Gambaran Pola Pertumbuhan Balita pada Keluarga Perokok dan Bukan Perokok di Kecamatan Berastagi Tahun 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Balita

  Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah dan besar sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur. Perkembangan adalah proses pematangan fungsi organ tubuh. Proses tumbuh kembang balita merupakan proses yang penting untuk diketahui dan dipahami, karena proses tersebut menentukan masa depan anak baik fizik, jiwa maupun perilakunya.

  Pertumbuhan pada balita merupakan gejala kuantitatif. Pada konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel, serta jaringan intraseluler pada tubuh anak. Dengan kata lain, berlangsung proses multiplikasi organ tubuh anak, disertai penambahan ukuran-ukuran tubuhnya. Penambahan ukuran-ukuran tubuh balita tidak harus drastis. Sebaliknya berlangsung perlahan-lahan, bertahap dan terpola secara proporsional pada tiap bulannya. Ketika didapati penambahan ukuran tubuhnya, artinya proses pertumbuhannya berlangsung baik. Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu sinyal terjadinya gangguan atau hambatan proses pertumbuhan.

  Anak balita merupakan golongan rawan gizi karena berhubungan dengan proses pertumbuhan yang relative pesat dan memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang relatif besar. Menurut Jellife (1989), masa kritis pertumbuhan dan perkembangan anak berada pada usia 12-24 bulan disebut dengan “Periode Kritis” (Danger Periode).

PERIODE KRITIS

  B e r Asupan Kurang a Parasit t infeksi Masalah Psikologis B a d a n

  6

  12

  18

  24

  30

  36 Umur (Bulan)

Gambar 2.1. Periode Kritis Tahun Kedua Kehidupan pada Pertumbuhan Anak

  (Pertambahan Berat Badan) Keadaan kurang gizi pada periode ini didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut : makanan yang kurang, adanya penyakit infeksi dan parasit serta adanya problem psikologis pada anak.

  Pertumbuhan merupakan parameter status gizi yang cukup untuk dipergunakan dalam menilai kesehatan anak. Parameter untuk mengukur kemajuan pertumbuhan yang biasa dipergunakan adalah Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Balita

  Ukuran tubuh dikendalikan oleh faktor keturunan dan lingkungan walaupun tampak adanya keteraturan dan keterlambatan sebelumnya dalam hal perubahan fisik, ternyata pola perubahan itu sendiri memperlihatkan keanekaragaman. Inilah yang menyebabkan tubuh anak-anak tampak berbeda satu sama lain (GJ. Ebrahem, 1998).

  Menurut Khomsan, (2004) pertumbuhan fisik seseorang dipengaruhi oleh dua faktor dominan yaitu lingkungan dan genetis. Kemampuan genetis dapat muncul secara optimal jika didukung oleh faktor lingkungan yang kondusif, yang dimaksud dengan faktor lingkungan di sini adalah intake gizi. Apabila terjadi tekanan terhadap dua faktor di atas, maka muncullah growth faltering.

  Secara umum terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anak yaitu (Soetjiningsih, 2001) :

2.2.1. Faktor Internal (Genetik)

  Soetjiningsih (1998) mengungkapkan bahwa faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil proses pertumbuhan. Melalui genetik yang berada di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang.

  Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orangtuanya dalam hal bentuk tubuh, proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan.

  Faktor ini cukup dominan dalam menentukan tinggi badan seseorang. Dan faktor ini sudah ada sejak lahir. Seorang anak yang memiliki ibu dan ayah yang berpostur tinggi biasanya nantinya akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang berpostur tinggi pula. Begitupun sebaliknya. Jika ayah dan ibunya pendek, maka seringkali anaknya juga memiliki postur yang juga pendek.

  Anda dapat mengamati bahwa orang-orang Afrika meskipun tidak mendapatkan gizi makanan yang baik, namun memiliki postur yang tinggi. Hal itu dapat terjadi lebih dikarenakan faktor keturunan atau genetik ini. Secara umum, faktor genetik ibu lebih berpengaruh ketimbang faktor genetik dari ayah. Ini berarti bahwa Si A yang memiliki ibu tinggi dan ayah pendek akan berpeluang memiliki tubuh yang lebih tinggi ketimbang si B yang memiliki ayah tinggi dan ibu pendek.

  Namun tentu saja hal itu bukanlah suatu kepastian, namun hanya kecenderungan medis (Supariasa, 2002).

2.2.2. Faktor Eksternal (Lingkungan)

  Lingkungan juga dapat bepengaruh terhadap pembentukan ukuran tubuh anak, baik lingkungan pralahir anak maupun lingkungan pascalahirnya. Kekurangan gizi, merokok, tekanan batin yang dialami ibu yang sedang mengandung dan masih banyak faktor lain lagi yang terjadi di dalam lingkungan pralahir ternyata dapat mempengaruhi besar kecilnya ukuran bayi ketika dilahirkan dan pengaruh ini akan berlangsung terus sampai si anak mencapai ukuran akhirnya.

  Menurut Soetjiningsih (1995) secara garis besar lingkungan dibagi menjadi lingkungan pra natal dan lingkungan post natal.

  1. Lingkungan Pra-Natal merupakan lingkungan yang ada pada saat ibu sedang hamil, yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari masa konsepsi sampai lahir seperti gizi ibu pada saat hamil menyebabkan bayi yang akan dilahirkan menjadi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan lahir mati serta jarang menyebabkan cacat bawaan. Selain dari pada itu kekurangan gizi dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan pada janin dan bayi lahir dengan daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terkena infeksi, dan selanjutnya akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tinggi badan.

  Faktor lingkungan pada masa pra natal lainnya yang berpengaruh adalah mekanis yaitu trauma dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Faktor toksin atau zat kimia yang disengaja atau tanpa sengaja dikonsumsi ibu melalui obat-obatan atau makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kecacatan, kematian atau bayi lahir dengan berat lahir rendah (Supariasa, 2002).

  2. Lingkungan Post-Natal mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir antara lain lingkungan biologis, seperti ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit infeksi & kronis, adanya gangguan fungsi metabolisme dan hormon. Selain itu faktor fisik dan biologis, psikososial dan faktor keluarga yang meliputi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat turut berpengaruh (Soetjiningsih, 1995).

2.3. Teknik Pemantauan Pertumbuhan

  Pemantauan pertumbuhan dapat dilakukan dengan menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan secara teratur pada waktu tertentu sehingga normal tidaknya pertumbuhan anak dapat diketahui (Sulistijani, 2001).

  Terpenuhinya kebutuhan gizi anak akan menentukan laju tumbuh kembang anak. Manifestasi dan adanya hambatan pertumbuhan adalah menjadi tidak sesuainya berat badan anak dengan usinya. Dengan membandingkan berat badan yang sama pada waktu KMS dapat diketahui ada tidaknya hambatan pertumbuhan (Moehji, 2003).

  Pertumbuhan balita dapat juga diketahui apabila setiap bulan ditimbang, hasil penimbangan dicatat di KMS (Kartu Menuju Sehat), dan dihubungkan antara titik berat badan pada KMS dari hasil penimbangan bulan lalu dan hasil penimbangan bulan ini. Rangkaian garis-garis pertumbuhan anak tersebut membentuk grafik pertumbuhan anak.

A. Kartu Menuju Sehat

  Pertumbuhan balita dapat juga diketahui apabila setiap bulan ditimbang, hasil penimbangan dicatat di KMS (Kartu Menuju Sehat), dan dihubungkan antara titik berat badan pada KMS dari hasil penimbangan bulan lalu dan hasil penimbangan bulan ini. Rangkaian garis-garis pertumbuhan anak tersebut membentuk grafik pertumbuhan anak. Pada balita yang sehat, berat badannya akan selalu naik, mengikuti pita pertumbuhan sesuai dengan umurnya (Depkes RI, 1999).

  Kartu Menuju Sehat (KMS) adalah suatu kartu/alat sederhana dan murah, penting digunakan untuk memantau pertumbuhan badan balita. KMS yang ada untuk saat ini yaitu kartu yang memuat grafik pertumbuhan serta indicator perkembangan yang bermanfaat untuk mencatat dan memantau tumbuh kembang balita setiap bulannya dari sejak lahir sampai berusia 5 (lima) tahun (Nursalam, 2005).

  Tujuan penggunaan KMS yaitu: a. Sebagai alat bantu bagi ibu untuk memantau pertumbuhan yang optimal b.

  Sebagai alat bantu dalam menentukan tindakan yang diperlukan untuk mewujudkan tumbuh kembang yang optimal.

  c.

  Mengetahui malnutrisi di masyarakat secara efektif dengan peningkatan pertumbuhan yang memadai.

  Fungsi KMS balita yaitu: a. Sebagai media mencatat riwayat kesehatan balita secara lengkap.

  b.

  Sebagai media penyuluhan bagi ibu mengenai kesehatan balita.

  c.

  Sebagai sarana pemantauan yang dapat digunakan oleh petugas untuk menentukan tindakan pelayanan kesehatan dan gizi terbaik bagi balita.

  Pada kartu tersebut terdapat grafik dengan latar belakang mulai hijau, hijau muda, kekuningan,, kuning, jingga, dan merah. Apabila hasil penimbangan balita dibandingkan dengan umur berada dalam grafik dengan latar belakang kuning, maka area warna merah atau berada di Bawah garis Merah (BGM) maka termasuk gizi buruk.

  Setelah dilakukan hasil pengukuran terhadap pertumbuhan badan pada balita didapat hasil sebagai berikut:

1. Pertumbuhan Normal

  Pertumbuhan anak dikatakan normal apabila grafik berat badan anak berada pada jalur berwarna hijau pada kalender balita (KMS) atau sedikit diatasnya.

  2. Pertumbuhan Tidak Normal Pertumbuhan anak mengalami penyimpangan apabila grafik berat badan anak berada jauh diatas warna hijau atau berada dibawah jalur hijau, khususnya pada jalur merah. Dan keterangan diatas dapat dihasilkan dari pertumbuhan Berat Badan.

  3. Apabila pada pengukuran arah garis meningkat (mengikuti arah kurva) berarti pertumbuhan anak baik.

  4. Apabila pada pengukuran arah garis mendatar berarti pertumbuhan kurang baik sehingga anak memerlukan perhatian khusus.

  5. Apabila pada pengukuran arah garis menurun berart anak memerlukan tindakan

  segera. Dapat dijelaskan bahwa pertumbuhan anak baik apabila mengikuti arah lengkungan kurva (Nursalam, 2005).

2.4. ISPA Pada Balita

  Istilah ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut dengan pengertian sebagai berikut: Infeksi adalah masuknya Mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga Alveoli beserta organ Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, kurang dari 14 hari.Biasanya diperlukan waktu penyembuhan 5 – 14 hari (Rasmaliyah, 2009).

  ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut, merupakan salah satu penyakit yang banyak menyebabkan kematian pada balita (Ditjen PPM & PL Depkes RI,

  1992). ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak - anak, baik di negara berkembang maupun dinegara maju dan sudah mampu(Rasmaliya, 2009).

  Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan

  ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Depkes, 2008).

  Rokok, sebagai salah satu resiko timbulnya ISPA merupakan pembunuh nomor

tiga setelah jantung koroner dan kanker, satu batang rokok membuat umur memendek 12

menit, 10.000 perhari orang di dunia mati karena merokok, 57.000 orang pertahun mati

di Indonesia karena merokok, kenaikan konsumsi rokok Indonesia tertinggi di dunia yaitu

44%. Di Indonesia prevalensi merokok dari tahun 1995 sampai 2001 di kalangan orang

dewasa meningkat menjadi 31,5% dari 26,9% (Depkes, 2008). Pada tahun 2001, 62,2%

dari pria dewasa merokok, dibandingkan pada tahun 1995 yang berkisar 53,4%.

Sebanyak 1,3% perempuan dilaporkan merokok secara teratur pada tahun 2001.

Prevalensi menurut kelompok umur meningkat pesat setelah 10 sampai 14 tahun di antara laki-laki dari 0,7% (1995) ke 24,2% (2001) (Depkes, 2008).

  ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. Dari seluruh kematian, yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % - 30 %. Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (Rasmaliyah,2009).

2.4.1. Faktor Risiko Penyakit ISPA

  a. Faktor Lingkungan

  • Pencemaran udara dalam rumah Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi. Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan risiko bronchitis, pneumonia pada anak yang tinggal didaerah lebih terpolusi.
  • Luas Ventilasi Luas ventilasi penting untuk suatu rumah karena berfungsi sebagai sarana untuk menjamin kualitas dan kecukupan sirkulasi udara yang keluar dan masuk dalam ruangan. Luas ventilasi yang kurang dapat menyebabkan suplai udara segar yang masuk ke dalam rumah tidak tercukupi dan pengeluaran udara kotor ke luar rumah juga tidak maksimal. Dengan demikian, akan menyebabkan kualitas udara dalam rumah menjadi buruk (Retno Widyaningtyas dkk, 2004).

  • Pencahayaan Pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan.
  • Kualitas Udara Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai berikut.

  1. Suhu udara nyaman berkisar 18 -30 Celcius.

  2. Kelembaban udara berkisar antara 40%-70%.

  3. Konsentrasi gas CO

  2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam.

  4. Pertukaran udara=5 kaki kubik per menit per penghuni.

  5. Konsentrasi gas formaldehid tidak melebihi 120 mg/m

  3 .

  • Kepadatan Hunian Rumah Kepadatan hunian dalam rumah menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI

  No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, kepadatan hunian ruang tidur minimal luasnya 8m

  2

  dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Berdasarkan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada.

  b. Faktor Individu Anak

  • Umur Anak Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6 –12 bulan.

  • Berat Badan Lahir Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.
  • Status Gizi Balita Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan serangannya lebih lama.
  • Vitamin A Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, maka dapat diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat.

  • Status Imunisasi Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap.

  c. Faktor Perilaku Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya.

  Peran aktif keluarga dan masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit. d. Tingkat Pendidikan Ibu Rendah Dalam Juli Soemirat Slamet (2002), menyatakan bahwa kualitas pendidikan berbanding lurus dengan pencegahan penyakit. Demikian juga dengan pendapatan, kesehatan lingkungan, dan informasi yang dapat diperoleh tentang kesehatan. Semakin rendah pendidikan ibu, semakin tinggi prevalensi ISPA pada balita.

  e. Tingkat Sosial Ekonomi Rendah Bayi yang lahir di keluarga yang tingkat sosial ekonominya rendah maka pemenuhan kebutuhan gizi dan pengetahuan tentang kesehatannya juga rendah sehingga akan mudah terjadi penularan penyakit termasuk ISPA (Juli Soemirat Slamet, 2002).

2.5. Keluarga Perokok dan Keluarga Bukan Perokok

  Keluarga perokok adalah sebuah keluarga yang terdapat satu atau lebih anggotanya merokok baik perempuan maupun pria. Merokok sudah menjadi kebiasaan sebagian besar orang dewasa, kebanyakan dari mereka yaitu laki-laki. Sebagai kepala keluarga sering sekali mereka tidak menyadari bahwa rokok yang mereka hisap tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri namun juga berdampak buruk bagi anggota keluarganya yang lain, khususnya anggota keluarga yang merupakan kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, dan anak usia sekolah.

  Sedangkan keluarga bukan perokok adalah sebuah keluarga yang tidak ada anggota keluarganya yang merokok. Dalam keluarga ini dana yang dialokasikan ke makanan jauh lebih besar dibandingkan pada keluarga perokok. Dan tingkat terpenuhinya asupan makanan untuk balita jauh lebih tinggi. Dan balita yang tinggal bersama keluarga perokok status gizinya lebih baik.

  Rokok menyebabkan ketergantungan yang menjerat konsumennya tanpa pandang status sosial ekonomi penggunanya. Konsumen rokok tidak lagi mempunyai pilihan untuk menentukan apakah merokok atau menunda rokoknya demi memenuhi kebutuhan makan bagi keluarganya. Akibat ketergantungan pada rokok, kebutuhan asupan makanan bergizi bagi anak balita dalam keluarga miskin seringkali dikorbankan.

  Merokok merupakan kebiasaan yang memiliki daya merusak cukup besar terhadap kesehatan. Hubungan antara merokok dengan berbagai macam penyakit seperti kanker paru, penyakit kardiovaskuler, risiko terjadinya neoplasma laryng, esophagus dan sebagainya, telah banyak diteliti. Banyak pengetahuan tentang bahaya merokok dan kerugian yang ditimbulkan oleh tingkah laku merokok, meskipun semua orang tahu akan bahaya merokok, perilaku merokok tampaknya merupakan perilaku yang masih ditoleransi oleh masyarakat (Depkes,2008).

  Secara langsung nikotin dengan ribuan bahaya beracun asap lainnya akan masuk ke dalam saluran pernapasan bayi dan dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Secara tidak langsung, racun dari nikotin yang berasal dari asap rokok tersebut terhirup oleh ibu melalui saluran pernapasan dan masuk ke dalam ASI yang kemudian akan diminum oleh anak. Sehingga racun tersebut akan terakumulasi di dalam tubuh anak dan tentu saja membahayakan kesehatan si kecil (Hidayat, 2005).

  Bagi suku karo kebiasaan merokok sudah merupakan suatu kebudayaan yang sangat sulit untuk di ubah. Dan hal sangat memberi pengaruh besar terhadap pertumbuhan anak balita yang tinggal bersama keluarga yang perokok. Karna balita yang tinggal bersama anggota keluarganya yang perokok perlu diperhatikan bagaiman perkembangan pertumbuhannya. Karna jika hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama sangat member pengaruh besar terhadap status gizi balita.

  Berdasarkan penelitian Sudaryati (2013), proporsi rumah tangga perokok berdasarkan ketahanan keluarga sehat di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo, menunjukkan bahwa dari 120 rumah tangga perokok terdapat 75 (62,5%) rumah tangga yang baik dan 45 (37,55) rumah tangga yang kurang baik. Sedangkan faktor pangan yang meliputi ketersediaan pangan dan konsumsi pangan yang diteliti menunjukkan bahwa keluarga perokok yang mempunyai faktor pangan yang baik hanya ada pada 49 keluarga (40,8%), dan 71 keluarga (59,2%) berada dalam kategori faktor pangan kurang

2.5. Antropometri

  Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh. Dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometeri sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalan tubuh (Supariasa. 2002).

  Beberapa syarat yang mendasari penggunaan antropometri yaitu : 1. Alatnya mudah didapat dan digunakan, seperti dacin, pita lingkar lengan atas, mikrotoa dan alat pengukur yang bisa dibuat sendiri di rumah.

  2. Pengukuran dapat dilakukan secara berulang-ulang dengan mudah dan objektif.

  3. Pengukuran bukan hanya dilakukan oleh tenaga profesional, juga oleh tenaga lain setelah dilatih untuk itu .

  4. Biaya relatif murah, karena alat ini mudah didapat dan tidak memerlukan bahan-bahan lain.

  5. Hasilnya mudah disimpulkan, karena mempunyai ambang batas dan buku rujukan yang sudah pasti .

  6. Diakui kebenarannya secara ilmiah Keunggulan antropometri menurut Supariasa (2002), yaitu sebagai berikut: 1. Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar.

  2. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih .

  3. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama dapat dipesan dan dibuat didaerah setempat.

  4. Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibakukan.

  5. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.

  6. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan gizi buruk karena sudah diambang batas yang jelas.

  7. Metode antropometeri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu atau dari satu generasi ke generasi berikutnya.

  8. Metode antropometeri gizi dapat digunakan untuk penapisan kelompok rawan terhadap gizi.

  Disamping keunggulan tersebut terdapat juga beberapa kelemahan yaitu sebagai berikut :

  1. Tidak sensitif, metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu singkat. Disamping itu tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti zink dan Fe.

  2. Faktor diluar gizi (penyakit, genetik dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri.

  3. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi dan validitas pengukuran antropometri gizi.

  4. Kesalahan ini terjadi karena :

  a. Pengukuran

  b. Perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan

  c. Analisis dan asumsi yang keliru

  5. Sumber kesalahan, biasanya berhubungan dengan

  a. Latihan petugas yang tidak cukup

  b. Kesalahan alat atau alat tidak ditera

  c. Kesulitan pengukuran Ukuran (parameter) yang biasa digunakan dalam antropometri gizi adalah: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas (LLA), Lingkar Kepala (LK), Lingkar

  Dada (LD), Lapisan lemak di bawah kulit (LLBK) dan umur.

2.7 Indeks Antropometri

  Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinsi dari beberapa parameter disebut indeks antropometri. Disamping mudah penggunaannya, biaya operasionalnya lebih murah dibandingkan dengan cara lain yang menggunakan pemeriksaan laboratorium dan klinis. Ada beberapa indeks antropometri yang umum dikenal yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) digunakan baku Harvard yang disesuaikan untuk Indonesia (100% baku Indonesia = 50 persentile baku Harvard) dan untuk lingkar lengan atas (LLA) digunakan baku Wolanski. Tiga dari indeks antropometri tersebut diatas yang paling sering digunakan karena pengukurannya lebih baik (Hastoety, 2002).

2.7.1. Berat Badan

  Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi baru lahir. Berat badan digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Dikatakan BBLR apabila berat bayi lahir di bawah 2500 gram atau di bawah 2,5 kg. pada masa bayi-balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi, kecuali terdapat kelainan klinis seperti dehidrasi, asites, edema dan adanya tumor. Di samping itu pula berat badan dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan dosis obat dan makanan.

  Indikator berat badan dimanfaatkan dalam klinik untuk : 1. Bahan informasi untuk menilai keadaan gizi baik yang akut maupun yang kronis, tumbuh kembang dan kesehatan.

2. Memonitor keadaan kesehatan, misalnya pada pengobatan penyakit.

  3. Dasar perhitungan dosis obat dan makanan perlu diberikan Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status memliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah :

  1. Dapat lebih mudah dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum 2.

  Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek 3. Dapat mendeteksi kegemukan (overweight)

  Sedangkan yang menjadi kelemahannya adalah : 1. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru jika terjadi edema 2. Memerlukan daftar umum yang akurat, terutama untuk kelompok anaka dibawah usia lima tahun (balita). Ketetapan umur untuk kelompok ini masih merupakan masalah bagi Negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia.

  3. Sering terjadi kesalahn dalam pengukuran misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan

2.7.2. Tinggi Badan Tinggi badan merupakan antropometri kedua yang terpenting.

  Keistimewaannya adalah bahwa ukuran tinggi badan pada masa pertumbuhan meningkat terus sampai pada tinggi maksimal yang dicapai. Walaupun kenaikan tinggi badan ini berfluktuasi, dimana tinggi badan meningkat pesat pada masa bayi, kemudian melambat, dan menjadi pesat kembali, selanjutnya melambat lagi dan akhirnya berhenti pada umur 18-20 tahun.

  Keuntungan indikator TB ini adalah pengukurannya obyektif dapat diulang, alat dapat dibuat sendiri, murad dan mudah dibawa. Merupakan indikatir yang baik untuk gangguan pertumbuhan fisik yang sudah lewat (stunting), sebagai perbandingan terhadap perubahan-perubahan relative, seperti nilai BB dan LLA.

  Kerugiannya adalah perubahan tinggi badan relative pelan, sukar mengukur tinggi badan yang tepat, dan kadang-kadang diperlukan lebih dari seorang tenaga.

  Disamping itu dibutuhkan 2 macam teknik pengukuran, pada anak umur lebih dari 2 tahun dengan posisi berdiri. Panjang supinasi pada umumnya 1cm lebih panjang daripada tinggi berdiri pada anak yang sama meski diukur dengan teknik pengukuran yang terbaik dan secara cermat.

  • Pengukuran Panjang/Tinggi Badan Menurut Umur Pengukuran panjang/tinggi badan menurut umur dapat dipakai sebagai patokan untuk menilai keadaan gizi asal umur diketahui dengan tepat. Disamping itu tinggi badan merupakan ukuran yang dapat dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dari anak-anak. Cara pengukuran ini tidak sukar dan alat yang digunakan bagi anak- anak yang dapat berdiri sendiri dan dewasa, microtoise, sedangkan bayi dan anak yang belum dapat berdiri dipergunakan alat pengukur bayi yang dibuat dari kayu.

  Cara mengukur panjang bayi atau anak yang belum bisa berdiri : 1. Alat pengukur diletakkan di atas meja atau lantai yang rata 2.

  Anak ditidurkan diletakkan sedemikian rupa sehingga bagian atas dibatasi oleh papan dengan muka lurus keatas.

3. Kaki lurus dengan telapak kaki menyentuh papan fixas dengan kedudukn tegak lurus.

  Cara pengukuran tinggi badan anak : 1. Sepatu atau sandal dilepas

  2. Berdiri tegak lurus dilantai yang datar, kaki sejajar dengan alat pengukur dengan tumit, bokong, kepala bagian belakang dalam sikap tegak memandang kedepan.

  3. Kedua tangan berada disamping dalam keadaan bebas.

  4. Dengan menggunakan fixasi yang berbentuk siku-siku, tekanlah fixasi tersebut sampai rapat pada kepala bagian atas.

  5. Baca skala yang menunjukkan tinggi badan (Winarno, 1990).

2.8. Kerangka Teori

PERTUMBUHAN BALITA

  Sebab

INTAKE GIZI STATUS KESEHATAN

  Langsung PANGAN KELUARGA BALITA KETAHANAN POLA ASUH KESEHATAN DAN Tidak LINGKUNGAN PELAYANAN Sebab SANITASI Langsung Pendidikan Keluarga

  Keberadaan & Kontrol Sumber Daya Keluarga: Manusia, Ekonomi, Keluarga

  

Struktur Politik, Ideologi & Ekonomi Sebab

Dasar

  Potensi Sumber Daya

Gambar 2.2. Kerangka Teori Kerangka teori dalam penelitian ini disusun berdasarkan model interelasi

  Tumbuh Kembang Anak (Soetjiningsih, 1998

2.9. Kerangka Konsep

  STATUS MEROKOK KELUARGA STATUS KESEHATAN

1. Keluarga Perokok

  2. Keluarga Bukan Perokok POLA PERTUMBUHAN BALITA

  Berat Badan / U

  • -

    Tinggi Badan / U

    -

    Berat Badan /
  • -

    Tinggi Badan

Gambar 2.3. Kerangka Konsep

  Pola pertumbuhan anak balita dipengaruhi oleh status kesehatan dan status merokok keluarga. Jika balita tinggal dalam keluarga yang status keluarga bukan perokok maka status kesehatan balita akan jauh balita. Jika kesehatan balita baik maka pertumbuhan balita tidak akan terhambat.