BAB I PENDAHULUAN - Gambaran Pola Pertumbuhan Balita pada Keluarga Perokok dan Bukan Perokok di Kecamatan Berastagi Tahun 2014

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya pembangunan manusia seutuhnya, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah pembinaan kesehatan anak sejak dini. Upaya pembinaan kesehatan anak diarahkan pada pembinaan kelangsungan hidup, perkembangan, perlindungan dan partisipasi anak, dengan penekanan pada upaya perkembangan anak. Pembinaan tumbuh kembang balita dan anak prasekolah merupakan kegiatan balita yang sifatnya berkelanjutan (Depkes, 2005).

  Masa bayi dan balita adalah masa mereka mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan sangat penting, dimana nantinya merupakan landasan yang menentukan kualitas penerus generasi bangsa. Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal.

  Sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Nutrisiani, 2010). Masa kritis anak pada usia 6–24 bulan, karena kelompok umur merupakan saat periode pertumbuhan kritis dan kegagalan tumbuh (growth failure) mulai terlihat (Amin dkk, 2004).

  Gangguan pertumbuhan merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling banyak di temukan pada anak-anak di negara yang sedang berkembang (Hadi, 2004).

  Gangguan pertumbuhan anak di bawah lima tahun (Balita) merupakan indikator kemiskinan (Siswono, 2002). Dalam Millenium Development Goals (MDGs)2000, para pemimpin dunia sepakat bahwa proporsi anak balita kurang gizi atau anak dengan berat badan rendah merupakan salah satu indikator kemiskinan.

  Berdasarkan model yang telah dikaji UNICEF, bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung, yakni penyebab langsung yang mempengaruhi status gizi individu yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mempengaruhi. Sebagai contoh, bayi yang tidak mendapat ASI dan makanan pendamping ASI yang kurang tepat memiliki daya tahan yang rendah sehingga mudah terserang infeksi. Dan sebaliknya infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) mengakibatkan asupan zat gizi tidak dapt diserap tubuh dengan baik. Faktor penyebab tidak langsung adalah sanitasi dan penyediaan air bersih, kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok di dalam rumah, sirkulasi udara dan ventilasi pencahayaan sinar matahari langsung ke dalam rumah. Selanjutnya ketersediaan pangan, pelayanan kesehatan dan pola asuh dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan keluarga.(Dep.Kes RI,2011)

  Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dari sekitar 25 juta balita, sebanyak 4,6 juta diantaranya menderita gizi kurang dimana berat badannya tidak memenuhi berat badan normal menurut umurnya. Ditemukan pula sebanyak 3,4 juta balita tergolong kurus dimana berat badannya kurang proporsional dengan tinggi badannya. Pada saat ini angka nasional menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang sebesar 18,4% (Depkes RI, 2009).

  Kesehatan yang juga mengkhawatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya jumlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak. Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar resiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit angin apectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orangtuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya (Dachroni,2002).

  Penelitian terbaru Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di

  

University of Washington mengungkapkan bahwa jumlah pria perokok di Indonesia

  telah meningkat sebanyak dua kali lipat sejak 1980, dan prevalensi pria perokok di Indonesia tercatat sebagai kedua tertinggi di dunia (Kompas Health , Kamis 9/1/2014).

  Menurut penelitian ini, prevalensi kebiasaan merokok di Indonesia memperlihatkan kecenderungan peningkatan hingga 2012. Diperkirakan sebanyak 52 juta orang merokok di Indonesia.

  Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5%, pada kelompok umur 5-9 tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 70,5%. Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita disebabkan karena mereka masih tinggal serumah dengan orangtua ataupun saudaranya yang merokok dalam rumah.

  Telah banyak data menunjukkan bahwa penyebab utama dari kematian dan terhambatnya pertumbuhan anak merupakan kompleksitas hubungan timbal balik antara status gizi dan infeksi (Simanjuntak, 1999). Balita yang tinggal bersama anggota keluarga yang perokok lebih cenderung akan mudah untuk terkena penyakit

  ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal bersama keluarga bukan perokok. Dan ini sangat berpengaruh besar terhadap status gizi balita.

  Penyakit ISPA di Indonesia menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Penyakit tersebut juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA menyebutkan bahwa ISPA sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentasi 22,30% dari seluruh kematian balita (Depkes RI, 2008). Kematian balita karena ISPA secara nasional diperkirakan 6 orang per 1000 balita per tahun atau sekitar 150.000 balita pertahun. (DepKes RI, 2002).

  Berdasarkan hasil laporan Riskesdas 2010, ISPA menempati prevalensi tertinggi pada balita yaitu lebih 35%. Prevalensi ISPA juga cenderung terjadi lebih tinggi pada kelompok ibu dengan pendidikan dan tingkat pendapatan rumah tangga yang rendah. Dalam Riskesdas ini dikumpulkan data ISPA ringan dan pneumonia (Riskesdas, 2007).

  Resiko kematian populasi balita pada keluarga perokok berkisar antara 14% di perkotaan dan 24% di pedesaan atau 1 dari 5 kematian balita, berhubungan dengan perilaku merokok orang tua. Dengan angka kematian balita sebesar 162.000 per tahun

  (Unicef, 2006), maka konsumsi rokok pada keluarga miskin menyumbang 32.400 kematian setiap tahun atau hampir 90 kematian balita per hari.

  Di Indonesia usaha-usaha untuk menanggulangi perilaku merokok sebenarnya telah dilakukan, namun demikian hasilnya belum memuaskan. Hal ini terlihat dari masih tingginya jumlah orang yang berstatus perokok di Indonesia. Penelitian menyebutkan bahwa sebanyak 59,07% penduduk laki-laki usia 10 tahun ke atas di 14 provinsi di Indonesia berstatus perokok, sedangkan wanita sebanyak 4,83%. Profil kesehatan Depkes Provinsi Sumatera Utara (2008) menunjukkan sekitar 86,1% perokok merokok di dalam rumah. Anggota keluarga lain yang tinggal bersama dengan perokok akan terpapar dengan asap rokok tersebut. Keseluruhan perokok aktif yang merokok setiap hari dengan usia diatas 10 tahun di Sumatera Utara diperkirakan sekitar 23,3%.

  Berdasarkan penelitian Sudaryati (2013), proporsi rumah tangga perokok berdasarkan ketahanan keluarga sehat di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo, menunjukkan bahwa dari 120 rumah tangga perokok terdapat 75 (62,5%) rumah tangga yang baik dan 45 (37,55) rumah tangga yang kurang baik. Sedangkan faktor pangan yang meliputi ketersediaan pangan dan konsumsi pangan yang diteliti menunjukkan bahwa keluarga perokok yang mempunyai faktor pangan yang baik hanya ada pada 49 keluarga (40,8%), dan 71 keluarga (59,2%) berada dalam kategori faktor pangan kurang. Jika faktor pangan keluarga yang memiliki balita kurang maka akan menyebabkan pertumbuhan balita terhambat.

  Perilaku merokok kepala rumah tangga berhubungan secara bermakna dengan gizi buruk, yaitu prevalensi anak sangat kurus (1%), berat badan sangat rendah

  (6,3%) dan anak sangat pendek (7,0%). Studi sejenis pada 2000-2003 pada lebih dari 360.000 rumah tangga miskin di perkotaan dan perdesaan membuktikan kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang orang tuanya merokok daripada yang tidak merokok.

  Berdasarkan data Riskesdas (2008), proporsi perokok di Kabupaten Karo sebesar 40,2% yang merupakan kabupaten di Sumatera Utara dengan prevalensi perokok yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok di Tanah Karo masih cukup tinggi. Perilaku merokok masyarakat Karo tidak terlepas dari kebudayaan dan adat istiadat Suku Karo yang menjadikan rokok sebagai syarat mutlak dalam setiap acara kebudayaannya. Ini merupakan salah satu faktor penyebab tingginya kebiasaan merokok Suku Karo. Tingginya kebiasaan merokok dapat menggeser pengeluaran pangan, sehingga pada keluarga yang memiliki anggota kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, anak usia sekolah dapat mengalami risiko kekurangan pangan, serta dapat mempengaruhi pertumbuhan balita dikarenakan dana yang dialokasikan keluarga lebih besar untuk rokok dibandingkan asupan makanan bergizi untuk balitanya. Hal ini sangat mengkhawatirkan balita yang tinggal bersama keluarga perokok.

  Berdasarkan hasil dari survey penelitian, di Puskesmas Berastagi terdapat 2710 balita yang terbagi di 8 kelurahan, diantaranya masih terdapat 1 balita yang menderita gizi buruk dan 48 balita yang menderita gizi kurang.

  Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan membandingkan bagaimana pola pertumbuhan balita pada keluarga perokok dan bukan perokok di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

  1.2. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola pertumbuhan balita pada keluarga perokok dan bukan perokok di Kecamatan Berastagi.

  1.3. Tujuan Penelitian

  1.3.1. Tujuan Umum

  Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola pertumbuhan balita pada keluarga perokok dan bukan perokok di Kecamatan Berastagi.

  1.3.2. Tujuan Khusus

  Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui gambaran status kesehatan balita pada keluarga perokok dan bukan perokok.

  2. Mengetahui gambaran berat badan menurut umur balita pada keluarga perokok dan bukan keluarga perokok.

  3. Mengetahui gambaran tinggi badan menurut umur balita pada keluarga perokok dan bukan keluarga perokok.

  4. Mengetahui gambaran berat badan menurut tinggi badan balita pada keluarga perokok dan bukan keluarga perokok.

1.4. Manfaat Penelitian

  Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan di kecamatan Berastagi.

  2. Memberikan masukan atau sumber data bagi aparat pemerintah dan puskesmas kecamatan Berastagi agar dapat mengambil langkah tindak lanjut untuk memperbaiki dan meningkatkan pola pertumbuhan anak balita yang ada di daerah tersebut.