Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Apabila Terjadi Force Majeure (Studi Pada PT. Daya Prima Indonesia)

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH APABILA TERJADI FORCE MAJEURE

(STUDI PADA PT. DAYA PRIMA INDONESIA)

SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NIM. 090200030 VILANY LAFIZA

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH APABILA TERJADI FORCE MAJEURE

(STUDI PADA PT. DAYA PRIMA INDONESIA) SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NIM. 090200030 VILANY LAFIZA

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Perdata

NIP. 196603031985081001 Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum

NIP.196603031985081001 NIP.197308042002121001 Mulhadi, SH., M.Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis hanturkan kepada kehadirat Allah SWT atas segala anugerah dan kesempatan yang diberikan oleh-Nya mulai dari masa perkuliahan sampai dengan tahap penyelesaian skripsi seperti sekarang ini pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini diberi judul “PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH APABILA TERJADI FORCE MAJEURE (STUDI PADA PT. DAYA PRIMA INDONESIA)”. Hal pertama yang melandasi pengangkatan topik ini adalah lemahnya posisi konsumen terhadap pelaku usaha, khususnya konsumen perumahan yang sering kali hak-haknya diabaikan oleh pelaku usaha. Memang disadari bahwa masih sulit untuk mendapatkan literatur yang membahas mengenai perlindungan konsumen perumahan terutama menyangkut hal force majeure secara khusus. Namun, dalam hal ini berbagai usaha diupayakan dalam memanfaatkan bahan-bahan yang telah ada, ditambah dengan pandangan yang diperoleh dari bahan tersebut untuk membahas permasalahan yang dimaksud.

Sungguh suatu hal yang luar biasa dimana skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu sesuai yang diharapkan. Skripsi adalah merupakan salah satu unsur yang sangat penting sebagai pemenuhan persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, tidak lupa terima kasih disampaikan atas jasa-jasa yang tidak ternilai dari nama-nama yang disebutkan dibawah ini. Beliau-beliau tersebut merupakan panutan dan menjadi motivasi dari awal masa


(4)

perkuliahan hingga selesainya skripsi ini. Penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH, MSc (CTM), SpA(K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan berharga yang telah diberikan untuk dapat menyelesaikan studi strata-I di lingkungan kampus Universitas Sumatera Utara.

2. Pembantu Rektor I, II, III, IV dan V, Universitas Sumatera Utara beserta

staf dan jajarannya, yang baik secara langsung maupun tidak langsung juga turut memberikan andil yang tidak ternilai.

3. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, beserta staf dan jajarannya.

4. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, selaku Pembatu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta staf di bagian pendidikan.

5. Syafruddin Hasibuan, SH. MH.DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta staf di bagian keuangan.

6. Muhammad Husni, SH. MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, beserta staf di bagian kemahasiswaan.

7. Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I atas ilmu, pengajaran serta bimbingan dan pengetahuan yang telah diberikan tidak hanya dalam masa penulisan skripsi ini, tapi juga mulai dari masa awal perkuliahan sampai dengan saat ini


(5)

8. Mulhadi, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, atas ilmu dan bimbingan yang telah diberikan, tidak hanya dalam masa penulisan skripsi ini, tetapi juga sejak dalam masa perkuliahan.

9. Megarita, SH, CN, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik, atas

bimbingan, nasihat serta waktu yang telah diberikan mulai dari awal masa perkuliahan sampai dengan saat ini.

10. Segenap Dosen dan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang tidak bisa disebutkan satu per satu namanya, atas jasa-jasanya memberikan ilmu dan bimbingan selama masa perkuliahan.

11. Papa dan Mami tercinta, Muhammad Yusuf, Bsc dan Dewi Anggreni, atas

kasih sayang, doa, nasehat, semangat dan dukungan yang tak henti - hentinya, serta adik tersayang Adelia Mahriza atas semangat yang telah diberikan selama ini.

12. Atok dan Andong tercinta, Alm. Drs. Danil Ahmad, DPFE dan Rohani

Darus, SH, atas segala dukungan moril dan perhatian yang tiada henti.

13. Neni tercinta, Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, atas bimbingan dan

motivasinya tidak hanya dalam menyelesaikan skripsi ini, tapi juga dalam keseharian.

14. Teman-teman stambuk 2009 yang tidak mungkin disebutkan satu per satu

namanya, atas segala dukungan moril dan semangat yang telah diberikan selama ini.

15. Dan tidak lupa juga seluruh staf dan pegawai di Fakultas Hukum


(6)

Selain itu, sebelum dan sesudahnya juga dimohonkan maaf atas segala kesilapan dalam perbuatan maupun ucapan yang pernah dilakukan. Karena sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari kesilapan dan kesalahan.

Skripsi yang telah diselesaikan ini tentunya masih perlu untuk diperbaiki karena diyakini bahwa apa yang telah ditulis dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan. Untuk itu segala kritik maupun saran yang sifatnya membangun akan diterima demi kemajuan bersama.

Akhir kata, terima kasih atas perhatian yang diberikan. Semoga karya ini juga sedikit banyak dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2013 Hormat Penulis,

NIM. 090200030 VILANY LAFIZA


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 11

C. Tujuan Penulisan ... 11

D. Manfaat Penulisan ... 12

E. Metode Penelitian... 13

F. Keaslian Penulisan ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ... 18

A. Pengertian dan Istilah dalam Perlindungan Konsumen ... 18

1. Konsumen ... 19

2. Pelaku Usaha/Produsen ... 21

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 22

C. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 24

D. Perlindungan Konsumen dalam Peraturan Perundang-Undangan ... 31

E. Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 39

BAB III KREDIT PEMILIKAN RUMAH ... 47

A. Latar Belakang dan Pengertian Kredit Pemilikan Rumah ... 47

B. Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman Mengenai Kredit Pemilikan Rumah ... 53

C. Permasalahan yang Terdapat Dalam Kredit Pemilikan Rumah ... 56

D. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Kredit Pemilikan Rumah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ... 59

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH APABILA TERJADI FORCE MAJEURE (STUDI PADA PT. DAYA PRIMA INDONESIA) ... 65


(8)

A. Hak Konsumen Perumahan yang Tidak Terpenuhi Akibat

Force Majeure ... 65

B. Upaya Menyelesaikan Hak Konsumen Perumahan yang Tidak Terpenuhi Akibat Force Majeure ... 73

C. Hambatan yang Dihadapi dalam Menyelesaikan Permasalahan Konsumen Perumahan Apabila Terjadi Force Majeure ... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 85


(9)

Abstrak Vilany Lafiza *) Hasim Purba **)

Mulhadi ***)

Pesatnya perkembangan perekonomian yang ada di Indonesia menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan barang dan jasa pada masyarakat Indonesia. Hal ini membuka peluang usaha bagi para pengusaha dalam memproduksi barang dan jasa. Namun, dalam prakteknya banyak pengusaha yang melakukan persaingan usaha yang dapat merugikan konsumen bahkan tidak sedikit diantaranya yang memanfaatkan kebutuhan masyarakat ini menjadi suatu kegiatan yang merugikan konsumen seperti dalam bentuk penipuan–penipuan ataupun kegiatan yang menyangkut keselamatan dan keamanan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Adapun permasalahan yang menjadi bahasan dalam skripsi ini adalah apa sajakah hak – hak konsumen khususnya konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat adanya force majeure, bagaimana upaya penyelesaian masalah hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat adanya force majeure, dan hambatan apa saja yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat force majeure.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan data – data yang telah ada sebelumnya seperti peraturan perundang – undangan, traktat, yurisprudensi ataupun buku, karya ilmiah, dan lain - lain. Sedangkan metode

penelitian hukum empiris yaitu adalah pen elitian hukum yan g m em pergun akan

sum ber data yang diam bil lan gsun g dari m asyarakat atau dari kehidupan sehari – hari.

Dari penulisan skripsi ini diperoleh kesimpulan bahwa hak konsumen yang tidak terpenuhi akibat force majeure sesuai pasal 7 Undang – Undang Perlindungan Konsumen yaitu mendapatkan ganti rugi apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Apabila terjadi pelanggaran atas hak konsumen Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan dua cara penyelesaian yaitu melalui pengadilan atau diluar pengadilan melalui BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dan hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan konsumen perumahan akibat terjadinya Force Majeure adalah banyaknya konsumen yang tidak menggunakan asuransi dan tidak adanya pengaturan dan batasan yang jelas mengenai force majeure itu sendiri.

Kata kunci : Perlindungan Konsumen, Kredit Pemilikan Rumah, Force Majeure *) Peneliti, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***) Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

Abstrak Vilany Lafiza *) Hasim Purba **)

Mulhadi ***)

Pesatnya perkembangan perekonomian yang ada di Indonesia menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan barang dan jasa pada masyarakat Indonesia. Hal ini membuka peluang usaha bagi para pengusaha dalam memproduksi barang dan jasa. Namun, dalam prakteknya banyak pengusaha yang melakukan persaingan usaha yang dapat merugikan konsumen bahkan tidak sedikit diantaranya yang memanfaatkan kebutuhan masyarakat ini menjadi suatu kegiatan yang merugikan konsumen seperti dalam bentuk penipuan–penipuan ataupun kegiatan yang menyangkut keselamatan dan keamanan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Adapun permasalahan yang menjadi bahasan dalam skripsi ini adalah apa sajakah hak – hak konsumen khususnya konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat adanya force majeure, bagaimana upaya penyelesaian masalah hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat adanya force majeure, dan hambatan apa saja yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat force majeure.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan data – data yang telah ada sebelumnya seperti peraturan perundang – undangan, traktat, yurisprudensi ataupun buku, karya ilmiah, dan lain - lain. Sedangkan metode

penelitian hukum empiris yaitu adalah pen elitian hukum yan g m em pergun akan

sum ber data yang diam bil lan gsun g dari m asyarakat atau dari kehidupan sehari – hari.

Dari penulisan skripsi ini diperoleh kesimpulan bahwa hak konsumen yang tidak terpenuhi akibat force majeure sesuai pasal 7 Undang – Undang Perlindungan Konsumen yaitu mendapatkan ganti rugi apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Apabila terjadi pelanggaran atas hak konsumen Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan dua cara penyelesaian yaitu melalui pengadilan atau diluar pengadilan melalui BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dan hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan konsumen perumahan akibat terjadinya Force Majeure adalah banyaknya konsumen yang tidak menggunakan asuransi dan tidak adanya pengaturan dan batasan yang jelas mengenai force majeure itu sendiri.

Kata kunci : Perlindungan Konsumen, Kredit Pemilikan Rumah, Force Majeure *) Peneliti, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***) Dosen Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan perekonomian yang ada di Indonesia menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan barang dan jasa pada masyarakat Indonesia. Perkembangan ekonomi yang terjadi di Indonesia ini tidak terlepas dari pengaruh lingkungan ekonomi negara-negara di kawasan Asia dalam cakupan

terbatas dan lingkungan ekonomi dunia dalam perspektif yang lebih luas.1 Hal ini

dikarenakan sistem perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka sehingga lebih

mudah dipengaruhi oleh prinsip-prinsip perekonomian global.2 Perkembangan

perekonomian global yang pesat mendongkrak angka permintaan dan penawaran dari masyarakat Indonesia. Pola pikir masyarakat yang dahulunya berorientasi hanya kepada kebutuhan primer kini berubah menjadi kebutuhan yang bersifat lebih konsumtif. Ditambah lagi, pada awal 80-an pemerintah Indonesia melakukan liberalisasi sistem keuangannya yang ditandai dengan pemberian kelonggaran dalam pengawasan arus modal asing, lalu lintas devisa dan kebebasan dalam menentukan jumlah kredit yang akan disalurkan. Implikasi dari liberalisasi keuangan ini adalah tersedianya banyak pilihan bagi masyarakat akan

jasa-jasa keuangan dan persaingan usaha yang makin ketat.3

1

Bank Indonesia, Studi Ekonomi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta, 2002, Hal. 6

2

Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi I, BooksTerrace & Library, Bandung, 2007, Hal. 2

3


(12)

Hal ini didukung pula oleh setiap program yang dibentuk oleh pemerintah yang pada hakikatnya untuk meningkatkan pembangunan di segala bidang terutama di bidang perdagangan dan perindustrian. Dari pesatnya perkembangan perekonomian dan pembangunan di Indonesia terbukalah peluang usaha bagi para pengusaha dalam memproduksi barang dan jasa. Namun, dalam prakteknya banyak pengusaha yang melakukan monopoli yang dapat merugikan konsumen bahkan tidak sedikit diantaranya yang memanfaatkan kebutuhan masyarakat ini menjadi suatu kegiatan yang merugikan konsumen seperti dalam bentuk penipuan–penipuan ataupun kegiatan yang menyangkut keselamatan dan keamanan konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa.

Salah satu dampak dari liberalisasi keuangan yang terlihat dalam bidang perdagangan adalah pengaduan/komplain dari masyarakat atas barang atau jasa

yang dikonsumsinya.4 Hal ini sesungguhnya tidak terlepas dari minimnya

pengetahuan dan kurang pedulinya konsumen terhadap hak–haknya sebagai konsumen serta kurang kuatnya kedudukan konsumen terhadap pengusaha sehingga menyebabkan ketidakberdayaan konsumen dalam menuntut tanggung

jawab pengusaha.5

Berdasarkan banyaknya pengaduan masyarakat akan barang dan jasa yang dikonsumsinya, pemerintah membentuk suatu peraturan mengenai perlindungan konsumen yaitu Undang Nomor 8 Tahun 1999. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini diharapkan dapat mendorong dibentuknya

4

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen & Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, Hal. 10

5

Sugondo, Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya Dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2008, Hal.3


(13)

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, akan dapat menempatkan

posisi konsumen pada posisi yang seharusnya, yaitu menjadi seimbang.6

Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara khusus mengatur permasalahan konsumen dan memberi wadah bagi aspirasi dan advokasi yang akan dilakukan konsumen jika terjadi tindakan tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh produsen. Harapan terhadap UUPK jelas sangat besar. Walaupun belum sempurna, akan tetapi adanya undang-undang ini merupakan suatu langkah maju dalam rangka menciptakan kegiatan usaha yang sehat di Indonesia pada umumnya, dalam upaya memberikan perlindungan kepada

konsumen pada khususnya.7

Pada setiap kegiatan usaha yang sehat semestinya terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan pengusaha. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada dalam posisi yang lemah. Lebih–lebih jika produk yang dihasilkan bersifat terbatas, pengusaha dapat menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut. Hal ini tentu saja akan

merugikan konsumen.8

Indonesia sebagai negara berkembang, yang industrinya baru mengalami tahap permulaan, perkembangan hukum perlindungan konsumennya belum

Kerugian-kerugian yang dialami konsumen tersebut dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen dan konsumen maupun dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen.

6

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal. 101

7

Abdi Darwis, Hak Konsumen Untuk Mendapat Perlindungan Hukum dalam Industri Perumahan di Kota Tangerang , Tesis, Universitas Diponegoro, 2010, Hal. 14

8Ibid.,


(14)

berkembang sebagaimana di negara–negara maju. Hal ini disebabkan karena lazimnya perkembangan perlindungan konsumen merupakan akibat dari

perkembangan industri suatu negara.9

Lambannya perkembangan perlindungan konsumen di negara berkembang yang perkembangan industrinya baru pada tahap permulaan karena sikap pemerintah pada umumnya masih melindungi kepentingan industri yang merupakan faktor yang esensial dalam pembangunan suatu negara. Akibat dari perlindungan kepentingan industri pada negara berkembang, termasuk indonesia tersebut, maka ketentuan-ketentuan hukum yang bermaksud untuk memberikan perlindungan kepada konsumen atau anggota masyarakat kurang berfungsi karena tidak diterapkan secara ketat. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa usaha pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama, hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan tertentu yang dilakukan oleh pemerintah merupakan usaha untuk

melindungi kepentingan konsumen.10

Sejak berlaku efektifnya Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada 20 April 2000 hingga dikeluarkannya sejumlah peraturan pelaksanaan Undang–Undang Perlindungan Konsumen, belum banyak perubahan sikap perlakuan pelaku usaha terhadap konsumen. Hampir pada semua komoditas terdapat dugaan pelanggaran-pelanggaran hak-hak konsumen di

Indonesia.11

9Ibid.,

Hal. 67

10Ibid

., Hal. 68

11

Yusuf Shofie, Op.Cit., Hal. 6

Yang dimaksud dengan kata seimbang dalam tujuan dibentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini adalah hak dan kewajiban


(15)

konsumen dan produsen, salah satunya adalah pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UUPK yang berisi :

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Walaupun dalam UUPK telah tampak adanya upaya untuk mengembangkan kedudukan antara konsumen dengan produsen, namun dalam UUPK tersebut masih terdapat beberapa kekurangan, baik berupa pembatasan ruang gerak produsen secara berlebihan, maupun ketentuan-ketentuan hukum

yang sulit diterapkan dengan baik.12

Dapat dilihat bahwasanya pelaksanaan dari perlindungan konsumen ini diperlukan pembinaan sikap, baik dari para pelaku usaha maupun para konsumen. Salah satu bentuk dari pembinaan sikap dapat dilakukan melalui pendidikan sebagai media sosialisasi. Melalui pendidikan, mahasiswa ataupun orang awam dapat mengerti dan memahami hak-haknya sebagai konsumen dan melakukannya dalam praktek di masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pendidikan konsumen

sangat dibutuhkan dalam hal pelaksanaan perlindungan konsumen.13

Ruang lingkup pembahasan mengenai perlindungan konsumen sangat luas, salah satunya adalah perlindungan terhadap konsumen perumahan. Pesatnya peningkatan kepadatan penduduk di Indonesia merupakan salah satu alasan mendasar yang mendongkrak permintaan masyarakat atas rumah.

12

Ahmadi Miru, Op.Cit., Hal. 70


(16)

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2010 – 2014 mencantumkan bahwa salah satu prioritas pembangunan di Indonesia yang akan dilakukan adalah Perumahan Rakyat berupa pembangunan 685.000 Rumah

Sederhana Sehat Bersubsidi, 180 Rusunami dan 650 twin block berikut fasilitas

pendukung kawasan permukiman bagi keluarga yang kurang mampu. Hal ini membuktikan bahwa perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya terus diupayakan agar semakin besar lapisan masyarakat dapat menempati rumah dengan lingkungan pemukiman yang layak, sehat, aman dan serasi.

Pembangunan perumahan dan pemukiman pada dasarnya merupakan tugas dan tanggung jawab masyarakat sendiri. Dalam hubungan ini, negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini tercantum di dalam poin b konsideran Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, rumah merupakan suatu kebutuhan yang penting dan paling utama. Rumah yang berdiri di atas lahan/kavling masih merupakan pilihan utama sebagian besar orang, karena merupakan suatu yang membawa kepuasan tersendiri untuk dihuni bersama keluarga. Mewujudkan rumah yang sehat bagi tiap-tiap keluarga rakyat


(17)

merupakan tujuan pembangunan yang mendasari kebijakan-kebijakan yang

diambil. Kebijaksanaan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk : 14

a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat,

secara adil dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia.

b. Mewujudkan pemukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata

ruang kota dan tata daerah, serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna.

Pembangunan perumahan dan pemukiman, perlu diperhatikan kondisi dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya masyarakat, laju pertumbuhan penduduk dan penyebarannya, pusat-pusat produksi dan tata guna tanah dalam rangka membina kehidupan masyarakat yang maju. Pembangunan perumahan dan pemukiman harus dapat pula mendorong perilaku hidup sehat dan tertib serta ikut

mendorong kegiatan pembangunan di sektor lain.15

Untuk membiayai pembangunan perumahan dan pemukiman, maka lembaga pembiayaan yang melayani pembangunan perumahan perlu ditingkatkan dan dikembangkan peranannya sehingga dapat mendorong terhimpunnya modal yang memungkinkan pembangunan rumah milik dan rumah sewa dalam jumlah besar. Sejalan dengan itu, perlu diciptakan iklim yang menarik bagi pembangunan perumahan baik oleh masyarakat maupun orang perorangan antara lain dengan penyediaan kredit yang memadai, pengaturan persewaan dan hipotik perumahan.

14

Hotman Nainggolan, Aspek Hukum Perjanjian Dalam Pembelian Rumah Melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank Tabungan Negara (BTN) Medan Pada Perumnas Simalingkar Medan, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2000 Hal. 2


(18)

Disamping itu perlu didorong partisipasi masyarakat dalam pemupukan dana bagi

perumahan.16

Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia jelas menghadapi masalah dimana sebagian besar masyarakat masih berpenghasilan rendah. Pemerintah perlu mengambil kebijaksanaan untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya dengan jalan memberikan kredit kepada anggota masyarakat yang sederhana salah satunya kredit pemilikan rumah. Pemberian kredit pemilikan rumah tersebut diberikan pemerintah diwakili oleh Bank Tabungan Negara (BTN) berdasarkan Surat Menteri Keuangan RI No.B. 49/MK/IV/I/1974, tanggal 29 Januari 1974. Adapun tujuan pemberian kredit pemilikan rumah tersebut adalah memberikan bantuan kepada golongan masyarakat ekonomi lemah yang berpenghasilan rendah dan menengah untuk dapat membeli rumah sederhana dengan pembayaran secara angsuran untuk ditempati dan dihuni oleh masyarakat itu sendiri yang belum mampu mempunyai rumah.

Namun, pada prakteknya, dapat dilihat bahwasanya kepadatan penduduk dari tahun ke tahun semakin bertambah dan menyebabkan kebutuhan akan lahan perumahan semakin besar sehingga lahan menjadi semakin terbatas yang menyebabkan harga tanah menjadi semakin tinggi. Sehingga saat dibangun perumahan maka harganya sulit untuk dijangkau masyarakat biasa yang berpenghasilan rendah.

17

KPR adalah salah satu produk kredit yang sangat diminati oleh perbankan untuk ditawarkan kepada konsumen Indonesia. Potensi pasar rumah yang masih

16

Andi Hamzah dkk, Dasar-dasar Hukum Perumahan, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, Hal. 1-2

17


(19)

besar dengan tingkat suku bunga yang lumayan tinggi menjadikan produk ini memang sangat menjanjikan untuk meraih profit yang besar. Maka dari itu, kucuran kredit di sektor perumahan terus meningkat setiap tahun.

Kenaikan permintaan atas rumah yang terus melonjak dari tahun ke tahun dipicu oleh tumbuh kembangnya perekonomian bangsa dan tingginya kepadatan penduduk. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya pengembang-pengembang baru dengan berbagai fasilitas yang ditawarkan kepada masyarakat. Akan tetapi dalam praktek akhir-akhir ini ternyata banyak sekali timbul permasalahan di bidang tersebut yang cenderung merugikan pihak konsumen. Permasalahan pemasaran perumahan di dalam praktek pembangunan yang terjadi itu sudah

dapat dikategorikan sebagai kejahatan.18

Merebaknya kasus perumahan pada dasarnya diawali dengan ketidaksesuaian antara apa yang tercantum dalam brosur dengan realita yang diterima konsumen saat menempati rumah tersebut. Seperti kualitas spesifikasi teknis rumah yang rendah, perbedaan luas tanah, keterlambatan penyerahan bangunan, masalah fasilitas sosial dan umum, dan sebagainya. Pemasaran yang dilakukan developer sangat tendensius, sehingga tidak jarang informasi yang disampaikan itu ternyata menyesatkan atau tidak benar, padahal konsumen sudah terlanjur menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan pengembang, atau bahkan sudah akad kredit dengan Bank pemberi kredit

pemilikan rumah.19

18

Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, Citra Adiya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 44

19


(20)

Salah satu permasalahan konsumen Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yaitu

Force majeure/Overmacht, yaitu keadaan memaksa di luar kemampuan kedua

belah pihak yang menghalangi penunaian perikatan sehingga membebaskan debitur untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga. Sayangnya keadaan memaksa ini tidak diatur dalam perjanjian KPR. Keadaan memaksa ini dalam

perjanjian KPR sering disebut sebagai kejadian tak terduga.20

Digolongkan sebagai kejadian tak terduga, antara lain, perubahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah di bidang perbankan. Selain itu, keputusan likuidasi bank atau pembekuan bank tampaknya dapat dimasukkan sebagai keadaan memaksa. Keadaan memaksa ini rupanya hanya berlaku untuk kepentingan pihak bank saja dalam bentuk kenaikan suku bunga yang tidak rasional. Padahal, keadaan memaksa menghentikan bekerjanya

perikatan dan menimbulkan akibat hukum, antara lain :21

a. Kreditor tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;

b. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai (wanprestasi); dan

c. Risiko tidak beralih kepada debitur.

Karena lemahnya pengaturan mengenai force majeure ini di dalam

perjanjian KPR itu sendiri menyebabkan timbulnya permasalahan dimana

konsumen dirugikan akibat terjadinya force majeure tersebut. Belum lagi keadaan

memaksa ini hanya berlaku untuk kepentingan bank. Namun sesungguhnya seluruh pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan perjanjian KPR ini, termasuk

konsumen dapat dirugikan dengan adanya suatu keadaan memaksa atau force

20

Yusuf Shofie, Op Cit., Hal. 74

21


(21)

majeure. Hal-hal tersebut diataslah yang akan menjadi pokok utama pembahasan

di dalam skripsi yang diberi judul “PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN

TERHADAP PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) APABILA TERJADI FORCE MAJEURE (STUDI PADA PT. DAYA PRIMA INDONESIA).”

B. Permasalahan

Secara yuridis terdapat beberapa permasalahan dalam perjanjian Kredit

Pemilikan Rumah ( KPR ). Adapun pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Apa sajakah hak-hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat dari

adanya Force majeure?

2. Bagaimana upaya penyelesaian masalah hak konsumen perumahan yang tidak

terpenuhi akibat Force majeure (Studi pada PT. Daya Prima Indonesia)?

3. Apa saja hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan hak

konsumen perumahan yang tidak terpenuhi akibat Force majeure (Studi pada

PT. Daya Prima Indonesia)?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa sajakah hak-hak konsumen perumahan yang tidak


(22)

2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan PT. Daya Prima Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan hak konsumen perumahan yang tidak terpenuhi

akibat Force majeure

3. Untuk mengetahui apa saja hambatan yang dihadapi PT. Daya Prima

Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan hak konsumen perumahan yang

tidak terpenuhi akibat Force majeure

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai dan diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah

dirumuskan diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran di bidang perlindungan konsumen, khususnya berkaitan dengan Kredit

Pemilikan Rumah terutama force majeure. Selain itu, penelitian ini juga

diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang perlindungan konsumen pada umumnya, dan atas Kredit Pemilikan Rumah pada khususnya, serta dapat dijadikan sebagai bahan yang memuat data empiris sebagai dasar penelitian selanjutnya.

2. Secara Praktis, pembahasan terhadap permasalahan ini diharapkan dapat

menjadi bahan masukan bagi Pemerintah dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah untuk memberikan perlindungan hukum yang baik

terhadap hak-hak konsumen yang berkaitan dengan force majeure.

Dengan penelitian ini diharapkan menyarakat menyadari akan hak-haknya sebagai konsumen dan karenanya, masyarakat bersama-sama


(23)

dengan pemerintah diharapkan dapat bekerja sama dalam menghapus hambatan terhadap pelaksanaan perlindungan hukum atas hak-hak

konsumen Kredit Pemilikan Rumah dalam hal force majeure.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan antara metode Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Empiris, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

Penulisan skripsi ini memakai metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Sedangkan penelitian hukum empiris adalah metode penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data langsung dari masyarakat, dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan Bapak Gustian Danil selaku Pemilik dan Direktur Utama PT. Daya Prima Indonesia.

2. Data

Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini diperoleh melalui pengumpulan bahan hukum primer dan sekunder.

a. Bahan hukum primer yaitu Peraturan Perundang-Undangan.

b. Bahan hukum sekunder yaitu buku-buku yang memberikan penjelasan

tentang bahan hukum primer seperti buku tentang hukum perlindungan konsumen dan penelitian di lapangan.


(24)

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Skripsi ini menggunakan 2 (dua) teknik pengumpulan data, yaitu :

1. Tinjauan Kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan

dengan mempelajari dan mengutip isi dari buku-buku yang membahas mengenai hukum perlindungan konsumen dan perjanjian Kredit Pemilikan Rumah ( KPR ).

2. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu penelitian yang dilakukan

dengan observasi ke lapangan dengan mengambil beberapa laporan penelitian dari perusahaan pengembang yang menjadi objek penelitian dan menganalisa laporan penelitian ini. Dalam hal ini Penulis melakukan penelitian di PT. Daya Prima Indonesia yaitu dengan melakukan wawancara langsung dengan Pemilik sekaligus Direktur Utama PT. Daya Prima Indonesia, yaitu Bapak Gustian Danil.

F. Keaslian Penulisan

Pada dasarnya, penulisan skripsi yang bertemakan tentang Perlindungan

Konsumen telah banyak diangkat dan dibahas, namun penulisan skripsi dengan

judul Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Perjanjian Kredit

Pemilikan Rumah (KPR) Apabila Terjadi Force majeure ( Studi Pada PT. Daya Prima Indonesia ) belum pernah ditulis sebagai skripsi. Dengan demikian, skripsi ini berbeda dengan skripsi yang lain dan masih asli serta dapat


(25)

dipertanggungjawabkan penulis secara moral dan secara akademik. Dalam penulisan ini terdapat judul yang mirip antara lain:

1. Aspek Hukum Perjanjian dalam Pembelian Rumah Melalui Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) Bank Tabungan Negara (BTN) Medan pada Perumnas Simalingkar ( Disusun oleh Hotman Nainggolan NIM: 930200102 pada skripsi tahun 2000). Dengan rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah penerapan anasir-anasir dari ketentuan umum tentang

perjanjian ?

b. Bagaimanakah aspek hukum dari perjanjian jual beli ?

c. Bagaimanakah pemberlakuan ketentuan-ketentuan khusus dalam

perjanjian ?

2. Wanprestasi dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) studi kasus

pada Bank Tabungan Negara Cabang Medan Mall ( Disusun oleh Sri Chairani Putri NIM: 070200189 pada skripsi tahun 2010). Dengan rumusan masalah sebagai berikut :

a. Kapankah terjadinya wanprestasi dalam perjanjian Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) ?

b. Apakah faktor-faktor yang meyebabkan terjadinya wanprestasi

dalam perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan apakah akibat hukumnya serta bagaimana tindakan kreditur terhadap wanprestasi yang terjadi ?

c. Bagaimanakah bentuk penyelesaian sengketa wanprestasi yang


(26)

Daftar skripsi di atas adalah skripsi yang membahas mengenai Kredit Pemilikan Rumah, namun dilihat dari judul dan permasalahannya tidak sama, begitu juga dengan judul yang penulis angkat. Walaupun terdapat kutipan atau pendapat di dalam penulisan ini, semata-mata merupakan pelengkap dan referensi dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini dibagi dalam suatu tahap yang disebut Bab. Dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya sendiri. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I ( Pendahuluan ), berisi mengenai hal-hal yang bersifat umum dari tulisan ini yang terdiri dari : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, Sistematika Penulisan. BAB II (Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen), berisi sekilas tentang perlindungan konsumen secara umum yang terdiri dari : Pengertian dan Istilah Dalam Perlindungan Konsumen, Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen, Perlindungan Konsumen Dalam Peraturan Perundang-Undangan, Penyelesaian Sengketa Konsumen.

BAB III ( Tinjauan Umum Mengenai Kredit Pemilikan Rumah (KPR) ), berisi

sekilas tentang Kredit Pemilikan Rumah (KPR) secara umum meliputi :

Pengertian dan Latar Belakang Kredit Pemilikan Rumah, Tinjauan Terhadap UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman Mengenai Kredit Pemilikan Rumah, Permasalahan yang Terdapat Dalam Kredit Pemilikan Rumah,


(27)

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Kredit Pemilikan Rumah Ditinjau dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

BAB IV ( Perlindungan Hukum Konsumen dalam Perjanjian Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) Apabila Terjadi Force majeure (Studi pada PT. Daya Prima

Indonesia) ), berisi inti dari penulisan ini yang membahas dan mengkaji Perlindungan Hukum Konsumen Perumahan yakni terdiri atas: Penjelasan Atas

Hak-Hak Konsumen yang Tidak Terpenuhi Akibat Force majeure, Upaya

Menyelesaikan Permasalahan Hak Konsumen yang Tidak Terpenuhi Akibat

Force majeure, Hambatan yang Dihadapi Dalam Menyelesaikan Permasalahan

Konsumen.

BAB V ( Kesimpulan dan Saran ), berisi uraian mengenai kesimpulan dari seluruh bab sebelumnya yang menjadi suatu kesimpulan penulisan serta saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran dari penulis terhadap permasalahan dalam skripsi ini.

BAB II


(28)

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Kredit Pemilikan Rumah Ditinjau dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

BAB IV ( Perlindungan Hukum Konsumen dalam Perjanjian Kredit Pemilikan

Rumah (KPR) Apabila Terjadi Force majeure (Studi pada PT. Daya Prima

Indonesia) ), berisi inti dari penulisan ini yang membahas dan mengkaji Perlindungan Hukum Konsumen Perumahan yakni terdiri atas: Penjelasan Atas

Hak-Hak Konsumen yang Tidak Terpenuhi Akibat Force majeure, Upaya

Menyelesaikan Permasalahan Hak Konsumen yang Tidak Terpenuhi Akibat

Force majeure, Hambatan yang Dihadapi Dalam Menyelesaikan Permasalahan

Konsumen.

BAB V ( Kesimpulan dan Saran ), berisi uraian mengenai kesimpulan dari seluruh bab sebelumnya yang menjadi suatu kesimpulan penulisan serta saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran dari penulis terhadap permasalahan dalam skripsi ini.

BAB II


(29)

A. Pengertian dan Istilah dalam Perlindungan Konsumen

Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan tekhnologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan menjadi lebih bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.

Kondisi seperti ini pada satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Namun, disisi lain dapat pula menyebabkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana sering kali kosumen berada pada

posisi yang lemah.22

Hal inilah yang melatarbelakangi dibentuknya Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu upaya pemerintah untuk menyeimbangkan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen. Perlindungan konsumen adalah

perangkat

22

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, Hal. 12


(30)

hak dapat menuntut hak-haknya sesuai apa yang diperjanjikan.

Didalam Hukum Perlindungan Konsumen terdapat beberapa istilah-istilah yang memiliki makna yang berbeda-beda dan menyebabkan akibat hukum yang berbeda pula. Untuk itu perlu dibahas mengenai beberapa istilah yang sering digunakan di dalam perlindungan konsumen tersebut.

1. Konsumen

Di dalam kegiatan sehari-hari kita tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan yang memposisikan kita sebagai konsumen. Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi yang hak-haknya sering diabaikan. Di dalam ilmu ekonomi ada dua jenis konsumen, yakni konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah distributor, agen dan pengecer. Mereka membeli barang bukan untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan

Sedangkan pengguna barang adalah konsumen akhir.23

23

Gunadiemaha, Pengertian Produsen dan Konsumen dalam Tinjauan TOU,

Kata “konsumen” pun sering kali di sebutkan di dalam percakapan sehari-hari. Sehingga perlu diberikan batasan pengertian yang jelas agar mempermudah kita dalam membahas tentang perlindungan konsumen.

Di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) yaitu UU Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa :


(31)

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Pengertian konsumen yang dituliskan didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut dapat kita simpulkan bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir. Karena konsumen akhir memperoleh barang dan/atau jasa bukan untuk dijual kembali, melainkan untuk digunakan, baik bagi kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain dimana ia merasakan secara langsung dampak yang ditimbulkan oleh barang dan/ atau

jasa yang dikonsumsinya.24

Selain pengertian diatas, dikemukakan pula pengertian konsumen, yang khusus berkaitan dengan masalah ganti kerugian. Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, melainkan juga korban yang bukan pembeli, namun pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan

Dapat dilihat bahwa di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini tidak hanya manusia dan badan hukum yang dilindungi namun juga makhluk hidup lain yang bukan manusia seperti hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Pengertian mengenai konsumen di dalam UUPK tersebut memberikan perlindungan yang seluas-luasnya kepada konsumen, sehingga diharapkan dapat menanggulangi seluruh permasalahan yang merugikan konsumen dalam mengonsumsi barang dan/ atau jasa.


(32)

pemakai. Sedangkan di Eropa, hanya dikemukakan pengertian konsumen

berdasarkan Product Liability Directive ( Direktif Kewajiban Produk ) selanjutnya

disebut directive, sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa

(MEE) dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak

yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa

kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.25

2. Pelaku Usaha/ Produsen

Produksi merupakan salah satu kegiatan yang berhubungan erat dengan kegiatan ekonomi. Melalui proses produksi bisa dihasilkan berbagai macam barang yang dibutuhkan oleh manusia. Tingkat produksi juga dijadikan sebagai patokan penilaian atas tingkat kesejahteraan suatu negara. Jadi tidak heran bila setiap negara berlomba - lomba meningkatkan hasil produksi secara global untuk meningkatkan pendapatan perkapitanya. Orang yang menjalankan proses produksi

inilah yang disebut sebagai produsen.26

25

Nurhayati Abbas, “Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya”,

Makalah, Elips Project, Ujungpandang, 1996, Hal. 13

Kata produsen tidak digunakan didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai lawan dari kata konsumen, melainkan menggunakan kata pelaku usaha.

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa:

26

Febri Jikrillah, Pengertian dan Defenisi Produksi,

2013


(33)

“Pelaku usaha dalam setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Pengertian pelaku usaha yang dituangkan didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan pengertian yang sangat luas meliputi grosir, pengecer, dan sebagainya. Namun, dalam pengertian pelaku usaha tersebut , tidak mencakup eksportir ataupun pelaku usaha luar negeri, karena UUPK membatasi orang perserorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.27

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang diyakini dapat memberikan arahan dalam implementasinya dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.

Di dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen dicantumkan beberapa asas-asas Perlindungan Konsumen. Asas-asas yang dianut dalam hukum

perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UUPK adalah:28

1. Asas manfaat

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak,

27

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal. 9

28

Wibowo Tunardi, Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen,

Kamis, 23 Mei 2013


(34)

konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

2. Asas keadilan

Penerapan asas ini dimaksudkan agar peran seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan bagi konsumen dan pelaku usaha untuk dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan

substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu:29

1. Asas Kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan

keselamatan konsumen.

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

3. Asas kepastian hukum

Masing-masing Undang memiliki tujuan khusus. Tujuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah untuk melindungi kepentingan konsumen dan sekaligus sebagai acuan bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang diproduksinya. Lebih lengkapnya tujuan

29


(35)

Undang Perlindungan Konsumen dicantumkan didalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung

unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen

Berbicara mengenai hak dan kewajiban, maka kita harus kembali kepada Undang-Undang. Undang-Undang dalam hukum perdata, selain dibuat oleh badan legislatif sebagai pembuat Undang-Undang juga dapat dilahirkan dari perjanjian antara pihak-pihak yang berhubungan hukum antara satu dengan yang lain. Baik perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak maupun Undang-Undang yang dibuat oleh badan legislatif keduanya membentuk perikatan diantara pihak

yang membuatnya.30

Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan mengenai hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika terdapat adanya tindakan tidak adil atas dirinya, ia dapat menyadari hal tersebut.

30


(36)

Sehingga dengan demikian konsumen dapat bertindak lebih lanjut untuk memperjuangkan hak-haknya. Sehingga konsumen tidak hanya tinggal diam apabila ia merasa dirugikan karena hak-haknya yang tidak dipenuhi oleh pelaku

usaha.31

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, tetapi juga mencakup hak-hak konsumen yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang

diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.32

Secara umum dikenal empat hak dasar konsumen (the four consumer basic

rights) yang meliputi hak-hak sebagai berikut:33

Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut pertama kali dikemukakan oleh Jhon F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS)

pada tanggal 15 Maret 1962 melalui A Special Message for the Protection of

a. Hak untuk mendapat atau memperoleh keamanan (the right to be

secured)

b. Hak untuk memperoleh informasi (the right to be informed)

c. Hak untuk memilih (the right to choose)

d. Hak untuk didengarkan (the right to be heard)

31

Happy Susanto, Hak - Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, Hal. 22

32

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal. 30


(37)

Consumer Interest atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak

Konsumen” (Declaration of Consumer Right).34

Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung

dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan

lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan

hak-hak tersebut, mereka bebas untuk menerima semua ataupun sebagian.35

Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun

1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection),

juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi:

Empat hak dasar yang disampaikan oleh Presiden AS tersebut kemudian dijadikan sebagai rumusan terhadap hak-hak perlindungan konsumen.

36

34

Happy Susanto, Op.Cit., Hal. 25

35

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hal. 31

36

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., Hal. 27

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya

yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.


(38)

Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat

dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.37

Disamping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.

Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 4 menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya

38

Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan

37

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Loc.Cit.

38Ibid.,


(39)

bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam

hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition).39

Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan

sebagai berikut :40

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak a. Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani maupun rohani.

Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha. Satu hal yang juga sering dilupakan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah penyediaan fasilitas umum yang memenuhi syarat untuk ditetapkan.

b. Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).

Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung risiko terhadap kealaman konsumen, wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas.

Apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kenajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang di dalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan secara tidak diskriminatif.

c. Hak untuk Didengar

39Ibid. 40Ibid.


(40)

yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.

d. Hak untuk Memilih

Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingg ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli.

Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberikan hak monopoli untuk memproduksi atau memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen akan kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk yang lain. e. Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai dengan Nilai

Tukar

Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya. Namun, dalam ketakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan.

f. Hak untuk Mendapatkan Ganti Kerugian

Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian ini tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak.

g. Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum

Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausul eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapatkan tanggapan yang layak dari pihak yang terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu.

h. Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hal dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan


(41)

hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik.

i. Hak untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disebut dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan iktikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi.

j. Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen

Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan “pendidikan konsumen” ini. Pengertian “pendidikan” tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk indormasi yang lebih komprehensif dengan semata-mata tidak menonjolkan unsur komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.

Selain daripada hak-hak yang dimiliki oleh konsumen yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhinya. Adapun mengenai kewajiban konsumen ini dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan


(42)

dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan. Masalah pemenuhan kewajiban konsumen dapat terlihat jika peringatan yang disampaikan pelaku usaha tidak jelas atau tidak mengundang perhatian konsumen untuk membacanya. Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak cukup maksud tersebut jika tidak diikuti oleh

kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.41

D. Perlindungan Konsumen dalam Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa kesemua Undang-Undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh Undang-Undang. Oleh karena itu, tidak dapat lain haruslah dipelajari juga peraturan Perundang-Undangan tentang konsumen dan/atau perlindungan konsumen ini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-undangan umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi hubungan dan/atau masalah konsumen dengan penyedia barang atau jasa. Sebagai akibat dari penggunaan peraturan perundang-undangan umum ini, dengan sendirinya berlaku pulalah asas-asas

41


(43)

hukum yang terkandung di dalamnya pada berbagai pengaturan dan/atau perlindungan konsumen tersebut. Padahal, nanti akan nyata, di antara asas hukum tersebut tidak cocok untuk memenuhi fungsi pengaturan dan/atau perlindungan pada konsumen, tanpa setidak-tidaknya dilengkapi/diadakan pembatasan berlakunya asas-asas hukum tertentu itu. Pembatasan dimaksudkan dengan tujuan “menyeimbangkan kedudukan” di antara pihak-pihak pelaku usaha dan/atau

konsumen bersangkutan.42

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan umum adalah semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan yang berwenang untuk itu, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah (di pusat) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Presiden, dan seterusnya dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah (Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan Desa dan

sebagainya).43

Alasan yang dapat dikemukakan untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen

dapat disebutkan sebagai berikut :44

a. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatuh

ubungan hukum dengan penjual, konsumen merupakan pengguna barang dan jasa untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun diperdagangkan.

b. Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri sebagai upaya

guna melindungi atau memperoleh haknya.

42

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta, 2001, Hal. 30

43

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hal. 47

44Ibid.,


(44)

Disamping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen “ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangn yang berlaku. Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku setahun sejak disahkannya pada tanggal 20 April 2000. Dengan demikian dan ditambah dengan ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) undang-undang ini, berarti untuk “membela” kepentingan konsumen, masih harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum yang berlaku memuat juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia merupakan sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum

perlindungan konsumen. Beberapa diantaranya akan diuraikan berikut ini :45

1. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR

Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan, Alinea ke-4 yang berbunyi :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.”

Kata “melindungi” menurut Az. Nasution di dalamnya terkandung asas

perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tanpa kecuali. Baik ia laki-laki ataupun perempuan, orang kaya atau miskin, atau orang kota atau orang desa, orang asli atau keturunan dan pengusaha/pelaku usaha atau konsumen.

45


(45)

Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan tersebut berbunyi “

“Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Sesungguhnya, apabila kehidupan sesorang terganggu atau diganggu oleh pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan yang layak, apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga negara dan hak semua orang.

Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi segenap bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR, khususnya sejak tahun 1978. Dengan ketetapan terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1993 (TAP-MPR) makin jelas kehendak rakyat atau adanya perlindungan konsumen,

sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan.46

Kalau pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah “menguntungkan” konsumen, TAP-MPR 1998 “menjamin” kepentingan konsumen, maka pada tahun 1993 digunakan istilah “melindungi kepentingan konsumen”. Sayangnya dalam masing-masing TAP-MPR tersebut tidak terdapat penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin atau melindungi kepentingan

konsumen tersebut.47

46Ibid.


(46)

2. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata

Dengan hukum perdata dimaksudnya hukum perdata dalam artian luas termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kaidah-kaidah hukum perdata pada umumnya termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

KUH Perdata memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan hubungan hukum dan masalah antarpelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan konsumen pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku kedua, buku ketiga dan buku keempat memuat berbagai kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen dan penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. Begitu pula dalam KUHD, baik buku pertama, maupun buku kedua, mengatur tentang hak-hak dan kewajiban yang terbit dari, khususnya (jasa) perasuransian dan pelayaran.

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memang sama sekali tidak pernah disebut-sebut kata “konsumen”. Istilah lain yang sepadang dengan

itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan si berutang (debitur).48

Beberapa pasal yang mengatur mengenai perlindungan konsumen di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain :49

48

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, Hal. 99

49Ibid.,

Hal. 100

a. Pasal 1235 KUHPerdata (jo. Pasal 1033, 1157, 1236, 1236, 1365, 1444,


(47)

“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan suatu termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat penyerahan”.

b. Pasal 1236 KUHPerdata (jo. Pasal-pasal 1235, 1243, 1264, 1275, 1391,

1444, 1480 KUHPerdata);

“Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, jika dia membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya”.

c. Pasal 1504 KUHPerdata (jo. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504, s.d

1511 KUHPerdata).

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan selain dengan harga yang kurang”.

3. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik

Hukum publik yang dimaksudkan adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan. Termasuk hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum acara perdata dan/atau hukum acara pidana dan hukum internasional khususnya hukum perdata internasional.


(48)

Jadi, segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua cabang-cabang hukum publik itu sepanjang berkaitan dengan hubungan hukum konsumen dan/atau masalahnya dengan penyedia barang atau penyelenggara jasa, dapat pula diberlakukan.

Diantara keseluruhan hukum publik tersebut tampaknya hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum internasional khususnya hukum perdata internasional dan hukum acara perdata serta hukum acara pidana paling banyak pengaruhnya dalam pembentukan hukum konsumen.

Ketentuan hukum administrasi, misalnya menentukan bahwa Pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap pelaksaan undang-undang (termuat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 LN Tahun 1985 No. 75).

Selanjutnya dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang No.23 Tahun 1992, Pasal 73 ditentukan:

“Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.”

Hukum pidana termasuk dalam ranah hukum publik sementara pengaturan hukum positifnya yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut-sebut kata “konsumen”. Kendati demikian, secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang

memberikan perlindungan hukum bagi konsumen antara lain:50

50Ibid.,


(49)

a. Pasal 204 KUHP: “Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang, yang diketahui membahayakan itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

b. Pasal 205 KUHP: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa

barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurung paling lama satu tahun.

c. Pasal 359 KUHP: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan

matinya orang lain, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun (LN 11906 No.1).

d. Pasal 360 KUHP: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang

lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Barang siapa dengan kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling


(50)

lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

e. Pasal 382 KUHP: “Barang siapa menjual, menawarkan, atau menyerahkan

makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Lapangan pengaturan yang paling luas kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen terutama terdapat pada bidang kesehatan dan pengaturan hak-hak atas kekayaan

intelektual.51

E. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dari peraturan perundang-undangan diatas terlihat beberapa departemen dan atau lembaga pemerintah tertentu menjalankan tindakan administratif berupa pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam melaksanakan perundang-undangan tersebut.

Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata usaha negara. Oleh karena itu, tidak digunakan istilah “sengketa transaksi konsumen” karena terkesan lebih sempit yang hanya

mencakup aspek hukum keperdataan.52

51

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hal. 82

52


(51)

Didalam penyelesaian sengkera konsumen menurut UUPK, para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen, dimungkinkan menyelesaikan sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum,

atau konsumen memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan.53

1. Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum

Pasal 45 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan

yang berada di lingkungan peradilan umum.”54

53Ibid. 54Ibid.,

Hal. 168

Mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 di atas. Adapun yang berhak melakukan gugatan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha diatur dalam Pasal 46 ayat (1) UUPK, yaitu:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.


(52)

Pengaturan yang diberikan oleh Pasal 46 ayat (1) UUPK maksudnya adalah:55

Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan hanya memungkinkan apabila:

a. Bahwa secara personal (gugatan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan) sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a Pasal 46 ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang ditentukan dalam UUPK atau melalui peradilan di lingkungan peradilan umum.

b. Sedangkan gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana yang dimaksud huruf b, huruf c dan huruf d Pasal 46 ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum. Penyelesaian melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku saat ini.

56

a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen

di luar pengadilan, atau

b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,

dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Adapun kendala yang dihadapi konsumen dan pelaku usaha dalam

penyelesaian sengketa di pengadilan adalah:57

55

Jendral Kancil, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen,

Kamis, 23 Mei 2013

56


(1)

konsumen. Pemeriksaan di pengadilan menggunakan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri. PT. Daya Prima Indonesia dalam hal force majeure diluar kebakaran dan masih memungkinkan untuk berjalannya perjanjian bertanggungjawab untuk memenuhi perjanjian. Namun apabila yang terjadi adalah bencana nasional seperti contoh tsunami yang diluar kemampuan pengembang maupun kreditur untuk bertanggungjawab, maka pemerintah membuat kebijakan melalui Bank Indonesia untuk memutihbukukan seluruh hutang debitur dan juga melakukan rekonstruksi bangunan atas rumah yang terkena dampak bencana tersebut.

3. Hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan permasalahan konsumen perumahan akibat terjadinya force majeure adalah konsumen yang rata-rata merupakan MBR tidak menggunakan asurasi yang diwajibkan oleh pihak bank karena merasa keberatan untuk membayar premi. Sehingga apabila terjadi force majeure selain bencana nasional konsumen berada di pihak yang lemah. Hambatan lainnya adalah batasan yang tidak jelas mengenai force majeure itu sendiri. Sehingga menyebabkan kaburnya pengertian


(2)

B. Saran

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penulis dalam kesempatan ini memberikan beberapa saran atau masukan yang terkait sehubungan dengan skripsi ini, yaitu:

1. Perlu adanya perbaikan dan penambahan pada KUH Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen khususnya mengenai force majeure, agar ada pengaturan dan batasan-batasan yang jelas

mengenai force majeure. Sehingga tidak hanya melindungi kepentingan kreditur namun juga melindungi hak-hak dan kepentingan konsumen.

2. Pentingnya klausul mengenai force majeure dalam setiap penulisan perjanjian, sehingga tidak terdapat perselisihan antara pihak-pihak yang terkait apabila dikemudian hari terjadi force majeure (keadaan memaksa)

3. Sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Konsumen terhadap masyarakat, dengan konsumen yang cerdas dan memahami dengan baik hak-haknya dan memenuhi kewajibannya sehingga akan mengurangi banyaknya kasus tentang pelanggaran hak-hak konsumen.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Penerbit Alumni.

BUKU

Djumhana, Muhammad. 2000. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Fuadi, Munir. 2001. Hukum Kontrak (dari sudut pandang hukum bisnis). Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Hamzah, Andi; I Wayan Suandra dan B. A. Manalu. 1990. Dasar-Dasar Hukum Perumahan, Jakarta : Rineka Cipta.

Harahap, Yahya .1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung : Citra Adiya Bakti.

Indonesia, Bank. 2002. Studi Ekonomi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Jakarta : Bank Indonesia.

Indonesia, YLBH. 2007. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta : YLBHI.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2008. Hukum Perlindugan Konsumen. Jakarta : Sinar Grafika.

Miru, Ahmadi. 2011. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Rajawali Pers.

Nasution, Az. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Diadit Media. Nasution, Bismar. 2007. Hukum Kegiatan Ekonomi I, Bandung : BooksTerrace

& Library.

Rahman, Hasanuddin . 2003. Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Setiawan. 1994. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bandung : Binacipta.

Sidharta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.


(4)

Shofie, Yusuf. 2009. Perlindungan Konsumen & Instrumen-Instrumen Hukumnya. Bandung : Citra Aditya Bakti.

Sudaryatmo. 1999. Hukum & Advokasi Konsumen. Bandung : Citra Adiya Bakti.

Susanto, Happy. 2008. Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta : Visimedia. Suyatno, Thomas; H.A Chalik, Made Sukada, C. Tinon Y.A, dan Djuhaepah T.M.

1997. Dasar-Dasar Perkreditan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2003. Hukum Tentang Perlindungan

Konsumen. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Abbas, Nurhayati. 1996. Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya, Ujungpandang : Elips Project.

MAKALAH, TESIS, SKRIPSI

Darwis, Abdi. 2010. Hak Konsumen Untuk Mendapat Perlindungan Hukum Dalam Industri Perumahan di Kota Tangerang . (Tesis) Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro.

Nainggolan, Hotman. 2000. Aspek Hukum Perjanjian dalam Pembelian Rumah Melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank Tabungan Negara (BTN) Medan Pada Perumnas Simalingkar Medan. (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Sugondo. 2008. Tinjauan Mengenai Perlindungan Terhadap Konsumen Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Dalam Kaitannya dengan Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pemerintah Republik Indonesia PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pemerintah Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman Pemerintah Republik Indonesia


(5)

INTERNET

www.analisadaily.com. Diakses pada Kamis, 23 Mei 2013. www.bi.go.id. Diakses pada Selasa, 28 Mei 2013

http://fariztheepee.blogspot.com/2011/05/mekanisme-penyelesaian-sengketa.html.

Diakses pada Kamis, 23 Mei 2013.

http://gunadiemaha.wordpress.com/2010/05/04/pengertian-produsen-konsumen-dalam-tinjauan-tou/. Diakses pada Kamis, 23 Mei 2013.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b3f493147a2a/waspadai-klausula-baku-dalam-perjanjian-kredit-pemilikan-rumah. Diakses pada Selasa, 28 Mei 2013.

Senin, 27 Mei 2013.

http://kprid.wordpress.com/2011/06/21/perlindungan-konsumen-dalam-bisnis-properti/, diakses pada Rabu, 29 Mei 2013.

http://kredit-kepemilikan-rumah.blogspot.com/2011/08/kredit-kepemilikan-rumah.html?m=1. Diakses pada Selasa, 28 Mei 2013.

http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=55 &Itemid=55

http://medialpknusantaramerdeka.blogspot.com/2009/10/cara-penyelesaian-sengketa- konsumen. html. Diakses pada Senin, 16 September 2013

. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013

http://naufalalfatih.wordpress.com/2012/10/10/dasar-hukum-perlindungan-konsumen/. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013

http://www.neraca.co.id/harian/article/27606/Cerdas.Berbelanja.Cerdas.Pula.Aka n.Haknya. Diakses pada Senin, 20 Mei 2013

http://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksa-overmacht-dalam-hukum-perdata/. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013

http://m.okezone.com/read/2012/09/28/471/696550. Diakses pada Selasa 28 Mei 2013.


(6)

http://perumahan-hijau-depok.blogspot.com/2011/07/masalah-kpr danantisipasinya.html. Diakses pada Selasa, 28 Mei 2013.

http://property.okezone.com/read/2013/05/11/471/805468/teliti-sebelum-membeli-rumah-dengan-promo-manis. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013. http://stefanuschandrakurniawan.blogspot.com/2011/05/force-majeure.html.

Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013

http://www.tabloidnova.com/Nova/Griya/Tips-Griya/Mengenal-Kredit-Pemilikan-Rumah. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013.

http://www.tempo.co/read/news/2009/12/29/087216153/Pengamat-Konsumen-Banyak-Dirugikan-KPR. Diakses pada Rabu, 29 Mei 2013.

http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=1241. Diakses pada Selasa, 28 Mei 2013.

http://www.wibowotunardy.com/asas-dan-tujuan-hukum-perlindungan-konsumen/. Diakses pada Kamis, 23 Mei 2013.

pada Selasa, 28 Mei 2013.

http://www.ylki.or.id/segudang-masalah-konsumen-perumahan.html. Diakses pada Selasa, 28 Mei 2013.