Hak Recall Partai Politik dalam Sistem P

Hak Recall Partai Politik
dalam Sistem Perwakilan di Indonesia
Oleh:
Eka Prasetya

Abstract
This Paper discusses about the recall mechanism by a political
party of its MPs people’s choice. The approach used in this paper is the
normative legal approach with reference to literature data such as
legislations as well as information obtained through the media and then
analyzed them in descriptive-qualitative format. The findings obtained
from this paper concludes the influence of political parties is still very
dominant in determining the dismissal of a board member which is elected
by the people through replacement over time (PAW), so it has tendency to
neglect the people’s soverignty in Indonesian representative system.
Keywords: Replacement over time, Recall, Political Parties, People’s
Soverignty
Abstrak
Tulisan ini membahas tentang hak recall yang dimiliki partai
politik terhadap anggota parlemen hasil pilihan rakyat. Pendekatan yang
digunakan dalam tulisan ini ialah pendekatan hukum normatif dengan

merujuk kepada data kepustakaan yang relevan seperti peraturan
perundang-undangan serta informasi yang diperoleh melalui media untuk
kemudian dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Temuan yang diperoleh
dari tulisan ini menyimpulkan pengaruh partai politik masih sangat
dominan dalam menentukan pemberhentian anggota dewan hasil
pemilihan rakyat melalui mekanisme Penggantian Antarwaktu (PAW),
sehingga memiliki kecenderungan pengabaian kedaulatan rakyat dalam
sistem perwakilan di Indonesia.
Kata Kunci: Penggantian Antarwaktu, Recall, Partai Politik, Kedaulatan
Rakyat

 Penulis merupakan mahasiswa Pasca sarjana untuk program master Ilmu Politik Fisip, Universitas Indonesia

1

I.

Pendahuluan
Pemberhentian Fahri Hamzah dari semua jenjang keanggotaan Partai Keadilan


Sejahtera (PKS) yang terjadi bulan April yang lalu menyisakan polemik
berkepanjangan hingga saat ini, tidak hanya di dalam internal PKS sendiri, melainkan
juga menjadi perdebatan di ruang publik. Pemecatan Fahri yang diawali dari
keengganannya mematuhi instruksi partai untuk melepas jabatan pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang disandangnya, menimbulkan persoalan yang
mengundang pertanyaan publik, mengingat Fahri merupakan wakil rakyat yang dipilih
oleh 253.870 warga dari Daerah Pemilihan (Dapil) Nusa Tenggara Barat.  PKS
mendasari keputusannya dengan merujuk pada instrumen Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) serta Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik (UU Parpol), dimana terdapat klausul yang menyebutkan
pimpinan dan anggota DPR diberhentikan apabila dipecat dari partainya.
PKS lantas mengajukan pengganti posisi Fahri yang menjabat unsur pimpinan
DPR dengan menunjuk Ledia Hanifa, serta kemungkinan besar akan menunjuk Musleh
Kholil sebagai calon yang berpotensi menggantikan Fahri sebagai anggota DPR apabila
dilakukan Penggantian Antarwaktu. Meskipun demikian, unsur pimpinan DPR lainnya
belum menindaklanjuti pengajuan yang dilakukan Fraksi PKS dengan alasan belum ada
kekuatan hukum tetap (inkracht), karena masih ada upaya hukum yang dilakukan Fahri
dalam menggugat partai yang memecatnya tersebut.
Peristiwa Pemecatan Fahri Hamzah dari PKS ini juga mengingatkan kita pada hal

yang serupa yang sebelumnya juga menimpa dua politisi senior Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), yakni Lily Chodijah Wahid dan Effendi Choirie beberapa tahun yang
lalu. Keduanya dipecat dari PKB karena berani ‘melawan’ keputusan partainya, dimana
keduanya berdiri untuk memberikan voting dalam sidang paripurna pengusulan hak
angket terhadap Bank Century. Sementara para kolega mereka lainnya yang berasal dari
PKB ‘mengikuti arahan partai’ yang ketika itu berkoalisi dengan pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono, dengan menolak usulan hak angket tersebut.
Partai menggunakan logika sederhana, dengan menganggap ‘pembangkangan’
terhadap arah kebijakan dan instruksi yang telah disepakati atau ditetapkan oleh elit

http://nasional.kompas.com/read/2014/04/29/2249403/Fahri.Hamzah.Kembali.Melenggang.ke.Senayan,
diakses pada 25 Mei 2016, pukul 15.49
 http://www.jpnn.com/read/2016/04/05/372921/Ini-Dia-Calon-Pengganti-Fahri-Hamzah-, diakses pada 25
Mei 2016, pukul 16.03 WIB
 http://news.detik.com/berita/2198283/gus-choi-dan-lily-wahid-dipecat-dari-dpr-karena-lawan-pkb, diakses
pada 25 Mei 2016, pukul 16.28 WIB

2

partai berarti melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)

partai. Dengan demikian, partai dapat mendasari keputusannya untuk memecat
anggota-anggotanya yang mbalelo tersebut, dengan tuduhan pelanggaran terhadap
AD/ART partai. Kemudian, karena diberhentikan dari partai, maka status keanggotaan
mereka sebagai anggota DPR juga dicabut, sebagai konsekuensi logis diberikannya hak
recall kepada partai politik yang diatur dalam UU MD3 dan UU Parpol.
Kasus Pemecatan terhadap Fahri Hamzah dari PKS kemudian memicu diskursus
tentang konstruksi ‘perwakilan rakyat’ yang dipraktikkan dalam sistem ketatanegaraan
di Indonesia. Wacana yang menarik untuk dibahas kembali ialah tentang bagaimana
sesungguhnya hubungan antara anggota dewan sebagai pihak yang mewakili rakyat
yang duduk di lembaga perwakilan. Pertanyaan yang layak diajukan dalam konteks ini
ialah, apakah rakyat sebagai pihak yang memiliki kedaulatan, terputus hubungannya
dengan wakil-wakilnya di DPR setelah berakhirnya pemilihan umum karena digantikan
oleh dominasi relasi kuasa dari partai?
Dengan adanya kendali recall di tangan partai, maka anggota dewan yang sudah
dipilih oleh rakyat sepenuhnya menjadi ‘wakil partai,’ dimana mereka bertindak dan
berperilaku sesuai dengan keinginan, tuntutan, serta arah kebijakan yang ditetapkan
oleh partai politiknya. Padahal, arah kebijakan partai politik sering kali bukanlah suatu
hasil konsensus bersama yang juga lahir atas pertimbangan aspirasi konstituen,
melainkan hanya kepentingan taktis-oportunistik yang diputuskan secara sepihak oleh
segelintir elit partai untuk kepentingan politik jangka pendek.

Itulah sebabnya, keputusan suatu partai dalam mengambil pilihan terkait isu-isu
politik tertentu yang membutuhkan kesepakatan dalam lembaga perwakilan, kerap tidak
sejalan dengan apa yang sesungguhnya diharapkan oleh para konstituennya. Kita dapat
menjadikan kasus Gus Choi dan Lily Wahid sebagai contoh, dimana keduanya
berseberangan dengan keputusan partainya yang menolak adanya penggunaan hak
angket DPR terhadap Bank Century. Keduanya dipandang mewakili aspirasi rakyat,
dimana sebagaian opini masyarakat yang berkembang kala itu menuntut adanya
keterbukaan dalam kasus ini. Lantas, sudah tepatkah hak recall partai politik terhadap
wakil-wakilnya di badan perwakilan rakyat dengan kecenderungan pengabaian
terhadap kedaulatan rakyat seperti yang saat ini dijalankan dalam sistem perwakilan
kita?
II.

Tinjauan Teoritis

3

Secara etimologis, recall dapat diartikan sebagai pemanggilan atau penarikan
kembali. Di Amerika Serikat (AS), istilah recall merujuk pada recall election yang
digunakan untuk menyatakan hak rakyat pemilih (konstituen) untuk melengserkan

wakil rakyat sebelum masa jabatannya berakhir. Di AS, prosedur recall election
dimulai dari inisiatif rakyat pemilih (konstituen) yang mengajukan petisi kepada para
anggota badan perwakilan. Bila badan perwakilan menyetujui petisi pemilih, maka
diadakan pemungutan suara yang akan menentukan apakah wakil rakyat terkait akan
lengser atau tetap di jabatannya. Sejak berkembang tahun 1903 di California, tercatat
ada 117 kali percobaan untuk melengserkan para anggota badan perwakilan.
Di Indonesia, istilah recall dimaknai sebagai pemberhentian dan penggantian
seorang anggota dewan oleh partai politik. Dengan demikian terdapat perbedaan
mendasar antara praktik recall di AS dengan Indonesia, dimana pihak yang memiliki
hak untuk melakukan recall terhadap wakil rakyat di Amerika ialah rakyat itu sendiri
sedangkan di Indonesia, hak recall ada pada partai politik. Meskipun istilah recall
sendiri tidak terdapat dalam nomenklatur yang resmi dalam produk perundangundangan yang mengatur persoalan terkait, akan tetapi istilah ini kerap dipergunakan
dalam pemberitaan media massa maupun dalam konteks diskusi akademik. Istilah
recall dalam konteks Indonesia berasosiasi dengan mekanisme Penggantian Antarwaktu
yang diatur dalam undang-undang.
Adanya hak recall yang dimiliki oleh partai politik sejatinya merupakan sarana
kontrol terhadap para anggota dewan yang duduk di lembaga perwakilan. Mengingat
kekuasaan yang besar cenderung abuse of power, sebagaimana yang dikatakan oleh
Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang mutlak
pasti disalahgunakan (power tends to corrupt, and absolute power corrupts

absolutely), maka kontrol terhadap orang-orang yang memiliki akses pada penggunaan
kekuasaan sangatlah diperlukan dalam rangka menegakkan prinsip chek and balances.
Diaturnya mekanisme recall dalam sistem perwakilan merupakan sarana yang dapat
dipergunakan sebagai hukuman (punishment) bagi para politisi yang menyalahgunakan
kekuasaan yang dimilikinya.
 RM. A.B. Kusuma, Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” Versus Sistem Presidensial “Orde Reformasi,”
(Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), h.102
 Ananda B. Kusuma, Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4 Tentang Recall, (Jakarta: MK RI, 2006), h.156

http://www.hukumonline.com/mempertanyakan_hegemoni_penggantian_antar_waktu_(PAW)_anggota
_DPR_di_tangan_parta_politik, diakses pada 25 Mei 2016, pukul 19.50 WIB
 Perkataan Lord Acton yang cukup terkenal ini dikutip dari S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan
Upaya Administratif di Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Press, 2011), h. 7

4

Akan tetapi persoalan konseptual mengenai hak recall terletak pada siapa pihak
yang sesungguhnya pantas untuk melakukannya, partai politik ataukah rakyat? Untuk
itu perlu dibahas terlebih dahulu bagaimana konstruksi hubungan rakyat sebagai
pemegang kedaulatan dengan anggota dewan sebagai pihak yang mewakili rakyat

dalam teori perwakilan rakyat. Merujuk pada sejarahnya, penerapan demokrasi pada
mulanya dilakukan secara langsung di negara kota (city state) Yunani Kuno pada abad 6
sampai dengan abad 3 sebelum Masehi. Pada masa itu, warga negara dapat membuat
keputusan-keputusan politik secara langsung tanpa melalui perantara dikarenakan
jumlah penduduk dan luas wilayahnya masih terjangkau sehingga memungkinkan
untuk penerapan demokrasi langsung (direct democracy).
Akan tetapi seiring dengan perkembangan negara modern dan semakin
kompleksnya kepentingan manusia, maka pengambilan keputusan-keputusan politik
dilakukan melalui demokrasi perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan, rakyat secara
keseluruhan tidak membuat keputusan-keputusan politik dan menentukan jalannya
pemerintahan negara, akan tetapi rakyat memberikan mandat kepada wakil-wakilnya
yang duduk di sebuah badan perwakilan rakyat untuk melakukannya. Dalam
menentukan siapa wakil-wakilnya yang duduk di badan perwakilan rakyat tersebut,
dilaksanakanlah sebuah pemilihan umum (pemilu). Calon-calon yang muncul sebagai
hasil rekrutmen yang dilakukan partai politik dalam pemilu dapat terpilih untuk duduk
di badan perwakilan apabila memperoleh suara terbanyak.
Adapun konstruksi hubungan antara rakyat sebagai pihak yang diwakili dengan
wakil rakyat sebagai pihak yang mewakili, para ahli membaginya dalam beberapa
klasifikasi. Ramlan Surbakti membagi klasifikasi tipe perwakilan menjadi dua, 
pertama, perwakilan dengan tipe delegate atau messenger boy yang menganggap wakil

rakyat merupakan corong keinginan rakyat yang diwakili. Ia hanya dapat menyuarakan
apa yang dikehendaki oleh rakyat pemilihnya, dan sama sekali tidak memiliki
kebebasan berbicara selain dari pada yang dikehendaki oleh konstituennya. Sedangkan
yang kedua, perwakilan dengan tipe trustee yang berpendirian bahwa wakil rakyat
memiliki kebebasan untuk bertindak dan diberikan kepercayaan penuh. Mereka yang
menganut tipe perwakilan ini menganggap wakil-wakil mereka di parlemen memiliki
 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 239
 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 153
 Muchyar Yara, Mencari Model Demokrasi Ala Indonesia, makalah pada Simposium Nasional “Membangun
Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani, diselenggarakan oleh Komisi Kebudayaan
dan Komisi Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta 8 Agustus 2006, h. 6
 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Widyasarana, 1992), h.174

5

kemampuan untuk mempertimbangkan secara baik (goodjudgment) keputusankeputusan yang mengutamakan kepentingan nasional.
Sementara itu, dalam melihat hubungan antara wakil dan yang diwakili, Gilbert
Abcarian mengemukakan empat tipologi perwakilan: pertama, wakil sebagai wakil
(trustee), dimana wakil bertindak bebas menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu
berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya; kedua, wakil sebagai utusan (delegate),

dimana wakil bertindak sebagai utusan dari pihak yang diwakili sesuai dengan mandat
yang diberikan; ketiga, wakil sebagai politico, dimana wakil kadang-kadang bertindak
sebagai utusan dan adakalanya bertindak sebagai wakil mengikuti keperluan atau
masalah yang dihadapi; keempat, wakil sebagai partisan, dimana wakil bertindak sesuai
dengan program partai atau organisasinya, sehingga hubungan pemilih (pihak yang
diwakili) dengan wakilnya terlepas begitu proses pemilihan berakhir.
Adanya hak recall yang berada di tangan partai politik seperti yang dipraktikkan
dalam sistem perwakilan di Indonesia menempatkan konstruksi hubungan antara wakil
dengan yang diwakili dikategorikan wakil sebagai partisan. Hal ini mengingat fakta
bahwa setelah wakil rakyat dipilih melalui pemilihan umum, maka hubungan seorang
wakil dengan yang diwakili (rakyat) seketika terlepas, karena sang wakil harus tunduk
pada program dan kebijakan organisasi atau partai politik yang mengusungnya. Hak
recall dapat dijadikan instrumen partai politik untuk “mengancam” anggota-anggotanya
di badan perwakilan apabila bertindak melenceng dari arah kebijakan partai, sekalipun
hal tersebut harus bertentangan dengan harapan dan keinginan mayoritas pemilihnya
(konstituen).
Jika menyimak sejarah konstitusi Indonesia, para penyusun konstitusi (framers of
the contitution), menganut teori wakil sebagai trustee bukan sebagai delegate ataupun
partisan. Hal itu tercermin di Pasal 90 Konstitusi tahun 1949 Republik Indonesia
Serikat (RIS) yang menyatakan bahwa, “Anggota-anggota DPR mengeluarkan

suaranya sebagai orang yang bebas, menurut perasaan dan kehormatan batinnya,
tidak atas perintah dan kewajiban berembuk dahulu dengan orang yang menunjuknya
sebagai anggota.” Dengan merujuk pada teori representative as trustee (teori mandat
penuh), wakil rakyat setelah memangku jabatan publik, tidak lagi bertindak untuk
kepentingan partainya, melainkan bagi kepentingan seluruh bangsa. Jika terjadi
benturan antara kepentingan konstituen atau partai dengan kepentingan nasional, maka
 Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1988), h. 85
 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Undang-Undang Dasar Sementara 1949/1950)

6

yang lebih diutamakan adalah kepentingan nasional dengan tetap memperhatikan
aspirasi konstituen.
III.

Pembahasan
Secara historis, hak recall partai politik dalam bentuk mekanisme Penggantian

Antarwaktu di Indonesia mula-mula diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1966 dimana termuat maksud politis yang sangat kental di dalamnya. Rezim Orde Baru
yang ketika itu baru saja berdiri ingin memastikan parlemen ‘bersih’ dari sisa-sisa
pendukung Soekarno serta Partai Komunis Indonesia. Ketentuan tentang Penggantian
Antarwaktu diatur dalam Pasal 15 yang menyatakan bahwa anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)/Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPR-GR) dapat diganti menurut ketentuan sebagai berikut:  “a) Anggota dari
calon Golongan Politik dapat diganti atas permintaan partai yang bersangkutan; b)
Anggota Golongan Karya yang organisasinya berafiliasi dengan satu partai politik
dapat diganti atas permintaan organisasi atau instansi yang bersangkutan; c) Anggota
Golongan Karya yang organisasinya tidak berafiliasi dengan suatu partai politik dapat
diganti atas permintaan organisasi atau instansi yang bersangkutan.”
Selama berlangsungnya pemerintahan Orde Baru, ketiga organisasi sosial politik
(dua partai politik dan satu golongan karya) pernah melakukan recall dengan
mengajukan

Penggantian Antarwaktu

terhadap

anggota-anggotanya

di

badan

perwakilan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di bawah kepemimpinan H.J. Naro
misalnya, pernah mengajukan usulan Penggantian Antarwaktu kepada Syaifudin
Harahap, Tamim Achda, Murtadho Makmur, Rusli Halil, Chalid Mawardi, MA., Ganni
Darussamin AS, dan Ruhani Abdul Hakim (semuanya anggota DPR periode 19821987). Namun pimpinan DPR ketika itu, Amir Machmud menanggapinya dengan
dingin. Usulan tersebut tidak diteruskan oleh pimpinan DPR kepada presiden.  Akan
tetapi pada tahun 1995, Penggantian Antarwaktu dilakukan kepada Sri Bintang
Pamungkas (anggota DPR Periode 1992-1998) karena dianggap melanggar tata tertib,
meski alasan yang sebenarnya adalah karena Sri Bintang Pamungkas telah melakukan
‘dosa politik’ kepada penguasa Orde Baru dengan kritik-kritik yang dilancarkannya
ketika itu.
 Log Cit, RM. A. B. Kusuma (2011)
 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Sementara
dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum
 Tiras, Edisi 16 Februari 1995, h. 19
 Sri Bintang Pamungkas, Saya Musuh Politik Soeharto, (Jakarta: Pijar Indonesia, 1994), h. 79

7

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) juga tercatat pernah mengusulkan Penggantian
Antarwaktu untuk Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandow, Soelolo,
Santosa Donoseputro, TAM. Simatupang, dan Abdullah Eteng (semuanya anggota DPR
periode 1977-1982) pada era kepemimpinan Soenawar Soekawati. Kemudian pada era
kepemimpinan Soejadi, hak recall partai juga digunakan untuk mengganti Marsoesi,
Dudy Singadilaga, Nurhasan, Polensuka, Kemas Fachrudin, Edi Junaedi, Suparman,
Jaffar, dan Thalib Ali (semua anggota DPR periode 1982-1987.  Adapun Golongan
Karya (Golkar), Penggantian Antarwaktu pertama menimpa Rahman Tolleng (anggota
DPR periode 1971-1977) karena diduga terlibat dalam kasus Malari 15 Januari 1974.
Sedangkan yang kedua dilakukan kepada Bambang Warih (anggota DPR periode 19921997). Fraksi ABRI juga pernah me-recall anggotanya di MPR, yakni Brigjen
Rukmini, Brigjen Samsudin dan Brigjen J. Sembiring, karena mengkritisi pembelian
kapal perang bekas milik pemerintah Jerman.
Setelah Rezim Orde Baru jatuh dan diganti dengan Orde Reformasi, hak recall
yang dimiliki partai politik melalui mekanisme Penggantian Antarwaktu yang selama
era Orde Baru dipakai dengan cukup efektif untuk meredam suara-suara kritis dari
anggota DPR terhadap rezim, tidak lagi diatur dalam produk undang-undang bidang
politik yang dihasilkan dalam suasana euforia reformasi, yakni Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk
1999). Hal ini setidaknya berjalan sampai beberapa tahun sampai munculnya UndangUndang Susduk yang baru pada tahun 2003.
Pada Pasal 5 ayat (1) UU Susduk 1999 ditegaskan anggota MPR berhenti antar
waktu sebagai anggota karena:



“a) meninggal dunia; b) permintaan sendiri secara

tertulis kepada pimpinan MPR; c) bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia; d) berhenti sebagai anggota DPR; e) tidak lagi memenuhi syaratsyarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) berdasarkan keterangan yang
berwajib; f) dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai wakil-wakil rakyat dengan
keputusan MPR; g) terkena larangan perangkapan jabatan sebagaimana yang
dimaksud Pasal 41 ayat (1).” Dengan demikian, tidak terdapat klausul yang
menyebutkan Penggantian Antarwaktu dapat diusulkan oleh partai politik.
Akan tetapi, hak recall partai politik melalui mekanisme Penggantian Antarwaktu
kembali muncul dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
 Log Cit, Tiras (1995), h. 29
 Forum Keadilan, Edisi 2 Maret 1995
 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD

8

Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk 2003). Di Pasal 85 ayat (1) ditegaskan
anggota DPR berhenti antar waktu karena: "a) meninggal dunia; b) mengundurkan
diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; dan c) diusulkan oleh
partai politik yang bersangkutan.” Hak recall bahkan mendapat payung hukum dalam
konstitusi, tepatnya pada Pasal 22 B Undang-Undang dasar 1945 Amandemen Kedua.
Adapun alasan anggota DPR yang diberhentikan antar waktu dalam Pasal 85 ayat
(2) ialah karena: “a) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap sebagai anggota DPR; b) tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon
anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Pemilu; c) melanggar
sumpah/janji, kode etik DPR, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota
DPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPR; d) melanggar peraturan
larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan; dan e) dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman
pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara.”
Selain UU Susduk Tahun 2003, di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik (UU Parpol 2002) dalam Pasal 12 ditentukan bahwa, anggota
partai politik yang menjadi anggota DPR diberhentikan status keanggotaannya sebagai
anggota DPR apabila: “a) menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan parpol
yang bersangkutan atau menyatakan menjadi anggota parpol lain; b) diberhentikan
dari keanggotaan parpol bersangkutan karena melanggar AD dan ART; atau c)
melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang menyebabkan yang
bersangkutan diberhentikan.” Selain itu pada Pasal 11 ayat (3) UU Parpol 2002
menyatakan bahwa, “...anggota parpol wajib memenuhi AD dan ART serta
berkewajiban untuk berpartisipasi dalam kegiatan parpol.” Selain itu di Pasal 8 huruf
f disebutkan bahwa, “...partai politik berhak mengusulkan Penggantian Antarwaktu
anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundangundangan.”
Selama rentang antara 2004-2009 dimana UU Susduk 2003 dan UU Parpol 2002
diterapkan, terdapat beberapa kasus anggota DPR yang dikenakan Penggantian
 Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD
 Ibid, Pasal 85 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003...
 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
 Ibid, Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002...
 Ibid, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002...

9

Antarwaktu, yakni antara lain terhadap: Azzidin dari Partai Demokrat karena terjerat
kasus katering haji; Marissa Haque dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
karena maju sebagai calon wakil gubernur dalam pemilukada Provinsi Banten tanpa
instruksi partai; serta Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman dari Fraksi Partai Amanat
Nasional (PAN) karena tindakannya ikut studi banding ke luar negeri dinilai
bertentangan dengan garis kebijakan partainya ketika itu. Akibat pemecatan
terhadapnya, Djoko Edhi mengajukan judicial review terhadap UU Susduk 2003 dan
UU Parpol 2002 ke Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, permohonan tersebut ditolak
untuk seluruhnya karena dalil-dalil pemohon dipandang tidak beralasan.
Pada tahun 2009, melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 2009), hak recall partai politik melalui mekanisme
Penggantian Antarwaktu tetap dipertahankan dalam Pasal 213 ayat (1) yang
menetapkan bahwa, “...anggota DPR berhenti antar waktu karena:  a) meninggal
dunia; b) mengundurkan diri; dan c) diberhentikan.” Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal
213 ayat (2) yang menyebutkan anggota DPR diberhentikan antar waktu apabila:  “a)
tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai
anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun; b)
melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR; c) dinyatakan bersalah
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d) tidak
menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas
dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; e)
diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan undang-undang; f) tidak
memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; g)
melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; h)
diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; atau i) menjadi anggota partai politik lain.”
Ketentuan lanjutan diatur dalam Pasal 214 yang menetapkan: “...pemberhentian
anggota DPR sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 213 ayat (1) huruf a dan b,
serta pada ayat (2) huruf c, e, h, dan i diusulkan oleh pimpinan parpol kepada
 http://www.hukumonline.com... diakses pada 25 Mei 2016, pukul 19.50 WIB
 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.008/PUU-IV/2006
 Pasal 213 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
 Ibid, Pasal 213 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009...

10

pimpinan DPR dengan tembusan kepada presiden. Paling lama 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan
DPR menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada presiden untuk
memperoleh

peresmian

pemberhentian.

Presiden

meresmikan

pemberhentian

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.”
Ketentuan mengenai Penggantian Antarwaktu dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol 2008) tidak disebutkan secara rinci. Akan
tetapi seperti halnya UU Parpol 2002, pada UU Parpol 2008 juga diatur ketentuan
mengenai pemberhentian keanggotan dari partai politik yang tertera pada Pasal 16 ayat
(1). Selain itu, pada Pasal 16 ayat (3) terdapat klausul pemberhentian anggota partai
politik yang juga merupakan anggota lembaga perwakilan rakyat, dimana
pemberhentian keanggotaan partai politik diikuti dengan pemberhentian keanggotaan di
lembaga perwakilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, tidak terdapat perbedaan mendasar, kecuali
pengubahan Pasal 16 ayat (2) yang semula, “tata cara pemberhentian keanggotaan
partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan partai
politik,” kemudian menjadi “tata cara pemberhentian keanggotaan partai politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART.”
Pada produk perundang-undangan paling terbaru yang sampai saat ini digunakan,
yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
(UU MD3 2014) tidak terdapat perbedaan yang mendasar mengenai hal terkait dengan
ketentuan dalam UU MD3 2009, dimana klausul tentang Pemberhentian Antarwaktu
anggota DPR yang tertera pada Pasal 239 ayat (2) memiliki poin-poin dengan substansi
yang serupa dengan Pasal 213 ayat (2) UU MD3 2009, kecuali penghilangan satu
klausul yang sebelumnya tertera pada huruf d UU MD3 2009.  Selain itu, pada Pasal
241 ayat (1) dijelaskan, “...dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai
 Ibid, Pasal 214 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009...
 Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
 Ibid, Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008...
 Ibid, Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008...
 Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik
 Pasal 239 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Poin huruf d
berbunyi, “tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan
kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah.”

11

politiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d dan yang
bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah
setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Instrumen Perundang-Undangan
UU No. 10 Tahun 1966
UU No. 4 Tahun 1999
(UU Susduk 1999)
UU No. 31 Tahun 2002
(UU Parpol 2002)

Hak Recall Parpol
Ada
Tidak Ada

Keterangan
Pasal 15
-

Ada

Pasal 8 huruf f, Pasal 11

UU No. 22 Tahun 2003
(UU Susduk 2003)
UU No 2 Tahun 2008
(UU Parpol 2008)

Ada

ayat (3), Pasal 12
Pasal 85 ayat (1) dan (2)

Ada

Pasal 16 ayat (1), (2) dan

UU No. 27 Tahun 2009
(UU MD3 2009

Ada

(3)
Bag. XV Pasal 213 s/d

UU No. 2 Tahun 2011
(UU Parpol 2011)

Ada

Pasal 218
Sama seperti UU No.2

UU No. 17 Tahun 2014
(UU MD3 2014)

Ada

Tahun 2008
Bag. XV Pasal 239 s/d

Pasal 243
Tabel 1.0 Hak Recall Partai Politik Menurut Instrumen Perundang-Undangan
Berdasarkan ketentuan seputar mekanisme Pemberhentian Antarwaktu dan

Penggantian Antarwaktu yang terdapat dalam UU MD3 2014 maupun yang disinggung
secara tidak langsung dalam UU Parpol 2008, maka terlihat bahwa dominasi partai
politik terhadap anggotanya yang duduk di lembaga perwakilan sangatlah besar. Partai
politik yang memegang hak recall dapat menggunakan instrumen tersebut secara
konstitusional untuk memaksa anggota-anggotanya di parlemen agar mengikuti apa
yang diinstruksikan oleh partai.
Hal ini mungkin tidak menjadi persoalan apabila budaya internal partai politik
yang ada di Indonesia sepenuhnya demokratis, dimana setiap arah dan kebijakan yang
ditetapkan partai dihasilkan melalui konsensus dan dialog. Akan tetapi dalam
praktiknya, budaya partai politik di Indonesia masih sangat didominasi oleh oligarki elit
yang berada di posisi sentral dalam tubuh partai. Dengan demikian, mereka yang
bertentangan dengan ‘garis kebijakan para elit’ dapat dengan mudah dikualifikasikan
 Ibid, Pasal 241 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014...
 UU Parpol 2008 kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 yang memuat perubahan
secara terbatas atas sejumlah pasal

12

sebagai pelanggar AD/ART partai, sehingga pemecatan terhadap mereka dapat
dibenarkan secara konstitusional dan mereka yang dipecat karena alasan politis ini
biasanya tidak dapat menang atas upaya hukum mereka di pengadilan.
Penggantian Antarwaktu oleh partai politik atas anggotanya yang duduk di
lembaga perwakilan dengan alasan pelanggaran AD/ART (Pasal 12 huruf b UU Parpol
2008) tidak menjamin prinsip due process of law yang merupakan salah satu prinsip
negara hukum, karena bisa bersifat sangat subjektif pimpinan partai politik yang sulit
dikontrol oleh publik. Yang masih bersifat objektif dan dapat diterima ialah
Penggantian Antarwaktu atas dasar alasan mengundurkan diri dari partai politik atau
masuk partai politik lain, serta melanggar peraturan perundang-undangan.
Pada tahun 2013, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji
materi atas Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 yang menyatakan pemberhentian anggota
DPR terjadi secara otomatis apabila yang bersangkutan juga diberhentikan dari
keanggotaan parpol. Melalui putusannya, MK menyatakan substansi materi dari pasal
yang diuji inkonstitusional dengan syarat tertentu (conditionally unconstitutional).
Syarat tersebut antara lain adalah: “a) partai politik yang mencalonkan anggota
tersebut tidak lagi menjadi peserta pemilu atau kepengurusan partai politik tersebut
sudah tidak ada lagi; b) anggota DPR atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak
ditarik oleh partai politik yang mencalonkannya; c) tidak terdapat calon pengganti
yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari partai yang mencalonkannya.”
Menurut MK, konstitusi tidak membatasi seseorang tidak boleh pindah menjadi
anggota parpol lain atau bahkan pada saat yang bersamaan menjadi anggota lebih dari
satu parpol, sehingga tidak ada kewajiban konstitusional seseorang untuk berhenti dari
keanggotaan salah satu parpol karena menjadi anggota parpol lain. Putusan MK ini
dapat dipandang mereduksi wewenang parpol dalam menggunakan hak recall-nya,
karena “membelotnya” seorang anggota parpol baik dikarenakan melanggar AD/ART
maupun dengan pindah keanggotaan ke parpol lain, tidak serta merta memberikan
otoritas kepada parpol yang bersangkutan untuk me-recall orang tersebut dari
keanggotaannya di DPR. Meski demikian MK juga menggarisbawahi, seseorang yang
 Rida Farida, Mekanisme Penggantian Antarwaktu (PAW) Anggota DPR dan Implikasinya Dalam Konsep
Perwakilan Rakyat, Jurnal Cita Hukum. Vol. II No. 2 Desember 2015. ISSN: 2356-1440
 Dissenting Opinion Abdul Mukhtie Fadjar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
No.008/PUU-IV/2006
 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.39/PUU-XI/2013
 Muhammad Imam Nasef, Dilema Recall Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Universitas Indonesia
diunduh dari http://stainmetro.ac.id/e-journal/index.php/istinbath/article/view/86 pada 14 April 2016, pukul
14.34 WIB

13

telah masuk dan menyatakan kesediaan untuk menjadi anggota dari suatu parpol
mempunyai kewajiban untuk tunduk dan mengikuti disiplin dan aturan internal parpol
tersebut.
Pertimbangan MK dalam penolakan permohonan Lily C. Wahid juga patut
disimak, dimana MK pernah mengeluarkan putusan bahwa Penggantian Antarwaktu
karena pencabutan keanggotaan dari partai politik bagi anggota DPR itu sah dan
konstitusional sebagai hak partai politik. MK mendasari pertimbangannya oleh karena
menurut Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR
merupakan partai politik dan tak seorang pun dapat menjadi anggota DPR tanpa
melalui partai politik. Maka, MK berpandangan wajar dan proporsional apabila partai
politik diberi wewenang untuk melakukan Penggantian Antarwaktu (hak recall) atas
anggotanya yang duduk di DPR.
Akan tetapi argumentasi MK yang menolak permohonan Lily C. Wahid tidak
sepenuhnya tepat, karena sistem Pemilu 2009 dimana Lily Wahid terpilih sebagai
anggota DPR berbeda dengan sistem Pemilu 2004. Dengan hadirnya UU MD3 2009,
maka sistem Pemilu 2004 yang menganut model proporsional terbuka dengan daftar
nomor urut yang ditentukan oleh Partai Politik berubah menjadi sistem proporsional
terbuka dengan suara terbanyak, dimana Lily Wahid berhasil duduk menjadi anggota
DPR karena suara terbanyak dari rakyat. Dengan demikian, seharusnya hak
Penggantian Antarwaktu terhadap anggota DPR tidak sepenuhnya berada di tangan
partai politik, melainkan juga konstituen. Partai perlu mempertimbangkan aspirasi
konstituen yang memilih Lily Wahid saat pemilu serta tidak melakukan recall secara
sepihak.
IV.

Kesimpulan dan Saran
Sebagai pedoman tertinggi dalam bernegara, Undang-Undang Dasar 1945 telah

menyebutkan bahwa, “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Hal ini menunjukkan kedaulatan tertinggi
sesungguhnya ada di tangan rakyat dengan MPR sebagai wujud demokrasi perwakilan.
Partai politik merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat itu,
antara lain dengan melakukan rekrutmen dan kaderisasi terhadap calon-calon pemimpin
yang kemudian dipilih oleh rakyat dalam pemilu. Partai politik juga menjadi corong
aspirasi dan artikulasi politik rakyat melalui wakil-wakilnya yang duduk di lembaga
 Log Cit, Putusan MK RI No. 39/PUU-XI/2013
 Undang-Undang Dasar 1945

14

perwakilan. Meskipun demokrasi perwakilan mengharuskan pemberian mandat oleh
rakyat kepada calon-calon anggota DPR yang berasal dari partai politik pada saat
pemilu, akan tetapi setelah pemilu usai dan wakil-wakil itu telah duduk di parlemen,
rakyat sama sekali tidak kehilangan kedaulatannya.
Adaya hak recall memang sangat dibutuhkan sebagai mekanisme kontrol
terhadap anggota DPR yang memiliki kekuasaan. Akan tetapi melekatkan hak tersebut
kepada partai politik dalam praktiknya malah mereduksi kedaulatan rakyat yang
menjadi prinsip utama demokrasi. Hak recall yang berada di tangan partai politik
menjadi semacam jebakan bagi demokrasi di tengah kultur oligarkis yang melekat erat
dengan partai politik di Indonesia dewasa ini. Konstruksi hubungan antara wakil yang
duduk di lembaga perwakilan dengan rakyat yang di wakili merupakan bentuk
hubungan yang bersifat partisan, karena “wakil rakyat” sesungguhnya tidak sedang
mewakili rakyat melainkan mewakili partai politiknya.
Kasus pemecatan terhadap Fahri Hamzah merupakan salah satu contoh dari
diabaikannya “kedaulatan rakyat,” dimana keputusan partai seolah-olah menafikan
suara lebih dari 250 ribuan pemilih begitu saja, hanya karena Fahri dinilai tidak
menjalankan instruksi partai yang berarti melanggar AD/ART. Terlepas dari sudah
dilaluinya tahapan dan alur mekanisme pemecatan yang sesuai dengan prosedur secara
sah berdasarkan AD/ART partai, tetapi pemecatan terhadap seorang wakil rakyat dalam
sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak merupakan suatu hal yang
meresahkan dalam praktik berdemokrasi. Pemilih Fahri di daerah pemilihan Nusa
Tenggara Barat sangat mungkin mendasari pilihannya kepada Fahri bukan karena partai
yang mengusungnya, melainkan karena sebagai individu Fahri dinilai memiliki
kepabilitas untuk merepresentasikan aspirasi warga NTB.
Untuk itu, tidak berlebihan jika makalah ini merekomendasikan agar hak recall
dipindahkan dari tangan partai politik kepada rakyat sebagai bentuk perwujudan
kedaulatan rakyat yang hakiki. Hak recall terhadap wakil-wakil rakyat yang duduk di
DPR dapat dilakukan sebagaimana mekanisme recall election yang dipraktikkan di
Amerika Serikat yakni dengan memberikan inisiatif di tangan rakyat pemilih
(konstituen) melalui sebuah petisi yang disampaikan melalui badan perwakilan. Dengan
demikian mekanisme recall tetap dipertahankan sebagai bentuk kontrol terhadap wakilwakil rakyat yang memegang kekuasaan legislatif, namun hak tersebut tidak
dimonopoli sepenuhnya oleh partai politik yang dalam konteks Indonesia masih sarat
dengan praktik kultur oligarkis, dimana kekuasaan untuk membuat keputusan masih
tersentralistik di tangan segelintir elit partai saja.
15

V.

Referensi
Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta:

Bhuana Ilmu Populer,
Farida, Rida. 2015. Mekanisme Penggantian Antarwaktu (PAW) Anggota DPR
dan Implikasinya Dalam Konsep Perwakilan Rakyat, Jurnal Cita Hukum. Vol. II No. 2
Desember 2015
Huda, Ni’matul. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Kusuma, Ananda B. Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4 Tentang Recall, Jakarta:
MK RI
Kusuma, RM. A.B., 2011. Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” Versus Sistem
Presidensial “Orde Reformasi,” Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
Muhammad Imam Nasef, Dilema Recall Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Universitas Indonesia
Pamungkas, Sri Bintang. 1994. Saya Musuh Politik Soeharto, Jakarta: Pijar
Indonesia
Saragih, Bintan R. 1988. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di
Indonesia, Jakarta Gaya Media Pratama,
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widyasarana
Yara, Muchyar. 2006. Mencari Model Demokrasi Ala Indonesia, Dalam
Simposium di Jakarta 8 Agustus 2006
Tiras, Edisi 16 Februari 1995
Forum Keadilan, Edisi 2 Maret 1995
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.008/PUU-IV/2006
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.39/PUU-XI/2013
Undang-Undang Dasar Sementara 1949/1950
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
Menjelang Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
16

Media Daring:
nasional.kompas.com
www.jpnn.com
news.detik.com
www.hukumonline.com

17