ANALISIS IMPLEMENTASI SISTEM PENGENDALIANINTERN PEMERINTAH (SPIP) DAN SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DALAM UPAYA PENERAPAN GOOD GOVERNANCE

  

ANALISIS IMPLEMENTASI SISTEM PENGENDALIANINTERN

PEMERINTAH (SPIP) DAN SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA

  

INSTANSI PEMERINTAH DALAM UPAYA PENERAPAN GOOD

GOVERNANCE

(Studi Pada Sekertariat Daerah Kabupaten Sorong Selatan, Teminabuan, Papua

Barat)

  

Ginanjar Shaum Ami Putra

Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya

  

ABSTRACT

Good governance in its manifestations should follow the basic principles of good

governance . The main object of this research is the implementation of good governance

regulate accountability and control capacity in government agencies . This research

uses descriptive qualitative methods of research results is a system of control and

accountability system was instrumental in achieving good governance in South Sorong

regency administration Keywords : Good Governance , accountability systems , control systems

  PENDAHULUAN

  Saat ini Republik Indonesia sedang mengalamai krisis nasional dalam pengembangan sistem penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip good governance. Usaha memulihkan kondisi ekonomi, sosial dan politik salah satunya adalah dengan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah dengan mencoba mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance). Upaya ini juga didukung oleh banyak pihak baik pemerintah sendiri sebagai lembaga eksekutif, DPR sebagai lembaga legislatif, pers dan juga oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Perjuangan untuk melakukan reformasi di segala bidang telah membuahkan dasar dasar di bidang manajemen pemerintahan.

  Soelendro (2010) unsur-unsur good governance adalah tuntutan keterbukaan (transparency), peningkatan efisiensi di segala bidang (efficiency), tanggung jawab yang lebih jelas (responsibility) dan kewajaran (fairnes`s). Pemerintah sebagai pelaku utama pelaksanaan good governance ini dituntut untuk memberikan pertanggungjawaban yang lebih transparan dan lebih akurat. Hal ini semakin penting untuk dilakukan dalam era reformasi ini melalui pemberdayaan peran lembaga-lembaga kontrol sebagai pengimbang kekuasaan pemerintah.

  Tata kelola pemerintah yang baik (good governance) untuk masyarakat, dalam perwujudannya harus mengikuti prinsip-prinsip dasar good governance. Pertama, keterbukaan. Keterbukaan diperlukan untuk meyakinkan bahwa stakeholder meiliki keyakinan dalam proses pengambilan keputusan dan tindakan yang tepat dalam instansi pemerintah. Kedua, Integritas. Integritas mencakup dua hal pokok, yaitu kejujuran dan kelengkapan informasi yang disampaikan kepada masyarakat terkait pengelolaan sumber daya dan dana. Ketiga adalah sistem akuntabilitas instansi pemerintahan (SAKIP) yang merupakan pertanggungjawaban setiap individu ataupun organisatoris pada instansi pemerintah kepada pihak-pihak luar yang berkepentingan atas sumber daya, dana dan seluruh unsur kinerja yang di amanatkan kepada mereka.

  Kondisi saat ini adalah SAKIP belum terbangun secara sempurna. Kelemahan dalam penyusunan perencanaan yang seharusnya dapat dijadikan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan instansi pemerintah dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya belum terwujudkan. Indikator kinerja utama beserta target yang terukur sesungguhnya adalah acuan dalam penyusunan anggaran. Kedua hal ini lah yang belum dibangun. Mengingat konsep anggaran berbasis kinerja hanya akan dapat berjalan jika instansi pemerintah telah menetapkan indikator kinerja yang terukur. Kondisi seperti inilah yang akan mempengaruhi terwujudnya good governance .

  Penelitian terdahulu menganai SAKIP Badruzaman (2011) diketahui bahwa implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dan penerapan good governance memiliki hubungan kuat. Selain itu berdasarkan perhitungan koefisien determinasi diketahui bahwa 61 % dari penerapan good governance dipengaruhi oleh implementasi SAKIP, sedangkan sisanya dipengaruhi faktor lain yang tidak diteliti.

  Pertanggungjawaban yang lebih transparan dapat tercermin secara jelas dalam proses penganggaran, pelaporan keuangan, dan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara atau daerah. Berdasarkan data pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) diketahui bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas laporan keuangan adalah pengendalian internal.

  Pemerintah menerapkan SPIP dalam upaya perwujudan good governance dilatar belakangi oleh adanya beberapa isu pokok dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain : opini disclaimer (tidak memberikan pendapat) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan. Opini disclaimer disebabkan tidak memadainya kompetensi sumber daya manusia dalam mengelola keuangan negara/daerah, terutama di bidang akuntansi, dan tingginya tingkat korupsi, terutama disebabkan oleh pemberantasan korupsi yang masih bertumpu pada langkah penindakan (represif) ketimbang pencegahan (preventif), belum menyentuh kepada akar permasalahan yaitu melalui pengelolaan risiko dan kegiatan pengendalian.

  Opini disclaimer yang diberikan BPK kepada kabupaten Sorong Selatan sejak dibentuknya kabupaten baru ini disebabkan penyerapan anggaran yang relatif rendah atau lambat. sampai pada tahun 2010 BPK memberi opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) karena mulai membaiknya kompetensi SDM dalam mengelola keuangan negara dan pada tahun 2013 BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap pemerintahan daerah Kabupaten Sorong Selatan.

  Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) tidak bisa dilaksanakan secara parsial, harus terintegrasi dalam bentuk tindakan dan kegiatan. Terintegrasi dimaksudkan Pengendalian Intern harus dilakukan oleh semua anggota organisasi tidak terkecuali baik pimpinan maupun staf, pimpinan tertinggi (top manajemen), middle manajemen maupun

  

lower manajemen. Semua barsatu padu membentuk konfigurasi yang terpola dalam satu

  kesatuan, yang satu tidak merasa lebih penting dari yang lain, dan yang lain tidak boleh merasa dilangkahi atau melangkahi yang lain dengan tekad yang sama yaitu mencapai tujuan organisasinya. Tujuan tercapai tidak asal tercapai saja melainkan dengan sumber daya yang efektif dan efisien baik sumber daya manusia maupun sumber daya keuangan. Laporan keuangannya handal, barang milik negara (aset) terjaga dengan baik (aman) dalam koridor yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku. Setiap kegiatan, setiap kebijakan dan setiap tindakan yang akan dilakukan harus dapat dipahami oleh semua unsur/pelaku yang terlibat dalam organisasi tersebut. Penelitian mengenai SPIP sebelumnya di teliti oleh Miryam Pingkan Lonto (2007) dengan judul Implementasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) di Pemerintah Kota Bitung: Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi dan Dampaknya Terhadap Good Governance dan hasil dari penelitian tersebut adalah Faktor- faktor yang mempengaruhi implementasi SPIP di Pemerintah Kota Bitung meliputi : komitmen pimpinan, faktor manusia : kesalahan dalam pertimbangan, ketidaktahuan tugas pokok dan fungsi pegawai, ketidakhadiran pegawai, kurangnya motivasi, kurangnya pemahaman mengenai regulasi yang berkaitan dengan bidang tugas, kolusi, ketidakpahaman tentang SPIP, dan kompetensi pegawai, struktur organisasi, dukungan teknologi informasi dan pengawasan dan pembinaan penyelenggaraan SPIP.

TINJAUAN PUSTAKA

  Stewardship theory Stewardship theory merupakan teori yang menggambarkan situasi di mana

stakeholder ( pemerintah) tidak termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan

  pada sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi (pemerintahan). Teori tersebut mengasumsikan adanya hubungan yang kuat antara kepuasan dan kesuksesan organisasi (pemerintahan). Stewordship Theory dikemukakan oleh Lois Goldberg (1965) sebagai teori yang berdasarkan tingkah laku dan premis. Stewordship theory didefenisikan sebagai situasi dimana manajer tidak mempunyai kepentingan pribadi tapi lebih mementingkan keinginan prinsipal.

  Kesesuaian teori stewardship digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dari hubungan steward (stakeholder) dan principal (masyarakat). Principal (masyarakat) memberikan kepercayaan (trust) kepada pemerintah sebagai fungsi yang dianggap lebih siap dan capable untuk melaksanakan perannya guna mengelola daerah dan sumber daya yang ada guna menciptakan suatu daerah yang aman, tentram, dan nyaman. Teori ini merupakan penatalayanan dimana kaitannya pemerintah melaksanakan kepemerintahan sesuai dengan tugas yang diberikan dilihat sebagai amanah, sehingga pemerintah dapat bertanggung jawab dan dapat dilihat sebagai suatu pemerintahan yang dapat dipercaya oleh masyarakat.

  Teori Implementasi

  Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan suatu kebijakan dan dapat menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu tertentu (Widodo, 2009: 86). Mater dan Carl (dalam Widodo, 2009: 86), menguraikan bahwa implementasi kebijakan menekankan pada suatu tindakan, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun individu swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini berusaha untuk mentransformasikan keputusan-keputusan menjadi pola rasional dan dilanjutkan dengan usaha untuk mencapai perubahan, baik besar maupun kecil yang diamanatkan oleh kebijakan tersebut.

  Edward mengemukakan adanya 4 variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan, yaitu: a.

  Komunikasi (Communication) Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan. Komunikasi kebijakan berarti proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan. Informasi kebijakan publik perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui, memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran kebijakan agar para pelaku kebijakan dapat mempersiapkan dengan benar apa yang harus dipersiapkan dan lakukan untuk melaksanakan kebijakan publik agar apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan (Widodo, 2009: 97).

  b.

  Sumber Daya (Resources) Faktor sumber daya ini juga mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan. Bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan, serta bagaimanapun akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan- aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber daya tersebut meliputi sumber daya manusia, sumber daya keuangan, dan sumber daya peralatan yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan.

  c.

  Disposisi (Disposition) Disposisi merupakan kemauan, keinginan, dan kecenderungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi kebijakan dapat diwujudkan. Disposisi ini akan muncul di antara para pelaku kebijakan, manakala akan menguntungkan tidak hanya organisasinya, tetapi juga dirinya.

  Mereka akan tahu bahwa kebijakan akan menguntungkan organisasi dan dirinya, manakala mereka cukup pengetahuan dan mereka sangat mendalami dan memahaminya. Pengetahuan, pendalaman, dan pemahaman kebijakan ini akan menimbulkan sikap menerima, acuh tak acuh, dan menolak terhadap kebijakan. Sikap itulah yang akan memunculkan disposisi pada diri pelaku kebijakan. Disposisi yang tinggi akan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disposisi merupakan kecenderungan, keinginan atau kesepakatan para pelaksana untuk melaksanakan kebijakan.

  d.

  Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure) Menurut Edward implementasi kebijakan bisa jadi belum efektif karena adanya ketidakefisienan struktur birokrasi. Struktur birokrasi mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi yang bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya. Oleh karena itu, struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi dan standar prosedur operasi yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya.

  Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah (SPIP)

  Sistem adalah sebuah entitas yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berinteraksi yang dikoordinasikan untuk mencapai satu atau lebih tujuan bersama (Wilkinson, et al, 2000).

  Menurut Mulyadi (2002:165) pengertian pengendalian intern adalah: “Sistem pengendalian intern meliputi struktur organisasi, metode dan ukuran-ukuran yang dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi, mendorongefisiensi dan mendorong dipatuhinya kebijaksanaan manajemen.

  Menurut Baridwan (2001:13) pengertian pengendalian intern dalam arti yang luas adalah: “Pengendalian intern itu meliputi struktur organisasi dan semua cara-cara serta alat- alat yang dikoordinasikan yang digunakan didalam perusahaan dengan tujuan untuk menjaga keamanan harta milik perusahaan, memajuka nn efisiensi di dalam operasi, dan membantu menjaga dipatuhinya kebijaksanaan manajemen yang telah ditetapkan lebih dahulu”.

  Pengertian sistem pengendalian intern menurut PP Nomor 60 tahun 2008 tentang sistem pengendalian intern adalah Proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terusmenerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset Negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

  Pengendalian internal terdiri dari komponen-komponen yang memiliki pengaruh langsung yang sangat signifikan terhadap pengendalian dalam pemerintahan. Menurut Peraturan Pemerintah republik indonesia No 60 tahun 2008 mengatakan ada 5 komponen dalam pengendalian internal yang terdiri dari: (1) lingkungan pengendalian, (2) penetapan risiko manajemen (3) sistem informasi dan komunikasi akuntansi, (4) aktivitas pengendalian, (5) pemantauan.”

  Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat kita simpulkan bahwa pengendalian internal merupakan suatu sistem yang terdiri dari kebijakan, prosedur, cara, dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintahan agar rencana dan tujuan dapat dicapai dengan baik. Dengan adanya pengendalian internal yang efektif akan menghindarkan terjadinya tindakan-tindakan penyimpangan yang dapat merugikan pemerintahan.

  Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (SAKIP)

  Rasul (2003), akuntabilitas didefinisikan secara sempit sebagai kemampuan untuk memberi jawaban kepada otoritas yang lebih tinggi atas tindakan “seseorang” atau “sekelompok orang” terhadap masyarakat secara luas atau dalam suatu organisasi. Dalam konteks institusi pemerintah, “seseorang” tersebut adalah pimpinan instansi pemerintah sebagai penerima amanat yang harus memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan amanat tersebut kepada masyarakat atau publik sebagai pemberi amanat.

  Dalam pasal 7 Undang-Undang No.28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara menjelaskan bahwa yang dimaksud asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat / rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Wakhyudi et al. (2007:4), akuntabilitas juga dapat berarti sebagai perwujudan pertanggungjawaban seseorang atau unit organisasi, dalam mengelola sumber daya yang telah diberikan dan dikuasai, dalam rangka pencapaian tujuan dan akuntabilitas juga dapat diuraikan sebagai kewajiban untuk menjawab dan menjelaskan kinerja dari tindakan seseorang atau badan kepada pihak-pihak yang memiliki hak untuk meminta jawaban atau keterangan dari orang atau badan yang telah diberikan wewenang untuk mengelola sumber daya tertentu. Dalam konteks ini, pengertian akuntabilitas dilihat dari sudut pandang pengendalian dan tolok ukur pengukuran kinerja.

  Konsep good governance menurut UNDP yang dikutip oleh Rasul et al. (2003:16) adalah pelaksanaan sistem politik, ekonomi, dan kewenangan administratif untuk mengelola masalah bangsa pada semua tingkatan. Karakteristik good governance versi UNDP yang dikutip oleh Rasul et al. (2003:19) adalah:

  1. Partisipasi, yaitu keikutsertaan setiap warga negara dalam proses pembuatan keputusan.

  2. Rule of law (kekuasaan hukum), yaitu menegakkan hukum secara adil, terutama HAM.

  3. Transparansi, yaitu keterbukaan arus informasi.

  4. Akuntabiltas, yaitu keputusan publik harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholder.

  5. Tanggap, artinya semua lembaga dan prosedur siaga melayani setiap stakeholder/warga negara.

  Menurut Hidayat (2007:24), akuntabilitas tidak hanya diperlukan untuk membangun institusi pemerintah, tetapi juga sektor swasta dan organisasi kemasyarakatan. Semua institusi ini harus dapat diukur akuntabilitasnya oleh stakeholder organisasi tersebut. Secara umum, akuntabilitas sebuah institusi tidak akan terjadi tanpa ditunjang transparansi dan kejelasan aturan hukum.

  Dalam Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dinyatakan bahwa akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban secara periodik. Wakhyudi et al. (2007:10), sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah merupakan suatu tatanan, instrumen, dan metode pertanggungjawaban yang intinya meliputi tahap-tahap sebagai berikut: a.

  Penerapan perencanaan strategi.

  b.

  Pengukuran kinerja.

  c.

  Pelaporan kinerja.

  d.

  Pemanfaatan informasi kinerja Siklus akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat digambarkan sebagai berikut :

  Sumber : BPKP (2007-10)

  Gambar 1 Siklus akuntabilitas kinerja instansi pemerintah Berdasarkan keputusan kepala LAN no. 589/TX/6/Y/1999 tentang pedoman penyusunan pelaporan pedoman Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang di perbaharui dengan keputusan kepala LAN no. 239/IX/6/8/2003 maka di susunlah sistem akuntabilitas di indonesia yang dikenal dengan SAKIP.

  a.

  Prinsip-Prinsip Akuntabilitas Kinerja Dalam pelaksanaan akuntabilitas di lingkungan instansi pemerintah perlu memperhatikan prinsip-prinsip akuntabilitas yaitu sebagai berikut: Disamping itu, akuntabilitas kinerja harus pula menyertakan penjelasan tentang deviasi antara realisasi kegiatan dengan rencana serta keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang ditetapkan. Oleh karena itu , dalampengukuran kinerja yang di mulai dari perencanaan strategis dan berakhir dengan penyerahan laporan akuntabilitas kepada pemberi mandat.

  b.

  Perencanaan Strategi Dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah perencana strategi merupakan langkah awal untuk melaksanakan mandat . perencanaan strategi instansi pemerintah

  Perencanaan Strategi Pemanfaatan Informasi

  Pelaporan Kinerja Pengukuran Kinerja memerlukan integrasi antara keahlian sumber daya manusia dan sumber daya lain agar mampu menjawab tuntutan perkembangan lingkungan strategis. Analisis terhadap lingkungan straregi baik internal maupun eksternal merupakan langkah yang sangat penting dalam memperhitungkan kekuatan (strenght), kelemahan (weakness), peluang (oportunity) dan kendala (threats).

  c.

  Pengukuran Kinerja Pengukuran merupakan suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilities. Menurut pedoman penyusunan pelaporan kinerja akuntabilitas instansi pemerintah (2003:18) proses sistematis dan berkesinambungan untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program, kebijakan, sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam mewujudkan visi, misi dan strategi instansi pemerintah. Proses ini dimaksudkan untuk menilai pencapaian setiap indikator kinerja guna memberikan gambaran tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran. Selanjutnya dilakukan pula analisis akuntabilitas kinerja yang menggambarkan keterkaitan pencapaian kinerja kegiatan dengan program dan kebijakan dalam rangka mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi sebagaimana ditetapkan dalam rencana strategis.

  Pengukuran kinerja dimaksud dapat dilakukan dengan menggunakan formulir Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK) 1.

  Pengukuran Kinerja Kegiatan Pengukuran Kinerja Kegiatan yakni mengukur tingkat capaian kinerja kegiatan dimulai dengan menetapkan indikator kinerja berdasarkan kelompok inputs, outputs,

  outcomes, benefit, dan impacts: merupakan rencana tingkat pencapaian/target,

  mengetahui realisasi indikator kinerja kegiatan, menghitung rencana dan realisasi untuk mendapatkan presentase.

  Tabel 1. Formulir Pengukuran Kinerja kegiatan Program Indikator Realisasi Presentase pencapaian target

  Kinerja Target

  1

  2

  3

  4

  5 Sumber : Pedoman penyusunan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah 2013

  2. Kesimpulan hasil evaluasi Untuk membuat hasil evaluasi tersebut diatas, digunakan skala pengukuran kinerja dibuat berdasarkan pertimbangan masing-masing instansi, antara lain dengan pengukuran skala ordinal, yaitu :

  Tabel 2 Pengukuran ordinal akuntabilitas kinerja Pengukuran ordinal dalam %

  No Pencapaian Target Katagori Pencapain target (%)

  1 85 -100 Sangat baik 2 70 - 84 Baik 3 55 -69 Cukup Baik 4 0-54 Tidak Baik

  Sumber :Pedoman penyusunan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, LAN 2005 d.

  Pelaporan Laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah harus di sampaikan oleh instansi- instansi dari pemerintah pusat, pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Penyusunan laporan harus mengikuti prinsip-prinsip yang lazim. Menurut pedoman penyusunan pelaporan kinerja akuntabilitas instansi pemerintah (2003:27) Setiap instansi pemerintah berkewajiban untuk menyiapkan, menyusun dan menyampaikan laporan kinerja secara tertulis, periodik dan melembaga.

  Disamping itu laporan akuntabilitas instansi pemerintah perlu memperhatikan prinsip- prinsip sebagai berikut :

  1. Prinsip pertanggungjawaban, sehingga harus jelas hal-hal yang dikendalikan maupun yang tidak di kendalikan oleh pihak yang melaporkan harus dapat di mengerti pembaca laporan.

  2. Prinsip pengecualian yang di laporkan yang penting dan terdepan bagi pengambilan keputusan dan pertanggungjawaban instansi yang bersangkutanseperti keberhasilan dan kegagalan, perbedaan realisasi dan target.

3. Prinsip manfaat yaitu laporan harus lebih besar dari biaya penyusunan.

  Definisi dan penjelasan mengenai akuntabilitas yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban berupa laporan akuntabilitas kinerja secara periodik.

  Good Governance

  Bank Dunia yang dikutip Wahab (2012) menyebut Good Governance adalah suatu konsep dalam penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dan investasi yang langka dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun Administrative, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Selain itu Bank Dunia juga mensinonimkan Good Governance sebagai hubungan sinergis dan konsturktif diantara Negara, sektor swasta dan masyarakat.

  Hetifa (2010) Governance diartikan sebagai mekanisme, praktek dan tata cara pemerintahan dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor yang menentukan. Implikasi peran pemerintah sebagai pembangunan maupun penyedia jasa layanan dan infrastruktur akan bergeser menjadi bahan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas. Governance menuntut redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya redefinisi pada peran warga. Adanya tuntutan yang lebih besar pada warga, antara lain untuk memonitor akuntabilitas pemerintahan itu sendiri.

  UNDP (2010) tentang definisi good governance adalah sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara Negara, sektor swasta dan masyarakat, dalam prinsip- prinsip; partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsesus, kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggungjawab serta visi stratejik. Good governance dimaknai sebagai praktek penerapan kewenangan penerapan pengelolaan berbagai urusan penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan adminstratif di semua tingkatan. Ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu :

  1. Economic governance atau kesejahteraan rakyat

  2. Political governance atau proses pengambilan keputusan

  3. Administrative governance atau tata laksana pelaksanaan kebijakan Jika dikaitkan dengan tata kelola Pemerintahan maka good governance adalah suatu suatu gagasan dan nilai untuk mengatur pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat sehingga terjadi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat yang makmur, sejahtera dan mandiri.

  Nugroho (2011:142) mendefinisikan Good Governance adalah penjumlahan dari cara- cara dimana individu-individu dan institusi-institusi baik privat maupun public mengelola urusan-urusan bersamanya. Dari berbagai pengertian tentang Good Governance dapat disimpulkan bahwa suatu konsep tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan penggunaan otoritas politik dan kekuasaan untuk mengelola sumber daya demi pembangunan masyarakat yang solid dan bertanggung jawab secara efektif melalui pembuatan peraturan dan kebijakan yang absah dan yang merujuk pada kesejahteraan rakyat, pengambilan keputusan, serta tata laksana pelaksanaan kebijakan.

PENELITIAN TERDAHULU

  Azalina (2014) dalam jurnalnya “Pengaruh good governance dan pengendalian intern terhadap kinerja pemerintah kabupaten pelalawan” memaparkan bahwa variabel good

  

governance berpengaruh signifikan terhadap kinerja pemerintahan daerah kabupaten

  pelalawan dan hasil pengujian hipotesis kedua menunjukan bahwa pengendalian intern berpengaruh terhadap kinerja pemerintahan daerah. Semakin baik pengendalian intern suatu daerah, maka kinerja pemerintah pun akan semakin baik.

  Pratiwi (2012) yang berjudul “Analisis penerapan sistem pengendalian intern (studi kasus: Kabupaten bungo) memaparkan bahwa Dari tinjauan teoritis pelaksanaan sistem pengendalian intern pada Pemerintah Kabupaten Bungo belum sepenuhnya memenuhi kriteria sistem pengendalian intern yang ditunjukkan dengan pemenuhan 5 komponennya yaitu: yaitu (1) lingkungan pengendalian, (2) penilain resiko, (3) aktivitas pengendalian,(4) informasi dan komunikasi, serta (5) pemantauan. Selain itu, pelaksanaan sistem pengendalian intern pada pemerintah kabupaten Bungo belum memenuhi kriteria berjalannya tujuan sistem pengendalian intern. Sistem pengendalian intern bertujuan sebagai kegiatan yang efektif dan efisien, pengamanan aset dan ketaatan terhadap peraturan perundangan.

  Mutiah (2009) dalam jurnalnya berjudul ”analisis sistem pengendalian manajemen dan akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan good governance ” (studi kasus pada inspektorat jendral departemen agama) memaparkan Sistem pengawasan dalam pengendalian manajemen memiliki peranan yang penting untuk mewujudkan good governance yaitu untuk memastikan bahwa segala sesuatunya berjalan sesuai dengan mandat, visi, misi dan tujuan utama yaitu akuntabilitas dan proses belajar. Dari sisi akuntabilitas, sistem pengawasan akan memastikan bahwa anggaran telah dipergunakan sesuai dengan etika dan aturan hukum dalam rangka memenuhi rasa keadilan. Dan dari sisi proses belajar, sistem pengawasan akan memberikan informasi tentang dampak dari program dan kegiatan yang telah dilakukan, sehingga pengambil keputusan dapat belajar tentang bagaimana menciptakan program dan kegiatan yang lebih efektif.

METODE PENELITIAN

  Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif (qualitative research). Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2014: 6).

  Penelitian ini dilakukan pada sekertariat Daerah kabupaten Sorong Selatan Papua barat yang terletak di komplek kantor bupati sesna Teminabuan, Sorong Selatan, Papua Barat. Teknik analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah teknik analisis data di lapangan menurut Model Miles dan Huberman (1992) dalam Sugiyono (2010:91), adalah analisis yang dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Model analisis tersebut adalah sebagai berikut :

  Data yang dikumpulkan merupakan data yang berupa kata-kata dan bukan angka- angka. Data tersebut dikumpulkan melalui observasi, wawancara terstruktur dan dokumentasi. Peneliti mencatat semua data secara objektif sesuai dengan hasil observasi dan wawancara di lapangan. Pengumpulan data ini diperoleh setelah melakukan pengamatan pada Pemerintah daerah Teminabuan Kabupaten Sorong Selatan. untuk pengumpulan data mengenai Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Peneliti menggunakan wawancara terstruktur, wawancara akan dilakukan pada anggota satgas SPIP sedangkan untuk pengumpulan data mengenai SAKIP peneliti mengambil data berupa LAKIP selama kurun waktu 4 tahun Adapun aspek yang akan diperlukan dalam penilitian ini adalah uraian pertanggungjawaban mengenai : (a) aspek keuangan, (b) aspek SDM, (c) aspek sarana dan prasarana dan (d) metode kerja. Keempat aspek ini merupakan tugas utama instansi Pemerintah. Kemudian menggunakan Pengukuran Kinerja Kegiatan (PPK) untuk mengetahui presentasi keberhasilan kegiatan dan sasaran sebagai indikator baik buruk kinerja pemerintah daerah.

  HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Pengendalian Intern Pemerintah

  SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah) adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada sekertariat daerah kabupaten Sorong Selatan sejak adanya pembentukan kabupaten ini pada tahun 2002 Sistem pengendalian belum berjalan sesuai dengan peraturan pemerintah yang ditetapkan, hal ini disebabkan karena pemerintah daerah lebih dulu harus menata seluruh sistem yang lebih utama di perangkat sekertariat daerah, seperti pemebentukan struktur, peningkatan kinerja para staff dan sistem lainya,

  Pemerintah daerah baru memberlakukan sistem pengendalian ini pada tahun 2013, pada tanggal 2 desember 2013 Sekretariat Kabupaten Sorong Selatan membentuk suatu struktur yang bertugas untuk melaksanakan Sistem Pengendalian Intern.. Hal ini dikarenakan, banyak persiapan yang diperlukan untuk pelaksanaan SPIP bagi kabupaten pemekaran seperti Sorong Selatan. Sekretariat Kabupaten Sorong Selatan dalam usahanya untuk menyelenggarakan SPIP membentuk SATGAS (Satuan Tugas) dilingkungan sekretariat Kabupaten Sorong Selatan sebagai Tindakan pengendalian, satgas ini nantinya akan memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) terhadap pencapaian efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan di pemerintahan daerah khusunya sekretariat Kabupaten Sorong Selatan. Pengendalian intern akan menciptakan keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan akhir sistem pengendalian intern ini adalah untuk mencapai efektivitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan di lingkungan sekretariat Kabupaten Sorong selatan.

a) Komunikasi

  Komunikasi yang digunakan dalam sekertariat daerah kabupaten Sorong Selatan adalah vertical comunication (komunikasi tegak) merupakan mengkomunikasikan pesan dari yang memiliki kekuasaan kepada yang memiliki sedikit kekuasaan, komunikasi kebawah seringkali berbentuk pemberian instruksi atau penjelasan bagaiamana seorang atasan menginginkan suatu tugas diselesaikan para atasan mengirimkani nformasi mengenai peraturan, kebijakan maupun standart minimum.

  Sesuai dengan hasil wawancara bapak Drs Ajis M.si sebagai pembina SPIP dapat diketahui bahwa pimpinan sangat berperan penting dalam berjalannya komunikasi. Di Kabupaten Sorong Selatan, pemimpin pemerintahan juga berusaha memberikan wadah yang berkaitan dengan berjalannya proses komunikasi tersebut. Pertemuan rutin masih menjadi pilihan utama Kabupaten sorong selatan untuk menjadi media komunikasi. Pada pertemuan rutin tersebut, diupayakan terdapat penyelesaian masalah yang terkait dengan hambatan dan kesulitan kesulitan dalam menjalankan tugas kerja, juga penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat maupun staff. Pertemuan rutin tersebut juga menjadi wadah bagi staff untuk memberikan saran yang sehubungan dengan perbaikan, belum adanya media yang efektif untuk para staff seperti kotak saran atau lainya menjadi kekurangan sekertariat daerah

b) Sumber daya

  Sumber daya yang ada pada sekertariat daerah masih belum begitu baik , dilihat dari seluruh tugas sehari-hari bagi seluruh staff masih ada beberapa yang tidak dikerjakan, kurangnya sikap disiplin bagi setiap staff untuk kehadiran pegawai, namun untuk kesiapan sekertariat daerah dalam mengelola SDM sudah dikatakan baik dilihat dari kesiapan sekertariat dalam pengelolaan SDM. Peneliti melihat sejauh mana tingkat Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Daerah Sorong selatan. Penulis melakukan wawancara kepada ketua pelaksana SPIP yang berkaitan dengan kesiapan sekertariat daerah dalam menerima dan mengelola SDM yang ada agar pengendalian intern bisa berjalan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008.

  Dari wawancara yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa beberapa upaya yang telah dilakukan Sekertariat Daerah Sorong Selatan dalam mengelola sumber daya manusia sudah cukup baik dilihat dari prosedur pengelolan, reviu yang dilakukan pimpinan mengenai pekerjaan sehari-hari bagi staff, sangsi atas pelanggaran terhadap kebijakan dan prosedur, dan penyelidikan latar belakang bagi calon pegawai negeri di sekertariat daerah sorong selatan.

c) Disposisi

  Disposisi merupakan kemauan, keinginan, dan kecenderungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi kebijakan dapat diwujudkan (Widodo, 2009). Agar pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern ini berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, para pelaku kebijakan pada elemen Sekertariat Daerah yaitu para pegawai, staff serta pimpinan harus bersungguh-sungguh melaksanakan pengendalian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Adanya kemauan dari pelaksana kebijakan dalam melaksanakan suatu kebijakan sangat dibutuhkan agar kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

  Adanya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) mengharuskan setiap daerah melakukan setiap unsur yang ada pada sistem pengendalian ini, dalam melaksanakan setiap unsur diperlukan koordinasi diantara para SATGAS selaku pembina, dan staff maupun pimpinan sebagai pelaksana sistem. Peneliti dapat mengambil kesimpulan dari hasil wawancara bahwa kemauan dan keinginan dan kecendrungan para pegawai dan pimpinan untuk melakukan tugas tanggung jawab sudah diatur dalam struktur organisasi juga wewenang dan tanggung jawab sudah jelas diatur, namun terdapat kendala yaitu belum adanya SOP untuk setiap staff namun dengan tupoksi dan SPM staff maupun pemimpin dapat melaksanakan tugasnya sehari-hari.

d) Struktur Birokrasi

  Struktur birokrasi mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi yang bersangkutan, dan standar prosedur operasi yang akan memudahkan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya. Untuk kelengkapan dan kemampuan struktur birokrasi pada sekertariat daerah sudah dapat memenuhi segala kebutuhan yang di perlukan setiap bagian dalam melayani setiap kebutuhan masyarakat daerah. Peneliti dapat mengambil kesimpulan dari wawancara yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa struktur birokrasi yang sudah disiapkan oleh pemerintah daerah dapat memberi pemahaman bagi pejabat struktural mengenai tanggung jawab pengendalian dan pengawasan yang mereka miliki juga struktur birokrasi yang pemerintah daerah miliki sudah mampu memberikan pelayanan dalam penyusunan regulasi baik dilingkungan sekretariat daerah maupun lingkungan SKPD.

  Sesuai wawancara tersebut dapat diketahui bahwa sejak diberlakukanya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) semua kegiatan di sekertariat dapat terkomunikasikan dengan lebih baik selain itu, penggelapan, pemborosan, penyalahgunaan, dan salah kelola dapat di hindari. Implikasi adanya Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mewajibkan pertanggungjawaban kegiatan bagi instansi pemerintah, kesekretariatan daerah wajib menerapkan setiap unsur dari sistem pengendalin dan memastikan bahwa sistem pengendalian sudah dirancang dan di implementasikan dengan baik. Namun untuk melakukan sistem ini pasti muncul kendala atau hambatan yang dapat mengurangi keterandalan sistem pengendalian ini. Kendala tersebut muncul dari berbagai aspek. Beberapa kendala yang dihadapi SATGAS SPIP dalam penerapan sistem pengendalian ini antara lain:

SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

  Akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawabaan yang dilaksanakan secara periodik. Dalam dunia birokrasi, akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Perlunya akuntabilitas semakin kuat dengan tingginya tuntutan untuk menciptakan suatu penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance) dalam hal ini Sekertariat Daerah Kabupaten Teminabuan menegakkan akuntabilitas sesuai dengan ketetapan MPR No

  XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, peraturan presiden Republik Indonesia No.29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, UU No. 28 tahun 1999 juga UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.

  Dalam konsekuensi dari perlunya penegakan akuntabilitas publik, maka diperlukan suatu sistem akuntabilitas publik yang didalamnya berisi pertanggung jawaban pemerintah dengan orientasi pada kinerja . Sistem ini nantinya berfungsi sebagaialat peningkatan kinerja instansi sektor publik. Pengukuran kinerja kegiatan yakni mengukur tingkat capaian kinerja kegiatan dimulai dengan menetapkan indikator kinerja kegiatan berdasarkan kelompok

  

inputs, outputs, outcomes, benefits, dan impacts merupakan rencana tingkat

  pencapaaian/target, mengetahui realisasi indikator kegiatan, menghitung rencana dan realisasi untuk mendapatkan prosentasenya.

  Peneliti mengambil laporan kinerja 2013 dan 2014 untuk menilai hasil dari sstem pengendalian internal yang di buat pada tahun 2013 untuk membuat kesimpulan hasil evaluasi peneliti menggunakan skala pengukuran kinerja. Skala pengukuran kinerja dibuat berdasarkan rata-rata realisasi yang telah tercapai selama satu tahun. Berdasarkan hasil analisa capaian kinerja diatas peneliti melihat adanya peningkatan kinerja dari aspek sumber daya karena semakin meningkatnya presentase keberhasilan yang diperoleh sekertariatan daerah, pada rentang tahun 2013 sampai 2014 ini terjadi peningkatan pada tahun 2014 disebabkan adanya perubahan anggaran yang berdampak pada capaian indikator kinerja juga sejak diadakan sistem pengendalian internal pada tahun 2013 terjadi kenaikan presentase keberhasilan kegiatan mencapai persentase 94,60%, hal ini disebabkan sekertariat lebih mempertegas dan mensinergikan program serta kegiatan yang menunjang untuk mewujudkan visi dan misi juga menambah serta memprioritaskan aggaran sekertariat daerah yang berbasis kinerja.

  Pada aspek sarana dan prasarana tahun 2013 realiasasi mencapai 100% yang sudah sesuai dengan target sekertariat daerah hal ini disebabkan pada tahun tersebut sekeratriatan daerah melakukan perencanaan kegiatan yang akurat dan berdasarkan data yang andal sehingga pelaksanaan kegiatan yang dilakukan pada tahun 2013 menghasilkan kinerja sesuai dengan target yang ditetapkan sekertariat daerah. Dan pada 2013 juga sekertariat daerah menyediakan dana sesuai dengan kebutuhan dalam rangka penyelesaian pekerjaan tersebut sehingga target realisasinya pun dapat tercapai dengan baik. Penurunan persentase keberhasilan yang diperoleh oleh sekeratriat daerah pada tahun 2014 disebabkan karena kesalahan dari penanggung jawab kegiatan dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) yang tidak mampu terlaksana dengan baik. Penetapan target kegiatan yang tidak realistis dan tidak pada kondisi yang sebenarnya, sehingga pelaksanaan kegiatan belum dapat tercapai dengan baik. Penetapan target kinerja yang realistis sangat penting karena akan sangat berpengaruh dengan tingkat pencapaian indikator kinerja yang ditetapkan.

  Tabel 3. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah aspek SDM, Sarana Prasarana Metode Kerja dan Keuangan tahun 2013-2014

  Aspek Tahun LAKIP Rata-rata realisasi Skala ordinal

  Sumber Daya 2013 74,32 Sangat Baik Manusia 2014 94,60

  Sarana dan 2013 100,00 Sangat Baik prasarana 2014 86,41

  Metode Kerja 2013 82,30 Cukup baik 2014 89,85 Keuangan 2013 90,65 Sangat baik 2014 100,00

  Sumber: Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) (2016)

  Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pencapaian kinerja pada aspek metode kerja sejak 2013 sampai 2014 selalu mengalami kenaikan dari 82,30% mencapai 89,85% disebabkan sekertariat daerah selalu berusaha melaksanakan program yang berkaitan dengan metode kerja dengan baik, karena metode kerja merupakan aspek yang penting untuk meningkatkan kinerja sekertariat daerah secara keseluruhan, dari peningkatan pelayanan kedinasan kepala daerah maupun wakil kepala daerah, program pengembangan kehumasan, sampai program peningkatan administrasi dan kapasitas pemerintahan kampung. menyandang predikat sangat baik pada tahun 2014 merupakan indikator sekertariat daerah cukup berhasil meningkatkan program yang berkaitan dengan metode kerja sekeratriat daerah.