Akurasi Arah Kiblat Masjid dan Mushalla di Wilayah Kecamatan Payukumbuh Utara

(1)

AKURASI ARAH KIBLAT MASJID DAN MUSHALLA

DI WILAYAH KECAMATAN PAYAKUMBUH UTARA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

DANIEL ALFARUQI NIM. 1111044100065

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

iv

MASJID DAN MUSHALLA DI WILAYAH KECAMATAN PAYAKUMBUH UTARA. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hulum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. xi + 94 halaman + 11 lampiran.

Masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya masyarakat yang berada di wilayah Kecamatan Payakumbuh Utara dalam menentukan arah kiblat hanya berpatokan kepada metode taqribi yaitu menggunakan acuan perkiraan setelah ditentukan arah mata angin. Fakta menunjukkan bahwa metode ini memiliki kelemahan pada tingkat keakuratannya. Padahal seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, telah ditentukan metode yang lebih akurat untuk menentukan arah kiblat menggunakan hitungan yang rinci. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keakuratan arah kiblat masjid dan mushalla di wilayah Kecamatan Payakumbuh Utara.

Metode yang dipergunakan adalah metode deskriptif eksploratif, adapun jenis penelitiannya yaitu penelitian lapangan (Field Research) yang di padukan dengan penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian dilakukan di setiap masjid dan beberapa mushalla yang ada di Kecamatan Payakumbuh Utara menggunakan metode tahqiqi, yaitu melalui perhitungan menggunakan rumus ilmu ukur segitiga bola (Spherical Trigonometri) dengan alat bantu pengukuran menggunakan program Mizwala Qibla Finder. Kriteria dan sumber data yang digunakan yaitu pertama, data primer seperti wawancara, dokumentasi dan data observasi. Kedua, data sekunder yang diperoleh dari buku-buku dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan tema. Adapun teknik pengumpulan data diantaranya yaitu observasi, wawancara, dokumentasi dan data sampel. Data yang terkumpul selanjutnya di analisa dengan analisis deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan dari 25 masjid hanya 9 masjid atau 36% yang tepat, 1 masjid atau 4% ditoleransi ketepatan arah kiblatnya, dan 15 masjid atau 60% tidak tepat. Sedangan dari 50 mushalla yang dijadikan sampel, hanya 10 mushalla atau 20% yang tepat, 2 mushalla atau 4% ditoleransi ketepatan arah kiblatnya, dan 38 mushalla atau 76% tidak tepat arah kiblatnya.

Kata Kunci : Akurasi, Arah Kiblat, Masjid, Mushalla, Ka’bah, Payakumbuh Utara, Mizwala Qibla Finder, Metode Tahqiqi, Metode Taqribi,

Spherical Trigonometri. Pembimbing : Drs. H. Sirril Wafa, M.Ag. Daftar Pustaka : Tahun 1975 s.d Tahun 2015


(5)

v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat, nikmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang setia hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Nurkausar, S.Pd dan Ibunda Imelda, S.Pd yang selalu memberikan kasih sayang, bimbingan, dan doa tanpa kenal lelah. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

Dalam persiapan dan pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Syariah. Karena itu penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Kamarusdiana, S.Ag., MH. dan Sri Hidayati, M.Ag. selaku Ketua dan sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah.

3. Drs. H. Sirril Wafa, M.Ag. selaku pembimbing skripsi yang tak pernah lelah membimbing, mengarahkan, dan memberikan kritikan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.


(6)

vi

saran bagi penulis hingga terselesaikan skripsi ini.

5. Seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan memberikan arahan kepada kami selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. M. Soleh Hasan, Lc., MA. selaku orang tua kami selama belajar dan tinggal di Asrama Putra UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan teladan, mendidik, mengajarkan disiplin, dan memberikan ilmu yang sangat berharga bagi kehidupan kami.

7. Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL) Kota Payakumbuh yang telah mengeluarkan surat rekomendasi bagi penulis untuk melaksanakan penelitian di Kecamatan Payakumbuh Utara.

8. Nofriwandi, SH. dan Resfi Yendri, S.Ag. selaku Camat dan Kepala KUA Payakumbuh Utara beserta staf yang telah memberikan izin bagi penulis untuk memperoleh data-data yang diperlukan.

9. Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas beserta staf yang telah memberikan fasilitas kepada kami dalam menelusuri literatur yang berkaitan dengan skripsi ini.

10.Bapak-bapak pengurus masjid dan mushalla yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi dan keterangan guna melengkapi data yang dibutuhkan untuk penyusunan skripsi ini.


(7)

vii

11.Papa dan mama, serta kedua adikku Zikril Mustawa dan Nur Aisyah yang selalu mencintai, memberi semangat, harapan, arahan serta memberi dukungan baik secara materil maupun spiritual sampai terselesaikan skripsi ini dengan baik.

12.Kepada yang tersayang Resti Adita, A.Md. KG. yang selalu memberikan semangat, motivasi, saran, kritikan dan ide-ide kepada penulis dalam melakukan penelitian ini.

13.Keluarga besar Peradilan Agama Angkatan 2011 kelas A dan B terutama Syams Eliaz Bahri, M. Rafel, Didi Nahtadi, Rachmatullah Tiflen, Rudi Niyarto, Ahmad Saidi, Azmi Hayim Ali, Safira Maharani dan Nadia. Kawan-kawan Ikatan Keluarga Mahasiswa Minangkabau, KKN Palanta Rantau dan ISLAMMU Jabodetabek. Serta kawan-kawan Asrama UIN Jakarta angkatan 2011 terutama Yusup, Miqdad, Rizki, dan juga adik-adik asrama angkatan 2012 Junaidi Habibillah dan Lilik Jalaludin.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dalam proses membuka wawasan pengetahuan dan dapat menjadi salah satu cahaya penerang diantara ribuan cahaya pengetahuan lainnya.

Jakarta, 30 Maret 2015


(8)

viii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SKRIPSI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Review Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG ARAH KIBLAT A. Pengertian Arah Kiblat ... 16

B. Sejarah Arah Kiblat ... 17

C. Dasar Hukum Menghadap Kiblat dalam shalat ... 22

D. Hukum Menghadap Kiblat ... 28

E. Metode Penentuan Arah Kiblat ... 35

BAB III PROFIL MASJID DAN MUSHALLA A. Profil Kecamatan Payakumbuh Utara 1. Sejarah Singkat ... 48

2. Letak Geografis ... 49


(9)

ix

4. Keadaan Masyarakat ... 52

5. Keagamaan ... 54

B. Data Umum Masjid dan Mushalla ... 55

C. Status Tanah Masjid dan Mushalla ... 59

BAB IV DESKRIPSI HASIL PENELITIAN A. Perhitungan Arah Kiblat Masjid dan Mushalla di Kecamatan Payakumbuh Utara ... 64

B. Cara Masyarakat dalam Menentukan Arah Kiblat di Kecamatan Payakumbuh Utara ... 70

C. Keakuratan Arah Kiblat Masjid dan Mushalla di Kecamatan Payakumbuh Utara ... 79

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 88

B. Saran-saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 92 LAMPIRAN


(10)

x

Tabel 3.1 Struktur Organisasi Kecamatan Payakumbuh Utara ... 51

Tabel 3.2 Jumlah Kelurahan, RT, RW dan Kepala Keluarga ... 52

Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 53

Tabel 3.4 Struktur Organisasi KUA Kecamatan Payakumbuh Utara ... 54

Tabel 3.5 Data Umum Masjid ... 56

Tabel 3.6 Data Umum Mushalla ... 57

Tabel 3.7 Status Masjid Tanah Wakaf ... 59

Tabel 3.8 Status Mushalla Tanah Wakaf ... 60

Tabel 3.9 Status Mushalla Tanah Kaum ... 61

Tabel 3.10 Status Mushalla Tanah Pribadi ... 62

Tabel 3.11 Status Mushalla Tanah Pemda ... 62

Tabel 3.12 Status Mushalla Fasilitas Umum ... 63

Tabel 3.13 Status Mushalla Tanah Yayasan ... 63

Tabel 4.1 Data Koordinat Kecamatan Payakumbuh Utara ... 64

Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Arah Kiblat ... 66

Tabel 4.3 Kiblat Masjid yang Diukur Menggunakan Kompas ... 71

Tabel 4.4 Kiblat Masjid yang Diukur Menggunakan Bayang-bayang Matahari ... 72

Tabel 4.5 Kiblat Masjid yang Diukur Menggunakan Perkiraan Arah Barat . 73 Tabel 4.6 Kiblat Mushalla yang Diukur Menggunakan Kompas ... 74 Tabel 4.7 Kiblat Mushalla yang Diukur Menggunakan Perkiraan Arah


(11)

xi

Barat ... 76

Tabel 4.8 Kiblat Mushalla yang Diukur Menggunakan Bayang-bayang Matahari ... 77

Tabel 4.9 Kiblat Mushalla yang Diukur Menggunakan Software Kiblat ... 78

Tabel 4.10 Kiblat Mushalla yang Diukur Menggunakan Patokan Bangunan Masjid ... 78

Tabel 4.11 Arah Kiblat Masjid yang Akurat ... 79

Tabel 4.12 Arah Kiblat Mushalla yang Akurat ... 80

Tabel 4.13 Masjid yang Deviasi Minus (-) ke Utara ... 81

Tabel 4.14 Masjid yang Deviasi Plus (+) ke Utara ... 82

Tabel 4.15 Mushalla yang Deviasi Minus (-) ke Utara ... 82

Tabel 4.16 Mushalla yang Deviasi Plus (+) ke Utara ... 84

Tabel 4.17 Masjid yang Penyimpangan Arah Kiblatnya Paling Tinggi ... 85

Tabel 4.18 Mushalla yang Penyimpangan Arah Kiblatnya Paling Tinggi ... 86

Tabel 4.19 Toleransi Keakuratan Arah Kiblat Masjid ... 86


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) di mana mereka saling membutuhkan satu sama lain. Manusia tidak dapat hidup terasing dari manusia lain, melainkan harus selalu hidup dalam ikatan kelompok, golongan, atau kerukunan sebagai suatu kesatuan sosial.1

Hubungan antar sesama manusia dan antar sesama kelompok harus dikuatkan dan ditingkatkan ke tingkat yang lebih baik dari aspek spiritualitas sebagai pengendalinya. Karena tanpa aspek spiritualitas, kemanusiaan manusia akan menjadi lemah dan menurun bahkan rasa cinta, kasih sayang, kelembutan dan keadilan menjadi tidak ada. Jika hubungan manusia hanya ditinjau dari aspek materil saja, maka ia hanya akan menimbulkan kesewenang-wenangan, melepaskan keinginan menurut hawa nafsu, dan memunculkan naluri kemanusiaan yang liar tanpa ada ikatan maupun kontrol. Allah SWT menjadikan shalat sebagai media untuk membina manusia dan menempatkan nalurinya. Shalat menjadi fondasi hubungan antar manusia yang dibangun di atas dasar-dasar yang baik dan jauh dari bias tendensi dan keinginan hawa nafsu.2

1

Nurnaningsih Amriani, Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, cet.I, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 1.

2

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawas, Fiqih Ibadah,


(13)

2

Setiap Muslimin diwajibkan untuk menunaikan shalat lima waktu tepat pada waktunya dan harus menghadap kiblat.3 Arah kiblat dalam Islam sudah ditentukan, yakni harus menghadap ke Masjid al-Haram (Ka’bah).4

Pada dasarnya menghadap Ka’bah dalam wacana fiqih merupakan syarat

sah shalat yang tidak dapat ditawar-tawar, memang pada mulanya ketika Rasulullah SAW, berada di Mekkah beliau shalat menghadap Baitul Maqdis atas perintah dari Allah SWT. Hal ini dimaksudkan untuk membujuk hati para ahli kitab. Tetapi beliau sangat berharap agar arah kiblat di alihkan ke Ka’bah yang mulia, karena itulah kiblat bapaknya, Ibrahim Al-Khalil. Maka saat itu beliau banyak menengadah kearah langit, sambil berharap turunnya wahyu tentang pengalihan arah kiblat. Beliau benar-benar sangat mengharapkan hal ini, hingga akhirnya Allah SWT memenuhi keinginan beliau dan memerintahkan agar beliau menghadap ke arah Ka’bah. Di samping itu ada sebab lain yang membuat beliau

berkeinginan atas pengalihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, yaitu karena

orang-orang Yahudi yang sangat jahat biasa berkata, “Alangkah anehnya urusan Muhammad, dia berbeda dengan kita dalam masalah agama, namun sama dalam shalatnya dengan kiblat kita dan kalau tidak karena agama kita, tentu dia tidak tahu harus menghadap kemana ketika shalat”. Karena itulah beliau benar-benar

ingin agar Allah mengalihkan kiblat ke Ka’bah, sehingga orang-orang Yahudi tidak mempunyai cara untuk menyerang pribadi dan agama beliau.5

3

Depag, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1998), h. 25.

4

Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), h.69.

5

Muhammad Ali Ash-Shabuny, Tafsir Tematik Surat Al-Baqarah-Al-An‟am, cet.I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), h. 30.


(14)

Bagi orang yang berada di Mekkah dan sekitarnya, kewajiban menghadap

Ka’bah tidaklah menjadi masalah, karena mereka lebih mudah dalam melaksanakan kewajiban itu. Namun, hal ini menjadi persoalan bagi orang yang jauh dari Mekkah. Kewajiban seperti itu merupakan hal yang berat, karena mereka

tidak pasti bisa mengarah ke Ka’bah secara tepat.6

Umat Islam di Indonesia pada umumnya meyakini kiblat itu berada di sebelah Barat sehingga identik dengan arah Barat tempat terbenamnya matahari. Akibatnya, bagi mereka shalat itu harus menghadap ke Barat dimanapun mereka berada. Dengan demikian, masalah kiblat itu menjadi masalah sederhana yang dapat diketahui dengan diketahuinya arah terbit dan terbenamnya matahari. Ketika mereka masih berada di wilayah Indonesia, hal tesebut tidak menjadi persoalan, Akan tetapi, persoalannya akan menjadi lain apabila mereka berada di luar wilayah Indonesia seperti yang dialami oleh kaum muslimin Suriname Amerika Latin yang berasal dari pulau Jawa. Mereka tetap mengadap ke Barat dalam shalatnya, padahal semestinya harus menghadap ke Timur.7

Penentuan arah kiblat yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Pertama kali mereka menentukan arah kiblatnya ke Barat dengan alasan Saudi Arabia tempat dimana Ka’bah berada terdapat di sebelah Barat Indonesia. Hal ini dilakukan dengan perkiraan saja tanpa perhitungan dan pengukuran terlebih dahulu. Oleh karena itu, arah kiblat sama persis dengan tempat matahari terbenam. Dengan demikian arah kiblat itu identik

6

Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 126.

7


(15)

4

dengan arah Barat. Selanjutnya, berdasarkan letak geografis Saudi Arabiah terletak di sebelah Barat agak miring ke Utara (Barat Laut) maka arah kiblatnya ke arah tersebut. Oleh karena itu ada sebagian umat Islam yang tetap memiringkan arah kiblatnya agak ke Utara walaupun ia shalat di masjid yang sudah benar menghadap kiblat.8

Setelah mengenal ilmu falak, mereka menentukan arah kiblatnya berdasarkan bayang-bayang sebuang tongkat dengan berpedoman pada posisi matahari persis pada titik zenith Ka’bah.9 Setelah kompas ditemukan, umat Islam menggunakan alat tersebut untuk menentukan arah kiblat, namun cara ini kurang akurat. Selanjutnya dengan menggunakan perhitungan dan pengukuran setelah terlebih dahulu diketahui koordinat Ka’bah dan tempat yang bersangkutan. Sistem ini menggunakan dua cara, yaitu ilmu ukur bidang datar dan ilmu ukur bola (Spherical Trigonometri) dan ternyata hasilnya lebih akurat. Dalam perkembangan terakhir, sistem yang digunakan dalam menentukan arah kiblat adalah menggunakan pesawat theodolit setelah diketahui terlebih dahulu data arah kiblat hasil perhitungan ilmu ukur bola.10

Mengetahui secara pasti tentang cara menentukan arah kiblat tersebut sangat perlu agar kita merasa yakin telah menghadap kiblat dalam melaksanakan ibadah yang diwajibkan. Untuk mendapatkan keyakinan akan kiblat yang benar tersebut, maka kita perlu menentukan atau menghitung dengan teliti

8

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Pedoman Penentuan Arah Kiblat, (Jakarta: 1994/1995), h. 48.

9

Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah di Indonesia: Upaya penyatuan Mazhab Hisab, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003), h. 36.

10

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Pedoman Penentuan Arah Kiblat, (Jakarta: 1994/1995), h. 50-58.


(16)

kesempurnaan arahnya. Sebab bergeser sedikit saja dari arah yang sebenarnya, maka ia berarti tidak lagi menghadap ke Masjid al-Haram.11 Dalam pembangunan masjid dan mushalla keakuratan arah kiblat sangat perlu diperhatikan. Hal yang paling penting dalam persiapan pembangunan mushalla atau masjid adalah letak mihrab. Di sebelah mana dan ke arah mana ruang mihrab itu berada selalu menjadi perhatian utama ke arah mana mihrab itu menghadap, kelak menjadi patokan orang-orang sekitar untuk mengenali kiblat shalat.12

Walaupun telah ada teori untuk menentukan arah kiblat yang akurat seperti yang telah disebutkan di atas, namun kenyataannya praktek yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat berbeda dengan teori yang telah di tetapkan. Sampai saat ini masyarakat masih tetap menggunakan cara-cara yang tradisional seperti hanya dengan menentukan arah Barat dan memiringkan sedikit ke arah Utara yang hanya di lakukan dengan perkiraan semata ataupun hanya berpatokan kepada masjid atau mushalla terdekat tanpa ada perhitungan dan pengukuran terlebih dahulu.

Menurut data yang ditulis dalam buku penentuan arah kiblat Departemen Agama sebagai mana dikutip oleh Maskufa dalam bukunya yang berjudul Ilmu Falak, seharusnya arah kiblat kota Payakumbuh kalau diukur dari Barat ke Utara adalah 24º18’ jika masyarakat kota Payakumbuh berpatokan pada ukuran yang telah ditetapkan oleh Departemen Agama tersebut, maka pasti arah kiblat di kota Payakumbuh semuanya akan serasi. Namun penulis menemukan ada banyak variasi arah kiblat yang ada di kota Payakumbuh.

11

Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), h.71.

12

Sirril Wafa, dkk, “Akurasi Arah Kiblat Masjid dan Mushalla di Wilayah Ciputat,”

Laporan Penelitian, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), h.15.


(17)

6

Perbedaan antara teori penentuan arah kiblat yang telah penulis pelajari selama kuliah dengan praktik yang terjadi di masyarakat membuat penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut. Penulis merasa hal ini sangatlah penting untuk dikaji dan diteliti agar memperoleh jawaban yang jelas mengenai permasalahan tersebut, maka penulis membuat penelitian ini dengan judul

Akurasi Arah Kiblat Masjid dan Mushalla di Wilayah Kecamatan

Payakumbuh Utara.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah penelitian dan pembahasan dalam skripsi ini sehingga masalah yang akan diangkat jelas, maka penulis membatasi masalahnya hanya pada arah kiblat masjid dan mushalla di wilayah Kecamatan Payakumbuh Utara (Sumatera Barat) yang terdiri dari 25 kelurahan.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah pokok yangmenjadi objek kajian dalam skripsi ini sebagai berikut:

a. Bagaimana cara masyarakat di wilayah Kecamatan Payakumbuh Utara dalam menentukan arah kiblat masjid dan mushalla ketika awal pembangunannya?

b. Bagaimana tingkat keakuratan arah kiblat masjid dan mushalla di wilayah Kecamatan Payakumbuh Utara?


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Mengetahui cara masyarakat di wilayah Kecamatan Payakumbuh

Utara dalam menentukan arah kiblat masjid dan mushalla ketika awal pembangunannya.

b. Mengetahui tingkat keakuratan arah kiblat masjid dan mushalla di wilayah Kecamatan Payakumbuh Utara.

2. Manfaat Penelitian

a. Bagi peneliti sendiri semoga melalui penelitian ini bisa memperkaya khazanah keilmuan intelektualitas di bidang Ilmu Falak, khususnya yang terkait dengan penentuan arah kiblat.

b. Bagi kalangan akademisi, dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi ilmiah guna melakukan pengkajian lebih lanjut dan mendalam tentang akurasi arah kiblat.

c. Bagi kalangan praktisi dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan informasi kepada segenap pihak yang berkompeten untuk dijadikan bahan evaluasi terhadap penentuan arah kiblat yang kedudukannya sangat vital bagi pelaksanaan peribadatan umat Islam, terutama ibadah shalat.

d. Bagi masyarakat luas semoga dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat


(19)

8

mengenai cara penentuan arah kiblat agar shalat yang di dirikan lebih mencapai kesempurnaannya.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam melakukan penelitian ini, penulis telah menemukan beberapa skripsi yang membahas tentang arah kiblat. Berikut skripsi yang penulis temukan:

Afni Desiana Dalimunthe (206044103780) Akurasi Arah Kiblat Masjid di Wilayah Kecamatan Pamulang. Mahasiswa program studi Ahwal Syakhshiyah, konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1432 H / 2011 M. Dalam skripsi ini dibahas tentang akurasi arah kiblat masjid di 8 kelurahan pada Kecamatan Pamulang. Bedanya dengan penelitian penulis yaitu, selain wilayah yang berbeda, penelitian penulis tidak hanya mengukur tingkat keakuratan masjid saja, namun juga mengukur keakuratan kiblat mushalla yang ada di 25 kelurahan di Kecamatan Payakumbuh Utara.

Almahsuri (107044202402) Akurasi Arah Kiblat Mushalla Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Tangerang. Mahasiswa program studi Ahwal Syakhshiyah, konsentrasi administrasi keperdataan Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1432 H / 2011 M. Skripsi ini menjelaskan tentang akurasi arah kiblat mushalla di Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan asumsi bahwa seharusnya pengetahuan tentang ilmu falak untuk menentukan arah kiblat di ajarkan sedini mungkin dalam lembaga pendidikan. Bedanya dengan penelitian penulis yakni penulis memfokuskan pada tingkat ke


(20)

akurasian arah kiblat masjid dan mushalla yang ada dalam lingkungan masyarakat dengan asumsi bahwa pandangan masyarakat tentang keakuratan arah kiblat harus di perbaiki sesuai dengan teori yang semestinya.

Gusti Agung Wibisono (106044203687) Keakuratan Arah Kiblat Mushalla di Wilayah Bekasi Utara. Mahasiswa program studi Ahwal Syakhshiyah, konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1431 H / 2010 M. Dalam skripsi ini dibahas tentang bagaimana keakuratan arah kiblat mushalla di wilayah Bekasi Utara. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan tidak hanya terbatas pada kiblat mushalla saja, namun juga meneliti tentang kiblat masjid yang ada di 25 kelurahan dalam Kecamatan Payakumbuh Utara.

Pitri Wulandari (109044100042) Akurasi Arah Kiblat Masjid Daerah Perkotaan di Wilayah Kecamatan Grogol Petamburan Jakarta barat. Mahasiswa program studi Ahwal Syakhshiyah, konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1434 H / 2013 M. Skripsi ini membahas tentang akurasi kiblat pada masjid yang dilakukan di perkotaan dan meneliti keterkaitannya dengan pengetahuan masyarakat perkotaan dengan tingkat keakuratan arah kiblat. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan tidak hanya meneliti keakuratan kiblat masjid saja, namun juga meneliti keakuratan arah kiblat yang ada di mushalla di Kecamatan Payakumbuh Utara.

Poin utama yang membedakan penelitian penulis dengan beberapa skripsi lain yang pernah membahas tentang arah kiblat ini yaitu dalam cara penentuan arah mata angin. Penulis dalam menentukan arah mata angin memanfaatkan


(21)

10

cahaya matahari dengan media pendukung program dari Mizwala Qibla Finder. Sedangkan skripsi-skripsi diatas menggunakan alat bantu kompas.

E. Metode Penelitian

Metode adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Metode penelitian mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan dalam suatu kegiatan penelitian.13

1. Jenis Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang sumber datanya diambil dari tulisan-tulisan atau sumber bacaan yang diterbitkan untuk mendapatkan dasar teori dalam memecahkan suatu masalah yang timbul. Dalam hal ini yaitu dengan mencari dan mengumpulkan serta menganalisa buku-buku yang berkaitan dengan cara-cara atau teknik penentuan arah kiblat.

b. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu penelitian yang sumber datanya terutama diambil dari objek penelitian atau proses terjun langsung secara aktif ke lapangan untuk meneliti objek penelitian tersebut. Objek penelitian dalam hal ini adalah masjid dan mushalla di Kecamatan Payakumbuh Utara yang akan di teliti keakuratan arah kiblatnya.

13


(22)

2. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri selama penelitian berjalan. Hal ini berarti bahwa pada waktu awal penelitian dimulai, data masih belum ada, dan data tersebut baru ada setelah penelitian berlangsung.14 Adapun data primer berasal dari observasi langsung yang akan penulis lakukan berupa penghitungan dan pengukuran arah kiblat. Selain observasi langsung, penulis juga mewawancarai para pihak yang berkaitan, seperti pengurus masjid, pengurus mushalla dan juga pengurus Kantor Urusan Agama (KUA) di Kecamatan Payakumbuh Utara.

b. Data Sekunder

Data Sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer, terdiri dari buku-buku, artikel ilmiah, dan arsip-arsip yang mendukung.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data-data yang akurat saat penelitian, penulis menggunakan beberapa teknik, yaitu:

a. Observasi, adalah teknik pengumpulan data dimana penyelidik mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki.15 Artinya observasi itu adalah suatu metode

14

Yayan Sopyan, Metode Penelitian untuk Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, (Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 57.

15

Winarno Surachmad, Dasar dan Teknik Research (Pengantar Metodologi Ilmiah),


(23)

12

pengumpulan data dengan cara melakukan penelitian langsung ke tempat yang dijadikan objek penelitian.

b. Wawancara (Interview), yaitu cara yang digunakan kalau seseorang untuk tujuan sesuatu tertentu mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari seseorang responden dengan bercakap-cakap berhadapan muka dengan orang itu.16 Wawancara dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab langsung dengan para pihak yang berkaitan, seperti pengurus masjid, pengurus mushalla, KUA dan masyarakat sekitar.

c. Dokumentasi, merupakan pengambilan data yang diperoleh melalui dikumen-dokumen.17 Dalam hal ini penulis mengambil dokumen dan arsip-arsip yang ada di lembaga pemerintahan setempat yang dijadikan objek penelitian serta data-data dari literatur dan referensi yang berhubungan dengan judul penelitian ini.

d. Sampel, adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti menggunakan sampel yang diambil dari pupulasi.18

Dalam penelitian akurasi arah kiblat masjid dan mushalla ini, untuk bagian masjid penulis menggunakan populasi yaitu penulis

16

Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), h. 129.

17

Husaini Usman, dkk., Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h.69.

18

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif dan kualitatif dan R&D, cet. VII, (Jakarta: CV Afabeta 2009), h. 82.


(24)

meneliti arah kiblat seluruh masjid yang ada di Payakumbuh Utara yaitu sebanyak 25 masjid. Sedangan untuk arah kiblat mushalla penulis menggunakan sampel acak (Random Sampling), artinya sampel tersebut diambil secara acak dari wilayah sampel yang dipilih dalam penelitian ini.

Berdasarkan data yang penulis dapat dari KUA dan Kantor Camat Payakumbuh Utara, terdapat 65 mushalla yang tersebar dalam 25 kelurahan di Kecamatan Payakumbuh Utara. Dari 65 mushalla, penulis mengambil 50 mushalla sebagai sampel dalam skripsi ini.

4. Metode Analisis Data

Setelah seluruh data yang penulis peroleh baik dari library research maupun field research seperti interview maupun studi dokumentasi, data tersebut lalu dianalisa dengan analisa kualitatif, yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis serta lisan dan juga perilaku yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.19 Lalu di interpretasikan sedemikian rupa dengan metode deduktif. Adapun metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif eksploratif yakni menggambarkan atau melukiskan secara jelas dan terperinci mengenai suatu keadaan yang terjadi dilapangan secara objektif, sehingga didapatkan fakta-fakta yang diselidiki.

19


(25)

14

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang akan digunakan dalam penelitian ini berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi yang di terbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan persoalan yang akan dibahas dalam penelitian ini akanpenulis sajikan dalam 5 Bab, yaitu:

BAB I Pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Kajian Teoritis Tentang Arah Kiblat, bab ini berisi tentang

pengertian arah kiblat, sejarah arah kiblat, dasar hukum menghadap kiblat dalam solat, hukum menghadap kiblat, metode penentuan arah kiblat.

BAB III Profil Masjid dan Mushalla Kecamatan Payakumbuh Utara, di dalamnya dibahas tentang profil Kecamatan Payakumbuh Utara, data umum masjid dan mushalla di Kecamatan Payakumbuh Utara dan status tanah masjid dan mushalla di Kecamatan Payakumbuh Utara.

BAB IV Deskripsi Hasil Penelitian, dalam bab ini dijelaskan tentang deskripsi hasil perhitungan arah kiblat masjid dan mushalla di


(26)

Kecamatan Payakumbuh Utara, cara masyarakat dalam menentukan arah kiblat masjid dan mushalla pada awal pembangunan di Kecamatan Payakumbuh Utara, dan tingkat keakuratan arah kiblat masjid dan mushalla di Kecamatan Payakumbuh Utara.

BAB V Penutup, berisikan kesimpulan dan saran penulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.


(27)

16 BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG ARAH KIBLAT

A. Pengertian Arah Kiblat

Ada beberapa istilah penting yang perlu dijelaskan untuk mempermudah

memahami skripsi ini yaitu, akurasi, arah, kiblat dan ka’bah. Keempat istilah ini

saling berkaitan satu sama lain dan merupakan pembahasan pokok dalam skripsi ini.

Akurasi dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer berarti ketepatan, kecermatan dan ketelitian.1 Dalam kamus al-Munawwir, arah sering disebut dengan jihah atau syathrah dan terkadang disebut juga dengan qiblah yang artinya adalah hadapan.2 Bila kata syathrah diikuti oleh kata Masjid al-Haram seperti disebutkan dalam Q.S al-Baqarah ayat 144, maka maknanya adalah arah (menghadap) Masjid Haram.3

Kiblat yang dalam bahasa Arabnya disebut qiblah berasal dari kata

istaqbala yang semakna dengan wajaha, yang berarti menghadap. Sehingga kata

qiblah dapat diartikan hadapan, yaitu suatu keadaan (tempat) di mana orang-orang menghadap kepadanya.4

1

Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, cet.III, (Jakarta: Modern English Press, 2002), h. 36.

2

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), h. 1305.

3

Atabik Ali Ahmad Zuhdi Mudhor, Kamus al-Ashri, cet. IV, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), h. 1134.

4

Ahmad Izzuddin, Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya, cet.I, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012), h. 26.


(28)

Dalam The Encyclopedia of Religion kiblat adalah specific poin faced by Muslims when performing the daily ritual prayers (shalat) anywhere in the world. Artinya, kiblat adalah titik tertentu yang dihadapi oleh umat Islam saat melakukan shalat setiap hari di mana saja di dunia.5 Pada hakikatnya dalam kajian hukum Islam, istilah qiblah ini adalah satu arah yang menyatukan arah segenap umat Islam dalam melaksanakan ibadah shalat.6

Sedangkan Ka’bah adalah bangunan suci umat Islam yang terletak di kota Mekkah di dalam Masjidil Haram. Ia merupakan bangunan yang dijadikan sentral arah dalam peribadatan umat Islam yakni shalat.7

B. Sejarah Arah Kiblat

Kiblat umat Islam untuk melaksanakan ibadah shalat menghadap ke arah

Ka’bah. Ka’bah secara etimologi adalah Bait al-Haram di Mekkah, al-ghurfatu

(kamar), kullu baitin murabba‟in (setiap bangunan yang berbentuk persegi empat).8Ka’bah disebut juga dengan Baitullah, Baitul Haram dan Baitul Atiq atau rumah tua yang dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim dan puteranya Nabi Isma’il atas perintah Allah SWT.

Menurut terminologi Ka’bah adalah bangunan suci umat Islam yang terletak di kota Mekkah di dalam Masjidil Haram. Ia merupakan bangunan yang dijadikan sentral arah dalam peribadatan umat Islam yakni shalat dan wajib

5

Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, volume.7, (New York: Macmillan Library Reference USA, 1993), h. 225.

6

Perpustakaan Nasional, Ensiklopedi Islam, cet.V, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), h. 6.

7

Maskufa, Ilmu Falak, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), cet.II, h. 129.

8

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), h. 1305.


(29)

18

dikunjungi pada saat pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Bangunan Ka’bah berbentuk kubus yang berukuran 12 x 10 x 15 meter.9

Dalam The Encyclopedia of religion dijelaskan bahwa bangunan Ka’bah ini merupakan bangunan yang dibuat dari batu-batu (granit) Mekkah yang kemudian dibangun menjadi bangunan berbentuk kubus (cubelike building) dengan tinggi kurang lebih 16 meter, panjang 13 meter dan lebar 11 meter.10

Ka’bah mempunyai empat rukun atau pilar, setiap rukun mempunyai nama

tersendiri yaitu, rukun Aswadi yang terletak dipojok Timur tempat hajar aswad

dan disebut juga dengan Rukun I’roqi karena letaknya ke arah negara Iraq, Rukun Ghorbiy karena terletak dipojok Barat arah yang lain dari Hijir Ismail ke arah negara Mesir, Rukun Syami yang terletak di sebelah Utara (diarah hajar aswad ke hijir Ismail) disebut Rukun Syami karena letaknya ke arah negara Syam (Syiria), Rukun Yamani yang terletak di sebelah Selatan ke arah negara Yaman.11

Penelusuran yang dilakukan oleh kalangan mufasirin dan lainnya tidak ditemukan teks yang menyebutkan tentang siapa pendiri pertama dari Ka’bah.

Al-Qur’an hanya menyebutkan bahwa Ka’bah adalah rumah ibadah pertama yang

diperuntukkan Allah SWT bagi manusia, sebagaimana yang disebutkan dalam aurat Ali Imran ayat 96:









 

  



: ع ( 69

)

Artinya: “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk

manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang

9

Maskufa, Ilmu Falak, cet.II, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), h. 129.

10

Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, volume.7, (New York: Macmillan Library Reference USA, 1993), h. 225.

11

Muhammad Taufiq Ali Yahya, Mekah dalam Al-Qur‟an, Hadis dan Sejarah, Manasik


(30)

diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam”.(Ali „Imran

ayat 96)

Sejarah Ka’bah memang tidak bisa dipisahkan dari Nabi Ibrahim AS.

Bahkan Ka’bah indentik dengan Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail.12 Namun mereka bukan pendiri pertama Ka’bah, tapi hanya membangun kembali atau meninggikan dasar-dasar Baitullah13, sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 127:

                          ( : ق 721 )

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdo‟a), “Ya Tuhan kami, terimalah

(amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar,

Maha Mengetahui”.(al-Baqarah ayat 127)

Ka’bah sudah ada sebelum Nabi Ibrahim dan Putranya diberi mandat oleh Allah SWT untuk meninggikan pondasi Ka’bah, ini di indikasikan oleh do’a Nabi Ibrahim ketika mengantarkan Hajar istrinya dengan Ismail anaknya yang masih kecil ke Mekkah, seperti disebutkan dalam surat Ibrahim ayat 37:

                                              

: ب ( 71

)

Artinya: “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan

keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka

12

Zuhairi Miswari, Mekkah Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim, cet.II, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h. 216.

13

M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.I, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 324.


(31)

20

dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan

mereka bersyukur”. (Ibrahim ayat 37)

Nabi Ismail AS menerima Hajar Aswad (batu hitam) dari Malaikuat Jibril di Jabal Qubais, lalu diletakkan di sudut Tenggara bangunan. Hajar Aswad ini merupakan batu yang disakralkan oleh umat Islam. Mereka mencium atau menyentuh Hajar Aswad tersebut saat melakukan thawaf karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan hal tersebut. Setelah Nabi Ismail wafat, pemeliharaan

Ka’bah dipegang oleh keturunannya, lalu Bani Jurhum, lalu Bani Khuza’ah yang

memperkenalkan penyembahan berhala. Selanjutnya pemeliharaan Ka’bah

dipegang oleh kabilah-kabilah Quraiys yang merupakan generasi penerus garis keturunan Nabi Ismail. 14

Pada saat menjelang Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi sampai kepindahannya ke kota Madinah, bangunan Ka’bah yang semula rumah ibadah agama monotheisme (tauhid) ajaran Nabi Ibrahim telah berubah menjadi kuil pemujaan bangsa Arab yang di dalamnya diletakkan sekitar 360 berhala atau patung yang merupakan perwujudan tuhan-tuhan politheisme bangsa Arab ketika masa kegelapan pemikiran (jahilliyah) padahal sebagaimana ajaran Nabi Ibrahim yang merupakan nenek moyang bangsa Arab dan bangsa Yahudi serta ajaran Nabi Musa terhadap kaum Yahudi, Allah Sang Maha Pencipta tidak boleh dipersekutukan dan disembah bersamaan dengan benda atau makhluk apapun jua dan tidak memiliki perantara untuk menyembahNya serta tunggal tidak ada yang menyerupaiNya dan tidak beranak dan tidak diperanakkan (Surat al-Ikhlas dalam

14

Ahmad Izzuddin, Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya, cet.I, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012), h. 50.


(32)

al-Qur'an). Ka’bah akhirnya dibersihkan dari patung-patung agama politheisme ketika Nabi Muhammad membebaskan kota Mekkah tanpa pertumpahan darah dan dikembalikan sebagai rumah ibadah agama tauhid (Islam).15

Pada masa sebelum hijrah ke Madinah Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin dalam shalatnya menghadap ke Baitullah. Setelah hijrah ke Madinah kiblat dipindahkan ke arah Bait al-Maqdis di Yerusalem. Perpindahan arah kiblat ini dengan tujuan agar kaum Yahudi Bani Israil bisa tertarik kepada ajaran Nabi Muhammad, akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya.16

Perubahan arah kiblat dari Bait al-Maqdis di Yerusalem ke Ka’bah di Mekkah terjadi pada tahun ke 2 hijriah. Setelah Nabi Muhammad SAW melihat kenyataan bahwa perubahan kiblat ke arah Bait al-Maqdis dalam rangka menarik hati Bani Israil yakni agar dengan kesamaan kiblat itu mereka bersedia mengikuti ajaran Islam karena Bait al-Maqdis dibangun oleh Nabi Sulaeman AS leluhur Bani Israil yang sangat mereka kagumi, selama setahun setengah lebih Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin mengarahkan kiblatnya ke Bait al-Maqdis akan tetapi orang-orang Yahudi tetap dalam agamanya bahkan memusuhi Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin. Sehingga terbesik dalam hati Nabi SAW keinginan untuk kembali mengarah ke Ka’bah sebagaimana sebelum beliau berhijrah ke Madinah. Selain itu juga untuk menguji keimanan kaum muslimin apakah akan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya atau tidak.17

15Maskufa, Ilmu Falak, cet.II, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2010

h. 131.

16

Ibid., h. 131.

17

M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Vol.1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.344.


(33)

22

Pasca kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, Ka’bah semakin menarik perhatian seluruh dinasti Islam. Hampir seluruh pemimpin memberikan perhatian yang lebih, karena hal tersebut merupakan salah satu kebanggaan tersendiri menjadi pelayan bagi mereka yang hendak melaksanakan umrah dan haji.18

Selanjutnya bangunan ini diurus dan dipelihara oleh Bani Sya'ibah sebagai

pemegang kunci Ka’bah dan administrasi serta pelayanan haji diatur oleh pemerintahan baik pemerintahan khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, Dinasti Ummayyah, Dinasti Abbasiyyah, Dinasti Usmaniyah Turki, sampai saat ini yakni pemerintah kerajaan Arab Saudi yang bertindak sebagai pelayan dua kota suci, Mekkah dan Madinah.19

C. Dasar Hukum Menghadap Kiblat dalam Shalat

Ada beberapa nash dalam al-Qur’an dan Hadis yang memerintahkan kita untuk menghadap kiblat dalam shalat. Adapun nash-nash tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dasar Hukum al-Qur’an

a. Surat al-Baqarah Ayat 144

18

Zuhairi Miswari, Mekkah Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim, cet.II, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009), h. 242.

19

Ahmad Izzuddin, Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya, cet.I, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012), h. 51.


(34)

                                                                 

: ق ( 711 )

Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit20, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah

sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (al-Baqarah ayat 144)

Ali bin Thalhah berkata dari Ibnu Abbas, “Masalah yang pertama

kali di nasakh dalam al-Qur’an ialah masalah berkiblat (ke Baitul

Maqdis).” Yaitu ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah yang

mayoritas penduduknya adalah Yahudi, maka Allah menyuruhnya agar berkiblat ke Baitul Maqdis. Kaum Yahudi pun senang Rasulullah SAW berkiblat ke sana selama 10 bulan. Akan tetapi, Rasulullah mencintai

kiblatnya Ibrahim, oleh karenanya dia berdo’a kepada Allah Ta’ala dan

menengadah ke langit. Maka Allah menurunkan ayat ini.

Firman Allah “Di manapun kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya” Maksudnya, Allah Ta’ala menyuruh mengahadap ke

kiblat dari segala penjuru bumi Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Tidak

20

Maksudnya ialah Nabi Muhammad SAW sering melihat ke langit mendo’a dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.


(35)

24

ada satu perkara shalatpun yang dikecualikan dari perintah ini selain shalat sunnah ketika bepergian.21

b. Surat al-Baqarah Ayat 149

                               

: ق ( 716 )

Artinya:“Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah

wajahmu ke arah Masjidil haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali

tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan”. (al-Baqarah ayat 149) c. Surat al-Baqarah Ayat 150

                                                          

: ق ( 751 )

Artinya:“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah

wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”. (al-Baqarah ayat 150)

Dalam ayat-ayat di atas (al-Baqarah ayat 144, 149, dan 150) Allah menyebut طش ك ج ف sebanyak tiga kali. Menurut Ibn Abbas, pengulangan tersebut berfungsi sebagai penegasan pentingnya menghadap kiblat (ta‟kid). Sementara itu menurut Fakhrur Razi, hikmah dari tiga kali pengulangan ini ialah, perintah pertama (al-Baqarah : 144) ditujukan bagi

21

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir,


(36)

orang yang dapat melihat Ka’bah. Perintah kedua (al-Baqarah : 149) ditujukan bagi orang yang berada di Mekkah, namun tidak dapat melihat

Ka’bah. Sedangkan perintah ketiga (al-Baqarah : 150) di tujukan bagi setiap orang yang berada di berbagai negara.22 Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perintah menghadap kiblat itu tidak hanya ditujukan bagi orang yang berada di Mekkah dan sekitarnya saja, tetapi juga bagi semua umat Islam di berbagai penjuru dunia.

2. Dasar Hukum al-Hadits

Selain dasar hukum tentang kewajiban menghadap kiblat yang terdapat di dalam al-Qur’an, juga terdapat beberapa hadits yang berkaitan dengan arah kiblat, diantaranya adalah:

a. Hadits Riwayat Imam Muslim 1) Hadits dari Anas bin Malik ra

بأ ب ب بأ ث ح

أ ع ب ث ع

ب ح ث ح فع ث ح ش

أ

ع ه ص ه

ك

ص

ح

ب

ق

ف

ق(

ق

ب

ج

ك

ف

ء

ف

ك

ق

ض

ف

ج

ك

ش

ط

ج

ح

)

ف

ج

ب

ك

ع

ف

ص

ف

ج

ق

ص

ك

ع

ف

أ

ا

إ

ق

ق

ح

ف

ك

ح

ق

.

)

(

Artinya: “Menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas bin Malik ra bahwasanya Rasulullah SAW (pada suatu hari) sedang mendirikan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis. Kemudian turunlah ayat al-Qur‟an:

“Sesungguhnya Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada,

22

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyu Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 250.


(37)

26

palingkanlah mukamu ke arahnya. Kemudian seorang laki-laki Bani Salamah lewat (di hadapan sekumpulan orang yang

sedang shalat shubuh) dalam posisi ruku‟ dan sudah

mendapat satu rakaat. Lalu ia menyeru, sesungguhnya kiblat

telah berubah. Lalu mereka berpaling ke arah kiblat.” (HR. Muslim No. 1208)23

2) Hadits dari Usamah bin Zaid

ص ، ك ح ف ع ،

خ

ع ه ص

أ

" ق " ق ، عك

ق ف عك ج خ ف ،ج خ ح ف

(

)

Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW tatkala masuk ke Ka‟bah berdoa di sudut-sudutnya, tidak shalat di dalamnya sehingga beliau

keluar. Tatkala keluar, beliau shalat dua raka‟at menghadap Ka‟bah. Kemudian beliau berkata: “Ini adalah kiblat”. (HR. Muslim dari Usamah bin Zaid)24

3) Hadits dari Malik bin Anas

ق ع ب ع

ب ه ع ع أ ب ك ع

:

ب

ف

ص

ص

ح

ب

ق

إ ء

ج

ء

آ

ف

ق

إ

ه

ص

ع ه

ق

أ

ع

ق

أ

أ

ق

ع

ف

ق

ك

ج

إ

ّ

ف

إ

ع

.

(

)

Artinya : “Dari Malik bin Anas dari Abdullah bin Diyar dari ibnu

Umar berkata: ketika para sahabat sedang melakukan

shalat shubuh di masjid Quba‟ tiba-tiba datang seseorang kemudian berkata bahwa Rasulullah tadi malam telah diberi wahyu dan nabi diperintahkan untuk menghadap kiblat maka menghadaplah kalian semua ke kiblat. Ketika itu sahabat sedang melakukan shalat menghadap Syam maka mereka berputar menghadap Ka‟bah”. (HR. Muslim No. 1206)25

23

Abu Husain Muslim bin Hujjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim,

Juz 2, (Beirut: Dar Afaq al-Jadidah, t.th), h. 66.

24

Imam Muslim, Shahih Muslim, (Maktabah Syamilah), No. Hadits: 395, Juz. II, h. 968.

25

Abu Husain Muslim bin Hujjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim,


(38)

b. Hadits Riwayat Imam Bukhari

ع

أ

ب

ض

ه

ع

ص

أ

ع ه

ق

إ :

ق

إ

ص

ف

أ

غ

ض

ء

ث

ق

ق

ف

ث

ق

ب أ

ع

ك

ق

آ

ث

ك

ح ع

ط

ك

ع

ث

ف

ح ع

ق

ئ

ث

ج

ح

ط

ج

ث

ف

ح ع

ط

ج

ث

ج

ح

ط

ج

ث

ف

ح ع

ط

ج

ث

ف

ع

ك

ف

ص

ك

ك

)

ب

(

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi SAW bersabda: Apabila kamu bangkit hendak shalat, maka sempurnakanlah

wudhu‟, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah,

kemudian bacalah sesuatu yang mudah yang engkau hafal dari ayat-ayat al-Qur‟an, kemudian ruku‟lah hingga engkau

tuma‟ninah (disertai) dalam ruku‟ itu, kemudian angkatlah

kepalamu hingga engkau tegak dalam keadaan berdiri,

kemudian sujudlah disertai tuma‟ninah dalam sujud itu,

kemudian angkatlah kepalamu disertai tuma‟ninah dalam keadaan duduk, kemudian sujudlah (yang kedua) disertai

tuma‟ninah dalam sujud itu, kemudian kerjakan cara yang demikian itu dalam shalatmu seluruhnya.” (HR. Bukhari No. 6251).26

Berdasarkan pada pemaknaan ayat al-Qur’an dan hadits diatas, dapat disimpulkan bahwa menghadap kiblat hukumnya wajib dan menjadi salah satu syarat sahnya shalat. Hal ini berarti bila seseorang tidak

menghadap ke Ka’bah ketika melaksanakan shalat, maka shalatnya tidak

sah. Menghadap kiblat yang dimaksud adalah menghadap ke Ka’bah (Baitullah) Sehingga seseorang yang dapat melihat Ka’bah, maka wajib

menghadap ke Ka’bah. Namun bila tidak dapat melihat Ka’bah, maka wajib

menghadap ke arahnya.27

26 Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al

-Mughirah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid.I, (al-Qahirah: Dar al-Sya’ab, 1987), h.69.

27

Ahmad Izzuddin, Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya, cet.I, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012), h. 38.


(39)

28

D. Hukum Menghadap Kiblat

Jumhur ulama sepakat bahwa bagi orang-orang yang melihat Ka’bah wajib menghadap ke fisik Ka’bah („ain Ka‟bah) dengan penuh keyakinan dalam shalatnya. Sementara itu, bagi mereka yang tidak bisa melihat Ka’bah maka para ulama berbeda pendapat apakah tetap wajib menghadap ke fisik Ka’bah („ain Ka‟bah) atau cukup dengan menghadap ke arah Ka’bah saja (jihatul Ka‟bah). Beberapa pendapat para ulama madzhab tersebut sebagai berikut:

1. Madzhab Hanafi

Menurut Imam Hanafi, bagi orang-orang yang jauh dari Ka’bah maka cukup menghadap jihatul Ka‟bah saja. Apabila seseorang sudah menghadap

salah satu sisi Ka’bah dengan yakin, maka ia sudah termasuk menghadap Ka’bah. Pendapat Imam Hanafi ini juga diikuti oleh pengikutnya. Mayoritas ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang tidak melihat Ka’bah

secara langsung, wajib menghadap ke arah Ka’bah (jihatul Ka‟bah), yaitu menghadap ke dinding-dinding mihrab (tempat shalatnya) yang dibangun dengan tanda-tanda yang menunjuk pada arah Ka’bah.28

Argumentasi yang digunakan oleh mayoritas ulama Hanafiah ini berangkat dari kemampuan manusia untuk dapat menghadap. Menurut mereka, yang sebenarnya diwajibkan adalah menghadap kepada sesuatu yang mampu dilakukan (al-maqdur „alaih). Sedangkan menghadap kepada

bangunan Ka’bah („ainul Ka‟bah) merupakan sesuatu yang tidak dapat

28

Ahmad Izzuddin, Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya, cet.I, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012), h.40.


(40)

dilakukan. Oleh karena itu, tidak diwajibkan untuk menghadap kepadanya. Yang diwajibkan hanya menghadap ke arahnya saja.29

Menurut Hanafiyah bagi orang yang tidak mengetahui arah kiblat dan ingin mencari tanda yang menunjukkan kepada arah tersebut maka baginya ada tiga alternatif:

Pertama, berpatokan kepada mihrab tua yang didirikan oleh para

sahabat dan tabi’in, jika dapat ditemukan mihrab tua tersebut maka wajib

melaksanakan shalat ke arahnya. Jika masih mengerjakan shalat ke arah yang lain maka shalatnya tidak shah.

Kedua, jika berada di suatu daerah yang tidak terdapat mihrab tua, maka wajib bertanya kepada orang yang adil dan mengetahui dengan yakin akan arah kiblat di daerah tersebut.

Ketiga, kalau tidak mendapatkan mihrab dan tidak pula seseorang untuk ditanya. Dalam hal ini ia wajib mengetahui arah kiblat dengan jalan meneliti. Misalnya dengan cara melaksanakan shalat menghadap ke arah yang lebih diduga kuat bahwa itu adalah arah kiblat, maka shalatnya itu shah dalam keadaan yang bagaimanapun.30

2. Madzhab Maliki

Madzhab Maliki berpendapat bahwa bagi orang yang jauh dari Ka’bah dan tidak mengetahui arah kiblat secara pasti, maka ia cukup menghadap ke

arah Ka’bah secara zhan (perkiraan). Namun bagi orang yang mampu mengetahui arah kiblat secara pasti dan yakin, maka ia harus menghadap ke

29

Ibid., Ahmad Izzuddin, h. 41.

30

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu „ala Madzhahibil Arba‟ati, (al-Qahirah: Darul Hadits, 2004), h. 157.


(41)

30

arahnya. Argumentasi yang dipakai oleh aliran madzhab Maliki bahwa perintah menghadap kiblat yang tercantum di dalam al-Qur’an surat al -Baqarah ayat 144, “Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke

arahnya”, memberitahukan bahwa siapa saja yang letaknya jauh dari Ka’bah, maka hendaknya dia menghadap ke arahnya saja, bukan bangunannya, karena sangat susah menghadap ke bangunannya, bahkan ini tidak mungkin bisa dilaksanakan kecuali bagi yang melihatnya secara langsung.31

Malikiyah berpendapat bahwa apabila seseorang hendak melaksanakan shalat di suatu daerah yang tidak mengetahui arah kiblat, maka cara mengetahui arah kiblatnya adalah:

Pertama, melihat masjid yang bermihrab tua, ia wajib melaksanakan shalat menghadap arah mihrab itu. Kedua, Jika ia mendapatkan suatu daerah yang tidak ada mihrab, dan memungkinkan baginya untuk berijtihad tentang arah kiblat, maka ia wajib berijtihad dan tidak harus bertanya kepada seorang mukallaf yang adil. Ketiga, Jika tidak mendapatkan seseorang untuk ditanya maka ia boleh melaksanakan shalat ke arah mana saja yang ia pilih, dan shalatnya itu shah.32

31

Ahmad Izzuddin, Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya, cet.I, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012), h. 41-42.

32

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu „ala Madzhahibil Arba‟ati, (al-Qahirah: Darul Hadits, 2004), h. 157.


(42)

3. Madzhab Hanbali

Para ulama madzhab Hanbali sepakat atas wajibnya menghadap ke arah Ka’bah (jihatul Ka‟bah) bagi orang yang tidak dapat melihatnya, bukan

menghadap ke bangunan Ka’bah (‟ainul Ka‟bah).33

Ulama dari Madzhab Hambali berpendapat bahwa keadaan

orang-orang dalam menghadap ke Ka’bah terbagi menjadi empat, mereka adalah:

a. Orang yang sangat yakin, yaitu orang yang melihat langsung bangunan

Ka’bah, atau ia temasuk penduduk Mekkah, atau ia tinggal di Mekkah

tetapi berada di belakang penghalang batuan, seperti pagar. Maka

kiblatnya adalah menghadap ke bangunan Ka’bah tersebut secara

yakin.

b. Orang yang mengetahui arah Ka’bah melalui kabar orang lain. Karenanya, ia tidak perlu lagi berihtihad dan cukup mengikuti kabar yang disampaikan orang itu kepadanya. Seperti ia berada di Mekkah namun bukan penduduk Mekkah, dan ia tidak dapat melihat Ka’bah. Ia menemukan seseorang yang memberitahu kepadanya tentang arah

Ka’bah dengan penuh yakin atau melihatnya langsung. Demikian pula

jika seseorang berada di sebuah kota atau desa yang pandanganya tidak

dapat menjangkau bangunan Ka’bah, maka ia wajib menghadap ke mihrab dan kiblat mereka yang sudah dipasang. Sebab, mihrab tersebut

dibangun oleh orang yang ahli dan mengetahui arah Ka’bah. Maka

33

Ali Mustafa Yaqub, Kiblat Antara Bangunan dan Arah Ka‟bah, (Jakarta: Pustaka Darus-Sunnah, 2010), h.39.


(43)

32

kondisi ini sama seperti mengetahui kiblat melaui kabar dari orang lain.

c. Orang yang harus melakukan ijtihad dalam menentukan kiblat. Ia adalah orang yang tidak sama kondisinya dengan dua jenis orang diatas. Sementara ia memiliki beberapa tanda-tanda untuk mengetahui kiblat itu.

d. Orang yang wajib bertaklid. Ia adalah orang buta dan orang yang tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad. Ia adalah orang yang kondisinya berbeda dengan dua kondisi orang yang pertama. Karenanya, ia harus taklid kepada para mujtahid.34

4. Madzhab Syafi’i

Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm mengatakan bahwa wajib

menghadap ke bangunan Ka’bah secara tepat ketika mendirikan shalat. Karena orang yang diwajibkan untuk menghadap kiblat, ia wajib menghadap ke

bangunan Ka’bah seperti halnya orang Mekkah.35

Dalil yang digunakan oleh madzhab Syafi’i ini berdasarkan pada hadits Ibnu Abbas ra, yaitu:

أ

. ق : ق ، إ صف ،ج خ ع خ

ع ه ص

)

(

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW setelah memasuki Ka‟bah, beliau keluar lalu melakukan shalat dengan menghadapnya. Kemudian beliau bersabda: “Inilah Kiblat.” (Hadis Riwayat al Bukhari dan Muslim)36

34

Ibid., Ali Mustafa Yaqub, h. 33-36.

35

Ibid., Ali Mustafa Yaqub, h. 26.

36


(44)

Menurut Syafi’iyah terdapat empat tingkatan untuk mengetahui arah

kiblat:

Pertama, sesorang yang dapat mengetahui sendiri. Barangsiapa yang memungkinkan untuk mengetahui sendiri, ia wajib mengetahuinya sendiri, tanpa harus bertanya pada seseorang. Seorang buta yang berada di dalam masjid, bila memungkinkan baginya meraba tembok masjid untuk mengetahui kiblat, maka ia wajib melakukan hal itu, tanpa harus bertanya kepada seseorang.

Kedua, adalah orang yang bertanya kepada seorang yang dipercaya dan mengetahui kiblat. Bertanya kepada seorang yang dipercaya itu berlaku di saat seseorang memang tidak mampu mengetahui kiblat sendiri.

Ketiga, adalah dengan cara berijtihad. Cara ijtihad ini tidak shah kecuali apabila ia tidak mendapatkan seseorang yang dapat dipercaya untuk ditanya, atau ia tidak mendapatkan suatu wasilah yang dapat digunakan untuk mengetahui kiblat, atau tidak mendapatkan mihrab di suatu masjid.

Keempat, adalah dengan cara mengikuti seorang mujtahid, artinya bahwa apabila ia tidak bisa mengetahui arah kiblat dengan cara bertanya kepada seorang yang dapat dipercaya, dan tidak pula dengan mihrab dan lain sebagainya maka ia boleh mengikuti seseorang yang telah melakukan ijtihad untuk mengetahui arah kiblat, dan shalat dengan menghadap ke arah kiblat itu.37

37

Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu „ala Madzhahibil Arba‟ati, (al-Qahirah: Darul Hadits, 2004), h. 158.


(45)

34

Selain perbedaan pendapat mengenai kiblat bagi orang yang jauh dari

Ka’bah dan tidak dapat melihat Ka’bah, para ulama juga berbeda pendapat

tentang hukum bagi orang shalat yang kiblatnya salah.38

a. Menurut ulama Hanafiyyah dan Hanabilah, jika seseorang sedang mengerjakan shalat dan ternyata arah kiblatnya salah, sedangkan ia mengetahui arah kiblat yang benar itu masih dalam keadaan mengerjakan shalat, maka cukup dengan memutar tubuhnya untuk dihadapkan ke arah kiblat yang baru atau yang diyakini kebenarannya itu, ia tidak harus mengulangi shalat.

b. Menurut Malikiyyah, jika seseorang berijtihad untuk mengetahui arah kiblat, dan ternyata ijtihadnya salah dan kesalahan itu diketahui dalam shalat, baik secara yakin maupun zhan, bila ia dapat melihat dan penyimpangan ke arah kiblat itu besar, misal sampai membelakanginya, maka shalatnya harus diulang dari awal. Tetapi jika penyimpangannya sedikit atau ia buta, maka tidak perlu mengulang shalatnya.

c. Menurut Syafi’iyyah, jika seseorang meyaini kesalahan arah kiblat di tengah mengerjakan shalat atau sesudah mengerjakannya, maka dia harus mengulangi dari awal lagi, selama masih dalam waktu shalat. Jika mengetahui keslahan arah kiblat itu diwaktu shalat berikutnya, maka tidak perlu mengulang shalat diwaktu-waktu yang telah lalu. Pendapat

Syafi’iyyah ini dapat diibaratkan seorang hakim, jika dia memutuskan

suatu hukum, tiba-tiba pada saat itu juga (masih dalam sidang perkara) dia

38

Ahmad Izzuddin, Kajian Terhadap Metode-Metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya, cet.I, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012), h. 46-47.


(46)

mengetahui kesalahannya, maka keputusannya harus diganti (dirubah). Namun jika dia telah berijtihad, kemudian berubah ijtihadnya maka tidak membatalkan putusan sebelumnya yang berbeda dengan ijtihad pertama.

E. Metode Penentuan Arah Kiblat

1. Metode pengukuran taqribi (menggunakan acuan perkiraan)

Model yang digunakan dalam metode ini biasanya mengambil bentuk cara-cara yang sederhana. Data yang diperlukan cukup dengan mengetahui titik mata angin utama, yakni Utara, Timur, Selatan, dan Barat. Biasanya yang melakukan pengukuran dengan cara ini telah memiliki pengetahuan dasar

yang sederhana perihal posisi Ka’bah ditinjau dari tempat atau lokasi

pengukuran. Denga bekal pengetahuan arah mata angin utama tersebut,

dimana letak Ka’bah dari tempat pengukuran cukup dikenali apakah lurus, miring ke kanan, atau miring ke kiri. Perihal seberapa besar angka kemiringannya cukup ditentukan secara kira-kira saja. Karena penggunaan data dalam metode ini dilakukan secara perkiraan, maka pengukuran arah kiblat seperti ini dikategorikan pada metode taqribi.39

Data utama yang diperlukan dalam metode pengukuran taqribi ini hanya arah mata angin. Untuk mengetahui arah mata angin cara yang digunakan bermacam-macam. Tingkat akurasi penentuan titik mata angin ini pun kemudian menampakkan hasil yang bertingkat-tingkat. Adapun hasil yang diperoleh dalam pengukuran titik mata angin ini selama sudut kemiringannya

39

Sirril Wafa, dkk, “Akurasi Arah Kiblat Masjid dan Mushalla di Wilayah Ciputat,”

Laporan Penelitian, (Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), h.16.


(47)

36

ditentukan secara kira-kira, tetap akan membuahkan hasil yang taqribi yang memiliki tingkat keakuratan rendah.40

Adapun beberapa alat dalam metode taqribi dan teknik untuk melakukan pengukuran arah kiblat di suatu lokasi antara lain:

a. Menggunakan pisau silet

Pusat magnet pada titik Utara bumi dapat dicari melalui pisau siet, caranya dengan menempatkan pisau silet diatas permukaan air dengan syarat jangan sampai tenggelam. Tunggu sampai pisau silet bergerak mencari posisi, dan setelah stabil, pisau silet telah menemukan posisi arah Utara, yang ditunjukkan sebuah ujungnya dan ujung yang lain adalah arah Selatan. Selanjutnya tinggal membuat garis tegak lurus terhadap garis Utara dan Selatan, maka didapatlah titik Barat dan titik Timur. Dari titik Barat selanjutnya digeser sedikit ke arah kanan menurut selera pengukur. Maka arah tersebut adalah kiblat untuk Indonesia.41

b. Menggunakan kompas

1) Dengan kompas transparan

a) Kompas diletakkan pada bidang datar yang telah ditentukan titik Utara dan titik Selatan.

b) Titik pusat kompas berada di titik pusat perpotongan garis Utara Selatan dan Timur Barat, jarum kompas tepat mengarah Utara, lalu kompas diputar sebesar sudut yang dicari atau yang dikehendaki.

40

Ibid., Sirril Wafa, dkk., h. 16.

41


(48)

c) Setelah kompas diputar dan jarum kompas telah tepat pada derajat sudut yang dicari, diberi tanda atau titik katakanlah titik Q dan itulah arah kiblat yang dicari.

d) Dari titik Q, ditarik garis ke titik pusat perpotongan garis Utara Selatan dan Timur Barat, itulah arah kiblat yang dicari. Selanjutnya dari titik Utara, tarik garis lengkung ke titik Q akan membentuk sudut arah qiblat dan itulah sudut arah kiblat. 2) Dengan kompas magnet

a) Kompas diletakkan pada bidang datar yang telah ditentukan titik utara dan titik selatan.

b) Titik pusat kompas berada di titik pusat perpotongan garis Utara Selatan dan Timur Barat, jarum kompas tepat mengarah Utara, lalu kompas diputar sebesar sudut yang dicari atau yang dikehendaki.

c) Setelah kompas diputar dan jarum kompas (kcl) telah tepat pada derajat sudut yang dicari diberi tanda titik katakanlah titik Q dan itulah arah kiblat yang dicari.

d) Dari titik Q tarik garis ke titik pusat perpotongan garis Utara Selatan dan Timur Barat, itulah arah kiblat yang dicari. Selanjutnya dari titik Utara, tarik garis lengkung ke titik Q akan membentuk sudut arah kiblat dan itulah sudut arah kiblat.


(49)

38

3) Dengan kompas kiblat

Kompas qiblat merupakan alat yang sangat mudah digunakan untuk menentukan arah kiblat suatu tempat, sebab dengan meletakkan kompas tersebut pada suatu tempat, jarumnya akan secara otomatis mengarah atau menunjukkan arah qiblat yang dicari. Teknisnya sama dengan kompas transparan dan kompas magnet, bedanya kompas qiblat tidak perlu diputar.

Meskipun demikian, hasil yang diperoleh tetap merupakan perkiraan (tidak akurat) sebab pengaruh dari grafitasi dan gaya magnet bumi sangat besar sehingga menyebabkan adanya penyimpangan yang relatif besar.42

Menggunakan kompas memang cara yang paling mudah, tetapi perlu diketahui bahwa kompas (kompas magnetis) mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya bahwa kompas magnetis ini peka terhadap benda-benda logam yang berada disekitarnya dan kutub Utara magnet yang merupakan alat utama dalam kompas itu tidak selalu menunjukkan arah Utara sejati (Utara sesungguhnya) dari bumi.

c. Menggunakan busur derajat atau rubu‟ mujayyab

Menentukan arah kiblat dengan busur derajat sangat praktis dan mudah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

42


(1)

r-BIDANG IBADAH

10.

Dari

Sa'id

ibn

Sa'id al-Maqburi

dari Abu

Hurairah RA

bahwa ada seoro.ng laki-laki masuk ke masjid kemudian ia shalat

dan

saat

itu

ada Rasulullah sedang duduk di salah

satu sudut masjid. Setelah shalat orang itu mendatangi Rasul

dan memberi salam kepada beliau. Rasul

lalu

menjawab :

"Wa blaika al-salam, kembalilah/ulangilah shalatmu karena

sesungguhnya kamu belum shalat". Laki-laki

itu

kemudian mengulangi shalatnya dan kembali mendatangi Rasul serta memberi salam kepada beliau. Rasul menjawab salam dan

berkata

:

"ulangi kembali shalatmu karena kamu belum shalat". Kemudian laki-laki itu berkata di pengulangan shaiat

yang kedua atau sesudahnya : 'Ajarilah aku wahai Rasulullah"

Rasulullah menjawab

:

"Apabila engkau akan menunuikan

shalat maka sempurnakanlah wudlu, menghadaplah kiblat lalu bertakbirlah (takbiratul ihram), kemudian bacalah apa

yang mudah bagimu dari ayat-ayat al-Qur'an, lalu ruku'lah dengan thumahinah, lalu berdiri dengan sempurna,lalu sujud

dengan thumahinah, lalu duduk dengan thuma'ninah, lalu sujud dengan thuma'ninah, kemudian bangun dan duduk dengan tlruma'ninah. Makalakukanlah seperti itu pada setiap

shalat kamu" (HR. Imam Bukhari) Hadis Nabi SAW:

;ret-:JE

-l*:qr"nr J.-d'

...,i

.r".lt

qpt;tfoi'jp

(,jj,.Jl

ol;r) .41i

,rriltl

A,::Jt

Dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda

:'Arah

antara Timur dan Barat adalah Kiblat",

(HR.

Imam al-Turmudzi)


(2)

r--HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA SEJAK 1975

I

l.

Hadis Nabi SAW:

:

Jtt - &;

qf" &l

J* -,Jr

.ri

rg,,F

;l

oo

,tbo

o"

^ij

1r;r

J

(fl/l

J"sY

aL;

-r:Jr

I

r.r--Jl

Jr!

4jj

.;t

.€l a

Vsbs

k

rb

g

;,)t $!

.

Dari

Atho

dari lbnu

Abbas bahwa Nabi SAW bersabda:

"Ka'bah adalah kiblat bagi orang yang shalat

di

masjidil haram, dan masjidil haram adalah kiblat bagi penduduk yang tinggal

di

tanah haram (mekkah), dan tanah haram

(mekkah) ada kiblat bagi penduduk bumi

di

timurnya dan

di

baratnya dari umatku".

Pendapat Imam Ala al-Din al-Kasani al-Hanafi dalam Kitab Badai' Shanai'fi Tartib al-Syarai' :

dlr .a=

iov

otS

ri

Jr;:-"}

;*(rru

r,t^f J! r.!

.,I;)

of*Ir

.ri

Jp

a.KJt i-r-oL:,

Jr-

.3

.,tf.,!

.ijJr

Jl

*lt * .-l

rrru .rr-f

P WGr-

CtS,rt6-

.i,ir V

,y

sK

i6* g;i+,i

t-€r.e

ijE;*ci;r1:ir-; rl .;+l

k---

'e

Jt*y,

of,9 .JJJi

.--*.,

(l-$'e

Jl

o-ll 4y

*s

C:

t,!rli"ea;;

\r--ajit.-r1}l

,.fJ

kd*

Jl

oll

4e,r1-

a-ir r,' i;u

cr<

;t1i3...,-Jl

.rl,

\*r

-r;s.k.:r

J!)

,taJc ajuJl c,lrt")l.,

.rd\

,\s) tJ. u4t-:",

uV

J-*

g2 t61\)\1.J*F,

'Sesungguhnya bagi orang yang shalat tidak boleh kosong/ lepas, apakah

ia

mampu atau

tidak, untuk

menghadap

kiblat. Apabiia

ia

mampu maka wajib baginya menghadap

kiblat, jika ia dapat menyaksikannya (Ka'bah) maka ia harus

menghadap kepada <ainul Ka'bah ataukepada arah dari arah

kiblat. Iika ia tidak menghadap salah satunya maka itu tidak diperbolehkan, sebagaimana

firman Allah

"...dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya...".

Dan dalam keadaan yang memungkinkan menghadap tepat

ke'ainul Ka'bah maka wajib dilakukan. Namun

jika

ghaib

MEMPERHATIKAN:


(3)

BIDANG IBADAH

(tidak dapat melihat Ka'bah) maka waiib menghadap ke arah

Ka'bah (jihatul Ka'bah)

...!'

Pendapat Imam al-Qurtubi dalam Kitab Jami' al-Ahkam Al-Qur'an:

JLi

a-

.-(j-i

1'o+l

ri;lt

.1t,;' -1 -,,/uJrl

,f

}

J,

lJiL*l J

Y

tl..a-J<J c!.i+".a

-fs

(r

otY.r),JJ,Jr;,1r

Ju

.Jj!t,

:r-r"i a),U.I

g".-dt )^t

.i4*\

JU ;,.

pa-

t

.41

,j*-.;=l*tr

c

4rtgjJr;ilr cl :

Jrlt

'beQii';l

Jr-;

-JrJ

,rTrilt.l

q .,r,'tlt

cl

:

..)gr

ef

si

o;

,y

,.et\t

,t

,?.d.?

[eri "rqi ,.*ii

.t

,.;F

'e;ijij';1

it'"rl

ut

LU

,!

grJ' .lrrLjr

-,

*rr,

l-f":-l

eL.LJl

rll :

.JUt

.c-)t

;s

"Mereka berbeda pendapat apakah

waiib

bagi si ghaib

(orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka'bah) untuk menghadap tepat ke bangunan Ka'bah (hinul Ka'bah) atau ke

arah Ka'bah (jihatul Ka'bah) ? sebagian berpendaiat pertama

(yaitu, menghadap binul Ka'bah). Berkata lbnu Arabi (W. 543 H) : pendapat ini adalah lemah karena membebani orang yang

tidak dapat shalat dengan menghadap tepat ainul Ka'bah.

Sebagian

lain

berpendapat cukup menghadap arah Ka'bah

(jihatul Ka'bah). Pendapat terakhir inilah yangbenar, dengan tiga alasan : (1) Bahwa hal inilah yang memungkinkan bagi ketentuan sebuah taklif (pembebanan hukum).

(2)

bahwa

hal

initah yang diperintahkan oleh Al-Qur'an dalam ayat

,r/t

.r-JrrL-:,

A4-)

J9

(Maka Palingkanlah wajahmu ke

arah Masjidil haram)

yakni

belahan bumi

di

timur

dan

barat ,

p: fur: t)i

(Palingkanlah mukamu ke arahnya).

(3)

bahwa

para

ulama

berhujjah dengan (kebolehan) shalat dengan shaf yang panjang, yang sangat lemah (kecil

kemungkinan) dapat menghadap tepat ke bangunan Ka'bah


(4)

a-HIMPUNAN FATWA MA]ELIS ULAMA INDONESIA SEJAK 1975

3.

Pendapat Imam al-Syirazi dalam kirab al-Muhadzdzab:

Jtt

,)p -,f,)-rlt

i * ,j

Jt( d!r-

c,

p:

:)):

;.r

d "( I

Ot,

,-^---rlr.1

kir-

Jl

ljr*

d.r)

r,qJ,;11

4L

J.ra:-r

-;K,

;f

VV

, . t.,

iFt;-rl:tS:Jr

;

"irr .1u r.r.r,

.1\)ts

Jl4r.r

rJrr

.t-.rlr

3

I

ut<

r+:*

oi ot

,:Ki

,@'o:'4-.,"ri *) .r

c)

;4.jl

z".Vlw;t"

:1!l

.f

JE

:b\gt4+g

131

.i-+ll

)^

e$t

oi gJ.t ,J;:

v

glb1.q$t

*Jt

a?t-r! {,jJ al+Jt

U

re

"r!

;}

tr

J4Jl

.D'4

c--*,

I

aJr

f d]lt

i,tt

,

d!

,,rdl

.y

el

"Jika sama sekali

ia

tidak

memiliki petunjuk apa pun, maka

dilihat

maslahatnya.

Iika ia

termasuk orang yang mengetahui tanda-tanda atau Petunjuk kiblat, maka meskipun

ia tida

dapat melihat Ka'bah,

ia

tetap harus berijtihad

untuk mengetahui kiblat. Karena

ia

memiliki cara untuk

mengetahuinya melalui keberadaan matahari, bulan, gunung,

dan angin, karena

Allah

SWT berfirman:

,€:ro:r+e

#L;r'y:*t;,

"Dan

(Dia

ciptakan) tanda-tanda (penunjuk

jalan).

Dan

dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat Petunjuk".

(QS An-Nahl: 16)

Dengan begitu,

ia

berhak berijtihad (dalam menentukan

letak Ka'bah) seperti orang yang faham tentang .fenomena

alam. Ivlengenai kewajibannya, ada dua pendapat. Dalam kitab ul-Urnm, ImAm al-Syaf

i

berkata: "Yang wajib dalam berkiblat adclah menghadap secara tepat ke bangunan Ka'bah.

Karena orang yang diwajibkan untuk menghadap kibalt, ia wajib menghadap ke bangunan Ka'bah, seperti halnya orang

Mekkahj' Sedangkan teks yang jelas yang dikutip oleh Imam

al-Muzanni (murid Imam al-Syaf

i)

dari

Imam al-Syaf

i

mengatakan bahwa yang wajib adalah menghadap ke arah

Ka'bah (jihat al-Ka'bah). Karena, seandainya yang wajib itu adalah menghadap kepada bangunan Ka'bah secara fisik,


(5)

r-)'

BIDANG IBADAH

maka shalat jamaah yang shafnya memanjang adalah tidak sah, sebab di antara mereka terdapat ora.ng yang menghadap

ke arah di luar dari bangunan Ka'bah."

4.

Pendapat Ibnu Qudamah al-Hanbali :

."alj

*.,i1t1

.ry'If .x

U"

:

- *:

rb

it

,rt-

-

qpjJl

Ji

(r.:JJ

L,0+

l-

e* ,l

olrlbl

.6*.,.

ir*

t-rJ-

:)$1

cg;L)l

oly

..i-'ajr J"6i

i).e

c=.e

U

.JFJI

\Wt

.rb)l 0t'

,

c!9

..I.i c6.t*11 aS

d)U:-i JJrt-:, i^3

;)l-

\1

ti*. b &

.YtAl

e

:

J,

dli .b_/+

Yl.i"aJl

J*

e

q4t

Jt o*ja

bi

jr* )

r;p

.)ti

*lr;-t6"

t

i

...i-zJl ,rU-

C

6-.1 Lii.: l,:li

.g;itll6*1

{,Jl

*Dan

bagi kita adalah sabda Nabi sAW

,f:rt:*',irt

#rt,

dan barat adalah kibla{'(HR. Imam at-Tarmidzi), menurut sebuah pendapat hadist

ini

adalah hasan shahih. Yang jelas bahwa arah antara keduanya adalah kiblat karena jika yang diwajibkan adalah menghadap tepat ke bangunan Ka'bah

('ainul Ka'bah) maka tidaklah sah shalat orang dengan shaf

yang panjang..."

1.

Makalah Drs. KH. A. Ghazalie Masroeri tentang 'Arah Qiblat dari Indonesia"

dan "Posisi Arah Barat Indonesia" dalam Rapat Komisi Fatwa

MUI

tanggal I

|uli

2010;

2.

Pandangan dan pendapat rapat Komisi Fatwa

MUI

pada hari Senin tanggal 1

Februari 2010 dan 1

]uli

2010.

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN:

FATWA TENTANG ARAH KIBLAT

Pertama: Ketentuan Hukum

1.

Kiblat bagi orang yang shalat dan dapat melihat Ka'bah adalah menghadap ke bangunan Kabah ('ainul Ka'bah).

2.

Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Kabah adalah arah


(6)

HIMPUNAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA SEJI\K 1975

3.

Kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke barat laut dengan posisi bervariasi sesuai dengan letak kawasan masing-masing'

Kedua: Rekomendasi

Bangunan masjid/mushola yang tidak tepat arah kiblatnya, perlu ditata ulang shafnYa *

tanpa membongkar bangunannYa

-

DitetaPkan

di

: lakarta

Tanggal:

18

Raiab 1431 H

1 luli'2010 M

MAJELIS

ULAMA

INDONESIA

KOMISI FATWA

Ketua

DR. KH. Anwar

lbrahim

Sekretaris

ttd

D.rs., H. I{asanuddin, M.Ag

i

!

i

j i