Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Karakteristik Demografi Kepala Ruangan Rumah Sakit di Medan
PERBEDAAN GAYA MANAJEMEN KONFLIK
BERDASARKAN KARAKTERISTIK DEMOGRAFI
KEPALA RUANGAN RUMAH SAKIT DI MEDAN
TESIS
Oleh
DEWI FRINTIANA SILABAN
117046017/ADMINISTRASI KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PERBEDAAN GAYA MANAJEMEN KONFLIK
BERDASARKAN KARAKTERISTIK DEMOGRAFI
KEPALA RUANGAN RUMAH SAKIT DI MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep)
dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi Administrasi Keperawatan
pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
Oleh
DEWI FRINTIANA SILABAN
117046017/ADMINISTRASI KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
(4)
Telah diuji
Pada tanggal : 24 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, MSi
Anggota : 1. Diah Arruum, S.Kep., Ns., M.Kep
2. Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si., Psikolog
3. Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp., MNS
(5)
(6)
Judul Tesis : Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Karakteristik Demografi Kepala Ruangan Rumah Sakit di Medan.
Nama Mahasiswa : Dewi Frintiana Silaban. Nomor Induk Mahasiswa : 117046017.
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan. Minat Studi : Administrasi Keperawatan.
ABSTRAK
Konflik merupakan perselisihan internal atau eksternal akibat adanya perbedaan gagasan, nilai, atau perasaan antara dua orang atau lebih yang akan terjadi secara alami di dalam organisasi. Menangani konflik secara efektif akan meningkatkan pertumbuhan personal dan sangat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas pada pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan karakteristik demografi kepala ruangan Rumah Sakit di Medan dengan menggunakan desain komparatif. Sampel penelitian berjumlah 54 orang kepala ruangan di Rumah Sakit. Statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis karakteristik demografi dan gaya manajemen konflik. Perbedaan gaya manajemen konflik obliging, avoiding dan dominating diuji dengan menggunakan uji one way ANOVA dan uji t tidak berpasangan, sedangkan untuk menguji perbedaan gaya manajemen konflik integrating dan compromising dilakukan uji Kruskal-Wallis dan
(7)
Mann-Whitney. Penelitian ini menemukan bahwa karakteristik demografi kepala ruangan Rumah Sakit di Medan mayoritas berumur 41-50 tahun (64,8 %), berjenis kelamin perempuan (94,4 %), mayoritas memiliki masa kerja ≥ 16 tahun (77,8 %), dan mayoritas berpendidikan Sarjana (69,8 %). Pada rentang rerata 1,00-5,00 maka ditemukan bahwa gaya manjemen konflik yang digunakan oleh kepala ruangan secara berurutan rerata paling tinggi sampai paling rendah adalah
integrating (mean 4,42), compromising (mean 4,37), obliging (mean 3,36), avoiding (mean 2,78), dan dominating (mean 2,44). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan secara signifikan (p<0,05) gaya obliging
berdasarkan jenis kelamin kepala ruangan Rumah Sakit di Medan. Akan tetapi tidak ada perbedaan secara signifikan gaya integrating, dominating, avoiding, dan
compromising berdasarkan umur, masa kerja, dan tingkat pendidikan. Disarankan kepada kepala ruangan agar secara terus-menerus mempelajari gaya manajemen konflik, sehingga dapat menerapkannya pada situasi yang tepat selama menjalankan tugas dan perannya sebagai kepala ruangan.
(8)
Title of the Thesis : Differences of Conflict Management Style Based on Demographic Charactersistics of Head Nurses at General Hospitals in Medan. Name of Student : Dewi Frintiana Silaban.
Std. ID Number : 117046017.
Study Program : Master in Nursing Science. Field of Specialization : Nursing Administration.
ABSTRACT
A conflict is an internal or external dispute caused by difference in ideas, values or feeling beetwen two or more persons which occure naturally in an organization. Handling a conflict effectively will promote environment that stimulates personal growth and assist in providing quality patient care. The purpose of this research was to identify the differences of conflict management style based on demographic characteristics of head nurses at general hospitals in Medan. The samples of this research were 54 of head nurses of those two hospitals. Descriptive statistics was used to analyze demographic charactersitics and conflict management style. One way ANOVA and independent t-test was used to analyze the differences of obliging, avoiding and dominating based on demographic characteristics, whereas Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test was used for integrating and compromising. This research revealed that the majority of the head nurses demographic chararactersitics were 41-50 years in age (64,8%), female (94,4%), tenure ≥ 16 years (77,8%), and bachelor degree (69,8%). On the
(9)
range of 1.00 to 5.00, the mean score of conflict management style in rank order were integrating (4,42), compromising (4,37), obliging (3,36), avoiding (2,78), dan dominating (2,44). This research revealed that sex was statistically different in choosing obliging style (p<0,05), but not to integrating, dominating, avoiding, and compromising based on the rest of domographic caractersitics. It is suggested that head nurses continuously learn the conflict management style, so that they can appliy it in the right situation through their duties and role as head nurses. Key words: conflict management, head nurses.
(10)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kuasaNya penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Karakteristik Demografi Kepala Ruangan Rumah Sakit di Medan.
Selama menyusun tesis ini, penulis mengalami banyak pengalaman yang berharga dari berbagai pihak. Sehingga, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dedi Ardinata., M. Kes., selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si., selaku dosen pembimbing pertama, yang telah senantiasa memberikan waktu untuk membimbing, memberikan arahan, ilmu dan saran yang sangat berharga dalam proses penyusunan tesis ini. Diah Arruum, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku dosen pembimbing kedua, yang juga telah senantiasa memberikan waktu untuk membimbing, memberikan arahan, ilmu dan saran yang sangat berharga dalam proses penyusunan tesis ini. Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si., Psikolog, selaku penguji pertama yang telah memberikan arahan dan masukan untuk perbaikan tesis ini. Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp., MNS, selaku penguji kedua yang telah memberikan arahan dan masukan untuk perbaikan tesis ini. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan angkatan pertama yang telah saling mengingatkan dan mendukung selama penulisan tesis ini. Semua pihak yang tidak
(11)
dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis akan menerima saran dan masukan yang sifatnya memperbaiki isi tesis ini. Akhir kata penulis berharap semoga hasil tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi profesi keperawatan dan bagi masyarakat.
Medan, 24 Agustus 2013 Penulis
(12)
RIWAYAT HIDUP
Nama : Dewi Frintiana Silaban, S.Kep., Ns Tempat/Tanggal Lahir : Tanjung Morawa, 16 September 1976 Alamat : Kompleks Mess Medistra No. 7 Delitua
-20355-
No. Telp./Hp : 0852 7527 3634
Riwayat Pendidikan :
Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus
SD SDN Negeri 101884 Tanjung Morawa 1989 SLTP SMP Negeri 2 Tanjung Morawa 1992
SMU SMA Negeri 5 Medan 1995
Diploma III Akper Dr. Rusdi Medan 1998 Ners PSIK Universitas Sumatera Utara 2005 Magister Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara 2013
Riwayat Pekerjaan:
Dosen di Akademi Keperawatan Takasima Kabanjahe mulai 1999 s.d. 2002. Dosen di STIKes Deli Husada Delitua mulai 2006 s.d. sekarang
(13)
Kegiatan Akademik Selama Studi:
Workshop Analisis Data Dengan Content Analysis & WEFT-QDA di Medan Tanggal 31 Januari 2012 Sebagai Peserta.
Seminar Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Disiplin Ilmu Kesehatan di Medan Tanggal 31 Januari 2012 Sebagai Peserta.
Optimalisasi Kolaborasi Perawat–Dokter Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan di Medan Tanggal 20 Juli 2012 Sebagai Peserta.
Oversea study visit “Nursing Administration in Hospital and Healthcare System in Thailand” di Thailand Tanggal 18–20 Februari 2013 Sebagai Peserta.
Publikasi:
Silaban, D. F., Siagian, A., & Arruum, D. (2013). Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Karakteristik Demografi Kepala Ruangan Rumah Sakit di Medan. Jurnal Riset Keperawatan Indonesia, 1 (2).
Proceeding:
Silaban, D. F., Siagian, A., & Arruum, D. (2013, 1-2 April). Conflict Management Strategies Among Nurses: A Systematic Review. Oral presentation at 2013 Medan International Nursing Conference on The Application of Caring Sciences on Nursing Education Advanced Research and Clinical Practice in Medan.
(14)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR SKEMA ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii BAB 1. PENDAHULUAN...
1.1. Latar Belakang ... 1.2. Permasalahan ... 1.3. Tujuan Penelitian ... 1.4. Hipotesis ... 1.5. Manfaat Penelitian ...
1 1 6 6 7 7 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA...
2.1. Gaya Manajemen Konflik ... 2.1.1. Pengertian Konflik ... 2.1.2. Jenis-jenis konflik ... 2.1.3. Model gaya manajemen konflik... 2.1.4. Gaya manajemen konflik pada kepala ruangan Rumah Sakit... 2.1.5. Teori keperawatan terkait manajemen konflik... 2.2. Karakteristik Demografi ... 2.2.1. Umur ... 2.2.2. Jenis kelamin ... 2.2.3. Tingkat pendidikan... 2.3. Landasan Teori ... 2.4. Kerangka Konsep Penelitian ...
8 8 8 8 9 16 18 21 21 23 23 24 26 BAB 3. METODE PENELITIAN...
3.1. Jenis Penelitian ... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.3. Populasi dan Sampel ... 3.4. Alat Pengumpulan Data ... 3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 3.6. Metode Pengukuran ...
27 27 27 27 28 29 32
(15)
3.7. Metode Analisis Data ... 3.8. Pertimbangan Etik ...
32 33 BAB 4. HASIL PENELITIAN...
4.1. Deskripsi Hasil Penelitian... 4.2. Karakteristik Demografi Kepala Ruangan di Rumah Sakit... 4.3. Gaya Manajemen Konflik Kepala Ruangan di
Rumah Sakit... 4.4. Perbedaan gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Umur Kepala Ruangan di Rumah Sakit... 4.5. Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Jenis Kelamin Kepala Ruangan di Rumah Sakit... 4.6. Perbedaan gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Masa Kerja Kepala Ruangan di Rumah Sakit... 4.7. Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Tingkat Pendidikan Kepala Ruangan di Rumah
Sakit... 34 34 35 36 37 37 38 39 BAB 5. PEMBAHASAN...
5.1. Karakteristik Demografi Kepala Ruangan di Rumah Sakit... 5.2. Gaya Manajemen Konflik Kepala Ruangan di
Rumah Sakit... 5.3. Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan
Karakteristik Demografi Kepala Ruangan di Rumah Sakit...
41 41 43
47 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN...
6.1. Kesimpulan... 6.2. Saran...
49 49 49 DAFTAR PUSTAKA ... 51 LAMPIRAN... 54
(16)
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Variabel dan Definisi Operasional penelitian... 29 Tabel 2. Karakteristik demografi kepala ruangan di Rumah
Sakit... 35 Tabel 3. Rerata skor gaya manajemen konflik berdasarkan
umur kepala ruangan di Rumah Sakit... 37 Tabel 4. Rerata skor gaya manajemen konflik berdasarkan
jenis kelamin kepala ruangan di Rumah Sakit... 38 Tabel 5. Rerata skor gaya manajemen konflik berdasarkan
masa kerja kepala ruangan di Rumah Sakit... 39 Tabel 6. Rerata skor gaya manajemen konflik berdasarkan
(17)
Judul Tesis : Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Karakteristik Demografi Kepala Ruangan Rumah Sakit di Medan.
Nama Mahasiswa : Dewi Frintiana Silaban. Nomor Induk Mahasiswa : 117046017.
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan. Minat Studi : Administrasi Keperawatan.
ABSTRAK
Konflik merupakan perselisihan internal atau eksternal akibat adanya perbedaan gagasan, nilai, atau perasaan antara dua orang atau lebih yang akan terjadi secara alami di dalam organisasi. Menangani konflik secara efektif akan meningkatkan pertumbuhan personal dan sangat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas pada pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan karakteristik demografi kepala ruangan Rumah Sakit di Medan dengan menggunakan desain komparatif. Sampel penelitian berjumlah 54 orang kepala ruangan di Rumah Sakit. Statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis karakteristik demografi dan gaya manajemen konflik. Perbedaan gaya manajemen konflik obliging, avoiding dan dominating diuji dengan menggunakan uji one way ANOVA dan uji t tidak berpasangan, sedangkan untuk menguji perbedaan gaya manajemen konflik integrating dan compromising dilakukan uji Kruskal-Wallis dan
(18)
Mann-Whitney. Penelitian ini menemukan bahwa karakteristik demografi kepala ruangan Rumah Sakit di Medan mayoritas berumur 41-50 tahun (64,8 %), berjenis kelamin perempuan (94,4 %), mayoritas memiliki masa kerja ≥ 16 tahun (77,8 %), dan mayoritas berpendidikan Sarjana (69,8 %). Pada rentang rerata 1,00-5,00 maka ditemukan bahwa gaya manjemen konflik yang digunakan oleh kepala ruangan secara berurutan rerata paling tinggi sampai paling rendah adalah
integrating (mean 4,42), compromising (mean 4,37), obliging (mean 3,36), avoiding (mean 2,78), dan dominating (mean 2,44). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan secara signifikan (p<0,05) gaya obliging
berdasarkan jenis kelamin kepala ruangan Rumah Sakit di Medan. Akan tetapi tidak ada perbedaan secara signifikan gaya integrating, dominating, avoiding, dan
compromising berdasarkan umur, masa kerja, dan tingkat pendidikan. Disarankan kepada kepala ruangan agar secara terus-menerus mempelajari gaya manajemen konflik, sehingga dapat menerapkannya pada situasi yang tepat selama menjalankan tugas dan perannya sebagai kepala ruangan.
(19)
Title of the Thesis : Differences of Conflict Management Style Based on Demographic Charactersistics of Head Nurses at General Hospitals in Medan. Name of Student : Dewi Frintiana Silaban.
Std. ID Number : 117046017.
Study Program : Master in Nursing Science. Field of Specialization : Nursing Administration.
ABSTRACT
A conflict is an internal or external dispute caused by difference in ideas, values or feeling beetwen two or more persons which occure naturally in an organization. Handling a conflict effectively will promote environment that stimulates personal growth and assist in providing quality patient care. The purpose of this research was to identify the differences of conflict management style based on demographic characteristics of head nurses at general hospitals in Medan. The samples of this research were 54 of head nurses of those two hospitals. Descriptive statistics was used to analyze demographic charactersitics and conflict management style. One way ANOVA and independent t-test was used to analyze the differences of obliging, avoiding and dominating based on demographic characteristics, whereas Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test was used for integrating and compromising. This research revealed that the majority of the head nurses demographic chararactersitics were 41-50 years in age (64,8%), female (94,4%), tenure ≥ 16 years (77,8%), and bachelor degree (69,8%). On the
(20)
range of 1.00 to 5.00, the mean score of conflict management style in rank order were integrating (4,42), compromising (4,37), obliging (3,36), avoiding (2,78), dan dominating (2,44). This research revealed that sex was statistically different in choosing obliging style (p<0,05), but not to integrating, dominating, avoiding, and compromising based on the rest of domographic caractersitics. It is suggested that head nurses continuously learn the conflict management style, so that they can appliy it in the right situation through their duties and role as head nurses. Key words: conflict management, head nurses.
(21)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konflik secara umum didefinisikan sebagai perselisihan internal atau eksternal akibat adanya perbedaan gagasan, nilai, atau perasaan antara dua orang atau lebih. Konflik terjadi secara alami dan merupakan fenomena yang akan terjadi di dalam organisasi (Marquis & Huston, 2010). Konflik yang terjadi di dalam suatu organisasi terdiri dari berbagai bentuk seperti permusuhan, gangguan dalam berkomunikasi, perasaan saling tidak percaya, adanya sabotase, penggunaan kata-kata yang tidak sopan, dan pemaksaan (Kelly, 2006).
Secara tradisional, konflik dianggap sebagai indikasi manajemen organisasi yang buruk, destruktif, dan dihindari. Namun, pada pertengahan abad ke dua puluh, konflik telah diterima secara pasif dan dipersepsikan sebagai hal yang normal dan diperkirakan akan terjadi. Perhatian difokuskan pada cara menyelesaikan konflik, bukan cara mencegahnya. Sehingga manajer dalam suatu organisasi tidak dapat lagi berespon terhadap konflik secara tradisional seperti menekan atau menghindari konflik karena cara ini tidak produktif (Marquis & Huston, 2010).
Konflik diantara perawat sudah teridentifikasi sebagai salah satu permasalahan yang signifikan di seluruh dunia. Frekuensi konflik di antara perawat telah mengalami peningkatan di berbagai negara seperti Australia, Jepang, Kanada, dan Selandia Baru. Adanya konflik secara terus me nerus akan
(22)
merusak suasana kerja dan berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan fisik dan psikologis, yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan koordinasi dan efisiensi dalam bekerja (Almost, 2006).
Cara yang baik untuk menangani suatu konflik dalam suatu organisasi disebut manajemen konflik (Morrison, 2008). Manajemen konflik telah berkembang menjadi suatu sub-bagian dari perilaku organisasi (Hendel, Fish, & Galon, 2005). Manajemen konflik sudah dinilai setara dengan perencanaan, komunikasi, motivasi, dan pengambilan keputusan dalam organisasi (McElhaney, 1996). Konflik dalam suatu kelompok atau organisasi sudah dianggap memiliki keuntungan bagi indentitas, perkembangan, dan fungsi kelompok atau organisasi itu sendiri (Hendel et al., 2005). Konflik tidak baik maupun tidak buruk, bergantung pada cara konflik itu dikelola. Terlalu sedikit konflik akan mengakibatkan organisasi menjadi statis, sedangkan terlalu banyak konflik akan menurunkan efektivitas organisasi yang pada akhirnya akan melumpuhkan kerja pegawai (Marquis & Huston, 2010).
Menggunakan model manajemen konflik yang tepat dalam pengambilan keputusan sehari-hari merupakan salah satu dari beberapa tantangan yang dihadapi oleh perawat manejer. Menangani konflik dengan efektif akan meningkatkan pertumbuhan personal dan sangat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas pada pasien. Pada zaman sekarang ini, suatu organisasi akan mencapai kesuksesan apabila pada organisasi itu terdapat pengembangan proses, budaya, dan perilaku yang mampu menangani konflik pada pegawai dan konsumen (Hendel et al., 2005).
(23)
Manajemen konflik disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu berfokus pada diri sendiri dan berfokus pada orang lain (cocern for self dan concern for others). Kedua dimensi ini menggambarkan tentang kecenderungan motivasi yang dilakukan individu pada saat terjadinya suatu konflik. Dimensi berfokus pada diri sendiri menjelaskan tentang derajat (tinggi atau rendah) usaha seseorang untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri. Dimensi berfokus pada orang lain menjelaskan menjelaskan tentang derajat (tinggi atau rendah) usaha seseorang untuk memenuhi kepentingan orang lain. Kombinasi dari kedua dimensi ini menghasilkan lima gaya manajemen konflik, yaitu mengintegrasikan (integrating), mengharuskan (obliging), mendominasi (dominating), menghindari (avoiding), dan berkompromi (compromising) (Rahim, 1983).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perawat manejer di rumah sakit masih lebih sering menggunakan cara menghindari (avoiding) sebagai metode penanganan konflik (Cavanagh, 1991). Hal ini berbeda dengan pernyataan Marquis dan Huston (2010) yang menyatakan bahwa perawat manajer tidak boleh lagi menggunakan cara menghindar untuk menangani konflik. Menurut Kelly (2006), menggunakan cara menghindar sebagai metode penanganan konflik tidak akan menghasilkan kesuksesan dalam menangani konflik, tapi hanya menunda konflik itu sendiri.
Pemilihan gaya manajemen konflik dapat dipengaruhi oleh beberapa karakteristik demografi individu seperti umur, jenis kelamin, masa kerja, dan tingkat pendidikan. Perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan dalam menangani konflik (Almost, 2006). Hasil
(24)
penelitian menunjukkan bahwa manejer laki-laki secara signifikan lebih sering menggunakan gaya dominating dibandingkan dengan perempuan (Thomas & Thomas, 2008).
Perbedaan tingkat pendidikan akan mempengaruhi individu dalam menyelesaikan suatu tugas (Almost, 2006). Perbedaan tingkat pendidikan secara signifikan mempengaruhi pemilihan gaya manajemen konflik. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka gaya manajemen konflik yang paling sering digunakan adalah dominating (Al-Hamdan, Shukri, & Anthony, 2011).
Demikian pula pada usia, perbedaan tingkat usia akan menjadikan perbedaan dalam memahami nilai dan kepercayaan, pengalaman hidup, dan sikap individu terhadap lingkungan kerja. Pada abad sekarang, usia tidak lagi membatasi seseorang untuk memegang suatu jabatan sehingga orang yang lebih muda bisa saja menjadi pimpinan orang yang lebih tua, sehingga adanya perbedaan asumsi, perspektif, dan ekspektasi dapat memicu terjadinya konflik (Almost, 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan usia secara signifikan mempengaruhi pemilihan gaya manajemen konflik (Green, 2008). Pemilihan gaya manajemen konflik berbeda juga berdasarkan masa kerja pada suatu organisasi (Al-Hamdan et al., 2011; Green, 2008).
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan telah beroperasi sejak tahun 1991 dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pingadi Kota Medan telah diresmikan pada tahun 1930. Kedua rumah sakit ini merupakan rumah sakit tipe A dan tipe B yang terbesar di Sumatera Utara, rumah sakit pendidikan, serta rumah sakit milik pemerintah.
(25)
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan sebuah rumah sakit pemerintah yang dikelola pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara, terletak di lahan yang luas di pinggiran kota Medan. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni 1991 dengan pelayanan rawat jalan, sedangkan untuk pelayanan rawat inap dimulai tanggal 2 Mei 1992. Instalasi Rawat Inap terbagi dalam 2 gedung dengan jumlah tempat tidur sebanyak 650 tempat tidur, terdiri dari Rawat Inap Terpadu (Rindu) A terdiri dari 3 lantai dengan jumlah tempat tidur sebanyak 305 tempat tidur Rawat Inap Terpadu (Rindu) B terdiri dari 3 lantai dengan jumlah tempat tidur sebanyak 345 tempat tidur (rsuphadammalik.com). Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pingadi Kota Medan didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan peletakan batu pertamanya pada tanggal 11 Agustus 1928 dan diresmikan pada tahun 1930. Setelah sekian tahun beroperasi masih sangat sedikit penelitian mengenai gaya manajemen konflik yang dilakukan pada kepala ruangan di kedua rumah sakit tersebut.
1.2. Permasalahan
1.2.1. Bagaimanakah gaya manajemen konflik yang digunakan oleh kepala ruangan di Rumah Sakit?
1.2.2. Adakah perbedaan pemilihan gaya manajemen konflik berdasarkan karakteristik demografi (umur, jenis kelamin, masa kerja, dan tingkat pendidikan) kepala ruangan di Rumah Sakit?
(26)
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Untuk mengetahui gaya manajemen konflik yang digunakan oleh kepala ruangan di Rumah Sakit.
1.3.2. Untuk menguji perbedaan gaya manajemen konflik integrating, obliging, dominataing, avoiding, dan compromising berdasarkan umur kepala ruangan rumah di Rumah Sakit.
1.3.3. Untuk menguji perbedaan gaya manajemen konflik integrating, obliging, dominataing, avoiding, dan compromising berdasarkan jenis kelamin kepala ruangan di Rumah Sakit.
1.3.4. Untuk menguji perbedaan gaya manajemen konflik integrating, obliging, dominataing, avoiding, dan compromising berdasarkan masa kerja kepala ruangan di Rumah Sakit.
1.3.5. Untuk menguji perbedaan gaya manajemen konflik integrating, obliging, dominataing, avoiding, dan compromising berdasarkan tingkat pendidikan kepala ruangan di Rumah Sakit.
1.4. Hipotesis
Hipotesis yang di uji pada penelitian ini adalah hipotesis alternatif (Ha) yang terdiri dari:
Ha 1: Ada perbedaan gaya manajemen konflik integrating, obliging, dominataing, avoiding, dan compromising berdasarkan umur kepala ruangan di Rumah Sakit.
(27)
Ha 2: Ada perbedaan gaya manajemen konflik integrating, obliging, dominataing, avoiding, dan compromising berdasarkan jenis kelamin kepala ruangan di Rumah Sakit.
Ha 3: Ada perbedaan gaya manajemen konflik integrating, obliging, dominataing, avoiding, dan compromising berdasarkan masa kerja kepala ruangan di Rumah Sakit.
Ha 4: Ada perbedaan gaya manajemen konflik integrating, obliging, dominataing, avoiding, dan compromising berdasarkan tingkat pendidikan kepala ruangan di Rumah Sakit.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk memahami gaya manajemen konflik pada kepala ruangan di Rumah Sakit.
1.5.2. Hasil temuan penelitian ini dapat menambah pemahaman tentang pemahaman tentang perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan karakteristik kepala ruangan di Rumah Sakit.
(28)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gaya Manajemen Konflik
2.1.1. Pengertian konflik
Konflik adalah suatu proses interaktif yang ditandai dengan adanya ketidaksesuaian, ketidaksetujuan, perselisihan di dalam atau di antara entitas sosial (individu, kelompok, organisasi, dan sebagainya). Konflik bisa muncul apabila satu atau dua entitas: 1) dituntut untuk melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan keinginan atau kepentingannya, 2) mempertahankan suatu perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya, 3) merasa tidak merasa puas terhadap pembagian sumber daya, 4) menerapkan sikap, nilai, keterampilan, dan tujuan yang dianggap bersifat eksklusif, 5) berperilaku eksklusif terhadap kerjasama yang telah disepakati, 6) saling ketergantungan dalam melaksanakan aktivitas (Rahim, 2001, 2002).
2.1.2. Jenis-jenis konflik
Konflik pada organisasi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu konflik interorganisasi dan konflik intraorganisasi. Berdasarkan levelnya, konflik intraorganisasi diklasifikasikan menjadi konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intrakelompok, dan konflik interkelompok. Studi mengenai konflik pada organisasi mengarah kepada dua hal. Yang pertama adalah mengukur jumlah konflik pada berbagai level organisasi dan yang kedua adalah gaya manajemen konflik interpersonal (Rahim, 2001, 2002). Sesuai dengan tujuan
(29)
penelitian, maka pada bagian ini akan dibahas mengenai gaya manjemen konflik interpersonal.
2.1.3. Model gaya manajemen konflik
Gaya manajemen konflik interpersonal dalam organisasi pertama sekali diperkenalkan oleh Mary P. Follet pada tahun 1926. Dalam konsepnya, dia mengemukakan tiga cara primer untuk menangani konflik yaitu domination, compromise, dan integration, serta dua cara sekunder untuk menangani konflik yaitu avoidance dan supression. Pada tahun 1964, Blake dan Mouton mempresentasikan skema konseptual untuk mengklasifikasikan manajemen konflik interpersonal yang terdiri dari lima gaya yaitu: forcing, withdrawing, smoothing, compromising, dan problem solving. Kelima gaya manajemen konflik tersebut disusun berdasarkan dua sikap manajer, yaitu berfokus pada produksi (concern for production) dan berfokus pada orang (concern for people). Pada tahun 1976 Kenneth W. Thomas menerjemahkan ulang skema Blake dan Mouton. Dia mengklasifikasikan lima gaya manajemen konflik berdasarkan
cooperativeness (berusaha memenuhi keinginan pihak lain) dan assertiveness
(berusaha memenuhi keinginan pihak sendiri). Lima gaya manajemen konflik menurut Thomas adalah collaborating, accommodating, competing, avoiding dan
compromising (Rahim, 2001, 2002).
Rahim dan Bonoma pada tahun 1979 menerjemahkan kembali skema Blake dan Mouton dengan cara membedakan manajemen konflik berdasarkan dua dimensi yaitu: berfokus pada diri sendiri dan berfokus pada orang lain (cocern for self dan concern for others). Dimensi pertama menjelaskan derajat tinggi atau
(30)
rendah usaha seseorang untuk memenuhi keinginan sendiri. Dimensi kedua menjelaskan menjelaskan derajat tinggi atau rendah usaha seseorang untuk memenuhi keinginan orang lain. Kedua dimensi ini menggambarkan orientasi motivasional yang dilakukan individu pada saat terjadinya konflik. Kombinasi dari dua dimensi ini menghasilkan lima gaya manajemen konflik, yaitu
integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising beserta penjelasannya di bawah ini (Rahim, 2001, 2002):
1. Integrating. Fokus tinggi pada diri dan tinggi pada orang lain.
Gaya ini sering juga disebut problem solving. Dalam gaya ini ditemukan adanya keterbukaan, bertukar informasi, mencari alternatif, dan mencari perbedaan untuk mencapai suatu solusi efektif yang dapat diterima oleh kedua pihak. Gaya ini efektif untuk menyelesaikan masalah yang rumit, ataupun pada saat salah satu pihak tidak dapat memecahkan suatu masalah. Gaya ini dapat digunakan apabila kita ingin memanfaatkan keterampilan, informasi, dan sumber daya pihak lain untuk merumuskan solusi alternatif yang efektif untuk menangani suatu masalah. Gaya ini lebih efektif dibandingkan dengan gaya lainnya untuk menjadikan subsistem dalam suatu organisasi lebih kompak. Gaya ini merupakan yang paling efektif dalam menyelesaikan konflik sosial dan cocok diterapkan untuk menangani isu-isu strategis mengenai tujuan, kebijakan dan perencanaan jangka panjang organisasi.
2. Obliging. Fokus rendah pada diri dan tinggi pada orang lain.
Gaya ini berguna diterapkan apabila suatu pihak tidak menguasai isu yang menjadi konflik atau isu tersebut lebih penting bagi pihak lain. Gaya ini perlu
(31)
digunakan ketika satu pihak berkeinginan memberikan sesuatu kepada pihak lain dengan harapan dapat mendapatkan keuntungan dari pihak lain pada saat dibutuhkan. Gaya ini cocok pada saat suatu pihak berada pada posisi yang lebih lemah. Gaya ini tidak cocok dilakukan ketika suatu pihak merasa bahwa pihak lain bersalah atau tidak beretika.
3. Dominating. Fokus tinggi pada diri dan rendah pada orang lain.
Gaya ini disebut juga orientai win-lose atau menggunkan kekuatan untuk medapatkan suatu posisi. Orang yang dominating atau competing ingin memenangkan tujuannya, dan akibatnya sering mengabaikan kebutuhan dan harapan pihak lain. Gaya ini cocok digunakan ketika isu yang menjadi konflik penting bagi pihak sendiri ataupun keputusan dari pihak lain akan merugikan pihak sendiri. Seorang supervisor bisa menggunakan gaya ini pada isu-isu yang dilaksanakan secara rutin ataupun pada kondisi-kondisi yang memerlukan pengambilan keputusan dengan cepat. Supervisor dapat menggunakan gaya ini kepada bawahan yang sangat asertif atau kepada orang-orang yang tidak ahli untuk mengambil keputusan teknis. Gaya ini juga baik digunakan untuk melaksanakan suatu program yang belum populer.
Gaya ini tidak cocok dilakukan ketika isu konflik bersifat kompleks dan ketika kita masih memiliki banyak waktu untuk mencari keputusan yang lebih baik. Ketika kedua pihak sama kuatnya, penggunaan gaya ini oleh salah satu pihak atau kedua pihak akan mengakibatkan jalan buntu. Apabila mereka tidak mengubah gaya mereka maka mereka tidak akan bisa memecahakan jalan buntu tersebut. Gaya ini juga tidak tepat digunakan apabila isu yang menjadi
(32)
konflik tidak penting bagi suatu pihak. Bawahan yang memiliki kompetensi tingkat tinggi, tidak akan suka terhadap atasan yang bersifat otoriter.
4. Avoiding . Fokus rendah pada diri dan rendah pada orang lain.
Gaya ini disebut juga situasi withdrawal, buckpassing, atau sidestepping. Orang yang avoiding adalah orang yang gagal memenuhi keinginan dirinya sendiri dan gagal juga memenuhi keinginan orang lain. Gaya ini cocok digunakan ketika ada kemungkinan efek yang disfungsional bila melakukan konfrontasi dengan pihak yang lebih kuat yang memiliki kepentingan terhadap konflik yang dihadapi. Gaya ini juga berguna untuk menyelesaikan isu-isu yang tidak terlalu penting/minor atau memerlukan periode pendinginan sebelum masalah yang kompleks diselesaikan secara efektif. Gaya ini tidak cocok digunakan ketika konflik penting bagi satu pihak, ketika satu pihak bertanggung jawab untuk mengambil keputusan, tidak ingin menunggu, atau memerlukan tindakan yang segera.
5. Compromising. Fokus menengah pada diri sendiri dan pada orang lain.
Gaya ini disebut juga give and take, dimana semua pihak menginginkan keputusan yang secara bersama-sama saling menguntungkan. Gaya ini sangat berguna ketika tujuan pihak yang sedang konflik saling eksklusif atau kedua pihak (seperti manajer dan karyawan) sama kuatnya dan menemukan jalan buntu dalam proses negosiasi. Gaya ini dapat digunakan ketika konsensus tidak bisa dicapai, semua pihak memerlukan solusi yang bersifat sementara untuk memecahkan masalah yang kompleks, atau gaya manajemen konflik yang lain sudah semua digunakan tapai tidak menyelesaikan masalah dengan
(33)
efektif. Gaya ini tampaknya paling berguna untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Gaya ini tidak cocok digunakan untuk menangani masalah yang kompleks yang memerlukan pendekatan problem solving. Sayangnya, sering sekali praktisi manajemen menggunakan gaya ini untuk menyelesaikan masalah yang kompleks, sehingga pada akhirnya gagal menemukan masalah yang sebenarnya dan gagal merumuskan penanganan masalah secara efektif. Gaya ini tidak cocok digunakan bila satu pihak lebih kuat dari pihak lain.
Penjelasan tentang lima gaya manajemen konflik interpersonal dapat dilakukan dengan cara mengatur kelima gaya tersebut sesuai dengan dimensi integratif dan distributif. Skema di bawah ini menunjukkan lima gaya manajemen konflik yang telah diklasifikasi ulang menjadi dimensi integratif dan distributif (Rahim, 2001, 2002).
Skema 1. Model Dual Concern: Dimensi pemecahan masalah dan perundingan gaya penanganan konflik interpersonal.
Sumber: M. Afazur Rahim. 2002. Toward a Theory of Managing Organizational Conflict. International Journal of Conflict Management, 13(3), 206–235.
(34)
Dimensi integratif adalah gaya integrating dikurang gaya avoiding, yang menggambarkan tentang tingkat (tinggi-rendah) kepuasan yang diterima oleh diri sendiri dan orang lain. Dimensi distributif adalah gaya dominating
dikurang gaya obliging, yang menggambarkan tentang rasio kepuasan (tinggi-rendah) yang diterima oleh diri sendiri dan orang lain. Kedua dimensi ini secara berturut-turut merepresentasikan gaya problem solving dan gaya
bargaining dalam menangani konflik.
Gaya problem solving menggambarkan tentang jumlah kepuasan yang diterima oleh kedua pihak (diri sendiri dan orang lain). Penggunaan gaya
problem solving yang Tinggi-Tinggi, mengindikasikan bahwa adanya usaha yang nyata untuk meningkatkan kepuasan kedua belah pihak dengan berusaha menemukan solusi yang tepat dalam memecahkan masalah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Penggunaan gaya problem solving yang Rendah-Rendah, mengindikasikan bahwa adanya penurunan kepuasan pada kedua pihak akibat dari kegagalan dalam menemukan dan memecahkan masalah.
Gaya bargaining menggambarkan tentang jumlah kepuasan yang diterima hanya oleh salah satu pihak (diri sendiri atau orang lain). Penggunaan gaya bargaining yang Tinggi-Rendah, mengindikasikan usaha satu pihak untuk memperoleh kepuasan yang tinggi pada diri sendiri dan memberikan kepuasan yang rendah terhadap orang lain. Penggunaan gaya bargaining yang Rendah-Tinggi, mengindikasikan usaha satu pihak untuk memperoleh kepuasan yang rendah pada diri sendiri dan memberikan kepuasan yang tinggi
(35)
terhadap orang lain. Compromising merupakan titik temu antara kedua dimensi, yaitu posisi tengah dimana suatu pihak memiliki fokus pada level menengah pada diri sendiri dan orang lain.
Dimensi problem solving merupakan dimensi yang tepat digunakan untuk menangani konflik yang strategis dalam rangkan peningkatan pembelajaran dan efektifitas organisasi. Dimensi bargaining merupakan dimensi yang tepat untuk menangani konflik yang bersifat taktis atau konflik yang rutin terjadi setiap hari.
2.1.4. Gaya manajemen konflik pada kepala ruangan Rumah Sakit.
Gaya manajemen konflik dapat didefinisikan menjadi beberapa sinonim sesuai dengan penulisnya, akan tetapi konsep yang mendasarinya tetap sama. Kelima gaya manajemen konflik bersama sinonimnya antara lain
integrating (collaborating), obliging (accommodating), dominating (competing), avoiding dan compromising (Rahim, 2002; Thomas & Kilmann, 2001).
Penelitian yang dilakukan pada para dekan pendidikan tinggi keperawatan di negara bagian Amerika Serikat (43 dari 45 negara bagian) menunjukkan bahwa gaya manajemen konflik pada rentang skor 0-12 yang paling sering digunakan adalah compromising dengan rata-rata 7,7, kemudian secara berturut-turut colaborating (6,8), avoiding (6,5), accommodating (4,7), dan competing (3,6). Menurut hasil penelitian ini para dekan tidak memiliki
(36)
persepsi yang berbeda dalam menggunakan gaya manajemen konflik dalam menghadapi berbagai jenis konflik (Woodtli, 1987).
Gaya manajemen konflik yang paling sering dilakukan oleh perawat profesional (registered nurse) di Thailand secara berturut-turut adalah
accommodating (41,2%), compromising (29,2%), avoiding (19,5%),
collaborating (6,9%), dan competing (3,2%). Secara umum, konflik yang dialami oleh para perawat profesional ini berada pada level moderat (Kunaviktikul, Nuntasupawat, & Srisuphan, 2000).
Perawat manajer di Oman lebih banyak memilih gaya integrating
dalam penanganan konflik, kemudian disusul oleh gaya compromising,
obliging, dominating, dan avoiding. Hasil penelitian ini menemukan bahwa beberapa karakteristik demografi seperti kewarganegaraan, level manajer, senioritas, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan gaya manajemen konflik (Al-Hamdan et al., 2011).
Hasil penelitian pada perawat manajer di Israel ditemukan bahwa gaya manajemen konflik yang paling sering digunakan pada rentang skor 0-12 adalah compromising dengan rata-rata 7,30. Selanjutnya diikuti oleh
collaborating (6,04), competing (5,80), avoiding (5,70), dan accommodating
(4,00). Pada penelitian ini kebanyakan karaktersitik demografi seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman bekerja, ukuran bangsal, jenis ruang rawat, dan kewarganegaraan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pemilihan gaya manajemen konflik. Karakteristik demografi yang
(37)
berpengaruh secara signifikan adalah lamanya menduduki jabatan, makin lama menduduki suatu jabatan maka makin sering dia menggunakan gaya
collaborating (Hendel et al., 2005).
Hasil penelitian di salah satu rumah sakit Amerika Serikat menunjukkan bahwa pemilihan gaya manajemen konflik antara perawat pelaksana dengan perawat manajer tidak berbeda secara signifikan. Gaya manajemen konflik pada perawat manajer secara berturut-turut pada rentang skor 0-12 adalah avoiding dengan rata-rata 7,24, dan selanjutnya secara berurutan adalah compromising (7,23), accommodating (6,13), collaborating
(6,00), dan competing (3,30). Sedangkan gaya penangan konflik yang dilakukan oleh perawat pelaksana adalah avoiding (8,17), compromising
(6,75), accommodating (6,78), collaborating (5,05), dan competing dengan rata-rata 3,17 (Cavanagh, 1991).
Hasil penelitian yang dilakukan pada 97 perawat profesional wanita pada fasilitas pelayanan kesehatan di Mississippi Amerika Serikat didapatkan data bahwa gaya manajemen konflik yang paling sering digunakan pada rentang skor 0-12 secara berturut-turut adalah compromising dengan rata-rata 6,94, avoiding 6,84, accommodating 6,80, collaborating 5,39, dan
competing 4,02 (Whitworth, 2008). Penelitian di Siprus menemukan bahwa perawat di Rumah Sakit lebih sering menggunakan gaya avoiding (Pavlakis et al., 2011).
(38)
2.1.5. Teori keperawatan terkait gaya manajemen konflik
Behavioral System Model dikembangkan oleh Dorothy E. Jhonson dengan cara memanfaatkan hasil kerja ilmuan psikologi, sosiologi dan etnologi. Johnson menyatakan, ”A system is a whole that functions as a whole by virtue of the interpedence of it’s part” (sistem merupakan keseluruhan yang berfungsi atas dasar ketergantungan diantara bagian-bagiannya) (Brown, Conner, Harbour, Magers, & Watt, 1998).
Model sistem perilaku mencakup pola, perulangan dan cara-cara bersikap dengan maksud tertentu. Cara-cara bersikap ini membentuk unit fungsi menjadi teroraganisasi dan terintegrasi antara seseorang dengan lingkunganya serta menciptakan hubungan seseorang dengan objek, peristiwa dan situasi dengan lingkunganya. Manusia sebagai sistem perilaku berusaha untuk mencapai stabilitas dan keseimbangan dengan cara mengatur dan beradaptasi (Brown et al., 1998).
Karena sistem perilaku memiliki banyak tugas untuk dikerjakan, bagian-bagian sistem berubah menjadi subsistem-subsistem dengan tugas tertentu. Suatu subsistem merupakan sistem kecil dengan tujuan khusus sendiri. Ada tujuh subsistem yang diidentifikasi oleh Johnson bersifat terbuka, terhubung dan saling berkaitan (interealated). Subsistem-subsistem ini akan berubah secara terus-menerus karena adanya pengaruh faktor kedewasaan, pengalaman dan pembelajaran. Subsistem ini dikontrol oleh faktor biologis, psikologi dan sosiologi. Ketujuh subsistem yang terdapat dalam Behavioral System Model serta
(39)
penjelasannya adalah attachment-affiliative, dependency, ingestive, eliminative, sexual, achievement dan aggressive (Brown et al., 1998):
1. Subsitem attachment-affiliative
Subsistem attachement-afiliative mungkin merupakan yang paling kritis, karena subsistem ini membentuk landasan untuk semua organisasi sosial. Pada tingkatan umum, hal itu memberikan kelangsungan (survival) dan keamanan (security). Sebagai konsekuensinya adalah inklusi sosial, kedekatan (intimacy) dan susunan serta pemeliharaan ikatan sosial yang kuat.
2. Subsistem dependency
Dalam hal paling luas, subsistem dependency meningkatkan perilaku menolong untuk pengasuhan. Konsukuensinya adalah bantuan persetujuan, bantuan perhatian, dan bantuan fisik.
3. Subsistem ingestive
Subsistem ingestion berkaitan dengan kapan, bagaimana, apa, berapa banyak dan dengan kondisi apa kita makan. Respon-respon ini ada hubungannya dengan pertimbangan sosial, psikologis, dan biologis.
4. Subsistem eliminative
Subsistem eliminative berkaitan dengan kapan, bagaimana, apa, berapa banyak dan dengan kondisi apa kita melakukan eliminasi. Respon-respon ini ada hubungannya dengan pertimbangan sosial, psikologis, dan biologis.
5. Subsistem sexual
Subsistem seksual memiliki fungsi ganda yakni hasil (procreation) dan kepuasan (gratification). Termasuk juga courting dan mating, sistem respon ini dimulai
(40)
dengan perkembangan identitas jenis kelamin dan termasuk (dalam cakupan yang luas) perilaku-perilaku berdasarkan prinsip jenis kelamin.
6. Subsistem aggressive
Subsistem agresif berfungsi sebagai perlindungan (protection) dan pemeliharaan (preservation). Subsistem ini menyatakan bahwa perilaku agresif tidak hanya didapat dari pembelajaran tapi merupakan suatu tujuan.
7. Subsistem achievement
Subsistem achievement berusaha memanipulasi lingkungan. Fungsinya mengontrol atau menguasai aspek pribadi atau lingkungan pada standar tertentu. Area perilaku achievement antara lain keterampilan intelektual, fisik, kreatifitas, mekanik, dan sosial.
Berdasarkan subsistem tersebut di atas, maka akan terbentuk sebuah sistem perilaku individu, sehingga Johnson memiliki pandangan bahwa keperawatan dalam mengatasi suatu permasalahan harus dapat berfungsi sebagai pengatur agar dapat menyeimbangkan sistem perilaku tersebut (Brown et al., 1998).
2.2. Karakteristik Demografi 2.2.1. Umur
Menurut Amstrong (2013) siklus hidup manusia terdiri dari 12 tingkat. Setiap tingkat sama pentingnya bagi kesejahteraan manusia. Keduabelas tingkat siklus hidup manusia adalah: (1) Prebirth: pada tingkat ini manusia belum lahir dan nantinya dapat menjadi sosok siapa saja, bisa menjadi seperti Michaelangelo,
(41)
Shakespeare, Martin Luther King atau siapa saja, sehingga memiliki semua prinsip-prinsip kemanusiaan pada masa yang akan datang. (2) Bitrh: ketika manusia lahir dia masih tergantung pada orang tua dan pengasuhnya, sehingga manusia baru lahir mewakili rasa berharap (sense of hope) untuk dunia yang lebih baik. (3) Infancy (usia 0-3 tahun): pada saat ini manusia sangat bersemangat dan tampaknya memiliki energi yang tidak terbatas, sehingga manusia pada saat ini mewakili dinamo kemanusiaan. (4) Early Childhood (usia 3-6 tahun): pada usia ini manusia sedang bermain dan menciptakan dunia yang baru bagi mereka, sehingga menggambarkan tentang prinsip inovasi dan transformasi yang mendasari adanya temuan yang baru untuk kepentingan peradaban manusia. (5)
Middle Childhood (Usia 6-8 tahun):pada tahap ini pertama sekali muncul keinginan untuk pengembangan diri yang diadopsi dari luar dirinya dalam bentuk imajinasi dan tertanam di dalam sanubarinya. Imajinasi ini akan menjadi sumber inspirasi cita-cita pada masa yang akan datang seperti menjadi sorang artis, penulis, ilmuan dan lain-lain. (6) Late Childhood (Usia 9-11 tahun): tahap ini manusia memperoleh banyak keterampilan sosial dan teknikal yang memungkinkan mereka menciptakan strtategi yang mengagumkan dan menemukan solusi untuk mengatasi berbagai kondisi yang ada di sekitar mereka. Prinsip akal budi ini akan menjadi bagian diri mereka yang akan digunakan untuk menemukan cara pemecahan masalah praktis serta memilih koping dalam melaksanakan tanggung jawab sehari-hari.
(42)
(7) Adolescence (Usia 12-20 tahun): kondisi pubertas melepaskan serangkaian kekuatan perubahan pada tubuh manusia yang merefleksikan keinginan tinggi mengenai hal-hal seksual, emosional, kultural, dan spiritual. (8) Early Adulthood
(Usia 20-35 tahun): pada saat ini manusia memulai usaha untuk memenuhi berbagai tanggungjawab termasuk menemukan pasangan, membeli rumah, mendirikan keluarga dan lingkaran teman, serta mendapatkan pekerjaan. (9)
Midlife (Usia 35-50 tahun): setelah beberapa tahun membentuk kehidupan dan mengikuti kegiatan sosial, manusia sering beristirahat dari tanggungjawab duniawi untuk merefleksikan arti yang lebih mendalam mengenai arti hidup mereka. (10) Mature Adulthood (Usia 50-80 tahun): pada tahap ini manusia telah mendirikan keluarga dan menjadi kontributor untuk kebaikan masyarakat melalui kegiatan amal, menjadi penasehat, dan berbagai bentuk kedermawanan. Umat manusia memperoleh berbgai keuntungan dari kebajikan mereka dan manusia yang lebih muda dapat belajar dari contoh yang telah mereka buat.
(11) Late Adulthood (Usia lebih dari 80 tahun): pada saat ini manusia telah kaya akan pengalaman yang dapat digunakan untuk membantu membimbing dan mengarahkan orang lain. Tahap ini mewakili sumber kebijaksanaan dan kearifan yang berada di sekitar kita, menolong kita agar terhindar dari kesalahan masa lalu dan memperoleh pelajaran yang untuk masa yang akan datang. (12) Death & Dying: manusia yang sedang sekarat, atau yang sudah meninggal, mengajarkan kepada manusia lainnya mengenai makna dan nilai dari kehidupan. Mereka mengingatkan kita bahwa hidup tidak bisa selamanya, sehingga harus diisi
(43)
sepenuh mungkin, dan mengingatkan kita bahwa masa hidup kita yang sebentar merupakan bagian dari keseluruhan kehidupan yang lebih luas.
2.2.2. Jenis kelamin
Jenis kelamin menjelaskan tentang karakteristik biologis dan fisiologis manusia. Konsep jenis kelamin (gender) mengatur tentang dimensi sosial, termasuk perilaku, atribut atau aktivitas yang dianggap tepat oleh masyarakat kepada laki-laki dan perempuan, pria dan wanita (Lohrenscheit, 2013).
2.2.3. Tingkat pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan (Undang Undang RI No. 20 tahun 2003).
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
(44)
Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (Undang Undang RI No. 20 tahun 2003).
2.3. Landasan Teori.
Landasan teori yang digunakan pada penelitian ini adalah manejemen konflik yang disusun oleh Rahim dan Bonoma pada tahun 1979. Manajemen konflik ini membedakan manajemen konflik berdasarkan dua dimensi yaitu: berfokus pada diri sendiri dan berfokus pada orang lain (cocern for self dan
concern for others). Dimensi berfokus pada diri sendiri menjelaskan tentang derajat tinggi atau rendah usaha seseorang untuk memenuhi keinginan sendiri. Sedangkan dimensi berfokus pada orang lain menjelaskan tentang derajat tinggi atau rendah usaha seseorang untuk memenuhi keinginan orang lain. Kombinasi dari dua dimensi ini menghasilkan lima gaya manajemen konflik, yaitu
integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising seperti yang terlihat pada Skema di bawah ini:
(45)
Skema 2. Model dua dimensi gaya penanganan konflik interpersonal.
Sumber: M. Afzalur Rahim. 1983. A measure of styles of handling interpersonal conflict. Academy of Management, 26(2), 368–76.
(46)
2.4. Kerangka Konsep Penelitian.
Penelitian ini terdiri dari satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Variabel bebas diturunkan dari karaktersitik demografi terdiri dari umur, jenis kelamin, masa kerja, dan tingkat pendidikan. Sedangkan variabel terikat adalah gaya manajemen konflik yang terbagi menjadi lima, yaitu gaya integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.
Berdasarkan landasan teori di atas maka kerangka konsep penelitian ini ditunjukkan dalam skema di bawah ini :
Karakteristik Demografi Gaya Manajemen Konflik
Skema 3. Kerangka Penelitian Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Karakteristik Demografi.
1. Umur
2. Jenis Kelamin 3. Masa Kerja
4. Tingkat Pendidikan
1. Integrating
2. Obliging
3. Dominating
4. Avoiding
(47)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah komparatif dengan pendekatan pengamatan sewaktu (cross-sectional), yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan karakteristik demografi pada kepala ruangan rumah sakit di Medan.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan. Pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2013. Alasan pemilihan kedua rumah sakit adalah karena kedua rumah sakit ini merupakan rumah sakit tipe A dan tipe B yang terbesar di Sumatera Utara, rumah sakit pendidikan, serta rumah sakit milik pemerintah, sehingga para perawat yang bekerja di rumah sakit ini merupakan representatif dari seluruh Indonesia.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah kepala ruangan Rumah Sakit di Medan, sedangkan populasi terjangkau adalah kepala ruangan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan pada tahun 2013. Jumlah kepala ruangan di Rumah Sakit Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan adalah 46 orang dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan adalah 41 orang dengan total 87 orang.
(48)
Dari 87 orang tersebut 30 orang dijadikan sebagai uji reliabilitas dan 3 orang tidak dimasukkan sebagai kriteria inklusi karena tingkat pendidikannya SPK 1 orang dan Diploma IV 2 orang, sehingga keseluruhan data yang terkumpul pada penelitian ini sejumlah 54 orang.
3.4. Alat Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Bagian pertama dari kuesioner untuk mengukur karakteristik demografi kepala ruangan yang terdiri dari usia, jenis kelamin, masa kerja, dan tingkat pendidikan. Bagian kedua dari kuesioner untuk mengukur gaya manajemen konflik. Kuesioner ini disebut The Rahim Organizational Conflict Inventory–II (ROCI–II). ROCI–II merupakan instrumen yang sudah valid dan reliabel. Hasil uji validitas konstruksi menunjukkan factor loading yang dicapai adalah ≥ 0,4. Sedangkan hasil uji reliabilitas dengan Chronbach's alpha didapatkan 0,77 (Rahim, 1983). Setelah dilakukan uji reliabilitas pada 30 orang kepala ruangan, dari Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan 15 orang dan dari Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan 15 orang didapat nilai alpha sebesar 0,78, sehingga dapat disimpulkan instrumen ini reliabel.
ROCI–II terdiri dari 28 pernyataan (7 pernyataan untuk integrating, 6 pernyataan untuk obliging, 5 pernyataan untuk dominating, 6 pernyataan untuk
avoiding, dan 4 pernyataan untuk compromising). Pernyataan mengenai
integrating adalah pernyataan nomor 1, 6, 11, 16, 21, 25, dan 28. Pernyataan mengenai obliging adalah nomor 4, 9, 14, 19, 24, dan 27. Pernyataan mengenai
(49)
dominating adalah nomor 3, 8, 13, 18, dan 23. Pernyataan mengenai avoiding
adalah pernyataan nomor 2, 7, 12, 17, 22, dan 26. Sedangkan pernyataan mengenai compromising adalah pernyataan nomor 5, 10, 15, dan 20. Tiap pernyataan dihitung dengan menggunakan 5 poin skala Likert (sangat sesuai, sesuai, ragu-ragu, tidak sesuai dan sangat tidak sesuai) (Rahim, 1983). Instrumen ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan merujuk kepada panduan proses pengadopsian instrumen penelitian lintas budaya (Beaton, Bombardier, Guillemin, & Ferraz, 2000).
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
Pada tabel berikut ini disajikan variabel, definisi operasional, alat ukur, hasil ukur, dan skala ukur.
Tabel 1. Variabel dan Definisi Operasional penelitian Variabel
Bebas
Definisi Operasional
Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Karakteristik Demografi: a. umur b. jenis kelamin
Masa hidup kepala ruangan RSUP Haji Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan mulai dari lahir sampai sekarang.
Perbedaan biologis dan fisiologis antara laki-laki dan perempuan pada
Kuesioner
Kuesioner
Umur:
1. ≤ 40 tahun. 2. 41 - 50 tahun 3. > 50 tahun
Jenis Kelamin: 1. Laki-laki 2. Perempuan
Interval
(50)
c. masa kerja
d. tingkat pendidikan
kepala ruangan RSUP Haji Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan.
Masa mulai bekerja menjadi perawat di RSUP Haji Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan.
Peringkat
pendidikan formal yang terakhir kepala ruangan RSUP Haji Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan.
Kuesioner
Kuesioner
Masa Kerja: 1. ≤ 5 tahun 2. 6 - 10 tahun 3. 11 - 15 tahun 4. ≥ 16 tahun
Tingkat Pendidikan: 1. Diploma 2. Sarjana 3. Magister Interval Ordinal Variabel Terikat Definisi Operasional
Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Gaya
manajemen konflik:
- integrating Manajemen konflik yang digunakan kepala ruangan RSUP Haji Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan
dengan cara mengutamakan
kedua belah pihak.
Kuesioner Integrating: skor 7-35
(51)
- obliging
- dominating
- avoiding
- compro mising
Manajemen konflik yang digunakan kepala ruangan RSUP Haji Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan
dengan cara mengutamakan
pihak lain daripada pihak sendiri.
Manajemen konflik yang digunakan kepala ruangan RSUP Haji Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan
dengan cara mengutamakan
pihak sendiri daripada pihak lain.
Manajemen konflik yang digunakan kepala ruangan RSUP Haji Adam Malik Medan dan RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan
dengan cara mengabaikan pihak
sendiri dan pihak lain.
Manajemen konflik yang digunakan kepala ruangan RSUP Haji Adam Malik Medan dan
Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner Obliging: skor 6-30 Dominating: skor 5-25 Avoiding: skor 6-30 Compromising: skor 4-20 Interval Interval Interval Interval
(52)
RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan
dengan cara berkompromi
dengan pihak lain.
3.6. Metode Pengukuran
Proses pengumpulan data diawali dengan memberikan penjelasan kepada subjek penelitan mengenai tujuan penelitian dan manfaat penelitian, petunjuk dan cara pengisian alat pengumpulan data, waktu yang diperlukan untuk mengisi kuesioner, risiko yang mungkin terjadi selama proses pengumpulan data, identitas peneliti, alamat peneliti, serta kesediaan subjek penelitian yang bersifat sukarela dan dapat mengundurkan diri setiap saat. Selanjutnya, subjek penelitian diminta untuk menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent). Setelah itu, peneliti memberikan kuesioner kepada subjek penelitian untuk diisi. Setelah kuesioner diisi dengan lengkap dan benar, peneliti mengumpulkan kembali kuesioner penelitian dan mengucapkan terima kasih atas partisipasi subjek penelitian.
3.7. Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul melalui kuesioner dianalisis dengan teknik statistik. Teknik statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis normalitas data, menganalisis data demografi, serta menganalisis gaya manajemen konflik kepala ruangan rumah sakit di Medan. Data demografi ditampilkan dalam bentuk tabel
(53)
distribusi frekuensi dan persentase, sedangkan data gaya manajemen konflik ditampilkan dalam bentuk skema. Data tentang gaya manajemen konflik kepala ruangan dihitung rata-rata skornya dan diurutkan mulai dari tertinggi sampai skor terendah. Rata-rata skor gaya manajemen konflik ini ditampilkan dalam bentuk skema.
Setelah dilakukan uji normalitas pada data gaya manajemen konflik kepala ruangan, ditemukan bahwa data obliging dan avoiding yang berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan transformasi data pada gaya manajemen konflik yang tidak berdistribusi normal menggunakan log 10 dan akar kuadrat. Dari hasil transformasi data ini ditemukan bahwa hanya dominating yang distribusinya menjadi normal, sehingga data yang berdistribusi normal adalah obliging, avoiding dan dominating.
Untuk menguji perbedaan gaya manajemen konflik obliging, avoiding dan
dominating dilakukan uji ANOVA dan t-test tidak berpasangan, sedangkan untuk menguji perbedaan gaya manajemen konflik integrating dan compromising
dilakukan uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney. Hipotesis alternatif (Ha) penelitian diterima apabila nilai probabilitas lebih kecil dari alfa (p < 0,05). Proses analisis data ini dilakukan dengan menggunakan komputer.
3.8. Pertimbangan Etik
Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Sebelum dilakukan pengumpulan data, tiap responden telah menandatangani lembar persetujuan setelah penjelasan (informed consent).
(54)
BAB IV
HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan sebuah rumah sakit pemerintah yang dikelola pemerintah pusat dengan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara, berada di Jl. Bunga Lau No. 17 Visi Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan adalah Menjadi pusat rujukan pelayanan kesehatan pendidikan dan penelitian yang mandiri dan unggul di Sumatera tahun 2015, dengan misi 1) Melaksanakan Pelayanan Kesehatan yang Paripurna, Bermutu dan Terjangkau, 2) Melaksanakan Pendidikan, Pelatihan serta Penelitian Kesehatan yang Profesional, 3) Melaksanakan Kegiatan Pelayanan dengan Prinsip Efektif, Efisien, Akuntabel dan Mandiri.
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Kota Medan merupakan Rumah Sakit milik Pemerintah Kota Medan, beralamat di Jl. Prof. H. M. Yamin, SH No. 17 Medan, Sumatera Utara, Indonesia. Visi Rumah Sakit ini adalah menjadi rumah sakit pusat rujukan dan unggulan di sumatera bagian utara tahun 2015, dengan misi 1) memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, profesional, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, 2) meningkatkan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran serta tenaga kesehatan lain, 3) Mengembangkan manajemen Rumah Sakit yang profesional.
(55)
4.2. Karakteristik Demografi Kepala Ruangan di Rumah Sakit.
Pengumpulan data telah dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2013 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Kota Medan. Pada tabel di bawah ini ditampilkan distribusi frekuensi dan persentase karakteristik demografi kepala ruangan di Rumah Sakit Medan.
Tabel 2. Karakteristik demografi kepala ruangan di Rumah Sakit (N=54)
No. Karakteristik Demografi N %
1. Umur
≤ 40 tahun 41 - 50 tahun > 50 tahun
6 35 13 11,1 64,8 24,1 2. Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan 3 51 5,6 94,4 3. Tingkat Pendidikan
Diploma III Sarjana Magister 17 37 0 31,5 68,5 0,0 4. Masa Kerja
≤ 5 tahun 6 - 10 tahun 11 - 15 tahun ≥ 16 tahun
0 2 10 42 0,0 3,7 18,5 77,8
Hasil penelitian pada tabel 2. menunjukkan bahwa mayoritas kepala ruangan berumur 41-50 sebanyak 64,8%, jenis kelamin perempuan sebanyak 94,4%, memiliki tingkat pendidikan sarjana 68,5% dan masa kerja ≥ 16 tahun sebanyak 77,8%.
(56)
4.3. Gaya manajemen konflik kepala ruangan di Rumah Sakit.
Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan statistik deskriptif pada gaya manajemen konflik pada kepala ruangan Rumah Sakit di Medan, maka pada skema di bawah ini dapat dilihat rerata skor tertinggi sampai skor terendah.
Gaya manajemen konflik
Skema 4. Nilai rerata gaya manajemen konflik pada kepala ruangan Rumah Sakit di Medan (N=54).
Hasil penelitian pada skema 4. memperlihatkan bahwa gaya manajemen konflik yang sering digunakan oleh kepala ruangan adalah integrating (mean 4,42; SD 0,44), kemudian diikuti oleh compromising (mean 4,37; SD 0,55), obliging (mean 3,36; SD 0,53), avoiding (mean 2,78; SD 0,60), dan dominating
(mean 2,44; SD 0,54).
N
ila
i
re
rat
a ga
ya
m
ana
jem
en
konf
li
(57)
4.4. Perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan umur kepala ruangan di Rumah Sakit.
Pada tabel 3. ditampilkan rerata skor dan nilai p perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan umur kepala ruangan Rumah Sakit di Medan. Dari analisis statistik menggunakan uji one way ANOVA pada obliging, dominating dan avoiding serta Kruskal-Wallis pada integrating dan compromising ditemukan bahwa gaya manajemen konflik tidak berbeda berdasarkan umur kepala ruangan.
Tabel 3. Rerata skor gaya manajemen konflik berdasarkan umur kepala ruangan di Rumah Sakit (N=54)
Karakteristik Demografi
Gaya Manajemen Konflik (Rerata & Standar Deviasi) Integrating Obliging Dominating Avoiding Compromising Umur
≤ 40 tahun 4,52(0,48) 3,44(0,46) 2,20(0,55) 2,78(0,42) 4,50(0,52) 41 - 50 tahun 4,39(0,48) 3,28(0,54) 2,45(0,56) 2,73(0,64) 4,34(0,63) > 50 tahun 4,47(0,34) 3,55(0,52) 2,51(0,51) 2,91(0,57) 4,37(0,33)
p value 0,807 0,274 0,449 0,655 0,734
Berdasarkan hasil uji statistik di atas dapat disimpulkan bahwa Hipotesis alternatif (Ha) 1 penelitian ini ditolak, yang berarti tidak ada perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan umur kepala ruangan, yang ditunjukkan oleh nilai
p > 0,05 pada semua gaya manajemen konflik.
4.5. Perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan jenis kelamin kepala ruangan di Rumah Sakit.
Pada tabel 4. ditampilkan rerata skor dan nilai p perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan jenis kelamin kepala ruangan Rumah Sakit di Medan. Dari analisis statistik menggunakan uji t tidak berpasangan pada obliging,
(58)
dominating dan avoiding serta Mann-Whithey pada integrating dan compromising
ditemukan bahwa gaya manajemen konflik berbeda secara signifikan berdasarkan jenis kelamin kepala ruangan.
Tabel 4. Rerata skor gaya manajemen konflik berdasarkan jenis kelamin kepala ruangan di Rumah Sakit (N=54)
Karakteristik Demografi
Gaya Manajemen Konflik (Rerata & Standar Deviasi) Integrating Obliging Dominating Avoiding Compromising Jenis Kelamin
Laki-laki 4,00(1,13) 2,56(0,51) 2,93(0,90) 3,22(1,17) 4,00(1,32)
Perempuan 4,45(0,38) 3,41(0,49) 2,41(0,51) 2,75(0,56) 4,39(0,50) p value 0,689 0,005* 0,271 0,190 0,985
Penelitian ini menemukan bahwa dari kelima gaya manajemen konflik,
obliging berbeda secara signifikan berdasarkan jenis kelamin kepala ruangan, yang ditunjukkan oleh nilai p=0,005. Rerata skor obliging pada laki-laki adalah 2,56 sedangkan pada perempuan 3,41. Sehingga Ha 2 penelitian ini diterima, ada perbedaan yang signifikan gaya manajemen konflik obliging berdasarkan jenis kelamin kepala ruangan.
4.6. Perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan masa kerja kepala ruangan di Rumah Sakit.
Pada tabel 5. ditampilkan rerata skor dan nilai p perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan masa kerja kepala ruangan Rumah Sakit di Medan. Dari analisis statistik menggunakan uji one way ANOVA pada obliging, dominating dan avoiding serta Kruskal-Wallis pada integrating dan compromising
(59)
ditemukan bahwa gaya manajemen konflik tidak berbeda berdasarkan masa kerja kepala ruangan.
Tabel 5. Rerata skor gaya manajemen konflik berdasarkan masa kerja kepala ruangan di Rumah Sakit (N=54)
Karakteristik Demografi
Gaya Manajemen Konflik (Rerata & Standar Deviasi) Integrating Obliging Dominating Avoiding Compromising Masa Kerja
≤ 5 tahun - - - - - 6 - 10 tahun 4,21(0,10) 3,00(0,47) 2,50(0,99) 2,33(0,47) 4,25(0,71)
11 - 15 tahun 4,31(0,45) 3,08(0,49) 2,26(0,49) 2,73(0,48) 4,18(0,81)
≥ 16 tahun 4,46(0,45) 3,45(0,52) 2,48(0,54) 2,81(0,63) 4,42(0,48) p value 0,449 0,088 0,525 0,539 0,652
Hasil penelitian ini menemukan bahwa Ha 3 penelitian ini ditolak, yang berarti tidak ada perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan masa kerja kepala ruangan, yang ditunjukkan oleh nilai p > 0,05 pada semua gaya manajemen konflik.
4.7. Perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan tingkat pendidikan kepala ruangan di Rumah Sakit.
Pada tabel di bawah ini ditampilkan rerata skor dan nilai p perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan tingkat pendidikan kepala ruangan Rumah Sakit di Medan. Dari analisis statistik menggunakan uji one way ANOVA pada
obliging, dominating dan avoiding serta Kruskal-Wallis pada integrating dan
compromising ditemukan bahwa gaya manajemen konflik tidak berbeda berdasarkan tingkat pendidikan kepala ruangan.
(60)
Tabel 6. Rerata skor gaya manajemen konflik berdasarkan tingkat pendidikan kepala ruangan di Rumah Sakit
Karakteristik Demografi
Gaya Manajemen Konflik (Rerata & Standar Deviasi)
Integrating Obliging Dominating Avoiding Compromising
Tingkat Pendidikan
Diploma III 4,39(0,38) 3,30(0,63) 2,44(0,50) 2,67(0,50) 4,21(0,63)
Sarjana 4,44(0,47) 3,39(0,48) 2,44(0,57) 2,83(0,64) 4,44(0,51)
Magister - - - - -
p value 0,560 0,580 0,930 0,357 0,125
Dari data pada tabel di atas ditemukan bahwa Ha 4 penelitian ini ditolak, yang berarti tidak ada perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan tingkat pendidikan kepala ruangan, yang ditunjukkan oleh nilai p > 0,05 pada semua gaya manajemen konflik.
(61)
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Demografi Kepala Ruangan
Hasil penelitian menemukan bahwa mayoritas kepala ruangan berumur 41-50 tahun sebanyak 66%, diikuti oleh umur >50 tahun sebanyak 24,1%. Hal ini memperlihatkan bahwa lebih dari 70% kepala ruangan Rumah Sakit di Medan berumur 41 tahun ke atas.
Dari hasil data di atas dapat disimpulkan bahwa seorang perawat menjabat kepala ruangan di suatu Rumah Sakit mayoritas berumur 41 tahun ke atas, karena pada usia tersebut seorang kepala ruangan telah melewati berbagai pengalaman bekerja di Rumah Sakit. Hal ini didukung oleh data penelitian lain yang dilakukan di beberapa Rumah Sakit di negara lain (Hendel et al., 2005; Intaraprasong, Potjanasitt, Pattaraarchachai, & Meennuch, 2012). Hasil penelitian Hendel et al (2005) di Rumah Sakit Israel ditemukan bahwa perawat manejer yang berumur 41 tahun ke atas sebanyak 82 %. Intaraprasong et al (2012) menemukan kepala ruangan di Rumah Sakit Thailand mayoritas berumur 41 tahun ke atas sebanyak 63%.
Berdasarkan jenis kelamin ditemukan bahwa yang paling banyak adalah perempuan berjumlah 51 orang (94,4%). Sesuai dengan sejarah keperawatan, data ini memperlihatkan bahwa profesi perawat sampai saat ini masih lebih banyak dilaksanakan oleh perempuan. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan pada sembilan Rumah Sakit di Oman ditemukan bahwa jumlah perawat manejer
(62)
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, dengan jumlah perempuan sebanyak 88% (Al-Hamdan et al., 2011).
Berdasarkan tingkat pendidikan ditemukan bahwa mayoritas tingkat pendidikan kepala ruangan adalah sarjana sebanyak 69,8%, diploma 30,2%, dan tidak ada magister. Bila dibandingkan dengan tingkat pendidikan kepala ruangan di beberapa negara lain, tingkat pendidikan kepala ruangan strata magister di Medan masih tergolong rendah. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan pada lima Rumah Sakit di Israel ditemukan bahwa kepala ruangan yang berpendidikan magister mencapai (33,3%) (Hendel et al., 2005), di Rumah Sakit Thailand 17,9% (Intaraprasong et al., 2012), dan di Rumah Sakit Kesultanan Oman 4,1% (Al-Hamdan et al., 2011).
Berdasarkan masa kerja ditemukan bahwa masa kerja kepala ruangan mayoritas 16-20 tahun sebanyak 41 orang (77,4%), diikuti oleh masa kerja selama 11-15 tahun (18,5%) dan tidak ada masa kerja ≤ 5 tahun. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi seorang kepala ruangan di Rumah Sakit mayoritas perawat harus sudah bekerja selama sepuluh tahun ke atas. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan pada lima Rumah Sakit di Israel ditemukan bahwa masa kerja perawat manejer yang paling banyak adalah ≥ 13 tahun sebanyak 75,9 %, hanya 24,1 % yang memiliki masa kerja < 12 tahun (Hendel et al., 2005). Bahkan kepala ruangan di salah satu Rumah Sakit Thailand mencapai 92% memiliki masa kerja 10 tahun ke atas (Intaraprasong et al., 2012).
(63)
5.2. Gaya Manajemen Konflik Kepala Ruangan di Rumah Sakit
Secara berurutan mulai dari rerata tertinggi sampai terendah, gaya manjemen konflik yang digunakan oleh kepala ruangan rumah sakit di Medan adalah integrating (4,42; SD 0,44), compromising (4,37; SD 0,55), obliging (3,36; SD 0,53), avoiding (2,78; SD 0,60), dan dominating (2,44; SD 0,54).
1. Integrating
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa gaya manajemen konflik yang paling sering digunakan oleh kepala ruangan adalah integrating (4,42; SD 0,44). Menurut Rahim (2001) integrating sering juga disebut problem solving. Dalam gaya ini ditemukan adanya keterbukaan, bertukar informasi, mencari alternatif, dan mencari perbedaan untuk mencapai suatu solusi efektif yang dapat diterima oleh kedua pihak. Gaya ini lebih efektif dibandingkan dengan gaya lainnya untuk menjadikan subsistem dalam suatu organisasi lebih kompak. Gaya ini merupakan gaya yang paling efektif dalam menyelesaikan konflik sosial dan cocok diterapkan untuk menangani isu-isu strategis mengenai tujuan, kebijakan dan perencanaan jangka panjang organisasi.
Hasil penelitian lain yang sama dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan pada perawat manejer Rumah Sakit di Oman. Perawat manejer Rumah Sakit di Oman secara berturut-turut menggunakan integrating, kemudian disusul oleh compromising, obliging, dominating, dan avoiding (Al-Hamdan et al., 2011).
Berbeda dengan hasil penelitian ini, beberapa penelitian pada perawat menemukan bahwa integrating berada pada posisi ke empat (Cavanagh, 1991;
(64)
Kunaviktikul et al., 2000; Morrison, 2008; Whitworth, 2008). Menurut Valentine (2001) penggunaan yang jarang gaya integrating mengindikasikan bahwa perbedaan pendapat tidak dianggap sebagai proses pembelajaran dan problem solving.
2. Compromising
Compromising merupakan pilihan kedua yang paling banyak digunakan oleh kepala ruangan Rumah Sakit pada penelitian ini (4,37; SD 0,55). Menurut Rahim (2001) gaya ini disebut juga give and take, dimana semua pihak menginginkan keputusan yang secara bersama-sama saling menguntungkan. Gaya ini sangat berguna ketika tujuan pihak yang sedang konflik saling eksklusif atau kedua pihak (seperti manajer dan karyawan) sama kuatnya dan menemukan jalan buntu dalam proses negosiasi.
Hasil penelitian lain yang menghasilkan compromising pada posisi kedua adalah penelitian yang dilakukan pada 82 perawat manejer di salah satu Rumah Sakit di Amerika Serikat (Cavanagh, 1991), 349 perawat pelaksana di Thailand (Kunaviktikul et al., 2000), dan 271 perawat manejer di Oman (Al-Hamdan et al., 2011). Menurut Valentine (2001) sering menggunakan gaya compromising merupakan indikasi fokus utama pada aspek praktik. Gaya ini dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan bersifat sementara, akan tetapi tidak tepat digunakan untuk menghadapi isu-isu yang yang sangat penting seperti prinsip, nilai, tujuan jangka panjang, dan kesejahteraan organisasi.
(65)
3. Obliging
Obliging merupakan gaya manajemen konflik yang menempati peringkat ketiga pada penelitian ini (3,36; SD 0,53). Menurut Rahim (2001) gaya ini berguna diterapkan apabila suatu pihak tidak menguasai isu yang menjadi konflik atau isu tersebut lebih penting bagi pihak lain. Gaya ini perlu digunakan ketika satu pihak berkeinginan memberikan sesuatu kepada pihak lain dengan harapan dapat mendapatkan keuntungan dari pihak lain pada saat dibutuhkan. Gaya ini cocok diterapkan pada saat suatu pihak berada pada posisi yang lebih lemah. Gaya ini tidak cocok dilakukan ketika suatu pihak merasa bahwa pihak lain bersalah atau tidak beretika.
Hasil penelitian lain yang menempatkan obliging pada peringkat ketiga adalah penelitian pada 84 perawat manjer di salah satu Rumah Sakit di Amerika Serikat (Cavanagh, 1991), 97 perawat pelaksanan di Amerika Serikat (Whitworth, 2008), dan 271 perawat manejer di Oman (Al-Hamdan et al., 2011). Valentine (2001) menyatakan bahwa penggunaan yang jarang gaya ini merupakan suatu indikasi adanya kesulitan untuk melepaskan suatu isu, kesulitan untuk menentukan tujuan yang baik, dan kesulitan menerima bahwa seseorang telah berbuat kesalahan.
4. Avoiding
Avoiding berada pada urutan keempat sebagai gaya manajemen konflik pada penelitian ini ((2,78; SD 0,60). Menurut Rahim (2001) orang dengan gaya avoiding adalah orang yang gagal memenuhi keinginan dirinya sendiri dan gagal juga memenuhi keinginan orang lain. Gaya ini cocok digunakan ketika ada
(66)
kemungkinan efek yang disfungsional bila melakukan konfrontasi dengan pihak yang lebih kuat yang memiliki kepentingan terhadap konflik yang dihadapi. Gaya ini juga berguna untuk menyelesaikan isu-isu yang tidak terlalu penting/minor atau memerlukan periode pendinginan sebelum masalah yang kompleks diselesaikan secara efektif. Hasil penelitian lain yang sama menempatkan avoiding pada posisi keempat adalah 60 orang perawat manejer Rumah Sakit di Israel (Hendel et al., 2005). Menurut Valentine (2001) penggunaan yang sering gaya ini mengindikasikan bahwa keputusan terhadap masalah yang penting tidak langsung diperdebatkan, tapi dibiarkan datang dengan sendirinya.
5. Dominating
Dominating merupakan posisi terakhir dari kelima gaya manajemen konflik pada penelitian ini (2,44; SD 0,54). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kepala ruangan jarang menggunakan kekuasaan untuk menyelesaikan suatu konflik di Rumah Sakit. Hal ini didukung oleh berbagai hasil penelitian ditemukan bahwa masih banyak perawat manajer dan perawat pelaksana memilih obliging pada posisi terakhir (Cavanagh, 1991; Kunaviktikul et al., 2000; Whitworth, 2008; Woodtli, 1987) dan tidak pernah pada posisi pertama (Al-Hamdan et al., 2011; Cavanagh, 1991; Hendel et al., 2005; Kunaviktikul et al., 2000; Morrison, 2008; Whitworth, 2008; Woodtli, 1987). Selain itu, Valentine (2001) menyatakan bahwa penggunaan yang jarang gaya ini mengindikasikan bahwa adanya kesulitan untuk mempertahankan suatu isu. Hal ini dapat disebabkan tidak memiliki kekuasaan dan keterampilan.
(67)
Menurut Rahim (2001) gaya ini disebut juga orientasi win-lose atau menggunkan kekuatan untuk medapatkan suatu posisi. Orang yang dominating
atau competing ingin memenangkan tujuannya, dan akibatnya sering mengabaikan kebutuhan dan harapan pihak lain. Gaya ini cocok digunakan ketika isu yang menjadi konflik penting bagi pihak sendiri ataupun keputusan dari pihak lain akan merugikan pihak sendiri. Seorang supervisor bisa menggunakan gaya ini pada isu-isu yang dilaksanakan secara rutin ataupun pada kondisi-kondisi yang memerlukan pengambilan keputusan dengan cepat.
Dalam suatu organisasi, individu yang mampu menangani konflik secara efektif dianggap sebagai komunikator yang efektif dan pemimpin yang mumpuni (capable). Mereka yang tidak dapat menangani konflik dengan secara efektif akan mengalami hambatan untuk mencapai tujuan organisasi, mempertahankan relasi yang positif dan keterpaduan atau kedekatan, dan problem solving (Gross & Guerrero, 2000).
4.1.2. Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Karakteristik Demografi Kepala Ruangan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari keempat karakteristik demografi (umur, jenis kelamin, masa kerja, dan tingkat pendidikan), ditemukan bahwa jenis kelamin yang berbeda secara signifikan dalam pemilihan gaya manajemen konflik, yaitu gaya obliging (p<0,05). Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendel et al. (2005) pada perawat manejer di lima Rumah Sakit Umum di Israel. Dia menemukan bahwa mayoritas
(68)
karakteristik demografi tidak ada korelasi secara signifikan dengan pemilihan gaya manajemen konflik. Karakteristik demografi yang signifikan mempengaruhi gaya manajemen konflik hanya masa kerja, makin lama masa kerja makin sering perawat manejer menggunakan gaya integrating (p<0,05).
Hasil penelitian Al-Hamdan, Shukri, & Anthony (2011) menemukan bahwa tingkat pendidikan berbeda secara signifikan pada gaya manajemen konflik
dominating dan obliging (p<0,05). Karakteristik demografi lain yang secara signifikan mempengaruhi gaya manajemen konflik adalah jenis kelamin, dimana rerata skor compromising responden laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan dengan nilai p<0,05.
(69)
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Perbedaan Gaya Manajemen Konflik Berdasarkan Karakteristik Demografi Kepala Ruangan Rumah Sakit di Medan dapat disimpulkan bahwa:
1. Karakteristik demografi kepala ruangan Rumah Sakit di Medan mayoritas berumur 41-50 tahun (64,8%), jenis kelamin perempuan (94,4 %), memiliki masa kerja ≥ 16 tahun (77,8 %), dan berpendidikan Sarjana (68,5 %).
2. Secara berurutan mulai paling tinggi sampai paling rendah, gaya manjemen konflik yang digunakan oleh kepala ruangan Rumah Sakit di Medan adalah
integrating (4,42; SD 0,44), compromising (4,37; SD 0,55), obliging (3,36; SD 0,53), avoiding (2,78; SD 0,60), dan dominating (2,44; SD 0,54).
3. Tidak ada perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan umur kepala ruangan Rumah Sakit di Medan.
4. Ada perbedaan gaya manajemen konflik obliging berdasarkan jenis kelamin kepala ruangan Rumah Sakit di Medan.
5. Tidak ada perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan masa kerja kepala ruangan Rumah Sakit di Medan.
6. Tidak ada perbedaan gaya manajemen konflik berdasarkan tingkat pendidikan kepala ruangan Rumah Sakit di Medan.
(70)
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas maka disarankan: 1. Setiap kepala ruangan agar secara berkelanjutan mempelajari manajemen
konflik, sehingga dapat menggunakan gaya manajemen konflik yang tepat pada situasi yang tepat.
2. Pada penelitian selanjutnya yang menjadi sampel penelitian adalah perawat pelaksana sehingga penilaian gaya manajemen konflik kepala ruangan dapat juga terlihat dari sudut pandang perawat pelaksana.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)