BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang - Hubungan antara Efektivitas Kepemimpinan Dengan Job Insecurity
BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Dalam era globalisasi saat ini perusahaan dihadapkan pada iklim
persaingan usaha yang semakin ketat yang menuntut perusahaan untuk saling berlomba-lomba dalam meningkatkan produktivitas perusahaan, agar mampu bertahan dalam menghadapi persaingan yang terjadi, Menurut Petter & Watermen (1982) karyawan atau sumber daya manusia merupakan aset terpenting yang berfungsi untuk mengerakkan dan mengembangkan perusahaan.
Menurut Allen (dalam As’ad,1999) menyatakan bahwa sebaik apapun perencanaan organisasi dan pengawasan yang dilakukan perusahan, namun apabila sumber daya manusia (karyawan) tidak dapat menjalankan pekerjaanya dengan aman dan nyaman maka suatu perusahaan tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Salah satu masalah yang terjadi dalam perusahaan yang berhubungan dengan karyawan saat ini adalah organisasi dituntut untuk aktif dalam melakukan perubahan internal (perubahan yang melibatkan dari dalam organisasi) sebagai salah satu cara dalam merancang strategi untuk memenangkan persaingan antar perusahaan.
Menurut Hellegren dkk (1999 fenomena perubahan internal dalam perusahan salah satunya adalah pergantian kepemimpinan atau peralihan kepemimpinan, yang secara tidak langsung dapat memberikan ancaman bagi para pekerja di perusahaan tersebut.
1 Menurut Santoso (2005) karyawan yang sudah memiliki perasaan tidak aman lagi berada di perushan,dapat menyebabkan mereka menjadi bingung dalam melaksanakan berbagai aktivitas pekerjaan mereka, karena hal ini dianggap oleh karyawan sebagai situasi yang dapat mengancam kelangsungan kehidupan mereka, disuatu sisi mereka ingin terus eksis di dalam tempat kerja mereka tetapi disisi lain mereka merasa bahwa posisinya senantiasa terancam. Kondisi inilah yang disebut dengan job insecurity.
Menurut Ashford dkk (1989) job insecurity diartikan sebagai tingkat dimana karyawan merasa terancam pada pekerjaanya dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut.Job insecurity yang dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan.Job insecurity juga mempunyai dampak terhadap menurunnya keinginan pekerja untuk bekerja di suatu perusahan tertentu dan akhirnya mengarah pada keinginan untuk berhenti bekerja.
Menurut Greenberg&Baron (2003) karyawan yang mengalami ketidakamanan bekerja (job insecurity) biasanya memunculkan prilaku
withdrawal yang diartikan sebagai usaha karyawan untuk meminimalisasikan
hubungan atau kontak mereka dengan pekerjaan, lebih lanjut menurut Hullin (dalam Parahayanti, 2005) menyatakan bentuk withdrawal sebagai berikut yaitu, menggunakan waktu kerja untuk kepentingan pribadi, memanjangkan waktu istirahat, datang terlambat, tingginya tingkat absensi dan menghindari sebagian tanggung jawab mereka.
Menurut Vurren (dalam Pradiansayah,1999) menyatakan bahwa dalam menghadapi job insecurity ada tiga respon yang biasanya diambil oleh karyawan yaitu,tindakan pertama adalah avoidance(menghindar), seperti malas datang ke kantor, tidak berminat terhadap pekerjaan. Tindakan kedua adalah ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan perusahaan dan mencari pekerjaan yang baru, dan tindakan ketiga adalah pasrah dalam menghadapi situasi lingkungan kerja dan mengikuti alur dari kepemimpinan tersebut. Menurut Vurren (dalam Pradiansyah,1999) dalam ketidakamanan mereka dalam bekerja tindakan pertama dan kedua agak sulit untuk dilakukan karena itu tindakan ketigalah yang paling mungkin untuk diambil. Selintas nampaknya karyawan tetap bekerja padahal mereka lebih sering berbagi kecemasan dengan rekan kerjanya.
Job insecurity selalu dikaitkan dengan kesejahteraan pekerja serta
menurunnya kepercayaan terhadap kepemimpinan didalam organisasi serta rendahnya persepsi terhadap dukungan organisasi dan kepemimpinan dalam perusahaan dan beakhir kepada keputusan karyawan untuk keluar dari perusahan, (Ashford 1989). Job insecurity juga akan berdampak terhadap pekerjaan yang dihasilkan oleh karyawan menjadi kurang produktif dan efektif, komitmen yang rendah dan akhirnya dapat menimbulkan turn over di perusahaan tersebut.
Menurut Hellgren (1999) pada umumnya organisasi tidak mudah untuk mendeteksi setiap job insecurity yang ada di dalamnya karena hal ini berhubungan dengan persepsi karyawan terhadap organisasi tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa diperlukan penanganan yang serius terhadap masalah tersebut serta keterlibatan manajemen terutama peran pemimpin dalam mendeteksi adanya job
insecurity , maka sebaiknya setiap organisasi perlu melakukan deteksi atau
diagnosis dini terhadap kondisi setiap karyawannya terkait dengan job insecurity yang mungkin terjadi.
Faktor yang menyebabkan karyawan merasa job insecurity dalam perusahaan dibagi 2 yaitu, faktor situasional dan faktor posisional. Menururt Ashford (1989) faktor situasional seperti kondisi lingkungan organisasi, sedangkan faktor posisional yaitu kepemimpinan. Menurut penelitian dari Kinneuen & Naetti (1989) menyatakan bahwa prediktor utama yang menyebabkan
job insecurity karyawan berasal dari faktor posisional, dalam hal ini yaitu
kepemimpinan.Pemimpin didefenisikan sebagai seseorang yang menduduki satu posisi di kelompok ,mempengaruhi orang-orang dalam kelompok sesuai dengan ekspektasi peran dari posisi tersebut dan mengkordinasi serta mengarahkan kelompok untuk mempertahankan diri serta mencapai tujuannya. Menurut Raven (dalam Bernadine & Susilo:2005) pemimpin dalam suatu perusahaan memiliki peranan penting dalam memajukan perusahannya dan merupakan suatu posisi sentral yang menentukan arah lajunya perusahaan.
Pemimpin yang dapat dikatakan sebagai pemimpin yang efektif yaitu pemimpin yang mampu menggerakkan anggotanya untuk mencapai tujuan bersama (Nawawi &Hadari,2006).Menurut Bernadatte (dalam,Munandar,2001) terdapat empat ciri pemimpin yang efektif yaitu memiliki integritas, keterampilan komunikasi yang baik, mampu memperdayakan bawahannya (empowerment), berpendidikan, dan memiliki rasa sosial (social sense ) yang tinggi.
Menurut Jacobs (dalam Munandar,2001)pemimpin yang efektif memiliki ciri kepribadian yang caring, openness, flexibility, warmth, objectivity,
truthworthiness, honesty, strength, patience, dan sensitivity . Ciri lainnya adalah
bahwa pemimpin tersebut nyaman dengan diri sendiri dan orang lain, meliputi nyaman dengan posisi sebagai pemegang otoritas, percaya diri dengan kemampuannya untuk memimpin, dan kemampuan untuk mendengarkan perasaan, reaksi, mood, dan pendapat orang lain.Tetapi menurut Jacobs, efektivitas kepemimpinan tidak hanya ditentukan oleh pemimpin saja, melainkan dari hasil bersama antara pemimpin, karyawan dan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin.
Menurut Robbins (2007) kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Menurut Chemeres (1997) kepemimpinan yang efektif berpedoman pada tiga fungsi utama yaitu kemampuan pemimpin untuk pemproyeksikan pemikiran dan harapannya, pengembangan hubungan interpersonal (menciptakan hubungan yang baik dengan bawahannya),dan kemampuan pemimpin untuk memanfaatkan kemampuan atau aset bawahnnya untuk mencapai visi dan misi perusahaan.Dalam Munandar(2001) kepemimpinan yang dipilih oleh seorang pemimpin merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi efektif atau tidaknya kepemimpinan tersebut dan kenyamanan dan kemananan kerja karyawan, karena semakin nyaman dan aman karyawan di suatu perusahan diharapkan kinerjanya akan semakin baik sehingga produktivitasnya dapat tetap terjaga.
Kepemimpinan yang efektif merupakan faktor yang terpenting dalam perkembangan serta kesuksesan suatu organisasi atau perusahaan,serta ada pandangan yang berbeda-beda yang ditunjukan oleh setiap karyawan didalam menilai efektivitas kepemimpinan yang dijalankan oleh pemimpinnya, (Wexley &Yulk,2002). Menurut Soonhe(2002) adanya perubahan kepemimpinan disuatu organisasi atau perusahan dapat membuat karyawan memeprsepsikan berbeda- beda tentang efektivitas kepemimpinan tersebut,pemimpin yang tidak mampu membina hubungan baik dengan bawahannya membuat karyawan merasa tidak nyaman dan aman untuk bekerja diperusahan tersebut.
Menurut Hartley, dkk (1991) fenomena job insecurity bukan merupakan istilah baru dalam lingkungan industry dan organisasi. Fenomena ini telah menyebar sejak tahun 1990 dan terus berkembang hingga sekarang. Pada dasarnya
job insecurity ini disebabkan oleh perubahan dari sistem perusahaan yang
berdampak terhadap karyawan seperti status karyawan di perusahaan, perubahan kepemimpinan,dan sistem kerja karyawan. Bagi perusahaan hal ini dapat berdampak positif yang mampu meningkatkan kualitas organisasi, namun bagi karyawan hal ini dapat menganggu keberadaannya di dalam perusahaan tersebut sehingga timbul job insecurity dalam pekerjaan tersebut.
Menurut penelitian dari Burgard (2006) menyatakan bahwa job insecurity yang terjadi di dalam perusahaan dapat menyebabkan persepsi karyawan untuk meninggalkan dan kehilangan pekerjaan akibat ketidakmampuannya untuk menghadapi situasi tersebut.
Menurut Bader (2001) job insecurity dapat dipengaruhi oleh tidak efektifnya metode yang digunakan pemimpin dalam suatu organisasi. Menurut Siagian (2003) pemimpin yang tidak efektif adalah pemimpin yang memiliki ciri yaitu tidak adanya rasa tanggung jawab, tidak berani untuk mengambil resiko, kurang memiliki semangat dan ketidakmampuan dalam melibatkan karyawan dalam dinamika organisasi,seperti kurangnya kemampuan interpersonal seperti berbicara,mendengarkan masukkan,berkoordinasi dengan bawahan,kondisi seperti inilah yang dapat membuat karyawan menjadi tidak aman (insecure) dan nyaman dalam menjalankan pekerjaan mereka. Hal ini juga terjadi pada PT.X.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dengan manager HRD dan karyawan PT.X didapat informasi bahwa karyawan PT.X berada dalam kondisi kerja yang insecure hal ini dilihat dari tingkat absen yang tinggi, turnover yang tinggi ,motivasi kerja menurun dan kurang di hargainya ide-ide yang di keluarkan oleh karyawan.
Berdasarkan informasi yang didapat kondisi yang dirasakan karyawan saat ini terkait dengan adanya pergantian atau peralihan kepemimpinan di PT.X. dengan adanya kepemimpinan yang baru sistem yang diterapkan di perusahan pun berbeda,pemimpin lebih menekankan pada rekstrukturisasi atau perombakan karyawan, selainn itu adanya pemasangan CCTV yang langsung terhubung ke ruang pemimpin yang bertujuan agar pemimpin dapat secara intens mengawasi setiap kegiatan yang dilakukan oleh karyawan. Selain itu pemimpin yang sekarang kaku terhadap karyawan, kurang peduli terhadap kesejahteraan karyawan, kurang mampu menciptakan hubungan dengan bawahnnya, tidak objektif didalam menilai hasil kerja karyawan, dan terkadang semena-mena dalam memecat karyawannya.
Berdasarkan fenomena diatas dapat di simpulkan bahwa metode kepemimpinan yang ada di PT.X kurang efektif, karena pemimpin kurang dapat mejalin hubungan yang baik dengan bawahannya, kurang sensitive terhadap bawahannya (sensitivity), kurang objektif dalam menilai hasil kerja bawahannya (objectivity), kurang peduli (caring), kurang terbuka (openness), dan kurang sabar (Honesty) dan kurang sabar dalam membimbing bawahnnya. Menurut Jacobs (dalam Munandar,2001) pemimpin yang efektif memiliki cirri kepribadian yang
caring.Oppnness,flexibility,warmth, objectivity, trutnworthiness,honesty,patience,
dan sensitivity. Kurang terpenuhinya cirri-ciri pemimpin efektif yang dikemukana oleh Jacob (dalam Munandar,2001),oleh sebab itu dapat di katakan bahwa pemimpin PT.X kurang efektif.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti ingin meneliti hubungan antara Efektivitas kepemimpinan dengan job insecurity pada karyawan PT.X.
I..B. Rumusan Masalah
Peneliti ingin mengetahui bagaimana hubungan antaraefektivitas kepemimpinan dengan job insecurity pada Karyawan PT.X.
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara efektivitas kepemimpinan dengan job insecurity pada karyawan PT.X.
I.D. Manfaat Penelitian
I.D.1 Manfaat Teoritis Dapat dijadikan sebagai pembuktian secara empiris teori yang sudah ada.
I.D.2 Manfaat Praktis
Pemimpin dapat mengetahui bagaimana persepsi karywan terhadap kepemimpinanya,bagaimana hubungan antara efektifitas pemimpin dengan
job insecurtiy yang dimiliki oleh karyawannya dan dapat diketahui tingkat job insecurity karyawan
I.E. Sistematika penulisan
Skripsi ini disusun dalam lima bab, masing-masing bab memuat materi sebagai berikut:
BAB 1 Latar Belakang Bab ini berisikan penjelasan latar belakang permasalahan,perumusan masalah,tujuan penelitian,manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II mengenai landasan teori. Pada bagian ini berisi uraian teori yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. BAB III metodelogi penelitian. Pada bagian ini berisikan uraian yang menjelaskan mengenai pertanyaan penelitian,indentifikasi variable penelitian, defenisi operasional, populasi, sample dan metode pengambilan sample, teknik pengmbilan sample ,alat ukur penelitian , validitas dan rehabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.
BAB IV mengenai analisa data dan pembahasan. Pada bab ini akan dibahas mengenai analisa data dan hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan dari kuisioner yang telah di sebarkan kepada para partisipan.
BAB V mengenai kesimpulan dan saran.bab ini membahas mengenai kesimpulan penelitian mengenai hasil penelitian serta saran penelitian berupa saran metodelogis dan saran praktis bagi peneliti selanjutnya.