Imajinasi Baru tentang Indonesia. Kenisc

I maji Baru tentang I ndonesia:
Keniscayaan Lokalitas dalam Negara-Bangsa 1

Oleh:
Erw in Fahmi2
R. Yando Zakaria 3

” Democratic systems are characterized by

self-governing, not state-governed,
societies” (Vincent Ostrom, 1997) 4

Pendahuluan
Demokrasi adalah salah satu nilai utama yang ingin ditegakkan dalam
masyarakat I ndonesia, kini dan di masa mendatang. Berbagai dokumen resmi telah
menunjukkan hal tersebut. Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU 22/ 1999) disebutkan “ bahwa dalam
penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
memperhatikan keanekaragaman


Daerah”

(Menimbang butir

b, garis bawah

ditambahkan). Melihat rumusan ini, tidaklah sulit untuk menyimpulkan bahwa
demokrasi merupakan nilai utama, di antara beberapa nilai lain, yang hendak
ditegakkan.

1

Tulisan ini terbit sebagai Bab 7 dalam R. Yando Zakaria, Merebut Negara, Beberapa Catatan Reflektif
Tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian, dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: Lapera Pustaka
Utama & KARSA, 2004.
2
Pelajar Ilmu Administrasi, peneliti Lepas, tinggal di Serpong - Banten. Kritik dan saran harap dialamatkan ke:
[email protected],com
3
Praktisi antropologi.Volunteer pada Institute for Social Transformation (INSIST) dan Lingkar Pembaruan Desa

dan Agraria (KARSA). Keduanya berada di Yogyakarta. Kritik dan saran harap dialamatkan
[email protected]
4
Lihat: V. Ostrom. 1997. The Meaning of Democracy and the Vulnerability of Democracies: A Response to
Tocqueville’s Challenge. Ann Arbor: The University of Michigan Press.

1

Dalam

tulisan

ini

hendak

didiskusikan

masalah


demokrasi

dengan

mempertanyakan hal pokok berikut: apa yang membentuk suatu masyarakat vis a vis
Negara demokratis? Apakah ’sekadar’ keberadaan partai politik, terselenggaranya
Pemilu, dan terjadinya sirkulasi pemegang kekuasaan pemerintahan? Bukankah
syarat yang demikian semata dapat menggelincirkan warga kebanyakan menjadi
sekedar bidak yang ditentukan nasibnya oleh pemegang kekuasaan, atau orangorang yang mengidentikkan dirinya sebagai negara itu sendiri – seeing (and acting)

like a state (Scott 1998) 5? Karena itu, bagaimanakah seyogianya kedudukan warga,
dan selanjutnya komuniti, di hadapan pemegang kekuasaan negara itu? Bagaimana
pulakah konstruksi negara demokratis menempatkan pengelolaan kehidupan seharihari warga negara, baik secara perorangan maupun secara kolektif, misalnya pada
komuniti?
Tulisan berikut akan mengkaji hal-hal di atas, dan menawarkan suatu
perspektif yang semoga dapat memperkaya imaji I ndonesia kita. Sependapat dengan
Vincent Ostrom, posisi yang hendak diketengahkan di sini adalah: pemahaman
tentang demokrasi tidak boleh direduksi menjadi sekadar mengatur bangun-negara,
namun juga menyangkut hubungan-hubungan antara warga (dan komuniti) dan
pemegang kekuasaan.


Penyederhanaan oleh Negara
Dalam pidato pengantar naskah Rancangan Undang-undang Pokok Agraria
1960 (seterusnya disingkat UUPA No. 5/ 1960), dikatakan "... oleh karena suku-suku
bangsa dan masyarakat-masyarakat hukum adat tidak mandiri lagi, tetapi sudah
merupakan bagian dari satu bangsa I ndonesia di wilayah Negara Kesatuan Repubik
I ndonesia, maka wewenang berdasarkan hak ulayat yang berhubungan dengan hakhak atas tanah, yang dahulu mutlak berada di tangan kepala suku/ masyarakat
hukum adat/ desa sebagai penguasa tertinggi dalam wilayahnya dengan sendirinya

5

James C. Scott, 1998. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have
Failed. New Haven: Yale University Press.

2

beralih kepada pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi, pemegang hak
menguasai/ ulayat seluruh wilayah Negara6”. Pandangan ini kemudian melahirkan hak
menguasai dari negara (HMN), yang merupakan alas bagi pengaturan dan
pencabutan hak masyarakat adat atas sumber-sumber kehidupannya7.

Pandangan di atas adalah contoh dari apa yang disebut Scott sebagai
penyederhanaan negara ( state simplification) . Menurut Scott, penyederhanaan
dimaksud berbahaya, karena ”...ia digabungkan dengan ideologi ‘modernisasi yang
canggih’, yang penerapannya menggunakan kekuatan negara untuk mengubah
samasekali kehidupan warga-negara, yang biasanya dilakukan menurut sebuah
rencana awal utopis. Rencana-rencana demikian, yang dirancang untuk memperbaiki
taraf hidup, telah membuahkan hasil yang menyedihkan. Sebagian karena ia telah
meruntuhkan pola sosial yang telah lama terbentuk di tengah masyarakat, pekerjaan
dan interaksi dengan alam yang sebenarnya telah terbukti memuaskan, untuk
kemudian diganti dengan formula ‘satu ukuran untuk semua’ yang mengingkari
pengetahuan

adaptif

lokal” 8.

Di

I ndonesia,


penyederhanaan

tersebut

telah

melahirkan beragam konflik vertikal, sebagaimana kita saksikan dalam 2-3 dekade
terakhir ini9.
Untuk mengilustrasikan hal di atas, mari kita tengok pemberlakuan UU No. 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (selanjutnya disingkat UUPD No. 5/ 1979).
Secara normatif, kebijakan tersebut dimaksudkan untuk memenangkan kepentingan
rakyat/ warga desa10. Menurut Fraksi Karya Pembangunan ketika menggodog RUU
bersangkutan, peraturan–perundangan yang ada ketika itu tidak sesuai dengan cita6

Iman Soetiknyo. 1990. Politik Agraria Nasional. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Hal. 49 – 50.
Lihat catatan kaki berikut. Lihat juga Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik
Agraria Indonesia. Yogyakarta: Kerjasama INSIST, KPA, dan Pustaka Pelajar.
8
James C. Scott. 2002. “Penyederhanaan-penyederhanaan Negara”, dalam WACANA, Jurnal Ilmu Sosial
Transformatif, Edisi 10, Tahun III. Hal. 16 – 56.

9
Hal ini akan dibahas lebih lajut dalam sub-bab Desa dan Penguasaan Sumber-sumber Agraria berikut.
10
Kata ‘desa’ dalam kalimat ini dengan sengaja dicetak miring. Hal ini diperlukan untuk membedakan desa
sebagai unit administrasi pemerintahan sebagaimana yang dimaksudkan oleh UUPD No. 5/1979 (dalam
dokumen ini dicetak biasa) dengan desa (dengan cetak miring) sebagai suatu organisasi sosial sebagaimana yang
dipahami dan/atau dikonsepsikan oleh warga persekutuan sosial yang bersangkutan. Penyebutan desa dalam
dokumen ini dapat juga berarti dan/atau dipertukarkan dengan nagari (di Minangkabau), marga (di Palembang),
dan lain sebagainya.

7

3

cita Nasional untuk mewujudkan desa yang lebih kuat, yang dapat memberikan
kehidupan yang lebih baik kepada warganya. Oleh sebab itu diperlukan kebijakan
yang lebih baik11. Kenyataannya, praktik lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya.
Dari segi kepentingan pemerintahan (Pusat), keseragaman struktur pemerintahan

desa memang menguntungkan pemerintahan pusat. Keseragaman itu memudahkan

pemerintah pusat mengadakan pembinaan. Namun, penetrasi pemerintah yang
begitu dalam membawa konsekuensi yang berbeda. Bagi masyarakat, terutama
masyarakat adat 12, implementasi UUPD No. 5/ 1979 tersebut menimbulkan dampak
yang tidak kecil13.
Fakta itu tentu saja sangat merugikan. Desa -- konsepsi generiknya disebut
komuniti -- sejatinya merupakan muara dari domain ’kedaulatan warga negara’ vis a

vis satuan kehidupan yang ’lebih besar’, utamanya negara. Di dalamnya tersimpan
energi positif bagi pengaturan hidup bersama, dan karenanya tidak boleh dicabut
begitu saja oleh negara. Komuniti adalah juga subjek hukum atas ulayat.
Pembubaran desa oleh UU No. 5/ 1979 menghilangkan subjek hukum atas ulayat itu.
Konsekuensinya, perampasan tanah dapat dengan mudah dilakukan14. Karenanya,
penataan ulang hubungan negara dan komuniti ini menjadi keniscayaan.
Perlu pula ditekankan di sini bahwa, sebagai wahana pengelompokan warga,
komuniti tidaklah bersifat statis. Kualitas interaksi antarwarga dapat mengalami
pasang-surut; interaksi baik yang melembaga menjadi kebiasaan dan tumbuhnya
11

Fraksi Karya Pembangunan, dalam H. Soemarmo, et.al., eds.,Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa dan proses Kelahirannya. Jakarta: Departemen Dalam Negeri

Republik Indonesia, 1980, hal. 73. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Amir Machmud, Menteri Dalam
Negeri ketika itu dalam “Keterangan Pemerintah Mengenai Rancangan Undang Tentang Pemerintahan Desa”
(tentang hal ini lihat H. Soemarmo, et.al. eds. ibid., hal. 54; maupun pandangan Fraksi ABRI (ibid., hal. 65) dan
Fraksi PDI (ibid., hal. 91).
12
Apa yang dimaksudkan dengan masyarakat adat dalam tulisan ini adalah apa yang dalam dalam literaturliteratur Ilmu Hukum Adat disebut sebagai rechts gemeenschap; adat gemeenschap; adat rechts gemeenschap;
dan volksgemeenschap. Keseluruhannya dalam Bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai ‘masyarakat
hukum adat’ atau ‘persekutuan hukum adat’. Ada yang berpendapat bahwa yang satu merupakan perkembangan
dari yang lain. Hal itu tidak akan dibahas dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini semuanya akan disebut sebagai
‘masyarakat adat’. Sekedar memberikan aksentuasi, dalam berbagai kesempatan penyebutan ini dipertukarkan
dengan sebutan ‘komuniti adat’; atau bahkan dipertukarkan dengan sebutan ‘persekutuan hidup setempat’. Lebih
lanjut lihat uraian pada sub-bab Desa dan Penguasaan Sumber-sumber Agraria di bagian balakang.
13
Zakaria. 2000, op.cit.
14
Lihat Zakaria, 2000, op.cit., hal. 114 -156.

4

nilai-nilai yang dipatuhi bersama, membentuk komuniti. Hal yang sebaliknya untuk

proses runtuhnya ikatan komuniti. Dua indikator yang menandakan kuat-lemahnya
ikatan komuniti adalah adanya rasa saling percaya ( trust ) dan aksi bersama
( collective action ). Demikianlah, maka dapat pula digarisbawahi di sini bahwa
penyebutan komuniti dalam diskusi ini tidaklah semata-mata merujuk pada komuniti
yang sudah ada, seperti desa (dengan hak asal-usul di atas), namun juga pada
komuniti yang sedang dalam proses pembentukan. Komuniti semacam itu dapat saja
ditemui pada berbagai lingkungan, termasuk di perkotaan.

Desa dan Penguasaan Sumber-sumber Agraria
Salah satu persoalan yang timbul dari penataan (ulang) sistem Pemerintahan
Desa versi UUPD No. 5/ 1979 adalah maraknya ‘masalah agraria’15. Sehingga, pada
masa-masa mendatang, ‘masalah agraria’ ini dikuatirkan akan menjadi sumber krisis
sosial16; bahkan bukan tak mungkin pula berkembang menjadi sumber disintegrasi –
atau krisis integrasi -- Nasional (Zakaria, 1997) 17. Karenanya, benar adanya jika
dikatakan “pembaruan agraria adalah salah satu jawaban yang tersedia, yang
menempatkan rakyat banyak sebagai penentu kehidupan mereka sendiri, terutama
dalam mengurus sumber-sumber agraria bagi kesejahteraan rakyat di masa kini dan
masa mendatang” (Fauzi, 1998) 18. Sebab itu pula maka “gagasan alternatif memang
harus


diarahkan

agrarianya,

pada

yang itu

perwujudan

kedaulatan

sebenarnya berjalan

rakyat

atas

seiring dengan

sumber-sumber

perjuangan untuk

mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi rakyat” (Widjojanto, 1998) 19.

15 Lihat referensi yang diacu Zakaria, 2000, op.cit., catatan kaki no. 28, pada Bab 5
16
Mansour Fakih, “Tanah Sebagai Sumber Krisis Sosial di Masa Mendatang: Sebuah Pengantar”, dalam
Untoro Hariadi & Masruchah, eds., Tanah, Rakyat dan Demokrasi. Yogyakarta: Forum LSM - LPSM DIY,
1995.
17
R. Yando Zakaria 1997. “Penegasian Hak-hak Masyarakat Adat Sebagai Sumber Krisis Integrasi
Nasional di Masa Depan”. Makalah dipresentasikan pada “Widyakarya Nasional Antropologi dan
Pembangunan”, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan DEPDIKBUD dan Panitia Kongres
Asosiasi Antropologi Indonesia 1997, 26 - 28 Agustus .
18
Noer Fauzi, dalam Konsorsium Reformasi Nasional & Konsorsium Pembaharuan Agraria. 1998., Usulan
Revisi Undang-undang Pokok Agraria: Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat Atas Sumber-sumber
Agraria. Jakarta: Konsorsium Reformasi Nasional & Konsorsium Pembaharuan Agraria. Hal. v.
19
Bambang Widjojanto, dalam Konsorsium Reformasi Nasional & Konsorsium Pembaharuan Agraria, ibid., hal.
ii.

5

Umum diketahui bahwa wacana seputar desa sebenarnya wacana tentang
sekumpulan manusia yang mengambil tempat kediaman bersama atas suatu wilayah
(territorial) tertentu, memiliki organisasi yang dipimpin oleh perangkat pimpinan

desa. Untuk mengatur itu semua desa mengembangkan serangkaian norma-norma
hukum adat yang mengatur berbagai aspek kehidupan bersama mereka20.
Kesatuan wilayah teritorial itu disebut sebagai wilayah di bawah ‘hak ulayat’
persekutuan hidup setempat ( desa). Dengan demikian, hak-hak adat, yakni hak-hak
yang bersumber dari hukum adat yang berkembang dalam persekutuan hidup
setempat itu, hidup dan/ atau melekat pada wilayah teritorial yang menjadi wilayah
kedaulatan persekutuan hidup setempat. Dikaitkan dengan interaksi warganya
dengan lingkungan tempat mereka memenuhi segala kebutuhan hidupnya, wilayah
di bawah hak ulayat itu disebut pula sebagai labenstraum komunitas yang
bersangkutan. Hak ulayat adalah basis material dari keberadaan komuniti yang
bersangkutan.
Selama ini ada kekeliruan penafsiran hak ulayat. Hak ulayat lebih banyak
ditafsirkan – atau dilihat -- sebagai hak pemanfaatan bersama. Konsepsi ini
sebenarnya tidak sepenuhnya keliru, karena di dalamnya memang terkandung
pengertian bahwa wilayah tertentu itu adalah wilayah yang dimiliki/ dikuasai secara
bersama-sama oleh seluruh warga persekutuan hidup setempat yang bersangkutan.
Meski begitu, bukan berarti tidak ada bagian wilayah yang hanya dimiliki dan atau
dikuasai oleh individu atau keluarga tertentu, sejauh bagian wilayah ini masih
digarap oleh individu atau keluarga yang bersangkutan21.
Konsep hak ulayat mengacu pada subjek-subjek hukum yang menjadi warga
persekutuan hidup setempat yang bersangkutan. Subjek hukum yang tidak menjadi
warga persekutuan hidup setempat tertentu itu tidak mempunyai hak apapun,
20

Uraian ringkas tentang proses sosial terjadinya desa dapat dilihat pada Selo Soemardjan. 1991. “Otonomi
Desa: Adakah Itu?”. Karangan untuk memenuhi permintaan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Depertemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Hal. 7 - 14.
21
Tentang hal ini, lihat misalnya, Soekanto, op.cit., hal. 93 - 95. Lihat juga Herman Soesangobeng,
“Kontekstualisasi Filosofi Adat Tentang Tanah dan Penerapannya Setelah UU No. 5/1960 Serta Advokasi
Pertanahan di Indonesia”, makalah yang disajikan sebagai bahan diskusi pada AKATIGA - Bandung, tanggal
21 Februari 1998.

6

kecuali atas izin subjek hukum yang berhak atas wilayah tersebut. Dengan kata lain,

esensi dari konsep hak ulayat adalah kedaulatan persekutuan hidup setempat atas
wilayah yang menjadi wilayah ulayatnya itu. Persekutuan masyarakat adat itu
memiliki kedaulatan ke dalam dan ke luar. Artinya, hak adat mengatur hubunganhubungan antara wilayah yang menjadi teritorialnya dengan warga persekutuan
masyarakat adat itu sendiri; dan juga mengatur hubungan dengan pihak-pihak yang
berasal dari luar persekutuan hidup setempat itu sendiri22.
Jadi, jika memang negara mengakui hak ulayat persekutuan masyarakat adat
– sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 18 UUD 1945 -- maka pengakuan itu
harus juga mengacu pada pengakuan atas kedaulatan persekutuan hidup setempat
atas sumber-sumberdaya yang menjadi labenstraum masyarakat adat itu23.
Dalam kaitan ini, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto menulis: “Pengakuan oleh
negara atas hak-hak tanah masyarakat adat pada hakikatnya adalah suatu refleksi
kesediaan

para

pengemban

kekuasaan

negara

untuk

mengakui

eksistensi

masyarakat adat yang otonom, dan kemudian daripada itu juga untuk mengakui hakhak masyarakat itu atas tanah – dan segenap sumberdaya alam yang ada di atas
dan/ atau di dalam tanah itu – yang bernilai vital untuk menjamin kelestarian fisik dan
nonfisik masyarakat tersebut” 24.

Desa adalah satuan (unit otonomi) dari pemegang hak ulayat. Bukan pada
kategori kebudayaan, sub-kebudayaan, atau etnisitas, sebagaimana yang banyak

22

Meminjam kata-kata C. van Vollenhoven, dalam Soekanto (1981: 90), ”hak ulayat tidaklah semata-mata hak
bersama, melainkan juga mengacu pada hak kedaulatan persekutuan adat tertentu”.
23
Berbeda dengan persekutuan-persekutuan yang bersifat gesselschaft, bagi persekutuan hidup
masyarakat/komunitas gameenschaft, SDA adalah labenstraum. Maka, pengahancuran SDA, dalam berberbagai
wujudnya (kerusakan lingkungan, penafian hak, dll.) berarti menghancurkan sumber-sumber identitas dan
ekonomi kelompok masyarakat adat yang bersangkutan. Artinya, pengancuran SDA sama dengan
pengahancuran sumber-sumber kehidupan – baik dalam pengertian simbolis maupun dalam pengertian yang
empiris – dari masyarakat adat dimaksud. Penegasian hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya alam yang
menjadi labenstraum-nya itu tentunya dapat ditafsirkan sebagai penegasian eksitensi dan kedaulatan masyarakat
adat. Sebab, sumberdaya alam adalah basis material sekaligus simbolisasi keberadaan masyarakat adat itu
sendiri.
24
Soetandyo Wignjosoebroto. 1996. Kebijakan Negara untuk Mengakui atau Tidak Mengakui Eksistensi
Masyarakat Adat Berikut Hak-hak Atas Tanahnya. Makalah yang disampaikan pada Diskusi Meja Bundar
“Hak-hak Masyarakat Adat Atas Tanah dalam Konteks Kebijakan Pertanahan Ordebaru”, diselenggarakan oleh
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta, 21 Oktober 1996.

7

disalahtafsirkan selama ini. Dengan demikian, pengakuan atas adanya hak-hak
masyarakat adat, yang eksistensinya berada pada tingkat persekutuan hidup
setempat, tidaklah mengancam kedaulatan Negara, ataupun mengarah pada
disitegritas Bangsa. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa
pemberian dan atau pengakuan atas kedaulatan hak-hak masyarakat adat ini akan
mengancam integerasi nasional. Malah, jika mencermati gejala-gejala perlawanan di
tingkat grass root atas berbagai kebijakan negara dalam beberapa waktu belakangan
ini, fenomena penegasian hak-hak masyarakat adat inilah yang bakal menjadi titik
pangkal munculnya sentimen ‘anti negara’. Pada tingkat selanjutnya, sentimen itu
dapat saja berkembang menjadi kesadaran politik bersama di tingkat etnis.
Dengan kata lain, desa telah memiliki energinya sendiri, baik untuk
mempertahakankan kehidupannya, maupun untuk menciptakan masa depan yang
lebih sejahtera ketimbang masa kini. Termasuk di antara energi tersebut adalah
kemampuan mengelola sumber-sumber kehidupan yang lestari. Maka, penegasian
organisasi desa yang sejati dalam upaya menciptakan masa depan yang lebih
sejahtera, sebagaimana yang digaungkan dalam program “pembangunan” selama
ini, sama saja artinya dengan menghancurkan modal bagi “pembangunan” itu
sendiri.
Benarlah pendangan Prof. Soetandyo, bahwa “pembangunan” sebagai upaya
mengubah the old traditional societies (komunitas-komunitas Masyarakat Adat)
menjadi a new modern state (negara-bangsa I ndonesia) haruslah lebih berorientasi
pada upaya transformatif, dan bukan transplantatif, sebagaimana antara lain
dicitrakan oleh penerapan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sebab,
transplantasi yang bukan transformatif ini serta merta mensubordinasikan the old

societies itu ke bawah kontrol-kontrol the new state yang, dengan segala
tindakannya, cenderung (atau hampir selalu) bermuatan politik dan ekonomi dari
pada sosial dan kultural. Akibatnya, “pembangunan” yang hakekatnya untuk
menciptakan kehidupan (seluruh warga) menjadi lebih sejahtera berjalan tanpa

8

peduli pada dampak-dampak yang destruktif pada tatanan-tatanan sosial dan budaya
komunitas-komunitas lokal, khususnya komunitas-komunitas Masyarakat Adat 25.

Amanat Pendiri Republik
Pentingnya posisi komuniti dalam konteks hubungan negara – komuniti telah
menjadi amanat pendiri republik ( the founding fathers). Dengan mengetengahkan
amanat dimaksud, pembaca

tidak perlu merasa sedang digiring ke sesuatu yang

sudah final, dan karena itu, beku. Dengan meminjam ungkapan Asrul Sani dan
kawan-kawan

dalam

Manifesto

Kebudayaan

(1963),

tiap

generasi

tetaplah

merupakan pewaris sah republik ini dan karenanya, berhak menafsirkan dan
membentuk bangun dan wajah republik sesuai tantangan jaman yang dihadapinya.
Namun yang hendak diketengahkan di sini adalah: amanat pendiri republik tentulah
memiliki latar belakang dan kebijakannya sendiri. Karena itu, adalah tugas kita pula
untuk menemukan, mengkaji, dan mempertimbangkan butir-butir kebijakan tersebut,
agar keputusan kebangsaan apapun yang kita ambil tidak sekadar menanggapi
gejala, tapi esensi tantangan hidup bernegara itu sendiri.
Pendiri republik telah mengamatkan dalam pasal 18 UUD 1945 pengakuan
atas hak asal-usul desa. Pasal tersebut menyebutkan:

Pembagian daerah I ndonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Penjelasan bab tersebut, khususnya butir I I , menyatakan bahwa:

Dalam territoir I ndonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen
dan Volksgemeenschappen , seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau,
dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai
susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
istimewa" (garis bawah ditambahkan). ... Negara Republik I ndonesia
menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan

25

Wignjosoebroto (1996), ibid.

9

negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul
daerah tersebut 26.

Singkat

kata,

pegangan

dimaksud

mengamanatkan

pengakuan

dan

penghormatan atas desa yang memiliki hak asal-usul sebagai daerah istimewa.
Dengan menafsirkan pasal 1 UU 22/ 1948, The Liang Gie menyebutkan bahwa
sebagai daerah istimewa desa berhak “mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri” 27.
Setidak-tidaknya,

sejak

Proklamasi

Kemerdekaan

RI

hingga

sekarang,

terdapat 8 (delapan) perangkat peraturan-perundangan yang mengatur masalah
Pemerintahan (Daerah dan) Desa28. Jika ditilik dari ‘struktur dan isinya’, corak
Pemerintahan Desa sebelum berlakunya UUPD No. 5/ 1979 relatif tidak banyak
berubah dari keadaan ketika I GO ( I nlandsche Gemeente-ordonnantie) dan I GOB
( I nlandsche Gemeente-ordonnantie Buitengewesten ) berlaku. Kecuali itu, berbagai
peraturan-perundangan Nasional yang ada sebelum UUPD No. 5/ 1979 diundangkan
umumnya tidak sempat dijalankan, atau hanya diterapkan di wilayah yang relatif
terbatas. I ni terjadi sebagai konsekuensi keadaan politik dan ekonomi yang
‘bergejolak’ pada masa-masa itu29.
Satu tema yang menonjol dalam peraturan-perundangan tentang desa
sebelum pemberlakuan UU No. 5/ 1979 adalah diakuinya, atau setidaknya menjurus
ke arah, sifat otonom desa sebagaimana diatur dalam acuannya, yaitu Pasal 18 UUD

26

Kutipan-kutipan ini bersumber dari BP 7 Pusat, Undang-Undang Dasar: Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ketetapan MPR No. II/MPR/1978), Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan
MPR No. II/MPR/1988, Jakarta: BP 7 Pusat, 1991, Hal. 16. Lihat juga Zakaria, 2000, op.cit. Hal. 50
27
The Liang Gie. 1993. Pertumbuhan Pemerintahan Daerah Di Negara Republik Indonesia. Jilid I Edisi
kedua. Yogyakarta: Liberty. Hal. 98-9. Menurut Kartohadikoesoemo, mengatur dan mengurus rumah tangga
semata adalah gagasan otonomi menurut hukum Belanda; sementara, menurut hukum adat, otonomi mencakup
juga mengatur dan mengurus hubungan-hubungan keduniawian dan kerohanian warga. Hal yang disebut terakhir
ini juga terlihat dalam aturan-main adat desa Koto Depati, sebagaimana akan dibahas nanti. Lihat Soetardjo
Kartohadikoesoemo. 1984. Desa. Jakarta: Balai Pustaka. Hal 212.
28
Masing-masing adalah (1) UU No. 1/1945; (2) UU No. 22/1948; (3) UU No. 44/1950 (masa RIS cq. NIT); (4)
UU No. 1/1957; (5) Pen Pres No. 6/1959 jo Pen Pres No. 5/1960 jo Pen Pres No. 2/1961; (6) UU No. 18/1965 &
No. 19/1965; (7) UU No.5/1974 & No. 5/1979; dan UU No. 22/1999. Untuk penjelasan ringkasnya, silahkan
lihat R. Yando Zakaria (2000: op.cit).
29
Lihat Zakaria, 2000, op.cit., khususnya pada Bab 3.

10

1945. Keadaan berubah sedemikian rupa ketika UU No. 5/ 1974 dan UU No. 5/ 1979
diberlakukan. Meski ‘otonomi desa’ tetap juga disinggung -- setidak-tidaknya Pasal
18 UUD 1945 juga menjadi konsiderans – dalam UUPD No. 5/ 1979 desa tidak hanya
diubah statusnya dari “masyarakat hukum” menjadi “sekumpulan orang yang tinggal
bersama…..”, tapi di dalamnya juga dicangkokkan sebuah institusi baru, yaitu apa
yang disebut sebagai Pemerintahan Desa30. Demikianlah, maka UU 5/ 1979 telah
menjalankan suatu strategi baru dalam pengelolaan desa, yaitu strategi birokratisasi

desa.
Dengan strategi tersebut, sistem pengelolaan hidup bersama ( governance

system ) yang ada dalam desa, yang di dalamnya tercakup juga sistem pemerintahan
( government system), telah diganti sepenuhnya oleh suatu sistem Pemerintahan
Desa yang baru, yang sama sekali berbeda dan karenanya asing bagi warga Desa.
Padahal, sejatinya, ada perbedaan ‘rasa keadilan’ yang amat besar antara desa
sebagai suatu ‘persekutuan sosial’ dengan desa sebagai suatu ‘satuan administrasi
pemerintahan’.

Proses transplantasi di atas,

meminjam

perspektif

Soetandjo

Wignjosoebroto31, telah menimbulkan dampak yang tidak kecil, yaitu hancurnya
energi sosial kreatif 32 yang sejatinya diperlukan sebagai modal dasar

bagi

menjadinya Negara (Bangsa?) 33.
Sejauh ini masalah modernisasi desa – jika dapat dikatakan begitu – telah dan
akan menjadi salah satu titik tolak bagi berkembangnya sentimen anti-Negara
(sekaligus juga Bangsa) dan mendorong munculnya kesadaran politik di tingkat
suku-bangsa ( ethno-nationalism ). Sentimen ini, yang meningkat intensitasnya dalam
beberapa tahun terakhir, tentu saja mengancam integrasi Negara. Di masa-masa
30

Lebih lanjut periksalah Zakaria, 2000, ibid., khususnya Bab 3.
Soetandjo Wignjosoebroto. 1997. Komunitas Lokal versus Negara Bangsa: Perbedaan Persepsi dan
Konsepsi Tentang Makna Lingkungan. Makalah yang dipresentasikan dalam diskusi bertemakan “Hubungan
Negara - Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan” yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, Jakarta, tanggal 3 Juli .
32
Lihat Norman Uphoff. 1996. Learning From Gal Oya, Possibilities for Participatory Development and Post
Newtonian Social Science. London: Intermediate Technology Publications Ltd.
33
Dalam satu kesempatan Prof. Dr. Taufik Abdullah, sejarawan dan Ketua LIPI ketika itu, secara meyakinkan
mengatakan bahwa pemberlakuan UU No. 5/1979, yang telah menimbulkan dampak negatif yang tidak terhingga
itu, merupakan (salah satu, pen.) kesalahan sejarah Nasional terbesar yang pernah terjadi selama ini.

31

11

yang akan datang, jika akar sentimen ini tidak dapat dicarikan solusinya secara tepat
dan cepat, bukan tidak mungkin ethno-nationalism itu akan makin membesar lagi34.
Era ‘reformasi’ yang bergulir sejak tahun 1998 lalu seolah memberikan
harapan

baru,

melalui

pemberlakuan

Undang-Undang

No.

22/ 1999

tentang

Pemerintahan Daerah (seterusnya disingkat UU 22/ 1999) 35. Berbeda dengan UU No.
5/ 1979, pemberlakuan UU ini telah mengembalikan ‘status’ desa dalam sistem
administrasi

Pemerintahan

Nasional:

desa

kembali

diakui

sebagai

kesatuan

masyarakat hukum 36. Bahkan, soal inipun mendapat perhatian dalam proses
amandemen UUD 45 pasca Pemilu 1999. Soalnya kemudian, apakah dengan kedua
kebijakan ini kedudukan desa dan atau komuniti itu semakin kuat dari masa-masa
sebelumnya?
Nyatanya, pasal-pasal hasil amandemen tersebut, khususnya pasal 18 B (1) dan
(2) UUD 1945, menyebutkan:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah
yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik I ndonesia,
yang diatur dalam undang-undang.
Dengan rumusan di atas, maka bagi desa konsep “hak-hak asal-usul” dan
konsep “daerah (yang bersifat) istimewa” telah dengan sadar direduksi. Pengakuan
34

Zakaria, 2000, op.cit. Tentu saja kami tidak akan menangisi jika disintegrasi itu benar-benar terwujud (lihat
pandangan kami tentang hal ini pada bagian Penutup). Hanya saja, jika itu terjadi dalam situasi dimana ‘negara
adalah sesuatu yang sakral’, disintegrasi itu tentunya akan disertai chaos yang menuntut korban nyawa, dan
harta-benda, dan akan merupakan tragedi kemanusiaan yang tak terperi. Hal yang demikian itulah yang sama
sekali tidak kami inginkan. Lihat juga R. Yando Zakaria, “Mewujudkan Otonomi Desa, Menunggu Godot?”,
Makalah yang disiapkan sebagai bahan Pengantar Sarasehan “Pembaruan Desa Sebagai Upaya Penataan Ulang
Relasi Negara dan Masyarakat Adat”. Diselenggarakan dalam rangka Kongres Masyarakat Adat II, oleh Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara & KARSA, tgl. 19 – 26 September 2003, di Desa Tanjung, Kabupaten Lombok
Barat, Nusa Tenggara Barat.
35
Perlu disampaikan di sini, sependek pengalaman saya (RYZ), setidaknya ada 7 (sembilan) pertemuan, besar
dan kecil, termasuk Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (1999) yang membicarakan RUU tentang
Pemerintahan Daerah yang baru itu. Dalam setiap pertemuan yang kebteulan saya hadiri itu, kesimpulan
pokoknya, RUU itu harus ditolak, dengan berbagai argument yang menyertainya. Salah satu argument yang terus
mengemuka adalah lemahnya pengaturan otonomi desa dalam RUU dimaksud.
36
Dalam UU No. 5/1979 desa didefinisikan sebagai “suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk
sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah Camat … “ (Pasal 1 butir a) (cetak miring ditambahkan).

12

dan penghormatan terhadap sifat istimewa satuan-satuan pemerintahan daerah yang
disebutkan dalam ayat (1) tidaklah mengenai desa, karena pasal 18B (1) hanya
mengenal provinsi, kabupaten dan kota sebagai pemerintahan daerah. Dengan
rumusan yang demikian, maka penggunaan frasa “…sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat…”

sebagai alasan pengakuan dan

penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat mengindikasikan terbatasnya
pemahaman historis perumus amandemen UUD tersebut. Pelemahan institusi adat
yang berlangsung secara kasat mata sekurang-kurangnya sejak pemberlakuan UU
5/ 1979 – yang notabene telah diakui sebagai “…tidak sesuai dengan jiwa UndangUndang Dasar 1945” (lihat UU 22/ 1999, Menimbang butir e )-- bukannya dikuatkan
kembali keberdayaan institusionalnya, namun justru semakin dilemahkan atas nama
“perkembangan masyarakat”. Secara keseluruhan, berbagai bagian pasal 18B hasil
amandemen tersebut telah mendapat kritik tajam dari para pakar dan kalangan
aktivis LSM37.
Amanat pendiri republik tentang perlunya mengakui dan menghormati desa
yang memiliki hak asal-usul sebagai daerah istimewa sesungguhnya berangkat dari
landasan yang kokoh. Kesaksian Furnivall pada awal abad 20 menunjukkan bahwa:
”... Netherlands I ndia as an example of a plural society; a society that is comprising

two or more elements or social orders which live side by side, yet w ithout

mingling, in one political unit ”

38

(penekanan oleh penulis). I mplikasi hal di atas,

masyarakat Nusantara tidak dapat begitu saja dilebur menjadi satu unit politik, baik
kabupaten, provinsi, maupun negara, tanpa mengindahkan keunikan dan otonomi
unit-unit komuniti dimaksud.
Namun, apakah tidak terjadi “perkembangan masyarakat”, sebagaimana klaim
perumus amandemen konstitusi di atas? Sampai tingkat tertentu, seperti pencapaian

37

Lihat, misalnya: Bhenyamin Hoessein. 2001. “Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah
dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara”. Dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan IX (2). Lihat juga R.
Yando Zakaria, “Kita Butuh Undang-Undang tentang Otonomi Desa dan/atau Keberadaan Masyarakat
Adat!”, tulisan yang dipersiapkan untuk kalangan gerakan pendukung penegakan hak-hak masyarakat adat pada
milis [email protected], tanggal 2 Februari 2004.
38
J.S. Furnivall. 1976 [1944]

13

pendidikan formal, gaya hidup, dan sebagainya, tentu saja terjadi perubahan
signifikan dalam masyarakat, terlebih pada masyarakat perkotaan. Namun telaah
mendalam menunjukkan, unsur-unsur pokok penopang hidup bersama, seperti rasa
saling percaya, interaksi produktif antarkomuniti, tampaknya belum berubah jauh.
Penelitian Erwin Fahmi di Jambi dan R.Yando Zakaria di Flores hampir 100 tahun
setelah observasi Furnivall, sekedar menyebut contoh, menunjukkan hal yang kurang
lebih sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih buruk39. Di berbagai desa yang diamati,
kecenderungan terbatasnya interaksi antarkampung, bahkan juga antarsuku dalam
satu kampung (Flores), tidaklah membaik -- di Flores, bahkan lebih cenderung terus
memburuk. Pemberlakuan UU 5/ 1979 telah berperan penting menghancurkan ikatanikatan antar- dan di dalam komuniti itu (Zakaria, 2000) 40. Namun sulit pula diingkari,
bahwa ikatan-ikatan dimaksud, khususnya antarkomuniti, tampaknya memang tidak
pernah sepenuhnya kokoh.

Pelajaran dari Desa Koto Depati
Apakah sistem pemerintahan adat demikian buruknya, sehingga layak direduksi
seperti dalam rumusan UUD hasil amandemen, ataupun UU 22/ 1999? Penelitian
Erwin Fahmi (2002) menunjukkan bahwa dibandingkan administrasi negara modern,
administrasi publik yang dijalankan di -- sebut saja -- desa Koto Depati di dataran
tinggi Jambi menunjukkan sekurang-kurangnya empat mekanisme institusional yang
menjadikannya secara normatif kokoh sebagai sebuah institusi pengaturan dan
pengurusan. Mekanisme-mekanisme dimaksud adalah: a) mekanisme insentif dan
dis-insentif; b) mekanisme pemantauan bersifat melekat, disertai sanksi berjenjang;
39

Erwin Fahmi. 2001. Alah Ikat Kerno Buatan, Alah Sko Kerno Mupakat: Dinamika Kapasitas LOkal Di Jambi.
Draft laporan akhir penelitian Local Level Institutions 2. Jakarta: Bank Dunia (tidak diterbitkan); R. Yando
Zakaria, “Dinamika Kapasitas Lokal di Negeri Bersuku-suku, Pelajaran dari Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara
Timur”. Dalam Winarno Yudho, et.al., (ed.). 2002. Sosok Guru dan Ilmuwan yang Kritis dan Konsisten:
Kumpulan Tulisan Peringatan 70 tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto. Jakarta: HUMA, WALHI, dan
ELSAM; dan “Catatan Atas Konflik Tanah di Negeri Bersuku-suku”, dalam Anu Lounela & R. Yando
Zakaria (ed.). 2002. Berebut Tanah, Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta:
INSIST Press, bekerjasama dengan Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) dan Jurnal
Antropologi Indonesia.
40
Lihat Zakaria. 2000. op.cit.

14

c) mekanisme pembaharuan aturan-main; dan d) mekanisme checks and balances
dalam sistem pemerintahan. Berikut bahasan rinci keempat mekanisme dimaksud.

A. Mekanisme insentif dan disinsentif
Mekanisme insentif adalah mekanisme untuk mendorong warga dan pendatang
yang hendak menetap, atau tinggal sementara di desa tersebut, memenuhi hal yang
diinginkan bersama. Hal sebaliknya untuk mekanisme disinsentif. Salah satu
instrumen insentif dimaksud adalah ketentuan yang menyatakan bahwa hanya
penduduk yang telah diterima secara adat yang dapat memiliki tanah adat milik
desa. Dengan menjadi warga adat, maka seseorang akan memiliki hak penuh, selain
kewajiban, sebagai warga yang mendiami wilayah desa Koto Depati.
I nstrumen disinsentif dalam ketentuan yang sama adalah pemberian sanksi,
berupa denda, bagi setiap pelanggar aturan-main. Seperti ditunjukkan pada berbagai
kasus, ancaman sanksi berlaku bagi setiap warga, baik warga biasa maupun tokoh.
Bahkan, bagi warga ‘asli’, sanksi adat berupa denda tidak hanya mengimplikasikan
kerugian material, namun yang lebih penting adalah timbulnya rasa malu. Dalam
konteks ini, rasa malu dapat ditafsirkan sebagai runtuhnya kredibilitas terhukum di
mata anggota jaringannya, selain di depan warga komuniti umumnya.

B. Mekanisme pemantauan dan sanksi berjenjang
Efektivitas

insentif



disinsentif

dipengaruhi

oleh

adanya

mekanisme

pemantauan dan sanksi berjenjang. Pemantauan pelaksanaan aturan-main adat
adalah tugas bersama warga secara individu, keluarga, dan lintas-keluarga, selain
secara formal oleh Pemimpin adat ( Depati Gento Rajo, atau DGR) beserta
perangkatnya. Perangkat dimaksud, misalnya, adalah dubalang (polisi desa).
Pemantauan adalah tugas yang melekat dengan perhatian, sekaligus kendali,
seorang warga atas perilaku warga lainnya demi menjamin keselamatan dan
kelangsungan hidup bersama. Pelanggaran yang terpantau dapat diadukan ke aparat
adat dan ditangani secara berjenjang.

15

Sanksi

atas

pelanggaran

aturan-main

adat

berjenjang

sesuai

tingkat

kesalahannya. Pelanggaran ringan diancam denda “beras segantang ayam seekor”;
sementara, untuk pelanggaran berat, “beras dua puluh kambing seekor; kambingnya
kambing tinggi”. Berat–ringannya suatu pelanggaran tidaklah ditentukan oleh
kerugian materi yang diakibatkannya, melainkan pada sifat pelanggaran. Mencuri,
“meski hanya sebatang jarum”, adalah pelanggaran yang termasuk kategori berat;
demikian pula dengan mengganggu istri orang. Sementara, lalai bersembahyang
Jum’at termasuk kategori pelanggaran ringan. Di luar kategori di atas, ancaman
sanksi adat terberat sesungguhnya adalah pengusiran, atau dikeluarkan, dari adat.
Hukuman tersebut dijatuhkan jika terhukum tidak mau menerima sanksi adat,
namun juga tidak mengajukan banding atas putusan yang dijatuhkan ke jenjang
yang lebih tinggi. Hukuman tersebut tidak masuk dalam kategorisasi di atas karena
terhukum tidak lagi berada di dalam lingkungan adat, atau bukan lagi bersifat
pemulihan.

C. Mekanisme pembaharuan aturan-main
Mekanisme pembaharuan aturan-main berperan menjadikan pengaturan dan
pengurusan-sendiri

tersebut

tetap

relevan

dengan

perkembangan

keadaan.

Mekanisme pembaharuan aturan-main terpenting di desa Koto Depati adalah Rapat
Pangkal Tahun. Penopang berjalannya mekanisme tersebut adalah keterbukaan
untuk menerima, menafsirkan dan mereproduksi aturan-main negara, pasar, atau
lainnya, atau aturan yang berasal dari tempat lain, pada konteks lokal, baik di tingkat
warga maupun di tingkat pemerintahan desa.
Aturan-main adat di desa Koto Depati, atau hukum DGR, bersifat tertulis dan
tidak-tertulis. Aturan-main tertulis merupakan hasil perumusan Rapat Pangkal Tahun.
Rapat Pangkal Tahun, yang diikuti oleh berbagai kategori pemuka warga, merupakan
forum untuk mengkaji memadai-tidaknya aturan-main tertulis yang ada untuk
menjawab tantangan persoalan yang dihadapi. Rapat

Pangkal Tahun dapat

merumuskan aturan-main tertulis baru, baik yang sifatnya menguatkan, melengkapi

16

maupun menggantikan butir tertentu dalam aturan-main tertulis sebelumnya. Pijakan
nilai aturan-main tertulis adalah aturan-main tidak-tertulis. Hasil Rapat Pangkal
Tahun selanjutnya disosialisasikan ke seluruh warga adat pada Kenduri Makan
Jantung, yang diselenggarakan beberapa hari setelah Rapat Pangkal Tahun. Selain
pokok bahasan tersebut, Rapat Pangkal Tahun juga membahas rencana kerja
bersama untuk satu tahun ke depan.
Pada situasi yang lain, produksi/ reproduksi aturan-main dapat terjadi lebih
dahulu di tingkat warga. Dalam hal tersebut, penerimaan aturan-main melalui Rapat
Pangkal Tahun merupakan formalisasi proses yang telah berlangsung di tingkat
warga. Salah satu contohnya adalah reproduksi institusi anak ladang – induk semang
(AL-I S). I nstitusi yang berkembang paling kurang sejak 1980-an dan meluas
diterapkan sejak derasnya arus pendatang yang masuk untuk tujuan bekerja di
ladang, baru diatur secara formal dalam aturan-main tertulis tahun 1999, yang
ditegaskan kembali tahun 2000. Salah satu indikasi kemampuan memperbaharui
aturan-main di tingkat warga adalah munculnya tiga generasi perjanjian kerjasama
(kontrak) antara anak ladang dan induk semang.
Kemampuan memperbaharui aturan-main, baik di tingkat pemerintahan desa
maupun

di

tingkat

warga,

selain

kemampuan

melaksanakan

aturan-main

sebagaimana mestinya, mencerminkan relatif kuatnya landasan untuk aksi bersama
( collective action ) di kalangan warga. Landasan dimaksud adalah rasa saling percaya
( trust) antarwarga dan antara warga dan pemukanya, selain adanya nilai-nilai yang
dipatuhi bersama ( shared beliefs). Dengan landasan yang demikian, kemungkinan
untuk mengembangkan lebih jauh aksi bersama atau aturan-main, juga terbuka.

D. Mekanisme checks and balances dalam sistem pemerintahan
Mekanisme checks and balances dalam sistem pemerintahan merupakan
prasyarat

bagi berkembangnya kemampuan

mengatur

dan

mengurus-sendiri.

Mekanisme ini memungkinkan terjadinya akuntabilitas pelaksana fungsi-fungsi
eksekutif terhadap legislatif atau yudikatif, dan sebaliknya, serta pelaksana ketiga

17

fungsi tersebut secara langsung terhadap warga. Dikaitkan dengan salah satu
landasan aksi bersama, yaitu rasa saling percaya, mudah dipahami bahwa hanya
dengan terpeliharanya akuntabilitas maka rasa saling percaya dapat tumbuh,
terpelihara dan/ atau dikuatkan.
Sebelum

pemeriksaan

dimulai,

patut

dikemukakan

terlebih

dahulu

sifat

pelaksana fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif di desa Koto Depati. Pelaksana
fungsi eksekutif (DGR), legislatif (peserta Rapat Pangkal Tahun) dan fungsi yudikatif
(depati, anak jantan-anak betino, dubalang , pegawai syarak, nenek-mamak , dan

orang tuo cerdik pandai, yang terlibat dalam peradilan adat) bukanlah pihak-pihak
yang sepenuhnya terpisah sebagaimana dimaksudkan oleh penganjur trias politica,
Montesquieu 41. Selain terpisah pada situasi tertentu, seperti imparsialitas peradilan
adat ketika mengadili pemangku jabatan adat tertentu, ketiga pelaksana fungsi
tersebut juga bersatu dalam forum Rapat Pangkal Tahun. Sifat pelaksana fungsifungsi pemerintahan desa yang demikian juga ditemukan oleh Kartohadikoesoemo di
berbagai desa lain di Nusantara. Menurutnya42, penyatuan tersebut dimaksudkan
untuk “memelihara kesatuan dalam pemerintahan”.
Pemeriksaan terhadap mekanisme tersebut dalam pengaturan dan pengurusansendiri di desa Koto Depati menunjukkan bahwa akuntabilitas antarpelaksana fungsi
eksekutif, legislatif dan yudikatif dan antara pelaksana fungsi tersebut dengan warga
terjadi secara berlapis. Pada lapis pertama adalah berjalannya mekanisme (yang
mungkin dapat disebut) per w alian. Berbeda dengan mekanisme per w akilan yang
luas diterapkan dalam sistem demokrasi perwakilan ( representative democracy ) 43,
mekanisme perwalian mengandaikan wali berbicara atas nama diri dan orang-orang
yang menjadi tanggungannya44. Tanggungan yang dimaksud terutama dalam
41

Arief Budiman. 1997. Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hal. 35-6
42
Kartohadikoesoemo, op.cit., Hal. 209.
43
Robert Paul Wolff. 1970. In Defense of Anarchism. New York: Harper Torchbooks. Hal. 27-34
44
Penerapan populer konsep wali terdapat di lingkungan sekolah. Wali kelas atau wali murid adalah orang-orang
yang berbicara atas nama kelas atau murid, namun ia bukan wakil murid. Keterikatannya terhadap kelas atau
murid terjadi karena kelas atau murid tersebut merupakan tanggungannya. Salah satu keunggulan konsep
perwalian dibandingkan konsep perwakilan dilihat dari perspektif analisis institusional adalah kemampuannya

18

pengertian sosial dan moral, walau tidak tertutup kemungkinan juga dalam
pengertian ekonomi. Seorang tengganai, misalnya, adalah wali keluarga yang
bertanggungjawab atas perilaku anak-kemenakan, atau anak angkatnya dalam kasus
pendatang, di depan masyarakat adat. Sebaliknya, ia juga bertanggungjawab
memperjuangkan

aspirasi

atau

kepentingan

orang-orang

yang

menjadi

tanggungannya dalam sengketa atau proses-proses pengambilan keputusan di
tingkat komuniti. Demikian pula, seorang pemuka warga yang terlibat dalam
pengambilan keputusan di tingkat desa adalah wali bagi keluarga besarnya ( kalbu) .
Sebaliknya, keputusan yang diambil di tingkat komuniti akan kembali disosialisasikan
dan dipertanggungjawabkan oleh wali kepada kalbunya, selain kepada warga secara
luas melalui berbagai jaringan yang mengikatnya. Demikianlah, maka pada lapis
pertama ini, berlangsung akuntabilitas pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan kepada
warga, melalui masing-masing walinya.
Pada lapis kedua, akuntabilitas pelaksana fungsi-fungsi eksekutif, legislatif dan
yudikatif

juga terjadi dalam

pelaksanaan tugas sehari-hari.

Fungsi legislatif

memberikan pertanggungjawaban, misalnya dalam forum Kenduri Makan Jantung.
Kenduri tersebut adalah forum seluruh warga. Pada saat kenduri, berbagai
keputusan yang dihasilkan Rapat Pangkal Tahun disosialisasikan kepada warga.
Keberatan, jika ada, secara normatif dapat disampaikan saat itu juga. Walaupun
keberatan tersebut mungkin tidak dapat mengubah keputusan yang telah diambil,
namun

dapat

menjadi

pertimbangan

dalam

proses

pengambilan

keputusan

selanjutnya.
Hal yang sama terjadi pula pada pelaksana fungsi eksekutif. Salah satu forum
yang rutin berlangsung adalah penyampaian pengumuman di luar mesjid pada setiap
selesai sembahyang Jum’at. Pada forum tersebut, depati / kepala dusun, Kepala desa
atau DGR biasanya menyampaikan hal-hal yang dianggap perlu diketahui oleh
warganya. Sebaliknya, wargapun dapat meminta klarifikasi, atau mempertanyakan
menjawab persoalan prinsipal – agensi, khususnya akibat penguasaan informasi secara asymmetris. Lihat: Arun
Agrawal. 1997. ”Shepherds and Their Leaders among the Raikas of India: a principal – agency perspective”.
Dalam Journal of Theoretical Politics 9 (1): 235-263.

19

kebijakan tertentu, misalnya kebijakan yang teridentifikasi belum berjalan. Dengan
mekanisme tersebut, maka warga sekurang-kurangnya memperoleh indikasi hal-hal
yang menjadi perhatian atau komitmen kepala dusun, kepala desa atau DGR, dan
sebaliknya.
Berkenaan

dengan

fungsi

yudikatif,

bentuk

pertanggungjawaban

secara

prosedural antara lain berupa hak salah satu atau para pihak untuk menyampaikan
keberatan terhadap putusan yang dijatuhkan. Pada kasus yang melibatkan tokoh,
dengan kemungkinan terpengaruhnya majelis yang mengadili oleh reputasi pihakpihak yang bersengketa, terbuka peluang untuk mengundang hakim dari desa-desa
tetangga.
Akuntabilitas antarpelaksana tugas dicapai terutama melalui forum Rapat
Pangkal Tahun. Pada forum tersebut, seluruh pelaksana fungsi-fungsi di atas
bertemu

untuk

mengkaji

aturan-main

lama,

tantangan

yang

dihadapi,

dan

merumuskan aturan-main baru. Tantangan dapat berasal dari persoalan yang
mencuat di tengah warga, dari kasus sengketa dan pelanggaran yang ditangani, atau
dari persoalan yang diantisipasi. Pada kesempatan tersebut, pelaksana fungsi DGR
juga dapat dimintakan pertanggungjawabannya dalam pelaksanaan tugas-tugas
tertentu. Karena hal tersebut, forum Rapat Pangkal Tahun acapkali digunakan
seorang pejabat DGR untuk mengakhiri jabatannya, apabila merasa tidak lagi
mampu mengemban tugas.
Bahasan terakhir ini kiranya mengkonfirmasi bahwa meskipun mulai berubah,
khususnya di hadapan tantangan Negara dan pasar, akar-akar sistem pemerintahan

desa masih terbaca. Akar-akar ini dapat menjadi modal untuk menyambung kembali
perhubungan antarwarga komuniti, dan akhirnya, mengokohkan kembali otonomi
desa, sebagaimana amanat pendiri republik.

20

Pembandingan Pengaturan dan Pengurusan-sendiri Di Desa Koto Depati dan Administrasi
Negara
Unsur
Administrasi
Publik
Bidang-kelola

Pengaturan dan PengurusanSendiri

Administrasi Negara

Seluruh
kategori
barang/ jasa,
terutama barang/ jasa publik dan CPR.
Barang/ jasa privat dan toll goods juga
diatur sejauh pemanfaatan atau
pengelolaannya berkaitan dengan
kepentingan hidup bersama.

Barang/ jasa
publik
dan
CPR.
Catatan: walau berbeda dengan
teks
(lihat:
Ostrom
1989),
pengaturan
pemanfaatan
barang/ jasa privat, seperti rumah,
dan toll goods, juga terjadi jika
pemanfaatan tersebut berkaitan
dengan hajat hidup orang banyak.

Wujud
Organisasional

Forum Rapat Pangkal Tahun sebagai
forum
pengambilan
keputusan
tertinggi merupakan bagian dari
musyawarah
warga.
DGR
dan
aparatnya sebagai pelaksana formal
(eksekutif), bersifat kolegial. Setiap
warga dapat dipilih menjadi DGR atau
aparatnya. Warga terlibat dalam
proses pengaturan dan pengurusan.

Keputusan politik pemerintahan
diambil oleh forum politik (MPR dan
DPR/ Pemerintah) yang terpisah dari
administrasi pemerintah. Pelaksana
kebijakan: birokrasi pemerintah,
dengan ciri-ciri organisasi hirarkis,
di bawah satu komando, dan
aparatur
yang
terlatih
/
terspesialisasi.

Nilai-nilai
yang
Dimaksimalka
n

Secara horizontal, keselarasan hidup
bersama
dan
secara
vertikal,
keselarasan antara manusia dan
Tuhan, yang disimbolisasikan sebagai
“hukum alam”

Efisiensi, ekonomis dan efektif
dalam penyediaan layanan publik
(disarankan
pemikir
model
birokratik klasik); serta adil ( equity,
disarankan oleh pemikir new public
administration )

Aturan-main
yang
Mendasari

Hukum adapt, berupa: “adat yang
sebenar-benar
adat,
adat
yang
diadatkan,
dan
adat
yang
diperadatkan”, yang tercermin dalam
aturan-main tidak tertulis dan tertulis

Konstitusi
dan
perundangan
di
kebijakan politik.

peraturanbawahnya;

Sumber : Erwin Fahmi (2002: 188)

Penutup
Diskusi di atas kiranya telah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
di awal tulisan. Prinsip demokrasi tidaklah cukup dimaknai sebagai adanya partai
politik, pemilu berkala, dan berlangsungnya sirkulasi pemerintahan. Hal yang juga
penting, kalau bukan yang terpenting, adalah bagaimana kedudukan warga negara,

21

dan komuniti, vis a vis negara dalam menjawab tantangan kehidupan sehari-hari.
Beberapa butir penting yang hendak digarisbawahi dari bahasan di atas adalah:
1. Komuniti perlu, dan mampu, mengatur dan mengurus-dirinya sendiri. Kontrak
sosial antara negara dan warganya – yang mengelompokkan diri dalam komuniti
-- tidak menafikan kewenang