondong-bondong.
5. Memperbanyak amal saleh lainnya.
Setelah pulang dari Tanah Suci, tidak sepantasnya yang
berhaji merasa cukup. Rukun Islam yang lima telah
dilaksanakan semua. Maka sempurnalah amalnya. Ini
adalah perasaan yang menipu. Sebaliknya, sepulang haji
harus lebih semangat beribadah dan berbuat kebaikan.
Lebih sering memakai “peci putih” dan dekat dengan
ma s j i d . B u ka n memp er a l a t “p eci p u t i h ” u n t u k
memperlancar urusan duniawinya.
Itulah beberapa perkara yang patut diperhatikan setelah
berhaji di Tanah Suci. Semoga Allah menerima amal dan
ibadah kita semua. []