BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN - Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Apabila Terjadi Force Majeure (Studi Pada PT. Daya Prima Indonesia)

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Kredit Pemilikan Rumah Ditinjau dari
UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
BAB IV ( Perlindungan Hukum Konsumen dalam Perjanjian Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) Apabila Terjadi Force majeure (Studi pada PT. Daya Prima
Indonesia) ), berisi inti dari penulisan ini yang membahas dan mengkaji
Perlindungan Hukum Konsumen Perumahan yakni terdiri atas: Penjelasan Atas
Hak-Hak Konsumen yang Tidak Terpenuhi Akibat Force majeure, Upaya
Menyelesaikan Permasalahan Hak Konsumen yang Tidak Terpenuhi Akibat
Force majeure, Hambatan yang Dihadapi Dalam Menyelesaikan Permasalahan
Konsumen.
BAB V ( Kesimpulan dan Saran ), berisi uraian mengenai kesimpulan dari seluruh
bab sebelumnya yang menjadi suatu kesimpulan penulisan serta saran-saran yang
merupakan sumbangan pemikiran dari penulis terhadap permasalahan dalam
skripsi ini.

BAB II
PERLINDUNGAN KONSUMEN

Universitas Sumatera Utara

A.


Pengertian dan Istilah dalam Perlindungan Konsumen
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya

di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai
jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan
perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan tekhnologi telekomunikasi dan
informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa
melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang
ditawarkan menjadi lebih bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi
dalam negeri.
Kondisi seperti ini pada satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen
karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat
terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan
kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Namun, disisi lain dapat pula menyebabkan kedudukan pelaku usaha dan
konsumen menjadi tidak seimbang, dimana sering kali kosumen berada pada
posisi yang lemah. 22
Hal inilah yang melatarbelakangi dibentuknya Hukum Perlindungan
Konsumen sebagai salah satu upaya pemerintah untuk menyeimbangkan

kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen. Perlindungan konsumen adalah
perangkat hukum yang

diciptakan

untuk

melindungi

dan

terpenuhinya

22

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, Hal. 12

Universitas Sumatera Utara


hak konsumen. Sehingga konsumen tidak lagi berada pada posisi yang lemah dan
dapat menuntut hak-haknya sesuai apa yang diperjanjikan.
Didalam Hukum Perlindungan Konsumen terdapat beberapa istilah-istilah
yang memiliki makna yang berbeda-beda dan menyebabkan akibat hukum yang
berbeda pula. Untuk itu perlu dibahas mengenai beberapa istilah yang sering
digunakan di dalam perlindungan konsumen tersebut.
1.

Konsumen
Di dalam kegiatan sehari-hari kita tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan

yang memposisikan kita sebagai konsumen. Konsumen merupakan salah satu
pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi yang hak-haknya sering diabaikan.
Di dalam ilmu ekonomi ada dua jenis konsumen, yakni konsumen antara dan
konsumen akhir. Konsumen antara adalah distributor, agen dan pengecer. Mereka
membeli barang bukan untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan
Sedangkan pengguna barang adalah konsumen akhir. 23
Kata “konsumen” pun sering kali di sebutkan di dalam percakapan seharihari. Sehingga perlu diberikan batasan pengertian yang jelas agar mempermudah
kita dalam membahas tentang perlindungan konsumen.
Di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

(UUPK) yaitu UU Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa :

23

Gunadiemaha, Pengertian Produsen dan Konsumen dalam Tinjauan TOU,
http://gunadiemaha.wordpress.com/2010/05/04/pengertian-produsen-konsumen-dalam-tinjauantou/, diakses pada Kamis, 23 Mei 2013

Universitas Sumatera Utara

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Pengertian

konsumen

yang

dituliskan


didalam

Undang-Undang

Perlindungan Konsumen tersebut dapat kita simpulkan bahwa konsumen yang
dimaksud adalah konsumen akhir. Karena konsumen akhir memperoleh barang
dan/atau jasa bukan untuk dijual kembali, melainkan untuk digunakan, baik bagi
kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain dimana
ia merasakan secara langsung dampak yang ditimbulkan oleh barang dan/ atau
jasa yang dikonsumsinya. 24
Dapat dilihat bahwa di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
ini tidak hanya manusia dan badan hukum yang dilindungi namun juga makhluk
hidup lain yang bukan manusia seperti hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Pengertian mengenai konsumen di dalam UUPK tersebut memberikan
perlindungan yang seluas-luasnya kepada konsumen, sehingga diharapkan dapat
menanggulangi seluruh permasalahan yang merugikan konsumen dalam
mengonsumsi barang dan/ atau jasa.
Selain pengertian diatas, dikemukakan pula pengertian konsumen, yang
khusus berkaitan dengan masalah ganti kerugian. Di Amerika Serikat, pengertian
konsumen meliputi “korban produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi

pembeli, melainkan juga korban yang bukan pembeli, namun pemakai, bahkan
korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan

24

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

pemakai. Sedangkan di Eropa, hanya dikemukakan pengertian konsumen
berdasarkan Product Liability Directive ( Direktif Kewajiban Produk ) selanjutnya
disebut directive, sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa
(MEE) dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak
yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa
kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri. 25
2.

Pelaku Usaha/ Produsen
Produksi merupakan salah satu kegiatan yang berhubungan erat dengan


kegiatan ekonomi. Melalui proses produksi bisa dihasilkan berbagai macam
barang yang dibutuhkan oleh manusia. Tingkat produksi juga dijadikan sebagai
patokan penilaian atas tingkat kesejahteraan suatu negara. Jadi tidak heran bila
setiap negara berlomba - lomba meningkatkan hasil produksi secara global untuk
meningkatkan pendapatan perkapitanya. Orang yang menjalankan proses produksi
inilah yang disebut sebagai produsen. 26
Kata produsen tidak digunakan didalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen sebagai lawan dari kata konsumen, melainkan menggunakan kata
pelaku usaha.
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan
bahwa:

25

Nurhayati Abbas, “Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya”,
Makalah, Elips Project, Ujungpandang, 1996, Hal. 13
26
Febri
Jikrillah,

Pengertian
dan
Defenisi
Produksi,
http://febrizikrillah.blogspot.com/2013/01/pengerian-dan-definisi-produksi.html, diakses pada Kamis, 23 Mei
2013

Universitas Sumatera Utara

“Pelaku usaha dalam setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Pengertian pelaku usaha yang dituangkan didalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen merupakan pengertian yang sangat luas meliputi grosir,
pengecer, dan sebagainya. Namun, dalam pengertian pelaku usaha tersebut , tidak
mencakup eksportir ataupun pelaku usaha luar negeri, karena UUPK membatasi
orang perserorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. 27
B.

Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada sejumlah

asas dan tujuan yang diyakini dapat memberikan arahan dalam implementasinya
dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum
perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
Di dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen dicantumkan beberapa
asas-asas Perlindungan Konsumen. Asas-asas yang dianut dalam hukum
perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UUPK adalah: 28
1.

Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak,

27


Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, Hal. 9
28
Wibowo Tunardi, Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen,
http://www.wibowotunardy.com/asas-dan-tujuan-hukum-perlindungan-konsumen/, diakses pada
Kamis, 23 Mei 2013

Universitas Sumatera Utara

2.

3.

4.

5.

konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Sehingga tidak ada
satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya.

Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
Asas keadilan
Penerapan asas ini dimaksudkan agar peran seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan bagi
konsumen dan pelaku usaha untuk dapat memperoleh haknya dan
menunaikan kewajibannya secara adil.
Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku
usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada
pihak yang lebih dilindungi.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian,
dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan
substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu: 29
1.

Asas Kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen.

2.

Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

3.

Asas kepastian hukum
Masing-masing Undang-Undang memiliki tujuan khusus. Tujuan Undang-

Undang Perlindungan Konsumen adalah untuk melindungi kepentingan konsumen
dan sekaligus sebagai acuan bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas
barang dan/atau jasa yang diproduksinya. Lebih lengkapnya tujuan Undang-

29

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., Hal 26

Universitas Sumatera Utara

Undang Perlindungan Konsumen dicantumkan didalam Pasal 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yaitu :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
C.

Hak dan Kewajiban Konsumen
Berbicara mengenai hak dan kewajiban, maka kita harus kembali kepada

Undang-Undang. Undang-Undang dalam hukum perdata, selain dibuat oleh badan
legislatif sebagai pembuat Undang-Undang juga dapat dilahirkan dari perjanjian
antara pihak-pihak yang berhubungan hukum antara satu dengan yang lain. Baik
perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak maupun Undang-Undang
yang dibuat oleh badan legislatif keduanya membentuk perikatan diantara pihak
yang membuatnya. 30
Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak
dan kewajiban. Pengetahuan mengenai hak-hak konsumen sangat penting agar
orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika
terdapat adanya tindakan tidak adil atas dirinya, ia dapat menyadari hal tersebut.
30

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., Hal. 25

Universitas Sumatera Utara

Sehingga dengan demikian konsumen dapat bertindak lebih lanjut untuk
memperjuangkan hak-haknya. Sehingga konsumen tidak hanya tinggal diam
apabila ia merasa dirugikan karena hak-haknya yang tidak dipenuhi oleh pelaku
usaha. 31
Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun
materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, tetapi juga
mencakup hak-hak konsumen yang bersifat abstrak. Dengan kata lain,
perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang
diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. 32
Secara umum dikenal empat hak dasar konsumen (the four consumer basic
rights) yang meliputi hak-hak sebagai berikut: 33
a.
b.
c.
d.

Hak untuk mendapat atau memperoleh keamanan (the right to be
secured)
Hak untuk memperoleh informasi (the right to be informed)
Hak untuk memilih (the right to choose)
Hak untuk didengarkan (the right to be heard)

Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak
dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut
pertama kali dikemukakan oleh Jhon F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS)
pada tanggal 15 Maret 1962 melalui A Special Message for the Protection of

31

Happy Susanto, Hak - Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, Hal.

22
32

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,
2008, Hal. 30
33
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Consumer Interest atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak
Konsumen” (Declaration of Consumer Right). 34
Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung
dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan
lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak
mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Namun, tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hakhak tersebut, mereka bebas untuk menerima semua ataupun sebagian. 35
Empat hak dasar yang disampaikan oleh Presiden AS tersebut kemudian
dijadikan sebagai rumusan terhadap hak-hak perlindungan konsumen.
Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun
1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection),
juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang
meliputi: 36
a.
b.
c.

d.
e.
f.

Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanannya;
Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;
Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan
kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan
kebutuhan pribadi;
Pendidikan konsumen;
Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;
Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya
yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut
untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan
yang menyangkut kepentingan mereka.

34

Happy Susanto, Op.Cit., Hal. 25
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hal. 31
36
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., Hal. 27
35

Universitas Sumatera Utara

Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus
diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat
dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut. 37
Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen pada Pasal 4 menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen:
a.
b.

c.
d.
e.
f.
g.
h.

i.

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/ atau jasa;
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa
yang digunakan;
Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut
Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya

Disamping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal
7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan
antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai
hak konsumen. 38
Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari
akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan
37
38

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Loc.Cit.
Ibid., Hal 32

Universitas Sumatera Utara

bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam
hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition). 39
Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara
sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan
sebagai berikut : 40
a.

Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang
ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh
membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik
secara jasmani maupun rohani.
Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada
kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir
bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati,
bukan pelaku usaha. Satu hal yang juga sering dilupakan dalam kaitan
dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah penyediaan fasilitas
umum yang memenuhi syarat untuk ditetapkan.

b.

Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai
informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak
sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa.
Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada
konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam
kemasan produk (barang).
Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk
yang mengandung risiko terhadap kealaman konsumen, wajib disertai
informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas.
Apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan
konsumen menerima informasi akibat kenajuan teknologi dan keragaman
produk yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya
oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen
memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang di dalamnya
tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan secara
tidak diskriminatif.

c.

Hak untuk Didengar
Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah
hak untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak
39
40

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan
konsumen. Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi
lebih lanjut.
d.

Hak untuk Memilih
Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan
pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingg ia
tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi
membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli.
Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang
atau suatu golongan diberikan hak monopoli untuk memproduksi atau
memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen akan
kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk yang lain.

e.

Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai dengan Nilai
Tukar
Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga
yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau
jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai
penggantinya. Namun, dalam ketakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja
mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban
dari ketiadaan pilihan.

f.

Hak untuk Mendapatkan Ganti Kerugian
Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa
yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia
berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti
kerugian ini tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau
atas kesepakatan masing-masing pihak.

g.

Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum
Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi
daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat
klausul eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan
konsumen dirasakan tidak mendapatkan tanggapan yang layak dari pihak
yang terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak
mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain,
konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang
dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu.

h.

Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat
Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang
diterima sebagai salah satu hal dasar konsumen oleh berbagai organisasi
konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat
luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan

Universitas Sumatera Utara

hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik
dan lingkungan nonfisik.
i.

Hak untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang
Persaingan curang atau dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
disebut dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang
pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk
memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya
dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan iktikad
baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.
Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari
persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat,
konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang
konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan
dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi.

j.

Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen
Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak
konsumen untuk mendapatkan “pendidikan konsumen” ini. Pengertian
“pendidikan” tidak harus diartikan sebagai proses formal yang
dilembagakan. Pada prinsipnya makin kompleks teknologi yang diterapkan
dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak informasi
yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk indormasi yang lebih
komprehensif dengan semata-mata tidak menonjolkan unsur
komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan
konsumen.
Selain daripada hak-hak yang dimiliki oleh konsumen yang harus dipenuhi

oleh pelaku usaha, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban yang harus
dipenuhinya. Adapun mengenai kewajiban konsumen ini dijelaskan dalam Pasal 5
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan

Universitas Sumatera Utara

dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan. Masalah
pemenuhan kewajiban konsumen dapat terlihat jika peringatan yang disampaikan
pelaku usaha tidak jelas atau tidak mengundang perhatian konsumen untuk
membacanya. Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah
kewajiban

konsumen

mengikuti

upaya

penyelesaian

hukum

sengketa

perlindungan konsumen secara patut. Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam
UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak
konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika
konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja
kewajiban konsumen ini, tidak cukup maksud tersebut jika tidak diikuti oleh
kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha. 41
D.

Perlindungan Konsumen dalam Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa kesemua

Undang-Undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap
berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh UndangUndang. Oleh karena itu, tidak dapat lain haruslah dipelajari juga peraturan
Perundang-Undangan tentang konsumen dan/atau perlindungan konsumen ini
dalam kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-undangan umum yang mungkin
atau dapat mengatur dan/atau melindungi hubungan dan/atau masalah konsumen
dengan penyedia barang atau jasa. Sebagai akibat dari penggunaan peraturan
perundang-undangan umum ini, dengan sendirinya berlaku pulalah asas-asas
41

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., Hal. 49

Universitas Sumatera Utara

hukum yang terkandung di dalamnya pada berbagai pengaturan dan/atau
perlindungan konsumen tersebut. Padahal, nanti akan nyata, di antara asas hukum
tersebut tidak cocok untuk memenuhi fungsi pengaturan dan/atau perlindungan
pada

konsumen,

tanpa

setidak-tidaknya

dilengkapi/diadakan

pembatasan

berlakunya asas-asas hukum tertentu itu. Pembatasan dimaksudkan dengan tujuan
“menyeimbangkan kedudukan” di antara pihak-pihak pelaku usaha dan/atau
konsumen bersangkutan. 42
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan umum adalah
semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan yang
berwenang untuk itu, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Peraturan
perundang-undangan itu antara lain adalah (di pusat) Undang-Undang Dasar
1945, Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Presiden, dan seterusnya dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah
(Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan Desa dan
sebagainya). 43
Alasan yang dapat dikemukakan untuk menerbitkan peraturan perundangundangan yang secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen
dapat disebutkan sebagai berikut : 44
a.

b.

Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatuh
ubungan hukum dengan penjual, konsumen merupakan pengguna barang
dan jasa untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun
diperdagangkan.
Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri sebagai upaya
guna melindungi atau memperoleh haknya.
42

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta, 2001, Hal. 30
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hal. 47
44
Ibid., Hal. 49
43

Universitas Sumatera Utara

Disamping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen
“ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangn yang berlaku.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku setahun sejak disahkannya
pada tanggal 20 April 2000. Dengan demikian dan ditambah dengan ketentuan
Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) undang-undang ini, berarti untuk “membela”
kepentingan konsumen, masih harus dipelajari semua peraturan perundangundangan umum yang berlaku memuat juga berbagai kaidah menyangkut
hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan itu
tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidaktidaknya ia merupakan sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum
perlindungan konsumen. Beberapa diantaranya akan diuraikan berikut ini : 45
1.

Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR
Hukum

Konsumen,

terutama

Hukum

Perlindungan

Konsumen

mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan,
Alinea ke-4 yang berbunyi :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.”
Kata “melindungi” menurut Az. Nasution di dalamnya terkandung asas
perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tanpa kecuali. Baik ia laki-laki
ataupun perempuan, orang kaya atau miskin, atau orang kota atau orang desa,
orang asli atau keturunan dan pengusaha/pelaku usaha atau konsumen.

45

Az. Nasution, Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara

Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal 27
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan tersebut berbunyi “
“Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.”
Sesungguhnya, apabila kehidupan sesorang terganggu atau diganggu oleh
pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk
melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan yang
layak, apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari
warga negara dan hak semua orang.
Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi segenap
bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR, khususnya sejak tahun
1978. Dengan ketetapan terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1993
(TAP-MPR) makin jelas kehendak rakyat atau adanya perlindungan konsumen,
sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan. 46
Kalau pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah “menguntungkan”
konsumen, TAP-MPR 1998 “menjamin” kepentingan konsumen, maka pada
tahun 1993 digunakan istilah “melindungi kepentingan konsumen”. Sayangnya
dalam masing-masing TAP-MPR tersebut tidak terdapat penjelasan tentang apa
yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin atau melindungi kepentingan
konsumen tersebut. 47

46
47

Ibid.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

2.

Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata
Dengan hukum perdata dimaksudnya hukum perdata dalam artian luas

termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang
termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kaidah-kaidah
hukum perdata pada umumnya termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata).
KUH Perdata memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan hubungan
hukum dan masalah antarpelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan
konsumen pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku kedua,
buku ketiga dan buku keempat memuat berbagai kaidah hukum yang mengatur
hubungan konsumen dan penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. Begitu
pula dalam KUHD, baik buku pertama, maupun buku kedua, mengatur tentang
hak-hak dan kewajiban yang terbit dari, khususnya (jasa) perasuransian dan
pelayaran.
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memang sama sekali
tidak pernah disebut-sebut kata “konsumen”. Istilah lain yang sepadang dengan
itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan si berutang (debitur). 48
Beberapa pasal yang mengatur mengenai perlindungan konsumen di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain : 49
a.

Pasal 1235 KUHPerdata (jo. Pasal 1033, 1157, 1236, 1236, 1365, 1444,
1473, 1474, 1482, 1550, 1560, 1706, 1744 KUHPerdata):

48

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, 2006, Hal. 99
49
Ibid., Hal. 100

Universitas Sumatera Utara

“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan suatu termaktub kewajiban
si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk
merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat
penyerahan”.
b.

Pasal 1236 KUHPerdata (jo. Pasal-pasal 1235, 1243, 1264, 1275, 1391,
1444, 1480 KUHPerdata);
“Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga
kepada si berpiutang, jika dia membawa dirinya dalam keadaan tak
mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau tidak merawatnya
sepatutnya guna menyelamatkannya”.

c.

Pasal 1504 KUHPerdata (jo. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504, s.d
1511 KUHPerdata).
“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada
barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk
pemakaian yang dimaksud itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui
cacat itu, ia sama sekali tidak akan selain dengan harga yang kurang”.

3.

Hukum Konsumen dalam Hukum Publik
Hukum publik yang dimaksudkan adalah hukum yang mengatur hubungan

antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan
perorangan. Termasuk hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum
konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi
negara, hukum pidana, hukum acara perdata dan/atau hukum acara pidana dan
hukum internasional khususnya hukum perdata internasional.

Universitas Sumatera Utara

Jadi, segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua cabangcabang hukum publik itu sepanjang berkaitan dengan hubungan hukum konsumen
dan/atau masalahnya dengan penyedia barang atau penyelenggara jasa, dapat pula
diberlakukan.
Diantara

keseluruhan

hukum

publik

tersebut

tampaknya

hukum

administrasi negara, hukum pidana, hukum internasional khususnya hukum
perdata internasional dan hukum acara perdata serta hukum acara pidana paling
banyak pengaruhnya dalam pembentukan hukum konsumen.
Ketentuan hukum administrasi, misalnya menentukan bahwa Pemerintah
melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap
pelaksaan undang-undang (termuat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
LN Tahun 1985 No. 75).
Selanjutnya dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang No.23
Tahun 1992, Pasal 73 ditentukan:
“Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.”
Hukum pidana termasuk dalam ranah hukum publik sementara pengaturan
hukum positifnya yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut-sebut kata
“konsumen”. Kendati demikian, secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang
memberikan perlindungan hukum bagi konsumen antara lain: 50

50

Ibid., Hal. 112-113

Universitas Sumatera Utara

a.

Pasal 204 KUHP: “Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau
membagi-bagikan barang, yang diketahui membahayakan itu tidak
diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

b.

Pasal 205 KUHP: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa
barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual,
diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh
yang membeli atau memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah”. Jika perbuatan mengakibatkan matinya
orang, yang bersalah dikenakan penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau kurung paling lama satu tahun.

c.

Pasal 359 KUHP: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun (LN 11906 No.1).

d.

Pasal 360 KUHP: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Barang siapa dengan
kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga
timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling

Universitas Sumatera Utara

lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda
paling tinggi tiga ratus rupiah.
e.

Pasal 382 KUHP: “Barang siapa menjual, menawarkan, atau menyerahkan
makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan
menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun”.
Diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali

ketentuan

pidana

yang beraspekkan

perlindungan

konsumen.

Lapangan

pengaturan yang paling luas kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen
terutama terdapat pada bidang kesehatan dan pengaturan hak-hak atas kekayaan
intelektual. 51
Dari peraturan perundang-undangan diatas terlihat beberapa departemen
dan atau lembaga pemerintah tertentu menjalankan tindakan administratif berupa
pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam
melaksanakan perundang-undangan tersebut.
E.

Penyelesaian Sengketa Konsumen
Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-

hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan,
pidana maupun tata usaha negara. Oleh karena itu, tidak digunakan istilah
“sengketa transaksi konsumen” karena terkesan lebih sempit yang hanya
mencakup aspek hukum keperdataan. 52

51
52

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hal. 82
Sidharta, Op.Cit., Hal. 165

Universitas Sumatera Utara

Didalam penyelesaian sengkera konsumen menurut UUPK, para pihak
yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen, dimungkinkan menyelesaikan
sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum,
atau konsumen memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan. 53
1.

Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum
Pasal 45 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa “Setiap konsumen yang

dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di lingkungan peradilan umum.” 54
Mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 45 di atas. Adapun yang berhak melakukan
gugatan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha diatur dalam Pasal 46
ayat (1) UUPK, yaitu:
a.
b.
c.

d.

Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam
anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan
telah melaksanakan kegiatan perlindungan konsumen dan telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar
dan/atau korban yang tidak sedikit.

53
54

Ibid.
Ibid., Hal. 168

Universitas Sumatera Utara

Pengaturan yang diberikan oleh Pasal 46 ayat (1) UUPK maksudnya adalah: 55
a.

Bahwa secara personal (gugatan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli
waris yang bersangkutan) sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a Pasal
46 ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana
yang ditentukan dalam UUPK atau melalui peradilan di lingkungan
peradilan umum.

b.

Sedangkan gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana
yang dimaksud huruf b, huruf c dan huruf d Pasal 46 ayat (1) UUPK,
penyelesaian sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum.
Penyelesaian melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan
umum yang berlaku saat ini.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan hanya memungkinkan

apabila: 56
a.
b.

Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen
di luar pengadilan, atau
Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak
yang bersengketa.

Adapun kendala yang dihadapi konsumen dan pelaku usaha dalam
penyelesaian sengketa di pengadilan adalah: 57

55

Jendral
Kancil,
Mekanisme
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen,
http://fariztheepee.blogspot.com/2011/05/mekanisme-penyelesaian-sengketa.html, Diakses pada
Kamis, 23 Mei 2013
56
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., Hal. 234

Universitas Sumatera Utara

a.
b.
c.
d.
e.
2.

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat;
Biaya perkara yang mahal;
Pengadilan pada umumnya tidak responsif;
Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah;
Kemampuan para hakim yang bersifat generalis.

Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan Umum
Untuk mengatasi berlikunya proses pengadilan di peradilan umum, maka

UUPK memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar
peradilan umum. Pasal 45 ayat (1) UUPK menyebutkan, “Jika telah dipilih upaya
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan
hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu
pihak atau para pihak yang lain yang bersengketa. Ini berarti, penyelesaian
sengketa di pengadilan tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan
sengketa mereka di luar pengadilan.”
Pasal 47 UUPK menyebutkan “Penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti rugi dan/atau jasa mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin”
tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita
konsumen.”
Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK
dalam Pasal 52 tentang Tugas dan Wewenang BPSK (Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen), memberikan 3 (tiga) macam cara penyelesaian sengketa,
yaitu Mediasi, Arbitrase dan Litigasi.

57

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Secara lengkap tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) menurut Pasal 52 UUPK, adalah:
a.
b.
c.
b.
c.

d.
e.
f.
g.

h.
i.
j.
k.

Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,
dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam undang-undang ini;
Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen;
Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana yang dimaksud pada huruf
g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan
penyelesaian sengketa konsumen;
Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di
pihak konsumen;
Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran perlindungan konsumen;
Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang-undang ini.

Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa BPSK tidak
hanya bertugas menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan, tetapi juga
melakukan kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap
pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen
tentang adanya pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pelaku usaha. 58

58

Jendral
Kancil,
Mekanisme
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen,
http://fariztheepee.blogspot.com/2011/05/mekanisme-penyelesaian-sengketa.html, diakses pada
Kamis, 23 Mei 2013

Universitas Sumatera Utara

Yang

menjadi

pembahasan

di

sini

adalah

tugas

BPSK

untuk

menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara-cara: mediasi, arbitrase dan
konsiliasi.
1.

Mediasi
Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar

pengadilan, ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, di mana
Majelis BPSK bersifat aktif sebagai pemerantara dan atau penasehat.
Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses di mana pihak ketiga (a third
party), suatu pihak luar yang netral (a neutral outsider) terhadap sengketa,
mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah
disepakati. Sesuai batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah dan tidak
memihak pada salah satu pihak. 59
Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong
para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi
sehingga hasil penyelesaian terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan
kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak pula
mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk mematuhinya.
Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan
penyelesaian sengketa adalah: karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan
pada kerjasama untuk mencapai kompromi maka pembuktian tidak lagi menjadi
bebas yang memberatkan para pihak, menggunakan cara mediasi berati
penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia (tidak terbuka
59

Yusuf Sofie, Op.Cit., Hal 23

Universitas Sumatera Utara

untuk umum seperti di pengadilan), tidak ada pihak yang menang atau kalah, serta
tidak emosional. 60
2. Arbitrase
Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang
bersengketa. Dalam mencari penyelesaian sengketa, para pihak menyerahkan
sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan
sengketa konsumen yang terjadi.
Kelebihan

penyelesaian

sengketa

melalui

arbitrase

ini

karena

keputusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat
para pihak. 61
Walaupun arbitrase memiliki kelebihan, namun akhir-akhir ini peran
arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan digeser oleh
alternative penyelesaian sengketa yang lain, karena: 62
a.

b.

Biaya mahal, karena terdapat beberapa komponen biaya yang harus
dikeluarkan seperti biaya administrasi, honor arbiter, biaya transportasi dan
akomodasi arbiter, serta biaya saksi dan ahli;
Penyelesaian yang lambat, walau banyak sengketa yang dapat diselesaikan
dalam waktu 60 – 90 hari, namun banyak juga sengketa yang memakan
waktu yang panjang bahkan bertahun-tahun, apalagi jika ada perbedaan
pendapat tentang penunjukan arbitrase serta hukum yang ditetapkan, maka
penyelesaiannya akan bertambah rumit.

60

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., Hal. 257
Ibid., Hal. 249
62
Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Citra Adiya Bakti, Bandung, 1997, Hal. 400-401
61

Universitas Sumatera Utara

3. Konsiliasi
Cara ini ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak di mana
Majelis BPSK bertugas sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa
dan Majelis BPSK bersifat pasif.
Dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalahmasalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang
aktif dibiandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan
(options) penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak
langsung suatu kebersamaan para pihak di mana pada akhirnya kepentingankepentingan yang saling mendekat dan selanjutnya dapat dicapai suatu
penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. 63
Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase,
dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya
tentang sengketa yang disampaikan para pihak. Namun pendapat dari konsiliator
tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Keterikatan
para pihak terhadap pendapat dari konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa
tergantung pada kesukarelaan para pihak. 64

63

Jendral
Kancil,
Mekanisme
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen,
http://fariztheepee.blogspot.com/2011/05/mekanisme-penyelesaian-sengketa.html, Diakses pada
Kamis, 23 Mei 2013
64
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., Hal. 254

Universitas Sumatera Utara