Hubungan Faktor Provider dan Faktor Consumer dengan Pemanfaatan Rujukan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

(1)

TESIS

Oleh

JUNIDA SINULINGGA 127032239/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

HUBUNGAN FAKTOR PROVIDER DAN FAKTOR CONSUMER DENGAN PEMANFAATAN RUJUKAN POLI TUBERKULOSIS MULTI DRUG

RESISTANT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JUNIDA SINULINGGA 127032239/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

(4)

Telah Diuji

Pada Tanggal : 22 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Anggota : 1. dr. Heldy B.Z, M.P.H

2. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H 3. dr. Fauzi, S.K.M


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN FAKTOR PROVIDER DAN FAKTOR CONSUMER DENGAN PEMANFAATAN RUJUKAN POLI TUBERKULOSIS MULTI DRUG

RESISTANT DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2014

Junida Sinulingga 127032239/IKM


(6)

ABSTRAK

TB MDR merupakan penyakit yang disebabkan oleh kuman tuberculosis yang resisten terhadap obat. Salah satu faktor penyebab timbulnya TB MDR adalah gagalnya pengobatan dan menghentikan pengobatan sebelum program pengobatan berakhir. RSUP HAM Medan merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan rujukan untuk mengobati penderita TB MDR. Jumlah pasien suspek TB MDR yang tidak memanfaatkan meningkat setiap tahun, yaitu tahun 2012 sebesar 23,0% dan tahun 2013 sebesar 44,9%. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor Provider dan Consumer dengan Pemanfaatan Rujukan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di RSUP HAM Medan.

Jenis penelitian survei explanatory. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien suspek TB MDR. Sampel sebanyak 108 orang, diambil dengan teknik non probability sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada α=0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Poli TB MDR sebagai rujukan lebih banyak tidak dimanfaatkan oleh pasien suspek TB MDR dan secara statistik faktor provider (sikap petugas medis, penjelasan tentang pengobatan, penyuluhan) dan faktor consumer (pengetahuan, persepsi tentang penyakit, persepsi tentang pelayanan, diagnosa klinis) berhubungan positif dan signifikan dengan pemanfaatan rujukan Poli TB MDR RSUP Haji Adam Malik Medan. Persepsi tentang penyakit memiliki hubungan yang lebih besar dengan pemanfaatan. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah perilaku pasien suspek TB MDR dalam pemanfaatan poli rujukan TB MDR lebih besar dipengaruhi oleh persepsi tentang penyakit. Pasien yang memanfaatkan poli rujukan TB MDR cenderung ketika penyakit yang diderita sudah mengganggu aktivitas sehari-hari bahkan sampai kronis, sehingga pihak provider harus berusaha keras mengatasi perilaku kepatuhan pasien.

Disarankan kepada: (1) Manajemen RSUP Haji Adam Malik Medan sebagai provider untuk: a) mengupayakan peningkatan kemampuan dan keterampilan petugas medis tentang teknik berkomunikasi melalui pelatihan Service Excellence rumah sakit secara berkala dan berkesinambungan, b) mengupayakan agar pemberian obat anti tuberkulosis hanya boleh diberikan oleh dokter yang telah mendapat lisensi untuk pengobatan TB, c) mengupayakan peningkatan pemberian penyuluhan kesehatan sejak awal pengobatan TB secara berkesinambungan berupa brosur atau leaftlet, d) mengupayakan peningkatan peran Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) untuk untuk memberikan penjelasan tentang penggunaan jasa pelayanan kesehatan rumah sakit. (2) Pasien sebagai consumer untuk: a) mematuhi pemanfaatan poli TB MDR sesuai dengan rekomendasi, b) meningkatkan kesadaran untuk menjaga kondisi kesehatan agar terhindar dari ancaman TB MDR.


(7)

ABSTRACT

TB MDR (Tuberculosis Multi Drug Resistant) is a disease caused by tuberculosis bacterium which is resistant to drugs. One of the causes of the incident of TB MDR is the failure of treatment or stopping the treatment before the treatment program ends. H.Adam Malik General Hospital is one of the referral health service facilities to treat the patients with TB MDR. The number of patients suspected of suffering from TB MDR who did not utilize this health service facility increased from year to year. The increase was 23.0% in 2012 and 44.9% in 2013.

The purpose of this explanatory survey study was to analyze the relationship between the factors of provider and consumer and the utilization of Tuberculosis Multi Drug Resistant Polyclinic at H.Adam Malik General Hospital. The population of this study was all of the patients suspected of suffering from TB MDR. The samples were 108 patients selected through non-probability sampling technique. The data for this strudy were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests at α = 0.05.

The result of this study showed that statistically the factors of provider (attitude of medical/health workers, the availability of drugs, extension) and consumer (knowledge, perception on the disease, perception on the service provided, clinical diagnose) had positive and significant relationship with the utilization of Tuberculosis Multi Drug Resistant Polyclinic at H.Adam Malik General Hospital. The variable of perception on the disease had bigger relationship with the utilization.

It is suggested that 1) the management of H.Adam Malik General Hospital a) provide coaching to develop the medical/health workers (doctors, nurses, counselor) on communication technique in delivering information, b) inform that anti tuberculosis drugs can only be given by the doctor with license to treat TB and be guided through DOTS and ISTC programs, c) to increase the provision of sustainable extension on health since the beginning of TB treatment using the language which can be easily understood in the framework of improving the knowledge of the sufferers of TB MDR, d) try to improve the role of Hospital Health Promotion (PHH) to provide extension to the patients in the framework of recognizing and solving problems during TB MDR therapy. 2) The patients should improve their compliance during therapy process, because noncompliance not only lower the level of patients’ recovery but also a threat to the incident of MDR.

Keywords: Provider Factor, Consumer, Utilization of TB MDR Polyclinic

Eyes constitute one of the senses which are very vital to human beings. Eye diseases caused by retina disorder is not competent enough because of the lack of ophthalmologists who specialize in retina case. One of the hospitals which serve eye


(8)

KATA PENGANTAR

Segala Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Hubungan Faktor Provider dan Faktor Consumer dengan Pemanfaatan Rujukan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis, dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

4. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan dr. Heldy B.Z, M.P.H, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H dan dr. Fauzi, S.K.M selaku penguji tesis yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

6 Terima kasih kepada Direktur Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan dan jajarannya yang telah berkenan memberikan izin meneliti untuk menyelesaikan studi pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.

7. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Rekan-rekan mahasiswa ARS B dan mahasiswa satu almamater di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat dan semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

9. Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ayahanda K.Sinulingga (Alm) dan dan Ibunda A. Peranginangin atas segala jasanya, sehingga penulis selalu mendapat pendidikan terbaik. Juga kepada Ayah Mertua Letkol H.Aziz Lubis, dan Ibu mertua Chadijah atas segala doa dan dukungannya.


(10)

10. Teristimewa buat suami tercinta Ir.Samsul Bahri Lubis MT serta anak-anak: Dhyanisa Nadhira dan Mahranisa juga Kakak dan Adik tersayang yang penuh pengertian, kesabaran, pengorbanan dan do’a serta rasa cinta yang dalam setia menunggu, memotivasi dan memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, September 2014 Penulis

Junida Sinulingga 127032239/IKM


(11)

RIWAYAT HIDUP

Junida Sinulingga, lahir pada tanggal 01 Juni 1965 di Kabanjahe, anak keempat dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda K.Sinulingga (Alm) dan Ibunda A. Br. Peranginangin.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Angkasa 1 Medan, selesai Tahun 1972, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 8 Medan, selesai Tahun 1993, Sekolah Menengah Atas di SMA Kristen 1 Medan, selesai tahun 1984. Fakultas Kedokteran Univeraitas Sumatera Utara selesai Tahun 1992. Mulai bekerja sebagai dr. PTT di Puskesmas Datuk Bandar 1994 sampai dengan 1997. Tahun 2001 sampai dengan 2009 berkerja sebagai dokter keluarga inhealth. Tahun 2010 sampai dengan 2012 sebagai dokter perusahan PT. Jasa Marga. Tahun 2012 sampai dengan sekarang bekerja sebagai tenaga Technikal official PPM, di TB-CARE I, KNCV.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Hipotesis ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan ... 10

2.2 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan ... 13

2.2.1 Model Pemanfaatan Anderson ... 13

2.2.2 Tipe Umum dari Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan . 16 2.2.3 Model Pemanfaatan Green ... 24

2.3 Persepsi ... 25

2.4 Perilaku ... 27

2.4.1 Definisi Perilaku ... 27

2.4.2 Aspek-Aspek Perilaku ... 29

2.4.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku ... 30

2.4.4 Pengetahuan ... 30

2.4.5 Sikap ... 32

2.5 TB MDR (Multidrugs Resistant Tuberculosis) ... 34

2.5.1 Definisi TB MDR ... 34

2.5.2 Kategori TB MDR ... 35

2.5.3 Klasifikasi Kasus TB ... 35

2.5.4 Suspek TB MDR ... 36

2.5.5 Penyebab Terjadinya TB MDR (Spigots) ... 37

2.5.6 Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) TB-MDR ... 37

2.5.7 Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Tuberkulosis Resisten Obat ... 38


(13)

2.6 Rumah Sakit ... 40

2.6.1 Definisi Rumah Sakit ... 40

2.6.2 Fungsi Rumah Sakit ... 41

2.6.3 Poli MDR ... 41

2.6.4 Alur Pelayanan Pasien di Poli TB MDR ... 42

2.7 Landasan Teori ... 43

2.8 Kerangka Konsep ... 45

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 46

3.1 Jenis Penelitian ... 46

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 46

3.2.2 Waktu Penelitian ... 46

3.3 Populasi dan Sampel ... 47

3.3.1 Populasi ... 47

3.3.2 Sampel ... 47

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 49

3.4.1 Data Primer ... 49

3.4.2 Data Sekunder ... 49

3.4.3 Validitas dan Reliabilitas ... 49

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 51

3.5.1 Variabel Bebas ... 51

3.5.2 Variabel Terikat ... 52

3.6 Metode Pengukuran ... 53

3.7 Metode Analisis Data ... 54

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 55

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 55

4.1.1 Sejarah Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan . 55 4.1.2 Visi dan Misi ... 56

4.1.3 Tugas Pokok dan Fungsi ... 57

4.2 Analisis Univariat ... 58

4.2.1 Identitas Responden ... 58

4.2.2 Faktor Provider ... 62

4.2.3 Faktor Consumer ... 68

4.2.4 Pemanfaatan Poli TB MDR RSUP Haji Adam Malik Medan ... 73

4.3 Analisis Bivariat ... 74

4.3.1 Hubungan Sikap Petugas Medis dengan Pemanfaatan ... 74

4.3.2 Hubungan Penjelasan tentang Pengobatan dengan Pemanfaatan ... 75

4.3.3 Hubungan Penyuluhan dengan Pemanfaatan ... 75


(14)

4.3.5 Hubungan Persepsi tentang Penyakit dengan Pemanfaatan .. 76

4.3.6 Hubungan Persepsi tentang Pelayanan Poli TB MDR dengan Pemanfaatan... 77

4.3.7 Hubungan Diagnosa Klinis dengan Pemanfaatan ... 78

4.4 Analisis Multivariat ... 78

4.4.1 Menilai Kelayakan Model Regresi... 78

4.4.2 Menilai Keseluruhan Model (Overall Model Fit) ... 79

4.4.3 Pengujian Hipotesis ... 79

BAB 5. PEMBAHASAN ... 82

5.1 Hubungan Faktor Provider dengan Pemanfaatan Poli TB MDR RSUP Haji Adam Malik Medan ... 82

5.1.1 Hubungan Sikap Petugas Medis dengan Pemanfaatan ... 82

5.1.2 Hubungan Penjelasan tentang Pengobatan dengan Pemanfaatan ... 85

5.1.3 Hubungan Penyuluhan dengan Pemanfaatan ... 88

5.2 Hubungan Faktor Consumer dengan Pemanfaatan Poli TB MDR RSUP Haji Adam Malik Medan ... 91

5.2.1 Hubungan Pengetahuan dengan Pemanfaatan ... 91

5.2.2 Hubungan Persepsi tentang Penyakit dengan Pemanfaatan .. 94

5.2.3 Hubungan Persepsi tentang Pelayanan dengan Pemanfaatan 98 5.2.4 Hubungan Diagnosa Klinis dengan Pemanfaatan ... 100

5.3 Pemanfatan Poli TB MDR RSUP HAM Medan ... 103

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 108

6.1 Kesimpulan ... 108

6.2 Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 110 LAMPIRAN


(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 47

3.2 Metode Pengukuran Variabel Bebas dan Terikat ... 53

4.1 Distribusi Identitas Responden ... 60

4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Petugas Medis ... 64

4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap Petugas Medis ... 64

4.4 Distribusi Responden Berdasarkan Penjelasan tentang Pengobatan ... 65

4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Penjelasan tentang Pengobatan ... 66

4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Penyuluhan ... 66

4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Penyuluhan ... 67

4.8 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang TB MDR ... 67

4.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan tentang TB MDR ... 68

4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi tentang Penyakit TB MDR ... 69

4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Persepsi tentang Penyakit TB MDR ... 70

4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi tentang Pelayanan TB MDR .. 70

4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Persepsi tentang Pelayanan TB MDR ... 71

4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Diagnosa Klinis TB MDR ... 71

4.15 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Diagnosa Klinis TB MDR ... 72


(16)

4.17 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pemanfaatan... 73

4.18 Hubungan Sikap Petugas Medis dengan Pemanfaatan ... 74

4.19 Hubungan Penjelasan tentang Pengobatan dengan Pemanfaatan ... 75

4.20 Hubungan Penyuluhan dengan Pemanfaatan Ulang ... 75

4.21 Hubungan Pengetahuan dengan Pemanfaatan ... 76

4.22 Hubungan Persepsi tentang Penyakit dengan Pemanfaatan ... 77

4.23 Hubungan Persepsi tentang Pelayanan Poli TB MDR dengan Pemanfaatan ... 77

4.24 Hubungan Diagnosa Klinis dengan Pemanfaatan ... 78

4.25 Model Summary ... 79


(17)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan. ... 22

2.2 Determinan Perilaku Manusia. ... 30

2.3 Alur Pelayanan Pasien di Poli TB MDR. ... 42

2.4 Landasan Teori. ... 44


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 113

2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 120

3. Uji Univariat dan Bivariat ... 126

4. Uji Multivariat ... 148

5. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM FKM USU Medan ... 149

6. Surat Izin Selesai Penelitian dari RSUP HAM Medan ... 150

5. Dokumentasi Penelitian ... 154

6. Surat Izin Penelitian dari Pascasarjana USU ... 155


(19)

ABSTRAK

TB MDR merupakan penyakit yang disebabkan oleh kuman tuberculosis yang resisten terhadap obat. Salah satu faktor penyebab timbulnya TB MDR adalah gagalnya pengobatan dan menghentikan pengobatan sebelum program pengobatan berakhir. RSUP HAM Medan merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan rujukan untuk mengobati penderita TB MDR. Jumlah pasien suspek TB MDR yang tidak memanfaatkan meningkat setiap tahun, yaitu tahun 2012 sebesar 23,0% dan tahun 2013 sebesar 44,9%. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor Provider dan Consumer dengan Pemanfaatan Rujukan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di RSUP HAM Medan.

Jenis penelitian survei explanatory. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien suspek TB MDR. Sampel sebanyak 108 orang, diambil dengan teknik non probability sampling. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan uji regresi logistik berganda pada α=0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Poli TB MDR sebagai rujukan lebih banyak tidak dimanfaatkan oleh pasien suspek TB MDR dan secara statistik faktor provider (sikap petugas medis, penjelasan tentang pengobatan, penyuluhan) dan faktor consumer (pengetahuan, persepsi tentang penyakit, persepsi tentang pelayanan, diagnosa klinis) berhubungan positif dan signifikan dengan pemanfaatan rujukan Poli TB MDR RSUP Haji Adam Malik Medan. Persepsi tentang penyakit memiliki hubungan yang lebih besar dengan pemanfaatan. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah perilaku pasien suspek TB MDR dalam pemanfaatan poli rujukan TB MDR lebih besar dipengaruhi oleh persepsi tentang penyakit. Pasien yang memanfaatkan poli rujukan TB MDR cenderung ketika penyakit yang diderita sudah mengganggu aktivitas sehari-hari bahkan sampai kronis, sehingga pihak provider harus berusaha keras mengatasi perilaku kepatuhan pasien.

Disarankan kepada: (1) Manajemen RSUP Haji Adam Malik Medan sebagai provider untuk: a) mengupayakan peningkatan kemampuan dan keterampilan petugas medis tentang teknik berkomunikasi melalui pelatihan Service Excellence rumah sakit secara berkala dan berkesinambungan, b) mengupayakan agar pemberian obat anti tuberkulosis hanya boleh diberikan oleh dokter yang telah mendapat lisensi untuk pengobatan TB, c) mengupayakan peningkatan pemberian penyuluhan kesehatan sejak awal pengobatan TB secara berkesinambungan berupa brosur atau leaftlet, d) mengupayakan peningkatan peran Promosi Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) untuk untuk memberikan penjelasan tentang penggunaan jasa pelayanan kesehatan rumah sakit. (2) Pasien sebagai consumer untuk: a) mematuhi pemanfaatan poli TB MDR sesuai dengan rekomendasi, b) meningkatkan kesadaran untuk menjaga kondisi kesehatan agar terhindar dari ancaman TB MDR.


(20)

ABSTRACT

TB MDR (Tuberculosis Multi Drug Resistant) is a disease caused by tuberculosis bacterium which is resistant to drugs. One of the causes of the incident of TB MDR is the failure of treatment or stopping the treatment before the treatment program ends. H.Adam Malik General Hospital is one of the referral health service facilities to treat the patients with TB MDR. The number of patients suspected of suffering from TB MDR who did not utilize this health service facility increased from year to year. The increase was 23.0% in 2012 and 44.9% in 2013.

The purpose of this explanatory survey study was to analyze the relationship between the factors of provider and consumer and the utilization of Tuberculosis Multi Drug Resistant Polyclinic at H.Adam Malik General Hospital. The population of this study was all of the patients suspected of suffering from TB MDR. The samples were 108 patients selected through non-probability sampling technique. The data for this strudy were obtained through questionnaire-based interviews. The data obtained were analyzed through multiple logistic regression tests at α = 0.05.

The result of this study showed that statistically the factors of provider (attitude of medical/health workers, the availability of drugs, extension) and consumer (knowledge, perception on the disease, perception on the service provided, clinical diagnose) had positive and significant relationship with the utilization of Tuberculosis Multi Drug Resistant Polyclinic at H.Adam Malik General Hospital. The variable of perception on the disease had bigger relationship with the utilization.

It is suggested that 1) the management of H.Adam Malik General Hospital a) provide coaching to develop the medical/health workers (doctors, nurses, counselor) on communication technique in delivering information, b) inform that anti tuberculosis drugs can only be given by the doctor with license to treat TB and be guided through DOTS and ISTC programs, c) to increase the provision of sustainable extension on health since the beginning of TB treatment using the language which can be easily understood in the framework of improving the knowledge of the sufferers of TB MDR, d) try to improve the role of Hospital Health Promotion (PHH) to provide extension to the patients in the framework of recognizing and solving problems during TB MDR therapy. 2) The patients should improve their compliance during therapy process, because noncompliance not only lower the level of patients’ recovery but also a threat to the incident of MDR.

Keywords: Provider Factor, Consumer, Utilization of TB MDR Polyclinic

Eyes constitute one of the senses which are very vital to human beings. Eye diseases caused by retina disorder is not competent enough because of the lack of ophthalmologists who specialize in retina case. One of the hospitals which serve eye


(21)

1.1. Latar Belakang

Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993 memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia (Depkes RI, 2011). Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis. Sejak tahun 2006 Indonesia merupakan urutan ke 4 setelah India, Cina dan Afrika Selatan (WHO, 2008).

Menurut WHO (2010), angka kejadian TB di seluruh dunia pada tahun 2009 sebesar 9,4 juta (8,9 juta-9,9 juta jiwa) dan meningkat terus secara perlahan pada setiap tahunnya. Prevalensi kasus TB di seluruh dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta-16 juta). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat ke empat menjadi peringkat ke lima di dunia sejak tahun 2007, hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia (Kemenkes RI, 2011)

Menurut data Riskesdas tahun 2013 berdasarkan karakteristik penduduk seperti peningkatan umur, pendidikan rendah, tidak bekerja prevalensi TB paru


(22)

cenderung meningkat. Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan, hanya 44,4% yang terstandarisasi WHO dan sesuai dengan ISTC (International Standards for Tuberculosis Care). Lima provinsi terbanyak yang mengobati TB dengan obat program adalah DKI Jakarta (68,9%), Daerah Istimewa Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%), Sulawesi Barat (54,2%) dan Jawa Tengah (50,4%) (Kemenkes RI, 2013).

Estimasi prevalensi TB di Indonesia tahun 2010 pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Disamping itu, kasus resistensi merupakan tantangan baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas penting (Kemenkes RI, 2011)

Sejak tahun 1995, upaya penanggulangan TB nasional telah melaksanakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy) dan secara nasional diterapkan sejak tahun 2000. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dipercaya dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Sampai dengan saat ini upaya penanggulangan TB Nasional dengan Strategi DOTS baru menjangkau 98% puskesmas, 40% rumah sakit (pemerintah dan swasta), dan seluruh Rumah Sakit Paru dan Balai Pengobatan Paru, sedangkan untuk Dokter Praktik Swasta (DPS) diperkirakan hanya berkisar kurang dari 5 %. Tetapi muncul masalah baru, yaitu kasus TB yang kebal dengan Obat Antituberkulosis (OAT) atau disebut dengan MDR TB (multidrugs resistant tuberculosis).


(23)

Menurut WHO prevalens kasus TB tahun 2006 sebanyak 14,4 juta kasus dan MDR TB sebanyak 0,5 juta kasus dengan TB kasus baru MDR 23.353 kasus. Jumlah total MDR TB yang diobati tahun 2007 dan 2008 sekitar 50.000 kasus (WHO, 2008). Prevalens TB di Indonesia tahun 2011 (214 per 100.000 penduduk) dan tahun 2012 (213 per 100.000 penduduk) dan angka kematian 38/100.000 penduduk (WHO, 2006).

Angka MDR TB di Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 2% untuk kasus baru yang belum mendapatkan pengobatan dan 19% untuk kasus yang sudah mendapatkan pengobatan. Tetapi mengingat tingginya angka kasus baru TB di Indonesia di tahun 2009, yaitu sebanyak 528.063 kasus, maka ancaman resistensi sesungguhnya cukup tinggi. Setidaknya 1 dari 5 pasien yang pernah berobat TB dan kembali sakit adalah pasien yang sudah kebal OAT.

Hasil surveilans secara global menemukan bahwa OAT yang resisten terhadap Mycobacterium tuberculosis sudah menyebar dan mengancam program tuberkulosis kontrol di berbagai negara. Menurut hasil survei WHO lebih dari 90.000 pasien TB pada 81 negara ditemukan angka TB MDR (multidrugs resistant tuberculosis) lebih tinggi dari yang diperkirakan. Enam (6) negara dengan angka TB-MDR yang tinggi di dunia adalah Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan Uzbekistan (WHO, 2008).

Resisten ganda TB merupakan masalah terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Menurut WHO pada tahun 2003 insidens TB-MDR meningkat secara bertahap rerata 2% pertahun. WHO memperkirakan prevalens TB


(24)

meningkat 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia. Di negara berkembang prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2% (Frieden, 2004). Pola TB-MDR di Indonesia khususnya Rumah Sakit (RS) Persahabatan tahun 1995-1997 adalah resistensi primer 4,6%-5,8% dan resistensi sekunder 22,95%-26,07%. (Aditama, 2006).

Menurut WHO (2008) resistensi OAT sangat erat hubungannya dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Pasien yang pernah diobati sebelumnya mempunyai kemungkinan resisten 4 kali lebih tinggi dan untuk TB MDR lebih 10 kali lebih tinggi daripada pasien yang belum pernah menjalani pengobatan. Pengobatan terhadap tuberkulosis dengan resistensi ganda ini amat sulit dan memerlukan waktu yang lama bahkan sampai 24 bulan.

Menurut PMDT (Programmatic Management of Drug Resistant TB) resisten kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan dimana kuman sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. TB resistan OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia (man-made phenomenon), sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat dan penularan dari pasien TB resisten OAT. Resisten OAT dalam hal ini adalah minimal terhadap rifampisin dan INH ((Isoniazid) dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan 2 (dua) obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS. TB yang resisten terhadap OAT penatalaksanaannya lebih rumit, mahal, banyak efek samping, angka kesembuhannya relatif rendah dan memerlukan perhatian yang lebih banyak daripada penatalaksanaan TB yang tidak resisten (Kemenkes, RI, 2013).


(25)

PMDT di Indonesia dimulai sejak 2009 sebagai pilot proyek dilaksanakan pada 2 Rumah Sakit (RS) rujukan, yaitu RS. Persahabatan dan RS. Dr. Soetomo. Sejalan dengan kebijakan nasional pelayanan TB adalah akses universal bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mendapatkan pelayanan pengobatan TB atau TB resisten obat pada tahun 2010-2012, sehingga fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) rujukan TB MDR diperluas yaitu: tahun 2011; RS. Dr. Moewardi-Solo, RS. Dr. Syaiful Anwar-Malang, RS. Labuang Baji-Makassar, tahun 2012; RS. Hasan Sadikin-Bandung, RS. Dr. Adam Malik Medan, RS. Sanglah-Denpasar dan RS. Dr. Sardjito-Yogyakarta. Program PMDT selama tahun 2012 telah menemukan 1.882 suspek MDR, 463 pasien diantaranya mengalami MDR dan 351 pasien menjalani pengobatan (Warta Tuberkulosis Indonesia, 2013)

Keberhasilan penatalaksanaan TB resistan OAT dapat ditinjau dari pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan sebagai provider dan pasien sebagai konsumen. Menurut Donabedian (2005), beberapa faktor yang dapat memengaruhi seseorang terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu faktor sosiokultural, faktor organisasional, faktor yang berhubungan dengan konsumen (Consumer Factors), yaitu kebutuhan yang dirasakan (perceived need), dan diagnosa klinis (evaluated need) serta faktor yang berhubungan dengan produsen (Provider Factors), yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, serta fasilitas yang dimiliki oleh pelayanan kesehatan.

Salah satu fasilitas pelayanan kesehatan rujukan TB MDR di Provinsi Sumatera Utara adalah Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP H. Adam


(26)

Malik) Medan. RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A. Adapun pelayanan kesehatan terdiri dari pelayanan medis (rawat inap dan rawat jalan), pelayanan penunjang medis maupun pelayanan penunjang non medis. Salah satu fungsi RSUP HAM Medan adalah melayani pasien di Poli TB MDR.

Jumlah estimasi pasien suspek TB MDR tahun 2012 sebanyak 400 orang dan jumlah yang memanfaatkan poli TB MDR sebanyak 308 orang dan pada tahun 2013 berjumlah 450 orang dan yang memanfaatkan sebanyak 248 orang. Jumlah estimasi ini dikalkulasi berdasarkan jumlah kasus gagal pengobatan, kasus baru dengan BTA positif, kasus baru dengan BTA negatif, kasus relaps, kasus kronik dan kasus default yang ditemukan satu tahun sebelumnya. Berdasarkan data tersebut jumlah pasien suspek TB MDR yang tidak memanfaatkan meningkat setiap tahun, yaitu tahun 2012 sebesar 23,0% dan tahun 2013 sebesar 44,9%. Hal ini memberikan gambaran bahwa pemanfaatan RSUP H. Adam Malik Medan sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukan untuk mengobati penderita TB MDR belum optimal.

Menurut Smet (2004) ada beberapa alasan seseorang secara psikologis menunda bantuan medis. Umumnya tidak adanya rasa sakit merupakan faktor utama dalam penundaan. Faktor ini sangat penting karena rasa sakit bukan merupakan gejala yang utama dari banyak penyakit serius. Hal ini penting karena gejala penyakit kronis tidak begitu kelihatan dan belum mengganggu aktivitas individu.

Beberapa hasil penelitian terkait dengan TB MDR, yaitu hasil penelitian Aditama (2006) mendapatkan resistensi primer 6,86% sedangkan resistensi sekunder 15,61%. Hal ini patut diwaspadai karena prevalensnya cenderung menunjukkan


(27)

peningkatan dan menyimpulkan bahwa hasil pengobatan terhadap resistensi ganda tuberkulosis kurang berhasil, salah satu faktor penyebabnya adalah ketidakpatuhan pasien TB dalam pengobatan dan faktor pengobatan tidak adekuat. Sedangkan menurut hasil penelitian Gitawatie dkk, (2004) angka resistensi TB MDR terkait kinerja program penanggulangan TBC paru di daerah setempat. Ketepatan diagnosis mikroskopik untuk menetapkan kasus dengan BTA (+), dan tingkat kepatuhan penderita untuk minum obat. Faktor lain yang mempengaruhi angka resistensi TB-MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup dan berkualitas ataupun adanya OAT yang digunakan untuk terapi selain TBC.

Hasil penelitian Nofizar dkk. (2010) menyimpulkan sebanyak 92% pasien TB-MDR telah memiliki riwayat pengobatan TB lebih dari satu kali sebelumnya. Sebagian besar kasus merupakan kasus kronik/gagal pengobatan kategori dua. Lebih dari separuh pasien tidak mendapatkan pengobatan TB secara benar walaupun telah memiliki komunikasi yang baik, informasi, dan edukasi tentang TB dari dokter mereka. Pasien TB sangat membutuhkan edukasi secara dini tentang pengobatannya serta faktor-faktor yang akan mempengaruhi keberhasilan/kegagalan terapi. Data menunjukkan bahwa pelaksanaan program nasional TB yang baik dan penggunaan obat secara efisien dapat menunda dan mengatasi epidemi TB MDR.

Hasil penelitian Toungoussova (2001) menyimpulkan bahwa TB yang resistan terhadap obat merupakan masalah penting di Arkhangelsk Oblast, Russia. Penyebaran galur yang resistan terhadap obat dari TB-MDR terkait dengan beberapa faktor risiko seperti riwayat sebelumnya dan terputusnya pengobatan tuberkulosis. Jenis kelamin


(28)

perempuan secara signifikan berhubungan dengan resistensi terhadap setidaknya satu OAT.

Hasil penelitian Daku (2012) menyimpulkan bahwa penyebab MDR/XDR- TB di Afrika Selatan berkisar tiga tema utama: a) penyebab berpusat pada pasien (32,6%) ; b) kurangnya prosedur pengendalian infeksi (18,7 %), dan c) kegagalan sistem kesehatan (19,4%). Solusi pendekatan pengobatan untuk mengatasi MDR/ XDR-TB difokuskan pada a) pasien yang ditargetkan (38,4%); b) meningkatkan pengendalian infeksi (12,3%); c) sistem restrukturisasi (10,6%), dan d) diagnostik dan terapeutik (10%).

Minat pasien yang rendah dalam memanfaatkan pelayanan poli TB-MDR di RSUP HAM Medan peneliti merasa perlu mengkaji ” Hubungan Faktor Provider dan Faktor Consumer dengan Pemanfaatan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan”

1.2. Permasalahan

Bagaimana hubungan faktor Provider (sikap petugas medis, penjelasan tentang pengobatan, penyuluhan) dan Consumer (pengetahuan tentang TB MDR, persepsi tentang penyakit TB MDR, persepsi tentang pelayanan TB MDR, diagnosa klinis TB MDR) dengan Pemanfaatan Rujukan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan?


(29)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis hubungan faktor Provider (sikap petugas medis, penjelasan tentang pengobatan, penyuluhan) dan Consumer (pengetahuan tentang TB MDR, persepsi tentang penyakit TB MDR, persepsi tentang pelayanan TB MDR, diagnosa klinis TB MDR) dengan Pemanfaatan Rujukan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.4. Hipotesis

Faktor provider (sikap petugas medis, penjelasan tentang pengobatan, penyuluhan) dan Consumer (pengetahuan tentang TB MDR, persepsi tentang penyakit TB MDR, persepsi tentang pelayanan TB MDR, diagnosa klinis TB MDR) berhubungan dengan Pemanfaatan Rujukan Poli Tuberkulosis Multi Drug Resistant di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan bagi RSUP Haji Adam Malik Medan dalam perencanaan dan manajemen strategi pelayanan kesehatan TB Paru.

2. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.

3. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan administrasi rumah sakit terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Donabedian (2005), pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah interaksi antara konsumen dengan provider (penyedia pelayanan). Pemanfaatan pelayanan kesehatan erat hubungannya dengan kapan seseorang memerlukan pelayanan kesehatan dan seberapa jauh efektifitas pelayanan tersebut. Menurut Donabedian 2005, ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu:

1. Faktor Sosiokultural a. Teknologi

Kemajuan teknologi dapat memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan, dimana kemajuan dibidang teknologi disatu sisi dapat meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan seperti transplantasi organ, penemuan organ-organ artifisial, serta kemajuan dibidang radiologi. Sedangkan disisi lain kemajuan teknologi dapat menurunkan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sebagai contoh dengan ditemukannya berbagai vaksin untuk pencegahan penyakit menular akan mengurangi pemanfaatan pelayanan kesehatan (Donabedian, 2005).

b. Norma dan Nilai yang Ada di Masyarakat

Norma, nilai sosial dan keyakinan yang ada dimasyarakat akan memengaruhi seseorang dalam bertindak, termasuk dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.


(31)

2. Faktor Organisasional a. Ketersediaan Sumber Daya

Suatu sumber daya tersedia apabila sumber daya itu ada atau bisa didapat, tanpa mempertimbangkan sulit ataupun mudahnya penggunaannya. Suatu pelayanan hanya bisa digunakan apabila jasa tersebut tersedia.

b. Akses Geografis

Akses geografis dimaksudkan pada faktor-faktor yang berhubungan dengan tempat yang memfasilitasinya atau menghambat pemanfaatan, ini ada hubungan antara lokasi suplai dan lokasi klien, yang dapat diukur dengan jarak waktu tempuh, atau biaya tempuh. Hubungan antara akses geografis dan volume dari pelayanan tergantung dari jenis pelayanan dan jenis sumber daya yang ada. Peningkatan akses yang dipengaruhi oleh berkurangnya jarak, waktu tempuh ataupun biaya tempuh mungkin mengakibatkan peningkatan pelayanan yang berhubungan dengan keluhan-keluhan ringan. Dengan kata lain, pemakaian pelayanan preventif lebih banyak dihubungkan dengan akses geografis dari pada pemakaian pelayanan kuratif sebagai mana pemanfaatan pelayanan umum bila dibandingkan dengan pelayanan spesialis. Semakin hebat suatu penyakit atau keluhan, dan semakin canggih atau semakin khusus sumber daya dari pelayanan, semakin berkurang pentingnya atau berkurang kuatnya hubungan antara akses geografis dan volume pemanfaatan pelayanan.

c. Akses Sosial

Akses sosial terdiri atas dua dimensi, yaitu dapat diterima dan terjangkau. Dapat diterima mengarah kepada faktor psikologis, sosial, dan faktor budaya,


(32)

sedangkan terjangkau mengarah kepada faktor ekonomi. Konsumen memperhitungkan sikap dan karakteristik yang ada pada provider seperti etnis, jenis kelamin, umur, ras, dan hubungan keagamaan.

d. Karakteristik dari Stuktur Perawatan dan Proses

Praktek pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, praktek dokter tunggal, praktek dokter bersama, grup praktek dokter spesialis atau yang lainnya membuat pola pemanfaatan yang berbeda (Donabedian, 2005).

3. Faktor yang Berhubungan dengan Konsumen

Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah interaksi antara konsumen dengan provider (penyedia pelayanan). Tingkat kesakitan atau kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen berhubungan langsung dengan pengunaan atau permintaan terhadap pelayanan kesehatan (Donabedian, 2005).

Kebutuhan, terdiri atas kebutuhan yang dirasakan (perceived need) dan diagnosa klinis (evaluated need). Kebutuhan yang dirasakan (perceived need) ini dipengaruhi oleh:

a. Faktor sosiodemografis yang terdiri dari umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa, status perkawinan, jumlah keluarga, dan status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, penghasilan).

b. Faktor sosial psikologis terdiri dari persepsi, sikap dan kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan (Donabedian, 2005).

4. Faktor yang Berhubungan dengan Produsen

Faktor yang berhubungan dengan produsen, yaitu faktor ekonomi konsumen tidak sepenuhnya memiliki referensi yang cukup akan pelayanan yang diterima,


(33)

sehingga mereka menyerahkan hal ini sepenuhnya ketangan provider. Karakteristik provider, yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, serta fasilitas yang dimiliki oleh pelayanan kesehatan yang bersangkutan (Donabedian, 2005).

2.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Konsumen akan memutuskan menggunakan atau memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan berdasarkan perilaku dan faktor-faktor yang memengaruhinya. 2.2.1. Model Pemanfaatan Anderson

Model pemanfaatan sarana kesehatan oleh masyarakat atau konsumen menurut Anderson (1974) dalam Notoatmodjo (2010) Pada prinsipnya ada dua kategori pelayanan kesehatan: (1) kategori yang berorientasi kepada publik (masyarakat) dan (2) kategori yang berorientasi pada perorangan (pribadi).

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kategori publik terdiri dari sanitasi, imunisasi, kebersihan air, dan perlindungan kualitas udara. Pelayanan kesehatan masyarakat lebih diarahkan langsung kearah publik dari pada kearah individu-individu yang khusus. Di lain pihak pelayanan kesehatan pribadi adalah langsung kearah individu.

Pelayanan kesehatan ditujukan langsung kepada pemakai pribadi (individual costumer). Studi tentang penggunaan pelayanan kesehatan dikaitkan dengan penggunaan pelayanan kesehatan pribadi. Karena itu, kita akan mengatasi bahasan kita mengenai penggukuran pelayanan kesehatan ke kategori pelayanan kesehatan pribadi (Anderson dalam Notoatmodjo, 2010).


(34)

Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2010) membuat suatu kerangka kerja teoritis untuk pengukuran pemanfaatan pelayanan kesehatan pribadi. Suatu hal yang sangat penting dari artikel mereka adalah diterimanya secara luas definisi dari dimensi-dimensi penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan. Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2010) menyamakan 3 dimensi dari kepentingan utama dalam pengukuran dan penentuan pelayanan kesehatan, yaitu tipe, tujuan atau maksud, dan unit analisis.

a. Tipe Pelayanan Kesehatan

Tipe pelayanan kesehatan digunakan untuk memisahkan berbagai pelayanan kesehatan antara satu dengan yang lainnya. Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2010) menunjukkan bahwa ada perbedaan jangka waktu (panjang dan pendek) untuk masing-masing tipe pelayanan kesehatan (seperti pelayanan rumah sakit, pelayanan dokter, perawatan di rumah dan lain-lain).

Faktor-faktor penentu (determinan) pada individu bervariasi dalam hal tipe penggunaan pelayanan kesehatan. Karena perbedaan faktor penentu tersebut maka komponen utama dalam pengaturan pelayanan kesehatan harus memehartikan tipe pelayanan kesehatan yang digunakan.

b.Tujuan Pelayanan Kesehatan

Tingkatan pelayanan kesehatan berdasarkan perawatan yang dilakukan dibedakan menjadi: pelayanan tingkat I (primary), pelayanan tingkat II (secondary), pelayanan tingkat III (tertiary), pelayanan tingkat dan IV (custodial). Perawatan I dikaitkan dengan perawatan pencegahan (preventive care). Perawatan II dikaitkan


(35)

dengan perawatan perbaikan (pengembalian individu ke tingkat semula dari fungsionalnya). Perawatan III dikaitkan dengan stabilitas dari kondisi yang memehartikan penyakit jangka panjang. Perawatan IV dikaitkan semata-mata dengan kebutuhan pribadi dari pasien dan tidak dihubungkan dengan perawatan penyakit (Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo, 2010).

c. Unit Analisis Pelayanan Kesehatan

Unit analisis pelayanan kesehatan merupakan dimensi ketiga (3) dalam kerangka kerja Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2010) yang mendukung 3 perbedaan diantara unit-unit analisis, yaitu: kontak dengan pelayanan, volume pelayanan, frekuensi penyakit.

Alasan utama bagi perbedaan ini adalah bahwa ciri-ciri khas individu mungkin terkait dengan sejumlah penyakit yang diderita setiap individu, sedangkan ciri-ciri khas dari sistem pelayanan (khususnya pada dokter) mungkin menjadi tanggung jawab utama bagi sejumlah akibat dari kontak kunjungan sebagai akibat dari setiap frekuensi penyakit. Karena jumlah kontak, frekuensi dan volume pelayanan yang digunakan ditentukan oleh faktor-faktor yang berbeda, maka pengukuran penggunaan pelayanan kesehatan akan membuat suatu perbedaan di antara unit-unit pelayanan kesehatan yang berbeda.

Sebagai contoh kita ingin mengukur pelayanan rumah sakit per 100 orang dalam 1 tahun, jumlah kunjungan dokter dalam tahun tertentu atau presentasi orang yang mengunjungi seorang ahli gigi dalam 1 tahun. Ketiga indikator ini telah dipakai di Amerika dalam menguji kecenderungan penggunaan pelayanan kesehatan. Untuk


(36)

itu kita perlu menaruh perhatian pada pengertian sifat umum pengaturan pelayanan kesehatan sebagaimana yang di cerminkan dalam konsep Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2010).

2.2.2. Tipe Umum dari Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Sejumlah riset telah dilakukan ke dalam faktor-faktor penentu (determinan) pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kebanyakan dari riset inilah model-model adanya penggunaan pelayanan kesehatan dikembangkan dan dilengkapi.

1. Tujuan Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa model pemanfaatan pelayanan kesehatan ini dapat membantu atau memenuhi satu atau lebih dari 5 tujuan sebagai berikut :

a. Untuk melukiskan hubungan kedua belah pihak antara faktor penentu dari pemanfaatan pelayanan kesehatan.

b. Untuk meringankan peramalan kebutuhan masa depan pelayanan kesehatan. c. Untuk menentukan ada atau tidak adanya pelayanan dari pemakaian pelayanan

kesehatan yang berat sebelah.

d. Untuk menyarankan cara-cara memanipulasi kebijaksanaan yang berhubungan dengan variabel-variabel agar memberikan perubahan-perubahan yang diinginkan.

e. Untuk menilai pengaruh pembentukan program atau proyek-proyek pemeliharaan atau perawatan kesehatan yang baru.


(37)

2. Kategori Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Menurut Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2010), kategori dari model-model pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah kependudukan, struktur sosial, psikologi sosial, sumber keluarga, sumber daya masyarakat, organisasi, dan model-model sistem kesehatan.

a. Model Demografi (Kependudukan)

Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan model demografi dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan terkait dengan variabel-variabel : umur, seks, status perkawinan, dan besarnya keluarga. Variabel-variabel yang digunakan sebagai ukuran mutlak atau indikator fisiologis yang berbeda (umur, seks) dan siklus hidup (status perkawinan, besarnya keluarga) dengan asumsi bahwa perbedaan derajat kesehatan, derajat kesakitan, dan penggunaan pelayanan kesehatan sedikit banyak akan berhubungan dengan variabel diatas.

Karakteristik demografi juga mencerminkan atau berhubungan dengan karateristik sosial (perbedaan sosial dari jenis kelamin memengaruhi berbagai tipe dan ciri-ciri sosial).

b. Model-model Struktur Sosial (Social Structur Models)

Pemanfaatan pelayanan kesehatan berdasarkan model-model struktur sosial menurut Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2010) melalui variabel : pendidikan, pekerjaan, dan kebangsaan. Variabel-variabel ini mencerminkan keadaan sosial dari individu atau keluarga di dalam masyarakat.


(38)

Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah salah satu aspek dari gaya hidup ini, yang ditentukan oleh lingkungan sosial, fisik, dan psikologis. Masalah utama dari model struktur sosial dari pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah bahwa kita tidak mengetahui mengapa variabel ini menyebabkan penggunaan pelayanan kesehatan.

c. Model-model Sosial Psikologis (Psychological Models)

Dalam model ini, Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan variabel yang dipakai adalah ukuran dari sikap dan keyakinan individu. Variabel-variabel sosio-psikologis pada umumnya terdiri dari 4 kategori:

(1). Pengertian kerentanan terhadap penyakit (2). Pengertian keseluruhan dari penyakit

(3). Keuntungan yang diharapkan dari pengambilan tindakan, dalam menghadapi penyakit

(4). Kesiapan tindakan individu

Masalah utama dengan model ini adalah menganggap suatu mata rantai penyebab langsung antara sikap dan prilaku yang belum dapat dijelaskan.

d. Model Sumber Keluarga (Family Resource Models)

Dalam model ini variabel yang dipakai adalah pendapat keluarga, cakupan asuransi keluarga atau sebagai anggota suatu asuransi kesehatan dan pihak yang membiayai pelayanan kesehatan keluarga dan sebagainya. Karakteristik ini untuk menggukur kesanggupan dari individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan mereka (Notoatmodjo, 2010).


(39)

e. Model Sumber Daya Masyarakat (Community Resource Models)

Pada model ini tipe model yang digunakan adalah penyediaan pelayanan kesehatan dan sumber-sumber di dalam masyarakat, dan ketercapaian dari pelayanan kesehatan yang tersedia dan sumber-sumber di dalam masyarakat. Model sumber daya masyarakat selanjutnya adalah suplai ekonomis yang berfokus pada ketersediaan sumber-sumber kesehatan pada masyarakat setempat (Notoatmodjo, 2010).

f. Model-model Organisasi (Organization Models)

Dalam model ini variabel yang dipakai adalah pencerminan perbedaan bentuk-bentuk sistem pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Biasanya variabel yang digunakan adalah:

1). Gaya (style) praktik pengobatan (sendiri, rekanan, atau grup)

2). Sifat (nature) dari pelayanan tersebut (membayar langsung atau tidak) 3). Letak dari pelayanan (tempat pribadi, rumah sakit, atau klinik)

4). Petugas kesehatan yang pertama kali kontak dengan pasien (dokter, perawat asisten dokter).

g. Model Sistem Kesehatan

Keenam kategori model pemanfaatan fasilitas kesehatan tersebut tidak begitu terpisah, meskipun ada perbedaan dalam sifat (nature). Model sistem kesehatan mengintegrasikan keenam model terdahulu ke dalam model yang lebih sempurna. Untuk itu maka demografi, ciri-ciri struktur sosial, sikap, dan keyakinan individu atau keluarga, sumber-sumber di dalam masyarakat dan organisasi pelayanan kesehatan yang ada, digunakan bersama dengan faktor-faktor yang berhubungan


(40)

seperti kebijaksanaan dan struktur ekonomi pada masyarakat yang lebih luas (negara). Dengan demikian apabila dilakukan analisis terhadap penyediaan dan penggunaan pelayanan kesehatan oleh masyarakat maka harus diperhitungkan juga faktor-faktor yang terlibat didalamnya (Notoatmodjo, 2010).

h. Model Kepercayaan Kesehatan (The Health Belief Models)

Model kepercayaan adalah suatu bentuk penjabaran dari model sosiopsikologis seperti disebutkan di atas. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider (Notoatmodjo, 2010).

Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive health behavior), yang dikembangkan dari teori lapangan oleh Lewin dalam Notoatmodjo (2010) menjadi model kepercayaan kesehatan (health belief model).

Teori Lewin menganut konsep bahwa individu hidup pada lingkup kehidupan sosial (masyarakat). Dalam kehidupan ini individu akan bernilai, baik positif maupun negatif di suatu daerah atau wilayah tertentu. Apabila keadaan individu dalam keadaan sehat maka individu tersebut dianalogikan dalam kondisi positif atau berada pada daerah positif, artinya individu tersebut bebas dari suatu penyakit atau rasa sakit yang dianalogikan sebagai daerah negatif (Notoatmodjo, 2010).

Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada empat variabel kunci yang terlibat di dalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang


(41)

dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang di alami dalam tindakannya melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2010).

1). Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility)

Agar seorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan (susceptibility) terhadap penyakit tersebut. Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarga rentan terhadap penyakit tersebut (Notoatmodjo, 2010).

2). Keseriusan yang dirasakan (Perceived serioussness)

Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan terhadap suatu penyakit akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat. Penyakit demam berdarah, misalnya, akan dirasakan lebih serius dibandingkan dengan demam biasa. Oleh karena itu, tindakan pencegahan demam berdarah akan lebih banyak dilakukan bila dibandingkan dengan pencegahan (pengobatan) demam biasa (Notoatmodjo, 2010).

3). Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (Perceived benefit and barriers) Apabila individu merasa dirinya rentan untuk pentakit-penyakit yang dianggap gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan lebih menentukan dari pada rintangan-rintangan yang mungkin ditemukan di dalam melakukan tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2010).


(42)

4). Isyarat atau tanda-tanda (cues)

Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerantanan, kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal seperti : pesan-pesan dari media massa, nasihat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga (Notoatmodjo, 2010).

i. Model Sistem Kesehatan (Health System Model)

Anderson dalam Notoatmodjo (2010) menggambarkan model sistem kesehatan (health system model) kedalam 3 (tiga) kategori utama pelayanan kesehatan, yakni karakteristik predisposisi, karakteristik pendukung, dan karekteristik kebutuhan seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Model Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Sumber: Anderson dalam Notoatmodjo (2010)

Predisposing Enabling Need

Demografic (Age, Sex) Social Structure (Etnicity, Education, Occupation of Head Family) Health Belief Family Resourch (Income, Health Assurance) Community Resource (Health facility and personal) Perceived (Symptoms diagnose) Evaluated (Symptons diagnose) Health Services


(43)

a. Karakteristik Predisposisi (Predisposing Characteristic)

Masing-masing individu memiliki kecenderungan yang berbeda dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Hal ini dapat diramalkan dengan karakteristik pasien yang telah ada sebelum timbulnya episode sakit. Karakteristik ini meliputi : ciri demografi, struktur sosial dan kepercayaan tentang kesehatan (Anderson, dalam Notoatmodjo, 2010).

b. Karakteristik Pendukung (Enabling Characteristic)

Faktor predisposisi harus didukung pula oleh hal-hal lain agar individu memanfaatkan pelayanan kesehatan. Karakteristik pendukung ini antara lain, pendapatan, asuransi kesehatan dan ketercapaian sumber pelayanan kesehatan yang ada. Bila faktor ini terpenuhi maka individu cenderung menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada pada saat sakit. Penderita penyakit yang tergolong berat (misalnya harus operasi atau rawat inap di rumah sakit), maka kondisi ekonomi merupakan penentu akhir bagi individu dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan (Anderson dalam Notoatmodjo, 2010).

c. Karakteristik Kebutuhan (Need Factor)

Faktor ini lebih menitikberatkan pada masalah apakah individu beserta keluarganya merasakan adanya penyakit, atau kemungkinan untuk terjadinya sakit. Kebutuhan diukur dengan “perceived need” dan “evaluated need” melalui : jumlah hari individu tidak bisa bekerja, gejala yang dialaminya, penilaian individu tentang status kesehatannya (Anderson dalam Notoatmodjo, 2010).


(44)

Salah satu faktor dalam predisposisi individu (predisposing factor) yang menentukan perilaku dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah kepercayaan tentang kesehatan (health belief). Kepercayaan tentang kesehatan terkait dengan aspek persepsi, sikap dan pengetahuan tentang penyakit dan pelayanan kesehatan (Anderson dalam Notoatmodjo, 2010).

2.2.3. Model Pemanfaatan Green

Keputusan pasien untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan tidak terlepas dari faktor perilaku yang dimiliki oleh masing-masing individu. Adapun Model perilaku masyarakat dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan dapat dijelaskan dengan Teori Green dalam Notoatmodjo (2010), yang dibedakan dalam tiga faktor yaitu :

a) Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)

Faktor ini merupakan faktor anteseden, yaitu merupakan adanya sebuah peristiwa yang dapat menjadikan seseorang berperilaku. Termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai dan persepsi yang berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok untuk bertindak.

b) Faktor Pemungkin (Enabling Factors)

Faktor pemungkin adalah faktor anteseden terhadap perilaku yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk dalam faktor pemungkin adalah ketrampilan, sumber daya pribadi dan komunitas. Seperti tersedianya pelayanan kesehatan termasuk alat-alat kontrasepsi, keterjangkauan, kebijakan, peraturan dan perundangan.


(45)

c) Faktor penguat (Reinforcing Factors)

Faktor penguat adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak. Sumber penguat tentu saja tergantung pada tujuan dan jenis program. Faktor ini terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. 2.3. Persepsi

Persepsi adalah suatu proses seorang individu memilih, mengorganisasi, dan menafsirkan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang bermakna. Persepsi seorang dapat berbeda satu sama lainnya, meskipun dihadapkan pada suatu situasi dan kondisi yang sama. Hal ini dipandang dari suatu gagasan bahwa seseorang menerima suatu objek rangsangan melalui penginderaan, penglihatan, pendengaran, pembauan, dan perasaan (Robbins, 2006).

Robbins (2006) menyatakan terdapat tiga faktor yang memengaruhi persepsi, yakni pelaku persepsi, target yang dipersepsikan dan situasi. Ketika individu memandang kepada objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi itu. Karakteristik pribadi yang memengaruhi persepsi adalah sikap, kepribadian, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan harapan.

Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi terdiri atas dua faktor, yaitu faktor eksternal atau dari luar yakni concreteness, yaitu gagasan yang abstrak yang sulit dibandingkan dengan yang objektif, novelty atau hal baru, biasanya lebih menarik


(46)

untuk dipersepsikan daripada hal-hal lama, velocity atau percepatan, misalnya pemikiran atau gerakan yang lebih cepat dalam menstimulasi munculnya persepsi lebih efektif dibanding yang lambat, conditioned stimuli yakni stimulus yang dikondisikan. Sedangkan faktor internal adalah motivasi, yaitu dorongan untuk merespon sesuatu interest dimana hal-hal yang menarik lebih diperhatikan daripada yang tidak menarik, need adalah kebutuhan akan hal-hal tertentu dan terakhir asumptions yakni persepsi seseorang dipengaruhi dari pengalaman melihat, merasakan dan lain-lain (Robbins, 2006).

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (2006) persepsi diartikan sebagai: (a) tangapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan (b) proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Menurut Komarudin (2006), secara

etimologis, persepsi berasal dari bahasa Latin percipere yang mempuyai pengertian: (a) kesadaran intuitif (berdasarkan firasat) terhadap kebenaran atau kepercayaan

langsung terhadap sesuatu, (b) proses dalam mengetahui objek-objek dan peristiwa-peristiwa obyektif, (c) sesuatu proses psikologis yang memproduksi bayangan sehingga dapat mengenal obyek melalui berfikir asosiatif dengan cara inderawi sehingga kehadiran bayangan itu dapat disadari yang disebut juga dengan wawasan.

Persepsi seseorang dipengaruhi oleh : (a) frame of reference yaitu kerangka pengetahuan yang dimiliki yang diperoleh dari pendidikan, pengamatan, atau bacaan ; (b) field of experience, yaitu pengalaman yang telah dialami yang tidak terlepas dari lingkungan sekitarnya. Pembentukan persepsi sangat dipengaruhi oleh informasi atau rangsangan yang pertama kali diperolehnya. Pengalaman pertama yang tidak


(47)

menyenangkan pada pelayanan rumah sakit atau informasi yang tidak benar mengenai rumah sakit akan berpengaruh terhadap pembentukan persepsi seorang terhadap kebutuhan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Menurut Zastrow et al. (2004) persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya aktifitas (pelayanan yang diterima) yang dapat dirasakan oleh suatu objek. Mengingat bahwa persepsi setiap orang terhadap suatu objek (pelayanan) akan berbeda-beda. Oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif yang merupakan suatu rasa puas atau tidak oleh adanya pelayanan.

Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas terdapat perbedaan namun dapat disimpulkan bahwa pengertian atau pendapat satu sama lain saling menguatkan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan persepsi adalah suatu proses yang muncul lewat panca indera, baik indera penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium, kemudian terus-menerus berproses sehingga mencapai sebuah kesimpulan yang berhubungan erat dengan informasi yang diterima dan belum sampai kepada kenyataan yang sebenarnya, proses ini yang dimaksud dengan persepsi.

2.4. Perilaku

2.4.1. Definisi Perilaku

Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku juga dapat dikatakan sebagai totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara beberapa faktor. Sebagian besar perilaku manusia adalah operant response yang berarti respons yang


(48)

timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus tertentu yang disebut reinforcing stimulation atau dengan adanya stimulasi akan memperkuat respons. Oleh karena itu untuk membentuk perilaku perlu adanya suatu kondisi tertentu yang dapat memperkuat pembentukan perilaku.

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2010), bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2 (dua) :

1. Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

Respon atau reaksi terhadap stimulus ini terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.


(49)

2. Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Respons terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain (Notoatmodjo, 2010).

2.4.2 Aspek-aspek Perilaku

Aspek-aspek perilaku terdiri dari tiga bagian, sebagai berikut:

a. Pengetahuan, adalah aspek perilaku yang merupakan hasil tahu, dimana ini terjadi bila seseorang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu.

b. Sikap, merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap belum merupakan tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan seperti menerima, merespon, menghargai dan bertanggungjawab.

c. Tindakan, adalah sesuatu yang dilakukan. Suatu sikap belum terwujud dalam tindakan. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung dari pihak lain.

Perilaku manusia merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, berpikir, sifat, motivasi, reaksi dan sebagainya, namun demikian sulit dibedakan refleksi dan gejala kejiwaan yang mana seseorang itu berperilaku tertentu. Apabila kita telusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan yang tercermin dalam perilaku manusia itu adalah pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012).


(50)

2.4.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku

Notoatmodjo (2010), menyatakan bahwa faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut juga determinan perilaku, yang dapat dibedakan menjadi dua yakni :

a) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik individu yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan lain-lain.

b) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Menurut WHO (World Health Organization) dalam Notoatmodjo (2012), alasan seseorang berperilaku tertentu adalah karena pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian seseorang terhadap objek.

Gambar 2.2 Determinan Perilaku Manusia 2.4.4. Pengetahuan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2006) kata “tahu” berarti mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami atau diajar). Sedangkan arti dari

Pengalaman Keyakinan Fasilitas Sosial Budaya

Pengetahuan Persepsi Sikap Keinginan Kehendak Motivasi Niat


(51)

pemahaman adalah hal mengetahui sesuatu, segala apa yang diketahui serta kepandaian. Dalam hal ini, dapat dikatakan efektif bila penerima pesan dapat memperoleh pengetahuan yang didapatnya dari pesan yang disampaikan oleh sumber pengetahuan dan berkenaan dengan sesuatu hal (disiplin ilmu).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010).

Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2010), dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam dirinya orang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu:

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

b. Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.

c. Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

d. Trial, dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e. Adoption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.


(52)

2.4.5 Sikap

Thurstone dalam Azwar (2007), mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis. Sikap atau Attitude senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu objek. LaPierre dalam Azwar (2007) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Definisi Petty & Cacioppo dalam Azwar (2007), menyatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu.

Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003), sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu. Sherif & Sherif dalam Dayakisni & Hudaniah (2003) menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku.

Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran: a.Kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis

Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood dalam Azwar (2007). Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable)


(53)

maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut.

b.Kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre, Mead dan Gordon Allport dalam Azwar (2007),. Menurut kelompok pemikiran ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.

c.Kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi di dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif.

Definisi sikap adalah mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku individu terhadap manusia lainnya atau sesuatu yang sedang dihadapi oleh individu, bahkan terhadap diri individu itu sendiri disebut fenomena sikap. Fenomena sikap yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan objek yang sedang dihadapi tetapi juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang (Azwar, 2007).


(54)

Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif, (1) sikap positif adalah apabila timbul persepsi yang positif terhadap stimulus yang diberikan dapat berkembang sebaik-baiknya karena orang tersebut memiliki pandangan yang positif terhadap stimulus yang telah diberikan. (2) sikap negatif apabila terbentuk persepsi negatif terhadap stimulus yang telah diberikan. Struktur sikap menurut Kothandapani (dalam Azwar, 2007) dibagi menjadi 3 komponen yang saling menunjang. Ketiga komponen tersebut pembentukan sikap, yaitu sebagai komponen kognitif (kepercayaan), emosional (perasaan) dan komponen konatif (tindakan).

2.5. TB MDR (Multidrugs Resistant Tuberculosis) 2.5.1. Definisi TB MDR

Resistensi kuman M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan dimana kuman sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. TB resisten OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat dan penularan dari pasien TB resisten OAT. Resisten OAT minimal terhadap rifampisin dan INH (Isoniazid) dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS (Kemenkes RI, 2013).

Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :

a. Resisten primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan b. Resisten initial ialah apabila tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat


(55)

c. Resisten sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan (Kemenkes RI, 2013).

2.5.2. Kategori TB MDR

Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap obat TB : a. Mono-resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT

b. Poly-resistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan rifampisin

b. Multidrug-resistance (MDR): kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampicin

c. Extensive drug-resistance (XDR) : TB MDR ditambah kekebalan terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin) (Kemenkes RI, 2013).

2.5.3. Klasifikasi Kasus TB

Sesuai dengan pedoman penanggulangan TB Nasional dibagi menjadi a.Kasus Kronik

Pasien TB dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang (kategori 2). Hal ini ditunjang dengan rekam medis sebelumnya dan atau riwayat penyakit dahulu.

b.Kasus Gagal Pengobatan

Pasien TB yang hasil pemeriksaan dahaknya positif atau kembali positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.


(56)

c.Kasus Kambuh (Relaps)

Pasien TB yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (dahak atau kultur) (Kemenkes RI, 2013).

2.5.4. Suspek TB MDR

Pasien yang dicurigai kemungkinan TB MDR adalah : 1. Kasus TB paru kronik

2. Pasien TB paru gagal pengobatan kategori 2

3. Pasien TB yang pernah diobati TB termasuk OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin

4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1

5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 1

6. TB paru kasus kambuh

7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2

8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB MDR Pasien yang memenuhi ‘kriteria suspek’ harus dirujuk ke laboratorium dengan jaminan mutu eksternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat (Kemenkes RI, 2013).


(57)

2.5.5. Penyebab Terjadinya TB MDR (Spigots)

Ada 5 (lima) aspek penyebab terjadinya TB MDR, yaitu;

1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama

2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien.

3. Pasien dengan TB MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB MDR sulit diobati serta memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal.

4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak OAT yang resisten (The amplifier effect). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif 5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan

memperpanjang periode infeksius (Kemenkes, RI, 2013). 2.5.6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) TB-MDR a. Satelit TB MDR

Fasyankes yang melaksanakan Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten obat, yang kegiatannya meliputi penjaringan suspek, melanjutkan pengobatan, pengelolaan logistik dan pencatatan.


(58)

b. Sub Rujukan TB MDR

Sub Rujukan TB MDR merupakan Fasyankes yang melaksanakan Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resisten obat yang kegiatannya mulai dari penjaringan suspek, penegakan diagnosis, pengobatan baik rawat inap maupun rawat jalan, penatalaksanaan efek samping, pengelolaan logistik dan pencatatannya. Dalam pelaksanaannya fasyankes ini memerlukan koordinasi dan pendampingan fasyankes pusat rujukan, karena ada beberapa persyaratan yang belum bisa dipenuhi.

c. Pusat Rujukan TB MDR

Pusat Rujukan TB merupakan Fasyankes yang melaksanakan Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat mulai dari penjaringan suspek, penegakan diagnosis, pengobatan baik rawat inap maupun rawat jalan, penatalaksanaan efek samping, evaluasi keberhasilan pengobatan, manajemen logistik dan pencatatan serta pelaporannya.

2.5.7. Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Tuberkulosis Resisten Obat Faktor utama penyebab terjadinya resistansi kuman terhadap OAT adalah ulah manusia sebagai akibat tata laksana pengobatan pasien TB yang tidak dilaksanakan dengan baik. Penatalaksanaan pasien TB yang tidak adekuat tersebut dapat ditinjau dari sisi: (Kemenkes RI, 2013)

(1). Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena : a Diagnosis tidak tepat,

b.Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat,


(59)

d.Penyuluhan kepada pasien yang tidak adekuat (2). Pasien, yaitu karena :

a. Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan, b. Tidak teratur menelan paduan OAT,

c. Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya, d. Gangguan penyerapan obat

(3). Program Pengendalian TB , yaitu karena : a. Persediaan OAT yang kurang

b. Kualitas OAT yang disediakan rendah (Pharmaco-vigillance).

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah menerbitkan Manajemen Penatalaksanaan pasien TB MDR. Manajemen Penatalaksanaan pasien TB MDR telah dimulai pada pertengahan tahun 2009 dengan suatu kegiatan uji pendahuluan di 2 (dua) wilayah, yaitu Kota Jakarta Timur dan Kota Surabaya pada pertengahan tahun 2009. Uji pendahuluan tersebut bertujuan untuk menguji sistem yang digunakan dalam pelaksanaan manajemen penatalaksanaan pasien TB MDR, diantaranya adalah untuk menilai jejaring internal maupun eksternal, aspek manajemen klinis serta manajemen program yang terkait dengan pelaksanaannya serta hal-hal yang lainnya.

Uji pendahuluan untuk pengobatan 100 pasien telah dilalui dengan hasil cukup baik, hal ini menggambarkan prediksi awal untuk keberhasilan pengobatan. Berdasarkan hasil tersebut, maka pengobatan TB Resistan Obat ditetapkan menjadi bagian dari program Pengendalian TB nasional dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 565/MENKES/PER/III/2011 perihal Strategi


(1)

Persepsi tentang Pelayanan * Pemanfaatan poli TB MDR

Crosstab

35 27 62

31,6 30,4 62,0

56,5% 43,5% 100,0%

32,4% 25,0% 57,4%

20 26 46

23,4 22,6 46,0

43,5% 56,5% 100,0%

18,5% 24,1% 42,6%

55 53 108

55,0 53,0 108,0

50,9% 49,1% 100,0%

50,9% 49,1% 100,0%

Count

Expected Count % within Persepsi tentang Pelayanan % of Total

Count

Expected Count % within Persepsi tentang Pelayanan % of Total

Count

Expected Count % within Persepsi tentang Pelayanan % of Total

Tidak baik

Baik Persepsi tentang

Pelayanan

Total

Tidak memanfa

atkan

Memanfa atkan Pemanfaatan poli TB

MDR

Total

Chi-Square Tests

1,778b 1 ,182

1,297 1 ,255

1,783 1 ,182

,243 ,127

1,762 1 ,184

108 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22,57.


(2)

Diagnosa Klinis * Pemanfaatan poli TB MDR

Crosstab

51 18 69

35,1 33,9 69,0

73,9% 26,1% 100,0%

47,2% 16,7% 63,9%

4 35 39

19,9 19,1 39,0

10,3% 89,7% 100,0%

3,7% 32,4% 36,1%

55 53 108

55,0 53,0 108,0

50,9% 49,1% 100,0%

50,9% 49,1% 100,0%

Count

Expected Count % within Keyakinan atas Diagnosa Klinis % of Total

Count

Expected Count % within Keyakinan atas Diagnosa Klinis % of Total

Count

Expected Count % within Keyakinan atas Diagnosa Klinis % of Total

Tidak baik

Baik Keyakinan atas

Diagnosa Klinis

Total

Tidak memanfa

atkan

Memanfa atkan Pemanfaatan poli TB

MDR

Total

Chi-Square Tests

40,400b 1 ,000

37,893 1 ,000

44,683 1 ,000

,000 ,000

40,026 1 ,000

108 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19,14.


(3)

Lampiran 4

HASIL UJI REGRESI

Logistic Regression

Case Processing Summary

108 100,0

0 ,0

108 100,0

0 ,0

108 100,0

Unweighted Casesa

Included in Analysis Missing Cases Total

Selected Cases

Unselected Cases Total

N Percent

If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

a.

Dependent Variable Encoding

0 1 Original Value

Tidak memanfaatkan Memanfaatkan

Internal Value

Block 0: Beginning Block

Iteration Historya,b,c

149,683 -,037 149,683 -,037 Iteration

1 2 Step 0

-2 Log

likelihood Constant Coefficients

Constant is included in the model. a.

Initial -2 Log Likelihood: 149,683 b.

Estimation terminated at iteration number 2 because parameter estimates changed by less than ,001. c.

Classification Tablea,b

55 0 100,0

53 0 ,0

50,9 Observed

Tidak memanfaatkan Memanfaatkan Pemanfaatan poli

TB MDR

Overall Percentage Step 0

Tidak memanfa

atkan

Memanfa atkan Pemanfaatan poli TB

MDR

Percentage Correct Predicted

Constant is included in the model. a.

The cut value is ,500 b.


(4)

Variables in the Equation

-,037 ,192 ,037 1 ,847 ,964

Constant Step 0

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variables not in the Equation

30,306 1 ,000

42,798 1 ,000

26,972 1 ,000

12,404 1 ,000

56,449 1 ,000

1,778 1 ,182

40,400 1 ,000

81,577 7 ,000

sikap obat suluh tahu perpen perpel diag Variables

Overall Statistics Step

0

Score df Sig.

Block 1: Method = Enter

Iteration Historya,b,c,d

56,756 -2,560 ,847 ,798 ,791 ,688 1,167 ,707 ,903

41,839 -4,187 1,432 1,287 1,293 1,172 1,691 1,295 1,451

37,763 -5,606 1,931 1,715 1,693 1,569 2,123 1,847 1,861

37,044 -6,538 2,219 2,002 1,954 1,817 2,396 2,211 2,097

37,004 -6,830 2,296 2,093 2,041 1,890 2,480 2,324 2,167

37,004 -6,851 2,301 2,100 2,047 1,895 2,486 2,332 2,172

37,004 -6,851 2,301 2,100 2,047 1,895 2,486 2,332 2,172

Iteration 1 2 3 4 5 6 7 Step 1

-2 Log

likelihood Constant sikap obat suluh tahu perpen perpel diag Coefficients

Method: Enter a.

Constant is included in the model. b.

Initial -2 Log Likelihood: 149,683 c.

Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than ,001. d.

Omnibus Tests of Model Coefficients

112,678 7 ,000

112,678 7 ,000

112,678 7 ,000

Step Block Model Step 1


(5)

Model Summary

37,004a ,648 ,864

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Estimation terminated at iteration number 7 because parameter estimates changed by less than ,001. a.

Hosmer and Lemeshow Test

13,919 8 ,084

Step 1

Chi-square df Sig.

Contingency Table for Hosmer and Lemeshow Test

10 9,989 0 ,011 10

11 10,915 0 ,085 11

6 5,940 0 ,060 6

10 10,881 1 ,119 11

11 9,983 0 1,017 11

6 5,326 5 5,674 11

0 1,525 12 10,475 12

0 ,198 11 10,802 11

1 ,178 11 11,822 12

0 ,063 13 12,937 13

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Step 1

Observed Expected Pemanfaatan poli TB

MDR = Tidak memanfaatkan

Observed Expected Pemanfaatan poli TB MDR = Memanfaatkan

Total

Classification Tablea

52 3 94,5

3 50 94,3

94,4 Observed

Tidak memanfaatkan Memanfaatkan Pemanfaatan poli

TB MDR

Overall Percentage Step 1

Tidak memanfa

atkan

Memanfa atkan Pemanfaatan poli TB

MDR

Percentage Correct Predicted

The cut value is ,500 a.


(6)

Variables in the Equation

2,301 1,022 5,069 1 ,024 9,984 1,347 74,005

2,100 1,004 4,374 1 ,036 8,167 1,141 58,455

2,047 ,989 4,282 1 ,039 7,747 1,114 53,860

1,895 ,949 3,992 1 ,046 6,654 1,037 42,708

2,486 ,966 6,627 1 ,010 12,017 1,810 79,788

2,332 1,045 4,976 1 ,026 10,298 1,327 79,902

2,172 ,952 5,201 1 ,023 8,773 1,357 56,710

-6,851 1,671 16,807 1 ,000 ,001

sikap obat suluh tahu perpen perpel diag Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95,0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: sikap, obat, suluh, tahu, perpen, perpel, diag. a.