Gambaran Pola Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi

(1)

DI KECAMATAN BERASTAGI

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh:

Afriani Christina KS 101000060

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

kualitas pangan yang dikonsumsi oleh keluarga tersebut. Bahaya dari asap rokok dapat menurunkan nafsu makan, pengeluaran pangan, status gizi keluarga, dan menyebabkan penyakit.

Penelitian ini merupakan penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui gambaran pola konsumsi pangan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki satu atau lebih anggota keluarga yang merokok yang mempunyai balita atau ibu hamil di Kecamatan Berastagi yaitu sebanyak 2410 keluarga. Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih menggunakan metode cluster, sebanyak 100 keluarga. Pengumpulan data primer menggunakan alat bantu formulirFood ListdanFood Frequency.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya keluarga perokok tidak mengonsumsi pangan yang beragam yang sesuai dengan susunan pangan dalam Pola Pangan Harapan. Konsumsi energi keluarga perokok rendah dilihat dari 100 keluarga hanya 34,0% yang cukup (≥AKERK) sedangkan 66,0% tidak cukup (<AKERK). Konsumsi protein 78,0% yang cukup (≥AKRPK) sedangkan 28,0% tidak cukup

(<AKRPK). Frekuensi makan keluarga perokok didominasi oleh padi-padian sedangkan kelompok pangan yang lain jarang dikonsumsi. Rata-rata skor PPH penduduk khususnya keluarga perokok untuk Kecamatan Berastagi masih rendah yaitu 61,15. Dan 3,0% dari 100 keluarga yang skor PPH-nya berada pada kategori segitiga emas (>87).

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan terjalinnya kerjasama lintas sektor untuk memberikan penyuluhan gizi, kesehatan, dan bahaya merokok bagi masyarakat untuk meningkatkan konsumsi pangan bergizi dan berimbang. Kepada masyarakat agar memanfaatkan lahan untuk persediaan bahan pangan keluarga.


(4)

Smoking habits in the family can affect the quantity and quality of food consumed by the family. Dangers of cigarette smoke can reduce appetite, food expenditure, nutritional status families, and cause disease.

This study is a descriptive survey with the aim to reveal the pattern of food consumption with Desirable Dietary Pattern (DDP) approach in smoking households in Berastagi District. The population in this study is the entire family that has one or more family members who smoke and have toddlers or pregnant women in Berastagi District that is 2410 families. The sample is a portion of the population which selected by using the cluster method, that is 100 families. Primary data collection use Food List and Food Frequency form.

The results show that mostly smokers families do not consume appropriate food in accordance with the food classification in Desirable Dietary Pattern (DDP). Low energy consumption of smokers families can see from 100 families only 34,0% consume adequate energy (≥AKERK), whereas for 66,0% is inadequate (<AKERK). And for protein, it’s only 78,0% consume adequate protein (≥ AKRPK), whereas for 28,0% is inadequate (<AKRPK). Food frequency of family smokers dominated by grain food groups while others rarely consumed. Average DDP scores of smokers families for Berastagi District is low, that is 61,15. Only 3,0% of 100 families is categorized high named golden triangle (≥87).

Based on this research, it is expected to have good cooperation in cross sectors to provide nutrition counseling, health, and the dangers of smoking for people to increase consumption of nutritious and balanced food. The public to use their own bare land for family food supplies.


(5)

Nama : Afriani Christina KS Tempat/Tanggal Lahir : Ajibuhara, 14 April 1992

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Kawin

Jumlah Anggota Keluarga : Anak ke 2 dari 3 bersaudara

Alamat Rumah : Desa Bertah Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1999-2005 : SD INPRES 044852 Bukit 2. Tahun 2005-2007 : SMP Maria Goretti Kabanjahe 3. Tahun 2007-2010 : SMA Negeri 2 Kabanjahe

4. Tahun 2010-2014 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan


(6)

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat mengikuti pendidikan mulai dari perkuliahan hingga selesainya skripsi

yang berjudul “Gambaran Pola Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan

Harapan Pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi” ini.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Untuk itu, penulis mengharapkan masukan dari berbagai pihak yang sifatnya membangun demi memperkaya materi skripsi ini.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda Salim Karo Sekali dan Ibunda Ingan Malem Depari yang telah membesarkan penulis dengan pengorbanan yang tidak ternilai dengan materi, penuh tanggung jawab, dan hati yang ikhlas serta memberikan perhatian, dorongan, dan doa yang tiada henti-hentinya.

Dengan selesainya skripsi ini, selain atas upaya penulis sendiri, juga tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Ir. Etti Sudaryati, M.K.M, Ph.D dan Ibu Dr. Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Selanjutnya tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara;


(7)

3. Ibu drh. Hiswani, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik;

4. Bapak dr. Mhd. Arifin Siregar, MS dan Ibu Fitri Ardiani, SKM, MPH selaku komisi penguji yang banyak memberi bimbingan penulisan;

5. Seluruh dosen dan staf FKM-USU khususnya kepada Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, seluruh dosen dan Bapak Marihot sebagai staf yang telah banyak memberikan bimbingan dan membantu penulis selama proses pengerjaan skripsi ini;

6. Camat Kecamatan Berastagi Bapak Drs. Edison Karo-Karo, M.Si yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian tersebut;

7. Abang dan Adikku terkasih Desem Karo Sekali dan Julpianus Karo Sekali yang telah mendukung baik lewat materi, perhatian, dan doanya;

8. My Sweet Darling Ananias Ginting untuk perhatian dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis;

9. Sahabat-sahabat Yamat (Lidya Situmorang, Fransiska Simbolon, Tresa Damanik, Fidrin Sipayung, Lestari Sinaga, Deby Sirait, Elfrida Sirait, Putri Damanik, Olivia Turnip, Kristina Siahaan, Widia, dan Lia Silalahi) untuk dukungan dan kebersamaannya;

10. KK Filadelfia (Kak Donna, Kak Purnama, Kak Stiphany, Susianita, Tresa, Erika dan Fransiska) untuk dukungan doa dan kebersamaannya;


(8)

Imaniar, Ria Sutiani, Tia, Pipit, Silvina, Arsika, Lispa, Kak Dwinta, Kak Maria, dan seluruh mahasiswa HMP Gizi) untuk kebersamaan dan semangat juangnya; 13. Semua Sahabat di Lingkungan FKM-USU terima kasih atas motivasi dan

doanya; dan

14. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu saya ucapkan terima kasih.

Akhir kata semoga Tuhan Yesus senantiasa melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Juli 2014


(9)

HALAMAN PENGESAHAN... i

ABSTRAK ... ii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian... 8

1.3.1 Tujuan Umum... 8

1.3.2 Tujuan Khusus... 8

1.4 Manfaat Penelitian... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsumsi Pangan ... 10

2.1.1 Pemantauan Konsumsi Pangan... 12

2.2 Pola Konsumsi Pangan ... 13

2.3 Pola Pangan Harapan... 16

2.3.1 Penilaian Situasi Konsumsi Pangan Berdasarkan ... PPH ... 20

2.3.1.1 Kecukupan Energi Rata-Rata Keluarga ... 21

2.3.1.2 Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga ... 22

2.3.2 Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan... 24

2.4 Keluarga Perokok ... 24

2.4.1 Karateristik Keluarga Perokok ... 26

2.5 Kerangka Konsep ... 29

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 31

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.3 Populasi dan Sampel... 31

3.3.1 Populasi ... 31

3.3.2 Sampel ... 32

3.4 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 34

3.4.1 Jenis Data... 34

3.4.2 Cara Pengumpulan Data ... 34

3.5 Definisi Operasional ... 35


(10)

4.1 Gambaran Umum daerah penelitian ... 41

4.1.1 Geografi ... 41

4.1.2 Demografi... 41

4.2 Gambaran Umum Keluarga Perokok ... 42

4.2.1 Karateristik Kepala Keluarga ... 42

4.2.2 Karateristik Responden ... 44

4.2.3 Karateristik Keluarga Perokok ... 46

A. Jumlah Anggota Keluarga... 46

B. Jumlah Balita ... 46

C. Jumlah Ibu Hamil ... 47

D. Jumlah Balita dan Ibu Hamil... 47

E. Pendapatan Keluarga ... 48

F. Pengeluaran Pangan Keluarga ... 48

G. Pengeluaran Non Pangan ... 49

H. Pengeluaran Rokok Keluarga... 50

I. Jumlah Perokok ... 50

J. Lama Merokok ... 51

K. Jumlah Rokok... 51

4.3 Jenis Pangan yang Dikonsumsi Keluarga Perokok ... 52

4.4 Jumlah Pangan yang Dikonsumsi Keluarga Perokok... 53

4.4.1 Konsumsi Energi Keluarga Perokok ... 53

A. Karateristik Keluarga Perokok Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi ... 54

4.4.2 Konsumsi Protein Keluarga Perokok ... 55

A. Karateristik Keluarga Perokok Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi ... 57

4.5 Frekuensi Makan ... 58

4.6 Skor Pola Pangan Harapan ... 64

4.6.1 Karateristik Keluarga Berdasarkan Skor PPH... 64

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Pola Konsumsi Pangan ... 66

5.1.1 Jenis Pangan ... 66

5.1.2 Jumlah Pangan... 68

A. Konsumsi Energi dan Protein... 68

5.1.3 Frekuensi Makan ... 71

5.2 Skor Pola Pangan Harapan ... 75

5.3 Menurunkan Pengeluaran Rokok Keluarga... 76

5.4 Pangan Beragam, Bergizi, dan Berimbang... 78

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan... 80


(11)

(12)

Tabel 2.1 Kriteria Pemberian Bobot Untuk Setiap Kelompok Pangan ... 18 Tabel 2.2 Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) ... 18 Tabel 2.3 Faktor Unit Konsumen Energi (UE) Menurut Jenis Kelamin

dan Kelompok Umur ... 22 Tabel2.4 Faktor Unit Konsumen Protein (UP) Menurut Jenis Kelamin

dan Kelompok Umur ... 23 Tabel 4.1 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan

Berastagi... 42 Tabel 4.2 Distribusi Penduduk Berdasarkan Lapangan Pekerjaan di

Kecamatan Berastagi... 42 Tabel 4.3 Karateristik Kepala Keluarga Pada Keluarga Perokok di

Kecamatan Berastagi... 43 Tabel 4.4 Karateristik Responden Pada Keluarga Perokok di Kecamatan

Berastagi... 45 Tabel 4.5 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Jumlah Anggota

Keluarga di Kecamatan Berastagi ... 46 Tabel 4.6 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Jumlah Balita di

Kecamatan Berastagi... 46 Tabel 4.7 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Jumlah Ibu Hamil di

Kecamatan Berastagi... 47 Tabel 4.8 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Jumlah Balita dan Ibu

Hamil di Kecamatan Berastagi... 48 Tabel 4.9 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Pendapatan di

Kecamatan Berastagi... 48 Tabel 4.10 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Pengeluaran Pangan

di Kecamatan Berastagi... 49 Tabel 4.11 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Pengeluaran Non

Pangan di Kecamatan Berastagi ... 49 Tabel 4.12 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Pengeluaran Rokok

di Kecamatan Berastagi... 50 Tabel 4.13 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Jumlah Anggota

Keluarga yang Merokok di Kecamatan Berastagi... 50 Tabel 4.14 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Lama Merokok

Anggota Keluarga yang Merokok di Kecamatan Berastagi... 51 Tabel 4.15 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Jumlah Rokok yang

Dikonsumsi Oleh Anggota Keluarga yang Merokok di

Kecamatan Berastagi... 51 Tabel 4.16 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Jenis Pangan yang

Dikonsumsi Oleh Keluarga di Kecamatan Berastagi ... 52 Tabel 4.17 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Konsumsi Energi/


(13)

Konsumsi Energi Keluarga di Kecamatan Berastagi ... 55 Tabel 4.20 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Konsumsi Protein/

Keluarga /Hari di Kecamatan Berastagi... 55 Tabel 4.21 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Konsumsi Protein/

Keluarga /Hari di Kecamatan Berastagi... 56 Tabel 4.22 Distribusi Karateristik Keluarga Perokok Berdasarkan Tingkat

Konsumsi Protein Keluarga di Kecamatan Berastagi ... 57 Tabel 4.23 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Frekuensi Makan

Kelompok Pangan Padi-padian yang Dikonsumsi Oleh Keluarga

di Kecamatan Berastagi... 58 Tabel 4.24 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Frekuensi Makan

Kelompok Pangan Umbi-umbian yang Dikonsumsi Oleh Keluarga di Kecamatan Berastagi... 59 Tabel 4.25 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Frekuensi Makan

Kelompok Pangan Pangan Hewani yang Dikonsumsi Oleh Keluarga di Kecamatan Berastagi... 60 Tabel 4.26 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Frekuensi Makan

Kelompok Pangan Kacang-kacangan yang Dikonsumsi Oleh

Keluarga di Kecamatan Berastagi ... 61 Tabel 4.27 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Frekuensi Makan

Kelompok Pangan Minyak dan Lemak yang Dikonsumsi di

Oleh Keluarga Kecamatan Berastagi ... 61 Tabel 4.28 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Frekuensi Makan

Kelompok Pangan Buah/Biji Berminyak yang Dikonsumsi

Oleh Keluarga di Kecamatan Berastagi ... 62 Tabel 4.29 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Frekuensi Makan

Kelompok Pangan Gula yang Dikonsumsi Oleh Keluarga di

Kecamatan Berastagi... 62 Tabel 4.30 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Frekuensi Makan

Kelompok Pangan Sayur dan Buah yang Dikonsumsi Oleh

Keluarga di Kecamatan Berastagi ... 63 Tabel 4.31 Distribusi Keluarga Perokok Berdasarkan Hasil Perhitungan Skor

Pola Pangan Harapan (PPH) di Kecamatan Berastagi ... 64 Tabel 4.32 Hubungan Karateristik Keluarga Perokok dengan Skor PPH


(14)

Lampiran I : Kuesioner Penelitian

Lampiran II : Daftar Susunan Anggota Rumah Tangga Lampiran III : Lembar FormulirFood List Method

Lampiran IV : Lembar FormulirFood Frequency

Lampiran V : Surat Izin Penelitian Lampiran VI : Surat Bukti Penelitian Lampiran VII : Master Data

Lampiran VIII : Output Pengolahan Data Lampiran IX : Dokumentasi


(15)

kualitas pangan yang dikonsumsi oleh keluarga tersebut. Bahaya dari asap rokok dapat menurunkan nafsu makan, pengeluaran pangan, status gizi keluarga, dan menyebabkan penyakit.

Penelitian ini merupakan penelitian survei yang bersifat deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui gambaran pola konsumsi pangan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki satu atau lebih anggota keluarga yang merokok yang mempunyai balita atau ibu hamil di Kecamatan Berastagi yaitu sebanyak 2410 keluarga. Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih menggunakan metode cluster, sebanyak 100 keluarga. Pengumpulan data primer menggunakan alat bantu formulirFood ListdanFood Frequency.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya keluarga perokok tidak mengonsumsi pangan yang beragam yang sesuai dengan susunan pangan dalam Pola Pangan Harapan. Konsumsi energi keluarga perokok rendah dilihat dari 100 keluarga hanya 34,0% yang cukup (≥AKERK) sedangkan 66,0% tidak cukup (<AKERK). Konsumsi protein 78,0% yang cukup (≥AKRPK) sedangkan 28,0% tidak cukup

(<AKRPK). Frekuensi makan keluarga perokok didominasi oleh padi-padian sedangkan kelompok pangan yang lain jarang dikonsumsi. Rata-rata skor PPH penduduk khususnya keluarga perokok untuk Kecamatan Berastagi masih rendah yaitu 61,15. Dan 3,0% dari 100 keluarga yang skor PPH-nya berada pada kategori segitiga emas (>87).

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan terjalinnya kerjasama lintas sektor untuk memberikan penyuluhan gizi, kesehatan, dan bahaya merokok bagi masyarakat untuk meningkatkan konsumsi pangan bergizi dan berimbang. Kepada masyarakat agar memanfaatkan lahan untuk persediaan bahan pangan keluarga.


(16)

Smoking habits in the family can affect the quantity and quality of food consumed by the family. Dangers of cigarette smoke can reduce appetite, food expenditure, nutritional status families, and cause disease.

This study is a descriptive survey with the aim to reveal the pattern of food consumption with Desirable Dietary Pattern (DDP) approach in smoking households in Berastagi District. The population in this study is the entire family that has one or more family members who smoke and have toddlers or pregnant women in Berastagi District that is 2410 families. The sample is a portion of the population which selected by using the cluster method, that is 100 families. Primary data collection use Food List and Food Frequency form.

The results show that mostly smokers families do not consume appropriate food in accordance with the food classification in Desirable Dietary Pattern (DDP). Low energy consumption of smokers families can see from 100 families only 34,0% consume adequate energy (≥AKERK), whereas for 66,0% is inadequate (<AKERK). And for protein, it’s only 78,0% consume adequate protein (≥ AKRPK), whereas for 28,0% is inadequate (<AKRPK). Food frequency of family smokers dominated by grain food groups while others rarely consumed. Average DDP scores of smokers families for Berastagi District is low, that is 61,15. Only 3,0% of 100 families is categorized high named golden triangle (≥87).

Based on this research, it is expected to have good cooperation in cross sectors to provide nutrition counseling, health, and the dangers of smoking for people to increase consumption of nutritious and balanced food. The public to use their own bare land for family food supplies.


(17)

1.1 Latar Belakang

Sasaran pembangunan pangan dalam GBHN 1999 adalah terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan negara sampai kepada perseorangan dengan tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau untuk dapat hidup aktif, sehat, dan produktif tanpa adanya pertentangan dengan keyakinan atau kepercayaan masyarakat.

Secara umum pilar ketahanan pangan dalam suatu wilayah terdiri dari 3 (tiga) pilar utama, meliputi: 1) ketersediaan pangan, 2) distribusi pangan, dan 3) konsumsi pangan. Ketersediaan pangan secara makro (tingkat wilayah) dipengaruhi oleh tinggi rendahnya produksi dan distribusi pangan pada daerah tersebut. Sedangkan secara mikro (tingkat rumah tangga) lebih dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga memproduksi pangan, daya beli, dan pemberian. Konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap status gizi. Terkait dengan hal tersebut, permasalahan yang sering dihadapi di dalam suatu negara tidak hanya mencakup ketidakseimbangan komposisi pangan yang dikonsumsi penduduk, tetapi juga mencakup masalah belum terpenuhinya kecukupan gizi (Baliwati, 2004).


(18)

berlangsung pada masa janin sampai lahir. Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan. Keadaan gizi ibu hamil dipengaruhi oleh ketidakseimbangan asupan zat gizi, pernah tidaknya menderita penyakit infeksi, dan keadaan sosial ekonomi (Arisman, 2004 dalam Simarmata, 2008).

Ibu hamil memerlukan tambahan zat gizi untuk pertumbuhan janin, placenta, dan organ/jaringan lainnya. Setiap ibu hamil memerlukan tambahan energi rata-rata 200 kkal per hari. Kurang energi dan protein pada masa kehamilan akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Kondisi ini akan mengakibatkan gangguan pada perkembangan mental dan kemampuan motorik anak. Banyak penelitian telah menunjukkan kaitan BBLR tidak hanya sebatas status gizi kurang semata, namun juga berhubungan dengan meningkatnya risiko terkena penyakit non-infeksi atau degeneratif (Khumaidi, 1994).

Balita yang mengalami KEP (kurang energi protein) mempunyai IQ lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami KEP. Anak yang mengalami anemia memiliki IQ lebih rendah 5-10 skor dibandingkan dengan yang tidak anemia. Anak yang mengalami gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) memiliki IQ lebih rendah 50 skor dibandingkan dengan yang tidak GAKI. Hal inilah

yang berujung kepada “the lost generation”,yaitu suatu generasi dengan jutaan anak kekurangan gizi sehingga tingkat kecerdasan (IQ) suatu bangsa akan menurun (Baliwati, 2004).

Terpenuhinya kecukupan energi dan protein keluarga sangat bergantung pada konsumsi pangan keluarga tersebut. Konsumsi pangan yang beragam, bergizi, dan berimbang merupakan standar untuk dapat memenuhi kecukupan gizi suatu bangsa.


(19)

Berbagai studi menunjukkan bahwa selain dapat memenuhi kecukupan gizi, konsumsi pangan beragam dapat meningkatkan konsumsi berbagai antioksidan dari pangan, konsumsi serat, dan menurunkan berbagai risiko penyakit. Penganekaragaman pangan berarti mengonsumsi aneka ragam pangan dari berbagai jenis pangan, baik pangan pokok, lauk-pauk, sayuran, maupun buah-buahan. Penganekaragaman pangan bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi pangan dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan yang dominan pada salah satu jenis pangan saja (Hardinsyah, 1996 dalam Baliwati, 2004).

Konsumsi zat gizi sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan atau dapat disebut dengan kebiasaan makan. Pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang, kelompok, atau masyarakat dalam jangka waktu tertentu. Pola konsumsi pangan yang terdapat di dalam masyarakat saat ini merupakan cara atau kebiasaan makan masyarakat setempat yang terjadi dan berulang-ulang dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Pola konsumsi pangan setiap daerah berbeda-beda, bergantung pada karateristik masing-masing daerah. Pola konsumsi pangan masyarakat dapat menunjukkan tingkat keberagaman pangan yang dikonsumsi masyarakat tersebut (Suhardjo, 1986).

Menurut BKP (2013), penilaian pola konsumsi pangan terdiri dari dua aspek penilaian. Yang pertama, aspek kuantitas konsumsi yang dinilai dari angka kecukupan gizi dengan parameter tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein. Yang kedua, aspek kualitas konsumsi yang lebih ditekankan pada penganekaragaman pangan. Keanekaragaman pangan dinilai dengan menggunakan


(20)

pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH menunjukkan konsumsi pangan semakin beragam dan berimbang.

Pola Pangan Harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan yang dianjurkan yang didasarkan atas sumbangan energi dari kelompok pangan utama baik dalam hal ketersediaan maupun konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan dilihat dari aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, dan cita rasa (Depkes RI). Menurut FAO-RAPA, PPH adalah komposisi kelompok pangan yang apabila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Dimana skor PPH tersebut mencerminkan situasi pangan di suatu wilayah, yang dapat memberi gambaran mengenai kualitas pangan yang tersedia maupun yang dikonsumsi. Melalui pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH), mutu atau kualitas pangan dapat dinilai berdasarkan skor pangan yang terdapat dari sembilan (9) jenis bahan makanan (BKP, 2013).

Skor PPH untuk provinsi Sumatera Utara dari tahun 2002 sampai tahun 2010 cenderung tidak stabil. Pada tahun 2002 skor PPH sebesar 72,8 dan mengalami kenaikan menjadi 76,9 pada tahun 2005. Kemudian pada tahun 2008 skor PPH mengalami kenaikan menjadi 79,4 dan mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 74,5. Pada tahun 2010 skor PPH provinsi Sumatera Utara sebesar 78,8. Ini berarti skor PPH untuk provinsi Sumatera Utara masih jauh dari target yakni sebesar 95 pada tahun 2015. Namun, dari perhitungan BKP Sumut, skor PPH untuk provinsi Sumatera Utara mengalami kenaikan pada tahun 2012 sebesar 84,2 dengan realisasi


(21)

Ketahanan pangan tingkat rumah tangga atau keluarga saat ini masih menghadapi tantangan, hal ini dapat dilihat dari masalah konsumsi pangan yang kurang beragam dan ditambah pula dengan perilaku anggota keluarga yang buruk yang berdampak pada kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dalam keluarga. Salah satu diantaranya ialah kebiasaan merokok yang pada umumnya dijumpai pada kepala keluarga.

Merokok merupakan kebiasaan atau pola hidup yang tidak sehat yang akan berdampak pada status kesehatan keluarga perokok tersebut. Karena bahaya yang ditimbulkan oleh asap rokok bukan pada si perokok saja namun juga pada anggota keluarganya yang terpapar asap rokok tersebut, khususnya bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok rawan seperti balita. Padahal dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak bahwa pemerintah, lembaga-lembaga negara, masyarakat, dan orang tua mempunyai kewajiban untuk melindungi anak agar tetap hidup, tumbuh, dan berkembang, terlindungi serta aktif berpartisipasi (Sitepu, 2012).

Di Indonesia usaha-usaha untuk menanggulangi perilaku merokok sebenarnya telah dilakukan, namun demikian hasilnya belum memuaskan. Hal ini terlihat dari masih tingginya jumlah orang yang berstatus perokok di Indonesia. Penelitian menyebutkan bahwa sebanyak 59,07% penduduk laki-laki usia 10 tahun ke atas di 14 provinsi di Indonesia berstatus perokok, sedangkan wanita sebanyak 4,83%. Profil kesehatan Depkes Provinsi Sumatera Utara (2008) menunjukkan sekitar 86,1% perokok merokok di dalam rumah. Anggota keluarga lain yang tinggal bersama


(22)

yang merokok setiap hari dengan usia diatas 10 tahun di Sumatera Utara diperkirakan sekitar 23,3%.

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2008, proporsi perokok di Kabupaten Karo sebesar 40,2% dan merupakan kabupaten di Sumatera Utara dengan prevalensi perokok yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan merokok di Tanah Karo masih cukup tinggi. Perilaku merokok masyarakat Karo tidak terlepas dari kebudayaan dan adat istiadat Suku Karo yang menjadikan rokok sebagai syarat mutlak dalam setiap acara kebudayaannya. Ini merupakan salah satu faktor penyebab tingginya kebiasaan merokok Suku Karo. Tingginya kebiasaan merokok dapat menggeser pengeluaran pangan, sehingga pada keluarga yang memiliki anggota kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, anak usia sekolah dapat mengalami risiko kekurangan pangan (Balitbangkes Kemenkes RI, 2008).

Sudaryati (2013), melakukan penelitian untuk melihat ketahanan keluarga sehat pada rumah tangga perokok di Kecamatan Berastagi. Salah satunya yaitu faktor pangan yang dilihat dari ketersediaan pangan, tingkat konsumsi energi, dan tingkat konsumsi protein. Berdasarkan ketahanan keluarga sehat dari 120 rumah tangga perokok yang diteliti terdapat 75 (62,5%) rumah tangga yang baik dan 45 (37,55%) rumah tangga yang kurang baik. Sedangkan faktor pangan yang diteliti menunjukkan bahwa keluarga perokok yang mempunyai faktor pangan yang baik hanya ada pada 49 keluarga (40,8%), dan 71 keluarga (59,2%) berada dalam kategori faktor pangan kurang.

Ketersediaan pangan pada keluarga perokok yang diteliti menunjukkan bahwa tidak dijumpai keluarga dengan kategori rawan kelaparan tingkat sedang dan berat,


(23)

tetapi hanya dijumpai keluarga yang rawan kelaparan tingkat ringan sebanyak 41 (34,2%) keluarga dan 79 (65,8%) mempunyai ketersediaan pangan yang terjamin. Sedangkan untuk tingkat konsumsi energi dan protein keluarga sebagian besar defisit yaitu kurang dari 75% dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Keluarga yang defisit konsumsi energi dijumpai pada 42 (35%) keluarga, sedangkan keluarga yang defisit konsumsi protein dijumpai pada 48 (40%) keluarga. Konsumsi yang kurang dalam keluarga ini disebabkan oleh ketersediaan pangan yang kurang dan daya beli yang rendah.

Penelitian Saliem dan Ariningsih (2008) dalam Sudaryati (2013) menunjukkan bahwa pengeluaran rokok pada rumah tangga rawan pangan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga tahan pangan. Pengeluaran masyarakat untuk rokok yang cukup besar sebenarnya mempunyai opportunity cost yang dapat digunakan untuk membeli kebutuhan yang lebih esensial seperti makanan bergizi untuk keluarganya. Kebiasaan merokok akan memengaruhi kuantitas maupun kualitas pangan yang dikonsumsi oleh keluarga perokok tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2002), menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat Kabupaten Karo belum berimbang yang kemudian menyebabkan skor mutu dan keanekaragaman pangan yang masih rendah yang ditunjukkan oleh skor PPH 63,21 masih jauh dari skor PPH ideal yakni 100. Kecamatan Berastagi merupakan salah satu Kecamatan yang berada di Kabupaten Karo dan termasuk salah satu kecamatan dengan jumlah penduduk paling banyak. Sebagian besar penduduknya merupakan Suku Karo dan perilaku merokok sudah


(24)

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pola konsumsi pangan keluarga dilihat dari jenis pangan, jumlah pangan, dan frekuensi makan beserta skor Pola Pangan Harapan keluarga perokok di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola konsumsi pangan keluarga berdasarkan pola pangan harapan pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan pola konsumsi pangan dengan pendekatan pola pangan harapan pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui jenis pangan yang dikonsumsi keluarga perokok.

2. Untuk mengetahui jumlah pangan yang dikonsumsi keluarga perokok (tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein keluarga).

3. Untuk mengetahui frekuensi makan setiap kelompok pangan yang dikonsumsi keluarga perokok.

4. Untuk mengetahui skor mutu Pola Pangan Harapan (PPH) pada keluarga perokok.


(25)

1.4 Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan pola konsumsi pangan di Kecamatan Berastagi bagi pemerintah atau instansi terkait. 2. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi program pemerintah guna

meningkatkan kesejahteraan masyarakat Tanah Karo, khususnya Kecamatan Berastagi dalam hal ketahanan pangan keluarga.

3. Dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi terhadap program pangan dan gizi yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat.


(26)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsumsi Pangan

Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi seseorang, kelompok, atau penduduk untuk memenuhi kebutuhan gizinya (BKP, 2013). Menurut Suhardjo dalam Yudaningrum (2011), konsumsi pangan merupakan salah satu komponen dalam sistem pangan dan gizi. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup dan seimbang menjadi syarat bagi perkembangan organ fisik manusia sejak dalam kandungan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap perkembangan intelegensia maupun kemampuan fisiknya. Karena itu kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh keadaan status gizinya.

Konsumsi pangan secara langsung berpengaruh terhadap status gizi, disamping kemampuan tubuh dalam absorbsi dan menggunakan zat gizi tersebut. Kebutuhan gizi setiap orang berbeda, tergantung dari umur, jenis kelamin, tingkat aktivitas (ringan, sedang, dan berat), dan keadaan fisiologis tubuh. Setiap orang perlu mengonsumsi zat gizi sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan standar gizi yang telah ditentukan yang disebut sebagai Angka Kecukupan Gizi. Rata-rata kebutuhan konsumsi pangan seseorang untuk hidup sehat yaitu 2000 kkal/kap/hari untuk energi dan 52 gram/kap/hari untuk protein (Sibuea, 2012).

Konsumsi pangan yang berlebihan akan mengakibatkan seseorang mengalami gizi lebih dan sebaliknya jika konsumsi pangan yang kurang dari kebutuhan dalam jangka waktu tertentu maka akan menyebabkan gizi kurang atau gizi buruk. Kejadian gizi kurang dan gizi buruk yang kebanyakan terjadi di usia balita (0-5 tahun) akan berdampak buruk bagi masa depan anak, sebab


(27)

kekurangan gizi akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut. Demikian pula jika gizi lebih terjadi pada usia balita, remaja, ataupun dewasa akan meningkatkan prevalensi kejadian penyakit degenaratif (Suhardjo, 1986).

Menurut Baliwati (2004), konsumsi pangan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan individu secara biologis, psikologis, maupun sosial. Kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, atau suatu bangsa/negara berpengaruh kuat dan kekal terhadap apapun dan bagaimana penduduk makan. Pola kebudayaan memengaruhi seseorang dalam memilih pangan, jenis pangan yang diproduksi, cara pengolahannya, penyaluran, penyiapan, dan penyajian.

Jumlah pangan, jenis pangan, dan banyaknya bahan pangan dalam suatu pola makanan yang ada disuatu daerah tertentu, biasanya berkembang dari pangan setempat atau hasil produksi setempat dalam jangka waktu yang cukup lama. Pangan pokok yang digunakan oleh suatu negara atau daerah biasanya menempati kedudukan yang tinggi. Penggunaan pangan tersebut lebih luas dari pada pangan yang lainnya, besar kemungkinannya berkembang karena merupakan hasil dari produksi setempat atau setelah dibawa ke tempat tersebut tumbuh dengan cepat. Selain itu, tamanan tersebut menghasilkan pangan dalam jumlah besar selama musim tanam yang panjang dan dapat disimpan dengan mudah dalam jangka waktu yang panjang.

Konsumsi zat gizi sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi pangan atau dapat disebut kebiasaan makan. Kebiasaan makan di setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan penduduk setempat. Cara atau kebiasaan makan yang


(28)

salah dapat berpengaruh negatif terhadap tingkat pertumbuhan yang pada akhirnya menyebabkan gangguan gizi dan menurunnya produktifitas kerja (Badan Bimas Ketahanan Pangan dalam Rosida, 2011).

2.1.1 Pemantauan Konsumsi Pangan

Pemantauan konsumsi pangan penduduk pertama kali dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan pada tahun 1995 yang dikenal dengan Survei Konsumsi Gizi. Survei tersebut dilakukan secara periodik untuk kepentingan pelaksanaan program perbaikan gizi sampai tingkat kabupaten/kotamadya, sehingga informasi konsumsi dapat dipantau secara berkesinambungan (Depkes, 1999 dalam Sembiring, 2002).

Secara khusus survei konsumsi gizi bertujuan untuk: 1) diperolehnya gambaran tingkat konsumsi khususnya energi dan protein di tingkat kecamatan, 2) tersedianya informasi perubahan tingkat konsumsi gizi di tingkat kecamatan yang diperlukan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, 3) tersedianya informasi skor mutu konsumsi pangan penduduk dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (Aritonang, 2000 dalam Sembiring, 2002).

Menurut Depkes (1999) dalam Sembiring (2002), informasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk perencanaan dan evaluasi program pangan dan perbaikan gizi oleh tingkat kabupaten maupun provinsi. Tersedianya informasi mengenai tingkat konsumsi pangan dan skor PPH bermanfaat bagi tingkat kabupaten/kotamadya untuk mengetahui besar dan luasnya masalah konsumsi pangan di kecamatan dan kelompok desa serta melihat perkembangan dan keragaman konsumsi pangan.

Tersedianya informasi mengenai distribusi kabupaten menurut tingkat konsumsi gizi dan skor PPH di tingkat provinsi digunakan sebagai perbandingan


(29)

antar kabupaten/kotamadya. Informasi mengenai perkembangan tingkat konsumsi pangan dan skor PPH setiap tahunnya dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan yang terjadi apakah mengalami peningkatan atau penurunan, serta kesesuaian dengan AKG maupun skor PPH.

2.2 Pola Konsumsi Pangan

Menurut Departemen Pertanian (2005) dalam Arbaiyah (2013), pola konsumsi pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum seseorang atau sekelompok orang atau penduduk dalam rangka memenuhi kebutuhan hayati. Sedangkan menurut Suhardjo (1986), pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah pangan rata-rata perorang perhari yang umum dikonsumsi penduduk dalam jangka waktu tertentu.

Menurut BKP (2005) dalam Rosida (2011), jenis pangan atau kelompok pangan dalam Pola Pangan Harapan terdiri dari sembilan kelompok antara lain: 1) Padi-padian (beras, jagung, tepung terigu, gandum, dan lain-lain), 2) Umbi-umbian (ubi jalar, kentang, singkong, talas, wortel, dan lain-lain), 3) Pangan Hewani (daging ruminansia, daging unggas, telur, susu, ikan, dan lain-lain), 4) Minyak dan Lemak (minyak kelapa, minyak sawit, minyak jagung, dan lain-lain), 5) Buah/Biji Berminyak (kelapa, kemiri, dan lain-lain), 6) Kacang-kacangan (kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau, kacang merah), 7) Gula (gula aren, gula pasir, dan lain-lain), 8) Sayur dan Buah (sayur-sayuran dan buah-buahan), dan 9) Lain-lain (minuman, bumbu, dan lain-lain).

Secara umum pola konsumsi pangan masyarakat di Indonesia diwarnai dengan berbagai jenis-jenis bahan makanan yang umum dan dapat diproduksi


(30)

setempat. Misalnya, penduduk nelayan di daerah-daerah pantai, ikan merupakan makanan yang dipilih sehari-hari karena dapat dihasilkan sendiri. Masyarakat daerah pertanian padi, maka pola konsumsi pangan pokok mereka adalah beras. Daerah-daerah yang produksi utamanya adalah jagung, seperti Madura dan Jawa Timur bagian Selatan berpola pangan pokok jagung. Dan beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur masyarakatnya berpola pangan ubi kayu yang merupakan produksi utama mereka (Suhardjo, 1986).

Perilaku konsumsi pangan masyarakat dilandasi oleh kebiasaan makan (food habit) yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga melalui proses sosialisasi. Kebiasaan makan tersebut dapat dipengaruhi oleh lingkungan ekologi suatu daerah seperti ciri tanaman pangan, ternak, atau ikan yang tersedia dan dapat dibudidayakan di daerah tersebut (Arbaiyah, 2013).

Pola konsumsi pangan masyarakat dapat menunjukkan tingkat keberagaman pangan masyarakat yang diamati dari parameter pola pangan harapan (PPH). Pola makan atau kebiasaan makan yang terdapat dalam suatu masyarakat dapat dicermati melalui adanya pantangan atau larangan atau tabu. Biasanya, pangan pantangan ini ditujukan pada anak kecil, ibu hamil, dan ibu menyusui. Padahal mereka merupakan kelompok penduduk yang rawan gizi (Baliwati, 2004).

Penganekaragaman konsumsi pangan bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi konsumsi dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan. Berbagai penelitian menunjukkan keanekaragaman pangan dapat meningkatkan konsumsi berbagai antioksidan pangan, konsumsi serat, dan menurunkan risiko hiperkolesterol, hipertensi, dan penyakit jantung


(31)

koroner. Penganekaragaman pangan akan berdampak pada perbaikan kesehatan penduduk (Hardinsyah, 1996 dalam Baliwati, 2004).

Menurut Departemen Pertanian (2013), ada empat faktor pendukung utama yang memengaruhi pola konsumsi pangan antara lain: (1) ketersediaan; (2) kondisi sosial ekonomi; (3) letak geografis daerah (desa-kota); dan (4) karateristik rumah tangga. Ketersediaan pangan secara makro (nasional/tingkat wilayah) sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan distribusi pangan di daerah tersebut. Sedangkan ketersediaan pangan secara mikro (tingkat rumah tangga) dipengaruhi oleh pendapatan atau daya beli rumah tangga tersebut. Selanjutnya, kondisi sosial ekonomi masyarakat dilihat dari tingkat pendapatan, harga pangan dan nonpangan, selera, dan kebiasaan makan. Letak geografis dapat ditinjau dengan melihat lokasi desa-kota dari rumah tangga yang bersangkutan. Dan yang terakhir yaitu karateristik rumah tangga dilihat dari struktur umur, jenis kelamin, pendidikan, dan lapangan pekerjaan.

Menurut Suhardjo (1986), faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi pangan ada tiga faktor yaitu: 1) ketersediaan pangan, 2) pola sosial budaya, 3) faktor-faktor pribadi. Ketersediaan pangan dipengaruhi oleh produksi pangan, dimana produksi sangat dipengaruhi oleh cara bertani, mutu dan luas lahan, pola penguasaan lahan, pola pertanaman, tempat tinggal, perangsang produksi, peranan sosial, dan tingkat pendapatan (Baliwati, 2004). Pola sosial budaya terdiri dari pola makanan, pembagian makanan dalam keluarga, besar keluarga, dan akseptabilitas. Sedangkan faktor-faktor pribadi terdiri dari pengetahuan gizi, preferensi, dan status kesehatan.


(32)

2.3 Pola Pangan Harapan

Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keanekaragaman pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH). PPH tidak hanya berperan sebagai standar dalam mengukur pemenuhan kecukupan gizi namun juga sebagai pedoman dalam meningkatkan keseimbangan gizi yang didukung oleh cita rasa, daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Melalui pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary score), sehingga semakin tinggi skor mutu pangan hal ini menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisinya (BKP, 2013).

Pola pangan harapan adalah susunan pangan yang beragam yang didasarkan pada sumbangan energi baik secara absolut maupun relatif dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. PPH pertama kali diperkenalkan oleh FAO-RAPA tahun 1989 yang dikenal dengan Desirable Dietary Pattern,

yang didefenisikan sebagai komposisi pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Tujuan utama disusunnya PPH yaitu untuk membuat suatu reasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi keanekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai cita rasa (FAO-RAPA, 1989 dalam Sembiring, 2002).

Pola pangan ini dapat digunakan sebagai ukuran keseimbangan dan keanekaragaman gizi. Terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, secara implisit akan memenuhi hampir semua kebutuhan zat gizi, kecuali pada zat gizi yang sangat defisit pada suatu kelompok pangan. Oleh karena itu skor PPH dapat mencerminkan mutu gizi dan keragaman konsumsi


(33)

pangan. Disamping itu dalam pemberian nilai bobot setiap kelompok pangan, telah dipertimbangkan kepadatan energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan, dan tingkat kelezatan (Hardinsyah, 2001 dalam Arbaiyah, 2013).

Pangan dalam PPH, dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan. Diantaranya yaitu: 1) padi-padian yang terdiri dari beras, jagung, terigu, dan lainnya; 2) umbi-umbian yang terdiri dari kentang, ubi kayu, ubi jalar, sagu, talas, dan lainnya; 3) pangan hewani yang terdiri dari ikan, daging, telur, susu, dan lemak hewani; 4) lemak dan minyak yang terdiri dari minyak kelapa, minyak jagung, minyak kelapa sawit, dan margarin; 5) buah biji berminyak yang terdiri dari kelapa, kemiri, kenari, mete, dan coklat; 6) kacang-kacangan yang terdiri dari kacang kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan lainnya; 7) gula yang terdiri dari gula pasir, gula merah, dan lainnya; 8) sayur dan buah yang terdiri dari seluruh jenis sayur dan buah yang dapat dan biasa dikonsumsi manusia; 9) lain-lain terdiri dari kopi, teh, bumbu makanan, dan minuman beralkohol.

Skor pangan dalam metode PPH diperoleh dari hasil perkalian antara tingkat kontribusi energi kelompok pangan dengan bobotnya. Tabel 2.9 dibawah ini merupakan bobot dari setiap kelompok pangan yang sudah ditetapkan oleh FAO-RAPA (1989) yang didasarkan pada konsentrasi energi, kepadatan energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan, dan tingkat kelezatan.


(34)

Tabel 2.1 Kriteria Pemberian Bobot Untuk Setiap Kelompok Pangan

No. Kelompok Pangan Bobot Kriteria

1 Padi-padian 0,5 Konsentrasi energi 2 Umbi-umbian 0,5 Konsentrasi energi

3 Pangan Hewani 2,0 Zat gizi esensial, citarasa, kepadatan energi 4 Lemak dan minyak 1,0 Konsentrasi energi

5 Buah dan biji berminyak 0,5 Konsentrasi energi 6 Kacang-kacangan 2,0 Nilai gizi pemakan nabati

7 Gula 0,5 Konsentrasi energi

8 Sayur dan buah 2,0 Zat gizi mikro, volume, kandungan serat 9 Lain/lain 0,0 Penambah citarasa

Sumber: FAO-RAPA (1989) dalam Sembiring 2002

Berdasarkan kesepakatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998 yang menggunakan bobot atau rating FAO RAPA (1989) yang terus disempurnakan menjadi Pola Pangan Harapan (PPH) yang disepakati bahwa tahun 2020 skor mutu pangan yang ideal untuk hidup sehat bagi penduduk Indonesia adalah 100. Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG VIII) tahun 2004, susunan Pola Pangan Harapan untuk kebutuhan konsumsi per orang per hari sebesar 2000 kalori adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2 Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) No. Kelompok Pangan Berat

(gr/kap/hari)

Energi

(kkal/kap/hari) % (AKG)

1 Padi-padian 275 1000 50

2 Umbi-umbian 100 120 6

3 Pangan hewani 150 240 12

4 Lemak dan minyak 20 200 10

5 Buah dan biji berminyak 10 60 3

6 Kacang-kacangan 35 100 5

7 Gula 30 100 5

8 Sayur dan buah 250 120 6

9 Lain-lain - 60 3

Total 2000 100

Sumber: BKP Kementerian Pertanian dalam Sibuea, 2012 (diolah)

Suhardjo (1998) dalam Sembiring (2002) melakukan penilaian terhadap keberhasilan diversifikasi pangan berdasarkan skor mutu PPH yang dicapai dengan kategori sebagai berikut ini:


(35)

a. Segitiga Perunggu

Skor mutu pangan = < 78, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Energi dari padi-padian dan umbi-umbian masih tinggi diatas norma PPH.

2. Energi dari pangan hewani, sayur, dan buah serta kacang-kacangan masih rendah dibawah norma PPH.

3. Energi dari minyak dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH. b. Segitiga Perak

Skor mutu pangan = 78–87, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Energi dari padi-padian dan umbi-umbian makin menurun, namun masih diatas norma PPH.

2. Energi dari pangan hewani, sayur, dan buah masih rendah dibawah norma PPH masing-masing antara 8-12% dan 4-5%.

3. Energi dari minyak, kacang-kacangan, dan gula relatif sudah memenuhi norma PPH.

c. Segitiga Emas

1. Energi dari padi-padian dan umbi-umbian sedikit diatas norma PPH atau relatif sama.

2. Energi dari pangan hewani diatas 12% atau relatif sama dengan norma PPH.


(36)

2.3.1 Penilaian Situasi Konsumsi Pangan Berdasarkan PPH

Menurut BKP (2013), penilaian situasi konsumsi pangan dilakukan dengan menganalisis dua aspek penilaian yaitu aspek kuantitas konsumsi (% AKE) dan aspek kualitas konsumsi (mutu konsumsi–skor PPH).

1. Aspek Kuantitas

Penilaian aspek kuantitas ditinjau dari volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan pangan. Digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat yang dikenal dengan Angka Kecukupan Gizi. Parameter yang digunakan untuk menilai kuantitas konsumsi pangan masyarakat yaitu Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP). Beberapa studi menyebutkan bahwa jika konsumsi energi dan protein sudah terpenuhi dan sesuai dengan norma atau angka kecukupan gizi dan konsumsi pangan beragam, maka kebutuhan akan zat-zat gizi lain juga akan terpenuhi dari konsumsi pangan.

2. Aspek Kualitas

Penilaian pada aspek kualitas lebih ditekankan pada penganekaragaman pangan, bukan hanya keragaman makanan pokok saja namun juga keragaman jenis pangan yang lainnya. Semakin beragam dan seimbang pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya, karena pada hakekatnya tidak ada satu jenis pangan yang mengandung semua zat gizi. untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH yang didapatkan dari


(37)

perhitungan skor mutu PPH menunjukkan konsumsi pangan semakin beragam dan komposisinya semakin baik atau berimbang.

2.3.1.1 Kecukupan Energi Rata-Rata Keluarga

Menurut Hardinsyah (1992), untuk menilai tingkat konsumsi energi rata-rata suatu keluarga atau rumah tangga (bukan individu) diperlukan Angka Kecukupan Energi Rata-rata keluarga (AKERK). Sedangkan Angka Kecukupan Energi Keluarga (AKEK) diperlukan untuk menyusun menu keluarga. AKEK merupakan penjumlahan Angka Kecukupan Energi Individu dari setiap anggota keluarga yang mengonsumsi makanan dalam suatu keluarga atau rumah tangga.

Dalam menaksir AKEK dapat dilakukan dengan cara Unit Konsumen

dengan menggunakan konsumen tertentu sebagai patokan kecukupan energi, biasanya digunakan pria dewasa dengan nilai 1,000 yang setara dengan 2700 kal/org/hr. AKE kelompok umur yang lain dibandingkan terhadap AKE patokan ini, sehingga diperoleh nilai-nilai perbandingan kecukupan energi, yang disebut Faktor Unit Konsumen Energi (UE).

Dengan menggunakan faktor UE dapat dihitung AKEK dan AKERK dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

= ( ) (2700)

= ( ) (2700)

Keterangan:

AKEK = Angka Kecukupan Energi keluarga AKERK = Angka Kecukupan Rata-Rata Keluarga

UEi = Faktor Unit Konsumen Energi dari anggota keluarga ke-i

n = jumlah individu yang mengonsumsi makanan dalam suatu keluarga i = individu (anggota keluarga) ke-i yang makan dalam suatu keluarga 2700 = nilai UE sama dengan 1,000


(38)

Tabel di bawah ini merupakan faktor UE yang dihitung berdasarkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi 1988, dengan patokan kecukupan energi pria dewasa (20–59 tahun), berat badan 56 kg, dan aktivitas sedang. Faktor UE = 1,000 yang setara dengan 2700 kal/org.hr.

Tabel 2.3 Faktor Unit Konsumen Energi (UE) Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur.

Kelompok Umur (tahun)

Kecukupan Energi (Kal/org/hr)

Faktor Unit Konsumen Energi* (1,000 = 2700)

0,5–1 800 0,296

1–3 1220 0,452

4–6 1720 0,637

7–9 1860 0,689

Pria

10–12 1950 0,722

13–15 2200 0,815

16–19 2360 0,874

20–59 2400/2700/3250** 0,889/1,000/1,204**

>= 60 1960 0,726

Wanita

10–12 1750 0,648

13–15 1900 0,703

16–19 1850 0,685

20–59 1900/2100/2400** 0,704/0,778/0,889**

>= 60 1700 0,630

Tambahan:

Hamil 200/245/285** 0,074/0,091/0,106**

Menyusui 500 0,185

Sumber: Hardinsyah & Martianto, 1992

Keterangan: * = Dihitung berdasarkan Kecukupan Energi hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1988

** = Disajikan secara berurutan dari kiri ke kanan menurut tingkat kegiatan ringan, sedang, dan berat.

2.3.1.2 Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga

Untuk menghitung Angka Kecukupan Protein Keluarga (AKPK) dan Angka Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga (AKPRK) juga menggunakan faktor unit konsumen dengan patokan angka kecukupan protein pria atau wanita dewasa. Berikut rumus untuk menghitung AKPK dan AKPRK:


(39)

= ( ) (50)

= ( ) (50)

Keterangan:

AKPK = Angka Kecukupan Protein Keluarga

AKPRK = Angka Kecukupan Protein Rata-Rata Keluarga

UPi = Faktor Unit Konsumen Protein bagi anggota keluarga ke-i n = Jumlah anggota keluarga

50 = Nilai UP sama dengan 1,00

Tabel 2.4 di bawah ini merupakan faktor unit konsumen protein (UP) yang dihitung berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1988 dengan patokan kecukupan protein pria dewasa, berat badan 56 kg.

Tabel 2.4 Faktor Unit Konsumen Protein (UP) Menurut Kelompok Umur Kelompok Umur

(tahun)

Kecukupan Protein (gr/org/hr)

Faktor Unit Konsumen Protein* (1,00 = 50)

0,5–1 15 0,30

1–3 23 0,46

4–6 32 0,64

7–9 36 0,72

Pria

10–12 45 0,90

13–15 57 1,14

16–19 62 1,24

20–59 50 1,00

>= 60 50 1,00

Wanita

10–12 49 0,98

13–15 57 1,14

16–19 47 0,94

20–59 44 0,88

>= 60 44 0,88

Tambahan:

Hamil 0,24

Menyusui 0,32

Sumber: Hardinsyah & Martianto, 1992.

Keterangan: * = Faktor Unit Konsumsi (UP) ini dihitung berdasarkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1988


(40)

2.3.2 Perhitungan Skor Pola Pangan Harapan

Skor mutu PPH dapat ditentukan dengan beberapa cara yaitu sebagai berikut: pertama, mengelompokkan bahan makanan/makanan yang dikonsumsi menjadi 9 kelompok pangan; kedua, menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan dengan bantuan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM); ketiga, menghitung presentase kontribusi energi menurut AKG tiap kelompok pangan terhadap total energi; keempat, prentase masing-masing kelompok dikalikan dengan rating (bobot) menurut FAO (BKP, 2013).

2.4 Keluarga Perokok

Menurut Hasibuan (1994), keluarga adalah ayah, ibu, dan anak-anak serta famili yang menjadi penghuni rumah. Sedangkan menurut BPS (2000) dalam Arbaiyah (2013), keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup dalam satu rumah tangga dan ada ikatan darah. Berdasarkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak.

Fungsi keluarga sebagai tempat belajar berbagai dasar kehidupan bermasyarakat sangat tepat dijadikan sebagai filter utama untuk membentuk pola hidup sehat guna menjaga ketahanan keluarga. Keluarga yang dibangun dengan dasar yang kuat dan memiliki individu yang sehat akan menjadi keluarga yang berpengaruh kuat dalam pembangunan semua bidang. Karena dengan kondisi keluarga yang sehat, sebuah keluarga akan mencapai tahapan kesejahteraan (Sudaryati, 2013).


(41)

Keluarga yang sehat pada masa sekarang ini sulit untuk dicapai khususnya keluarga kelompok rawan seperti memiliki balita dalam keluarga tersebut. Kekurangan konsumsi pangan dan gizi pada masa balita mengakibatkan berbagai kemungkinan penyakit akibat kurang gizi. Kekurangan protein dalam waktu yang lama mengakibatkan pertumbuhan anak terhambat. Anak yang mengalami keadaan seperti ini berat badan dan tinggi badan menurut umurnya rendah (Hardinsyah & Martianto, 1992).

Keluarga perokok adalah sebuah keluarga dimana satu atau lebih anggotanya merokok baik perempuan maupun laki-laki. Merokok saat ini sudah menjadi kebiasaan sebagian besar orang dewasa, kebanyakan dari mereka yaitu laki-laki. Sebagai kepala keluarga sering sekali mereka tidak menyadari bahwa rokok yang mereka hisap tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri namun juga berdampak buruk bagi anggota keluarganya yang lain, khususnya anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, dan anak usia sekolah.

Secara langsung nikotin dengan ribuan bahaya beracun yang berasal dari asap rokok akan masuk ke dalam saluran pernapasan bayi dan dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Selain itu, racun dari nikotin yang berasal dari asap rokok juga dapat masuk ke dalam tubuh yang masih menyusu dari ibu yang telah terpapar oleh asap rokok tersebut. Sehingga racun tersebut akan terakumulasi di dalam tubuh bayi dan tentu saja membahayakan kesehatan si kecil (Hidayat, 2005 dalam Trisnawati & Juwarni, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oktaviasari (2010), menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan terhadap kebiasaan ayah


(42)

(kepala keluarga) dengan status gizi balita. Sehingga menurutnya, perlu adanya kesadaran orangtua terutama ayah untuk dapat membatasi pengeluaran rokok dan kebiasaan merokok agar anak bisa mendapat asupan gizi sesuai dengan kebutuhannya.

Kebiasaan merokok yang lama dan merupakan suatu kebudayaan bagi Suku Karo akan sulit untuk diubah. Namun jika tidak segera diubah maka akan berdampak bagi kualitas SDM di masa depan yang akan terlihat dalam jangka waktu yang cukup lama. Karena itu sebuah keluarga yang mempunyai anggota perokok perlu diperhatikan bagaimana pola konsumsi keluarga tersebut. Karena jika kebiasaan merokok ditambah dengan pola konsumsi yang tidak baik dan tidak sesuai dengan yang dianjurkan akan memperburuk status gizi keluarga nantinya.

Menurut Hardinsyah (1996) dalam Baliwati (2004), konsumsi pangan yang beragam dapat meningkatkan konsumsi berbagai antioksidan yang berasal dari pangan. Jadi ketika keluarga perokok mempunyai pola makan yang sehat dan beragam akan dapat mengurangi dampak kesehatan yang diakibatkan oleh rokok. Namun meskipun demikian mengurangi atau bahkan berhenti untuk merokok akan jauh lebih baik.

2.4.1 Karateristik Keluarga Perokok

Setiap keluarga mempunyai perbedaan dalam hal konsumsi pangan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan karateristik setiap rumah tangga, seperti pengeluaran pangan dan non pangan, pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan jumlah anggota keluarga. Berdasarkan penelitian Akmal (2005) mengenai analisis pola konsumsi keluarga di Kecamatan Tallo menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor kondisi sosial ekonomi keluarga


(43)

(pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan, dan ukuran keluarga) dengan pola konsumsi keluarga.

Pendapatan merupakan salah satu faktor penting yang diduga sebagai determinan dalam keragaman konsumsi pangan. Pendapatan dikaitkan dengan daya beli pangan yang biasanya didefinisikan sebagai kemampuan ekonomi rumah tangga untuk memeroleh bahan pangan berdasarkan besarnya alokasi pendapatan untuk pangan, harga pangan yang dikonsumsi, dan jumlah anggota rumah tangga (Hardinsyah, 2007 dalam Arbaiyah, 2013).

Apabila tingkat pendapatan meningkat maka jumlah dan jenis makanan cenderung membaik pula. Peningkatan pendapatan tidak hanya akan meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi, tetapi juga terjadi peningkatan konsumsi di luar rumah. Jika pendapatan meningkat maka presentasi pengeluaran untuk pangan semakin kecil (Suhardjo, 1986).

Menurut Marsetyo (1995), pendapatan yang dihasilkan oleh kepala keluarga atau anggota keluarga yang bekerja harus dibagi-bagi untuk berbagai macam keperluan. Akibatnya, nominal untuk pangan semakin kecil. Apalagi untuk rumah tangga yang memiliki anggota keluarga yang merokok, akan menurunkan pengeluaran terhadap pangan akibat pengeluaran rokok yang tinggi. Hal ini dikhawatirkan akan menurunkan kualitas dan kuantitas pangan pada keluarga perokok.

Selain pendapatan, pendidikan seorang ibu rumah tangga juga ikut memengaruhi pola konsumsi pangan dalam rumah tangga. Menurut Hardinsyah (2007) dalam Arbaiyah (2013), semakin tinggi pendidikan seseorang maka akses


(44)

terhadap informasi mengenai gizi juga semakin tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa ibu dengan pendidikan tinggi cenderung untuk tertarik terhadap informasi gizi lebih tinggi. Sehingga dapat dipastikan bahwa pengetahuan ibu yang semakin bertambah mengenai gizi akan memengaruhinya untuk mengubah pola pangan keluarganya ke arah yang lebih baik.

Marsetyo (1995) mengatakan bahwa meskipun sebuah keluarga berpenghasilan rendah namun apabila mereka berpendidikan dan memiliki pengetahuan mengenai gizi maka mereka akan dapat menyusun suatu hidangan makanan yang mempunyai kandungan dan nilai gizi tinggi. Demikian pula sebaliknya, walaupun sebuah rumah tangga berpenghasilan tinggi tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai gizi maka makanan yang mereka konsumsi meski kelihatan lezat namun dapat merusak tubuh mereka.

Demikian pula halnya dengan keluarga perokok. Meskipun kebiasaan merokok memang sulit untuk dihilangkan namun jika ibu rumah tangga yang berperan banyak terhadap konsumsi pangan keluarga memiliki pengetahuan mengenai gizi yang tinggi akan dapat menyusun menu keluarganya dengan baik dengan meningkatkan pangan sumber antioksidan untuk menjaga kesehatan anggota keluarganya.

Jumlah anggota keluarga juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan dalam keluarga. Menurut BPS (2001) dalam Arbaiyah (2013), besarnya keluarga atau rumah tangga menyatakan seluruh anggota yang menjadi tanggungan dalam keluarga tersebut yang dapat memberi indikasi beban rumah tangga. Semakin tinggi besaran keluarga berarti semakin


(45)

banyak anggota keluarga yang selanjutnya akan meningkatkan berat beban rumah tangga tersebut dalam memenuhi kebutuhannya.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara laju kelahiran tinggi dengan gizi kurang. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak akan berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa zat gizi yang diperlukan oleh anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan pada umumnya memerlukan pangan bergizi yang lebih banyak daripada anggota keluarga lainnya (Suhardjo, 1986).

Berbagai kajian telah membuktikan semakin besar sebuah keluarga maka angka kejadian gizi kurang semakin tinggi. Pada umumnya kasus ini terjadi pada keluarga miskin. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka pembagian makanan semakin sedikit sehingga tidak akan mungkin untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga.

2.5 Kerangka Konsep

Pola konsumsi pangan keluarga perokok dipengaruhi oleh karateristik keluarga tersebut seperti pendapatan (pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan, dan pengeluaran rokok), pendidikan ibu, dan jumlah anggota rumah tangga. Pola konsumsi pangan terdiri dari jenis pangan, jumlah pangan dalam bentuk kecukupan energi dan kecukupan protein rata-rata keluarga, dan frekuensi makan keluarga. Sedangkan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi keluarga akan memengaruhi tinggi/rendahnya skor PPH pada keluarga perokok.


(46)

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Pola Konsumsi

Pangan Keluarga Perokok

Skor PPH Jenis Pangan

Jumlah Pangan 1. Tingkat kecukupan

energi rata-rata keluarga

2. Tingkat kecukupan protein rata-rata keluarga

Karateristik Keluarga Perokok

1. Pendapatan

a. Pengeluaran pangan b. Pengeluaran non

pangan

c. Pengeluaran rokok 2. Pendidikan ibu

3. Jumlah anggota keluarga


(47)

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan metode survei untuk menggambarkan situasi pola konsumsi pangan dengan pendekatan pola pangan harapan pada keluarga perokok di Kecamatan Berastagi. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Kecamatan Berastagi dengan alasan kecamatan ini adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Karo yang sebagian besar penduduk merupakan Suku Batak Karo. Rokok merupakan salah satu syarat dalam kebudayaan dan adat istiadat Suku Karo, sehingga merokok menjadi kebiasaan bagi sebagian besar penduduknya. Waktu pelaksanaan pengumpulan data dilakukan mulai Februari sampai Juli 2014.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang ada di Kecamatan Berastagi yang mempunyai satu atau lebih anggota keluarga yang merokok baik perempuan maupun laki-laki yakni sebanyak 2410 rumah tangga.


(48)

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian rumah tangga yang ada di Kecamatan Berastagi yang mempunyai satu atau lebih anggota keluarga yang merokok baik perempuan maupun laki-laki. Penentuan besar sampel minimal pada penelitian ini dengan menggunakan rumus (Kasjono, 2009):

= (1 )

( 1) + (1 )

= (1,96) 0,63(0,37)2410

(0,1) (2409) + (1,96) 0,63(0,37) = 2158,1

24,99

= 86,36 86rumah tangga

Untuk menghindari besar sampel yang drop out maka dilakukan koreksi terhadap besar sampel yang telah dihitung dengan menambahkan sejumlah sampel agar besar sampel tetap terpenuhi dengan rumus (Sastroasmoro & Ismael, 2002 dalam Arbaiyah, 2013) sebagai berikut:

=

(1 )

= 86

(1 10%)

= 95 100 rumah tangga

Setelah besar sampel ditentukan, maka tahap selanjutnya yaitu mengambil sampel dengan menggunakan metode cluster (Machfoedz, 2009). Klaster dalam penelitian ini ialah desa/kelurahan. Kecamatan Berastagi terdiri dari 10 desa/kelurahan, maka diambil sebesar 30 persen dari jumlah desa/kelurahan yang ada


(49)

di Kecamatan Berastagi yakni sebanyak 3 desa/kelurahan. Penentuan desa/kelurahan dilakukan secara purposive yakni desa/kelurahan yang memiliki jumlah penduduk paling banyak, yakni Rumah Berastagi, Gundaling I, dan Gundaling II.

Pembagian besar sampel pada setiap desa/kelurahan, dengan besar sampel minimal yang dibutuhkan yakni 100 rumah tangga yaitu seperti dalam tabel dibawah ini:

Tabel. 3.1 Pembagian Besar Sampel pada Tiap Desa/Kelurahan dari Keempat Kecamatan di Kabupaten Karo.

No. Desa/Kelurahan Jumlah rumah tangga Perhitungan Besar sampel

1 Rumah Berastagi 435 435/1106 x 100 39

2 Gundaling I 410 410/1106 x 100 37

3 Gundaling II 261 261/1106 x 100 24

Jumlah 1106 100

Pemilihan sampel dilakukan secara systematic random sampling dimana tiap keluarga dari ketiga desa/kelurahan terpilih diberi nomor urut. Sampel pertama diambil secara acak dengan undian selanjutnya diambil kelipatan sesuai dengan kuota masing-masing desa/kelurahan.

Kriteria sampel dalam penelitian ini yaitu:

1. Keluarga yang memiliki ibu hamil atau balita usia 0–5 tahun. 2. Responden penelitian dapat berkomunikasi dengan baik.


(50)

3.4 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 3.4.1 Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Adapun data-data tersebut meliputi data karateristik keluarga dan data pola konsumsi pangan keluarga responden.

2. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait meliputi data geografi lokasi penelitian dan data demografi penduduk yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo dan kantor kepala desa/kelurahan di masing-masing lokasi penelitian.

3.4.2 Cara Pengumpulan Data

1) Data karateristik keluarga responden diperoleh melalui wawancara dengan responden menggunakan kuesioner.

2) Data pola konsumsi pangan keluarga diperoleh melalui wawancara dengan responden menggunakan Food List Method (metode pendaftaran makanan) danFood Frequency(frekuensi pangan).

3) Data geografi lokasi penelitian dan data demografi penduduk diambil dari Badan Pusat Statistika Kabupaten Karo dan kantor kepala desa/kelurahan dari masing-masing lokasi penelitian.


(51)

Responden yang diwawancarai adalah ibu rumah tangga yang dianggap paling mengetahui keadaan rumah tangga termasuk konsumsi pangan keluarga. Bila ditemui responden yang menolak untuk diwawancarai maka responden digantikan dengan anggota keluarga yang lainnya yang bersedia untuk diwawancarai. Jika rumah tangga sampel menolak untuk diwawancarai maka rumah tangga sampel diganti dengan rumah tangga sebelahnya.

3.5 Definisi Operasional

1) Keluarga perokok adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu rumah tangga dan biasanya makan bersama dari satu dapur yang mempunyai satu atau lebih anggota keluarga yang merokok baik perempuan maupun laki-laki. 2) Karateristik keluarga perokok adalah ciri-ciri khas yang dimiliki oleh

masing-masing rumah tangga yang membedakannya dengan rumah tangga lainnya seperti pendapatan, pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan, pengeluaran rokok, pendidikan ibu, dan jumlah anggota keluarga.

3) Pendapatan adalah akumulasi dari pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan, dan pengeluaran rokok keluarga dalam satu bulan dengan satuan rupiah per bulan (Rp/bln).

4) Pendidikan ibu adalah tingkatan pendidikan formal yang telah dicapai oleh ibu atau dapat juga disebut dengan pendidikan terakhir ibu.

5) Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga dalam satu rumah tangga.


(52)

6) Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis, jumlah, dan frekuensi pangan rata-rata per orang per hari yang umum dimakan oleh keluarga dalam jangka waktu tertentu.

7) Jenis pangan adalah berbagai macam pangan yang dikonsumsi keluarga dalam sehari yang disesuaikan dengan Pola Pangan Harapan, yakni:

a. Padi-padian b. Umbi-umbian c. Pangan hewani d. Minyak dan lemak e. Buah/biji berminyak f. Kacang-kacangan g. Gula

h. Sayur dan buah

8) Jumlah pangan adalah banyaknya pangan yang dikonsumsi keluarga dalam sehari yang dilihat dari tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein.

9) Tingkat Kecukupan energi keluarga adalah banyaknya energi yang harus dipenuhi dari makanan yang dikonsumsi keluarga untuk kebutuhan tubuh. 10) Tingkat kecukupan protein adalah banyaknya protein yang harus dipenuhi dari

makanan yang dikonsumsi keluarga untuk kebutuhan tubuh.

11) Frekuensi makan adalah berapa kali setiap jenis pangan dikonsumsi oleh keluarga pada waktu tertentu.


(53)

12) Skor mutu PPH adalah ukuran kualitas pangan yang didasarkan pada kontribusi energi dari setiap kelompok pangan dikalikan dengan bobot/ratingnya.

3.6 Aspek Pengukuran

1. Pendapatan diukur dengan menggunakan kuesioner dan dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan UMR Kabupaten Karo 2013 (Rp. 1.641.180) yaitu antara lain:

a. Pendapatan di atas UMR b. Pendapatan di bawah UMR

2. Pendidikan ibu diukur dengan menggunakan kuesioner dan diklasifikasikan menjadi lima kelompok (Hidayat, 2004 dalam Giyarti, 2008) yaitu:

a. Tidak sekolah b. Tamat SD c. Tamat SMP d. Tamat SMA

e. Tamat Perguruan Tinggi

3. Jumlah anggota keluarga diukur dengan menggunakan kuesioner dan diklasifikasikan menjadi tiga kelompok (BKKBN, 1998 dalam Giyarti, 2008) yaitu:

a. Keluarga kecil: 4 orang b. Keluarga sedang: 5–6 orang c. Keluarga besar: 7 orang


(54)

4. Tingkat kecukupan energi keluarga diukur dengan formulirFood List Method

dan dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu (Hardinsyah & Martianto, 1992):

a. Cukup jika AKERK b. Tidak cukup jika < AKERK

5. Tingkat kecukupan protein keluarga diukur dengan formulir Food List Method dan dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu (Hardinsyah & Martianto, 1992):

a. Cukup jika AKPRK b. Tidak cukup jika < AKPRK

6. Jenis pangan diukur dengan menggunakan formulir Food List dan dibagi menjadi delapan kelompok sesuai dengan susunan kelompok pangan dalam Pola Pangan Harapan (Sibuea, 2013) yakni:

a. Padi-padian b. Umbi-umbian c. Pangan hewani d. Minyak dan lemak e. Buah/biji berminyak f. Kacang-kacangan g. Gula


(55)

7. Frekuensi makan diukur dengan formulir Food Frequency dan terdiri dari empat kelompok (Fitri, 2013) sebagai berikut:

a. Selalu (1–3 x/hari) b. Sering (4–5 x/minggu)

c. Kadang-kadang (1–3 x/minggu dan 1–3 x/bulan) d. Jarang

e. Tidak pernah

8. Pola konsumsi pangan dinilai dari skor mutu PPH yang diukur dengan menggunakan formulirFood List Method.Skor mutu PPH dibagi menjadi tiga kelompok yaitu (Suhardjo, 1986):

a. Rendah (segitiga perunggu) : skor PPH =< 78

b. Sedang (segitiga perak) : skor PPH = 78–87 c. Tinggi (segitiga emas) : skor PPH = > 87 3.7 Pengolahan dan Analisa Data

Analisis data dilakukan dengan cara manual dan menggunakan jasa komputer dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions). Data yang diperoleh akan dianalisis secara univariat dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi dan frekuensi yang terdiri dari:

1. Jenis Pangan

Dilihat berdasarkan hasil dari formulir Food List Methoddan dikelompokkan menurut susunan kelompok pangan dalam PPH yaitu padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, kacang-kacangan, buah/biji


(56)

2. Tingkat kecukupan energi

Dihitung berdasarkan banyaknya kalori yang dikonsumsi keluarga dan dibandingkan dengan AKERK yang dihitung dengan menggunakan faktor unit konsumen energi (UE) masing-masing keluarga, yang memerkirakan umur dan jenis kelamin. Perhitungannya dengan menggunakan rumus berikut:

= ( ) (2700)

3. Tingkat kecukupan protein

Dihitung berdasarkan banyaknya protein yang dikonsumsi keluarga dan dibandingkan dengan AKPRK yang dihitung dengan menggunakan faktor unit konsumen protein (UP) masing-masing keluarga, yang memerkirakan umur dan jenis kelamin. Perhitungannya dengan menggunakan rumus berikut:

= ( ) (50)

4. Frekuensi makan

Digambarkan berapa kali setiap jenis pangan menurut kelompok pangan dalam PPH dikonsumsi oleh keluarga.

5. Skor mutu PPH

Dihitung berdasarkan banyaknya konsumsi energi tiap kelompok pangan yang kemudian dikalikan dengan bobot/ratingnya masing-masing.


(57)

4.1 Gambaran Umum Daerah penelitian 4.1.1 Geografi

Kecamatan Berastagi merupakan salah satu dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Karo dengan luas wilayah 3050 Ha dan berada pada ketinggian ± 1.375 meter di atas permukaan laut dengan temperatur antara 190C s/d 260C. Batas wilayah Kecamatan Berastagi adalah sebagai berikut:

- Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

- Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Tigapanah/Dolat Rayat - Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe

- Sebelah Barat :berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat/Merdeka 4.1.2 Demografi

Kecamatan Berastagi mempunyai jumlah penduduk sebanyak 43.494 jiwa, dengan rincian sebagai berikut dalam tabel distribusi jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di bawah ini (BPS, 2013):


(58)

Tabel 4.1 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Berastagi

No. Jenis Kelamin Jumlah (orang) Presentase (%)

1. Laki-laki 21.651 49,78

2. Perempuan 21.843 50,22

Jumlah 43.494 100

Sumber: BPS, 2013

Pada tabel 4.1 menunjukkan bahwa penduduk dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki yakni sebanyak 21.651 orang (50,22%) sedangkan penduduk dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 21.843 orang (49,78%).

Tabel 4.2 Distribusi Penduduk berdasarkan Lapangan Pekerjaan di Kecamatan Berastagi

No. Pekerjaan Jumlah (Orang) %

1. Pertanian 14.709 67,93

2. Industri Rumah Tangga 1.767 8,16

3. PNS/ABRI 2.032 9,38

4. Lainnya 3.146 14,53

Jumlah 21.654 100

Sumber: BPS, 2013

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa mata pencaharian masyarakat di Kecamatan Berastagi pada umumnya adalah petani yaitu sebanyak 14.709 orang (67,93%) warga bekerja di lahan pertanian, sedangkan yang paling sedikit yaitu masayarakat yang bekerja di industri rumah tangga yakni sebesar 1.767 orang (8,16%).

4.2 Gambaran Umum Keluarga Perokok 4.2.1 Karateristik Kepala Keluarga

Tabel di bawah ini merupakan karateristik kepala keluarga perokok di Kecamatan Berastagi.


(59)

Tabel 4.3 Karateristik Kepala Keluarga Pada Keluarga Perokok di Kecamatan Berastagi

Karateristik Rumah Berastagi Gundaling I Gundaling II Total

n % n % n % n %

Umur

≤ 20 tahun 0 0,0 0 0,0 0 0 0 0,0

21-35 tahun 26 66,7 18 48,6 16 66,7 60 60,0

> 35 tahun 13 33,3 19 51,4 8 33,3 40 40,0

Total 39 100,0 37 100,0 24 100,0 100 100,0

Suku

Karo 30 76,9 12 32,4 9 37,5 51 51,0

Batak Toba 3 7,7 7 18,9 10 41,7 20 20,0

Jawa 2 5,1 17 45,9 5 20,8 24 24,0

Pakpak 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Mandailing 1 2,6 1 2,7 0 0,0 2 2,0

Simalungun 3 7,7 0 0,0 0 0,0 3 3,0

Lainnya 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Total 39 100,0 37 100.0 24 100,0 100 100,0

Agama

Protestan 22 56,4 11 29,7 14 58,3 47 47,0

Katolik 4 10,3 4 10,8 2 8,3 10 10,0

Islam 13 33,3 22 59,5 8 33,3 43 43,0

Hindu 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Budha 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0

Total 39 100,0 37 100,0 24 100,0 100 100,0

Pendidikan Terakhir

Tidak Sekolah 0 0,0 0 0,0 1 4,2 1 1,0

Tamat SD 0 0,0 3 8,1 4 16,7 7 7,0

Tamat SMP 13 33,3 8 21,6 8 33,3 29 29,0

Tamat SMA 21 53,8 22 59,5 9 37,5 52 52,0

Tamat PT 5 12,8 4 10,8 2 8,3 11 11,0

Total 39 100,0 37 100,0 24 100,0 100 100,0

Pekerjaan Utama

PNS 2 5,1 1 2,7 0 0,0 3 3,0

Pegawai/karyawan

swasta 3 7,7 4 10,8 1 4,2 8 8,0

Wiraswasta 12 30,8 26 70,3 10 41,7 48 48,0

Petani 18 46,2 1 2,7 4 16,7 23 23,0

Buruh 4 10,3 2 5,4 7 29,2 13 13,0

Karyawan BUMN 0 0,0 0 0,0 1 4,2 1 1,0

Lainnya 0 0,0 3 8,1 1 4,2 4 4,0

Total 39 100,0 37 100,0 24 100,0 100 100

Dari tabel 4.3 di atas dapat diketahui bahwa jumlah KK terbesar berada pada golongan umur 21-35 tahun yaitu sebanyak 60 orang (60,0%). Sebanyak 51 kepala


(1)

Bayam

100 100,0 100,0 100,0

Kadang-kadang Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Kangkung

100 100,0 100,0 100,0

Kadang-kadang Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Sawi

74 74,0 74,0 74,0

26 26,0 26,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Buncis

88 88,0 88,0 88,0

12 12,0 12,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Kacang Panjang

94 94,0 94,0 94,0

6 6,0 6,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Tomat

48 48,0 48,0 48,0

40 40,0 40,0 88,0

12 12,0 12,0 100,0

100 100,0 100,0

Selalu Sering Kadang-kadang Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Wortel

100

100,0

100,0

100,0

Kadang-kadang

Valid

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent

Daun Singkong


(2)

Kol

12 12,0 12,0 12,0

88 88,0 88,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Jeruk

64 64,0 64,0 64,0

36 36,0 36,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Pisang

6 6,0 6,0 6,0

94 94,0 94,0 100,0

100 100,0 100,0

Sering Kadang-kadang Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Pepaya

95 95,0 95,0 95,0

5 5,0 5,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Jambu Air

12 12,0 12,0 12,0

88 88,0 88,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Jambu Biji

12 12,0 12,0 12,0

88 88,0 88,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Mangga

30 30,0 30,0 30,0

70 70,0 70,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(3)

Apel

48 48,0 48,0 48,0

52 52,0 52,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Semangka

54 54,0 54,0 54,0

46 46,0 46,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Salak

22 22,0 22,0 22,0

78 78,0 78,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Peer

6 6,0 6,0 6,0

94 94,0 94,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Durian

6 6,0 6,0 6,0

94 94,0 94,0 100,0

100 100,0 100,0

Kadang-kadang Jarang Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Skor Pola Pangan Harapan

35 89,7 89,7 89,7

2 5,1 5,1 94,9

2 5,1 5,1 100,0

39 100,0 100,0

Segitia perunggu (< 78) Segitiga perak (78 - 87) Segitiga Emas > 87 Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(4)

Skor Pola Pangan Harapan

30 81,1 81,1 81,1

6 16,2 16,2 97,3

1 2,7 2,7 100,0

37 100,0 100,0

Segitia perunggu (< 78) Segitiga perak (78 - 87) Segitiga Emas > 87 Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Skor Pola Pangan Harapan

20 83,3 83,3 83,3

4 16,7 16,7 100,0

24 100,0 100,0

Segitia perunggu (< 78) Segitiga perak (78 - 87) Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Pendapatan Keluarga * Kecukupan Energi Keluarga Responden Crosstabulation

34 47 81

34,0% 47,0% 81,0%

0 19 19

,0% 19,0% 19,0%

34 66 100

34,0% 66,0% 100,0%

Count % of Total Count % of Total Count % of Total Di atas UMR

Di bawah UMR Pendapatan

Keluarga

Total

Cukup jika >= AKERK

Tidak Cukup jika <AKERK Kecukupan Energi Keluarga Responden

Total

Pendidikan Terakhir Ibu * Kecukupan Energi Keluarga Responden Crosstabulation

11 25 36

11,0% 25,0% 36,0%

23 41 64

23,0% 41,0% 64,0%

34 66 100

34,0% 66,0% 100,0%

Count % of Total Count % of Total Count % of Total Tingkat Dasar

Tingkat Lanjut Pendidikan Terakhir

Ibu

Total

Cukup jika >= AKERK

Tidak Cukup jika <AKERK Kecukupan Energi Keluarga Responden

Total

Jumlah Anggota Rumah Tangga * Kecukupan Energi Keluarga Responden Crosstabulation

17 41 58

Count Keluarga kecil

Jumlah Anggota

Cukup jika >= AKERK

Tidak Cukup jika <AKERK Kecukupan Energi Keluarga Responden


(5)

Pendapatan Keluarga * Kecukupan Protein Keluarga Responden Crosstabulation

62 19 81

62,0% 19,0% 81,0%

10 9 19

10,0% 9,0% 19,0%

72 28 100

72,0% 28,0% 100,0%

Count % of Total Count % of Total Count % of Total Di atas UMR

Di bawah UMR Pendapatan

Keluarga

Total

Cukup jika >= AKERK

Tidak Cukup jika <AKERK Kecukupan Protein Keluarga Responden

Total

Pendidikan Terakhir Ibu * Kecukupan Protein Keluarga Responden Crosstabulation

23 13 36

23,0% 13,0% 36,0%

49 15 64

49,0% 15,0% 64,0%

72 28 100

72,0% 28,0% 100,0%

Count % of Total Count % of Total Count % of Total Tingkat Dasar

Tingkat Lanjut Pendidikan Terakhir

Ibu

Total

Cukup jika >= AKERK

Tidak Cukup jika <AKERK Kecukupan Protein Keluarga Responden

Total

Jumlah Anggota Rumah Tangga * Kecukupan Protein Keluarga Responden Crosstabulation

40 18 58

40,0% 18,0% 58,0%

32 10 42

32,0% 10,0% 42,0%

72 28 100

72,0% 28,0% 100,0%

Count % of Total Count % of Total Count % of Total Keluarga kecil

jika < 4 orang Keluarga Besar jika > 4 orang Jumlah Anggota

Rumah Tangga

Total

Cukup jika >= AKERK

Tidak Cukup jika <AKERK Kecukupan Protein Keluarga Responden

Total

Pendapatan Keluarga * Skor Pola Pangan Harapan Crosstabulation

66 12 3 81

66,0% 12,0% 3,0% 81,0%

19 0 0 19

19,0% ,0% ,0% 19,0%

85 12 3 100

85,0% 12,0% 3,0% 100,0%

Count % of Total Count % of Total Count % of Total Di atas UMR

Di bawah UMR Pendapatan

Keluarga

Total

Segitia perunggu

(< 78)

Segitiga perak (78

- 87)

Segitiga Emas > 87 Skor Pola Pangan Harapan


(6)

Pendidikan Terakhir Ibu * Skor Pola Pangan Harapan Crosstabulation

34 1 1 36

34,0% 1,0% 1,0% 36,0%

51 11 2 64

51,0% 11,0% 2,0% 64,0%

85 12 3 100

85,0% 12,0% 3,0% 100,0% Count

% of Total Count % of Total Count % of Total Tingkat Dasar

Tingkat Lanjut Pendidikan Terakhir

Ibu

Total

Segitia perunggu

(< 78)

Segitiga perak (78

- 87)

Segitiga Emas > 87 Skor Pola Pangan Harapan

Total

Jumlah Anggota Rumah Tangga * Skor Pola Pangan Harapan Crosstabulation

51 6 1 58

51,0% 6,0% 1,0% 58,0%

34 6 2 42

34,0% 6,0% 2,0% 42,0%

85 12 3 100

85,0% 12,0% 3,0% 100,0%

Count % of Total Count % of Total Count % of Total Keluarga kecil

jika < 4 orang Keluarga Besar jika > 4 orang Jumlah Anggota

Rumah Tangga

Total

Segitia perunggu

(< 78)

Segitiga perak (78 - 87)

Segitiga Emas > 87 Skor Pola Pangan Harapan