Profil Pengamatan Faktor Risiko pada Pasien Multi Drug Resistant Tuberkulosis Paru di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012

(1)

PROFIL PENGAMATAN FAKTOR RISIKO

PADA PASIEN

MULTI DRUG RESISTANT

TUBERKULOSIS PARU

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utaraumatera Uta

OLEH:

DZUL AZMAH

NIM 091501068

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

   

PROFIL

PENGAMATAN FAKTOR RISIKO

PADA PASIEN

MULTI DRUG RESISTANT

TUBERKULOSIS PARU

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

jukan untuk mUniversitas Sumatera

Uta

OLEH:

DZUL AZMAH

NIM 091501068

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PROFIL PENGAMATAN FAKTOR RISIKO PADA PASIEN

MULTI DRUG RESISTANT

TUBERKULOSIS PARU

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2012

OLEH: DZUL AZMAH NIM 091501068

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 4 Januari 2014

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.

NIP 195301011983031004 NIP 195103261978022001

Pembimbing II, Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.

NIP 195301011983031004

dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K). Drs. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt.

NIP 195406201980111001 NIP 195111021977102001

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt.

NIP 197802152008122001

Medan, Januari 2014 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini, serta salawat beriring salam untuk Rasulullah Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam kehidupan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Profil Pengamatan Faktor

Risiko pada Pasien Multi Drug Resistant Tuberkulosis Paru di RSUP H. Adam

Malik Medan Tahun 2012..

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., dan Bapak dr. Zainuddin Amir, Sp.P(K)., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab, memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., selaku ketua penguji, Ibu Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt., dan Ibu Khairunnisa, S. Si., M.Pharm., Ph.D., Apt. selaku anggota penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan untuk menyempurnakan skripsi ini. Terima kasih juga untuk Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan, Bapak Drs. Awaluddin Saragih M.Si., Apt., selaku dosen penasehat akademik yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai, Bapak Direktur SDM dan Pendidikan


(5)

RSUP H. Adam Malik Medan, Kabag Diklit dan Instalasi Litbang RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bantuan dan fasilitas kepada penulis selama masa penelitian.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga kepada keluarga tercinta, Abi Rasidi Nasution dan Ummi Nursiah Lubis, yang telah memberikan cinta dan kasih sayang yang tiada ternilai dengan apapun, pengorbanan, motivasi beserta doa tulus yang tidak pernah berhenti. Abangda Amin Rais Nasution, dan adinda M. Aznan Jainuri, Rahmah Hardianti, dan Zaki Azkari beserta seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberi semangat. Sahabat-sahabat terbaikku bundo, vaqun, viqun, miqun, ninis, sihqun, dhanaqun, dijah, manda, dan seluruh teman-teman mahasiswa/i Farmasi Klinis dan Komunitas 2009 yang selalu mendoakan dan memberi semangat. Kakak asuh dan murobbiyah tersayang serta saudara-saudari seperjuangan di UKMI Ath-Thibb, PEMA Farmasi, KAMMI Nusantara, SGC USU, Wisma FHQ, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, Januari 2014

Penulis,

Dzul Azmah


(6)

   

PROFIL PENGAMATAN FAKTOR RISIKO PADA PASIEN

MULTIDRUG RESISTANT TUBERKULOSIS PARU

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012 ABSTRAK

Tuberkulosis dengan resistensi obat berganda (multi drug resistan)

merupakan masalah terbesar terhadap pemberantasan TB dunia dimana terdapat 0,4-0,5 juta kasus setiap tahunnya dan Indonesia berada pada urutan ke-8 dari 27 negara dengan kasus MDR TB terbanyak. Identifikasi faktor risiko kejadian MDR TB diharapkan dapat membantu penyusunan strategi untuk mengatasi epidemi MDR TB.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui profil faktor risiko dari karakteristik pasien berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status perkawinan, riwayat merokok, riwayat comorbid dan diagnosis TB serta mengidentifikasi pola resistensi TB.

Rancangan penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional study. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari rekam medis 40 pasien MDR TB Paru yang menjalani pengobatan di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Januari 2012-Desember 2012.

Karakteristik kelompok usia pasien MDR TB didominasi kelompok usia

25-44 tahun 22 orang (53%), laki-laki 27 orang (67,50%), tingkat pendidikan SLTA 20 orang (50%), jenis pekerjaan wiraswasta 27 orang (67,50%), status perkawinan pada umumnya telah kawin 33 orang (82,50%), komorbid gangguan paru sebanyak 10 orang (25,00%), tidak merokok 33 (82,50%), dan diagnosis tipe TB kasus kronik 12 orang (30%). serta pola resistensi mayoritas resisten sekunder 29 (72,50%) dengan jenis resisten terhadap kombinasi rifampisin, isoniazid, streptomisin, dan etambutol yaitu 21 (52,50%). Variabel karakteristik pasien berupa usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, komorbid, riwayat pengobatan dan pola resitensi berkaitan dengan kejadian MDR TB.

Kata kunci:Tuberkulosis, resistensi berganda, pola resistensi  


(7)

RISK FACTOR PROFILE OBSERVATIONS ON MULTIDRUG RESISTANT PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENTS

AT RSUP H. ADAM MALIK MEDAN IN 2012

ABSTRACT

Multidrug resistant tuberculosis is the biggest problem on TB world eradication because there are 0.4-0.5 million cases annually and Indonesia are on 8 of 27 countries of MDR TB high case. Identification of risk factors for MDR TB incidence is expected to help develop a strategy to solve the MDR TB epidemic.

The purpose of this study were to determine the risk factor profile of patient characteristics such as age, gender, education level, job, marital status, smoking history, comorbid, diagnosis/treatment history and to identify patterns of resistance TB.

This study was using descriptive cross sectional method with retrieving data retrospectively from medical records of 40 MDR TB patients at Adam Malik

Medan Hospitalin period January 2012-December 2012.

The research data pointed out that characteristics of MDR TB patient dominated of age 25-44 (53%), male 27 patients (67.50%), education level was senior high school 20 (50%), self-employed 27 (67.50%), marital status generally have married (82.50%), pulmonary disorders 10 (25%), non-smokers 33 (82,50%), the majority of type TB is chronic TB cases (30%), resistancy pattern is secondary resistance 29 (72.50%) and dominated of combination rifampicin, isoniazid, streptomycin, and ethambutol 21 (52.50%). Variable patient characteristics namely age, gwnder, job, comorbid, treatment history and patterns of resistance can be associated with the incidence of MDR TB.


(8)

   

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ...    1 

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ... 6

1.3 Perumusan Masalah ... 7

1.4 Hipotesis ... 7

1.5 Tujuan Penelitian ... 7

1.6 Manfaat Penelitian ... 8

1.6.1 Aspek Akademik ... 8

1.6.2 Aspek Pelayanan Masyarakat ... 8

1.6.3 Aspek Pengembangan Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi ... 10


(9)

2.3 Patogenesis ... 13

2.4 Diagnosis ... 16

2.5 Klasifikasi Resistensi ... 16

2.6 Penatalaksanaan ... 17

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

3.1 Rancangan Penelitian ... 21

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

3.3 Subjek Penelitian ... 21

3.3.1 Populasi ... 21

3.3.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 21

3.3.2.1 Kriteria Inklusi ... 21

3.3.2.2 Kriteria Eksklusi ... 21

3.4 Instrumen Penelitian ... 22

3.4.1 Bahan dan Alat ... 22

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data ... 22

3.5 Analisis Data ... 23

3.6 Defenisi Operasional ... 23

3.7 Bagan Alur Penelitian ... 24

3.8 Langkah Penelitian ... 25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

4.1 Karakteristik Berdasarkan Usia ... 26

4.2 Karakteristik Jenis Kelamin ……….. 27

4.3 Karakteristik Tingkat Pendidikan ... 29


(10)

   

4.5 Karakteristik Status Perkawinan ……….. 31

4.6 Karakteristik Riwayat Komorbid ………. 32

4.7 Karakteristik Riwayat Merokok ………..…. 34

4.8 Tipe TB Berdasarkan Diagnosis ………... 34

4.9 Pola Resistensi MDR TB ……….…. 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….………. 36

5.1. Kesimpulan ... 37

5.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA... 39


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Defenisi Operasional ... 223

Tabel 3.1 Distribusi Frekuensi Usia ... 27

Tabel 3.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin ... 28

Tabel 3.3 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan ... 29

Tabel 3.4 Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan ... 30

Tabel 3.5 Distribusi Frekuensi Status Perkawinan ... 31

Tabel 3.6 Distribusi Frekuensi Komorbid ... 32

Tabel 3.7 Distribusi Frekuensi Riwayat Merokok ... 34

Tabel 3.8 Tipe TB Berdasarkan Diagnosis ... 35


(12)

   

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Skema hubungan variabel bebas dan variabel terikat ... 6 Gambar 2.1 Bagan Alur Penelitian ………. 25


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Data pasien positif MDR TB RSUP H. Adam Malik

Medan Tahun 2012 ... 41

Lampiran 2 Surat permohonan izin penelitian di RSUP H. Adam

Malik Medan ………... 44

Lampiran 3 Surat izin melakukan penelitian di RSUP H. Adam

Malik Medan ………... 45

Lampiran 4 Surat keterangan telah selesai melakukan penelitian di


(14)

   

PROFIL PENGAMATAN FAKTOR RISIKO PADA PASIEN

MULTIDRUG RESISTANT TUBERKULOSIS PARU

DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012 ABSTRAK

Tuberkulosis dengan resistensi obat berganda (multi drug resistan)

merupakan masalah terbesar terhadap pemberantasan TB dunia dimana terdapat 0,4-0,5 juta kasus setiap tahunnya dan Indonesia berada pada urutan ke-8 dari 27 negara dengan kasus MDR TB terbanyak. Identifikasi faktor risiko kejadian MDR TB diharapkan dapat membantu penyusunan strategi untuk mengatasi epidemi MDR TB.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui profil faktor risiko dari karakteristik pasien berupa usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status perkawinan, riwayat merokok, riwayat comorbid dan diagnosis TB serta mengidentifikasi pola resistensi TB.

Rancangan penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional study. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari rekam medis 40 pasien MDR TB Paru yang menjalani pengobatan di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Januari 2012-Desember 2012.

Karakteristik kelompok usia pasien MDR TB didominasi kelompok usia

25-44 tahun 22 orang (53%), laki-laki 27 orang (67,50%), tingkat pendidikan SLTA 20 orang (50%), jenis pekerjaan wiraswasta 27 orang (67,50%), status perkawinan pada umumnya telah kawin 33 orang (82,50%), komorbid gangguan paru sebanyak 10 orang (25,00%), tidak merokok 33 (82,50%), dan diagnosis tipe TB kasus kronik 12 orang (30%). serta pola resistensi mayoritas resisten sekunder 29 (72,50%) dengan jenis resisten terhadap kombinasi rifampisin, isoniazid, streptomisin, dan etambutol yaitu 21 (52,50%). Variabel karakteristik pasien berupa usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, komorbid, riwayat pengobatan dan pola resitensi berkaitan dengan kejadian MDR TB.

Kata kunci:Tuberkulosis, resistensi berganda, pola resistensi  


(15)

RISK FACTOR PROFILE OBSERVATIONS ON MULTIDRUG RESISTANT PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENTS

AT RSUP H. ADAM MALIK MEDAN IN 2012

ABSTRACT

Multidrug resistant tuberculosis is the biggest problem on TB world eradication because there are 0.4-0.5 million cases annually and Indonesia are on 8 of 27 countries of MDR TB high case. Identification of risk factors for MDR TB incidence is expected to help develop a strategy to solve the MDR TB epidemic.

The purpose of this study were to determine the risk factor profile of patient characteristics such as age, gender, education level, job, marital status, smoking history, comorbid, diagnosis/treatment history and to identify patterns of resistance TB.

This study was using descriptive cross sectional method with retrieving data retrospectively from medical records of 40 MDR TB patients at Adam Malik

Medan Hospitalin period January 2012-December 2012.

The research data pointed out that characteristics of MDR TB patient dominated of age 25-44 (53%), male 27 patients (67.50%), education level was senior high school 20 (50%), self-employed 27 (67.50%), marital status generally have married (82.50%), pulmonary disorders 10 (25%), non-smokers 33 (82,50%), the majority of type TB is chronic TB cases (30%), resistancy pattern is secondary resistance 29 (72.50%) and dominated of combination rifampicin, isoniazid, streptomycin, and ethambutol 21 (52.50%). Variable patient characteristics namely age, gwnder, job, comorbid, treatment history and patterns of resistance can be associated with the incidence of MDR TB.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi

dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Setiap tahun terdapat 9 juta

kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua negara telah terdapat penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis (WHO, 2011).

Berdasarkan laporan global reports WHO tahun 2009 diketahui bahwa

pada tahun 2009 angka kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta (antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan meningkat terus secara perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring didapati peningkatan per kapita. Ada 22 negara, termasuk di dalamnya Indonesia, yang memiliki beban kasus kejadian TB tertinggi yakni mencapai sekitar 80% dan telah diberikan perhatian khusus untuk penanggulangan TB sejak tahun 2000 (WHO, 2009). Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun (Kemenkes RI, 2011). Departemen Kesehatan RI tahun 2002 menyatakan Indonesia menduduki peringkat ketiga penyumbang

penderita TB terbesar setelah India dan Cina, kemudian Global Reports WHO


(17)

menjadi peringkat kelima di dunia, namun hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia (Tirtana, 2011).

Sejak ditemukan dan berkembangnya obat anti tuberkulosis (OAT) yang cukup efektif, TB dapat ditekan jumlahnya. Akan tetapi sejak tahun 1989-1992 timbul kembali peningkatan penyakit ini, yang dikaitkan dengan peningkatan epidemi HIV/AIDS, urbanisasi, dan migrasi akibat resesi yang melanda dunia. Bersamaan dengan peningkatan penyakit ini timbul masalah baru yaitu TB dengan

resitensi ganda (Multidrug Resistant Tuberculosis/MDR TB) (Syahrini, 2008).

MDR TB merupakan penyakit TB yang telah mengalami resisten terhadap isoniazid (INH) dan rifampisin dengan atau tanpa obat anti tuberkulosis (OAT) lainnya berdasarkan pemeriksaan laboratorium yang terstandar. MDR TB dapat berupa resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapatkan OAT sebelumnya, resistensi ini dapat dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif obat (Syahrini, 2008).

Kontak penularan Mycobacterium tuberculosis yang telah mengalami

resistensi obat akan menciptakan kasus baru penderita TB yang resisteni primer,

pada akhirnya mengarah pada peningkatan kasus multidrug resistant (MDR).

Penyebaran MDR TB telah meningkat karena lemahnya program pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan isolasi yang tidak adekuat, tindakan pemakaian ventilasi dan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis suatu MDR TB


(18)

   

Data WHO memperkirakan terdapat 50 juta orang di dunia telah terinfeksi

oleh Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT dan dijumpai

273.000 (3,1%) dari 8,7 juta TB kasus baru pada tahun 2000 (Sihombing, dkk.,2011). Laporan WHO tahun 2010 juga menyatakan resistensi jenis MDR semakin menjadi tantangan dimana terdapat 0,4-0,5 juta kasus setiap tahunnya (WHO, 2010). Sedangkan di Indonesia resistensi primer jenis MDR terjadi sebesar 2% dan dilaporkan pula Indonesia berada pada urutan ke-7 kasus MDR TB dari 22 negara dengan kasus MDR TB terbanyak (WHO, 2009).

Penelitian MDR TB di kota Surakarta tahun 2003 didapatkan prevalensi

MDR TB primer sebesar 1,6%, sedangkan MDR TB sekunder 4,19 %. Sedangkan hasil penelitian uji sensitivitas yang dilakukan oleh Departemen Mikrobiologi FKUI tahun 2003 mendapatkan persentase kasus MDR TB sebanyak 5,7% (Nugroho, dkk., 2003).

Selain itu pada tahun 2005 penelitian di Makasar yang dilakukan Nikmawati dan kawan-kawan mendapatkan hasil kultur sputum yang diduga tuberkulosis dari 236 subjek, dimana hasil uji sensitivitas terhadap obat anti tuberkulosis menunjukkan persentase MDR TB lebih tinggi dari pada yang sensitif terhadap OAT. Presentase yang resisten terhadap INH dan rifampisin sebanyak 40 (57,1%), resisten terhadap INH, rifampisin dan etambutol sebanyak 25 (35,7%), resisten terhadap INH, rifampisin dan streptomisin sebanyak 28 (40%) dan resisten terhadap keempat OAT yakni INH, rifampisin, etambutol dan streptomisin sebanyak 20 (28,6%) (Nikmawati, dkk., 2005).

Penelitian Munir di poliklinik RS Persahabatan Jakarta memperlihatkan pola resisten OAT pasien MDR yakni 78 (77,2%) sekunder dan 23 (22,8%)


(19)

primer. Pola resisten primer didapatkan jenis resisten rifampisin dan isoniazid 9 (39,1%), rifampisin, isoniazid dan streptomisin 10 (43,4%), resisten rifampisin, isoniazid dan etambutol 1 (4,4%), resisten rifampisin, isoniazid dan kanamisin 1 (4,4%) dan resisten rifampisin, isoniazid, etambutol dan streptomisin 2 (8,7%). Resisten sekunder didapatkan jenis resisten rifampisin dan isoniazid 42 (53,9%), rifampisin, isoniazid dan streptomisin 25 (32,1%), resisten rifampisin, isoniazid dan etambutol 7 (8,9%), resisten rifampisin, isoniazid dan kanamisin 0 (0%) dan resisten rifampisin, isoniazid, etambutol dan streptomisin 4 (5,1%) (Munir, dkk., 2010).

Di kota Medan sendiri, sejak tahun 2011 RSUP H. Adam Malik Medan telah dipersiapkan sebagai salah satu rumah sakit rujukan penanggulangan MDR

TB (WHO status report, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan

Sihombing dan kawan-kawan (2011), di RSUP H. Adam Malik Medan melalui pemeriksaan resistensi obat antituberkulosis pada 85 subyek penelitian, diperoleh data bahwa sebanyak 35 (41,18%) subyek telah mengalami resistensi primer dimana dari 35 subjek tersebut dijumpai monoresistensi sebanyak 18 orang (21,18%), poliresisten 13 orang (15,29%), dan MDR TB primer 4 orang (4,71%). MDR TB primer dalam penelitian ini didapatkan sebesar 4 orang (4,71%) dengan kombinasi resistensi obat rifampisin, isoniasid dan etambutol sebesar 3 orang (3,53%) dan resistensi terhadap rifampisin, isoniasid, etambutol dan streptomisin sebanyak 1 orang (1,18%) (Sihombing, dkk., 2011).

Resistensi obat anti tuberkulosis (OAT) sangat erat hubungannya dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Pasien yang pernah diobati sebelumnya mempunyai kemungkinan resisten 4 kali lebih tinggi dan untuk resistensi


(20)

   

berganda atau MDR TB 10 kali lebih tinggi daripada pasien yang belum pernah menjalani pengobatan (WHO, 2008). Berdasarkan penelitiannya tahun 2003 Nugroho menyatakan salah satu faktor yang dapat menjadi risiko untuk terjadinya MDR TB adalah komorbid diabetes mellitus (DM) dimana risiko relatif untuk terjadinya MDR TB pada penderita DM sebesar 37,9 kali lebih besar dibandingkan dengan bukan penderita DM (Nugroho, dkk., 2003). Identifikasi terhadap faktor risiko timbulnya MDR TB diperlukan guna membantu penyusunan strategi untuk mengatasi epidemi MDR TB.

Semakin jelas bahwa kasus resistensi merupakan masalah besar dalam

pengobatan pada masa sekarang ini. Resistensi ganda (Multidrug Resistant)

merupakan hambatan dan menjadi masalah yang paling besar terhadap program

pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Angka kesembuhan pada pengobatan

MDR TB relatif lebih rendah, disamping itu lebih sulit, mahal, dan lebih banyak efek samping yang akan ditimbulkannya. Masalah lain, penyebaran resistensi obat di berbagai negara sering tidak diketahui serta penatalaksanaan penderita MDR TB tidak adekuat (Sihombing, dkk., 2011).

Peran pemerintah sangat diharapkan dalam penanganan kasus MDR TB di Indonesia ini mulai dari perencanaan program penanggulangan, pengobatan dan pencegahan. Namun masih terdapat beberapa tantangan besar yakni terbatasnya laboratorium tersertifikasi dan RS rujukan MDR TB, kurangnya penelitian dan data-data terkini mengenai perkembangan penyakit dan pengobatan MDR TB.

Berdasarkan penjelasan di atas, hingga saat ini masih terus diperlukan data-data dan informasi yang detail membahas secara komprehensif faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko kejadian dan pengobatan MDR TB, sehingga


(21)

perlu adanya penelitian lebih lanjut yang membahas tentang faktor-faktor ini ditinjau dari berbagai karakteristiknya serta pola resistensi terhadap OAT standar. 1.2Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengkaji profil kejadian MDR TB paru di RSUP H. Adam Malik Medan. Dalam hal ini faktor risiko berupa karakteristik pasien (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status perkawinan, riwayat merokok,

riwayat comorbid dan diagnosis tipe TB) merupakan variabel bebas (independent

variable) dan kejadian Multi Drug Resistant TB paru sebagai variabel terikat (dependent variable).

Gambaran kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 1.1 Skema Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat Faktor Risiko  Multi Drug Resistance TB Paru 

Karakteristik Pasien:  usia 

jenis kelamin  tingkat pendidikan  jenis pekerjaan  status perkawinan  riwayat merokok  riwayat Comorbid  diagnosis tipe TB 

Pola resistensi terhadap OAT  I. rifampisin + isoniazid  II. rifampisin + isoniazid + 

etambutol 

III. rifampisin + isoniazid +  streptomisin 

IV. rifampisin + isoniazid +  streptomisin + etambutol 


(22)

   

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah profil faktor risiko MDR TB paru di RSUP H. Adam

Malik Medan terkait dengan karakteristik pasien?

b. Bagaimanakah pola resistensi pada pasien MDR TB paru di RSUP H.

Adam Malik Medan dinilai dari resistensi kuman TB terhadap OAT? 1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

a. Faktor risiko MDR TB paru di RSUP H. Adam Malik Medan adalah

terkait dengan karakteristik pasien.

b. Pola resistensi MDR TB paru di RSUP H. Adam Malik Medan adalah

diantara pola I rifampisin dan isoniazid, pola II rifampisin, isoniazid, dan etambutol, pola III rifampisin, isoniazid, dan streptomisin, pola IV rifampisin, isoniazid, streptomisin dan etambutol.

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahuiprofil masing-masing faktor risiko kejadian MDR TB paru

di RSUP H. Adam Malik Medan.

b. Mengetahui pola resistensi MDR TB paru di RSUP H. Adam Malik


(23)

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu: 1.6.1 Aspek Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kejadian MDR TB paru pada pasien yang berobat di RSUP H. Adam Malik Medan dan hubungannya dengan faktor karakteristik penderita sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan kepada RSUP H. Adam Malik Medan sebagai pusat rujukan pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitian.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada segenap jajaran pendidikan yang berhubungan dengan dunia kesehatan untuk dapat lebih meningkatkan kewaspadaan dan pengetahuan terhadap kasus resistensi tuberkulosis.

1.6.2Aspek Pelayanan Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para tenaga kesehatan agar dapat meningkatkan kewaspadaan dalam mendiagnosis dan menjalankan penatalaksanaan pengobatan pada penderita TB sehubungan dengan kejadian kasus resistensi obat antituberkulosis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah (dalam hal ini Dinas Kesehatan dan dinas lain yang terkait) agar dapat lebih meningkatkan perhatian dan dukungan terhadap program-program pencegahan terhadap berbagai kasus resistensi, khususnya kasus resistensi obat berganda.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengaktifkan kembali petugas kesehatan dalam melaksanakan program kunjungan rumah penderita TB paru dan


(24)

   

melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada penderita TB, pengawas menelan obat (PMO) dan dapat menjadi bahan pertimbangan perencanaan Program Pencegahan Penyakit Menular TB pada kasus resistensi obat berganda.

1.6.3 Aspek Pengembangan Penelitian

Seiring dengan waktu, kasus resistensi memiliki kecenderungan meningkat, oleh karena itu diperlukan berbagai penelitian bahkan temuan-temuan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya resistensi.

Penelitian-penelitian tentang resistensi masih sangat diperlukan dan sangat

memerlukan perhatian yang serius. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan informasi mengenai angka resistensi obat berganda (multi drug

resistant) penderita TB paru dan dapat menjadi dorongan dan salah satu bahan penelitian lanjutan demi kemajuan ilmu kesehatan, terutama kedokteran dan farmasi.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sebagian besar akan menyerang organ paru disebut dengan TB paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh yang lain disebut dengan TB ekstraparu, seperti pleura, kelenjar getah bening (mediastinum dan/atau hilus), abdomen, traktus genito urinarius, kulit, sendi, dan selaput otak (Depkes RI., 2008).

Sumber penularan tuberkulosis adalah pasien TB basil tahan asam (BTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar

3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI., 2008).

Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi: resistensi primer, resistensi sekunder dan resitensi inisial. Resistensi primer adalah resistensi yang


(26)

   

pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT, namun kurang dari satu bulan. Sedangkan resistensi sekunder, pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal satu bulan. Pada resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah (Depkes RI., 2008).

Pada resistensi primer (resistance among new case) individu terpajan

dengan M. tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT (Soedarsono, 2010).

Penemuan kasus resistensi pada penderita TB yang belum mempunyai riwayat mengkonsumsi obat antituberkulosis (OAT) sering digunakan untuk mengevaluasi penularan terbaru atau tertular galur kuman resisten (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

2.2Epidemiologi

WHO pada tahun 2001 telah mendata dan melaporkan negara-negara yang perlu mewaspadai akan marak terjadinya kasus MDR TB, diantaranya Afghanistan, Bangladesh, Brazil, Cambodia, China, Democratic Republic of Congo, Ethiopia, India, Indonesia, Kenya, Mozambique, Myanmar, Nigeria, Pakistan, Philippines, Russia, South Africa, Tanzania, Thailand, Uganda, Vietnam, dan Zimbabwe (Reichman, 2002).

Diperkirakan jumlah kasus MDR TB yang terjadi di seluruh dunia pada tahun 2004 adalah 424.203 Dalam tahun yang sama, terdapat 181.408 di perkirakan terjadi kasus MDR TB diantara kasus TB yang telah mendapat pengobatan sebelumnya. Negara China, India dan Federasi Rusia menunjukkan angka kasus MDR TB sebesar 261.362 atau 62% dari beban global diperkirakan (WHO, 2006).


(27)

Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis menyebutkan bahwa penyebab utama meningkatnya beban masalah TB dunia antara lain adalah:

a. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara

yang sedang berkembang.

b. Kegagalan program TB selama ini yang diakibatkan oleh:

i. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan

ii.Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh

masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).

iii.Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang

tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)

iv.Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas vaksin BCG (Bacille

Calmette Guerin).

v. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami

krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.

c. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan

struktur umur kependudukan.

d. Dampak pandemi HIV (Depkes RI., 2008)

Situasi TB di dunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang

dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden

countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB


(28)

   

dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda

kuman TB terhadap OAT (multidrug resistance/MDR) semakin menjadi masalah

akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani (Depkes RI., 2008).

Hasil survey global menjelaskan bahwa M. tuberculosis yang resisten

terhadap OAT telah menyebar dan menjadi ancaman terhadap program pengendalian tuberkulosis di berbagai negara. WHO memperkirakan ada 300.000

kasus baru MDR TB dalam setiap tahunnya. M. tuberculosis yang resisten

terhadap OAT akan semakin bertambah, saat ini 79% dari MDR TB adalah super

strainsyang resisten paling sedikit 3 atau 4 OAT (Soepandi, 2008).

Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau MDR TB akan

menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis.

Kegagalan ini tidak hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. Resistensi obat anti TB (OAT) adalah suatu fenomena akibat perbuatan manusia, pengobatan penderita TB yang tidak adekuat menyebabkan terjadinya penularan dari pasien MDR TB ke orang lain/masyarakat. Faktor

penyebab resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain:

a. Faktor Mikrobiologik, diantaranya yaitu: resisten yang natural, resisten yang

didapat, amplifier effect, virulensi kuman, tertular galur kuman yang telah

MDR.

b. Faktor Klinik, yang bergantung pada obat, penyelenggara kesehatan dan pasien itu sendiri.


(29)

i. Faktor klinik obat, diantaranya: pengobatan TB dalam jangka waktu yang lama (lebih dari 6 bulan); obat anti tuberkulosis (OAT) dapat menyebabkan efek samping sehingga pengobatan tidak lengkap sampai selesai; obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare; kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis

tetap (fixed dose combinations) yang mana bioavibiliti rifampisinnya telah

berkurang; regimen/ dosis obat yang tidak tepat; harga obat yang mahal/tidak terjangkau oleh penderita; dan ketersediaan/ pengadaan obat yang tidak berkesinambungan.

ii. Sedangkan pada penyelenggara kesehatan, faktor penyebab terjadinya resistensi OAT, diantaranya: keterlambatan dalam menegakkkan diagnosis;

pengobatan tidak mengikuti atau tidak adanya pedoman/guideline;

penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT (dalam hal ini rifampisin atau INH); tidak ada/ kurangnya pelatihan TB terhadap tenaga kesehatan; tidak ada pemantauan

pengobatan; fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang

ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka penambahan satu jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten; serta organisasi program nasional TB yang kurang baik.

iii. Dari segi pasien yaitu lingkungan yang buruk, sosial ekonomi yang rendah, pendidikan dan pengetahuan yang rendah, genetika dan faktor lain kepatuhan berobat yang rendah, pertahanan tubuh yang menurun, infeksi


(30)

   

mikobakterium lain, infeksi HIV, dan penghambat patologis (Soepandi, 2008).

2.3 Patogenesis

Lima celah penyebab terjadinya MDR TB yaitu:

a. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutan resisten. Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama.

b. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien.

c. Pasien tuberkulosis diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan akan menyebarkan kuman. Pengobatan MDR TB sulit diobati serta memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal.

d. Pasien dengan OAT yang resisten yang mendapat pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak OAT yang resisten (The amplifier effect). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif.

e. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi, memperpanjang periode infeksious dan memperparah penyakit TB (Soepandi, 2008).

Patogenesis tuberkulosis secara umum biasanya melewati beberapa tahap

yaitu:

a. Infeksi primer, yaitu infeksi yang terjadi saat seseorang terpapar pertama kali

dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan


(31)

sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan radang di dalam paru. Aliran getah bening akan membawa kuman TB ke kelenjar getah bening di sekitar hilus paru, ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB.

Meskipun demikian, beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister

atau dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu

menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi sakit TB. Masa inkubasi yaitu waktu sejak terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan (WHO, 2003).

b. Tuberkulosis pasca primer (postprimary TB), biasanya terjadi setelah beberapa

bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas tuberkulosis pasca-primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya cavitas atau efusi pleura (WHO, 2003).

c. Perjalanan alamiah TB yang tidak diobati, biasanya setelah lima tahun 50%

dari pasien TB akan meninggal, 30% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 20% berlanjut mengeluarkan kuman dan tinggal sebagai sumber penularan untuk beberapa tahun sebelum meningggal. Pasien TB


(32)

   

ekstraparu satu diantara dua akan mati dan yang lain secara spontan akan sembuh dengan meninggalkan cacat (WHO, 2003).

d. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan bentuk sebagai

berikut:

i. Hemoptisis masif (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan napas, atau syok hipo-volemik,

ii. Kolaps lobus akibat sumbatan bronkus,

iii.Bronkietasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru,

iv.Pneumotoraks (pnemotorak/udara didalam rongga pleura) spontan atau

kolaps spontan karena bullae yang pecah,

v. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal dan

sebagainya,

vi.Insufisiensi kardio pulmoner (cardio pulmonary insufficiency) (WHO,

2003). 2.4 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis resistensi obat TB diawali dengan mengenali faktor risiko dan mempercepat dilakukan diagnosis laboratorium. Deteksi lebih awal dan memulai terapi MDR TB merupakan faktor penting mencapai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dilakukan meliputi sputum BTA, uji kultur M. tuberculosis dan resistensi obat. Kemungkinan resistensi obat TB secara simultan dipertimbangkan dengan pemeriksaan sputum BTA sewaktu menjalani


(33)

Penemuan pasien TB dengan mengenali gejala klinis utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI., 2008).

Pelaksanaan diagnosis tuberkulosis biasanya dilakukan dengan beberapa

pemeriksaan yaitu:

a. Pemeriksaan dahak mikroskopis

Pemeriksaan dahak mikroskopis erfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS), yaitu:


(34)

   

i. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung

pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

ii. P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.

iii.S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi (Depkes RI., 2008). b. Pemeriksaan foto toraks

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Diagnosis TB tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas

pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis dan gambaran kelainan

radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

i. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini

pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis ‘TB paru BTA positif.

ii. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

iii.Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang


(35)

efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).

c. Pemeriksaan biakan

Peran biakan dan identifikasi Mycobacterium tuberkulosis pada

penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:

i. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis

ii. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.

iii.Petugas kesehatan yang menangani pasien MDR (Depkes RI., 2008).

d. Pemeriksaan resistensi

Uji resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar

internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (quality assurance)

oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat dicegah (Depkes RI., 2008).

Diagnosis terjadinya resisten obat anti tuberkulosis dilakukan berdasarkan

uji laboratorium untuk menunjukkan isolat Mycobacterium tuberculosis yang

menginfeksi tubuh secara in vitro sensitif atau telah resisten terhadap satu atau

lebih obat-obat anti tuberkulosis.MDR TB adalah sesuatu bentuk resistensi obat

TB dimana basil TB tidak bisa lagi dibunuh oleh sedikitnya dua buah antibiotik terbaik yang umumnya dapat menyembuhkan penyakit TB yaitu rifampisin (RIF)


(36)

   

dan isoniasid (INH) berdampak pada pengobatan yang lebih sulit dan membutuhkan waktu lebih lama hingga 2 tahun (Depkes RI., 2008). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan alur diagnosis TB pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Bagan Alur Diagnosis TB

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

a. Kasus baru yaitu pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

Pemeriksaan dahak mikroskopis ‐Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) 

Foto toraks dan pertimbangan  dokter 

Antibiotik  Non‐OAT 

pemeriksaan dahak  mikroskopis 

Foto toraks dan  pertimbangan  dokter  Suspek TB Paru 

Hasil BTA  + 

Hasil BTA - Hasil BTA

+ + + 

Hasil BTA 

‐ ‐ ‐

Tidak ada perbaikan

Ada  perbaikan 

TB bukan TB

Hasil BTA +  ‐  ‐ 


(37)

b. Kasus kambuh (Relaps) yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Kasus setelah putus berobat (Default ) yaitu pasien yang telah berobat dan

putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

d. Kasus setelah gagal (Failure) yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya

tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Kasus Pindahan (Transfer In) yaitu pasien yang dipindahkan dari UPK yang

memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya (Depkes RI., 2008).

2.5 Klasifikasi Resistensi pada Tuberkulosis Paru

Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi: 1. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan; 2. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah; 3. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan (Soepandi, 2008).

Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap OAT, yaitu: a. Mono-resistance (kekebalan terhadap salah satu OAT)

b. Poly-resistance (kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan rifampisin)


(38)

   

c. Multidrug-resistance /MDR (kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin)

d. Extensive Drug-resistance/XDR (MDR TB ditambah kekebalan terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua, diantaranya kapreomisin, kanamisin, dan amikasin)

e. Totally drug-resistance/TDR (dikenal juga dengan super XDR TB, yaitu:

kuman sudah resisten dengan seluruh OAT lini pertama RHZES dan obat lini kedua amikasin, kanamisin, kapreomisin, fluorokuinolon, tionamid, PAS) (Soedarsono, 2010).

2.6 Penatalaksanaan

Pengobatan kasus resistensi sangat mahal, lebih toksik, kurang efektif pada infeksi laten sehingga sering mengalami kegagalan. Oleh karena itu, strategi dalam program pengendalian resistensi TB harus ditekankan pada pentingnya pencegahan transmisi galur resisten (Soedarsono, 2010).

Standar ke-15 pada International Standards for Tuberculosis Care

berisikan standar penatalaksanaan TB resistensi OAT yaitu

a. Pasien tuberkulosis yang disebakan kuman resisten obat (khususnya MDR)

seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua.

b. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif dan pengobatan

harus diberikan paling sedikit 18 bulan.

c. Cara-cara yang berpihak kepada pasien diisyaratkan untuk memastikan


(39)

d. Konsultasi dalam penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR TB harus dilakukan (Nawas, 2010).

MDR TB terjadi bila strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten

terhadap isoniazid dan rifampisin yang merupakan dua obat yang paling kuat dari lini pertama. Pada pengobatan MDR, petugas kesehatan harus mengubah kombinasi obat dengan menambahkan lini kedua. Obat lini kedua memiliki lebih banyak efek samping, praktis pengobatan lebih lama, dan biaya mungkin 100 kali lebih besar dibandingkan terapi lini pertama. TB jenis MDR juga dapat tumbuh resisten terhadap obat lini kedua yang akan lebih menyulitkan pengobatan lagi (Soedarsono, 2010).

Pengobatan MDR TB memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 18-24 bulan. Terdiri atas dua tahap: tahap awal dan tahap lanjutan. Pedoman WHO membagi pengobatan MDR TB menjadi lima group berdasarkan potensi dan efikasinya. Klasifikasi OAT yang dipergunakan dalam pengobatan MDR TB dibagi dalam 5 kelompok berdasarkan potensi dan efikasinya, yaitu: Kelompok pertama: pirazinamid dan etambutol, paling efektif dan ditoleransi dengan baik; Kelompok kedua: injeksi kanamisin atau amikasin, jika alergi diganti dengan kapreomisin atau viomisin, yang bersifat bakterisidal; Kelompok ketiga: fluoroquinolone, diantaranya: levofloksasin, moksifloksasin, ofloksasin, yang bersifat bakterisidal tinggi; Kelompok keempat: PAS, etionamid, protionamid dan Sikloserin, merupakan bakteriostatik lini kedua; Kelompok kelima: amoksisilin asam klavulanat, makrolide baru (klaritromisin), dan linezolid, masih belum jelas efikasinya (Soedarsono, 2010).


(40)

   

Program penanggulangan TB dunia dimulai pada awal tahun 1990-an dimana WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB

yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course)

dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling

efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba

klinik (clinical trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil

implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS yang baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga akan mencegah berkembangnya MDR TB. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes RI., 2008).

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci yakni:

a. Komitmen politis.

b. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.

c. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan

tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.

d. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap

hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.

Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah


(41)

perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan streptomisin selama satu sampai dua tahun. para amino acid (PAS) kemudian diganti dengan pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, rifampisin dan ethambutol selama 6 bulan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh UPK terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Sampai tahun 2005, program Penanggulangan TB dengan Strategi DOTS menjangkau 98% Puskesmas, sementara rumah sakit dan BP4/RSP baru sekitar 30% (Depkes RI., 2008).

Target program pengendalian TB (Stop TB Partnership) bahwa pada

tahun 2015, angka prevalensi dan mortalitas TB relatif berkurang 50% dibandingkan tahun 1990 dan minimal 70% infeksi TB dapat dideteksi dengan strategi DOTS, 85% diantaranya dinyatakan sembuh. Serta tahun 2050 TB bukan lagi masalah kesehatan masyarakat global. Salah satu tujuan Rencana Global 2006-2015 mencegah/menangani kasus TB resistensi OAT (MDR TB) dengan cara menjalankan program DOTS (WHO, 2010).

Pada penatalaksanaan MDR TB yang diterapkan adalah strategi

DOTS-Plus (Directly Observed Treatment Strategy-Plus). Pengobatan jangka pendek

untuk MDR TB tidak tepat. Karena itu pada program DOTS-Plus huruf “S”


(42)

   

menggunakan OAT lini kedua dengan kontrol infeksi (Soepandi, 2008). Perbandingan prinsip strategi DOTS-plus dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Perbandingan antara Prinsip Strategi DOTS dengan DOTS-plus

Strategi DOTS Strategi DOTS-plus

Komitmen administratif dan politik

(pemerintah).

Komitmen administratif dan politik (pemerintah) yang lebih lama.

Diagnosis dengan kualitas yang baik menggunakan pemeriksaan sputum mikroskopis

Diagnosis yang akurat dengan pemeriksaan kultur dan uji resistensi

Pengobatan yang berkesinambungan terhadap lini pertama untuk pasien rawat jalan.

Pengobatan yang berkesinambungan terhadap obat lini pertama dan kedua. pemberian obat lini kedua dilakukan dibawah pengawasan yang ketat

Pengawasan obat secara langsung Pengawasan obat secara langsung.

Pencatatan yang sistematik dan bertanggung jawab

Sistem pelaporan dan perekaman data yang memungkinkan untuk evaluasi terhadap tahap akhir pencatatan

Penatalaksanaan MDR TB harus sesuai dengan guideline, dosis, regimen, dan lama pengobatan yang tepat serta menerapkan strategi DOTS-Plus tersebut. Hal ini akan meningkatkan angka kesembuhan serta mencegah resistensi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).


(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif

dengan pendekatan cross sectional study. Penelitian deskriptif adalah suatu jenis

penelitian yang bertujuan menggambarkan sifat dari suatu situasi, populasi, atau

bidang secara faktual dan akurat. Sedangkan cross sectional ialah penelitian yang

mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dimana cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data dilakukan sekaligus pada suatu saat/point time approach (Nursalam, 2011; Sandjaja, 2006). Prinsip penelitian ini adalah mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dan variabel terikat (kejadian MDR TB paru) kemudian mempelajari pola resistensinya. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif menggunakan rekam medis pasien MDR TB paru di di RSUP H. Adam Malik Medan dalam rentang waktu dari Januari 2012 sampai dengan Desember 2012. Hasil penelitian ini berupa:

a. Profil masing-masing faktor risiko terkait karakteristik pasien yang

mempengaruhi kejadian MDR TB paru.

b. Frekuensi MDR TB paru berdasarkan pola resistensi terhadap OAT standar

(pola I rifampisin dan isoniazid, pola II rifampisin, isoniazid, dan etambutol, pola III rifampisin, isoniazid, dan streptomisin, pola IV rifampisin, isoniazid, streptomisin dan etambutol).


(44)

   

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di di RSUP H. Adam Malik, Medan. Tempat tersebut dipilih karena merupakan Rumah Sakit rujukan untuk penanganan MDR TB paru di provinsi Sumatera Utara. Jangka waktu penelitian ini selama 3 (tiga) bulan, yaitu Februari 2013 hingga April 2013.

3.3 Subjek Penelitian 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien yang didiagnosis MDR TB paru dan menjalani pengobatan di RSUP H. Adam Malik. Medan pada periode waktu Januari 2012 hingga Desember 2012. Seluruh populasi terjangkau dijadikan sebagai subjek dalam penelitian. Didapatkan populasi target berupa rekam medis pasien MDR TB paru yang berobat di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012 adalah 40 buah.

3.3.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.3.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Rekam Medis pasien TB paru RSUP H. Adam Malik dengan diagnosis

positif MDR.

b. Rekam medis pasien TB paru RSUP H. Adam Malik yang sedang

dalam pengobatan pada periode Januari-Desember 2012. 3.3.2.2Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

a. Rekam medis pasien TB paru RSUP H. Adam Malik bukan dengan


(45)

b. Rekam medis pasien TB paru RSUP H. Adam Malik diluar periode Januari-Desember 2012.

c. Rekam medis pasien TB paru RSUP H. Adam Malik yang tidak

lengkap (tidak memuat informasi dasar yang dibutuhkan dalam penelitian).

3.4Instrumen Penelitian 3.4.1 Bahan

Bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah sebagai berikut:

a. Status rekam medik (Medical Record) dari penderita TB paru yang

berobat ke Poli Paru dan Rawat Inap Paru RS HAM yang didiagnosis MDR TB.

b. Hasil pemeriksaan laboratorium penderita TB paru yang mendukung

diagnosis dan informasi resistensi OAT. 3.4.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan dengan mengumpulkan rekam medis pasien MDR TB paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2012. Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

a. Mengelompokkan data rekam medis pasien berdasarkan kriteria inklusi.

b. Mengelompokkan data pasien meliputi karakteristik pasien (usia, jenis

kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status perkawinan, riwayat merokok, riwayat comorbid/penyakit lain yang menyertai, riwayat diagnosis TB) dan data resistensi terhadap OAT.


(46)

   

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Ditentukan frekuensi kejadian MDR TB paru untuk masing-masing faktor risiko, frekuensi kejadian masing-masing pola resistensi OAT kemudian dihitung. Data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk tabel sedangkan data kualitatif akan disajikan dalam bentuk uraian.

3.6 Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Definisi Operasional

Cara Ukur

Alat Ukur Parameter Usia Total lama waktu

hidup subjek sejak tanggal kelahiran hingga saat dilakukan pengobatan MDR TB di rumah sakit

Observasi Data anamnesa dan/atau rekam medik penderita

a. 15 – 24 tahun b. 25 – 44

tahun

c. 45 – 54 tahun d. 55 – 64

tahun e. > 65 tahun Jenis kelamin Gender dari subjek penelitian Observasi Data anamnesa dan/atau rekam medik penderita. a. Penderita Laki-laki b. Penderita Perempuan Tingkat Pendidikan Jenjang pendidikan dari subjek penelitian ini. Observasi Data anamnesa dan/atau rekam medik subjek penelitian. a. Tidak Sekolah b. Tamat SD c. Tamat SLTP d. Tamat SLTA e. Tamat S1 Jenis Pekerjaan Aktifitas mata pencarian dari subjek penelitian. Observasi Data anamnesa dan/atau rekam medik subjek penelitian.

a.Ibu Rumah

Tangga b.Pelajar/ Mahasiswa c.PNS/ Pensiunan d.Wiraswasta


(47)

Tabel 3.1, (sambungan) Status Perkawinan Riwayat kehidupan pernikahan subjek penelitian. Observasi Data anamnesa dan/atau data rekam medik subjek penelitian. a. Kawin b. Belum kawin Riwayat merokok Riwayat pernah mempunyai kebiasaan merokok. Observasi Data anamnesa dan/atau data rekam medik subjek penelitian. a. merokok b. tidak pernah

merokok

Riwayat comorbid

penyakit lain yang juga diderita oleh pasien TB paru. Observasi Data anamnesa dan/atau data rekam medik subjek penelitian. a. HIV b. DM c. gangguan ginjal dan elektrolit d. gangguan paru e. Tidak ada Tipe TB Paru berdasarkan riwayat diagnosis Tipe TB berdasarkan riwayat pengobatan dengan OAT sebagai terapi TB sebelum pasien didiagnosis MDR Observasi Data anamnesa dan/atau data rekam medik subjek penelitian.

a.kasus baru

b.kasus putus

obat

c.kasus kambuh

d.kasus gagal

e.kasus kronik

Pola resistensi Hasil pengamatan, pencatatan dan dikelompokan terhadap hasil pemeriksaan uji

resistensi M.

tuberculosis. Observasi Data laboratorium mikrobiologi dan/atau data rekam medik

a. rifampisin + isoniazid

b.rifampisin +

isoniazid + etambutol

c.rifampisin +

isoniazid + streptomisin

d.rifampisin +

isoniazid + streptomisin+ etambutol


(48)

   

3.7 Bagan Alur Penelitian

Gambaran pelaksanaan penelitian ditunjukkan dengan Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Bagan Alur Penelitian 3.8 Langkah penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat

melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan.

b. Menghubungi Kepala Instalasi Litbang untuk kemudian diteruskan pada

Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan guna mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data dengan membawa surat rekomendasi dari Fakultas.

c. Menghubungi Kepala Instalasi Rekam Medik dan MDR SMF Paru

RSUP H. Adam Malik Medan untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data dengan membawa surat izin dari Kepala Instalasi Litbang.

d. Melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan

e. Menganalisis data dan informasi yang diperoleh sehingga didapatkan

Pengelompokkan data berdasarkan kriteria inklusi 

Pengambilan data rekam medik pasien 

Analisis data 


(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini telah dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan (poli TB paru, Mikrobiologi Klinik dan Ruang Rekam Medik) dimulai dari bulan Februari 2013 hingga April 2013. Data diambil dari rekam medik penderita TB Paru dalam rentang waktu Januari 2012 hingga Desember 2012. Alasan pengambilan data pada jangka waktu tersebut adalah karena RSUP H. Adam Malik Medan baru dipersiapkan sebagai rumah sakit penanggulangan MDR TB sejak tahun 2011 (WHO, 2011), sehingga baru terhitung efektif menjalankan penanggulangan MDR TB mulai tahun 2012. Dari data rekam medik pasien tersebut didapatkan 40 jumlah pasien yang memenuhi kriteria inklusi sebagai subjek penelitian.

Salah satu faktor yang penting untuk diketahui dalam keberhasilan pengobatan tuberkulosis adalah resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT). Gambaran pola resistensi MDR TB baik primer maupun sekunder akan ikut berpengaruh terhadap keberhasilan terapi dan penentuan rejimen obat dalam suatu kelompok masyarakat (Aditama, 2005). Selain itu penelitian ini penelitian ini juga ingin mengetahui proporsi pasien MDR TB berdasarkan karakteristiknya, yakni usia jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status perkawinan, riwayat merokok, riwayat comorbid dan riwayat diagnosis TB.

4.1 Karakteristik Berdasarkan Usia

Berdasarkan karakteristik umur pada subjek penelitian ini didapatkan bahwa kelompok usia yang terbanyak adalah pada kelompok usia 25-44 tahun yaitu sebanyak 22 orang (55%). Rata-rata umur subjek penelitian adalah 42,68


(50)

   

tahun dengan usia yang termuda 22 tahun dan tertua 88 tahun. Gambaran karakteristik jenis kelamin subjek penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Usia (n = 40)

Kelompok usia Frekuensi Persentase

15 – 24 tahun 2 5

25 – 44 tahun 22 55

45 – 54 tahun 7 17,5

55 – 64 tahun 5 12,5

≥ 65 tahun 4 10

Total 40 100,00

Keterangan: n = jumlah subjek

Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian Nofizar (2010) yang mendapatkan usia terbanyak menderita MDR TB berada pada kelompok umur 25-44 tahun dengan rata-rata umur 36 tahun. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan penderita tuberkulosis terbanyak pada usia produktif yang bila penanganan tidak cepat dilakukan maka akan berdampak pada stabilitas ekonomi suatu negara. Disamping itu, usia produktif sangat berbahaya terhadap tingkat penularan karena pasien mudah berinteraksi dengan orang lain, mobilitas yag tinggi dan memungkinkan untuk menular ke orang lain serta lingkungan sekitar tempat tinggal (Tirtana, 2011).

4.2 Karakteristik Jenis Kelamin

Berdasarkan karakteristik jenis kelamin subjek penelitian didapatkan bahwa jumlah laki-laki 27 orang (67,50%) dan perempuan 13 orang (32,50%) dengan rasio 2 : 1 Gambaran karakteristik jenis kelamin subjek penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.2.


(51)

Tabel 4.2 Distribusi Frekuesi Jenis Kelamin (n = 40)

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Perempuan 13 32,50

Laki-laki 27 67,50

Total 40 100,00

Keterangan: n = jumlah subjek

Berdasarkan hasil yang diperoleh, proporsi jenis kelamin dari subyek penelitian lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan yaitu 67,50% berbanding 32,50%. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Reviono bahwa persentase pasien MDR TB laki-laki mencapai 53,73% dari total keseluruhan, sedangkan persentase pasien MDR TB berjenis kelamin perempuan mencapai 46,27%. Serupa dengan penelitian Tirtana di Jawa Tengah dan Pant di Nepal yang menyatakan bahwa pasien TB paru resisten lebih besar proporsi laki-laki dibanding perempuan dengan nilai masing-masing 51,1% : 48,9% dan 70% : 30% MDR. Dalam berbagai penelitian TB jumlah pasien laki-laki lebih banyak didapatkan daripada perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki diandalkan sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah sehingga aktivitasnya lebih banyak di luar rumah dan rentan kontak dan tertulari TB (Tirtana, 2011).

Data WHO (2009) melaporkan prevalensi TB paru 2,3 kali lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan terutama pada negara yang sedang berkembang karena laki-laki dewasa lebih sering melakukan aktivitas sosial. Perbandingan prevalensi TB paru antara laki-laki dan perempuan sama hingga umur remaja tetapi setelah remaja prevalensi laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Hal ini diduga karena hingga umur remaja kontaknya terjadi pada lingkungan yang lebih kecil tetapi setelah dewasa laki-laki banyak kontak dengan lingkungan yang lebih besar di luar rumah dibandingkan dengan perempuan disamping faktor


(52)

   

biologi, sosial budaya termasuk stigma TB (Nofizar, 2010). Penelitian Granich,

dkk. (2005), memperoleh perbandingan penderita MDR TB laki-laki 241 orang

(59%) sedangkan perempuan 166 orang (41%). Begitu juga Iseman (1993), yang memperoleh rasio laki-laki dibanding perempuan sebesar 71% : 29%. Namun berbeda dengan penelitian di Taiwan oleh Suo, dkk. (1996), yang mendapatkan MDR TB lebih banyak terdapat pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki yaitu 7 (36%) : 11 (64%). Munir (2010), menyatakan secara epidemiologi terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal penyakit infeksi, progresivitas penyakit, insidens dan kematian akibat TB. Perkembangan penyakit juga mempunyai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yaitu perempuan mempunyai penyakit lebih berat pada saat datang ke rumah sakit. Munir juga melaporkan pada perempuan ditemukan diagnosis yang terlambat sedangkan pada laki-laki cenderung pergi ke pelayanan kesehatan ketika mereka mengetahui pengobatan TB gratis sedangkan perempuan tidak. Hal ini dapat berhubungan dengan aib dan rasa malu lebih dirasakan pada perempuan dibanding laki-laki. Hambatan ekonomi dan faktor sosial ekonomi kultural turut berperan termasuk pemahaman tentang penyakit paru. Namun menurut Aditama, angka kejadian tuberkulosis pada perempuan di negara yang lebih maju memiliki jumlah yang lebih tinggi dari laki- laki (Aditama, 2005).

4.3 Karakteristik Tingkat Pendidikan

Berdasarkan karakteristik tingkat pendidikan pada subjek penelitian ini didapatkan bahwa tingkat pendidikan tamatan dari sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) merupakan yang terbanyak yakni 20 orang (50%). Tamatan sekolah dasar (SD) 8 orang (20%) dan tamatan Strata Satu (S1) Perguruan Tinggi 5 orang


(53)

(12,50%), tamatan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) sebanyak 6 orang (15%), tidak sekolah (tidak tamat SD) sebanyak 1 orang (2,50%). Gambaran karakteristik tingkat pendidikan subjek penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Distribusi Frekuesi Tingkat Pendidikan (n = 40)

Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase

Tidak Sekolah 1 2,50

Tamat SD 8 20,00

Tamat SLTP 6 15,00

Tamat SLTA 20 50,00

Tamat S1/PT 5 12,50

Total 40 100,00

Keterangan: n = jumlah subjek

Tirtana mengutip bahwa Albuquerque dalam penelitiannya pada tahun 2008 mendapatkan penderita TB dengan status pendidikan yang rendah lebih banyak mengalami kesulitan dalam menerima informasi yang diberikan petugas kesehatan. Hal ini akan mengakibatkan terhentinya dalam melanjutkan pengobatan OAT yang semestinya dikonsumsi secara teratur (Tirtana, 2010). Namun pada penelitian ini belum bisa disimpulkan bahwa tingkat pendidikan rendah cenderung menjadi risiko untuk terjadinya MDR TB. Tingkat pendidikan seringkali berkaitan dengan pekerjaan seseorang, dimana seorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung bekerja pada jenis pekerjaan yang berstatus sosial dan penghasilan rendah pula termasuk pekerjaan yang berisiko terinfeksi TB.

4.4 Karakteristik Jenis Pekerjaan

Berdasarkan karakteristik jenis pekerjaan pada subjek penelitian ini didapatkan bahwa pekerjaan yang terbanyak adalah wiraswasta sebesar 27 orang (67,50%). Jenis pekerjaan pegawai negeri sebanyak 3 orang (7,50%), pelajar atau mahasiswa sebanyak 1 orang (2,50%), dan subyek penelitian ibu rumah


(54)

   

tangga/tidak bekerja sebanyak 9 orang (22,22%). Gambaran karakteristik jenis pekerjaan subjek penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Distribusi Frekuesi Jenis Pekerjaan (n = 40)

Jenis Pekerjaan Frekuensi Persentase

Ibu Rumah Tangga 9 22,50

Pelajar/Mahasiswa 1 7,50

Pegawai Negeri 3 3,70

Wiraswasta 27 67,50

Total 40 100,00

Keterangan: n = jumlah subjek

Berdasarkan karakteristik jenis pekerjaan terbanyak yakni wiraswasta pada subyek penelitian ini didapatkan informasi bahwa rincian pekerjaannya antara lain petani, supir angkutan umum dan pedagang. Studi di Yogyakarta menemukan bahwa sebagian besar pasien TB resisten OAT adalah bekerja sebagai pedagang/ wiraswasta (38,5%). Menurut Dimitrova di Rusia, semua jenis pekerjaan yang menyebabkan subyek penelitian terpapar oleh zat-zat yang dapat mengganggu fungsi paru dan pekerjaan yang memungkinkan subyek penelitian yang kontak dengan pasien TB dianggap sebagai pekerjaan yang berisiko, sedangkan jenis pekerjaan yang lain dianggap tidak berisiko. Jenis pekerjaan sopir, tukang parkir, pekerja pabrik tekstil, montir, pekerja bengkel las, penjahit, dan buruh bangunan pada penelitian ini dikelompokkan sebagai jenis pekerjaan yang berisiko (Tirtana, 2011).

4.5 Karakteristik Status Perkawinan

Berdasarkan karakteristik status perkawinan pada subjek penelitian ini didapatkan bahwa pada umumnya telah kawin sebanyak 33 orang (82,50%). Sedangkan subjek penelitian yang tidak atau belum kawin sebesar 7 orang


(55)

(17,50%). Gambaran karakteristik status perkawinan subjek penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Status Pekawinan (n = 40)

Status Perkawinan Frekuensi Persentase

Kawin 33 82,50

Tidak/Belum Kawin 7 17,50

Total 40 100,00

Keterangan: n = jumlah subjek

Secara teori pasangan dari pasien yang menderita TB akan rentan terkena TB lewat penularan atau kontak. Namun pada penelitian ini tidak terdapat data riwayat kontak MDR TB berasal dari pasangan atau tidak sehingga tidak dapat disimpulkan status perkawinan sebagai faktor risiko. Sihombing mengutip bahwa Gusti dalam penelitiannya tahun 2000 terhadap 86 pasangan suami istri yang diteliti mengenai kekerapan TB paru diantara pasangan suami-istri penderita TB paru, ternyata hanya didapati 1,16% dari pasangan yang menderita TB paru.

Penularan penyakit atau terinfeksi Mycobacterium tuberkulosis dalam hal ini

berhubungan peranan daya tahan tubuh/imunitas orang tersebut (Sihombing, dkk., 2011).

4.6Karakteristik Riwayat Komorbid

Berdasarkan riwayat penyakit lain (komorbid) yang menyertai pasien MDR TB di RSUP H. Adam Malik medan, diketahui penderita diabetes mellitus yakni 8 (20%), dan HIV 1 (2,50%). Ditemukan pula gangguan paru jenis PPOK, bronkopneumonia dan efusi pleura yakni 10 (25%), penyakit gangguan ginjal/elektrolit sebanyak 2 (5%), serta tidak ada data penyakit sebanyak 19 (47,50%). Gambaran karakteristik riwayat penyakit lain yang menyertai ditunjukkan pada Tabel 4.6.


(56)

   

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Komorbid (n = 40)

Riwayat Komorbid Frekuensi Persentase

HIV 1 2,50

DM 8 20,00

Gangguan paru 10 25,00

Gangguan ginjal

dan elektrolit 2 5,00

Tidak ada komorbid 19 47,50

Total 40 100,00

Keterangan: n = jumlah subjek

Pada penelitian ini didapatkan bahwa komorbid pasien mayoritas tidak terdapat dalam status 19 (47,50%). Hal ini terjadi karena tenaga medis jarang bertanya atau mencatat tentang riwayat penyakit dahulu ataupun gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit pasien. Komorbid yang terdapat dalam penelitian ini adalah gangguan paru 10 (25%), diabetes melitus 8 (20%), HIV 1 (2,50%), serta penyakit gangguan ginjal/elektrolit sebanyak 2 (5%). Penelitian Simion mendapati lebih banyak pasien TB paru dengan diabetes mellitus yang menderita MDR TB (32%) dibandingkan dengan yang tidak (4%). Simion menyebutkan bahwa diabetes mellitus merupakan faktor risiko terjadinya MDR TB karena pada pasien diabetes mellitus didapatkan beberapa defisiensi imunitas seluler. Kadar gula darah yang tinggi akan memicu terjadinya efek imunologis yang berdampak pada penurunan fungsi neutrofil, monosit maupun limfosit. Selain itu, hiperglikemi kronik dapat menyebabkan gangguan fungsi dengan menyebabkan penebalan dan perubahan struktur pada membran basalis (Tirtana, 2011).

Faktor komorbid lain seperti kelainan ginjal, fungsi hati dan penyakit defisiensi imun tidak banyak ditemukan, karena penelitian ini hanya menggunakan data sekunder berupa rekam medik dimana sering ditemukan


(57)

pencatatan data pasien yang tidak lengkap. Faktor risiko lain berupa riwayat kontak dengan pasien TB lain tidak dapat ditelusuri karena tidak tercatatnya di rekam medik pasien. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat kemungkinan kontak tersebut sebagai faktor risiko sumber penularan MDR TB (Nofizar, 2010).

4.7 Karakteristik Riwayat Merokok

Berdasarkan karakteristik riwayat merokok subjek penelitian didapatkan bahwa jumlah pasien MDR TB yang memiliki riwayat merokok sebanyak 7 (17,50%) dan tidak merokok 33 (82,50%). Gambaran karakteristik riwayat merokok subjek penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.7 berikut.

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Riwayat Merokok (n = 40)

Riwayat merokok Frekuensi Persentase

Merokok 7 17,50

Tidak merokok 33 82,50

Total 40 100,00

Keterangan: n= jumlah subjek

Berdasarkan data pada penelitian ini, jumlah pasien yang tidak merokok lebih banyak dibandingkan yang merokok. Hasil ini berbeda dengan penelitian Ahmad Khan di Karachi dimana kasus resistensi obat ganda lebih banyak ditemui pada perokok (71,1%) dibandingkan nonperokok (28,9%). Dalam hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa merokok adalah faktor risiko perkembangan penyakit MDR TB. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pada pasien TB yang memiliki kebiasaan merokok sebahagian besarnya memiliki penyakit paru berat seperti PPOK, efusi pleura dan bronkopneunomia yang memperparah penyakit. Menurut Tirtana, (2011), pada perokok terjadi gangguan makrofag dan meningkatkan


(1)

resistensi saluran nafas dan permeabilitas epitel paru. Rokok juga akan menurunkan sifat responsif antigen (Tirtana, 2011).

4.8Tipe TB Berdasarkan Diagnosis

Berdasarkan riwayat diagnosisnya, subjek MDR TB di RSUP H. Adam Malik medan pada umumnya memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya atau resistensi sekunder sebanyak 29 (72,50%) dengan tipe kasus TB terbanyak adalah tipe TB kasus kronik sebanyak 12 (30%). Subjek pasien dengan TB kasus baru sebanyak 11 (27,50%), TB kasus gagal 6 (15%), TB kasus kambuh 9 (22,50%), dan TB kasus putus obat 2 (5%). Gambaran karakteristik tipe TB pasien berdasarkan riwayat pengobatannya ditunjukkan pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Tipe TB Paru Berdasarkan Riwayat Diagnosis (n = 40)

Tipe TB (diagnosis) Frekuensi Persentase

TB kasus baru 11 27,50

TB kasus putus obat 2 5,00

TB kasus kambuh 9 22,50

TB kasus gagal 6 15,00

TB kasus kronik 12 27,50

Total 40 100,00

Keterangan: n = jumlah subjek

Dari penelitian ini diketahui bahwa tipe TB paru subyek penelitian ini kebanyakan memiliki riwayat mengkonsumsi OAT atau resistensi sekunder sebanyak 25 orang (74,07%). Adapun tipe TB paru yang terbanyak dari penelitian ini adalah tipe kasus kronik (30%). Departemen Kesehatan RI menyatakan kasus TB kronik adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. Pada penelitian ini pasien tipe kasus kronik tercatat telah atau sedang menjalani terapi dengan OAT kategori II namun tetap menunjukkan positif pada pemeriksaan BTA. Sedangkan pada penelitian Munir


(2)

sebagian besar kejadian MDR TB terjadi pada tipe kasus gagal terapi (Munir, dkk., 2010).

4.9Pola Resistensi MDR TB

Berdasarkan pola resistensi obat antituberkulosis pada 40 subjek penelitian ini, didapatkan sebanyak 21 orang (52,50%) resisten terhadap kombinasi obat rifampisin, isoniazid, etambutol, dan streptomisin. Sedangkan resistensi terhadap kombinasi obat ripamfisin, isoniazid dan etambutol sebanyak 8 orang (20%), resistensi terhadap kombinasi obat ripamfisin, isoniazid dan streptomisin sebanyak 7 orang (17,50%), dan resistensi terhadap kombinasi obat ripamfisin dan isoniazid saja sebanyak 4 orang (10%). Gambaran karakteristik pola resistensi TB pasien ditunjukkan pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Pola Resistensi MDR TB (n = 40)

Pola resistensi Frekuensi Persentase

R dan H 4 10,00

R, H dan E 8 20,00

R, H dan S 7 17,50

R, H, E dan S 21 52,50

Total 40 100,00

Keterangan: n = jumlah subjek

Hasil ini berbeda dengan penelitian Munir dan kawan-kawan (2010) di RSUP Persahabatan Jakarta yang mendapatkan resisten rifampisin dan isoniazid lebih banyak yaitu 51 (50,5%), resisten rifampisin, isoniazid dan streptomisin sebanyak 35 (34,6%), resisten rifampisin, isoniazid dan kanamisin 1 (1,0%) pasien, resisten rifampisin, isoniazid dan etambutol 8 (7,9%) dan resisten rifampisin, isoniazid etambutol dan streptomisin sebanyak 6 (5,9%). Berbeda pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Granich di California. Penelitian Granich dkk. mendapatkan resisten rifampisin dan isoniazid 71 (17%), resisten rifampisin,


(3)

isoniazid dan etambutol didapatkan 24 (6%) dan yang terbanyak adalah resisten rifampisin, isoniazid dan injeksi (streptomisin, kanamisin, amikasin, dan kapreomisin) didapatkan sebanyak 252 (62%) (Granich, dkk., 2005).


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa:

a. Karakteristik pasien tuberkulosis paru dengan multidrug resistant (TB MDR) didominasi oleh kelompok usia antara 25-44 tahun yaitu sebanyak 22 orang (53%) dengan rata-rata usia 42,68 tahun. Jenis kelamin mayoritas pasien laki-laki sebanyak 27 orang (67,50%), tingkat pendidikan dari sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) yakni 20 orang (50%), pekerjaan wiraswasta sebanyak 27 orang (67,50%), status perkawinan pada umumnya telah kawin yakni 33 orang (82,50%), komorbid gangguan paru sebanyak 10 orang (25%), tidak merokok 33 (82,50) dan tipe kasus TB Paru terbanyak adalah kasus TB kasus kronik sebanyak 12 orang (30%). Dari hasil penelitian ini didapatkan variabel karakteristik pasien berupa usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, komorbid, dan riwayat pengobatan sebagai faktor risiko yang berkaitan dengan kejadian MDR TB.

b. Resisten OAT yang terbanyak resisten sekunder yaitu 29 (72,50%) dan didominasi jenis resisten terhadap kombinasi rifampisin, isoniazid, streptomisin, dan etambutol yaitu 21 (52,50%).


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y. (2005). Tuberkulosis: Diagnosis, Terapi dan Masalahnya Edisi V. Jakarta: Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Hal. 37-48.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI. Hal. 14-34.

Granich, R.M., Lewis, B., dan Porco, T.C. (2005) Multidrug Resistance Among Persons With Tuberculosis in California 1994-2003. J.A.M.A. 293(22): 20-25.

Iseman, M.D. (1993). Treatment of Multidrug Resistant Tuberculosis. N.E.J.Med.

329: 784-91.

Kementrian Kesehatan RI. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Hal. 12-13.

Munir, S.M., Nawas, A., dan Soetoyo, D. (2010). Pengamatan Pasien Tuberkulosis Paru dengan Multidrug Resistant (TB-MDR) di Poliklinik Paru RSUP Persahabatan. Jurnal Respirasi Indonesia. 30(2): 92-99. Nawas, A. (2010). Penatalaksanaan TB MDR dan Strategi DOTS Plus. Jurnal

Tuberkulosis Indonesia. 7: 1.

Nikmawati, Windarwati, dan Hardjoeno. (2005). Resistensi Mycobacterium

tuberculosis Terhadap Obat Anti Tuberkulosis. Indonesian Journal of

Clinical Pathology and Medical Laboratory. 12(2): 58-61.

Nofizar, D., Nawas, A., dan Burhan, E. (2010). Identifikasi Faktor Risiko Tuberkulosis Multidrug Resistant (TB-MDR). Majalah Kedokteran Indonesia.60(12): 539-54.

Nugroho, Aditama, T., dan Suradi. (2003). Prevalensi dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Resistensi Ganda/ Multidrug Resistant pada Penderita Tuberkulosis di Kota Surakarta. Tesis. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Hal 6-12.

Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Keperawatan.

Edisis II. Jakarta: Salemba Medika. Hal. 80-94.

Sandjaja, B., dan Heriyanto, A. (2006). Panduan Penelitian. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Hal. 183-186.


(6)

Sihombing, H., Sembiring, H., Amir, Z., dan Sinaga, B. (2011). Pola Resistensi Primer pada Penderita TB Paru Kategori I di RSUP H. Adam Malik Medan. Jurnal Respirasi Indonesia. 32(2): 1-4.

Soedarsono. (2010). Multidrugs-Resistant (MDR)-TB. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru Fakuktas Kedokteran Universitas Airlangga –RSUD Dr. Soetomo. Hal. 27-36.

Soepandi P.Z. (2008). Diagnosis dan Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya TB-MDR. Jakarta: Departemen Pulmonologi & Ilmu kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan. Hal. 3-12

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2006). Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika. Hal. 5-21.

Suo, J., Yu, M.C., Lee, C.N., Chiang, C.Y., dan Lin, T.P. (1996). Treatment of Multidrug Resistant Tuberculosis in Taiwan. Chemotherapy. 42: 20-23. Syahrini, H. (2008). Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. USU e-Repository.

Medan: Fakultas Kedokteran USU. Hal. 2-5.

Tirtana, B.T. (2011). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan Resistensi Obat Tuberkulosis di Wilayah Jawa Tengah. Skripsi. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Hal 10-15.

World Health Organization (2006) Global Incidence of Multidrug-Resistant

Tuberculosis. Stop TB Department. Geneva WHO. The Journal of

Infectious Diseases 194:479–85.

World Health Organization. (2009a). Multidrug and Extensively Drug Resistance

TB (M/XDR-TB) Global Report on Surveillance and Response. Geneva:

WHO. Hal. 3-5.

World Health Organization. (2009b). Global Tuberculosis Control Epidemiology, Strategy, Financing. Geneva: WHO. Hal. 3-7.

World Health Organization. (2011). The Global Plan To Stop TB 2011-2015. Geneva: WHO. Hal. 5-10.