BAB II - Peran Kepribadian Big-Five dalam Gaya Manajemen Konflik

BAB II LANDASAN TEORI A. Manajemen Konflik

  1. Pengertian Manajemen Konflik

  Menurut Rahim (2001) manajemen konflik tidak hanya berkaitan dengan menghindari, mengurangi serta menghilangkan konflik, tetapi juga meliputi perancangan strategi konflik untuk meminimalisir konflik dan meningkatkan fungsi konstruktif konflik. Menurut Ujan, dkk (2011) manajemen konflik adalah membatasi dan menghindari kekerasan dengan merubah perilaku ke arah yang lebih positif bagi pihak-pihak yang terlibat.

  Sedangkan menurut Winardi (2007) penyelesaian konflik itu terjadi jika alasan dan penyebab terjadinya konflik dihilangkan, sehingga konflik yang sama tidak akan terulang lagi.

  Jadi, secara umum manajemen konflik adalah strategi untuk meminimalisir, menghindari, serta menghilangkan konflik dan merubah perilaku pihak-pihak yang terlibat ke arah yang lebih positif.

  2. Gaya Manajemen Konflik

  Individu dapat melakukan berbagai strategi manajemen konflik, strategi yang dapat dilakukan individu menurut Rahim (2001) adalah sebagai berikut: a.

  Integrating Style

  Gaya manajemen konflik ini berfokus untuk mendapatkan keuntungan maksimum dan seimbang bagi kedua belah pihak yang bertikai.

  7 Pendekatan dengan gaya manajemen ini berfokus kepada bagaimana kedua belah pihak yang berkonflik berpartisipasi aktif dalam kegiatan pemecahan masalah sehingga mendapatkan hasil yang saling menguntungkan.

  b.

  Obliging Style

Gaya manajemen konflik ini, individu terlalu memberikan

keuntungankepada pihak dan melupakan kepentingan sendiri. Rahim

(2001) juga menyebut gaya ini dengan istilah accomodating style.

  

Gaya manajemen ini dicirikan dengan pihak yang satu mengalah atau

menurut kepada pihak lain sebagai pemecahan masalah.

  c.

  Dominating Style

Gaya manajemen konflik ini berfokus untuk mendapatkan keuntungan

bagi satu pihak daripada pihak lainnya.Pada gaya manajemen ini,

strategi yang digunakan individu adalah dengan menunjukkan bahwa

pihaknya menguasai pihak lainnya. Dengan demikian, pihak yang lain

harus tunduk kepada alternatif yang menguntungkan pihak

individu.Gaya ini dikenal juga dengan competing style.

  d.

  Avoiding Style

Gaya manajemen konflik ini tidak memiliki fokus untuk mendapatkan

keuntungan bagi pihak manapun. Individu yang menggunakan strategi

ini memilih untuk menghindari konflik yang ada. Gaya manajemen ini dikenal juga dengan suppression. e.

  Compromising Style Gaya manajemen konflik ini berfokus kepada bagaimana kedua belah pihak dapat menyelesaikan konflik yang ada dengan cara mencari „jalan‟ tengah. Berbeda dengan gaya manajemen konflik integrating, gaya manajemen konflik seperti ini tidak berfokus pada kesaling- menguntungkan antara dua pihak yang bertikai. Pada gaya ini, dua pihak yang bertikai sekedar mencari jalan tengah yang melibatkan setiap pihak merelakan sebagian kepentingannya, namun mempertahankan sebagian kepentingannya yang lain. Dalam gaya manajemen konflik seperti ini, kedua belah pihak pada dasarnya sama- sama tidak mencapai keuntungan penuh, sekaligus juga tidak mencapai kerugian yang penuh. Gaya manajemen seperti ini cocok diungkapkan sebagai gaya yang „setengah-setengah‟.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya manajemen konflik

  Menurut Kaushal dan Kwantes (2006) manajemen konflik dapat dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya. Budaya seseorang sangat mempengaruhi proses terjadinya konflik. Latar belakang budaya dapat mempengaruhi setiap aspek konflik seseorang, seperti tujuan, alasan mengapa seseorang bertindak dan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi konflik tersebut. Dalam hal ini nilai dan kepercayaan dari budaya menjadi prediktor utama seseorang dalam memilih manajemen konflik.

  Gender juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan gaya manajemen konflik. Penelitian yang dilakukan oleh Brewer, Mitchell dan Weber (2002); Wheleer, Updegraff, Thayer (2010) menunjukkan bahwa tipe gender yang feminin cenderung menggunakan manajemen konflik yang menghindar (avoiding) atau bertukar pendapat dengan pihak lain (Compromising), sedangkan tipe gender yang maskulin cenderung bersikap dominan dan mengontrol konflik.

  Selain aspek sosial budaya dan gender, menurut Deutsch dan Coleman (2000) kepribadian juga mempengaruhi seseorang dalam manajemen konfliknya. Kepribadian tertentu menunjukkan masalah yang sama dalam manajemen konflik, motivasi yang ada di alam bawah sadar, dan di dalam strategi resolusi konflik yang digunakan untuk mengendalikan situasi konflik tertentu (Heitler, 1990; Deutsch, 2000). Pada penelitian ini peneliti hanya berfokus kepada kepribadian saja sebagai faktor yang berdampak pada gaya manajemen konflik seseorang.

B. Kepribadian

1. Definisi kepribadian

  Pengertian yang diberikan jika berhubungan dengan kata kepribadian atau personality sangatlah banyak. Personality itu berasal dari kata persona (bahasa latin) yang memiliki arti topeng (Sujianto dkk,2001). Kepribadian mengacu kepada karakteristik seseorang yang terlihat dari pola perasaan, berfikir, dan berperilaku yang konsisten (Pervin, Cervone, & John, 2005). Feist dan Feist (2009) memberikan arti kepribadian sebagai yang permanen dari sifat, kecenderungan, dan karakteristik individu yang mempengaruhi perilaku individu secara konsisten.

  Berdasarkan uraian di atas maka pengertian kepribadian adalah karakteristik seseorang yang permanen dan mempengaruhi perilaku individu secara konsisten.

2. Dimensi kepribadian

  Banyak pakar psikologi yang mengungkapkan tentang kepribadian dan perbedaan versi kepribadian, karena tidak semua sepakat terhadap satu pengertian (Schultz,1993). Pada penelitian ini digunakan dimensi yang digambarkan oleh Big-Five model yang dibuat oleh McCrae dan Costa (1992), yaitu ada lima dimensi kepribadian dengan singkatan OCEAN yaitu:

  (1) Openness

  Kecenderungan untuk mencari kesenangan terhadap pengalaman baru untuk dirinya, dan hal - hal baru dalam dirinya, artistik, menjadi dirinya sendiri,dan imajinatif. (2)

  Conscientiousness Kecenderungan untuk menjadi orang yang terorganisir, tekun, motivasi, dapat diandalkan, efisien, dan penuh perencanaan.

  (3) Extraversion

  Kecenderungan untuk dapat bersosialisasi, cerewet, aktif, tegas, optimis, dan antusias .

  (4) Agreeableness

  Kecenderungan untuk berhati lembut, baik hati, dapat dipercaya, pemaaf, appresiatif, suka menolong.

  (5) Neuroticsm

  Kecenderungan seseorang untuk memiliki ketidakstabilan emosi, ide- ide yang tidak realistik, pencemas, sensitif, mengasihani diri sendiri.

3. Peran Kepribadian Big-five terhadap Gaya Manajemen Konflik

  Menurut Rahim (2001) manajemen konflik merupakan perancangan strategi untuk meminimalisir konflik yang meliputi perubahan attitude, perilaku , struktur organisasi sehingga setiap individu dapat mencapai tujuannya dengan efektif. Gaya manajemen konflik dipengaruhi oleh banyak faktor, yang menurut Rahim (2001) belum diketahui faktor apa yang paling kuat mempengaruhinya diantara kepribadian, kekuasaan, iklim organisasi dan peran yang ada. Sedangkan, menurut Burn (2004) gaya manajemen konflik dipengaruhi oleh gender, budaya dan kepribadian.

  Kepribadian merupakan hal yang penting dalam menentukan gaya manajemen konflik seseorang ( Ahmed, 2010). Perbedaan individu sangat mempengaruhi perilaku seseorang dalam menghadapi konflik (Deutsch,dkk,

  2000; Burn, 2004). Sesuai dengan pendapat tersebut, hasil penelitian Antonioni (1998) dan Wang (2010) menunjukkan adanya hubungan antara kepribadian Big-Five dengan gaya manajemen konflik.

  Gaya manajemen konflik ada lima yaitu integrating, compromising, dan avoiding (Rahim, 2001). Integrating merupakan

  dominating, obliging

  gaya manajemen konflik yang berfokus kepada bagaimana kedua belah pihak yang berkonflik berpartisipasi aktif dalam kegiatan pemecahan masalah sehingga mendapatkan hasil yang saling menguntungkan. Lee (2008) mengatakan bahwa gaya manajemen konflik ini bersifat terbuka, mau bertukar informasi dengan pihak lain dan menyatukan perbedaan untuk mencari solusi yang terbaik bagi kedua pihak. Gaya manajemen konflik ini juga dianggap kompeten karena menyelesaikan dengan mencari tahu tujuan, persepsi atau ide dari pihak lain kemudian mencari solusi secara bersama- sama (Tutzauer and Roloff, 1988; Lee, 2008).

  Mengacu kepada pengertian dari gaya manajemen konflik integrating sebelumnya, sejalan dengan tipe kepribadian openness yang merupakan kepribadian terbuka dan mau melihat perspektif-perspektif baru (Feist & Feist, 2009). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Iqbal, Ejaz dan Ara (2012) tentang tipe kepribadian dan gaya manajemen konflik pada operator call-centre menunjukkan bahwa tipe kepribadian openness akan lebih mudah untuk berintegrasi dengan orang lain. Sedangkan, menurut penelitian yang dilakukan Osuch dan Lewandowski (2004) kepribadian

  extraversion, agreeableness dan conscientiousness juga mempengaruhi gaya

  manajemen konflik integrating. Dimana menurut mereka pada tipe kepribadian extraversion memiliki indikator perilaku dari integrating yaitu assertif yang merupakan satu hal yang penting untuk gaya integrating, adanya sikap mau menolong orang lain membuat tipe kepribadian agreeablenness dapat mempengaruhi gaya manajemen konflik integrating, dan untuk dapat menggunakan integrating sebagai gaya manajemen konflik, dibutuhkan kemauan yang kuat dan motivasi yang tinggi untuk mencapai solusi yang terbaik bagi kedua pihak, hal ini yang membuat conscientiousness juga mempengaruhi gaya manajemen konflik integrating, sedangkan individu dengan tipe kepribadian neuroticsm yang tinggi tidak menunjukkan adanya hubungan dengan gaya manajemen konflik integrating dikarenakan ketidakmampuan menghadapi situasi yang penuh stress sehingga tidak dapat membantu mencari solusi terbaik.

  Gaya manajemen konflik yang kedua yaitu compromising, merupakan gaya manajemen konflik dengan cara bertukar pendapat dengan pihak lawan tetapi tidak terlalu berfokus pada kemenangan (Rahim, 2001). Adanya pertukaran pendapat dengan pihak lain mengarahkan gaya manajemen konflik ini kepada ciri kepribadian openness yang senang dengan hal- hal baru termasuk pendapat atau ide dari orang lain (Costa & McRae, 1987; Goel & Khan,

  2012) tetapi tidak dengan individu yang memiliki emosi yang tidak stabil dan pencemas (neuroticsm), individu dengan kepribadian ini cenderung tidak menggunakan compromising sebagai gaya manajemen konfliknya (Goel & Khan, 2012) . Melakukan pertukaran pendapat akan lebih mudah dilakukan jika orang yang terkait dapat bersosialisasi dan mudah percaya dengan orang lain, sehingga individu dengan kepribadian

  extraversion dan agreeableness kemungkinan besar akan menggunakan gaya

  manajemen konflik compromising (Osuch & Lewandawski, 2004) Gaya manajemen konflik compromising yang tidak berfokus kepada kemenangan tidak sesuai dengan individu yang memiliki kepribadian

  

conscientiousness, karena conscientiousness merupakan kepribadian yang

  memiliki keinginan tinggi, terorganisir dan berfokus kepada kemenangan (Costa & Mcrae, 1992). Penelitian yang dilakukan oleh Osuch dan Lewandawski (2004) membuktikan tidak adanya hubungan antara kepribadian conscientiousness dengan gaya manajemen konflik

  compromising.

  Gaya manajemen konflik yang ketiga adalah obliging yang merupakan gaya manajemen konflik dengan cara menurunkan keinginan pribadi dan mengutamakan kepentingan orang lain (Rahim, 2001). Sikap yang mengutamakan kepentingan orang lain mengarah kepada sikap rasa senang menolong orang lain, dimana rasa senang menolong orang lain merupakan salah satu ciri dari kepribadian agreeableness (Costa & Mcrae, 1992). Hal ini sejalan dengan penelitian Goel dan Khan (2012) yang menunjukkan hasil hubungan antara obliging dan kepribadian agreeableness, hasil penelitiannya juga menunjukkan adanya hubungan dengan kepribadian neuroticsm, karena kecemasan yang mereka miliki cenderung membuat mereka mematuhi orang lain.

  Berbeda dengan dua tipe kepribadian sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Goel dan Khan (2012) menunjukkan bahwa kepribadian , conscientiousness dan extraversion cenderung tidak menggunakan

  openness

  gaya manajemen konflik obliging. Hal ini karena tipe kepribadian openness memiliki keinginan yang tinggi untuk hal-hal baru dan bersifat independen, tipe kepribadian conscientiousness memiliki motivasi yang tinggi dan penuh perencanaan, serta kepribadian exytraversion memiliki rasa optimis akan tujuannya (Costa & Mcrae, 1992). Sehingga membuat ketiga kepribadian ini cenderung tidak menyerah kepada pihak lawan.

  Gaya manajemen konflik yang keempat adalah dominating,yang memanajemen konflik dengan cara mendominasi atau menguasai pihak lawan dengan segala cara untuk menang (Rahim, 2001). Hasil penelitian yang dilakukan Akrami dan Ekehammar (2006) mengenai sosial-dominance dengan kepribadian openness dan agreeableness, menunjukkan tidak adanya hubungan antara ketiganya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Osuch dan Lewandowski (2004) yang mengatakan tidak ada korelasi antara gaya manajemen konflik dominating dengan kepribadian openness, dan neuroticsm tetapi berhubungan dengan

  agreeableness, conscientiousness

  tipe kepribadian extraversion. Hal ini dikarenakan individu yang extrovert memiliki kecenderungan alami untuk bersikap agresif dan mendominasi

  (Eysenck, 1985; Zawadzki and team, 1998; Osuch & Lewandowski , 2004). Sedangkan kepribadian openness merupakan kepribadian yang senang mendengarkan opini orang lain, agreeableness merupakan kepribadian yang simpatik dan lemah lembut, conscientiousness merupakan kepribadian yang bertanggung jawab, dan neuroticsm merupakan kepribadian yang tempramen dan pencemas yang tinggi (Costa & Mcrae, 1992).

  Gaya manajemen konflik yang kelima adalah avoiding, yang merupakan gaya manajemen konflik dengan cara menghindari konflik (Rahim, 2001).

  Sikap menghindari merupakan salah satu ciri dari kepribadian yang introvert, karena kecemasan dan merasa tidak ada kemampuan untuk bersosialisasi dengan orang lain karena rasa malu dan tertutup mereka (Osuch & Lewandowski , 2004). Rasa cemas adalah bagian dari kepribadian neuroticsm (Costa & Mcrae, 1992). Sehingga, individu dengan neuroticsm yang tinggi cenderung akan menghindar jika berhadapan dengan konflik (Goel & Khan, 2012). Tipe kepribadian agreeableness yang tinggi juga akan cenderung menghindari konfrontasi dengan konflik untuk melindungi ketertarikan pribadinya (Antonioni, 1998).

  Berbeda dengan keduanya, tipe kepribadian lain yang memiliki orientasi seperti openness merupakan kepribadian yang senang akan hal baru termasuk mendengarkan opini orang lain, conscientiousness merupakan kepribadian yang bertanggung jawab dan berkeinginan kuat, extraversion yang senang bersosialisasi, aktif dan optimis akan tujuannya (Costa & Mcrae, 1992) akan cenderung menghadapi konflik yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Goel & Khan (2012) yang menunjukkan tidak ada hubungan antara openness, conscientiousness dan extraversion dengan gaya manajemen konflik avoiding, hal ini dikarenakan ciri-ciri dari ketiga tipe kepribadian tidak mengarah kepada penghindaran akan sesuatu.

C. Hipotesa

  Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H-1a : ada hubungan positif antara kepribadian openness dengan gaya manajemen konflik compromising

  H-1b : ada hubungan negatif antara kepribadian conscientiousness dengan gaya manajemen konflik compromising H-1c : ada hubungan positif antara kepribadian extraversion dengan gaya manajemen konflik compromising

  H-1d : ada hubungan positif antara kepribadian agreeablenes dengan gaya manajemen konflik compromising H-1e : ada hubungan negatif antara kepribadian neuroticsm dengan gaya manajemen konflik compromising H-2a : ada hubungan positif antara kepribadian openness dengan gaya manajemen konflik integrating

  H-2b : ada hubungan positif antara kepribadian conscientiousness dengan gaya manajemen konflik integrating H- 2c : ada hubungan positif antara kepribadian extraversion dengan gaya manajemen konflik integrating H- 2d : ada hubungan positif antara kepribadian agreeableness dengan gaya manajemen konflik integrating H- 2e : ada hubungan negatif antara kepribadian neuroticsm dengan gaya manajemen konflik integrating H- 3a : ada hubungan negatif antara kepribadian openness dengan gaya manajemen konflik obliging H- 3b : ada hubungan negatif antara kepribadian conscientiousness dengan gaya manajemen konflik obliging H- 3c : ada hubungan negatif antara kepribadian extraversion dengan gaya manajemen konflik obliging H- 3d : ada hubungan positif antara kepribadian agreeableness dengan gaya manajemen konflik obliging H- 3e : ada hubungan positif antara kepribadian neuroticsm dengan gaya manajemen konflik obliging H- 4a : ada hubungan negatif antara kepribadian openness dengan gaya manajemen konflik dominating

  H- 4b : ada hubungan negatif antara kepribadian conscientiousness dengan gaya manajemen konflik dominating H- 4c : ada hubungan positif antara kepribadian extraversion dengan gaya manajemen konflik dominating H- 4d : ada hubungan negatif antara kepribadian agreeableness dengan gaya manajemen konflik dominating H- 4e : ada hubungan negatif antara kepribadian neuroticsm dengan gaya manajemen konflik dominating H-5a : ada hubungan negatif antara kepribadian openness dengan gaya manajemen konflik avoiding H-5b : ada hubungan negatif antara kepribadian conscientiousness dengan gaya manajemen konflik avoiding H-5c : ada hubungan positif antara kepribadian agreeableness dengan gaya manajemen konflik avoiding H-5d : ada hubungan negatif antara kepribadian extraversion dengan gaya manajemen konflik avoiding H- 5e : ada hubungan positif antara kepribadian neuroticsm dengan gaya manajemen konflik avoiding