BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan TB paru dan MDR TB di Indonesia - Perbandingan Nilai Neutrofil Limfosit Rasio (NLR) pada Pasien Tuberkulosis Paru dan Multi-Drug Resistant (MDR) TB di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan TB paru dan MDR TB di Indonesia

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi TB di dunia yang memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan terutama di 22 negara dengan beban TB paling tinggi di dunia, World Health Organization (WHO) melaporkan dalam Global Tuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir ini. Insidens TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun 2010- -2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini, beban global akibat TB masih tetap besar. Diperkirakan pada tahun 2011 insidens kasus TB mencapai 8,7 juta (termasuk 1,1 juta dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu orang meninggal karena TB. Secara global diperkirakan insidens TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus dengan riwayat pengobatan.

Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang. (Depkes,2013)

Indonesia telah melakukan beberapa survei untuk mendapatkan data resistensi OAT. Survei tersebut diantaranya dilakukan di Kabupaten Timika Papua pada tahun 2004, menunjukkan data kasus MDR TB diantara kasus baru TB adalah sebesar 2 %; di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2006, data kasus MDR TB diantara kasus baru TB adalah 1,9 % dan kasus MDR TB pada TB yang pernah diobati sebelumnya adalah 17,1 %; di Kota Makasar pada tahun

2007, data kasus MDR TB diantara kasus baru TB adalah sebesar 4,1 % dan pada TB yang pernah diobati sebelumnya adalah 19,2 %. Hasil Survei terbaru yang dilakukan di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 menunjukkan angka 2% untuk kasus baru dan 9,7% untuk kasus pengobatan ulang. Hasil penelitian Nofizar dkk. (2010) menyimpulkan sebanyak 92% pasien TB MDR telah memiliki riwayat pengobatan TB lebih dari satu kali sebelumnya. Sebagian besar kasus merupakan kasus kronik/gagal pengobatan kategori dua. Hasil penelitian Sihombing. (2012) menyimpulkan dari 85 subyek penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan ditemukan resistensi primer sebanyak 35 orang (41,18%), terdiri atas: monoresistensi primer sebanyak 18 orang (21,18%), poliresisten primer sebanyak 13 orang (15,29%), dan MDR primer sebanyak 4 orang (4,71%).

Meskipun Program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai target angka penemuan dan angka kesembuhan, penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan strategi Directly Observed Treatment Short--course (DOTS) dan penerapan standar pelayanan berdasar International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). Laporan hasil evaluasi Joint External TB Monitoring Mission (JEMM) 2011 menyebutkan, dari sekitar 1523 rumah sakit di Indonesia, hanya 38% yang melaksanakan program DOTS. Berdasarkan laporan Subdit TB Depkes RI tahun 2009, proporsi putus obat pada pasien TB paru kasus baru dengan hasil basil tahan asam (BTA) positif berkisar antara 0,6%- -19,2% dengan angka putus obat tertinggi yaitu di provinsi Papua Barat; angka putus obat di

Jakarta pada tahun 2009 sebesar 5,7%. Fakta menunjukkan bahwa TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat

Indonesia, antara lain (Depkes,2013)

• Pada tahun 2011 Indonesia merupakan negara dengan pasien TB terbanyak ke-4 di dunia

setelah India, Cina, dan Afrika Selatan. Menurut WHO tahun 2015, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah India. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,7% dari total jumlah pasien TB dunia, dengan setiap tahun ada 450.000 kasus baru dan 65.000 kematian. Penemuan kasus TB apusan dahak basil tahan asam (BTA) positif

sejumlah 19.797 pada tahun 2011. • Pada tahun 2009, prevalens HIV pada kelompok TB di Indonesia adalah sekitar 2,8%.

• Prevalens TB resisten OAT ganda (multidrug resistance = MDR) di antara kasus TB baru

adalah sebesar 2%, dan di antara kasus pengobatan ulang adalah sebesar 12%, sesuai laporan WHO tahun 2012.

• Pada tahun 2005, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa

penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran napas pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan

penyakit infeksi. • Hasil survei TB di Indonesia pada tahun 2004 menunjukkan bahwa prevalens TB dengan apusan dahak BTA positif secara nasional adalah 110 per 100.000 penduduk.

WHO merekomendasi pemeriksaan uji resistensi rifampisin dan/atau isoniazid terhadap kelompok pasien berikut ini pada saat mulai pengobatan: •

Semua pasien dengan riwayat OAT TB resisten obat banyak didapatkan pada pasien dengan riwayat gagal terapi.

• Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka yang tinggal di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten obat.

• Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten obat.

• Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer >3%. •

Pasien baru atau riwayat OAT dengan apusan dahak BTA tetap positif pada akhir fase intensif maka sebaiknya melakukan apusan dahak BTA pada bulan berikutnya. Jika hasil apusan BTA tersebut masih positif maka biakan M.tuberculosis dan uji resistensi obat atau pemeriksaan Gen-Xpert MTB/RIF harus dilakukan.

Tabel 1. Laporan kasus TB tahun 2013.

Kasus baru

(%) BTA positif

(%) Kasus pengobatan berulang

BTA negatif

(6) BTA tidak jelas/

101.750 (32) Pengobatan setelah gagal 432

Pengobatan setelah putus 933

tidak dilakukan

Lain lain Total kasus baru

Total pengobatan

kembali

Total kasus baru dan 318.949

321.308 relaps

Total kasus yang

dilaporkan

2.2. Kuman Tuberkulosis Paru

Basil tuberkulosis berukuran sangat kecil berbentuk batang tipis, agak bengkok, bergranular, berpasangan yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. M. tuberculosis memiliki kekhasan tersendiri, karena bakteri tersebut hidup intraselular. Berukuran panjang 1-4 µm dan lebar 0,3-0,6 µm.1,2,5 dan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37°C dengan tingkat pH optimal (6,4-7,0) membelah diri yang membutuhkan waktu 14-20 jam. Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak lebih dari 30% berat dinding kuman, asam stearat, asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta cord factor dan protein terdiri dari tuberkuloprotein/tuberculin. Kuman tidak berspora dan tidak berkapsul. Pada pewarnaan Ziehl-Neilsen tampak kuman berwarna merah dengan latar belakang berwarna biru. Kuman sulit diwarnai dengan cara Gram, tetapi bila Basil tuberkulosis berukuran sangat kecil berbentuk batang tipis, agak bengkok, bergranular, berpasangan yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. M. tuberculosis memiliki kekhasan tersendiri, karena bakteri tersebut hidup intraselular. Berukuran panjang 1-4 µm dan lebar 0,3-0,6 µm.1,2,5 dan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37°C dengan tingkat pH optimal (6,4-7,0) membelah diri yang membutuhkan waktu 14-20 jam. Kuman tuberkulosis terdiri dari lemak lebih dari 30% berat dinding kuman, asam stearat, asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta cord factor dan protein terdiri dari tuberkuloprotein/tuberculin. Kuman tidak berspora dan tidak berkapsul. Pada pewarnaan Ziehl-Neilsen tampak kuman berwarna merah dengan latar belakang berwarna biru. Kuman sulit diwarnai dengan cara Gram, tetapi bila

dari kompleks mikolat fuksin yang terbentuk di dinding (Hasan, 2010)

Gambar. 1 Bakteri Mycobacterium tuberculosis pada pengecatan Ziehl Neelsen Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup dalam keadaan dingin. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan TB aktif lagi. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositosis malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Berdasarkan sifat metabolisme basil, terdapat 4 jenis populasi basil tuberkulosis, yaitu:

1. Populasi A, terdiri atas bakteri yang secara aktif berkembang biak dengan cepat, terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi yang mempunyai pH netral.

2. Populasi B, terdiri atas bakteri yang tumbuhnya sangat lambat dan berada dalam lingkungan pH rendah, yang melindunginya terhadap obat anti-tuberkulosis tertentu.

3. Populasi C, terdiri atas bakteri yang berada dalam keadaan dormant hampir sepanjang waktu, sehingga jarang mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat.

4. Populasi D, terdiri atas bakteri yang sepenuhnya bersifat dormant sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat-obat antituberkulosis (Hasan,2010) Sumber penularan yang utama adalah penderita TB paru dengan BTA positif, yang

ditularkan melalui percikan dahak (droplet) yang mengandung basil TB pada saat batuk, bersin maupun bicara (Miller, 2002). Orang lain akan tertular apabila droplet tersebut terhirup dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan, dan dari paru ke bahagian tubuh lainnya (extrapulmonar) melalui melalui bronchus (saluran napas), sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, atau percontinuitatum (melalui penyebaran langsung). Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Penderita TB paru yang dalam pemeriksaan dahak BTA (-), penderita tersebut dianggap tidak menular (PDPI, 2011)

2.3. Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada program tuberkulosis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada program tuberkulosis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak

A. Gejala klinis Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori.

1.Gejala respiratori - batuk> 2 minggu - batuk darah - sesak napas - nyeri dada

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar.

2.Gejala sistemik - Demam meriang lebih dari satu bulan -Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam tanpa kegiatan fisik, anoreksia dan berat badan menurun

Mengingat prevalensi tuberkulosis di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga (presumtif) tuberkulosis dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

Semua orang dengan batuk produktif dua sampai tiga minggu yang tidak dapat dijelaskan sebaiknya dievaluasi untuk TB (Standar 1 International Standards for Tuberculosis Care )

3. Gejala tuberkulosis ekstraparu Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada

limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak napas dan nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat

cairan.

B. Pemeriksaan Jasmani Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (PDPI,2011) Defenisi pasien TB •

Pasien TB berdasarkan konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis. Adalah seorang pasien TB yang hasil pemeriksaan spesimen dahaknya positif dengan

pemeriksaan mikroskopis, biakan atau diagnostik cepat yang dicatat tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum. Termasuk dalam tipe pasien tersebut adalah :

Pasien TB paru BTA positif :

1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif.

2. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran TB.

3. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. 4.Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

5.Pasien TB yang hasil pemeriksaan sediaan dahaknya positif dengan cara pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat (misalnya GenXpert)

Pasien TB paru BTA negatif : Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

1. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

2. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB.

3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

4. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :

2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif

1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif

Bila 3 kali negati f → Mikroskopik negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)

• Negatif, tidak ditemukan kuman BTA dalam 100 lapang pandang •

Scanty: Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan

• 1+: Ditemukan 10-99 kuman BTA dalam 100 lapang pandang •

2+: Ditemukan 1-10 kuman BTA dalam 1 lapang pandang •

3+: Ditemukan > 10 kuman BTA dalam 1 lapang pandang (PDPI,2011)

C. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : • Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan

segmensuperior lobus bawah • Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular • Bayangan bercak milier

• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif: •

Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas •

Penebalan pleura ( schwarte )

• Kalsifikasi Pembagian secara radiologis ( Luas lesi )

• Tuberkulosis minimal, yaitu terdapatnya sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu paru maupun kedua paru, tapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.

• Moderate advanced tuberkulosis, yaitu adanya kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm, jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari satu pertiga bagian satu paru.

• Far advanced tuberkulosis, yaitu terdapatnya infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderate advanced tuberculosis (Hasan,2010)

Gambar 2. Alur diagnosis TB Paru (sumber: Depkes,2013)

Guna menghindari terjadinya over diagnosis dan situasi yang merugikan pasien, pemberian pengobatan TB berdasarkan diagnosis klinis hanya dianjurkan pada pasien dengan dengan pertimbangan sebagai berikut :

• Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung TB •

Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal : pada TB meningen, TB milier, pasien dengan HIV positif dsb.

• Tindakan pengobatan untuk kepentingan pasien dan sebaiknya diberikan atas persetujuan tertulis dari pasien atau yang diberi kuasa.

• Apabila fasilitas memungkinkan, segera diupayakan pemeriksaan penunjang yang sesuai misal : pemeriksaan biakan, pemeriksaan diagnostik cepat untuk memastikan diagnosis.

Semua orang dengan batuk produktif dua sampai tiga minggu yang tidak dapat dijelaskan sebaiknya dievaluasi untuk TB (Standar 1 International Standards for Tuberculosis Care )

2.4. Multidrug Resistant Tuberkulosis (MDR TB) Multidrug resistant tuberkulosis didefinisikan sebagai kasus tuberkulosis yang dinyatakan

resisten terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap Rifampicin dan Isoniazid berdasarkan hasil uji kepekaan antimikroba. Penyebab utama terjadinya adalah man made phenomenon . Dari sisi mikrobiologi, resistensi tersebut akibat mutasi genetik sehingga obat tidak lagi efektif melawan kuman TB. Dari segi klinis dan program, penatalaksanaan yang tidak adekuat dapat menyebabkan strain kuman yang resisten menjadi dominan.

Resistensi obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya, kemungkinan terjadi resistensi sebesar 4 kali lipat sedangkan terjadinya TB-MDR sebesar 10 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan pasien yang belum pernah diobati. Lebih lanjut, pasien TB-MDR sering tidak bergejala sebelumnya sehingga Resistensi obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Pada pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya, kemungkinan terjadi resistensi sebesar 4 kali lipat sedangkan terjadinya TB-MDR sebesar 10 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan pasien yang belum pernah diobati. Lebih lanjut, pasien TB-MDR sering tidak bergejala sebelumnya sehingga

Resisten TB secara klinis dibagi atas dua jenis, yaitu primer dan sekunder. Resisten primer terjadi pada pasien yang belum pernah menggunakan OAT. Resisten sekunder adalah resisten yang terjadi pada pasien yang pernah menggunakan OAT minimal 4 minggu atau lebih. Resisten inisial adalah bila tidak diketahui pasti apakah sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya. Resisten inisial digunakan oleh WHO untuk kasus yang belum jelas apakah pasien sudah pernah mendapat OAT. Resisten inisial mencerminkan kualitas dan efikasi program pengobatan TB dan angka resisten inisial tinggi menunjukkan buruknya program pengobatan TB (PDPI,2011)

Secara bakteriologis suatu populasi Mycobacterium tuberculosis (M.Tb) dikatakan resisten jika 1% atau lebih kuman pada suatu populasi resisten terhadap obat dengan konsentrasi yang dianjurkan. Faktor-faktor risiko pada kelompok tertentu untuk yang dicurigai sebagai TB- MDR dan dilakukan uji resistensi adalah:

1. Gagal Kategori 2/ Kasus kronik dibuktikan dengan rekam medis sebelumnya

2. Dahak tetap postif setelah bulan ke-3 pengobatan kategori 2 dibuktikan dengan register TB atau rekam medik

3. Pasien yang pernah diobati, termasuk pemakaian OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin

4. Pasien gagal pengobatan denga OAT lini pertama (kategori 1)

5. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah bulan ke-3 pengobatan dengan OAT lini pertama (kategori 1)

6. Kasus TB kambuh

7. Pasien yang kembali setelah lalai/default (setelah pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2)

8. Suspek TB dengan keluhan yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR

9. TB dengan komorbid HIV - AIDS

Kasus MDR-TB memerlukan pengobatan yang sangat lama bahkan bisa 24 bulan dengan obat yang lebih mahal namun aktivitas antimikroba yang lebih lemah daripada rifampisin dan INH. Tingkat keberhasilan pengobatan MDR-TB sampai saat ini pun masih rendah. Kegagalan terapi TB dengan resisten akan menyebabkan rantai penularan kuman resisten terus terjadi terhadap orang disekitarnya dan meningkatkan terjadinya resisten primer (Hasan,2010)

Gambar 3. Mekanisme terjadinya MDR TB (sumber: Sujay, 2015)

Gambar 4. Alur Diagnosis MDR TB (sumber: Depkes,2013)

Tinjauan biologis tuberkulosis resisten obat

Kini dipahami bahwa terjadinya resisten juga berhubungan dengan gen tertentu. Kuman yang resisten timbul karena terjadi perubahan kode genetik pada kuman secara spontan (mutasi). Makin banyak jumlah kuman makin besar kemungkinan timbul mutasi. Mutasi ini tidak

6 berhubungan (unlinked) dan terjadi pada frekuensi yang rendah sekitar 1/10 8 -1/10 replikasi. Penggunaan lebih dari satu macam obat dapat mencegah resisten obat melalui suatu mekanisme

tertentu karena mutasi yang terjadi tidak berhubungan. Resisten terhadap obat INH dapat tertentu karena mutasi yang terjadi tidak berhubungan. Resisten terhadap obat INH dapat

Genom pada kebanyakan spesies mikobakteria mengandung elemen DN repetitif. Gen M.Tuberculosis kompleks yaitu 1S6110 dan M.paratuberculosis 1S900 metode DNA sequencing-based untuk mendeteksi mutasi gen obat resisten. Elemen yang sifatnya spesifik untuk spesies tertentu ini digunakan sebagai pelacak hibridisasi dan target amplifikasi DNA untuk mendeteksi dan identifikasi mikobakteria di dalam spesimen.

Tabel 2. Gen yang berperan pada resisten terhadap OAT

Obat antituberkulosis Mutasi gen

Produksi gen Isoniazid

% mutasi

Katalase-peroksidase Isoniazid-etionamid

KatG

40-60%

Analog reduktase Isoniazid

Reduktase hydroperoksidase

Isoniazid

Sintesis protein carrier Rifampisin

kasA

Tidak diketahui

Polimerase RNA Pirazinamid

rpoB

Pirazinamidase Etambutol

pncA

72-97%

Arabinosil tranferase Streptomisin

Protein robosomal

S12

Streptomisin

165 rRNA Fluorokuinolon

Subunit girase A DNA

Mekanisme imunologis tuberkulosis resisten obat

Sistem imun adaptif terhadap M. tuberculosis terutama mengandalkan sel T CD4. Peranan sel T CD 4 yang menghasilkan sitokin interferon gamma (IFN- γ) terhadap kejadian resistensi primer tuberkulosis telah berhasil diidentifikasi. Meski demikian, sel T CD8 juga memainkan peranan penting dalam pengendalian TB MDR, hal ini dibuktikan dengan keadaan dimana terjadi penurunan jumlah sel T CD8, ternyata penderita memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap tuberkulosis. Efek mikobakterisidal dari sel T yang menghasilkan IFN- γ melibatkan produksi nitrit oksida dan berbagai radikal reactive oxygen (Pinheiro, 2008).

Sebagaimana telah dibuktikan pada studi terhadap mencit, IFN- γ memainkan peranan penting dalam proteksi TB. Hal ini dikuatkan dengan fakta dari beberapa penelitian yang menyatakan bahwa adanya mutasi pada gen yang menyandi IFN- γ reseptor, IL-12 dan reseptornya dan gen STAT-1 akan meningkatkan kerentanan seseorang mengalami infeksi tuberkulosis.

Berbagai studi mencoba mengidentifikasi peran ESAT-6 (Early secreted antigenic target

6 kDa) sebagai antigen mikobakteri yang menentukan produksi IFN- γ dari sel limfosit T. Studi tersebut menemukan bawa pasien MDR TB memperlihatkan kadar IFN- γ yang lebih rendah dan meningkat jauh lebih lambat dibandingkan dengan TB biasa, baik sebelum maupun sesudah pengobatan. (Pinheiro, 2008).

Sitokin penting lainnya yang turut terlibat adalah TNFα. Telah terbukti bahwa pasien yang diterapi dengan antagonis TNFα ternyata lebih rentan mengalami infeksi tuberkulosis yang mana ini berarti TNFα penting dalam pertahanan seluler terhadap pathogen intrasel. (Pinheiro, 2008). Studi lain menemukan juga fakta bahwa pada pasien MDR TB ternyata respons terhadap

keberadaan TNFα sangat jauh menurun dibandingkan dengan kasus TB biasa. Hal ini keberadaan TNFα sangat jauh menurun dibandingkan dengan kasus TB biasa. Hal ini

Meskipun hasil penelitian sangat beragam terhadap peranan dikotomi Th1 (IFN- γ) dan Th2 (IL4 dan IL10) sebagai faktor yang bertanggung jawab dengan resistensi atau suseptibilitas TB terhadap OAT, tentunya masih diperlukan lebih banyak studi lagi untuk benar benar memahami respons imun pada kasus MDR TB.

Gaffner (2009) melakukan penelitian yang menyatakan data bahwa strain kuman M.Tb yang berbeda beda akan menginduksi reaksi imun yang berbeda juga. M.Tb strain M akan menghasilkan respon IFN- γ yang lemah dibandingkan dengan strain N. Akan tetapi strain M akan menginduksi kadar IL-4 yang paling tinggi dari sel T CD4 dan CD8 pada pasien MDR TB, meskipun aktivitas limfosit T sitotoksik sangat rendah.

2.5. GenXpert MTB/RIF

GenXpert MTB/RIF adalah suatu alat uji yang menggunakan catridge berdasarkan Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) secara automatis untuk mendeteksi kasus TB dan resistensi rifampisin, cocok untuk negara endemis (WHO, 2013) dan dapat dilakukan walaupun sampel sputum hanya 1 ml (Hakeem et al, 2013). Uji konvensional untuk mendiagnosa TB resisten OAT yang mengandalkan kultur bakteri dan uji kepekaan obat yang telah lama digunakan merupakan proses yang lama dan tidak praktis. Pada saat ada kemungkinan pasien menerima pengobatan yang tidak tepat, strain M. tuberculosis yang resisten obat dapat menyebar dan resistensi dapat menjadi lebih luas (WHO, 2013).

Meskipun metode molekuler yang telah ada sebelumnya untuk mendiagnosa TB resisten OAT, tetapi alat uji yang ada seperti PCR konvensional atau LPA, memakai metode yang terlalu rumit untuk selalu dilakukan di negara berkembang. Sampel yang selalu diproses dan DNA yang diekstraksi menambah kesulitan untuk dilakukan karena sumber daya manusia kurang. GenXpert , suatu perangkat platform, yang diluncurkan oleh Cepheid pada tahun 2004 dan menyederhanakan uji molekuler yang terintegrasi dan automatis dengan 3 proses (persiapan sampel, amplifikasi, dan deteksi) berdasarkan real time PCR (WHO, 2013). Uji Xpert MTB/RIF dikembangkan oleh Foundation for Inovative New Diagnostic (FIND),Chepeid, University of Medicine and Dentistry of New Jersey yang dipimpin oleh David Alland (Boulware et al, 2013; WHO, 2013) dengan pembiayaan dari National Institutes of Health (NIH) Amerika Serikat dan the Bill andMelinda Gates Foundation . GenXpert sebagai alat uji diagnostik TB dan resistensi rifampisin terus mengalami perkembangan

Teknologi yang didukung oleh WHO ini, pada 30 Juni 2013 total 3,2 juta catridge dan 1402 mesin GenXpert (yang terdiri dari 7533 modul mesin) telah digunakan pada 88 negara dari 145 negara yang memenuhi syarat untuk memperoleh mesin dan catridge dengan harga yang lebih murah (Boulware, 2013; WHO, 2013). World Health Organization merekomendasikan pemakaian GenXpert (Cepheid) untuk mengevaluasi pasien tersangka MDR TB dan pasien dengan BTA negatif (Boehme et al, 2010; WHO 2013)

Sistem GenXpert terdiri dari alat GenXpert, komputer dan disposible catridge (Boehme, 2009). Alat ini membersihkan, mengkonsentrasi dan mengamplifikasi (dengan cepat, real time PCR) dan mengidentifikasi target asam nukleat dalam gen M. tuberculosis dan memberikan hasil dari sampel sputum yang tidak perlu diproses hanya dalam waktu kurang lebih 2 jam, dengan minimal penggunaan tangan. GenXpertMTB/RIF menggunakan catridge yang berisi semua Sistem GenXpert terdiri dari alat GenXpert, komputer dan disposible catridge (Boehme, 2009). Alat ini membersihkan, mengkonsentrasi dan mengamplifikasi (dengan cepat, real time PCR) dan mengidentifikasi target asam nukleat dalam gen M. tuberculosis dan memberikan hasil dari sampel sputum yang tidak perlu diproses hanya dalam waktu kurang lebih 2 jam, dengan minimal penggunaan tangan. GenXpertMTB/RIF menggunakan catridge yang berisi semua

GenXpert MTB/RIF dirancang dengan sistem tertutup untuk mengurangi atau mengeliminasi resiko kontaminasi amplikon. Sekali tertutup, catridge jangan pernah dibuka kembali (Boehme, 2009) oleh karena itu sebaiknya tidak membuka catridge jika belum siap untuk memulai pemeriksaan GenXpert MTB/RIF (Halilu et al, 2014). Masing-masing instrumen GenXpert berisi 4 modul yang dapat diakses secara individu. Ukuran instrumen yang lain berisi antara 1-72 modul. Masing-masing modul terdiri dari jarum suntik untuk mengambil atau mengeluarkan cairan, sebuah ultrasonik untuk melisiskan sel, sebuah thermocycler, dan optical sign untuk mendeteksi komponen. Single usecatridge berisi a) chamber untuk menyimpan sampel dan reagen, b) valvebody berisi sebuah plunger dan syringe barrel, c) sebuah sistem rotary valve untuk mengendalikan pergerakan diantara chamber, d) sebuah ruang untuk menangkap, menyatukan, mencuci, dan melisis sel, e) reagen lyophilizeeal-time PCR dan buffer pencuci dan f) tabung reaksi PCR yang terintegrasi yang secara automatis diisi instrumen (Boehme, 2009).

Uji GenXpert MTB/RIF berdasarkan prinsip multipleks, semi-nested quantitative real- time PCR dengan amplifikasi gen target rpoB (Boehme,2009; Blakemore et al, 2010; WHO, 2011; Calligaro et al, 2014) dan untuk meningkatkan sensitivitas, GenXpert MTB/RIF menggunakan molecular beacon dengan target gen rpoB (Boehme, 2009; Blakemore et al, 2010; Calligaro et al, 2014). GenXpert mendeteksi 81 bp core region dari gen rpoB yang dikode oleh lokasi aktif enzim (Lawn dan Nicol, 2011; Marlow et al,2011). Core region rpoB terletak di samping M. tuberculosis urutan DNA spesifik. Oleh karena itu, sangat memungkinkan untuk Uji GenXpert MTB/RIF berdasarkan prinsip multipleks, semi-nested quantitative real- time PCR dengan amplifikasi gen target rpoB (Boehme,2009; Blakemore et al, 2010; WHO, 2011; Calligaro et al, 2014) dan untuk meningkatkan sensitivitas, GenXpert MTB/RIF menggunakan molecular beacon dengan target gen rpoB (Boehme, 2009; Blakemore et al, 2010; Calligaro et al, 2014). GenXpert mendeteksi 81 bp core region dari gen rpoB yang dikode oleh lokasi aktif enzim (Lawn dan Nicol, 2011; Marlow et al,2011). Core region rpoB terletak di samping M. tuberculosis urutan DNA spesifik. Oleh karena itu, sangat memungkinkan untuk

Molecular beacon merupakan urutan oligonukleotida yang berisi urutan probe yang terdapat diantara dua tangkai urutan DNA. Molecular beacon digunakan untuk mendeteksi keberadaan M. tuberculosis dan mendiagnosa resistensi rifampisin sebagai tanda pengganti untuk TB MDR secara bersamaan (Boehme, 2009). Molecular beacon menggunakan fluorophor dan quencher untuk mendeteksi hibridisasi pada masing-masing dari lima region target amplifikasi gen (WHO 2011). Salah satu dari molecular beacon probes dibuat untuk mendeteksi DNA pada sampel kontrol Bacillus globigi (Boehme, 2009; WHO, 2011), suatu organisme tanah yang berspora, bertindak sebagai penguji kualitas untuk perangkap bakteri, lisis bakteri, ekstraksi DNA, amplifikasi dan deteksi probe (WHO, 2011). Lima molecular beacon lainnya dibuat untuk hibridisasi pada region core rpoB amplikon (Boehme,2009).

Prosedur Pemakaian GenXpert

Pemakaian GenXpert secara manual sangat mudah: buffer ditambahkan pada sampel sputum dengan perbandingan volume yang telah ditentukan (2:1), masukkan sampel ke dalam catridge chamber kemudian catridge dimasukkan ke dalam GenXpert. Setelah itu, semua proses yang terjadi adalah secara automatis: GenXpert pada awalnya menangkap organisme M. tuberculosis dari sampel sputum pada filter membran. Inhibitor mencuci sel organisme yang ditangkap dengan buffer kemudian dilisiskan dengan sumber energi ultrasonik dan DNA yang terlepas dielusi (dialirkan) melalui saringan membran. Solusi DNA akhirnya dicampur dengan reagen PCR kering kemudian dipindahkan ke dalam tabung PCR untuk real-time PCR dan dideteksi. Hasilnya dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam. Adanya semua lima sinyal Pemakaian GenXpert secara manual sangat mudah: buffer ditambahkan pada sampel sputum dengan perbandingan volume yang telah ditentukan (2:1), masukkan sampel ke dalam catridge chamber kemudian catridge dimasukkan ke dalam GenXpert. Setelah itu, semua proses yang terjadi adalah secara automatis: GenXpert pada awalnya menangkap organisme M. tuberculosis dari sampel sputum pada filter membran. Inhibitor mencuci sel organisme yang ditangkap dengan buffer kemudian dilisiskan dengan sumber energi ultrasonik dan DNA yang terlepas dielusi (dialirkan) melalui saringan membran. Solusi DNA akhirnya dicampur dengan reagen PCR kering kemudian dipindahkan ke dalam tabung PCR untuk real-time PCR dan dideteksi. Hasilnya dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam. Adanya semua lima sinyal

Gambar 5. Prosedur Pemeriksaan GenXpert Mtb/Rif (Sumber: Boehme, 2009)

Sensitivitas GenXpert MTB/RIF lebih baik daripada pemeriksaan mikroskopis (WHO, 2013a; Hakeem et al, 2013) dan sensitivitasnya sama dengan kultur media padat (WHO, 2013a). Hal ini dibuktikan pada saat sesudah dilakukan penyempurnaan pada Xpert kemudian dilakukan validasi klinis pada pasien di daerah Afrika Selatan, India, Peru, Jerman dan Azerbaijan. Ada sekitar 4.500 spesimen sputum dari 1.500 suspek TB. Hasilnya Xpert mempunyai spesifisitas dan sensitivitas tinggi untuk mendeteksi DNA M.tuberculosis pada hampir semua apusan sputum positif dan kultur positif. Sedangkan resisten rifampisin dideteksi dengan akurasi yang tinggi (Boehme, 2009).

Uji GenXpert MTB/RIF merupakan uji diagnostik TB yang memiliki banyak kelebihan diantaranya: mudah dipakai, mengurangi pemakaian biosafety cabinet, hasil diperoleh lebih Uji GenXpert MTB/RIF merupakan uji diagnostik TB yang memiliki banyak kelebihan diantaranya: mudah dipakai, mengurangi pemakaian biosafety cabinet, hasil diperoleh lebih

2011; Trébucq et al, 2011) dibawah 30 0

C sehingga di negara tropis membutuhkan penyejuk udara yang tetap menyala, biaya mahal (Van Rie et al, 2010; Trébucq et al, 2011), ketersediaan aliran listrik, dan memerlukan perawatan tahunan serta kalibrasi tiap mesin (Van Rie et al, 2010; Evans, 2011; Trébucq et al, 2011).

2.6. Pengobatan

Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. M.tuberculosis merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat.Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri lain (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Tabel 3. Jenis OAT

Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu kelompok pertama dan kelompok kedua. Kelompok obat pertama yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan streptomisin. Kelompok obat ini memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. (Depkes RI, 2013)

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif atau awal pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Paduan obat anti tuberkulosis yang digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis di Indonesia dibagi dalam dua kategori.

1. Kategori satu Kategori satu diobati dengan kombinasi 2(HRZE)/4(HR)3. Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama dua bulan, kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama empat bulan. Pasien yang termasuk kategori satu yaitu pasien baru tuberkulosis paru dengan hasil uji BTA positif, pasien tuberkulosis paru dengan hasil uji BTA negatif tetapi hasil foto toraks positif dan pasien tuberkulosis ekstra paru.

Tabel 4. Dosis kategori satu

2. Kategori dua Kategori dua diobati dengan kombinasi 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)3. Tahap intensif diberikan selama tiga bulan, yang terdiri dari dua bulan dengan HRZES setiap hari, dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Paduan obat antituberkulosis ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya yaitu pasien kambuh, pasien gagal, pasien dengan pengobatan setelah default (terputus).

Tabel 5. Dosis kategori dua

Pengobatan MDR TB

WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut (World Health Organization, 2013) :

1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.

2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negatif

3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bakterisidal tinggi, misal levofloksasin. Semua pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya

4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid), ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.

5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal.

Tabel 6. Jenis OAT MDR TB

Tabel 7. Dosis OAT MDR TB

Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan sebagai berikut: Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih menunjukkan efikasi Tahap 2 : tambahkan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan Tahap 3 : tambahkan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan fluorokuinolon Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari obat golongan

4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin efektif Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila dirasakan belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4.

Gambar 6. Mekanisme Kerja Obat MDR TB (Sumber: WHO,2013)

Prinsip dasar pengobatan MDR TB (WHO,2013): (1) Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita. (2) Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan obat lini

kedua yang berada di area / negara tersebut. (3) Regimen minimal terdiri 4 obat yang jelas diketahui efektifitasnya. (4) Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan.

(5) Obat diberikan sekurang-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin etambutol, pirazinamid, dan fluoro kuinolon diberikan setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi.

(6) Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi. (7) Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak

memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh (8) Pirazinamid dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif. Sebagian besar penderita MDR TB memiliki peradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis menghasilkan suasana asam dan pirazinamid bekerja aktif.

(9) Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan

Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat obat anti tuberkulosis lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal.

Evaluasi pada pasien MDR TB adalah: (1) penilaian klinis termasuk berat badan, (2) penilaian segera bila ada efek samping, (3) pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan, (4) pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan, (5) uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan pengobatan, (6) Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin), (7) pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid

Paduan standar OAT MDR yang diberikan adalah:

Km – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

Alternatif pengobatan standar pada kondisi khusus adalah sebagai berikut:

1) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Cm – Lfx – Eto – Cs – Z - (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)

2) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Km-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

3) Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin dan fluorokuinolon (TB XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut:

Cm-Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E) / Mfx-Eto-Cs-PAS-Z-(E)

Paduan standar ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDR secara laboratoris. Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian obat oral dan suntikan dengan lama paling sedikit 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah pemberian paduan OAT oral tanpa suntikan. Lama pengobatan seluruhnya paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan. Lama pengobatan berkisar 19-24 bulan (WHO,2013)

2.7. Hematopoiesis Hematopoiesis ialah proses pembentukan darah. Pada orang dewasa dalam keadaan

fisiologik semua hematopoesis terjadi pada sumsum tulang. Untuk kelangsungan hemopoesis diperlukan :

1. Sel induk hemopoetik (hematopoietic stem cell) Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-sel darah, termasuk

eritrosit, leukosit, trombosit, dan beberapa sel dalam sumsum tulang seperti fibroblast. Sel induk yang paling primitif sebagai pluripotent (totipotent) stem cell.

Sel induk pluripotent mempunyai sifat :

a. Self renewal : kemampuan memperbarui diri sendiri sehingga tidak akan pernah habis meskipun terus membelah;

b. Proliferative : kemampuan membelah atau memperbanyak diri;

c. Diferensiatif : kemampuan untuk mematangkan diri menjadi sel dengan fungsi tertentu.

Menurut sifat kemampuan diferensiasinya maka sel induk hemopoetik dapat dibagi menjadi :

a. Pluripotent (totipotent)stem cell : sel induk yang mempunyai yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan seluruh jenis sel-sel darah.

b. Committeed stem cell : sel induk yang mempunyai komitmet untuk berdiferensiasi melalui salah satu garis turunan sel (cell line). Sel induk yang termasuk golongan ini ialah sel induk myeloid dan sel induk limfoid.

c. Oligopotent stem cell : sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi hanya beberapa jenis sel. Misalnya CFU-GM (colony forming unit-granulocytelmonocyte) yang dapat berkembang hanya menjadi sel-sel granulosit dan sel-sel monosit.

d. Unipotent stem cell : sel induk yang hanya mampu berkembang menjadi satu jenis sel saja. Contoh CFU-E (colony forming unit-erythrocyte) hanya dapat menjadi eritrosit, CFU-G (colony

forming unit-granulocyte) hanya mampu berkembang menjadi granulosit. (Dave ,2008)

Gambar 7. Proses Hematopoesis (sumber: clinical medicine,2008)

Sel Darah Putih (leukosit)

Berbeda dengan sel darah merah, sel darah putih memiliki bentuk yang tidak tetap atau bersifat amuboid dan mempunyai inti sel. Setiap satu milimeter kubik darah mengandung sekitar 8.000 sel darah putih. Fungsi utama sel darah putih adalah membentuk antibodi. Peningkatan jumlah leukosit merupakan petunjuk adanya infeksi. Jika jumlah leukosit sampai di bawah 6.000 Berbeda dengan sel darah merah, sel darah putih memiliki bentuk yang tidak tetap atau bersifat amuboid dan mempunyai inti sel. Setiap satu milimeter kubik darah mengandung sekitar 8.000 sel darah putih. Fungsi utama sel darah putih adalah membentuk antibodi. Peningkatan jumlah leukosit merupakan petunjuk adanya infeksi. Jika jumlah leukosit sampai di bawah 6.000

Gambar 8. Jenis sel darah putih.(sumber:Amaylia,2008)

2.7.1. Neutrofil

Sel ini merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0,3-0,8um) mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pinkoleh . Neutrofil memiliki jumlah terbanyak

di dalam darah yaitu 4.000-10.000 mm 3 .

Adapun morfologi terdiri dari :

a. Neutrofil batang :  Ukuran rata-rata 12 μm, sitoplasma tidak berwarna penuh dengan granula-granula

yang sangat kecil dan berwarna coklat kemerahan sampai merah muda. Kira-kira 2/3nya merupakan granula spesifik sedangkan yang 1/3nya merupakan granula azurofilik (merah biru-ungu). Nukleus lebih tebal, berbentuk huruf U dengan kromatin kasar dan rongga parakromatin yang agak jelas batasnya. Jumlahnya 0-

6% dari leukosit total (0-0,7×10 9 /L).

b. Neutrofil segmen  Ukuran rata-rata 12 μm,sitoplasma dan granula sama dengan neutrofil batang.

Nukleus gelap, berbentuk seperti huruf E, Z, atau S yang terpisah menjadi segmen/lobus yang dihubungkan oleh filamen-filamen yang halus. Banyaknya lobus pada neutrofil normal berkisar antara 2-5 lobus, dengan rata-rata tiga lobus.

Jumlahnya 54-68% dari leukosit total (1,3-7,0×10 9 /L). Granul pada neutrofil terdiri dari Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan

Dokumen yang terkait

BAB II GAMBARAN UMUM DINAS PENDAPATAN KOTA MEDAN A. Sejarah Berdirinya Dinas Pendapatan Kota Medan - Tata cara Pelaksanaan Penagihan / Pemungutan Pajak Hiburan pada Dinas Pendapatan Kota Medan

0 1 18

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Tata cara Pelaksanaan Penagihan / Pemungutan Pajak Hiburan pada Dinas Pendapatan Kota Medan

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori - Analisis Pengaruh Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia melalui Belanja Modal di Sumatera Utara

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Pengaruh Dana Alokasi Khusus, Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia melalui Belanja Modal di Sumatera Utara

0 0 15

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sensor HCSR-04 - Rancang Bangun Alat Ukur Ketebalan Kayu Menggunakan Tampilan LCD Berbasis Arduino

0 3 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sampah 2.1.1. Definisi Sampah - Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Alat Pelindung Diri (APD) Dengan Gangguan Kelainan Kulit Pada Petugas Pengangkut Sampah Di Kota Padangsidimpuan Tahun 2016

0 0 52

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Karakteristik, Personal Hygiene dan Alat Pelindung Diri (APD) Dengan Gangguan Kelainan Kulit Pada Petugas Pengangkut Sampah Di Kota Padangsidimpuan Tahun 2016

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori - Pengaruh Likuiditas, Leverage, dan Aktivitas Terhadap Pertumbuhan Laba (Studi Empiris Pada Perusahaan Perkebunan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

0 0 16

RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN 2016

0 1 12

Perbandingan Nilai Neutrofil Limfosit Rasio (NLR) pada Pasien Tuberkulosis Paru dan Multi-Drug Resistant (MDR) TB di RSUP H. Adam Malik Medan

0 1 34