Karakteristik Strategi Pertahanan Masa D
Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Future Defence Strategic Challenges
Karakteristik Strategi Pertahanan Masa Depan: Studi
Kasus Strategi Counter-Insurgency Tentara Nasional
Indonesia dalam Menghadapi Gerakan Aceh Merdeka
Oleh:
Budi Hartono
“This form [guerilla] of struggle is a means to
an end. That end, essential and inevitable
for any revolutionary, is the conquest
of political power.”
-Guevara 1963: 1.
“In the future, wars will not be waged by armies
but by groups whom we today call terrorists
guerillas, bandits, and robber.”
-Martin Van Creveld: 150.
Abstrak
Tulisan ini menjelaskan mengenai karakteristik strategi pertahanan masa
depan. Pada awal tulisan, terlebih dahulu dijelaskan mengenai ancaman
bersifat non-tradisional yang fokus pada insurgency. Menghadapi
ancaman tersebut, respon yang dilakukan negara adalah membentuk
suatu mekanisme yang disebut dengan counter-insurgency. Teori perang
generasi empat digunakan pada tulisan ini untuk menjelaskan medan dan
cara perang yang dilakukan oleh kedua aktor yaitu negara dan insurgents.
Selanjutnya teori strategi digunakan pada tulisan ini untuk menjelaskan
end, ways, dan means negara dalam menghadapi insurgents. Pada
akhirnya,
karakteristik
strategi
pertahanan
masa
depan
dalam
menghadapi insurgents yang ditawarkan pada penelitian ini meliputi dua
1
hal, yaitu penggunaan use of force dan winning the hearts and minds.
Implementasi use of force dan winning hearts and minds dalam Operasi
Terpadu yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam
menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi studi kasus di dalam
tulisan ini.
Kata
Kunci:
Insurgency,
Counter-Insurgency,
Fourth
Generation
Warfare, TNI, GAM
A. Pendahuluan
Secara garis besar, tulisan ini menjawab pertanyaan “sejauh mana
karakteristik strategi pertahanan masa depan, berkorelasi dengan
tantangan dan isu dalam perumusan strategi pertahanan masa depan?”
mempercayai ide dari kutipan Martin Van Creveld di atas, penulis
mengambil posisi bahwa karakteristik pertahanan masa depan cenderung
mengedepankan perumusan strategi untuk menghadapi ancaman yang
bersifat asimetrik. Di dalam tulisan ini, ancaman yang bersifat asimetrik
fokus pada isu insurgency.
Pasca Perang Dingin, nature of war ‘sifat perang’ cenderung
berubah – yang mana berpengaruh terhadap perubahan strategi perang.
Situasi ini membuat pemerintah (sipil dan militer) harus dapat beradaptasi
dengan perubahan dari segi ancaman dan cara bertempur agar dapat
menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah negara. Pemikiran strategis
yang bersifat kontemporer menjadi kebutuhan penting untuk menghadapi
ancaman insurgents. Salah satu tawaran strategi yang dimiliki negara
dalam menghadapi insurgents adalah opsi counter-insurgency. David W.
Barno (2006: 15) berargumen bahwa untuk menghadapi insurgents,
pemerintah tidak hanya fokus pada pendekatan/instrumen militer,
melainkan harus juga mensinergikannya dengan politik.
Kelompok
insurgents
pada
kenyataannya
lebih
dapat
memanfaatkan penggunaan pendekatan asimetrik. Pendekatan asimetrik
2
tersebut digunakannya untuk menghadapi kekuatan tempur konvensional
suatu negara. Ironisnya, negara cenderung lamban dalam merespon
strategi yang digunakan kelompok insurgents. Selain itu, negara juga
lamban memahami sifat perang asimetrik yang lebih mengedepankan
“perang intelijen dan perang persepsi” (David W. Barno, 2006: 15). Fakta
tersebut membuat negara harus merumuskan pemikiran strategis
kontemporer untuk menghadapi ancaman dan memenangkan “perang” di
abad ke-21.
Perlu ditekankan bahwa strategi counter-insurgency berbeda
dengan strategi perang yang bersifat konvensional. Apabila perang
konvensional ditujukan/dilancarkan terhadap pasukan bersenjata negara
lain
di
medan
perang
konvensional,
counter-insurgency
ditujukan/dilancarkan di dalam masyarakat (urban environment); yang
mana sulit untuk membedakan antara kombatan maupun non-kombatan.
Di dalam perang insurgency, dukungan masyarakat menjadi penting
dalam penentuan hasil perang. Asumsinya, jika masyarakat mendukung
salah satu pihak (pemerintah ataupun insurgents), maka pihak yang
didukung dapat memojokkan posisi dari pihak lain (Martin C. Libcki et al,
2007: 1).
Adapun Perubahan karakter perang di dalam tulisan ini dijelaskan
melalui teori Fourth Generation Warfare (4GW). Konsep insurgency
digunakan untuk mengetahui karakteristik dari kelompok insurgents dan
bagaimana cara mereka berperang. Selanjutnya melalui penggabungan
teori
strategi
dan
konsep
counter-insurgency
penulis
mencoba
membangun landasan ideal yang harus dimiliki negara untuk menghadapi
insurgents. Terakhir, tulisan ini mengangkat studi kasus strategi counterinsurgency yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menghadapi Ger
Aceh Merdeka (GAM). Analisis dari studi kasus tersebut akan menemukan
bagaimana strategi counter-insurgency yang dilakukan Indonesia dan
apakah strategi tersebut mendapatkan hasil yang signifikan.
3
B. Kerangka Teori
1.
Teori Strategi
Strategi memiliki banyak definisi. Sebagian pemikir menyamakan
strategi dengan taktik dan mendefinisikannya sebagai tindakan yang
bersifat spesifik di dalam pertempuran. lainnya menyatakan strategi
memiliki arti luas yang bahkan tidak memiliki kesepakatan atas
terminologinya. Pada tulisan ini, penulis menggunakan definisi strategi
seperti yang dinyatakan oleh Liddell Hart. Liddell Hart mendefinisikan
strategi sebagai, “the art of distributing and applying military means to the
ends of policy” (Manuel Muniz, 2013: 1).
Pernyataan
pertama
Liddell
memposisikan
instrumen
militer
sebagai cara untuk mencapai kebijakan (politik). Inti dari teori strategi
adalah menjawab apa yang menjadi tujuan dari dari negara, apa
instrumen, dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Dengan kata
lain, perencanan strategi harus terlebih dahulu mengetahui apa yang
menjadi tujuan atau kepentingan strategis yang ingin dicapai.
2.
Konsep Insurgency
British Military Doctrine (2004: 2) mendefinisikan insurgency
sebagai, “an organized movement aimed at the overthrow of a constituted
government thorught the use of subversion and armed conflict” (Paul D.
Williams, 2008: 392). Kelompok pemberontak memiliki maksud mengusir
pasukan (asing maupun lokal) dari wilayah mereka dan mendirikan negara
berdaulat sendiri (Paul D. Williams, 2008: 394).
Taktik yang digunakan pemberontak berdasarkan dari kapabilitas
militernya yang cenderung lemah. Jadi, mereka tidak akan menghadapi
kekuatan lawan secara langsung dan hanya menyerang titik rawan –
kemudian membaur ke dalam masyarakat lokal. Mao Tse Tung
menganalogikannya seperti ‘ikan yang masuk ke dalam air’; sehingga
pasukan reguler sulit untuk mendeteksinya (Paul D. Williams, 2008: 395).
Dukungan masyarakat merupakan hal vital bagi insurgents untuk
4
melakukan kamuflase. Pemberontak cenderung melakukan pendekatan
terhadap masyarakat agar mendapatkan dukungan (Anthony Vinci, 2009:
4). Idealnya, negara melalui intelijen dapat mengisolasi pergerakan
pemberontak di dalam masyarakat.
3.
Konsep Counter-Insurgency
Doktrin Militer Inggris dan NATO (2004: 4) mendefinisikan counter-
insurgency sebagai, “those military, paramilitary, political, economic,
psychological, and civic actions taken to defeat insurgency.” Sementara
Amerika Serikat (DoD, 2007) mendefinisikan counter-insurgency sebagai,
“those military, paramilitary, political, economic, psychological, and civic
actions taken by a government to defeat insurgency.” Terdapat perbedaan
dari definisi yang digunakan AS dengan Inggris dan NATO. Untuk AS,
counter-insurgency merupakan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah,
sedangkan Inggris dan NATO lebih bersifat ‘free-wheeling’ (Paul D.
Williams, 2008: 392).
Counter-insurgency berbeda dengan perang konvensional. Perang
konvensional adalah pertempuran antara angkatan bersenjata satu negara
dengan negara lain, sedangkan counter-insurgency merupakan perang
yang terjadi di antara/dalam masyarakat; yang mana masyarakat
merupakan “central prize” dari counter-insrugency. Mencari informasi
mengenai populasi menjadi lebih penting dibandingkan hanya fokus pada
penggunaan
use
of
force
konvensional.
Selain
itu,
penggunaan
pendekatan counter-insurgency membutuhkan kordinasi lintas institusi
nasional. Militer, polisi, dan lembaga sipil (terkait kemanan) harus saling
bekerja sama, dimana sharing informasi antara lembaga-lembaga menjadi
penting untuk mencapai keberhasilan di dalam counter-insurgency.
4.
Teori Fourth Generation Warfare
Teori Fourth Generation War ‘Perang Generasi Empat’ (4GW) telah
muncul di tahun 1980, namun mulai populer ketika terjadinya perang di
5
Irak dan serangan global yang dilakukan teroris. Secara umum, teori 4GW
berasumsi bahwa perang telah berevolusi melalui empat tahap: 1)
penggunaan manpower secara massal, 2) firepower, 3) manuver, dan 4)
munculnya insurgency yang menggunakan kemampuan jejaring – politik,
ekonomi, sosial, dan militer. Tujuan aktor dalam 4GW adalah meyakinkan
pihak musuh bahwa strategi yang ingin dicapai olehnya merupakan hal
yang mustahil dan terlalu costly (Antulio J. Echevarria II, 2005: 5).
C.
Pembahasan
1.
Negara vs Insurgents: Fourth Generation Warfare Era
Di dalam counter-insurgency, pencapaian kemenangan dilakukan
dengan memenangkan hearts and minds dari masyarakat. kontes antara
pemerintah dan insurgents fokus pada bagaimana mereka melakukan
persuasif kepada masyarakat untuk mendukung dari tiap tindakannya.
Adapun tindakan persuasif yang dilakukan seperti: siapa pihak yang benar
atau salah? Siapa yang akan memberikan kehidupan lebih baik? Siapa
yang dapat melindungi (masyarakat) lebih baik? Kedua belah pihak
mengajukan perbandingan kepada masyarakat melalui instrumen intelijen
operasionalnya. Counter-insurgency tidak memfokuskan pada penggunaan
use of force terhadap insurgents, melainkan melalui pendekatan yang
bersifat berlapis seperti politik, ekonomi, dan keamanan.
Melalui counter-insurgency, pemerintah menempatkan diri dalam
posisi sebagai pelayan dan pelindung rakyat, yang diharapkan negara
mendapatkan loyalitas dari masyarakat. Hal ini tidak berarti penggunaan
use of force dikesampingkan. Pada counter-insurgency, instrumen militer
dilakukan
untuk
melindungi
populasi,
ekonomi,
infrastruktur,
menghancurkan insurgents, dan melemahkan dukungan masyarakat
terhadap insurgents (Martin C. Libicki et al, 2007: 3) Robert Thompson
(1972: 50-60 dalam Nagl 2005: 29) menawarkan lima prinsip strategi dan
taktik untuk menghadapi insurgents yang meliputi:
1. Pemerintah harus memiliki tujuan politik yang jelas;
6
2. Pemerintah harus berfungsi sesuai dengan hukum;
3. Pemerintah harus memiliki rencana secara keseluruhan;
4. Pemerintah harus memiliki prioritas mengalahkan subversi politik,
ketimbang insurgents.
Di dalam fase pemberontakan, pemerintah harus pertama kali
mengamankan basis daerah utama. Bagian penting dari counter-
insurgency adalah tidak menggunakan use of force. David Galula (1964:
89) mengemukakan bahwa counter-insurgency menggunakan 80% politik
dan 20% militer. Galula (1964: 88) berpendapat bahwa kekuatan militer
digunakan sebagai pendukung kemajuan dalam bidang politik. Dengan
memposisikan secara sentral ‘hearts and minds’, membuat counter-
insurgency harus melibatkan politik, ekonomi, psikologi. Jadi, di dalam
counter-insurgency, unsur-unsur non-militer berperan sangat penting
dalam memenangkan perang.
2.
Strategi Counter-Insurgency: Use of Force atau Winning the Hearts
and Mine?
Melawan musuh yang “tidak biasa”, harus menggunakan cara yang
“tidak biasa”. Tawaran ide yang diberikan Krulak (1999) adalah ‘strategic
corporals’, yaitu meningkatkan otonomi dan inisiatif prajurit dalam misi
counter-insurgency. Hal ini bertentangan dengan taktik reguler, yaitu
mengedepankan cara tradisional yang berdasarkan pada hirarki dan
meminimalisir kebebasan tentara (dalam mengambil keputusan) (Paul D.
Williams, 2008: 391).
Penggunaan perang gerilya oleh insurgents merupakan bentuk dari
taktik non-liniear. Insurgents biasanya menghindari konfrontasi langsung
dengan pihak musuh. Taktik gerilya yang dilakukan oleh insurgents
bersandarkan pada gerakan yang bersifat stealth lalu melakukan
penyergapan, karena mereka tidak memiliki kemampuan senjata yang
memadai. Biasanya, dalam menghadapi insurgents yang menggunakan
7
taktik gerilya, tentara konvensional melalui use of force melakukan search
and destroy yang dikordinasikan melalui matra darat dan udara
(Alexander T. J. Lennon, 2003: 26).
Selain penggunaan use of force, penggunaan pendekatan winning
hearts and minds turut menjadi penentu keberhasilan di dalam counterinsurgency. Tidak dapat disangkal bahwa salah satu cara mencapai sukses
dalam counter-insurgency adalah memenangkan hearts and minds dari
penduduk lokal. Hal ini mencerminkan bahwa terdapat kompetisi antara
negara dan insurgents dalam memenangkan hati masyarakat lokal.
Ironisnya, terkadang insurgents lebih sering “didukung” oleh masyarakat
lokal ketimbang negara.
Frase awal dari hearts and minds diciptakan oleh Komisaris Tinggi
Gerald Temper yang mencerminkan transformasi strategi Inggris di
Malaya. Tindakan yang dilakukan untuk memenangkan hearts and minds
meliputi: 1) mendengarkan tuntutan dari insurgents, 2) menekan
popularitas insurgents di dalam masyarakat lokal, 3) memposisikan Inggris
sebagai pelindung masyarakat lokal.
Meskipun telah ada pencanangan ide mengenai hearts and minds,
namun di tingkat implementasi, ide ini cenderung tidak digunakan. Hal ini
membuat aktor negara sering menggunakan tindakan use of force yang
notabene justru membuat tingkat popularitasnya di masyarakat lokal
berkurang. Parahnya lagi, tindakan use of force yang dilakukan oleh
negara justru mendapat tentangan dari masyarakat domestik (misal AS di
Irak dan Afghanistan).
Tindakan penting lain di dalam hearts and minds adalah upaya
negara memberikan pelayanan bagi masyarakat seperti: membangun
infrastruktur, menyediakan air bersih, membangun jaringan komunikasi,
sanitasi dan membangun pembangkit tenaga listrik (Bowman, 2007: 5).
Jelas bahwa di dalam situasi ingin mendapatkan dukungan masyarakat
lokal, penggunaan kekuatan militer cenderung menjadi kontra-produktif.
Montgomery McFate dan Andrea Jackson (2006: 15) menegaskan, “A
8
direct relationship exists between the appropriate use of force and
successful
counter-insurgency.”
Apabila
ingin
mendapatkan
hasil
maksimal, maka penggunaan use of force harus didasarkan pada waktu
dan situasi yang tepat.
Intelijen memiliki peran penting dalam counter-insurgency. Peran
intelijen dalam counter-insurgency adalah memastikan penggunaan use of
force merupakan tindakan tepat pada suatu kondisi tertentu. Efektifitas
intelijen dapat dilihat dari kemampuannya mengetahui dan memahami
informasi situasional, misal informasi mengenai budaya, pekerjaan dan
prioritas dari masyarakat lokal. Contoh klasik kegagalan counter-
insurgency
karena
menganggap
remeh
kemauan/kepentingan
dari
masyarakat lokal.
Menurut Robert R. Tomes (2004: 18), terdapat beberapa hal yang
patut ditekankan dalam strategi counter-insurgency. Pertama, negara
dapat mengamankan daerah operasi. Kedua, negara memiliki intelijen
yang berkualitas. Ketiga, negara mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Keempat, negara memiliki inisiatif. Kelima, negara harus hati-hati di dalam
mengelola propaganda. Selain itu, pengembangan kepemimpinan dan
pelatihan yang menekankan pada pertimbangan etika, disiplin, kepekaan
budaya, dan kemampuan berkomunikasi lintas budaya menjadi kunci
dalam memenangkan perang melawan insurgents.
3.
Analisis
Counter-Insurgency
Pemerintah
Indonesia
dalam
Menghadapi GAM
Salah satu bentuk ancaman yang timbul di internal Indonesia
adalah aksi-aksi insurgency di beberapa wilayah seperti Aceh dan Papua.
Terdapat dua kelompok insurgency yang berusaha memisahkan diri dari
Indonesia, yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua
Merdeka (OPM). Tulisan ini melihat bagaimana strategi counter-insurgency
yang dilakukan Indonesia melalui instrumen militer dalam Operasi
9
Terpadu untuk menghadapi GAM melalui dua sisi, yaitu use of force dan
winning hearts and minds.
Keputusan
untuk
menggunakan
instrumen
militer
di
Aceh
merupakan akibat dari gagalnya pembicaraan damai yang dilakukan
delegasi Indonesia dengan GAM di Tokyo. Pada tanggal 19 mei 2003, TNI
melancarkan Operasi Terpadu untuk menghadapi GAM (Rizal Sukma,
2004: 21-22). Operasi Terpadu meliputi empat elemen utama: operasi
militer, operasi kemanusiaan, operasi penegakan hukum, dan operasi
mengembalikan fungsi birokrasi.
Fokus yang dilihat pada tulisan ini adalah operasi militer. Operasi
militer yang dilakukan di Aceh berdasarkan pada lima hal (Rizal Sukma,
2004: 21-22). Pertama, operasi militer yang dilakukan merupakan hasil
keputusan politik oleh sipil melalui dekrit presiden. Kedua, terdapat dasar
hukum dari tindakan use of force TNI. Ketiga, Operasi Terpadu memiliki
tujuan politik yaitu mendapatkan dukungan dari publik (winning hearts
and minds). Empat, operasi yang dilakukan mendapatkan dukungan dari
parlemen, seluruh pemimpin politik, serta masyarakat Indonesia secara
mayoritas. Kelima, kebebasan pers di area operasi militer.
Penggunaan use of force dalam Operasi Terpadu dilakukan melalui
beberapa cara. Komandan TNI Jenderal Endriarto Sutarto mengatakan,
“Langkah pertama adalah memburu, menghancurkan, dan membunuh
anggota GAM. Jangan biarkan diri Anda dibunuh. Kedua, kita harus
menarik simpati rakyat, dan seharusnya tidak sulit.” (Sinar Harapan 20
Mei, 2003). Selain itu, Mayor Jenderal Endang Suwarya menyatakan
dalam menghancurkan GAM, dilakukan dengan mengambil alih markas
strategis, menghancurkan sistem komando, dan fasilitasnya (IPS News).
Use of force yang dilakukan TNI dilakukan melalui tiga fase. Fase
pertama, selama dua bulan awal operasi, militer akan menempati daerah
yang diklaim sebagai basis GAM dan mengusir pemberontak keluar. Tahap
kedua, operasi diarahkan untuk memisahkan sipil dengan GAM. Tahap
10
ketiga, operasi diarahkan untuk menghilangkan GAM sama sekali (Rizal
Sukma, 2004: 24).
Winning hearts and minds juga turut dilakukan TNI dalam Operasi
Terpadu. Susilo Bambang Yudhoyono selaku Menteri pada saat itu
menekankan
tujuan
utama
counter-insurgency
adalah
mengurangi
dukungan masyarakat lokal terhadap insurgents (SCTV). Pernyataan yang
sama juga disampaikan oleh Mayor Jenderal Darmono bahwa tugas utama
pasukannya adalah memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh (Rizal
Sukma, 2004: 25). Memenangkan hati dan pikiran dilakukan dengan
menghindari korban sipil dalam operasinya menghancurkan insurgents.
Untuk menghindari jatuhnya korban sipil, TNI melakukan beberapa hal,
seperti: (1) meminta wanita dan anak-anak untuk meninggalkan rumah
mereka, (2), meminta pria yang tidak bersenjata melakukan hal yang
sama, dan (3) melakukan pengamanan apabila masih terdapat orang di
dalam yang diasumsikan sebagai anggota GAM.
Penjelasan di atas menegaskan bahwa Operasi Terpadu yang
dilakukan TNI meliputi dua cara yaitu use of force dan winning hearts and
minds. Use of force dilakukan dengan menghancurkan kelompok GAM,
menekan posisinya, dan menghancurkan basis utamanya (fasilitas). Di sisi
lain, winning hearts and minds dilakukan TNI melalui komunikasi persuasif
dengan masyarakat, menghindari korban sipil, dan memposisikan sebagai
pelindung dari masyarakat lokal.
D.
Kesimpulan
Karakteristik strategi pertahanan masa depan yang menjadi
argumen penulis adalah bagaimana cara menghadapi ancaman yang
bersifat non-tradisional khususnya insurgents. Pembentukan strategi
counter-insurgency ayang efektif menjadi tantangan bagi negara agar
tetap eksis dalam menjaga kedaulatannya. Cara “berperang” insurgents
yang tidak biasa membuat negara harus menyesuaikan untuk dapat
menghadapinya. Adapun strategi counter-insurgency yang dilakukan
11
meliputi dua hal, yaitu use of force dan winning hearts and minds. Use of
force ditujukan kepada insurgents, sedangkan winning hearts and minds
ditujukan untuk mendapatkan dukungan masyarakat lokal.
Pada studi kasus di tulisan ini terlihat bahwa TNI melalui Operasi
Terpadu dalam menghadapi GAM mengimplementasikan strategi use of
force dan winning hearts and minds. Use of force dilakukan TNI untuk
menghancurkan GAM, sementara winning hearts and minds dilakukan
untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat lokal. Asumsinya, apabila
dapat memenangkan hati masyarakat lokal Aceh, GAM tidak akan menjadi
populer, dan TNI dapat memenangkan perang. Menurut penulis,
tantangan
menghadapi
dari
strategi
insurgents
pertahanan
lebih
negara
kepada
masa
bagaimana
depan
dalam
negara
dapat
mengkolaborasikan penggunaan use of force dan winning hearts and
minds secara tepat.
Sumber Pustaka
Barno, David W. (2006) Challenges in Fighting a Global Insurgency.
National Defense University.
Echevarria, Antulio J. (2005). Fourth-Generation War and Other Myths.
Department of Defense.
IPS News. “Extension of Military Rule Prolongs War in Aceh.”
Lennon, Alexander T.J. (2003). The Battle for Heartss and Minds: Using
Soft Power to Undermine Terrorist Networks. London: MIT Press.
Libicki, Martin C. Gampert, David C. Frelinger David R. Smith, Raymond.
(2007). Byting Back: Regaining Information Superiority Against
21st-Century Insurgents. Airlington: RAND Corporation.
Muniz, Manuel. (2013). Strategy and Its Role in the Future of European
Defence Integration. Instituto Affari Internazionali.
SCTV. www.liputan6.com/fullnews/54549.html.
Sinar Harapan. 20 Mei, 2003.
12
Tomes, Robert R. (2004). Relearning Counterinsurgency Warfare.
University of Maryland.
U.S. Department of Defense. (2007). U.S. Military Doctrine.
UK Ministry of Defence. (2004). British Military Doctrine.
Vinci, Anthony. (2009). Armed Groups and the Balance of Power. Oxon:
Routledge.
Williams, Paul D. (2008). Security Studies: an Introduction. New York:
Routledge.
www.pisnews.net/interna.asp?idnews=21192.
13
Karakteristik Strategi Pertahanan Masa Depan: Studi
Kasus Strategi Counter-Insurgency Tentara Nasional
Indonesia dalam Menghadapi Gerakan Aceh Merdeka
Oleh:
Budi Hartono
“This form [guerilla] of struggle is a means to
an end. That end, essential and inevitable
for any revolutionary, is the conquest
of political power.”
-Guevara 1963: 1.
“In the future, wars will not be waged by armies
but by groups whom we today call terrorists
guerillas, bandits, and robber.”
-Martin Van Creveld: 150.
Abstrak
Tulisan ini menjelaskan mengenai karakteristik strategi pertahanan masa
depan. Pada awal tulisan, terlebih dahulu dijelaskan mengenai ancaman
bersifat non-tradisional yang fokus pada insurgency. Menghadapi
ancaman tersebut, respon yang dilakukan negara adalah membentuk
suatu mekanisme yang disebut dengan counter-insurgency. Teori perang
generasi empat digunakan pada tulisan ini untuk menjelaskan medan dan
cara perang yang dilakukan oleh kedua aktor yaitu negara dan insurgents.
Selanjutnya teori strategi digunakan pada tulisan ini untuk menjelaskan
end, ways, dan means negara dalam menghadapi insurgents. Pada
akhirnya,
karakteristik
strategi
pertahanan
masa
depan
dalam
menghadapi insurgents yang ditawarkan pada penelitian ini meliputi dua
1
hal, yaitu penggunaan use of force dan winning the hearts and minds.
Implementasi use of force dan winning hearts and minds dalam Operasi
Terpadu yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam
menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi studi kasus di dalam
tulisan ini.
Kata
Kunci:
Insurgency,
Counter-Insurgency,
Fourth
Generation
Warfare, TNI, GAM
A. Pendahuluan
Secara garis besar, tulisan ini menjawab pertanyaan “sejauh mana
karakteristik strategi pertahanan masa depan, berkorelasi dengan
tantangan dan isu dalam perumusan strategi pertahanan masa depan?”
mempercayai ide dari kutipan Martin Van Creveld di atas, penulis
mengambil posisi bahwa karakteristik pertahanan masa depan cenderung
mengedepankan perumusan strategi untuk menghadapi ancaman yang
bersifat asimetrik. Di dalam tulisan ini, ancaman yang bersifat asimetrik
fokus pada isu insurgency.
Pasca Perang Dingin, nature of war ‘sifat perang’ cenderung
berubah – yang mana berpengaruh terhadap perubahan strategi perang.
Situasi ini membuat pemerintah (sipil dan militer) harus dapat beradaptasi
dengan perubahan dari segi ancaman dan cara bertempur agar dapat
menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah negara. Pemikiran strategis
yang bersifat kontemporer menjadi kebutuhan penting untuk menghadapi
ancaman insurgents. Salah satu tawaran strategi yang dimiliki negara
dalam menghadapi insurgents adalah opsi counter-insurgency. David W.
Barno (2006: 15) berargumen bahwa untuk menghadapi insurgents,
pemerintah tidak hanya fokus pada pendekatan/instrumen militer,
melainkan harus juga mensinergikannya dengan politik.
Kelompok
insurgents
pada
kenyataannya
lebih
dapat
memanfaatkan penggunaan pendekatan asimetrik. Pendekatan asimetrik
2
tersebut digunakannya untuk menghadapi kekuatan tempur konvensional
suatu negara. Ironisnya, negara cenderung lamban dalam merespon
strategi yang digunakan kelompok insurgents. Selain itu, negara juga
lamban memahami sifat perang asimetrik yang lebih mengedepankan
“perang intelijen dan perang persepsi” (David W. Barno, 2006: 15). Fakta
tersebut membuat negara harus merumuskan pemikiran strategis
kontemporer untuk menghadapi ancaman dan memenangkan “perang” di
abad ke-21.
Perlu ditekankan bahwa strategi counter-insurgency berbeda
dengan strategi perang yang bersifat konvensional. Apabila perang
konvensional ditujukan/dilancarkan terhadap pasukan bersenjata negara
lain
di
medan
perang
konvensional,
counter-insurgency
ditujukan/dilancarkan di dalam masyarakat (urban environment); yang
mana sulit untuk membedakan antara kombatan maupun non-kombatan.
Di dalam perang insurgency, dukungan masyarakat menjadi penting
dalam penentuan hasil perang. Asumsinya, jika masyarakat mendukung
salah satu pihak (pemerintah ataupun insurgents), maka pihak yang
didukung dapat memojokkan posisi dari pihak lain (Martin C. Libcki et al,
2007: 1).
Adapun Perubahan karakter perang di dalam tulisan ini dijelaskan
melalui teori Fourth Generation Warfare (4GW). Konsep insurgency
digunakan untuk mengetahui karakteristik dari kelompok insurgents dan
bagaimana cara mereka berperang. Selanjutnya melalui penggabungan
teori
strategi
dan
konsep
counter-insurgency
penulis
mencoba
membangun landasan ideal yang harus dimiliki negara untuk menghadapi
insurgents. Terakhir, tulisan ini mengangkat studi kasus strategi counterinsurgency yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menghadapi Ger
Aceh Merdeka (GAM). Analisis dari studi kasus tersebut akan menemukan
bagaimana strategi counter-insurgency yang dilakukan Indonesia dan
apakah strategi tersebut mendapatkan hasil yang signifikan.
3
B. Kerangka Teori
1.
Teori Strategi
Strategi memiliki banyak definisi. Sebagian pemikir menyamakan
strategi dengan taktik dan mendefinisikannya sebagai tindakan yang
bersifat spesifik di dalam pertempuran. lainnya menyatakan strategi
memiliki arti luas yang bahkan tidak memiliki kesepakatan atas
terminologinya. Pada tulisan ini, penulis menggunakan definisi strategi
seperti yang dinyatakan oleh Liddell Hart. Liddell Hart mendefinisikan
strategi sebagai, “the art of distributing and applying military means to the
ends of policy” (Manuel Muniz, 2013: 1).
Pernyataan
pertama
Liddell
memposisikan
instrumen
militer
sebagai cara untuk mencapai kebijakan (politik). Inti dari teori strategi
adalah menjawab apa yang menjadi tujuan dari dari negara, apa
instrumen, dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Dengan kata
lain, perencanan strategi harus terlebih dahulu mengetahui apa yang
menjadi tujuan atau kepentingan strategis yang ingin dicapai.
2.
Konsep Insurgency
British Military Doctrine (2004: 2) mendefinisikan insurgency
sebagai, “an organized movement aimed at the overthrow of a constituted
government thorught the use of subversion and armed conflict” (Paul D.
Williams, 2008: 392). Kelompok pemberontak memiliki maksud mengusir
pasukan (asing maupun lokal) dari wilayah mereka dan mendirikan negara
berdaulat sendiri (Paul D. Williams, 2008: 394).
Taktik yang digunakan pemberontak berdasarkan dari kapabilitas
militernya yang cenderung lemah. Jadi, mereka tidak akan menghadapi
kekuatan lawan secara langsung dan hanya menyerang titik rawan –
kemudian membaur ke dalam masyarakat lokal. Mao Tse Tung
menganalogikannya seperti ‘ikan yang masuk ke dalam air’; sehingga
pasukan reguler sulit untuk mendeteksinya (Paul D. Williams, 2008: 395).
Dukungan masyarakat merupakan hal vital bagi insurgents untuk
4
melakukan kamuflase. Pemberontak cenderung melakukan pendekatan
terhadap masyarakat agar mendapatkan dukungan (Anthony Vinci, 2009:
4). Idealnya, negara melalui intelijen dapat mengisolasi pergerakan
pemberontak di dalam masyarakat.
3.
Konsep Counter-Insurgency
Doktrin Militer Inggris dan NATO (2004: 4) mendefinisikan counter-
insurgency sebagai, “those military, paramilitary, political, economic,
psychological, and civic actions taken to defeat insurgency.” Sementara
Amerika Serikat (DoD, 2007) mendefinisikan counter-insurgency sebagai,
“those military, paramilitary, political, economic, psychological, and civic
actions taken by a government to defeat insurgency.” Terdapat perbedaan
dari definisi yang digunakan AS dengan Inggris dan NATO. Untuk AS,
counter-insurgency merupakan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah,
sedangkan Inggris dan NATO lebih bersifat ‘free-wheeling’ (Paul D.
Williams, 2008: 392).
Counter-insurgency berbeda dengan perang konvensional. Perang
konvensional adalah pertempuran antara angkatan bersenjata satu negara
dengan negara lain, sedangkan counter-insurgency merupakan perang
yang terjadi di antara/dalam masyarakat; yang mana masyarakat
merupakan “central prize” dari counter-insrugency. Mencari informasi
mengenai populasi menjadi lebih penting dibandingkan hanya fokus pada
penggunaan
use
of
force
konvensional.
Selain
itu,
penggunaan
pendekatan counter-insurgency membutuhkan kordinasi lintas institusi
nasional. Militer, polisi, dan lembaga sipil (terkait kemanan) harus saling
bekerja sama, dimana sharing informasi antara lembaga-lembaga menjadi
penting untuk mencapai keberhasilan di dalam counter-insurgency.
4.
Teori Fourth Generation Warfare
Teori Fourth Generation War ‘Perang Generasi Empat’ (4GW) telah
muncul di tahun 1980, namun mulai populer ketika terjadinya perang di
5
Irak dan serangan global yang dilakukan teroris. Secara umum, teori 4GW
berasumsi bahwa perang telah berevolusi melalui empat tahap: 1)
penggunaan manpower secara massal, 2) firepower, 3) manuver, dan 4)
munculnya insurgency yang menggunakan kemampuan jejaring – politik,
ekonomi, sosial, dan militer. Tujuan aktor dalam 4GW adalah meyakinkan
pihak musuh bahwa strategi yang ingin dicapai olehnya merupakan hal
yang mustahil dan terlalu costly (Antulio J. Echevarria II, 2005: 5).
C.
Pembahasan
1.
Negara vs Insurgents: Fourth Generation Warfare Era
Di dalam counter-insurgency, pencapaian kemenangan dilakukan
dengan memenangkan hearts and minds dari masyarakat. kontes antara
pemerintah dan insurgents fokus pada bagaimana mereka melakukan
persuasif kepada masyarakat untuk mendukung dari tiap tindakannya.
Adapun tindakan persuasif yang dilakukan seperti: siapa pihak yang benar
atau salah? Siapa yang akan memberikan kehidupan lebih baik? Siapa
yang dapat melindungi (masyarakat) lebih baik? Kedua belah pihak
mengajukan perbandingan kepada masyarakat melalui instrumen intelijen
operasionalnya. Counter-insurgency tidak memfokuskan pada penggunaan
use of force terhadap insurgents, melainkan melalui pendekatan yang
bersifat berlapis seperti politik, ekonomi, dan keamanan.
Melalui counter-insurgency, pemerintah menempatkan diri dalam
posisi sebagai pelayan dan pelindung rakyat, yang diharapkan negara
mendapatkan loyalitas dari masyarakat. Hal ini tidak berarti penggunaan
use of force dikesampingkan. Pada counter-insurgency, instrumen militer
dilakukan
untuk
melindungi
populasi,
ekonomi,
infrastruktur,
menghancurkan insurgents, dan melemahkan dukungan masyarakat
terhadap insurgents (Martin C. Libicki et al, 2007: 3) Robert Thompson
(1972: 50-60 dalam Nagl 2005: 29) menawarkan lima prinsip strategi dan
taktik untuk menghadapi insurgents yang meliputi:
1. Pemerintah harus memiliki tujuan politik yang jelas;
6
2. Pemerintah harus berfungsi sesuai dengan hukum;
3. Pemerintah harus memiliki rencana secara keseluruhan;
4. Pemerintah harus memiliki prioritas mengalahkan subversi politik,
ketimbang insurgents.
Di dalam fase pemberontakan, pemerintah harus pertama kali
mengamankan basis daerah utama. Bagian penting dari counter-
insurgency adalah tidak menggunakan use of force. David Galula (1964:
89) mengemukakan bahwa counter-insurgency menggunakan 80% politik
dan 20% militer. Galula (1964: 88) berpendapat bahwa kekuatan militer
digunakan sebagai pendukung kemajuan dalam bidang politik. Dengan
memposisikan secara sentral ‘hearts and minds’, membuat counter-
insurgency harus melibatkan politik, ekonomi, psikologi. Jadi, di dalam
counter-insurgency, unsur-unsur non-militer berperan sangat penting
dalam memenangkan perang.
2.
Strategi Counter-Insurgency: Use of Force atau Winning the Hearts
and Mine?
Melawan musuh yang “tidak biasa”, harus menggunakan cara yang
“tidak biasa”. Tawaran ide yang diberikan Krulak (1999) adalah ‘strategic
corporals’, yaitu meningkatkan otonomi dan inisiatif prajurit dalam misi
counter-insurgency. Hal ini bertentangan dengan taktik reguler, yaitu
mengedepankan cara tradisional yang berdasarkan pada hirarki dan
meminimalisir kebebasan tentara (dalam mengambil keputusan) (Paul D.
Williams, 2008: 391).
Penggunaan perang gerilya oleh insurgents merupakan bentuk dari
taktik non-liniear. Insurgents biasanya menghindari konfrontasi langsung
dengan pihak musuh. Taktik gerilya yang dilakukan oleh insurgents
bersandarkan pada gerakan yang bersifat stealth lalu melakukan
penyergapan, karena mereka tidak memiliki kemampuan senjata yang
memadai. Biasanya, dalam menghadapi insurgents yang menggunakan
7
taktik gerilya, tentara konvensional melalui use of force melakukan search
and destroy yang dikordinasikan melalui matra darat dan udara
(Alexander T. J. Lennon, 2003: 26).
Selain penggunaan use of force, penggunaan pendekatan winning
hearts and minds turut menjadi penentu keberhasilan di dalam counterinsurgency. Tidak dapat disangkal bahwa salah satu cara mencapai sukses
dalam counter-insurgency adalah memenangkan hearts and minds dari
penduduk lokal. Hal ini mencerminkan bahwa terdapat kompetisi antara
negara dan insurgents dalam memenangkan hati masyarakat lokal.
Ironisnya, terkadang insurgents lebih sering “didukung” oleh masyarakat
lokal ketimbang negara.
Frase awal dari hearts and minds diciptakan oleh Komisaris Tinggi
Gerald Temper yang mencerminkan transformasi strategi Inggris di
Malaya. Tindakan yang dilakukan untuk memenangkan hearts and minds
meliputi: 1) mendengarkan tuntutan dari insurgents, 2) menekan
popularitas insurgents di dalam masyarakat lokal, 3) memposisikan Inggris
sebagai pelindung masyarakat lokal.
Meskipun telah ada pencanangan ide mengenai hearts and minds,
namun di tingkat implementasi, ide ini cenderung tidak digunakan. Hal ini
membuat aktor negara sering menggunakan tindakan use of force yang
notabene justru membuat tingkat popularitasnya di masyarakat lokal
berkurang. Parahnya lagi, tindakan use of force yang dilakukan oleh
negara justru mendapat tentangan dari masyarakat domestik (misal AS di
Irak dan Afghanistan).
Tindakan penting lain di dalam hearts and minds adalah upaya
negara memberikan pelayanan bagi masyarakat seperti: membangun
infrastruktur, menyediakan air bersih, membangun jaringan komunikasi,
sanitasi dan membangun pembangkit tenaga listrik (Bowman, 2007: 5).
Jelas bahwa di dalam situasi ingin mendapatkan dukungan masyarakat
lokal, penggunaan kekuatan militer cenderung menjadi kontra-produktif.
Montgomery McFate dan Andrea Jackson (2006: 15) menegaskan, “A
8
direct relationship exists between the appropriate use of force and
successful
counter-insurgency.”
Apabila
ingin
mendapatkan
hasil
maksimal, maka penggunaan use of force harus didasarkan pada waktu
dan situasi yang tepat.
Intelijen memiliki peran penting dalam counter-insurgency. Peran
intelijen dalam counter-insurgency adalah memastikan penggunaan use of
force merupakan tindakan tepat pada suatu kondisi tertentu. Efektifitas
intelijen dapat dilihat dari kemampuannya mengetahui dan memahami
informasi situasional, misal informasi mengenai budaya, pekerjaan dan
prioritas dari masyarakat lokal. Contoh klasik kegagalan counter-
insurgency
karena
menganggap
remeh
kemauan/kepentingan
dari
masyarakat lokal.
Menurut Robert R. Tomes (2004: 18), terdapat beberapa hal yang
patut ditekankan dalam strategi counter-insurgency. Pertama, negara
dapat mengamankan daerah operasi. Kedua, negara memiliki intelijen
yang berkualitas. Ketiga, negara mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Keempat, negara memiliki inisiatif. Kelima, negara harus hati-hati di dalam
mengelola propaganda. Selain itu, pengembangan kepemimpinan dan
pelatihan yang menekankan pada pertimbangan etika, disiplin, kepekaan
budaya, dan kemampuan berkomunikasi lintas budaya menjadi kunci
dalam memenangkan perang melawan insurgents.
3.
Analisis
Counter-Insurgency
Pemerintah
Indonesia
dalam
Menghadapi GAM
Salah satu bentuk ancaman yang timbul di internal Indonesia
adalah aksi-aksi insurgency di beberapa wilayah seperti Aceh dan Papua.
Terdapat dua kelompok insurgency yang berusaha memisahkan diri dari
Indonesia, yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua
Merdeka (OPM). Tulisan ini melihat bagaimana strategi counter-insurgency
yang dilakukan Indonesia melalui instrumen militer dalam Operasi
9
Terpadu untuk menghadapi GAM melalui dua sisi, yaitu use of force dan
winning hearts and minds.
Keputusan
untuk
menggunakan
instrumen
militer
di
Aceh
merupakan akibat dari gagalnya pembicaraan damai yang dilakukan
delegasi Indonesia dengan GAM di Tokyo. Pada tanggal 19 mei 2003, TNI
melancarkan Operasi Terpadu untuk menghadapi GAM (Rizal Sukma,
2004: 21-22). Operasi Terpadu meliputi empat elemen utama: operasi
militer, operasi kemanusiaan, operasi penegakan hukum, dan operasi
mengembalikan fungsi birokrasi.
Fokus yang dilihat pada tulisan ini adalah operasi militer. Operasi
militer yang dilakukan di Aceh berdasarkan pada lima hal (Rizal Sukma,
2004: 21-22). Pertama, operasi militer yang dilakukan merupakan hasil
keputusan politik oleh sipil melalui dekrit presiden. Kedua, terdapat dasar
hukum dari tindakan use of force TNI. Ketiga, Operasi Terpadu memiliki
tujuan politik yaitu mendapatkan dukungan dari publik (winning hearts
and minds). Empat, operasi yang dilakukan mendapatkan dukungan dari
parlemen, seluruh pemimpin politik, serta masyarakat Indonesia secara
mayoritas. Kelima, kebebasan pers di area operasi militer.
Penggunaan use of force dalam Operasi Terpadu dilakukan melalui
beberapa cara. Komandan TNI Jenderal Endriarto Sutarto mengatakan,
“Langkah pertama adalah memburu, menghancurkan, dan membunuh
anggota GAM. Jangan biarkan diri Anda dibunuh. Kedua, kita harus
menarik simpati rakyat, dan seharusnya tidak sulit.” (Sinar Harapan 20
Mei, 2003). Selain itu, Mayor Jenderal Endang Suwarya menyatakan
dalam menghancurkan GAM, dilakukan dengan mengambil alih markas
strategis, menghancurkan sistem komando, dan fasilitasnya (IPS News).
Use of force yang dilakukan TNI dilakukan melalui tiga fase. Fase
pertama, selama dua bulan awal operasi, militer akan menempati daerah
yang diklaim sebagai basis GAM dan mengusir pemberontak keluar. Tahap
kedua, operasi diarahkan untuk memisahkan sipil dengan GAM. Tahap
10
ketiga, operasi diarahkan untuk menghilangkan GAM sama sekali (Rizal
Sukma, 2004: 24).
Winning hearts and minds juga turut dilakukan TNI dalam Operasi
Terpadu. Susilo Bambang Yudhoyono selaku Menteri pada saat itu
menekankan
tujuan
utama
counter-insurgency
adalah
mengurangi
dukungan masyarakat lokal terhadap insurgents (SCTV). Pernyataan yang
sama juga disampaikan oleh Mayor Jenderal Darmono bahwa tugas utama
pasukannya adalah memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh (Rizal
Sukma, 2004: 25). Memenangkan hati dan pikiran dilakukan dengan
menghindari korban sipil dalam operasinya menghancurkan insurgents.
Untuk menghindari jatuhnya korban sipil, TNI melakukan beberapa hal,
seperti: (1) meminta wanita dan anak-anak untuk meninggalkan rumah
mereka, (2), meminta pria yang tidak bersenjata melakukan hal yang
sama, dan (3) melakukan pengamanan apabila masih terdapat orang di
dalam yang diasumsikan sebagai anggota GAM.
Penjelasan di atas menegaskan bahwa Operasi Terpadu yang
dilakukan TNI meliputi dua cara yaitu use of force dan winning hearts and
minds. Use of force dilakukan dengan menghancurkan kelompok GAM,
menekan posisinya, dan menghancurkan basis utamanya (fasilitas). Di sisi
lain, winning hearts and minds dilakukan TNI melalui komunikasi persuasif
dengan masyarakat, menghindari korban sipil, dan memposisikan sebagai
pelindung dari masyarakat lokal.
D.
Kesimpulan
Karakteristik strategi pertahanan masa depan yang menjadi
argumen penulis adalah bagaimana cara menghadapi ancaman yang
bersifat non-tradisional khususnya insurgents. Pembentukan strategi
counter-insurgency ayang efektif menjadi tantangan bagi negara agar
tetap eksis dalam menjaga kedaulatannya. Cara “berperang” insurgents
yang tidak biasa membuat negara harus menyesuaikan untuk dapat
menghadapinya. Adapun strategi counter-insurgency yang dilakukan
11
meliputi dua hal, yaitu use of force dan winning hearts and minds. Use of
force ditujukan kepada insurgents, sedangkan winning hearts and minds
ditujukan untuk mendapatkan dukungan masyarakat lokal.
Pada studi kasus di tulisan ini terlihat bahwa TNI melalui Operasi
Terpadu dalam menghadapi GAM mengimplementasikan strategi use of
force dan winning hearts and minds. Use of force dilakukan TNI untuk
menghancurkan GAM, sementara winning hearts and minds dilakukan
untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat lokal. Asumsinya, apabila
dapat memenangkan hati masyarakat lokal Aceh, GAM tidak akan menjadi
populer, dan TNI dapat memenangkan perang. Menurut penulis,
tantangan
menghadapi
dari
strategi
insurgents
pertahanan
lebih
negara
kepada
masa
bagaimana
depan
dalam
negara
dapat
mengkolaborasikan penggunaan use of force dan winning hearts and
minds secara tepat.
Sumber Pustaka
Barno, David W. (2006) Challenges in Fighting a Global Insurgency.
National Defense University.
Echevarria, Antulio J. (2005). Fourth-Generation War and Other Myths.
Department of Defense.
IPS News. “Extension of Military Rule Prolongs War in Aceh.”
Lennon, Alexander T.J. (2003). The Battle for Heartss and Minds: Using
Soft Power to Undermine Terrorist Networks. London: MIT Press.
Libicki, Martin C. Gampert, David C. Frelinger David R. Smith, Raymond.
(2007). Byting Back: Regaining Information Superiority Against
21st-Century Insurgents. Airlington: RAND Corporation.
Muniz, Manuel. (2013). Strategy and Its Role in the Future of European
Defence Integration. Instituto Affari Internazionali.
SCTV. www.liputan6.com/fullnews/54549.html.
Sinar Harapan. 20 Mei, 2003.
12
Tomes, Robert R. (2004). Relearning Counterinsurgency Warfare.
University of Maryland.
U.S. Department of Defense. (2007). U.S. Military Doctrine.
UK Ministry of Defence. (2004). British Military Doctrine.
Vinci, Anthony. (2009). Armed Groups and the Balance of Power. Oxon:
Routledge.
Williams, Paul D. (2008). Security Studies: an Introduction. New York:
Routledge.
www.pisnews.net/interna.asp?idnews=21192.
13