BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi - Profil Pengamatan Faktor Risiko pada Pasien Multi Drug Resistant Tuberkulosis Paru di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

  Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

  

Mycobacterium tuberculosis , sebagian besar akan menyerang organ paru disebut

  dengan TB paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh yang lain disebut dengan TB ekstraparu, seperti pleura, kelenjar getah bening (mediastinum dan/atau hilus), abdomen, traktus genito urinarius, kulit, sendi, dan selaput otak (Depkes RI., 2008).

  Sumber penularan tuberkulosis adalah pasien TB basil tahan asam (BTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.

  Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI., 2008).

  Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer, resistensi sekunder dan resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang terjadi M. tuberculosis terhadap OAT, dimana penderita tidak memiliki riwayat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT, namun kurang dari satu bulan. Sedangkan resistensi sekunder, pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal satu bulan. Pada resistensi inisial, bila tidak diketahui pernah (Depkes RI., 2008).

  Pada resistensi primer (resistance among new case) individu terpajan dengan M. tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT (Soedarsono, 2010).

  Penemuan kasus resistensi pada penderita TB yang belum mempunyai riwayat mengkonsumsi obat antituberkulosis (OAT) sering digunakan untuk mengevaluasi penularan terbaru atau tertular galur kuman resisten (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

2.2 Epidemiologi

  WHO pada tahun 2001 telah mendata dan melaporkan negara-negara yang perlu mewaspadai akan marak terjadinya kasus MDR TB, diantaranya Afghanistan, Bangladesh, Brazil, Cambodia, China, Democratic Republic of Congo, Ethiopia, India, Indonesia, Kenya, Mozambique, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Philippines, Russia, South Africa, Tanzania, Thailand, Uganda, Vietnam, dan Zimbabwe (Reichman, 2002).

  Diperkirakan jumlah kasus MDR TB yang terjadi di seluruh dunia pada tahun 2004 adalah 424.203 Dalam tahun yang sama, terdapat 181.408 di perkirakan terjadi kasus MDR TB diantara kasus TB yang telah mendapat pengobatan sebelumnya. Negara China, India dan Federasi Rusia menunjukkan angka kasus MDR TB sebesar 261.362 atau 62% dari beban global diperkirakan (WHO, 2006).

  Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis menyebutkan bahwa penyebab utama meningkatnya beban masalah TB dunia antara lain adalah: a.

  Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara b.

  Kegagalan program TB selama ini yang diakibatkan oleh: i.

  Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan ii.

  Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya). iii.

  Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis) iv.

  Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas vaksin BCG (Bacille Calmette Guerin). v.

  Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.

  c.

  Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan.

  d.

  Dampak pandemi HIV (Depkes RI., 2008) Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden

  

countries) . Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB

  sebagai kedaruratan dunia (global emergency). Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap OAT (multidrug resistance/MDR) semakin menjadi masalah akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani (Depkes RI., 2008).

  Hasil survey global menjelaskan bahwa M. tuberculosis yang resisten terhadap OAT telah menyebar dan menjadi ancaman terhadap program pengendalian tuberkulosis di berbagai negara. WHO memperkirakan ada 300.000 kasus baru MDR TB dalam setiap tahunnya. M. tuberculosis yang resisten terhadap OAT akan semakin bertambah, saat ini 79% dari MDR TB adalah super

  strains yang resisten paling sedikit 3 atau 4 OAT (Soepandi, 2008).

  Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau MDR TB akan menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis.

  Kegagalan ini tidak hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. Resistensi obat anti TB (OAT) adalah suatu fenomena akibat perbuatan manusia, pengobatan penderita TB yang tidak adekuat menyebabkan terjadinya penularan dari pasien MDR TB ke orang lain/masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain:

  a. Faktor Mikrobiologik, diantaranya yaitu: resisten yang natural, resisten yang didapat, amplifier effect, virulensi kuman, tertular galur kuman yang telah MDR.

  b. Faktor Klinik, yang bergantung pada obat, penyelenggara kesehatan dan pasien itu sendiri. i. Faktor klinik obat, diantaranya: pengobatan TB dalam jangka waktu yang lama (lebih dari 6 bulan); obat anti tuberkulosis (OAT) dapat menyebabkan efek samping sehingga pengobatan tidak lengkap sampai selesai; obat tidak diare; kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap (fixed dose combinations) yang mana bioavibiliti rifampisinnya telah berkurang; regimen/ dosis obat yang tidak tepat; harga obat yang mahal/tidak terjangkau oleh penderita; dan ketersediaan/ pengadaan obat yang tidak berkesinambungan. ii. Sedangkan pada penyelenggara kesehatan, faktor penyebab terjadinya resistensi OAT, diantaranya: keterlambatan dalam menegakkkan diagnosis; pengobatan tidak mengikuti atau tidak adanya pedoman/guideline; penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT (dalam hal ini rifampisin atau INH); tidak ada/ kurangnya pelatihan TB terhadap tenaga kesehatan; tidak ada pemantauan pengobatan; fenomena addition syndrome

   yaitu suatu obat yang

  ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka penambahan satu jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten; serta organisasi program nasional TB yang kurang baik. iii. Dari segi pasien yaitu lingkungan yang buruk, sosial ekonomi yang rendah, pendidikan dan pengetahuan yang rendah, genetika dan faktor lain kepatuhan berobat yang rendah, pertahanan tubuh yang menurun, infeksi mikobakterium lain, infeksi HIV, dan penghambat patologis (Soepandi, 2008).

2.3 Patogenesis

  a. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutan resisten. Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama.

  b. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien.

  c. Pasien tuberkulosis diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan akan menyebarkan kuman. Pengobatan MDR TB sulit diobati serta memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal.

  d. Pasien dengan OAT yang resisten yang mendapat pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak OAT yang resisten (The amplifier effect). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif.

  e. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi, memperpanjang periode infeksious dan memperparah penyakit TB (Soepandi, 2008).

  Patogenesis tuberkulosis secara umum biasanya melewati beberapa tahap yaitu: a.

  Infeksi primer, yaitu infeksi yang terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan radang di dalam paru. Aliran getah bening akan membawa kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB.

  Meskipun demikian, beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi sakit TB. Masa inkubasi yaitu waktu sejak terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan (WHO, 2003).

  b.

  Tuberkulosis pasca primer (postprimary TB), biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas tuberkulosis pasca-primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya

  cavitas atau efusi pleura (WHO, 2003).

  c.

  Perjalanan alamiah TB yang tidak diobati, biasanya setelah lima tahun 50% dari pasien TB akan meninggal, 30% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 20% berlanjut mengeluarkan kuman dan tinggal sebagai sumber penularan untuk beberapa tahun sebelum meningggal. Pasien TB ekstraparu satu diantara dua akan mati dan yang lain secara spontan akan sembuh dengan meninggalkan cacat (WHO, 2003).

  d.

  Komplikasi yang sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan bentuk sebagai i.

  Hemoptisis masif (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan napas, atau syok hipo- volemik, ii. Kolaps lobus akibat sumbatan bronkus, iii.

  Bronkietasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru, iv.

  Pneumotoraks (pnemotorak/udara didalam rongga pleura) spontan atau kolaps spontan karena bullae yang pecah, v.

  Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal dan sebagainya, vi.

  Insufisiensi kardio pulmoner (cardio pulmonary insufficiency) (WHO, 2003).

2.4 Diagnosis

  Untuk menegakkan diagnosis resistensi obat TB diawali dengan mengenali faktor risiko dan mempercepat dilakukan diagnosis laboratorium. Deteksi lebih awal dan memulai terapi MDR TB merupakan faktor penting mencapai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dilakukan meliputi sputum BTA, uji kultur

  

M. tuberculosis dan resistensi obat. Kemungkinan resistensi obat TB secara

  simultan dipertimbangkan dengan pemeriksaan sputum BTA sewaktu menjalani paduan terapi awal (Depkes R.I., 2008).

  Penemuan pasien TB dengan mengenali gejala klinis utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala- gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI., 2008).

  Pelaksanaan diagnosis tuberkulosis biasanya dilakukan dengan beberapa pemeriksaan yaitu: a.

  Pemeriksaan dahak mikroskopis Pemeriksaan dahak mikroskopis erfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi- Sewaktu (SPS), yaitu: i.

  S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. iii.

  S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi (Depkes RI., 2008).

  b. Pemeriksaan foto toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks.

  Diagnosis TB tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis dan gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: i.

  Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis ‘TB paru BTA positif. ii.

  Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. iii.

  Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

  c.

  Pemeriksaan biakan penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi: i.

  Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis ii.

  Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak. iii.

  Petugas kesehatan yang menangani pasien MDR (Depkes RI., 2008).

  d.

  Pemeriksaan resistensi Uji resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (quality assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat dicegah (Depkes RI., 2008).

  Diagnosis terjadinya resisten obat anti tuberkulosis dilakukan berdasarkan uji laboratorium untuk menunjukkan isolat Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi tubuh secara in vitro sensitif atau telah resisten terhadap satu atau lebih obat-obat anti tuberkulosis. MDR TB adalah sesuatu bentuk resistensi obat TB dimana basil TB tidak bisa lagi dibunuh oleh sedikitnya dua buah antibiotik terbaik yang umumnya dapat menyembuhkan penyakit TB yaitu rifampisin (RIF) dan isoniasid (INH) berdampak pada pengobatan yang lebih sulit dan membutuhkan waktu lebih lama hingga 2 tahun (Depkes RI., 2008). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan alur diagnosis TB pada Gambar 2.1.

  Suspek  TB Paru  Pemeriksaan  dahak mikroskopis ‐ Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) 

  Hasil  BTA  Hasil Hasil BTA  BTA

    ‐  ‐  ‐ ‐ ‐  + + 

  • Antibiotik   Non‐OAT  Tidak Ada  ada   perbaikan perbaikan   Foto

   toraks dan pemeriksaan  dahak  pertimbangan

    dokter  mikroskopis  

  Hasil

  Hasil  BTA 

  BTA -

   

  • Foto  toraks dan  pertimbangan   dokter 

  bukan TB TB

Gambar 2.1. Bagan Alur Diagnosis TB

  Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: a.

  Kasus baru yaitu pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). b.

  Kasus kambuh (Relaps) yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau c.

  Kasus setelah putus berobat (Default ) yaitu pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

  d.

  Kasus setelah gagal (Failure) yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

  e.

  Kasus Pindahan (Transfer In) yaitu pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya (Depkes RI., 2008).

2.5 Klasifikasi Resistensi pada Tuberkulosis Paru Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi: 1.

  Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan; 2.

  Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah; 3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan (Soepandi, 2008).

  Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap OAT, yaitu:

  a. Mono-resistance (kekebalan terhadap salah satu OAT)

  b. Poly-resistance (kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan rifampisin) c. Multidrug-resistance /MDR (kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin) d. Extensive Drug-resistance/XDR (MDR TB ditambah kekebalan terhadap salah injeksi lini kedua, diantaranya kapreomisin, kanamisin, dan amikasin) e. Totally drug-resistance/TDR (dikenal juga dengan super XDR TB, yaitu: kuman sudah resisten dengan seluruh OAT lini pertama RHZES dan obat lini kedua amikasin, kanamisin, kapreomisin, fluorokuinolon, tionamid, PAS) (Soedarsono, 2010).

2.6 Penatalaksanaan

  Pengobatan kasus resistensi sangat mahal, lebih toksik, kurang efektif pada infeksi laten sehingga sering mengalami kegagalan. Oleh karena itu, strategi dalam program pengendalian resistensi TB harus ditekankan pada pentingnya pencegahan transmisi galur resisten (Soedarsono, 2010).

  Standar ke-15 pada International Standards for Tuberculosis Care berisikan standar penatalaksanaan TB resistensi OAT yaitu a.

  Pasien tuberkulosis yang disebakan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua.

  b.

  Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan.

  c.

  Cara-cara yang berpihak kepada pasien diisyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. d.

  Konsultasi dalam penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR TB harus dilakukan (Nawas, 2010).

  MDR TB terjadi bila strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten lini pertama. Pada pengobatan MDR, petugas kesehatan harus mengubah kombinasi obat dengan menambahkan lini kedua. Obat lini kedua memiliki lebih banyak efek samping, praktis pengobatan lebih lama, dan biaya mungkin 100 kali lebih besar dibandingkan terapi lini pertama. TB jenis MDR juga dapat tumbuh resisten terhadap obat lini kedua yang akan lebih menyulitkan pengobatan lagi (Soedarsono, 2010).

  Pengobatan MDR TB memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 18-24 bulan. Terdiri atas dua tahap: tahap awal dan tahap lanjutan. Pedoman WHO membagi pengobatan MDR TB menjadi lima group berdasarkan potensi dan efikasinya. Klasifikasi OAT yang dipergunakan dalam pengobatan MDR TB dibagi dalam 5 kelompok berdasarkan potensi dan efikasinya, yaitu: Kelompok pertama: pirazinamid dan etambutol, paling efektif dan ditoleransi dengan baik; Kelompok kedua: injeksi kanamisin atau amikasin, jika alergi diganti dengan kapreomisin atau viomisin, yang bersifat bakterisidal; Kelompok ketiga: fluoroquinolone, diantaranya: levofloksasin, moksifloksasin, ofloksasin, yang bersifat bakterisidal tinggi; Kelompok keempat: PAS, etionamid, protionamid dan Sikloserin, merupakan bakteriostatik lini kedua; Kelompok kelima: amoksisilin asam klavulanat, makrolide baru (klaritromisin), dan linezolid, masih belum jelas efikasinya (Soedarsono, 2010).

  Program penanggulangan TB dunia dimulai pada awal tahun 1990-an dimana WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade.

  Penerapan strategi DOTS yang baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga akan mencegah berkembangnya MDR TB. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes RI., 2008).

  Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci yakni: a. Komitmen politis.

  b.

  Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.

  c.

  Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.

  d.

  Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

  e.

  Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

  Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar kemudian diganti dengan pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, rifampisin dan ethambutol selama 6 bulan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Sampai tahun 2005, program Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara rumah sakit dan BP4/RSP baru sekitar 30% (Depkes RI., 2008).

  Target program pengendalian TB (Stop TB Partnership) bahwa pada tahun 2015, angka prevalensi dan mortalitas TB relatif berkurang 50% dibandingkan tahun 1990 dan minimal 70% infeksi TB dapat dideteksi dengan strategi DOTS, 85% diantaranya dinyatakan sembuh. Serta tahun 2050 TB bukan lagi masalah kesehatan masyarakat global. Salah satu tujuan Rencana Global 2006-2015 mencegah/menangani kasus TB resistensi OAT (MDR TB) dengan cara menjalankan program DOTS (WHO, 2010).

  Pada penatalaksanaan MDR TB yang diterapkan adalah strategi DOTS- Plus (Directly Observed Treatment Strategy-Plus). Pengobatan jangka pendek untuk MDR TB tidak tepat. Karena itu pada program DOTS-Plus huruf “S” diartikan Strategy, bukan Short–course therapy, sedangkan “Plus” artinya menggunakan OAT lini kedua dengan kontrol infeksi (Soepandi, 2008). Perbandingan prinsip strategi DOTS-plus dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbandingan antara Prinsip Strategi DOTS dengan DOTS-plus

  Komitmen administratif dan politik (pemerintah).

  Komitmen administratif dan politik (pemerintah) yang lebih lama. Diagnosis dengan kualitas yang baik menggunakan pemeriksaan sputum mikroskopis

  Diagnosis yang akurat dengan pemeriksaan kultur dan uji resistensi Pengobatan yang berkesinambungan terhadap lini pertama untuk pasien rawat jalan.

  Pengobatan yang berkesinambungan terhadap obat lini pertama dan kedua. pemberian obat lini kedua dilakukan dibawah pengawasan yang ketat

  Pengawasan obat secara langsung Pengawasan obat secara langsung. Pencatatan yang sistematik dan bertanggung jawab

  Sistem pelaporan dan perekaman data yang memungkinkan untuk evaluasi terhadap tahap akhir pencatatan

  Penatalaksanaan MDR TB harus sesuai dengan guideline, dosis, regimen, dan lama pengobatan yang tepat serta menerapkan strategi DOTS-Plus tersebut. Hal ini akan meningkatkan angka kesembuhan serta mencegah resistensi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

Dokumen yang terkait

Hubungan Faktor Provider dan Faktor Consumer dengan Pemanfaatan Rujukan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

2 57 171

Profil Pengamatan Faktor Risiko pada Pasien Multi Drug Resistant Tuberkulosis Paru di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012

1 42 63

Prevalensi Komplikasi Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUP H Adam Malik Medan pada Tahun 2009

0 40 71

Perbandingan Nilai Neutrofil Limfosit Rasio (NLR) pada Pasien Tuberkulosis Paru dan Multi-Drug Resistant (MDR) TB di RSUP H. Adam Malik Medan

0 1 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan TB paru dan MDR TB di Indonesia - Perbandingan Nilai Neutrofil Limfosit Rasio (NLR) pada Pasien Tuberkulosis Paru dan Multi-Drug Resistant (MDR) TB di RSUP H. Adam Malik Medan

1 4 56

Perbandingan Nilai Neutrofil Limfosit Rasio (NLR) pada Pasien Tuberkulosis Paru dan Multi-Drug Resistant (MDR) TB di RSUP H. Adam Malik Medan

0 3 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Mioma Uteri - Analisis Faktor Risiko Pasien Mioma Uteri Di RSUP. H. Adam Malik Medan Dan RS Jejaring

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Self Care 2.1.1. Definisi Self Care - Aktivitas Self Care pada Pasien Diabetes Melitus di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. NYERI 1.1 Definisi Nyeri - Pengalaman Nyeri Kronis pada Pasien Kanker di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 35

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Karakteristik Penderita Spondilitis Tuberkulosis di RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari 2010-Juni 2013

0 0 22