Analisis Residu Pestisida pada Tomat Menggunakan Metode QuEChERS dengan Perlakuan Sebelum dan Setelah Dicuci

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

ANALISIS RESIDU PESTISIDA PADA TOMAT

MENGGUNAKAN METODE

QuEChERS

DENGAN

PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH DICUCI

SKRIPSI

SILKY NAZMATULLAILA

1110102000078

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

FEBRUARI 2015


(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

ANALISIS RESIDU PESTISIDA PADA TOMAT

MENGGUNAKAN METODE

QuEChERS

DENGAN

PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH DICUCI

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

SILKY NAZMATULLAILA

1110102000078

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

FEBRUARI 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Nama : Silky Nazmatullaila

NIM : 1110102000078

Program Studi : Farmasi

Judul : Analisis Residu Pestisida pada Tomat Menggunakan Metode QuEChERS dengan Perlakuan Sebelum dan Setelah Dicuci

Salah satu sayuran yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah tomat. Tomat merupakan sayuran yang dapat dimakan tanpa dimasak sehingga kemungkinan residu pestisida yang tertinggal di permukaan lebih besar. Pada penelitian ini dilakukan berbagai perlakuan terhadap tomat yang direndam pada larutan pestisida yang mengandung deltametrin dan profenofos untuk melihat pengaruh pencucian terhadap kadar residu pestisida deltametrin dan profenofos. Perlakuan yang dilakukan yaitu tidak dicuci, pencucian dengan air mengalir, perendaman dengan larutan NaCl 0.9%, 5% dan 10%. Setelah dilakukan berbagai perlakuan, residu pestisida pada tomat diekstraksi dengan menggunakan metode QuEChERS dan dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas. Hasilnya, perendaman dengan NaCl 10% memiliki efektivitas paling baik untuk menghilangkan deltametrin (70.798%) dan pencucian dengan air mengalir memiliki efektivitas paling rendah (53.491%). Sedangkan pada profenofos, penurunan kadar residu pestisida pada tomat hasilnya mengalami fluktuasi sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa perendaman dengan NaCl efektif dalam mengurangi residu pestisida profenofos.

Kata kunci: residu pestisida, profenofos, deltametrin, tomat, larutan NaCl, pengurangan residu pestisida.


(7)

ABSTRACT

Name : Silky Nazmatullaila Program Study : Pharmacy

Title : Analysis of Pesticide Residues In Tomato Using the QuEChERS Method with Treatment Before and After Washed

One of the commonly consumed vegetables for Indonesian society is tomato. Tomato are vegetable that can be eaten without cooking, so the possibility of pesticide residues left on the surface is greater. In order to find an effective method of removing pesticide residues in vegetables, tomato soaked in a solution containing pesticides deltamethrin and profenofos then performed a variety of treatments that are not washed, washing with tap water, soaking with a solution of NaCl 0.9%, 5% and 10%. After 5 minutes the washing process, extraction of pesticide residues using the method QuEChERS. Extraction results were analyzed by gas chromatography. The results showed, soaking tomato with NaCl 10 % has the best effects (70.798%) and washing with tap water has the worse effects to remove residue deltamethrin pesticide (53 491%). While on profenofos pesticide, the result on residue reduction in tomato is fluctuating. So it can not be concluded that soaking with NaCl effective in reducing pesticide residues profenofos.

Keywords: pesticide residues, profenofos, deltamethrin, tomato, NaCl solution, removal of pesticide residues.


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmaanirrahiim alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi berjudul “Analisis Residu Pestisida pada Tomat Menggunakan Metode QuEChERS dengan Perlakuan Sebelum dan Setelah Dicuci” dengan baik sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan tingkat Strata 1 (S1) pada Program Studi Farmasi. Shalawat serta salam senantiasa penulis curahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat serta para pengikut di jalan yang diridhoi-Nya.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian sampai penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Irmayani dan Pak Jemmy Muharman selaku analis laboratorium Balai Pengujian Mutu Hasil Tanaman Pangan Holtikultura Provinsi DKI Jakarta (BPMHTPH) yang dengan sabar memberikan bimbingan, masukan, dukungan, dan semangat kepada penulis.

2. Ibu Lina Elfita, M.Si, Apt. dan Ibu Eka Putri, M.Si, Apt. selaku pembimbing saya, yang dengan sabar memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. 3. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Kedua orang tua tercinta Ibu Nurjanah dan Bapak Nanang Asep Supriyatna yang

senantiasa memberikan kasih sayang, dukungan baik moril maupun materil, serta doa tanpa henti yang menyertai setiap langkah penulis.

5. Kakak dan adik tercinta yang selalu ada untuk memberikan semangat dan nasihat tanpa henti dalam suka dan duka sejak awal penelitian hingga akhir penyelesian skripsi ini.


(9)

6. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Temanku Deisy, Khalida, dan Farah yang telah memberi dukungan, motivasi, serta masukan kepada penulis selama pengerjaan skripsi dan selama di bangku perkuliahan.

8. Teman-teman Farmasi 2010 “Andalusia” atas persaudaraan dan kebersamaan yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis baik selama pengerjaan skripsi ini maupun selama di bangku perkuliahan.

9. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian naskah skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua bantuan, dan dukungan yang diberikan. Akhir kata dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu saran serta kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin Ya Robbal’alamin.

Jakarta, Februari 2015


(10)

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Tomat ... 5

2.1.1 Morfologi Tomat ... 5

2.1.2 Klasifikasi Tanaman Tomat ... 6

2.1.3 Jenis Tomat ... 6

2.1.4 Kandungan Gizi ... 7

2.1.5 Hama dan Penyakit Tanaman Tomat ... 7

2.2 Pestisida ... 10

2.2.1 Definisi Pestisida ... 10

2.2.2 Penggolongan Pestisida ... 12

2.3 Insektisida ... 13


(12)

2.3.2 Penggolongan Insektisida Berdasarkan Susunan Kimia ... 14

2.4 Organofosfat ... 15

2.4.1 Profenofos ... 16

2.5 Piretroid ... 17

2.5.1 Deltametrin ... 17

2.6 Residu Pestisida dalam Tanaman ... 18

2.7 Metode QuEChERS ... 19

2.8Kromatografi Gas ... 20

2.8.1 Gas Pembawa ... 20

2.8.2 Sistem Penginjeksian Sampel ... 20

2.8.3 Kolom ... 20

2.8.4 Termostat... 21

2.8.5 Detektor ... 21

2.8.6 Rekorder ... 22

2.9Validasi Metode Analisis... 22

2.9.1 Liniearitas ... 22

2.9.2 Batas Deteksi (Limit Of Detection, LOD) ... 22

2.9.3 Batas Kuantifikasi (Limit Of Quantification, LOQ) ... 23

2.9.4 Akurasi (Ketetapan) ... 23

2.9.5 Presisi ... 24

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 25

3.1 Alat dan Bahan ... 25

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

3.3 Prosedur Penelitian ... 25

3.3.1 Pengambilan Sampel ... 25

3.3.2 Determinasi Tanaman ... 25

3.3.3 Validasi Metode QuEChERS ... 26

3.3.3.1 Uji Liniearitas... 26

3.3.3.2 Uji Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ) ... 28

3.3.3.3 UJi Perolehan Kembali ... 28


(13)

3.3.4 Analisis Kualitatif Residu Pestisida Deltametrin dan

Profenofos Sebelum Perendaman dengan Larutan Pestisida 29

3.3.5 Analisis Kuantitatif Residu Pestisida Deltametrin dan Profenofos Setelah Perendaman dengan Larutan Pestisida .. 29

3.3.6 Uji F (One-Way Anova)... 30

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Determinasi Tanaman ... 31

4.2 Validasi Metode QuEChERS ... 31

4.2.1 Uji Liniearitas... 31

4.2.2 Uji Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ) ... 32

4.2.3 Uji Perolehan Kembali ... 33

4.2.4 Penentuan Standar Deviasi ... 34

4.3 Analisis Kualitatif Residu Pestisida Deltametrin dan Profenofos Sebelum Perendaman dengan Larutan Pestisida ... 35

4.3.1 Persiapan Sampel ... 35

4.3.2 Ekstraksi Residu Pestisida ... 35

4.3.3 Analisis dengan Kromatografi Gas ... 35

4.2.5 Hasil Analisis Kualitatif Residu Pestisida Deltametrin dan Profenofos Sebelum Perendaman dengan Larutan Pestisida 36

4.4Analisis Kuantitatif Residu Pestisida Deltametrin dan Profenofos Pada Tomat Sebelum dan Setelah Dicuci ... 36

4.4.1 Persiapan Sampel ... 36

4.4.2 Perlakuan Terhadap Sampel ... 36

4.4.3 Hasil Analisis Kuantitatif Residu Pestisida Deltametrin Dan Profenofos pada Tomat Sebelum dan Setelah Dicuci ... 37

4.5Uji Statistik ... 38

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40


(14)

DAFTAR PUSTAKA ... 42 LAMPIRAN ... 45


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kandungan Gizi dalam 100 gram Tomat ... 7 Tabel 2. Rata-Rata % Uji Perolehan Kembali untuk Pestisida Deltametrin

dan Profenofos Pada Tomat ... 33 Tabel 3. Rata-Rata Perolehan Kembali yang Dapat Diterima Sesuai

dengan Konsentrasi Analit ... 33 Tabel 4. Nilai % RSD untuk Pestisida Deltametrin dan Profenofos pada

Tomat ... 34 Tabel 5. Rekomendasi Nilai RSD untuk Konsentrasi Analit Berbeda ... 34 Tabel 6. Rata-Rata Kadar Residu Pestisida Deltametrin dan Profenofos

pada Tomat ... 37 Tabel 7. Rata-Rata Persentase Penurunan Pestisida Deltametrin dan


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tomat ... 5

Gambar 2. Ulat Tanah (A. ipsilon) ... 8

Gambar 3. Kutu Kebul ( B. Tabaci) ... 9

Gambar 4. Gejala Serangan Penyakit Alternaria ... 9

Gambar 5. Tanaman Tomat Terserang Penyakit Layu Fusarium ... 10

Gambar 6. Gejala Serangan Penyakit Busuk Daun ... 10

Gambar 7. Struktur Profenofos ... 16

Gambar 8. Struktur Deltametrin ... 17

Gambar 9. Kurva Kalibrasi Deltametrin ... 32

Gambar 10. Kurva Kalibrasi Profenofos ... 32

Gambar 11. Grafik Perbandingan Rata-Rata Penurunan Pestisida deltametrin dan Profenofos pada Tomat Sebelum dan Setelah Dicuci ... 35


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Alur Penelitian ... 45

Lampiran 2 Perhitungan Penimbangan Larutan Pestisida ... 46

Lampiran 3 Perhitungan Larutan Baku Pestisida ... 47

Lampiran 4 Perhitungan Deret Konsentrasi Pestisida ... 48

Lampiran 5 Perhitungan LOD dan LOQ ... 49

Lampiran 6 Uji Perolehan Kembali ... 53

Lampiran 7 Perhitungan RSD Deltametrin... 54

Lampiran 8 Perhitungan RSD Profenofos ... 56

Lampiran 9 Perhitungan Kadar Residu Deltamterin ... 58

Lampiran 10 Perhitungan Kadar Residu Profenofos ... 60

Lampiran 11 Perhitungan % Penurunan Pestisida Deltametrin ... 62

Lampiran 12 Perhitungan % Penurunan Pestisida Profenofos ... 63

Lampiran 13 Uji F (One-Way anova) % Pengurangan Pestisida Deltametrin Pada Tomat... 64

Lampiran 14 Uji F (One-Way anova) % Pengurangan Pestisida Deltametrin Pada Tomat... 69

Lampiran 15 Hasil Kromatogram Pada Sampel Tomat Sebelum Perendaman dengan Larutan Pestisida ... 74

Lampiran 16 Hasil Kromatogram Deret Deltametrin dan Profenofos ... 75

Lampiran 17 Hasil Kromatogram Deltametrin dan Profenofos Pada Tomat Sebelum dan Setelah Dicuci ... 79

Lampiran 18 Hasil Kromatogram Larutan Standar deltametrin ... 82

Lampiran 19 Hasil Kromatogram Larutan Standar Profenofos ... 84

Lampiran 20 Determinasi Tomat ... 86

Lampiran 21 Sertifikat Analisis Deltametrin ... 87


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sayur merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak mengandung vitamin dan mineral. Beberapa vitamin penting yang terkandung di dalam sayuran seperti vitamin A yang berasal dari karotin berguna untuk kesehatan mata. Lalu ada mineral penting, seperti zat besi yang berguna untuk menjaga kadar haemoglobin darah. Sayuran juga merupakan sumber serat yang sangat dibutuhkan bagi pencernaan serta berpotensi sebagai sumber pendapatan petani dan devisa negara.

Salah satu sayuran yang sering dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah tomat. Tomat adalah sayuran yang dapat dimakan tanpa dimasak dan hanya dicuci dengan air. Sayuran ini juga dapat dimakan seperti lalapan, salad dan lain-lain, selain itu, tomat digunakan sebagai sari buah (juice). Tomat mengandung vitamin A, vitamin C, mineral, kalsium, phosphor, zat besi, dan hidrat arang yang sangat penting untuk tubuh manusia (Dewanti et al., 2010)

Tanaman tomat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi. Lahan yang dapat dimanfaatkan untuk penanaman tomat meliputi lahan kering dan lahan bekas sawah. Temperatur yang baik untuk 1pertumbuhan tomat adalah 21-28°C di siang hari dan 15-20°C di malam hari. Derajat keasaman tanah (pH tanah) yang diperlukan berkisar antara 5,5 sampai 6,5 (Adiyoga et al., 2004).

Dalam budidaya tomat terdapat masalah yang harus diatasi oleh petani yaitu hama dan penyakit seperti busuk daun (Phytophtora infestans), bercak coklat (Altenaria solani), kapang daun (Fulvia fulva), layu bakteri (Pseudomonas solanacearum), layu fusarium (Fusarium oxysporum), mosaik tembakau (virus Tobacco mosaic), busuk buah (Sclerotium rolfsii), kapang


(19)

kelabu (Cercospora sp.), busuk lunak (Erwinia carotovora), becak bakteri (Xanthomonas campestris) (Semangun, 2000), ulat buah tomat (Helicoverpa armigera Hubn dan Meloidogyne spp). Menurut laporan Setiawati (1991), kehilangan hasil panen tomat karena serangan hama H. armigera mencapai 52%. Dalam upaya untuk memperkecil kerugian ekonomi usaha tani tomat karena serangan hama dan penyakit, pada umumnya para petani tomat menggunakan pestisida secara intensif. Pestisida dianggap sebagai teknologi yang mudah diterapkan, hasilnya efektif, tersedia dengan mudah di tingkat petani, dan yang penting secara ekonomis masih menguntungkan apalagi dengan harga pestisida yang sebagian besar disubsidi oleh Pemerintah. Pestisida dianggap sebagai jaminan bagi keselamatan dan keberhasilan tanaman bagi petani, sehingga dapat dikatakan bahwa pestisida tidak dapat dilepaskan dari petani sayuran.

Berdasarkan peraturan Menteri Pertanian tahun 2009 yang ditetapkan oleh Depertemen Pertanian (Deptan), salah satu pestisida yang digunakan pada tomat adalah profenofos dan deltametrin. Curacron (profenofos) dan decis (deltametrin) merupakan salah satu produk pestisida yang digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada tomat. Golongan organofosfat dan piretroid merupakan jumlah pestisida terbesar yang beredar di pasar dan banyak digunakan dalam bidang pertanian.

Di dalam tubuh organofosfat berikatan dengan enzim Asetilkolinesterase (AChE) yang mengakibatkan penumpukan asetikolin pada syaraf (Achmadi, 2008 dan Sartono, 2002). Asetilkolin yang ditimbun dalam susunan syaraf pusat akan mengakibatkan tremor, inkoordinasi, kejang-kejang, dan lain-lain. Dalam sistem syarat autonom akumulasi ini akan menyebabkan diare, urinisasi tanpa sadar, bronko konstriksi, dan miosis. Profenofos merupakan salah satu jenis insektisida organofosfat dengan batas maksimum residu sesuai dengan Standar Nasional Indonesia yaitu 2 mg/kg pada tomat. Profenofos dilaporkan dapat menyebabkan kerusakan genetik pada studi jamil et al. - menggunakan


(20)

kultur limfosit darah perifer manusia, menginduksi kelainan kromosom dalam sel somatic pada mencit jantan (Fahmy dan Abdalla, 1998), dan memberikan efek genotoksik dan histopatologik pada tikus. (Fatma et al., 2007), bertindak sebagai disruptor endokrin enzim sitokrom dan mempengaruhi konsentrasi testosteron pada tikus jantan yang diberikan profenofos secara oral 17.8 mg/kg BB (Gihan et al., 2008)

Deltametrin merupakan pestisida golongan piretroid (Nollet & Rathore, 2010). Batas maksimum residu deltametrin pada tomat berdasarkan Standar Nasional Indonesia adalah 0,3 mg/kg. Deltametrin dilaporkan dapat menimbulkan kejang, ataksia, dermatitis, diare, tremor, dan muntah. Reaksi alergi terhadap senyawa ini melalui eksposur kulit juga umum di antara pekerja pertanian. Keracunan oral terjadi pada manusia dengan dosis 2-250 mg/kg, sedangkan konsumsi 100-250 mg/kg dapat menginduksi koma. Selain itu, menimbulkan efek genotoksik pada studi villarini et al - menggunakan leukosit darah perifer manusia, menurunkan sebagian besar organ genital dan motilitas sperma pada tikus dengan dosis 1 dan 2 mg/kg BB (Abd el - Aziz et al., 1994), menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, hipoplasia paru-paru, dan dilatasi pelvis ginjal pada janin pada tikus betina yang diberikan deltametrin dengan dosis 1, 2,5 atau 5 mg / kg BB (Abdel-Khalik et al., 1993).

Pestisida digunakan berkali-kali selama waktu pertumbuhan dan kadang tetap digunakan pada saat menjelang panen untuk meningkatkan hasil panen dan meningkatkan kualitas (Randhawa et al., 2006). Penggunaan pestisida yang berlebihan menjadi sumber pencemaran pada bahan pangan, air, dan lingkungan hidup. Akibatnya, residu yang ditinggalkan secara langsung maupun tidak langsung sampai ke tubuh manusia.

Meskipun produk organik merupakan pilihan yang baik untuk menghindari pestisida, namun kenyataannya harga produk yang mahal menjadi hambatan bagi banyak orang. Cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi residu pestisida yang tertinggal dalam sayuran selain pencucian dengan air mengalir adalah dengan perendaman dengan air


(21)

garam. Ada beberapa studi yang membuktikan efektivitas air garam dalam menghilangkan pestisida dari permukaan buah dan sayur. Dalam studi Radwan et al., air garam 1% dapat mengurangi sekitar 7 - 97% profenofos pada komoditas paprika, cabai dan terong (Radwan et al., 2005). Pada studi Klinhom et al., air garam 0.9% dapat mengurangi 39% methomil dan 91% carbaryl pada kubis (Klinhom et al., 2008) dan pada studi Satpathy et al. air garam 0.9% dapat mengurangi sekitar 50 % klorpirifos pada komoditas okra, tomat, kacang, kembang kol sedangkan pada terong dapat mengurangi 84% klorpirifos (Satpathy et al. 2012).

Berdasarkan hal di atas penulis tertarik untuk membandingkan kadar residu pestisida pada tomat yang mengalami pencucian dan tidak mengalami pencucian.

1.2 Perumusan Masalah

Bagaimana pengaruh pencucian terhadap kadar residu pestisida deltametrin dan profenofos pada tomat ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Melakukan validasi metode analisis residu pestisida deltametrin dan profenofos pada tomat dengan menggunakan kromatografi gas.

2. Melakukan analisis residu pestisida deltametrin dan profenofos pada tomat menggunakan metode QuEChERS dengan perlakuan sebelum dan setelah dicuci dengan instrumen kromatografi gas.

3. Melihat pengaruh pencucian terhadap kadar residu pestisida deltametrin dan profenofos pada tomat

1.4 Manfaat Penelitian

Memberikan informasi kepada masyarakat agar mencuci sayuran dan buah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kadar residu pestisida pada sayuran dan buah tersebut sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan.


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tomat

2.1.1 Morfologi Tomat

Tomat mempunyai akar tunggang yang tumbuh menembus kedua tanah dan akar serabut yang tumbuh menyebar kearah samping. Tetapi dangkal. Batang tanaman tomat berbentuk persegi empat hingga bulat, berbatang lunak tetapi cukup kuat, berbulu atau berambut halus dan diantara bulu-bulu tersebut terdapat rambut kelenjar. Batang tanaman berwarna hijau. Pada ruas batang mengalami penebalan dan pada ruas bagian bawah tumbuh akar-akar pendek. Selain itu batang tanaman tomat dapat bercabang dan diameter cabang lebih besar jika dibanding dengan jenis tanaman sayur lainnya. Daun tanaman tomat berbentuk oval bagian tepi daun bergerigi dan membentuk celah-celah menyirip serta agak melengkung ke dalam. Bunga tomat berukuran kecil, diameternya sekitar 2 cm dan berwarna kuning cerah, kelopak bunga berjumlah 5 buah dan berwarna hijau terdapat pada bagian terindah dari bunga tomat warnanya kuning cerah berjumlah 6 buah.. Bentuk buah tomat bervariasi,tergantung varietasnya ada yang berbentuk bulat, agak bulat, agak lonjong dan bulat telur (oval) ukuran buahnya juga bervariasi, yang paling kecil memiliki berat 8 gram dan yang besar memiliki berat 180 gram. Buah yang masih muda berwarna hijau muda, bila telah matang menjadi merah (Cahyono, 1998).


(23)

2.1.2 Klasifikasi Tanaman Tomat

Tanaman tomat diklasifikasikan ke dalam golongan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Tubiflorae Famili : Solanaceae Genus : Lycopersicum

Spesies : Solanum licopersicum Mill. (Redaksi Agromedia, 2007).

2.1.3 Jenis Tomat

Tanaman tomat memiliki beberapa jenis, yaitu ; A. Tomat biasa (L. commune)

Bentuk buahnya bulat pipih, bentuknya tidak teratur. Jenis tomat ini sangat cocok ditanam di daerah dataran rendah

B. Tomat apel (L. pyriforme)

Bentuk buahnya bulat, kuat, sedikit keras menyerupai buah apel. Tanaman ini sangat cocok ditanam di daerah pegunungan. Kedua jenis tomat inilah yang sering ditemukan di pasar-pasar.

C. Tomat kentang (L. grandiforlum)

Buahnya berbentuk bulat, besar, padat, menyerupai buah apel, tetapi agak kecil, dan daunnya lebar-lebar.

D. Tomat keriting (L. validum)

Buahnya berbentuk agak lonjong keras seperti alpukat atau papaya yang dikenal tipe roma. Tomat ini disebut tomat gondola yang disenangi karena kulitnya tebal. Tomat jenis ini tahan pengangkitan jarak jauh. Daunnya rimbun keriting seperti terserang oleh penyakit virus keriting dan berwarna hijau kelam.


(24)

2.1.4 Kandungan Gizi

Berikut ini adalah kandungan gizi dalam 100 gram tomat :

Komponen Jumlah

Vitamin A (SI) 1500 Vitamin B1 (mg) 0,06

Vitamin C (mg) 40

Karbohidrat (g) 4,2

Lemak (g) 0,3

Protein (g) 1

Kalsium (mg) 5

Fosfor (mg) 2,7

Besi (mg) 0,5

Sumber : Susanto dan saneto, 1994 Tabel 1. Kandungan gizi dalam 100 gram tomat 2.1.5 Hama dan Penyakit Tanaman Tomat

Hama dan penyakit penting yang sering menyerang tanaman tomat dapat dilihat pada tabel berikut :

a. Ulat tanah (Agrotis ipsilon Hufn.)

Ngengat berwarna coklat tua dengan beberapa titik putih bergaris-garis, kecuali bagian depannya berwarna abu-abu atau pucat. Ngengat aktif pada malam hari untuk berkopulasi, makan dan bertelur. Lama hidup ngengat A. ipsilon 7-14 hari. Telur diletakkan berkelompok atau tunggal pada daun muda. Telur berbentuk bulat kecil bergaris tengah 0.5 mm dan berwarna kuning muda. Telur menetas setelah 3-5 hari. Larva berwarna coklat tua sampai coklat kehitam-hitaman dan panjangnya sekitar 30-35 mm. Larva aktif pada senja atau malam hari. Pada siang hari, larva bersembunyi di permukaan tanah di sekitar batang tanaman muda, pada celah-celah atau bongkahan tanah kering. Pada saat istirahat, posisi tubuh larva sering melingkar. Fase perkembangan larva sekitar 18 hari. Pupa berwarna coklat terang berkilauan atau coklat gelap. Pupa dibentuk di dalam tanah. Fase pupa


(25)

adalah 5-6 hari. Tanaman inangnya adalah sayuran muda seperti kentang, kubis, tomat, cabai, jagung dan lain-lain. Gejala serangan ditandai dengan terpotongnya tanaman pada pangkal batang. Akibatnya, tanaman menjadi roboh. Kerusakan semacam ini dapat mengakibatkan kerugian yang berarti, yaitu matinya tanaman muda sebesar 75-90% dari seluruh bibit yang ditanam (Sastrodihardjo, 1982).

Gambar 2. Ulat Tanah ( A. ipsilon) b. Kutu Kebul (Bemisia tabaci Genn.)

Serangga dewasa berukuran kecil, berwarna putih dan mudah diamati karena pada bagian permukaan bawah daun ditutup lapisan lilin yang bertepung. Ukuran tubuhnya berkisar antara 1 - 1,5 mm. Siklus hidupnya berkisar antara 7 - 21 hari. Serangga dewasa biasanya berkelompok dalam jumlah yang banyak. Bila tanaman tersentuh, serangga tersebut akan beterbangan seperti kabut atau kebul putih. Telur berbentuk lonjong, agak lengkung seperti pisang, panjangnya kira-kira antara 0,2 - 0,3 mm dan diletakkan di permukaan bawah daun. Fase telur adalah 7 hari. Nimfa terdiri atas tiga instar. Instar ke-1 berbentuk bulat telur dan pipih, bertungkai yang berfungsi untuk merangkak, sedangkan instar ke-2 dan instar ke-3 tidak bertungkai. Pupa berbentuk oval, agak pipih, berwarna hijau ke putih-putihan sampai kekuning-kuningan. Pupa terdapat pada permukaan bawah daun. Tanaman inangnya adalah tomat, cabai, mentimun, kubis, semangka, kapas dan bunga sepatu. Gejala serangannya berupa bercak nekrotik pada daun, yang disebabkan oleh rusaknya sel-sel dan jaringan daun akibat serangan nimfa dan serangga dewasa. Dalam keadaan populasi tinggi, serangan kutu kebul dapat menghambat


(26)

pertumbuhan tanaman tomat. Embun madu yang dikeluarkan dapat menimbulkan serangan jamur jelaga yang berwarna hitam.

Gambar 3. Kutu Kebul (B.tabaci) c. Penyakit Bercak Kering Alternaria

Penyakit ini disebabkan oleh patogen cendawan Alternaria solani. Patogen ini dapat menyerang bibit dan tanaman muda. Pada bibit, bercak gelap terbentuk pada daun hipokotil, batang dan daun. Hipokotil dapat mati dan batang yang terserang akan terkulai. Pada tanaman yang dewasa, gejala serangannya berupa bercak cokelat dengan garis-garis yang melingkar berwarna lebih gelap. Bercak pada batang dan tangkai tanaman tampak lonjong memanjang dan membesar, yang dikenal dengan nama “busuk leher”. Buah yang terserang penyakit ini menunjukkan gejala permukaan buah menjadi sedikit kentot dan pecah-pecah serta ukurannya dapat bertambah besar.

Gambar 4. Gejala serangan penyakit alternaria d. Penyakit Layu

Penyebab penyakit ini adalah bakteri Pseudomonas (Ralstonia) solanacearum, cendawan Fusarium spp. atau Verticillium alboatrum. Gejala serangan ditandai dengan tanaman layu secara tiba-tiba pada sebagian daunnya yang berlanjut ke seluruh daun, lalu mengering dan akhirnya mati. Bila pangkal batang dibelah akan terlihat warna


(27)

pembuluh yang menjadi kecoklat-coklatan karena terserang cendawan Fusarium spp. Patogen ini merupakan patogen tanah yang tanaman inangnya cukup banyak dari berbagai famili.

Gambar 5. Tanaman tomat terserang penyakit layu fusarium e. Penyakit Busuk Daun

Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans. Patogen ini sering menyerang daun, batang dan buah, sehingga sering menggagalkan panen. Gejalanya adalah bercak basah berwarna abu-abu dengan bentuk yang tidak beraturan. Bercak berkembang cepat pada keadaan lembab, dan kapang putih nampak pada pinggiran bercak. Perkembangan penyakit dipacu oleh kondisi yang basah dan dingin dan biasanya terjadi di dataran tinggi. Tanaman inangnya yang lain adalah kentang.

Gambar 6. Gejala serangan penyakit busuk daun 2.2 Pestisida

2.2.1 Definisi Pestisida

Pestisida (Inggris : pesticide) berasal dari kata pest yang berarti hama dan cide yang berarti mematikan/racun. Jadi pestisida adalah racun hama. Secara umum pestisida dapat didefinisikan sebagai bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai


(28)

pest (hama) dan secara langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan manusia.

Pestisida juga didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh atau perangsang tumbuh, bahan lain, serta mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk perlindungan tanaman (PP RI No.6 tahun 1995). USEPA menyatakan pestisida sebagai zat atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan, tanaman, dan mikroorganisme penggangu (Soemirat, 2003).

Menurut Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973 tentang pengawasan atas peredaran, penyimpanan dan penggunaan pestisida, pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :

a. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman atau hasil pertanian

b. Memberantas rerumputan

c. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan d. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian tanaman e. Memberantas atau mencegah hama luar pada hewan piaraan atau

ternak

f. Memberantas atau mencegah hama air

g. Memberantas atau mencegah hewan dan jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat pengangkutan.

h. Memberantas atau mencegah hewan yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air

Menurut The United States Environmental Pesticide Control Act, pestisida adalah sebagai berikut.

a. Semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama, kecuali virus, bakteri atau jasad renik lainnya yang


(29)

terdapat pada manusia dan hewan.

b. Semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman (Djojosumarto, 2004).

2.2.2 Penggolongan Pestisida

Penggolongan pestisida menurut Djojosumarto, 2008. dibagi menjadi 3 yaitu :

a. Berdasarkan bahan aktifnya :

Berdasarkan asal bahan yang digunakan untuk membuat pestisida, maka pestisida dapat dibedakan menjadi empat golongan yaitu :

1) Pestisida Sintetik, yaitu pestisida yang diperoleh dari hasil sintetis kimia, contohnya organoklorin, organofosfat, dan karbamat.

2) Pestisida Nabati, yaitu pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.

3) Pestisida Biologi, yaitu pestisida yagn berasal dari jasad renik atau mikroba yaitu jamur, bakteri atau virus.

4) Pestisida Alami, yaitu pestisida yang berasal dari bahan alami. b. Berdasarkan Cara Kerjanya

Berdasarkan cara kerjanya, pestisida dapat dibedakan kedalam beberapa golongan yaitu

1) Pestisida Kontak

Yaitu pestisida yang dapat membunuh OPT (organisme pengganggu tanaman) bila OPT tersebut terkena pestisida secara kontak langsung atau bersinggungan dengan residu yang terdapat di permukaan tanaman

2) Pestisida Sistemik

Yaitu pestisida yang dapat ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman. OPT akan mati setelah menghisap/memakan tanaman atau dapat membunuh gulma sampai ke akarnya.

3) Pestisida Lambung

Yaitu pestisida yang mempunyai daya bunuh setelah OPT memakan pestisida.


(30)

Dapat membunuh hama yang menghisap gas yang berasal dari pestisida.

c. Berdasarkan sasaran yang akan dikendalikan, yaitu :

1) Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga. Golongan insektisida antara lain : organofosfat, organoklorin, piretroid dan karbamat.

2) Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan digunakan untuk memberantas dan mencegah fungi.

3) Bakterisida, disebut bakterisida karena senyawa ini mengandung bahan aktif beracun yang bisa membunuh bakteri.

4) Nematisida, digunakan untuk mengendalikan nematoda/cacing 5) Akarisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun

yang digunakan untuk membunuh laba-laba.

6) Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis hewan pengerat misalnya tikus.

7) Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska yaitu siput, bekicot, serta trispan yang banyak terdapat di tambak.

8) Herbisida adalah bahan senyawa beracun yang dapat dimanfaatkan untuk membunuh tumbuhan pengganggu yang disebut gulma.

2.3 Insektisida

2.3.1 Definisi Insektisida

Menurut Djojosumarto, 2008. kata insektisida secara harfiah berarti pembunuh serangga yang berasal dari kata insekta yang berarti serangga dan cida yang berarti pembunuh. Insektisida adalah alat yang ampuh yang tersedia untuk penggolongan hama, apabila hama sudah mendekati atau melewati kerusakan ekonomi maka insektisida adalah salah satu pengendali yang dapat diandalkan untuk menghadapi keadaan darurat.


(31)

2.3.2 Penggolongan Insektisida berdasarkan Susunan Kimia

Banyak penggolongan/jenis pestisida yang beredar di pasaran, baik yang ditujukan pada hewan, tumbuhan maupun jasad renik. Untuk mengendalikan jenis serangga maupun hewan yang berpotensi sebagai organisme pengganggu tanaman adalah insektisida. Penggolongan insektisida berdasarkan susunan kimia dibedakan menjadi :

a. Insektisida inorganik adalah senyawa insektisida yang tidak mengandung unsur karbon, contoh : arsenikum, merkurium, boron, tembaga, sulfur, asam borat, kalsium sianida, arsen, timbal dan lain-lain.

b. Insektisida organik alamiah adalah senyawa insektisida yang mengandung unsur karbon, insektisida organik alamiah merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman (botani) dan bahan alami lainnya.

c. Insektisida organik sintetik:

1) Organoklorin, insektisida ini sedikit digunakan di Negara berkembang karena insektisida organoklor adalah senyawa yang tidak reaktif, memiliki sifat yang sangat tahan, baik dalam tubuh maupun dalam lingkungan. Memiliki kelarutan sangat tinggi dalam lemak dan memiliki kemampuan tergradasi yang lambat.

2) Organofosfat ditemukan pada tahun 1945. Struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan dengan gas syaraf. Organofosfat dapat menurunkan populasi serangga dengan cepat, persistensinya di lingkungan sedang sehingga organofosfat secara bertahap menggantikan organoklorin. Sampai saat ini, organofosfat masih merupakan insektisida yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Golongan organofosfat bekerja dengan cara menghambat aktivitas enzim kolinesterase, sehingga asetilkolin tidak terhidrolisa. Oleh karena itu, keracunan pestisida golongan organofosfat disebabkan oleh asetilkolin yang berlebihan, mengakibatkan perangsangan secara terus-menerus pada saraf. Keracunan ini dapat terjadi melalui mulut, inhalasi dan kulit.


(32)

3) Karbamat dikenalkan pada tahun 1951 oleh Geology Chemical Company di Switzerland dan dipasarkan pada tahun 1965. Cara kerjanya sama seperti golongan organofosfat, yaitu menghambat aktivitas enzim kolinesterase.

4) Piretroid digunakan sejak tahun 1970-an. Keunggulannya karena memiliki pengaruh knock down atau menjatuhkan serangga dengan cepat, dan tingkat toksisitasnya rendah bagi manusia. Tetapi perkembangan hama yang baru dapat tahan terhadap insektisida piretroid.

5) Fumigan, contoh : metilbromida, etilen dibromida, karbon disulfide, fosfin dan naftalin.

6) Minyak-minyak mineral adalah minyak parafin yang dihaluskan dan dibuat emulsi yang diaplikasikan secara ringan pada tanaman untuk mengendalikan tungau dan kutu tanaman. Contoh : dinitrokresol.

7) Zat –zat pengatur tumbuh serangga.

8) Senyawa-senyawa mikroba contoh : bacillus thuringiensis. Senyawa tersebut banyak dipergunakan untuk mengendalikan hama Lepidoptera, bacilus piliae dan bacillus lentimorphus untuk mengendalikan kumbang jepang.

2.4 Organofosfat

Senyawa ini menghambat asetilkolinesterase yang mengakibatkan akumulasi asetilkolin sehingga terjadi peningkatan aktifitas syaraf dengan gejala seperti sakit kepala, mual, muntah, sesak nafas, kejang otot dan dapat mengakibatkan kelumpuhan. Umumnya organofosfat digunakan sebagai racun pembasmi serangga.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keracunan pestisida organofosfat adalah

a. Dosis

b. Toksisitas senyawa organofosfat c. Jangka waktu dan lamanya terpapar d. Jalan masuk organosofat ke dalam tubuh.


(33)

Cara kerja organofosfat adalah menghambat penyaluran impuls saraf dengan cara mengikat kolinesterase sehingga tidak terjadi hidrolisis asetilkolin. Tanda-tanda keracunan organofosfat ialah sakit kepala, lemah anggota badan, pusing, mual, muntah, berkeringat banyak, keluar air liur yang banyak, sakit perut pandangan menjadi kabur, pingsan, dan susah bernafas. Tanda-tanda ini akan hilang setelah 12 jam. Keracunan akut dapat terjadi bila terhirup racun organofosfat dengan gejala yang ditimbulkan seperti radang saluran atas pernafasan, radang paru-paru dan selaput mukosa. Sedangkan gejala keracunan kronik dapat terjadi bila terpapar dalam waktu yang lama dengan gejala sukar bernafas dan batuk-batuk. Sewaktu insektsida organofosfat terpajan kepada seseorang, asetilkolinesterase dihambat sehingga terjadi akumulasi asetilkolin, asetilkolin yang ditimbun dalam susunan syaraf pusat akan mengakibatkan tremor, inkoordinasi, kejang kejang, dan lain-lain. Dalam sistem syaraf autonom akumulasi ini akan menyebabkan diare, urinisasi tanpa sadar, bronkokonstriksi, miosis. (Alegantina., dkk., 2005).

2.4.1 Profenofos

Sifat fisika kimia a. Rumus bangun :

Gambar 7. Struktur Profenofos b. Rumus molekul : C11H15BrClO3PS

c. Berat molekul relatife : 373,6 d. Nama umum : Profenofos

e. Nama Kimia : O-(4bromo-2-chloro phenyl)O-ethyl S-propyl phosphorothioate

f. Nama dagang : Curacron ; Sanofos

g. Pemerian cairan kuning dengan aroma seperti garlic

h. Titik lebur : 100°C kelarutan : 28 mg/L dalam air, mudah larut dalam pelarut organik


(34)

i. Stabilitas : relatif stabil pada kondisi netral dan agak asam, tidak stabil dalam kondisi alkali

j. BMR : 2 mg/kg

Studi Bhinder et al. menunjukkan bahwa profenofos dapat menyebabkan mutasi DNA pada Nyamuk Culex quinquefasciatus menggunakan PCR assay. Profenofos dilaporkan dapat menyebabkan kerusakan genetik pada studi jamil et al. menggunakan kultur limfosit darah perifer manusia, menginduksi kelainan kromosom dalam sel somatic pada mencit jantan (Fahmy dan Abdalla, 1998), dan memberikan efek genotoksik dan histopatologik pada tikus (Fatma et. al., 2007), bertindak sebagai disruptor endokrin enzim sitokrom dan mempengaruhi konsentrasi testosteron pada tikus jantan yang diberikan profenofos secara oral 17.8 mg/kg BB (Gihan et al., 2008)

2.5 Piretroid

Insektisida dari kelompok piretroid merupakan analog dari piretrum yang menunjukan efikasi yang lebih tinggi terhadap serangga dan pada umumnya toksisitasnya terhadap mamalia lebih rendah dibandingkan dengan insektisida lainnya. Namun toksik terhadap ikan, tawon madu, dan serangga berguna lainnya. Berkerja secara kontak dan tidak sistemik. Cara kerja piretroid adalah mempengaruhi sistem saraf serangga atau mamalia dengan merangsang sel-sel saraf untuk menghasilkan efek pengulangan (repetitive) yang berakhir dengan kelumpuhan dan kematian. Efek ini disebabkan rendahnya penutupan saluran natrium dalam akson saraf, sehingga natrium bergerak cepat dalam sel-sel dan merubah fungsi akson saraf.

2.5.1 Deltametrin

a. Rumus Bangun :


(35)

b. Nama Umum : Deltametrin

c. Nama Kimia : (S)-Cyano(3-phenoxyphenyl)methyl (1R,3R)-3-(2,2-dibromovinyl)-2,2-dimethylcyclopropanecarboxylate

d. Nama Dagang : Decis

e. Pemerian : cairan kuning dengan bau aromatik f. Rumus Molekul : C22H19Br2NO3

g. Berat Molekul relative : 505,2 g/mol h. Titik Didih : 98-101°C

i. Massa Jenis: 1,5 g/cm3

j. Kelarutan : larut dalam aseton, etanol dan dioxan. k. BMR : 0,3 mg/kg

Deltametrin dilaporkan dapat menimbulkan kejang, ataksia, dermatitis, diare, tremor, dan muntah. Reaksi alergi terhadap senyawa ini melalui eksposur kulit juga umum di antara pekerja pertanian. Keracunan oral terjadi pada manusia pada dosis 2-250 mg/kg, sedangkan konsumsi 100-250 mg/kg dapat menginduksi koma selain itu menimbulkan efek genotoksik pada studi villarini et al. menggunakan leukosit darah perifer manusia, menurunkan sebagian besar organ genital dan motilitas sperma pada tikus dengan dosis 1 dan 2 mg/kg BB (Abd el - Aziz et al., 1994), menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, hipoplasia paru-paru, dan dilatasi pelvis ginjal pada janin pada tikus betina yang diberikan deltametrin dengan dosis 1, 2,5 atau 5 mg / kg BB (Abdel-Khalik et al., 1993).

2.6 Residu Pestisida dalam Tanaman

Residu adalah bahan kimia pestisida yang terdapat di atas atau di dalam benda dengan implikasi waktu atau penuaan (aging), perubahan kimia (alteration) atau kedua-duanya (Tarumingkeng, 1992). Menurut Mc Ewen dan Stephenson (1979), residu pestisida dalam bahan makanan khususnya sayuran, selain dari pestisida yang langsung diaplikasikan pada tanaman dapat juga karena terkontaminasi atau karena ditanam pada tanah yang mengandung residu pestisida yang persisten.


(36)

Menurut Sutamihardja et al., (1982) tidak hanya gulma yang dipengaruhi oleh pestisida, tetapi juga beberapa jenis tumbuhan seperti tanaman sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman makanan lainnnya. Hal ini disebabkan pada waktu aplikasi pestisida terhadap hama dan penyakit tanaman, terjadi deposit pestisida dan akhirnya menjadi residu pada tanaman terseut.

Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau tanah (Deptan, 2007). Beberapa yang mengindikasikan batas residu, digunakan untuk memprediksi pemasukan residu pestisida. Batas maksimum residu (BMR) adalah salah satu indeks konsentrasi maksimum dari residu pestisida (ditetapkan dalam mg/kg) yang direkomendasikan sebagai batasan yang diijinkan secara legal pada komoditas makanan dan daging hewan.

2.7 Metode QuEChERS

QuEChERS berasal dari kata Quick (Cepat); Easy (Mudah); Cheap (Murah); Effective (EFektif); Rugged (stabil); Safe (aman). Metode ini merupakan metode yang diperkenalkan untuk menganalisis berbagai macam residu pestisida dalam makanan dengan menghancurkan sampel (buah-buahan, sayuran, daging, dan jenis makanan lainnya) dalam blender. Metode QuEChERS memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode tradisional, diantaranya sebagai berikut:

a) Recovery tinggi (>85%), dicapai untuk polaritas yang luas dan volatilitas berbagai pestisida, termasuk analit yang sulit

b) Sangat akurat (benar dan tepat) hasil yang dicapai

c) Throughput/ kualitas pengerjaan sampel tinggi, sekitar 10 sampel dimungkinkan selesai sekitar 30-40 menit

d) Penggunanan hanya sedikit pelarut

e) Dapat melakukannya tanpa banyak pelatihan atau keterampilan teknis f) Metodenya sangat baik karena pembersihan ekstrak dilakukan utnuk

menghilangkan asam organik


(37)

h) Hanya sedikit perangkat yang diperlukan untuk persiapan sampel

2.8 Kromatografi Gas 2.8.1 Gas Pembawa

Gas pembawa digunakan sebagai fase gerak, gas yang lazim dipakai adalah helium, hidrogen, atau nitrogen (DAY dan UNDERWOOD, 2002). Adapun persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh gas pembawa adalah :

a) Inert b) Murni

c) Cocok untuk detector yang digunakan

2.8.2 Sistem Penginjeksian Sampel

Injektor merupakan tempat injeksi yang digunakan sebagai tempat untuk menyuntikkan sejumlah volume tertentu dari cuplikan sampel. Dalam kromatograf gas, sampel yang masuk ke dalam kolom harus dalam bentuk fase gas. Oleh karena itu, senyawa yang berbentuk padatan atau cairan harus dapat diuapkan terlebih dahulu di dalam injector sebelum masuk ke dalam kolom. Penguapan dilakukan dengan cara pemanasan, karena itu pada bagian injector ini selalu dipanaskan.

Syringe digunakan untuk menyuntikkan sampel ke dalam injector. Jarum suntik mikro ini dibuat dari bahan lembam dan tidak menyerap komponen-komponen dalam sampel uji. Bahan yang paling cocok adalah baja tahan karat (stainless steel). Untuk tembaga, kuningan, dan aliasi logam tembaga yang lainnya tidak dapat digunakan. Alat ini ditusukkan melalui septum yang terdapat pada tempat injeksi. Fungsi septum pada tempat injeksi yaitu untuk mencegah kebocoran gas pada kolom (KHOPKAR, 1990)

2.8.3 Kolom

Pada bagian inilah terjadinya pemisahan komponen dari cuplikan. Secara umum kolom yang lebih panjang dapat memisahkan lebih baik,


(38)

namum waktu analisisnya lebih lama. Semakin kecil diameter dalam, semakin baik pemisahannya. Kolom dibuat spiral untuk menghemat tempat. Kolom berisi fase diam dan tempat fase gerak akan lewat di dalamnya sambil membawa sampel. Secara umum terdapat 2 jenis kolom yaitu kolom terpaket (pcked column) umumnya terbuat dari glass atau stainless steel coil dengan panjang 1-5 m dan diameter kira-kira 5 mm. kolom kapiler, lebih menyerupai pipa dengan ruang yang sempit serta memiliki diameter dalam sebesar 0.3-0.5 mm.

2.8.4 Termostat

Thermostat memiliki 3 macam fungsi yaitu : mengatur suhu secara terpisah pada injection port, kolom dan detektor. Pengaturan suhu sangat penting karena pemisahan sangat dipengaruhi suhu dalam kolom sehinga suhu dalam kolom diatur oleh thermostat agar tidak menganggu pemisahan.

Ada dua cara mengatur suhu kolom:

a) Isotermal dimana suhu diatur selama analisis

b) Temperatur program dimana suhu diatur selama rentang waktu analisis

2.8.5 Detektor

Detektor adalah alat untuk menunjukkan dan mengukur jumlah komponen yang dipisahkan oleh gas pembawa. Alat ini akan mengubah analit yang telah terpisahkan dan dibawa oleh gas pembawa menjadi sinyal listrik yang proporsional. Oleh karena itu, alat ini tidak boleh memberikan respon terhadap gas pembawa yang mengalir pada waktu yang bersamaan. Kuat lemahnya sinyal bergantung pada laju aliran massa sampel dan bukan pada konsentrasi sampel gas penunjang. Range suatu detector dinyatakan sebagai sinyal terbesar yang teramati dibagi sinyal terlemah yang masih terdeteksi dan masih memberikan respon yang linear. Detektor harus terletak dekat kolom baik untuk menghindarkan kondensasi cairan maupun dekomposisi sampel sebelum mencapai detector (KHOPKAR, 1990)

Beberapa contoh detector yang digunakan antara lain : a) FID (Flame Ionization Detector)


(39)

b) TCD (Thermal Conductivity Detector) c) MS (Mass spectrophotometer)

d) ECD (Electron Capture Detector) e) FPD (Flame Photomeric Detector)

2.8.6 Rekorder

Rekorder berfungsi sebagai pengubah sinyal dari detector menjadi bentuk kromatogram. Dari kromatogram yang diperoleh dapat dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif.

2.9 Validasi Metode Analisis

Validasi metode analisis adalah proses dimana suatu metode ditetapkan melalui serangkaian uji laboratorium untuk menjelaskan bahwa karakter penampilan metode tersebut memenuhi persyaratan untuk penerapan metode yang dimaksud. (Gandjar dan Rohman., 2007).

Validasi metode menurut United states Pharmacopoeia (USP, 2004) dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisis.

2.9.1 Liniearitas

Linieritas merupakan kemampuan suatu metode untuk memperoleh hasil uji secara langsung proporsional dengan konsentrasi analit pada kisaran yang diberikan (gandjar dkk., 2007). Linieritas yang dapat diterima harus memenuhi persyaratan regresi linier yaitu pada nilai ≥ 0.98.

2.9.2 Batas Deteksi (Limit Of Detection, LOD)

Batas deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi dan masih memberikan respon yang cukup bermakna, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. LOD merupakan batas uji yang secara spesifik menyatakan apakah analit diatas


(40)

atau di bawah nilai tertentu. Nilai LOD dapat dihitung berdasarkan (Rumus 1). (Gandjar dkk., 2007).

Rumus 1 : Cara menghitung nilai batas deteksi

LOD =3 ×sb b Dimana:

Sb : Simpangan baku

b : Slope/Kemiringan (Garis linier dari kurva kalibrasi)

2.9.3 Batas Kuantifikasi (Limit Of Quantification, LOQ)

Batas kuantifikasi didefiniskan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan. LOQ diekspresikan sebagai konsentrasi yang dapat memberikan respon memenuhi kriteria cermat dan seksama. LOQ dapat dihitung berdasarkan (Rumus 2). (Gandjar dan Rohman 2007)

Rumus 2 : Cara menghitung nilai batas kuantifikasi

LOQ=10 ×sb b Dimana:

Sb : Simpangan baku

b : Slope/Kemiringan (Garis linier dari kurva kalibrasi)

2.9.4 Akurasi (ketetapan)

Akurasi merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai terukur dengan nilai yang diterima baik nilai konvensi, nilai sebenarnya atau nilai rujukan. Akurasi diukur sebagai banyaknya pestisida yang diperoleh kembali pada suatu pengukuran dengan melakukan spiking pada suatu sampel. Kriteria cermat diberikan jika hasil analisis memberikan rasio antara 80-120%. Nilai akurasi dapat diperoleh berdasarkan perhitungan pada (Rumus 3). (Gandjar, dkk.,2007)

Rumus 3 : Cara menghitung nilai perolehan kembali

% Perolehan Kembali= Kadar Hasil Analisis


(41)

2.9.5 Presisi

Presisi merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya diekspresikan sebagai simpangan baku relatif dari sejumlah sampel yang berbeda signifikan secara statisitk. Presisi seringkali diekspresikan Standar Deviasi Relatif (RSD) dari serangkaian data (Gandjar dkk.,2007). Presisi dapat dihitung berdasarkan (Rumus 4).

Rumus 4. Cara menghitung nilai RSD

RSD= SD X

×100 %

Dimana:

X : Rata-rata data

SD : standar deviasi yang diperoleh berdasarkan (rumus 5)

Rumus 5 : Cara menghitung nilai SD

SD= (x –X ) 2 N ̶ 1 Dimana :

X : Rata-rata data

X : Data kadar hasil analisis N : Jumlah pengulangan data


(42)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kromatografi gas (Thermo Scientific TRACE 1300 Series GC) dan sentrifus (Hettich EBA 21). Sedangkan, alat gelas yang digunakan adalah labu ukur (Pyrex), gelas ukur (Pyrex), tabung sentrifus 50 ml, tabung disque 2 ml, vial, kaca arloji, tabung reaksi, batang pengaduk, spatula, pipet, syringe (Thermo), mikropipet, timbangan analitik (Mettler Teledo), blender (Phillips).

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tomat, asetonitril, aquades, magnesium sulfat, CH3COONa, n-Heksan, aseton, NaCl, PSA (kombinasi amin primer dan sekunder), baku pestisida (profenofos dan deltametrin), Curacron 500 EC, serta Decis 25 EC.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2014 di Balai Pengujian Mutu Hasil Tanaman Pangan Holtikultura Provinsi DKI Jakarta (BPMHTPH).

3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel tomat sebanyak ± 10 kg dengan berat masing masing tomat sekitar 45 - 100 gram. Lokasi pengambilan sampel tersebut yaitu di pasar induk Kramat Jati. Sampel yang telah diambil, dimasukkan ke dalam plastik kemudian disimpan ke dalam pendingin.

3.3.2 Determinasi Tanaman

Tomat dikumpulkan dan dilakukan determinasi tanaman di LIPI Bogor.


(43)

3.3.3 Validasi Metode QuEChERS 3.3.3.1 Uji Linearitas

A. Pembuatan larutan standar pestisida

1. Larutan Induk Profenofos 1007.44 ppm

Profenofos ditimbang sebanyak 10,0744 mg, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, lalu ditambahkan pelarut n-heksan aseton (9:1) sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen.

2. Larutan Profenofos 100.744 ppm

Dipipet profenofos sebanyak 1 ml dari larutan induk profenofos, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, lalu ditambahkan pelarut n-heksan aseton (9:1) sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen.

3. Larutan Profenofos 1.00744 ppm

Dipipet profenofos sebanyak 0.1 ml dari larutan profenofos 100.744 ppm, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, lalu ditambahkan pelarut n-heksan aseton (9:1) sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen.

4. Larutan Induk Deltametrin 1006.94 ppm

Deltametrin ditimbang sebanyak 10,0694 mg, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, lalu ditambahkan pelarut n-heksan aseton (9:1) sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen.

5. Larutan Deltametrin 100.694 ppm

Dipipet deltametrin sebanyak 1 ml dari larutan induk deltametrin, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, lalu ditambahkan pelarut n-heksan aseton (9:1) sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen.

6. Larutan Deltametrin 1.00694 ppm

Dipipet deltametrin sebanyak 0.1 ml dari larutan deltametrin 100.694 ppm dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, lalu ditambahkan pelarut n-heksan aseton (9:1) sampai tanda batas dan dikocok hingga homogen.


(44)

B. Persiapan Sampel

1. Masing-masing tomat disuntik deltametrin sebanyak 128 µl (deltametrin 0.25 ppm), 257 µl (deltametrin 0.5 ppm), 375 µl (deltametrin 0.75 ppm), 485 µl (deltametrin 1 ppm), 725 µl (deltametrin 1.5 ppm), 945 µl (deltametrin 2 ppm) dari larutan deltametrin 100.694 ppm, kemudian didiamkan selama 24 jam. Selanjutnya tomat dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam blender lalu ditimbang dengan seksama ± 10 gram.

2. Masing-masing tomat disuntik profenofos sebanyak 128 µl (profenofos 0.25 ppm), 257 µl (profenofos 0.5 ppm), 375 µl (profenofos 0.75 ppm), 485 µl (profenofos 1 ppm), 725 µl (profenofos 1.5 ppm), 945 µl (profenofos 2 ppm) dari larutan profenofos 100.744 ppm, kemudian didiamkan selama 24 jam. Selanjutnya tomat dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam blender lalu ditimbang dengan seksama ± 10 gram.

C. Ekstraksi residu pestisida pada sampel

Sampel sebanyak ± 10 g dimasukkan ke dalam tabung sentrifus 50 ml, kemudian ditambahkan 10 ml asetonitril lalu tabung ditutup. Setelah itu, dikocok kuat selama 45 detik lalu ditambahkan 6 g MgSO4 dan 1,5 g CH3COONa kemudian dikocok kembali selama 45 detik. Selanjutnya, disentrifugasi selama 2 menit dengan kecepatan 4000 rpm lalu diambil bagian supernatan dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Kemudian, ditambahkan 50 mg PSA (Primary Secondary Amine) dan 150 mg MgSO4. Selanjutnya tabung ditutup, dan dikocok selama 20 detik lalu disentrifugasi selama 2 menit dengan kecepatan 4000 rpm. Setelah itu, 0.5 ml supernatan dipindahkan ke vial untuk kromatografi gas lalu diinjeksi ke dalam kromatografi gas.

D. Analisis dengan Kromatografi Gas

Sampel diinjeksi ke dalam kromatografi gas. Kondisi kromatografi gas untuk deteksi deltametrin sebagai berikut :


(45)

Kolom : Rtx-5 Panjang kolom : 30 cm Diameter kolom : 0,25 mm

Gas Pembawa : Nitrogen dalam 1.5 ml / menit Detektor : ECD (Electron Capture Detector) Suhu Detektor : 320°C

Suhu Injektor : 250°C

Mode : Splitless

Oven : Temperature awal 210°C ditahan selama 1 menit, lalu mengalami kenaikan 14°C per menit sampai 280°C (ditahan selama 8 menit)

Kondisi kromatografi gas untuk deteksi Profenofos :

Kolom : Rtx-5

Panjang kolom : 30 cm Diameter kolom : 0,25 mm

Gas Pembawa : Nitrogen dalam 1.5 ml / menit Detektor : FPD (Flame Photomeric Detector) Suhu Detektor : 280°C

Suhu Injektor : 230°C

Mode : Splitless

Oven : Temperature awal 120°C ditahan selama 1 menit, lalu mengalami kenaikan 10°C per menit sampai 260°C (ditahan selama 2 menit)

3.3.3.2 Uji Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ)

Penetapan batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) dapat dihitung secara statistik mengunakan data yang diperoleh pada uji linearitas. Jumlah data yang diambil sebanyak 6 data yang diperoleh dari uji linearitas.

3.3.3.3 Uji Perolehan Kembali


(46)

konsentrasi 0.5, 1, dan 2 ppm, didiamkan selama 24 jam lalu dilakukan ekstraksi residu pestisida pada sampel, dan diinjeksi ke dalam kromatografi gas.

3.3.3.4 Penentuan Standar Deviasi

Penentuan standar deviasi dapat dihitung menggunakan data yang diperoleh pada uji perolehan kembali

3.3.4 Analisis Kualitatif Residu Pestisida Deltametrin dan Profenofos Sebelum Perendaman dengan Larutan Pestisida

Tomat sebanyak ± 250 g dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam blender lalu ditimbang dengan seksama ± 10 gram. Setelah itu, dilakukan ekstraksi residu pestisida pada sampel dan dianalisis dengan kromatografi gas.

3.3.5 Analisis Kuantitatif Residu Pestisida Deltametrin dan Profenofos pada Tomat Setelah Perendaman dengan Larutan Pestisida

A. Pembuatan Larutan Pestisida Deltametrin dan Profenofos

Konsentrasi 20 ppm : Ditimbang ± 200 mg curacron 500 EC dan ± 4000 mg decis 25 EC kemudian dilarutkan dalam 5 L air. (Perhitungan di lampiran 2) Setelah itu, tomat sebanyak ± 5 kg direndam dalam larutan tersebut selama 24 jam. Kemudian, dikering-anginkan selama ±1 jam.

B. Pembuatan Larutan NaCl

1. Larutan NaCl 0.9%

Ditimbang NaCl sebanyak 9 gram kemudian dilarutkan dalam 1 L air kemudian diaduk hingga homogen.

2. Larutan NaCl 5%

Ditimbang NaCl sebanyak 50 gram kemudian dilarutkan dalam 1 L air kemudian diaduk hingga homogen.

3. Larutan NaCl 10%

Ditimbang NaCl sebanyak 100 gram kemudian dilarutkan dalam 1 L air kemudian diaduk hingga homogen.


(47)

C. Persiapan sampel

Tomat sebanyak ± 5 kg (berat kisaran tomat 45-75 g) yang telah direndam dengan pestisida dibagi menjadi 5 bagian, masing-masing bagian sebanyak ± 1 kg, kemudian dari masing-masing bagian diambil sampel sebanyak ± 250 gram

D. Perlakuan terhadap sampel

Untuk masing-masing bagian sampel dilakukan perlakuan sebagai berikut:

1. ±250 gram tomat tidak dicuci (kontrol)

2. ±250 gram tomat dicuci dengan air mengalir sambil digosok (5 menit)

3. ±250 gram tomat direndam dengan NaCl 0.9 % sambil digosok (5 menit)

4. ±250 gram tomat direndam dengan NaCl 5 % sambil digosok (5 menit)

5. ±250 gram tomat direndam dengan NaCl 10 % sambil digosok (5 menit)

Setelah itu sampel dipotong kecil-kecil dan diblender, dilakukan ekstraksi residu dan dianalisis dengan kromatografi gas.

3.3.6 UJi F (One-Way Anova)

Uji F dilakukan terhadap data hasil kadar residu deltametrin dan profenofos secara kromatografi gas untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai rata-rata yang signifikan dari kadar residu deltametrin dan profenofos dengan perlakuan sebelum dan setelah dicuci. Uji F dapat disimpulkan berdasarkan perbandingan nilai probabilitas. Jika probabilitas > 0.05, maka Ho diterima sehingga menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan nilai rata-rata kadar residu pestisida pada tomat yang signifikan. Sebaliknya, jika probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak sehingga menunjukkan adanya perbedaan nilai rata-rata kadar residu pestisida pada tomat yang signifikan.


(48)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Determinasi Tanaman

Sampel tomat sebanyak ±10 kg diambil dari pasar induk Kramat Jati dengan berat masing-masing tomat berada di kisaran 45-100 gram. Kemudian, dilakukan determinasi tanaman di LIPI Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tomat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Solanum Lycopersicum Lam. (Lampiran 20) berdasarkan jenisnya, tomat ini merupakan jenis tomat apel (L. pyriforme) dimana bentuk buahnya bulat, kuat, sedikit keras menyerupai buah apel.

4.2 Validasi Metode QuEChERS

Pada penelitian ini telah dilakukan analisis residu pestisida pada tomat dengan melakukan prosedur validasi terlebih dahulu untuk penentuan kadar residu pestisida deltametrin dan profenofos dengan perlakuan sebelum dan setelah dicuci.

4.2.1 Uji Liniearitas

Validasi metode penetapan kadar diawali dengan uji linieritas dan pembuatan kurva kalibrasi. Kurva kalibrasi merupakan hubungan antara respon instrument berupa luas area kurva dari analit terhadap konsentrasi dari analit. Suatu kurva kalibrasi yang baik akan menghasilkan nilai koefisien relasi ( r ) mendekati 1, yang artinya peningkatan luas area kurva analit berbanding lurus dan signifikan dengan peningkatan konsentrasinya. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap 6 seri konsentrasi deltametrin dan profenofos (0.25 ; 0.5 ; 0.75 ; 1 ; 1.5 ; 2) µg/ml. Hubungan antara konsentrasi deltametrin dan profenofos dengan luas area yang dihasilkan ditunjukkan oleh kurva kalibrasi pada gambar 9 dan 10.


(49)

Gambar 9. Kurva Kalibrasi Deltametrin

Gambar 10. Kurva Kalibrasi Profenofos

Pada uji liniearitas, hubungan antara konsentrasi dengan luas area puncak diperoleh nilai koefisien korelasi (r) untuk deltametrin sebesar 0.9866 dan profenofos sebesar 0.9911. Dari kedua kurva tersebut menunjukkan koefisien korelasi mendekati satu, hal ini menandakan kedua kurva tersebut memenuhi syarat sehingga dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi deltametrin dan profenofos pada sampel tomat.

4.2.2 Uji Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ)

Batas deteksi adalah konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dikuantitasi. Sedangkan batas kuantitasi merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat ditentukan dengan metode yang digunakan dan memenuhi criteria cermat dan seksama (Harmita, 2006). Pada penelitian ini diperoleh nilai LOD dan LOQ deltametrin sebesar 0.254 µg/ml dan 0.848 µg/ml.

y = 249,499.529x - 30,386.696

R² = 0.9911

0 200000 400000 600000

0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500

L uas A re a v/ s)

Konsentrasi Profenofos (µg/ml)

Kurva Kalibrasi Profenofos

y = 858,317.765x - 149,431.598

R² = 0.9866

0 500000 1000000 1500000 2000000

0 0.5 1 1.5 2 2.5

L uas are a v/ s) Konsentrasi Deltametrin(µg/ml)


(50)

sedangkan untuk profenofos diperoleh nilai LOD dan LOQ sebesar 0.207 µg/ml dan 0.690 µg/ml. (Perhitungan dapat dilihat pada lampiran 5).

4.2.3 Uji Perolehan Kembali

Akurasi adalah kedekatan hasil penetapan yang diperoleh dengan hasil sebenarnya. Uji akurasi dinyatakan dalam persen perolehan kembali dari tiga konsentrasi yaitu 0.5, 1 dan 2 ppm yang diulang sebanyak 3 kali.

Dari tabel 4 dapat dilihat hasil uji perolehan kembali pada deltametrin dan profenofos. Hasil % uji perolehan kembali deltametrin adalah sebagai berikut : kadar 0.5 ppm sebesar 97.067%) ; kadar 1 ppm sebesar 81.367% ; kadar 2 ppm sebesar 97.383% dan untuk hasil % uji perolehan kembali profenofos adalah sebagai berikut : kadar 0.5 ppm sebesar 106% ; kadar 1 ppm sebesar 85%) ; kadar 2 ppm sebesar 97.95%. (Perhitungan dapat dilihat pada lampiran 6). Berdasarkan AOAC, 2002 nilai % uji perolehan kembali untuk konsentrasi analit 1 ppm – 10 ppm adalah 80 - 110%. Hasil uii perolehan kembali yang didapatkan berada di kisaran yang masih dapat diterima yaitu berada di rentang 80-110 %. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa data uji akurasi telah memenuhi persyaratan.

Tabel 4. Rata-rata % uji perolehan kembali untuk pestisida deltametrin dan profenofos pada tomat

Pestisida Kadar (ppm) X % Perolehan Kembali Deltametrin

0.5 97.067

1 81.367

2 97.383

Profenofos

0.5 106

1 85

2 97.95

Tabel 5. Rata-rata perolehan kembali yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analit (AOAC, 2002)

Analit Satuan Perolehan Kembali (%)

0.01 100 ppm 90-107

0.001 10 ppm 80-110

0.0001 1 ppm 80-110


(51)

4.2.4 Penentuan Standar Deviasi

Uji Presisi merupakan ukuran derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen (Harmita, 2006). Uji keseksamaan diperoleh dengan cara mengukur larutan deltametrin dan profenofos pada tiga konsentrasi yaitu 0.5, 1 dan 2 ppm sebanyak 3 kali pengulangan.

Nilai presisi (ketelitian) pengujian dapat diketahui berdasarkan nilai % RSD pada tabel 2 . Nilai RSD deltametrin adalah sebagai berikut : kadar 0.5 ppm sebesar 3.313% ; kadar 1 ppm sebesar 4.203% ; kadar 2 ppm sebesar 4.597% dan untuk nilai % RSD profenofos adalah sebagai berikut : kadar 0.5 ppm sebesar 5.882% ; kadar 1 ppm sebesar 5.325% ; kadar 2 ppm sebesar 4.699%. (Perhitungan dapat dilihat pada lampiran 7 dan 8). Berdasarkan M. Thompson dan Roger Wood, 1993 nilai % RSD untuk konsentrasi analit 1 mg/kg ˗ 10 mg/kg < 7 %. Hal ini menunjukkan bahwa pengukuran presisi yang dilakukan memenuhi kriteria seksama atau dengan kata lain presisi pengukurannya baik.

Tabel 2. Nilai % RSD untuk pestisida deltametrin dan profenofos pada tomat Pestisida Kadar (ppm) % RSD

Deltametrin

0.5 3.313

1 4.203

2 4.597

Profenofos

0.5 5.882

1 5.325

2 4.699

Tabel 3. Rekomendasi nilai RSD untuk konsentrasi analit berbeda ( M. Thompson dan Roger Wood, 1993)

Konsentrasi Analit pada Matriks sampel % RSD

100 mg/kg 5

10 mg/kg 7

1 mg/kg 11

100 µg/kg 15


(52)

4.3 Analisis Kualitatif Residu Pestisida Deltametrin dan Profenofos Sebelum Perendaman dengan Larutan Pestisida

4.3.1 Persiapan Sampel

Tomat yang telah diambil dari pasar induk kramat jati kemudian dilakukan Analisis Kualitatif untuk mengetahui ada atau tidaknya pestisida deltametrin dan profenfos pada sampel. Dari ± 10 kg tomat diambil sampel sebanyak ±250 gram kemudian tomat dipotong kecil-kecil dan diblender hingga halus setelah itu dilakukan ekstraksi residu pestisida dengan metode QuEChERS.

4.3.2 Ekstrasi residu pestisida

Metode QuEChERS “Quick Easy Cheap Effective Rugged and Safe” adalah metode persiapan sampel untuk analisis multiresidu pestisida yang pertama kali dilaporkan pada tahun 2003 (Anasttasiades, et al., 2003). Pada metode ekstraksi QuEChERS dilakukan proses ekstraksi dengan menambahkan 10 g sampel ke dalam tabung disque 50 ml kemudian ditambahkan 10 ml asetonitril. Asetonitril digunakan sebagai pelarut organik yang memberikan karakteristik terbaik untuk mengekstraksi berbagai macam jenis pestisida yang berbeda. Kemudian setelah tabung dikocok selama 45 detik ditambahkan 6 g magnesium sulfat dan 1.5 g natrium asetat. Natrium asetat digunakan sebagai buffer dan magnesium sulfat digunakan untuk menarik air dari fase organik. Setelah itu tabung kembali dikocok dan kemudian disentrifugasi. Setelah disentrifugasi dilakukan proses clean-up dengan memipet 1 ml supernatan kemudian dimasukkan ke dalam tabung disque 2 ml yang di dalamnya berisi 50 mg PSA (Primary Secondary Amine) dan 150 mg magnesium sulfat. PSA (Primary Secondary Amine) disini berfungsi untuk menghilangkan gula dan asam lemak, asam organik, lipid dan beberapa pigmen.

4.3.3. Analisis dengan Kromatografi Gas

Pengujian residu pestisida deltametrin dan profenofos menggunakan kromatografi gas. Kolom yang digunakan adalah jenis kolom kapiler yang bersifat non polar, dan detektor yang digunakan dalam pengujian residu


(53)

deltametrin adalah ECD (Electron Capture Detector). ECD merupakan detektor yang spesifik digunakan untuk pengujian pestisida golongan piretroid karena dapat mendeteksi senyawa-senyawa yang memiliki gugus ester. Sedangkan untuk pengujian profenofos digunakan detektor FPD (Flame Photomeric Detector). FPD merupakan detektor yang spesifik digunakan untuk pengujian pestisida golongan organofosfat karena dapat mendeteksi senyawa-senyawa yang mengandung gugus phosfat.

4.3.4 Hasil Analisis Kualitatif Residu Pestisida Deltametrin dan Profenofos Sebelum Perendaman dengan Larutan Pestisida

Larutan standar deltametrin dan profenofos (1ppm) diinjeksi ke dalam kromatografi gas. Hasilnya peak deltametrin berada pada waktu retensi 10.15 menit dan profenofos 9.7 menit. (Lampiran 17 dan 18). Data larutan standar dibandingkan dengan data dari sampel tomat. Hasilnya menunjukkan pada sampel tomat tidak ditemukan peak pada waktu retensi 10.15 dan 9.7 menit (Lampiran 14). Hal ini menandakkan bahwa sampel tomat yang diambil dari pasar induk kramat jati tidak mengandung residu pestisida deltametrin dan profenofos.

4.4 Analisis Kuantitatif Residu Pestisida Deltametrin dan Profenofos Pada Tomat Sebelum dan Setelah Dicuci

4.4.1 Persiapan Sampel

Sampel Tomat sebanyak ±5 kg (berat kisaran tomat 45-75 g) direndam dalam larutan pestisida (Deltametrin dan profenofos 20 ppm) selama 24 jam. Kemudian dikering-anginkan selama ±1 jam. Selanjutnya sampel dibagi menjadi 5 bagian, masing-masing bagian ditimbang ± 1 kg. lalu dari tiap-tiap bagian diambil ±250 gram tomat.

4.4.2 Perlakuan Terhadap Sampel

Untuk masing-masing bagian sampel dilakukan perlakuan sebagai berikut:


(54)

2. ±250 gram tomat dicuci dengan air mengalir sambil digosok (5 menit)

3. ±250 gram tomat direndam dengan NaCl 0.9 % sambil digosok (5 menit)

4. ±250 gram tomat direndam dengan NaCl 5 % sambil digosok (5 menit)

5. ±250 gram tomat direndam dengan NaCl 10 % sambil digosok (5 menit)

Setelah itu sampel dipotong kecil-kecil dan diblender, dilakukan ekstraksi residu dan dianalisis dengan kromatografi gas.

4.4.3 Hasil Analisis Kuantitatif Residu Pestisida Deltametrin dan Profenofos Pada Tomat Sebelum dan Setelah Dicuci

Hasil penelitian kadar residu pestisida deltametrin dan profenofos secara kromatografi gas dalam sampel tomat dengan perlakuan sebelum dan setelah dicuci dapat dilihat dalam tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata kadar residu pestisida deltametrin dan profenofos pada tomat No Perlakuan XKadar Residu

Deltametrin (mg/kg)

X Kadar Residu Profenofos (mg/kg) 1 Tidak dicuci

1.443 ± 0.279 2.162 ± 0.041 2 Pencucian dengan

air mengalir 0.672 ± 0.152 1.439 ± 0.138 3 Perendaman

dengan NaCl 0.9% 0.611 ± 0.144 1.943 ± 0.038 4 Perendaman

dengan NaCl 5% 0.449 ± 0.096 1.084 ± 0.018 5 Perendaman

dengan NaCl 10 % 0.41 ± 0.096 1.731 ± 0.064

Dari tabel di atas, diperoleh hasil kadar residu pestisida deltametrin untuk tomat yang tidak dicuci sebesar 1.443 mg/kg ; pencucian dengan air mengalir sebesar 0.672 mg/kg ; perendaman dengan NaCl 0.9% sebesar 0.611 mg/kg ; perendaman dengan NaCl 5% sebesar 0.449 mg/kg ; perendaman dengan NaCl 10% sebesar 0.41 mg/kg. Hasil kadar residu pestisida profenofos untuk tomat yang tidak dicuci sebesar 2.162 mg/kg ;


(55)

pencucian dengan air mengalir sebesar 1.439 mg/kg ; perendaman dengan NaCl 0.9% sebesar 1.943 mg/kg ; perendaman dengan NaCl 5% sebesar 1.084 mg/kg ; perendaman dengan NaCl 10% sebesar 1.731 mg/kg. (Perhitungan dapat dilihat pada lampiran 9 dan 10)

4.5 Uji Statistik

Uji F (One-way Anova) dilakukan untuk membandingkan efektivitas perlakuan dalam menghilangkan residu pestisida pada tomat.

Tabel 7. Rata-rata persentase penurunan pestisida deltametrin dan profenofos pada tomat

Pestisida Perlakuan (%) Tidak Dicuci Pencucian dengan Air Mengalir Perendaman dengan NaCl 0.9% Perendaman dengan NaCl 5% Perendaman dengan NaCl 10% Deltametrin 0 53.491 56.818 68.849 70.798

Profenofos 0 33.482 10.109 49.837 19.948

Gambar 11. Grafik Perbandingan Rata-Rata Penurunan Pestisida Deltametrin Dan Profenofos Pada Tomat Sebelum Dan Setelah Dicuci

Dibandingkan dengan kontrol (tidak dicuci), dari 4 perlakuan yang dilakukan untuk mengurangi pestisida deltametrin dan profenofos didapatkan hasil P<0.05. Jika P<0.05 dapat disimpulkan bahwa ada

0 53.491 56.818 68.849 70.708 0 33.482 10.109 49.837 19.948 0 10 20 30 40 50 60 70 80 %

Penurunan Pestisida Deltametrin dan Profenofos pada Tomat

Deltametrin


(56)

perbedaan yang signifikan di antara 4 perlakuan yang dilakukan. (Lampiran 13 dan 14).

Dari grafik tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya konsistensi antara konsentrasi NaCl dengan hasil penurunan kadar residu pestisida profenofos pada tomat (Fluktuasi). Hal ini bisa disebabkan oleh :

1. Pengambilan berat sampel tomat yang tidak merata 2. Penggosokan yang tidak merata.

Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa perendaman dengan NaCl efektif dalam mengurangi residu pestisida profenofos pada tomat.

Pada deltametrin, dari grafik dapat dilihat adanya konsistensi antara konsentrasi NaCl dengan hasil penurunan kadar residu pestisida deltametrin pada tomat. Perendaman dengan NaCl 10% memiliki efektivitas yang paling baik (70.798%) dan pencucian dengan air mengalir memiliki efektivitas yang paling rendah untuk menghilangkan deltametrin (53.491%). Efektivitas dalam menghilangkan residu deltametrin dapat ditunjukkan sebagai berikut : Perendaman dengan NaCl 10% > Perendaman dengan NaCl 5% > Perendaman dengan NaCl 0.9% > Pencucian dengan air mengalir. (Perhitungan dapat dilihat pada lampiran 11 dan 12).

Larutan NaCl mengandung ion Na+ dan Cl-. Ion-ion tersebut akan mempengaruhi molekul pestisida, ion Na+ akan terikat pada molekul pestisida yang berion negatif. Pengikatan molekul pestisida pada ion tesebut menyebabkan terjadinya presipitasi ( Whitford et al., 2009) sehingga memudahkan untuk mengurangi pestisida yang tertinggal pada permukaan buah dan sayuran.


(57)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Validasi analisis residu pestisida deltametrin dan profenofos yang telah dilakukan telah memenuhi syarat dengan nilai % RSD < 7 %, Uji perolehan kembali berada di kisaran 80 - 110 %, LOD dan LOQ deltametrin sebesar 0.254 µg/ml dan 0.848 µg/ml, dan profenofos sebesar 0.207 µg/ml dan 0.690 µg/ml.

2. Dari penelitian didapatkan hasil % penurunan kadar residu pestisida deltametrin adalah sebagai berikut : Pencucian dengan air mengalir sebesar 53.491% ; Perendaman dengan NaCl 0.9% sebesar 56.818% ; Perendaman dengan NaCl 5% sebesar 68.849% ; dan Perendaman dengan NaCl 10% sebesar 70.798%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan yang memiliki efektivitas paling baik untuk menghilangkan residu pestisida deltametrin adalah perendaman dengan NaCl 10% dan yang memiliki efektivitas paling rendah adalah pencucian dengan air mengalir.

3. Penurunan kadar residu pestisida profenofos pada tomat hasilnya berfluktuasi sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa perendaman dengan NaCl efektif dalam mengurangi residu pestisida profenofos. 4. Berdasarkan hasil uji statistik, perbandingan % penurunan pestisida

deltametrin dan profenofos pada tomat dari sampel dengan kontrol (tidak dicuci) dan dicuci didapatkan hasil P<0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan dari perlakuan yang yang dilakukan.

5.2 Saran

1. Perlu dilakuan analisis residu pestisida dengan menggunakan instrumen lainnya seperti GC-MS/MS atau LC-MS/MS


(58)

2. Dilakukan analisis residu pada pestisida selain deltametrin dan profenofos.

3. Dilakukan analisis residu pestisida pada komoditas buah dan sayuran lainnya.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Abdelaziz et al. 2010. Genotocicity of Chlorpyrifos and the Antimutagenic Role of Lettuce Leaves in Male Mice. Comunicata scientiae, 1(2): 137-145 Adisarwanto T, Wudianto R. 1999. Meningkatkan hasil panen kedelai. Jakarta.

Penebar swadaya, Hal 40-60

AOAC International. 2007. AOAC Official Method 2007.01. pesticide residue in food by acetoniril extraction and partitioning with magnesium sulfate. A world compendium the pesticide manual. 1997. British Crop Protection

Council, Edisi XI. UK: Hal. 186-8, 729-30

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2010. Budidaya Tanaman Sayuran. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Jambi.

Bhinder P, Chaundhry A. 2013. Genotoxicity of Acephate and Profenofos Assessed by PCR Assay. IJPRBS, volume 2 (4): 280-290

Budiman, A., M. Thamrin, S. Asikin, and Mukhlis. 2011. Potensi Ekstrak Flora Lahan Rawa Sebagai Pestisida Nabati. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa.

Djojosumarto, Panut. Pestisida & aplikasinya. 2008. Jakarta. PT. Agromedia Pustaka, H. 87-96: 104-110: 253

Edi, S., dan J. Bobihoe, 2010. Budidaya Tanaman Sayuran. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jambi.

Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi metode dan Cara Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, vol.1 no. 3 : 117-135

Haryantyo Eko, Suhartini Tina, Rahyayu Estu, 1995, Sawi dan Selada, Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta, hlm 15-23

Haryanto, E, T. Suhartini, E. Rahayu, dan H. Sunarjono. 2007. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya. Jakarta.

Imawati, Cory. 2008. “Penetapan kadar Logam Berat Merkuri dan Kadmium Dalam Sayuran Caisim (Brassica chinensis) Dan Sayuran Selada (Lactuca sativa) Menggunakan Analisis aktivasi Neutron.” Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta.


(60)

Lehotay, Steven J., Andre de kok., Maurice Hiemstra, Peter van Bodregaven. 2005. Validation of a Fast and Easy Method for the Determination of Residues from 229 Pesticides in Fruits and Vegetable using Gas and Liquid Chromatography and Mass Spectrometry Detection. Journal of AOAC International, vol 8, p.595-613.

Lehotay, Steven J., Mastovska, Katerina., Lightfield Alan R. 2005. Use of Buffering and Other Means to Improve Result of Problematic Pesticides in a Fast and easy Method for Residue analysis of Fruits and Vegetables. Journal of AOAC International, vol 88 no 2.

Lehotay, Steven J. 2004. Quick, Easy, Cheap, Effective, Rugged, and Safe (QuEChERS) approach for determining Pesticide Residues. Humana Press, USA.

Lesman. 2012. Insektisida Organik atau Pestisida Nabati. (On-line).

http://www.lestarimandiri.org/id/pestisida-organik/145-insektisida-organik-atau-pestisida-nabati.html diakses 8 januari 2014.

Mezxua, Milagroz., A Maria., Uroz, Martinez. 2009. Simultaneous Screening and Target Analytical Approach bu Gas Chromatography-Quadrupole-Mass Spectrometry for Pesticide Residues in Fruits and Vegetables. Journal of AOAC International, vol 92 (6)

Moreno et al. 2008. Multiresidue Method for the Analysis of More Than 140 Pesticide residue in Fruits and vegetables by Gas Chromatography Couples to triple Quadrupole Mass Spectrometry. Journal of Mass Spectromtry, 43: 1235-1254

Nugroho, H., dan D. Novalinda. 2007. Usaha Sayuran Sehat di Dataran rendah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Jambi.

Pestisida untuk pertanian dan kehutanan. 2000. Komisi Pestisida Departemen Pertanian. Jakarta, Hal 255-72

Pratiwi, Eka Ayu. 2013. “Analisis residu insektisida organofosfat dan piretroid menggunakan metode QuEChERS pada cabai merah keriting dan rawit hijau yang beredar di daerah Jakarta timur dengan perlakuan sebelum dan setelah dicuci.” Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta.


(61)

Rauh, Virginia et al. 2011. Seven-Year Neurodevelopmental scores and Prenatal Exposure to Chlorphyrifos, a Common Agricultural Pesticide. Environt Health Perspect, 119:1196-1201

Riza V.t. dan Gayatri. 1994. Ingatlah Bahaya Pestisdida. Penerbit PAN Indonesia. Jakarta, hlm 53-54

Rukmana Rahmat. 1994. Bertanam Selada dan Andewi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta, hlm 11-17

Soenandar, M., M. N. Aeni, dan A. Raharjo. 2010. Petunjuk Praktis Membuat Pestisida Organik. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Sudarmo, S. 2005. Pestisida Nabati. Kanisius. Yogyakarta.

Tarumingkeng, R.C. 2008. Pestisida Dan Penggunannya. (On-line). http://www.scribd.com/doc/3116466/Pestisida-dan-Penggunaannya

diakses 8 Januari 2014

United state environmental protection agency. Profenofos. 2006. United state; pp 7-8

Wihayanti, Lina hapsari. 2002. “Analisis residu insektisida organofosfat dan karbamat dalam tahu dan tempe pada beberapa pasar tradisional dan toko swalayan DKI Jakarta.” Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta.


(62)

Lampiran 1. Alur Penelitian

Validasi Metode QuEChERS

Uji Liniearitas

Uji LOD dan LOQ

UJi Perolehan Kembali

Penentuan Standar Deviasi Pengambilan sampel

tomat ± 10 kg di pasar induk Kramat Jati. Determinasi

sampel tomat di LIPI Bogor.

Analisis Kualitatif

Uji Statistik (One-way Anova) Analisis dengan Kromatografi Gas Ekstraksi Residu Pestisida

Persiapan Sampel Analisis dengan Kromatografi Gas Pengeringan sampel ± 1

jam (dikering-anginkan)

Ekstraksi Residu Pestisida

Persiapan Sampel Analisis Kuantitatif

Perendaman sampel dengan Larutan Pestisida (20 ppm)


(63)

Lampiran 2. Perhitungan Penimbangan Larutan Pestisida

A. Larutan Pestisida Profenofos 20 ppm

Kons ppm = Berat (mg)

Volume air (ml) × % Zat aktif 20 µg ml = x

5000 ml ×50 % 100000 µg =0.5x

x =200 mg

B. Larutan Pestisida Deltametrin 20 ppm

Kons ppm = Berat (mg)

Volume air (ml) × % Zat aktif 20 µg ml = x

5000 ml ×2.5 % 100000 µg = 0.025x


(64)

Lampiran 3. Perhitungan Larutan Baku Pestisida

A. Larutan Profenofos 1007.44 ppm

1007.44 µg/ml= x 10 x=10.0744 mg

B. Larutan Profenofos 100.744 ppm V1 ×N1=V2 ×N2

V1 ×1007.44=10 ×100.744 V1=1 ml

C. Larutan Profenofos 1.00744 ppm V1 ×N1=V2 ×N2

V1 × 100.744 = 10 × 1.00744 V1= 0.1 ml

D. Larutan Deltametrin 1006.94 ppm

100.694 µg/ml = x 10 x=10.0694 mg

E. Larutan Deltametrin 100.694 ppm V1 ×N1=V2 ×N2

V1 ×1006.94=10 ×100.694 V1=1 ml

F. Larutan Deltametrin 1.00694 ppm V1 ×N1=V2 ×N2

V1 × 100.694 = 10 × 1.00694 V1 = 0.1 ml


(1)

E.

Kromatogram larutan standar deltametrin kadar 0.5 ppm

F.

Kromatogram

larutan

standar deltametrin kadar 0.25 ppm


(2)

C.

Kromatogram larutan standar profenofos kadar 2 ppm


(3)

E.

Kromatogram larutan standar profenofos kadar 4 ppm

F.

Kromatogram larutan standar profenofos kadar 5 ppm


(4)

(5)

(6)