Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Libe

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian melalui Kepemimpinan dalam
Kelompok Negara Berkembang G33 di dalam WTO
Oleh
Probo Darono Yakti*
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
Surabaya
Abstraksi
WTO menjadi rezim perdagangan internasional baru setelah GATT, yang mengatur segala hal yang berkaitan
dengan perdagangan internasional mencakup hingga ke hak kekayaan intelektual dalam persaingan industri
dan perdagangan. Jika tarik kembali pada tahun 2001, yakni kesepakatan Doha, di dalamnya terbentuk
serangkaian peraturan yang secara khusus mengatur perdagangan produk-produk agraria. Dari sini dapat
dikaitkan dengan keberadaan salah satu negara yang merupakan penghasil produk-produk pertanian yakni
Indonesia. Peraturan-peraturan ini meski juga atas andil dari Indonesia, namun membuat Indonesia berada di
posisi yang rawan dalam menjaga konsekuensi produknya di pasar internasional. Sehingga Indonesia harus
mencari celah dalam memperjuangkan kepentingannya di bidang pertanian. Nasib petani yang belum sejahtera
dihadapkan dengan realita bahwa produk-produk agraria dalam negeri yang seharusnya dapat diekspor pada
akhirnya harus mengalah dengan produk-produk impor yang membanjiri Indonesia. Upaya-upaya yang
dilakukan dalam WTO adalah seperti bergabung dalam kelompok negara-negara berkembang yang sama-sama
memperjuangkan kebijakan proteksionisme terhadap hasil pertanian mereka, agar akses pasar pertanian dapat

dilindungi.
Teori Kepemimpinan dalam Organisasi Internasional
Secara umum kepemimpinan lebih merupakan konsep yang berdasarkan pengalaman. Arti kata-kata ketua atau
raja yang dapat ditemukan dalam beberapa bahasa hanyalah untuk menunjukkan adanya diferensiasi antara
kelas-kelas dalam masyarakat. Mengingat terdapat banyak konsep definisi kepemimpinan yang berbeda, maka
penulis mengacu pada tulisan Joseph C. Rost (1993) bahwa kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling
memengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang
mencerminkan tujuan bersamanya. Dari teori ini penulis dapat mengelaborasikannya dalam sebuah ilustrasi.
Bahwa pemimpin bertujuan mengumpulkan dan menyamakan kepentingan atau persepsi bersama anggotaanggota yang lain, kemudian berbekal tanggung jawab, niat dan kepercayaan dari elemen yang lain terciptalah
perubahan yang diinginkan bersama anggota-anggota yang lain. Lebih lengkapnya dapat diperhatikan diagram 1
di bawah ini:

1

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian
melalui Kepemimpinan dalam Kelomp ok G33 di dalam WTO | 2

Niat

Tanggung

Jawab

Kepercaya
an dari
Anggota
Lain

Pemimp
in

Tujuan
Bersama

Kepenting
an

Ilustrasi 1: Pemimpin sebagai satu sarana untuk mengakomodasi kepentingan untuk mencapai
tujuan bersama

Kepemimpinan negara tertentu dalam organisasi internasional krusial keberadaannya. Karena pada dasarnya

dunia bergantung pada organisasi-organisasi ini untuk memudahkan kerja sama. Kerja sama yang telah di
koordinir oleh hadirnya sekelompok negara ataupun individu yang memiliki otoritas yang sudah diatur dalam
ketentuan yang tertulis dalam peraturan organisasi internasional menghasilkan beberapa keuntungan. Seperti
penjajakan yang lebih mudah, Agar efektif, tidak hanya kepemimpinan yang diperlukan. Melainkan
kepemerintahan yang efektif. Jika dua hal ini dilakukan secara bersamaan, maka satu negara dapat mencapai
tujuannya dengan mudah. Kerangka inilah yang sering digunakan oleh negara-negara besar seperti Amerika
Serikat, Rusia, Jerman, dan Tiongkok dalam kepemimpinannya di dalam organisasi-organisasi yang lain seperti
G7, G8, G20, CIS, Uni Eropa, dan lain-lainnya.
Pemimpin memengaruhi lembaga mereka operasional dan arah strategisnya. Pemimpin organisasi internasional
bekerja dengan negara-negara anggota lainnya untuk mengidentifikasi prioritas dan mengatur strategi, dan
menerjemahkannya menjadi tujuan operasional, yang pada gilirannya dipantau dan dievaluasi kemajuan yang
dibuat terhadap mereka. Pemimpin mengarahkan birokrasi dan melihat bahwa staf-staf memiliki kemampuan
yang mumpuni dalam bernegosiasi untuk melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan. Sebuah negara yang
ditunjuk menjadi pemimpin atau koordinator juga harus berkonsultasi dan bekerja dengan para pemangku
kepentingan lainnya (WEF, 2015:6).
Menurut Global Agenda Council on Institutional Governance Systems WEF (2015:7), ada lima indikator yang
digunakan dalam mengatur standar keberhasilan kepemimpinan di institusi internasional: (1) Selecting and reelecting leadership on merit; (2) Managing performance; (3) Setting and evaluating ethical standards; (4)

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian
melalui Kepemimpinan dalam Kelomp ok G33 di dalam WTO | 3


Developing and retaining talent; (5) Setting strategic priorities; (6) Engaging with a wide range of
stakeholders; (7) Evaluating independently and effectively. Dari kriteria-kriteria inilah kemudian kepemimpinan
diukur dalam taraf-taraf yang formal. Namun sebenarnya masih banyak lagi aspek yang perlu diperhatikan
dalam menilai kriteria pemimpin. Dalam kerangka ini juga semakin terlihat bahwa dewasa ini dunia memiliki
banyak organisasi internasional yang masing-masing memiliki tujuan tersendiri dalam menaungi kepentingankepentingan yang berbeda. Kepemimpinan di organisasi-organisasi ini relatif terhadap bentuk dan aturan yang
terdapat di dalam masing-masing institusinya.
WTO, Putaran Doha 2001, dan Pilar-Pilar Pertanian
Perdagangan internasional yang menandakan bahwa perdagangan tidak hanya membahas mengenai
ihwal domestik saja, namun dengan datangnya era yang dinamakan globalisasi, membuat daya saing semakin
mengarah menuju ke arah pasar global yang bersifat liberal. Semua perusahaan multinasional juga bergerak ke
arah luar untuk semakin mencaplok pasar luar negeri, dengan cakupan yang semakin luas. Inilah yang dirasakan
oleh hampir semua negara di dunia saat ini. World Trade Organization (WTO) didirikan pada 1 Januari 1995,
oleh 123 negara yang menjadi peserta Uruguay Round di tahun 1986 hingga 1994. Pengusungan WTO ini
diiringi dengan penyesuaian pada GATT yang telah usang, dan membuat aturan-aturan yang baru dan relevan
dengan kondisi perdagangan dunia saat ini. Karena pada dasarnya pembentukan WTO yang memiliki prinsip
dasar, norma, aturan formal, serta proses pengambilan keputusan yang jelas menggantikan posisi GATT. Teori
fungsional ini sejalan dengan pendapat John Gerrard Rugie (1975 dalam Young, 1982), bahwa kultur
perdagangan internasional telah menjadi institusi dan membentuk lembaga fasilitator permanen dengan proses
pendirian melalui negosiasi dan kesepakatan secara sadar dan eksplisit.

Sejak terbentuknya WTO awal tahun 1995 telah diselenggarakan lima kali Konperensi Tingkat Menteri
(KTM) yang merupakan forum pengambil kebijakan tertinggi dalam WTO. KTM-WTO pertama kali
diselenggarakan di Singapura tahun 1996, kedua di Jenewa tahun 1998, ketiga di Seatlle tahun 1999 dan KTM
keempat di Doha, Qatar tahun 2001. Sementara itu KTM kelima diselenggarakan di Cancun, Mexico tahun
2003 (Kemendag RI, 2012). Dalam kaitannya dengan membahas pertanian, WTO membuat serangkaian
peraturan dalam Doha Round atau Putaran Doha di tahun 2001. Di dalamnya mengandung kesepakatan yang
disahkan untuk mengatur jalannya roda perdagangan produk-produk agraria. Sebelumnya sektor pertanian
menjadi satu sektor yang tidak luput untuk masuk ke dalam pembahasan WTO, karena 75% produk negara
berkembang mengandalkan hasil produksi pertanian. Sebelumnya di dalam GATT telah disahkan hasil Putaran
Uruguay (Uruguay Round) pada tanggal 15 Desember 1993. Perundingan di bidang pertanian di dalam GATT
meliputi tiga pilar utama: a). subsidi/bantuan domestik (domestic support), b). promosi/subsidi ekspor (export
promotion/subsidy), c). akses pasar (market access) (Pranolo, 2000; Achterbosch, et.al. 2004: 99-101). Putaran
Doha menyerukan perjanjian akhir untuk melakukan perbaikan substansial dalam akses pasar; pengurangan

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian
melalui Kepemimpinan dalam Kelomp ok G33 di dalam WTO | 4

(dan eliminasi besar-besaran) segala bentuk subsidi ekspor; dan pengurangan substansial dalam mendukung
perdagangan tanpa distorsi (WTO).
Dalam poin terakhir yakni akses pasar, dijelaskan bahwa negara-negara berkembang akan dapat

menunjuk sejumlah produk sebagai "produk khusus," berdasarkan kriteria "keamanan pangan, keamanan mata
pencaharian, dan kebutuhan pembangunan pedesaan." Produk-produk khusus akan memenuhi syarat untuk
perawatan yang lebih fleksibel dalam hal akses pasar. Sebuah Special Safeguard Mechanism (SSM) akan
dibentuk untuk negara-negara berkembang, sementara Special Safeguard (SSG) untuk melindungi sektor
pertanian domestik jika terjadi serbuan produk impor atau jatuhnya harga secara signifikan bagi negara maju
maupun berkembang. (sebagai saat yang diatur dalam Perjanjian Putaran Uruguay) masih berada di bawah
negosiasi (Hanrahan, 2005:4). Inilah yang menjamin bahwa negara-negara berkembang memiliki tempat
bersaing dengan mendapat jaminan SSG sebagai alat yang akan memungkinkan negara-negara berkembang
untuk menaikkan tarif sementara untuk menangani lonjakan impor atau penurunan harga (WTO, 2015).
Perlu dicatat bahwa nantinya SSG ini yang memengaruhi negara-negara berkembang seperti Indonesia
yang notabene memiliki kekhawatiran besar bahwa produk-produk agrarianya dapat diterima di pasar
internasional. Berdasarkan Agreement on Agriculture (AoA) yang dihasilkan pada Putaran Uruguay terdapat 39
anggota yang mendapatkan hak untuk menerapkan SSG, yakni terdiri dari 9 negara maju, 24 negara
berkembang dan 6 negara transisi. Secara detail nama negara dan jumlah produk (tariff lines) yang dapat
menggunakan SSG adalah: Australia (10), Barbados (37), Botswana (161), Bulgaria (21), Canada (150),
Colombia (56), Costa Rica (87), Czech Republic (236), Ecuador (7), El Salvador (84), EU (539), Guatemala
(107), Hungary (117), Iceland (462), Indonesia (13), Israel (41), Japan (121), Korea (111), Malaysia (72),
Mexico (293), Morocco (374), Namibia (166), New Zealand (4), Nicaragua (21), Norway (581), Panama (6),
Philippines (118), Poland (144), Romania (175), Slovak Republic (114), South Africa (166), Swaziland (166),
Switzerland-Liechtenstein (961), Chinese Taipei (84), Thailand (52), Tunisia (32), United States (189), Uruguay

(2), dan Venezuela (76) (Kemendag RI, 2014). Namun sejauh Putaran Doha diinisiasi pada 2001 telah
membuahkan komitmen negara-negara dalam Deklarasi Para Menteri pada bulan November 2001 untuk
mencapai tujuan yakni sistem perdagangan dunia yang berlandaskan pasar dan keadilan, ternyata masih belum
mampu menggiring anggota WTO mencapai kesepakatan liberalisasi.
Kesepakatan Lanjutan pada Juli 2004
Setelah Doha Round 2001, diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke V di Cancun,
Meksiko. Namun secara spesifik, agenda ini belum ada yang disepakati pada bidang pertanian. Pada
kesepakatan Juli 2004 oleh sebab KTM V yang gagal ratifikasi akibat penolakan dari G20 yang menginginkan
penurunan subsidi produk domestik, dan subsidi ekspor agraria pada negara-negara maju. Pula Group 33 yang
diinisiasi Indonesia dan Filipina mendesak agar kesepakatan pada Doha Round yang menyangkut pengecualian

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian
melalui Kepemimpinan dalam Kelomp ok G33 di dalam WTO | 5

dari penurunan tarif, dan subsidi untuk Special Products (SPs) serta diberlakukannya Special Safeguard
Mechanism (SSM) untuk negara-negara berkembang (Kemendag RI, 2012). Berikut ini adalah kesepakatan
yang telah resmi diratifikasi pada Juli 2004. Untuk subsidi domestik: (1) Negara maju harus memotong 20%
dari total subsidi domestiknya pada tahun pertama implementasi perjanjian pertanian; (2) Pemberian subsidi
untuk kategori blue box akan dibatasi sebesar 5% dari total produksi pertanian pada tahun pertama
implementasi; dan (3) Negara berkembang dibebaskan dari keharusan untuk menurunkan subsidi dalam

kategori de minimis asalkan subsidi tersebut ditujukan untuk membantu petani kecil dan miskin (Kemendag RI,
2012).
Yang kedua adalah peraturan subsidi ekspor: (1) Semua subsidi ekspor akan dihapuskan dan dilakukan
secara paralel dengan penghapusan elemen subsidi program seperti kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau
program asuransi yang mempunyai masa pembayaran melebihi 180 hari; (2) Memperketat ketentuan kredit
ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi yang mempunyai masa pembayaran 180 hari atau kurang,
yang mencakup pembayaran bunga, tingkat suku bunga minimum, dan ketentuan premi minimum; (3)
Implementasi penghapusan subsidi ekspor bagi negara berkembang yang lebih lama dibandingkan dengan
negara maju; (4) Hak monopoli perusahaan negara di negara berkembang yang berperan dalam menjamin
stabilitas harga konsumen dan keamanan pangan, tidak harus dihapuskan; (5) Aturan pemberian bantuan
makanan (food aid) diperketat untuk menghindari penyalahgunaannya sebagai alat untuk mengalihkan
kelebihan produksi negara maju; (6) Beberapa aturan perlakuan khusus dan berbeda (S&D) untuk negara
berkembang diperkuat (Kemendag RI, 2012).
Kemudian pada akses pasar, disepakati: (1) Untuk alasan penyeragaman dan karena pertimbangan
perbedaan dalam struktur tarif, penurunan tarif akan menggunakan tiered formula; (2) Penurunan tarif akan
dilakukan terhadap bound rate; (3) Paragraf mengenai special products (SP) dibuat lebih umum dan tidak lagi
menjamin jumlah produk yang dapat dikategorikan sebagai sensitive product. Negara berkembang dapat
menentukan jumlah produk yang dikategorikan sebagai special products berdasarkan kriteria food security,
livelihood security, dan rural development (Kemendag RI, 2012).
Kepentingan Indonesia di Bidang Agraria dalam WTO

Indonesia sebagai negara berkembang yang masih mengandalkan ekspor produksi hasil-hasil pertanian
pada segala bidang, maka Indonesia memiliki serangkaian kepentingan dalam kesepakatan-kesepakatan WTO
yang berkaitan dengan bidang pertanian. Adapun kepentingan Indonesia dalam perundingan tersebut, menurut
Setiawan (2003:77-9), adalah sebagai berikut: Yang pertama adalah food security atau ketahanan pangan.
Bahwa Indonesia dan semua negara di dunia harus dapat memastikan bahwa ketersediaan pangan bagi
rakyatnya dapat terjaga dengan baik. Ini artinya rakyat harus dapat menjangkau dan memperoleh pangan yang
secukup, aman dan bermutu, secara berkelanjutan dan handal. Dalam hal ini menjaga keberlangsungan produksi

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian
melalui Kepemimpinan dalam Kelomp ok G33 di dalam WTO | 6

pangan dalam negeri tidak hanya ditujukan untuk menyediakan pangan tetapi juga menjamin petani
memperoleh pendapatan dan keluarganya untuk membeli pangan, termasuk sebagian pangan dari negara lain.
Ketahanan pangan tidak berbicara mengenai makanan pokok rakyat, tetapi juga bahan-bahan pokok yang
diperlukan rakyat seperti gula, minyak tanah, dan garam. Di samping itu, ketahanan pangan ini kemudian juga
menyangkut pada usaha lain seperti pengembangan industri pangan, dan rantai suplai makanan (Setiawan,
2003:77-9).
Yang kedua, lanjut Setiawan (2003:77-9) adalah penghapusan kemiskinan, yakni tugas kemanusiaan
yang wajib dilaksanakan oleh seluruh negara di dunia. Penuntasan kemiskinan diakui oleh seluruh dunia, dan
merupakan patokan suatu negara yang digolongkan dalam sistem dunia modern (negara maju, berkembang, atau

terbelakang). Oleh karena itu, setiap kebijakan dalam pembangunan di bidang pertanian harus mencakup upaya
menghapus kemiskinan. Mulai dari proses produksi, distribusi hingga konsumsi. Kemudian yang ketiga adalah
sustainability atau keberlangsungan Tekanan penduduk dan pemanfaatan sumber daya alam (terutama tanah, air
dan udara) yang meningkat mengharuskan strategi pembangunan pertanian ditata secara baik agar mampu
menjamin keberlanjutan kegiatan pertanian serta manfaatnya bagi manusia. Lalu yang keempat yang merupakan
wujud dari rural development atau pembangunan desa. Banyak masalah yang berhubungan dengan ketahanan
pangan, kemiskinan di desa dan di kota, dan keberlangsungan kondisi kemajuan wilayah pedesaan. Karena itu,
pembangunan pertanian tidak dapat dilepaskan dari pembangunan desa. Dan yang terakhir adalah kemajuan
Sosial Ekonomi (Social and Economic Progress) Sebagai negara dengan mayoritas penduduk berada di
pedesaan dan menggantungkan hidup pada pertanian, tidak mungkin terjadi kemajuan sosial ekonomi jika tidak
tercapai kemajuan di bidang pertanian. Hal ini juga terkait dengan isu universal semisal demokrasi, hak asasi
manusia, keamanan dan kedaulatan negara. Pembangunan pertanian memiliki kaitan erat dengan kemajuan
sosial ekonomi masyarakat (Setiawan, 2003:77-9).
Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian di dalam WTO
Indonesia sebenarnya sudah sejak lama mengikatkan diri dalam komitmen liberalisasi. Tepatnya sejak
masa 1980-an pada masa akhir pertemuan dalam Putaran Uruguay. Saat itu, Indonesia telah mengurangi tarif
untuk 6.000 produk industri dan pertanian. Selain itu, Indonesia memangkas 95% dari total tarifnya sebesar
rata-rata 40%. Demikian pula dengan hambatan nontarif, seperti hambatan perizinan juga dikurangi lebih dari
setengahnya, dari 44% pada 1986 menjadi hanya 23% pada 1995 (Utama, 2010:39).
Indonesia juga telah menunjukkan komitmennya dalam Persetujuan Bidang Pertanian dengan mulai

menerapkan pilar-pilar yang saling terkait dalam kebijakan pertanian nasionalnya, akan tetapi hanya satu pilar
yang tidak dilaksanakan Indonesia, yakni subsidi ekspor akibat Indonesia tidak melakukan ekspor, khususnya
untuk komoditi pangan. Meski demikian, ketika Indonesia masih swasembada pangan pada tahun 1986-1990,
Indonesia juga mencatatkan komitmennya untuk melakukan subsidi ekspor untuk komoditi beras. Pada periode

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian
melalui Kepemimpinan dalam Kelomp ok G33 di dalam WTO | 7

itu, Indonesia melakukan ekspor beras bersubsidi rata-rata 299.750 ton dengan nilai subsidi pemerintah sebesar
US$ 28,248,230 (Deperindag RI, 2001:6).
Komitmen dalam hal perluasan akses pasar ditandai dengan diterapkannya sistem tarif. Jumlah tarif
yang diikat Indonesia sebanyak 1.341 dengan Harmonized System 9 digit. Total tarif untuk seluruh mata tarif
turun dari 99.861 menjadi 64.391. Semula tingkat tarif rata-rata sederhana per mata tarif (berdasarkan tahun)
sebesar 74,2%, kemudian menjadi 48,05% atau turun sebesar 26,5%. Perlu dicatat, untuk negara berkembang
seperti Indonesia, seharusnya cukup menurunkan tarif sebesar rata-rata 24%. Jadi, komitmen Indonesia dalam
hal pengurangan tarif sebagai dukungan terhadap perluasan pasar telah melebihi dari beban penurunan tarif
yang ditetapkan dalam Perjanjian Pertanian (Utama, 2010:40). Komoditi yang tarifnya dicatat cukup tinggi
adalah beras (160%), gula (95%), minuman beralkohol (150%), dan susu (210%). Sebagian dari komoditikomoditi itu, kecuali minuman beralkohol, dipandang penting dan strategis sehingga harus dilindungi. Di
samping itu, Indonesia juga mencatatkan dua komoditas yang mendapat perlakuan akses minimum atau yang
dikenal dengan tariff rate quota (TRQ). Komoditas itu adalah beras dengan akses minimum sebesar 70.000 ton
dan susu segar sebesar 414.700 ton (Juliantono, 2007:121).
Di samping perluasan akses pasar, pemerintah Indonesia juga menjalankan program dukungan domestik.
Pada tahun 2001, besarnya dukungan domestik untuk sektor pertanian meningkat hingga mencapai Rp 6,2
triliun. Peningkatan ini cukup besar bila dibandingkan dengan tahun 1995 yang hanya sekitar Rp 401 miliar.
Akan tetapi, peningkatan ini sepertinya tidak dimaksudkan untuk maksud-maksud komersial, seperti
mendorong pertumbuhan kapasitas ekonomi para petani Indonesia. Hal ini lebih disebabkan oleh faktor lain,
seperti kemiskinan akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 (Utama, 2010:42). Kebijakan dalam
kerangka dukungan domestik yang diterapkan Indonesia berada di bawah batas de minimis yang ditetapkan oleh
WTO. Tingkat de minimis paling tinggi yang pernah diterapkan Indonesia adalah 7,3% dan selama 1998-2002
rata-rata tingkat de minimis hanya sekitar 6%. Hal tersebut di bawah ketentuan WTO yang menerapkan tingkat
de minimis sebesar 10% untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia (Utama, 2010:42). Dengan
demikian, rendahnya penerapan tarif, hilangnya subsidi ekspor, serta minimnya dukungan domestik, telah
menyebabkan Indonesia rentan terhadap serbuan pangan impor. Harga pangan yang rendah di luar negeri
langsung berpengaruh ke dalam negeri, sedangkan di pihak lain biaya produksi semakin tinggi, karena
berkurangnya subsidi. Hal ini tentu telah berpengaruh negatif terhadap insentif berusaha tani dan mempersulit
introduksi teknologi baru, seperti benih atau bibit bermutu dan lain-lain.
Peluang Indonesia dalam Diplomasi di WTO: Kepemimpinannya dalam G33 Negara Berkembang
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang merupakan anggota WTO terus berkomitmen
dalam mempertahankan kehidupan agrarianya. Upaya-upaya sudah ditempuh Indonesia dalam mewujudkan
kepentingannya sebagai negara yang masih mengandalkan pertanian di samping laju industrialisasi yang begitu

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian
melalui Kepemimpinan dalam Kelomp ok G33 di dalam WTO | 8

cepat. Salah satu upayanya adalah turut andil dalam pembentukan kelompok G33, aliansi dari kelompok negaranegara berkembang dan negara kurang berkembang yang dibentuk di Indonesia pada 9 September 2003, pada
saat menjelang Konferensi Tingkat Menteri (KTM) V WTO di Cancún, Meksiko. Indonesia awalnya dipercaya
menjadi koordinator dengan sokongan dari India, Tiongkok dan Filipina (Utama, 2010:44).
Indonesia (bersama India) memimpin G33 untuk membela kepentingan petani dan buruh, dan
kedaulatan pangan dari populasi. G33 berisikan negara-negara berkembang yang terdiri dari Antigua dan
Barbuda, Barbados, Belize, Benin, Botswana, El Salvador, Filipina, Grenada, Guyana, Guatemala, Haiti,
Honduras, India, Indonesia, Jamaika, Kenya, Kuba, Laos, Mauritius, Madagaskar, Mongolia, Mozambik,
Nikaragua, Nigeria, Pakistan, Panama, Pantai Gading, Peru, Republik Demokratik Kongo, Republik Dominika,
Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Senegal, Sri Lanka, Suriname, Tanzania,
Tiongkok, Trinidad dan Tobago, Turki, Uganda, Venezuela, Zambia, dan Zimbabwe. Negara-negara anggota
G33 ini melakukan koordinasi perdagangan dan isu-isu ekonomi. Kelompok yang disebut juga Aliansi SP
(Special Product) dan SSM (Special Safeguard Mechanism) ini diciptakan untuk membantu kelompok negaranegara yang menghadapi semua masalah yang sama. G33 telah mengusulkan aturan khusus untuk negaranegara berkembang di negosiasi WTO, seperti yang memungkinkan mereka untuk terus membatasi akses ke
pasar pertanian mereka.
Kelompok ini bersatu dalam sikap dan suara secara kritis terhadap dimasukkannya masalah dan isu
pertanian pada sistem perjanjian perdagangan global, serta memastikan bahwa masalah ketahanan pangan, mata
pencaharian pedesaan dan pembangunan pedesaan menjadi bagian integral dari perundingan pertanian yang
merupakan isu sentral dari perundingan Doha Development Agenda (DDA) – WTO (Utama, 2010:44). Isu
pertanian menjadi sangat penting bagi negara berkembang karena pada umumnya sebagain besar masyarakat
negara berkembang hidup dalam sektor pertanian. Sayangnya menurut UN Millenium Project terdapat sekitar
50% dari total jumlah orang kelaparan di dunia adalah mereka dari golongan petani kecil. Menurut LIPI, pada
tahun 2009 sekitar 32,5 juta jiwa rakyat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sementara menurut UN
Millenium Project, dari sekitar 80 persen penderita kemiskinan akut berada di wilayah pedesaan. Nilai Tukar
Petani (NTP) yang berfluktuasi di kisaran angka yang rendah, menandakan pendapatan petani sudah tidak
sebanding dan bahkan jauh dari biaya yang dikeluarkan untuk keperluan hidupnya sehari-hari (Utama,
2010:45).
Di Indonesia sendiri terdapat hampir 25,3 juta keluarga petani, di mana lebih dari 60 persen yang
melibatkan tenaga kaum perempuan. Mereka umumnya adalah petani kecil yang hanya memiliki lahan kurang
dari seperempat hektar. Di banyak daerah, ironisnya kasus kelaparan dan malnutrisi terjadi di pedesaan yang tak
jarang berada di wilayah lumbung pangan. Apabila sektor pertanian diliberalisasikan, maka negara berkembang
termasuk Indonesia masih belum memiliki kemampuan bersaing dengan negara-negara maju. Hal ini

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian
melalui Kepemimpinan dalam Kelomp ok G33 di dalam WTO | 9

disebabkan karena pertanian di negara maju mendapatkan berbagai macam kebijakan dan subsidi yang sangat
besar dari pemerintahnya, sehingga hasilnya tentu saja berlimpahnya produk panen mereka akan masuk dan
membanjiri pasar negaranegara berkembang. Serbuan hasil panen mereka secara perlahan namun pasti, akan
menyudutkan dan kemudian mematikan produk-produk pertanian lokal. Akibat yang lebih buruk lagi, ketika
hasil pertanian lokal berada pada titik terendah, maka bahan pangan bagi jutaan rakyat negara berkembang,
akan sangat tergantung dari hasil impor produksi pertanian dari negara maju. Hal itulah yang sering disebut
sebagai bencana pertanian (Utama, 2010:45).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007) ketika membuka Pertemuan Tingkat Menteri G-33 pada 20
Maret 2007 di Jakarta menegaskan bahwa sektor pertanian sangat penting artinya bagi arah dan strategi
pembangunan Indonesia, karena sektor tersebut tidak hanya mempengaruhi pendapatan masyarakat Indonesia
yang sebagian besar merupakan masyarakat pedesaan dan sumber penghidupan bagi sekitar 25 juta petani, akan
tetapi sektor pertanian sangat menentukan kelangsungan hidup bagi 50 persen masyarakat miskin yang ada di
Indonesia (Utama, 2010:46). Sehingga dapat dikatakan bahwa pendapat mengenai pentingnya sektor pertanian
bagi negara agraris bukan semata-mata dilihat dari produk yang dihasilkannya saja, namun lebih jauh seperti
hilangnya kedaulatan pangan sebuah negara. Pada masa-masa berikutnya, Indonesia bergerak cepat dalam
mengambil kursi kepemimpinan itu dengan menjadi tuan rumah pertemuan untuk membahas ketimpangan yang
terjadi dalam Putaran Doha 2001 (Davies & Mantiri, 2007). Pertemuan ini adalah buntut dari diadakannya
kembali Putaran Doha setelah suspensi 5 tahun imbas dari perbedaan pendapat dengan mitra dagang seperti
Amerika Serikat dan Uni Eropa terkait subsidi pertanian (Davies & Mantiri, 2007). Dalam proposal yang
diajukan pada tahun 2013, Indonesia bersama 45 negara berkembang yang tergabung dalam G33 mengusulkan
revisi aturan subsidi pemerintah terhadap pangan dari maksimal 10% menjadi 15% dari total produksi nasional
untuk kepentingan public stockholding. Indonesia kemudian mengusulkan agar mekanisme yang dipakai
mengacu pada harga komoditas tiga tahun terakhir, bukan lagi harga pada tahun 1986 yang sudah tidak lagi
sesuai dengan dinamika perkembangan zaman (Sari, 2013).
Menteri Perdagangan pada era Presiden SBY Gita Wiryawan dalam Sari (2013) berpendapat bahwa
Indonesia sebagai Ketua G33 mengedepankan semangat bahwa mekanisme perdagangan produk agraria harus
diubah. Tidak boleh tahun 1986, minimum tiga tahun terakhir. Kedua, subsidi harus diterapkan terhadap 15%
dari total output nasional, mengingat banyaknya produk yang menjadi pilihan masyarakat. Kepemimpinan
Indonesia dapat dikatakan efektif dengan serangkaian langkah-langkah tegas dengan didukung anggota G33
yang lainnya dalam meng-counter negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Kepentingan Indonesia dalam
WTO dapat semakin diperhatikan mengingat G33 memiliki kekuatan dan bargaining position yang lebih
mapan. Lobi-lobi yang dilakukan G33 di bawah kepemimpinan Indonesia terus menunjukkan kapabilitas

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian
m e l a l u i K e p e m i m p i n a n d a l a m K e l o m p o k G 3 3 d i d a l a m W T O | 10

Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan negara-negara yang masih bergantung pada hasil produksi
pertanian.
Kesimpulan
Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penyedia lapangan
kerja dan sumber devisa (salah satu komoditi ekspor) sehingga merupakan sumber pertumbuhan ekonomi.
Seiring dengan hal itu, perekonomian dunia saat ini kehilangan sekat-sekat geografis kenegaraan oleh sebuah
proses ‘globalisasi’ yang berjalan cepat. Indonesia yang menganut perekonomian terbuka juga sangat sulit untuk
mengelak dari dinamika ekonomi internasional yang semakin mengglobal ini. Sejalan dengan itu terjadi
perubahan mendasar di pasar internasional yaitu liberalisasi perdagangan untuk sektor pertanian dengan
terbentuknya World Trade Organization (WTO) yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi
melalui perdagangan internasional yang adil dan saling menguntungkan. WTO sejak Putaran Doha 2001
mengatur bidang pertanian melalui regulasi yang telah dibuat dengan tiga pilar yang dikenal sebagai akses
pasar, dukungan domestik dan subsidi ekspor. Selain itu juga dibuat peraturan seperti Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPs), Sanitary and Phytosanitary Measures, dan Technical Barriers to Trade
(TBT) yang tidak dibahas dalam jurnal ini. Implementasinya pada negara-negara berkembang agraris yang
masih mengandalkan sektor industri pertaniannya masih belum terlihat dampak nyatanya.
Kondisi yang membentuk tatanan WTO ini diikuti oleh negara-negara berkembang yang masih
mengandalkan sektor agrobisnis merasa terpinggirkan. Indonesia menjadi negara yang ditunjuk oleh negaranegara Asia seperti India, Tiongkok, dan Filipina untuk memimpin G33 yang telah dibentuk sebelumnya pada 9
September 2003, pada saat menjelang Konferensi Tingkat Menteri (KTM) V WTO di Cancún, Meksiko. Dalam
penjelasan yang telah diuraikan penulis di atas, peran Indonesia membantu mencapai kepentingan-kepentingan
negara-negara G33 terlihat jelas. Misalnya pada pengajuan proposal yang berisi tentang pertanian, fasilitasi
perdagangan dan negara kurang berkembang (least developed countries/LDCs) yang menurut Wiryawan (dalam
Sari, 2013) merupakan bentuk ideal untuk memecah kebuntuan pembahasan Putaran Doha selama 12 tahun. Ke
depannya peran Indonesia dapat semakin ditingkatkan dengan semakin menguatkan solidaritas negara-negara
berkembang. Hal ini terus diupayakan agar negara-negara agraris tidak tergerus oleh negara maju yang semakin
memaksakan produk ekspor pertaniannya masuk ke negara-negara berkembang. Inilah yang akan terus dilirik
oleh negara-negara besar ke depannya, mengingat kemampuan negara-negara berkembang dalam negosiasi
yang semakin mengkhawatirkan kepentingan negara-negara maju. Penulis beropini bahwa peran Indonesia di
G33 seharusnya terus menjadi salah satu wadah untuk tetap mempertahankan karakter Indonesia yang masih
mengandalkan komoditas ekspornya pada barang-barang hasil pertanian. Indonesia di era-era setelah G33 terus
memiliki peran yang besar dalam WTO, terutama status keanggotaannya dalam G20 yang membawa Indonesia
sebagai negara dengan pasar yang luas berhak menentukan jalannya ekonomi dunia.

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian
m e l a l u i K e p e m i m p i n a n d a l a m K e l o m p o k G 3 3 d i d a l a m W T O | 11

Referensi:
Achterbosch, Tom J. dkk. 2004. Indonesian Interests in the Agricultural Negotiations under the Doha
Development Agenda: an Analysis of the "July 2004 Package" Thom J. a Budiman Hutaburat,b Nizwar
Syafa’at,b and Frank W. van Tongeren a
Bonnie Setiawan, Globalisasi Pertanian: Ancaman Atas Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani, Institute
for Global Justice, Jakarta, 2003, hal. 77-79.
Chadha, Rajesh. 2000. “Understanding the WTO regime”. Economic and Political Weekly, vol. 35, no. 13, pp.
1084-1086.
Davies, Ed & Johannes Mantiri Reuters. 2007. Indonesia plays down chance of Doha G33 breakthrough dalam
Reuters

Wednesday

March

21,

2007.

3:28am

EDT.

[Online].

Tersedia

dalam:

http://www.reuters.com/article/2007/03/21/businesspro-trade-doha-indonesia-dc-idUSJAK19820070321
[Diakses pada 25 Juni 2015].
Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia (Deperindag RI). 2001. “Persetujuan di Bidang
Pertanian-WTO”, Pidato Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi
dalam Rangka Menghadapi Perundingan Perdagangan Internasional, Yogyakarta, 11-12 Oktober 2001,
hal. 6.
Hanrahan, Charles E. 2005. “Agriculture in The WTO Doha Round: The Framework Agreement and Next
Steps,”

dalam

CRS

Report

krom

Congress

[PDF].

Tersedia

dalam:

http://file138.cabinbooks.org/teb1e_trade-liberalization-industrial-producti.pdf [Diakses pada 25 Juni
2015].
Juliantono, Ferry J. 2007. Pertanian Indonesia di bawah Rezim WTO. Jakarta: Banana Publisher.
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI). 2014. Full Report WTO. [PDF]. Tersedia
dalam: http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2014/01/06/Full-Report-WTO.pdf [Diakses pada 25 Juni
2015].
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI). 2012. F.A.Q. [Online]. Tersedia dalam:
http://www.kemendag.go.id/id/faq [Diakses pada 25 Juni 2015].
Pranolo, Tito. 2000. Peran Bulog sebagai lembaga distribusi dan cadangan pangan nasional, Makalah Round
Table Kebijakan Harga Gabah, Deptan, Jakarta.
Rost, Joseph C. 1993. Leadership for the Twenty-First Century. New York: Praeger.
Sari, Mas Sri. 2013. RI Akan Pertahankan Proposal G33”, dalam Selasa, 26/11/2013 22:30 WIB. [Online].
Tersedia dalam: http://industri.bisnis.com/read/20131126/12/188993/ri-akan-pertahankan-proposal-g33
[Diakses pada 25 Juni 2015].
Utama, Muhammad N.A.G. 2010. “Persetujuan Bidang Pertanian WTO dan Pembentukan Kelompok G-33”,
dalam Diplomasi Indonesia, Tinjauan Literatur. Jakarta: FISIP UI. Hal. 28-52.
World Economic Forums (WEF). 2015. “Effective Leadership in International Organizations”, dalam Global
Agenda Council on Institutional Governance Systems. Oxford: Blavatnik School of Government
University of Oxford.

Komitmen Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pertanian
m e l a l u i K e p e m i m p i n a n d a l a m K e l o m p o k G 3 3 d i d a l a m W T O | 12

World Trade Organization (WTO). 2001. Doha WTO Ministerial 2001: Ministerial Declaration. [Online].
Tersedia dalam: https://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/min01_e/mindecl_e.htm [Diakses pada
25 Juni 2015].
World
Trade
Organization

(WTO).

2015.

Glossary.

[Online].

Tersedia

dalam:

https://www.wto.org/english/thewto_e/glossary_e/ssm_e.htm [Diakses pada 25 Juni 2015].
Young, Oran R. 1982. "Regime Dynamics : The Rise and Fall of International Regimes. International
Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes (Spring, 1982), hlm. 277-297 [PDF]. Tersedia
dalam: http://www.jstor.org/stable/2706523 [Diakses pada 25 Juni 2015].
Yusdja Y., R. Sayuti, B. Winarso, I. Sodikin dan C. Muslim. 2004. Pemantapan Program dan Strategi Kebijakan
Peningkatan Produksi Daging Sapi. Laporan Hasil Penelitian . Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Bogor.
*Paper dikumpulkan dalam memenuhi tugas Mata Ajaran Prinsip-Prinsip Ekonomi Internasional Semester
Genap

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147