Sejarah SAstra Masa Pergerakan Nasional

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah
Bagi dunia ketiga, abad ke-20 merupakan abad Nasionalisme, yaitu suatu

kurun waktu yang dalam sejarahnya menyaksikan pertumbuhan kesadaran
berbangsa serta gerakan nasionalisme untuk memperjuangkan kemerdekaannya.
Perkembangan nasionalisme pada umumnya merupakan reaksi terhadap
imperialisme dan kolonialisme yang merajalela dalam abad ke-19 dan bagian
pertama abad ke-20. Ekspansi Barat sejak akhir abad ke-15 memunculkan
Belanda beserta VOC-nya sebagai pemegang monopoli serta hegemoni politik di
kawasan Nusantara, kendati perlawanan yang dihadapi ada di mana-mana.
Berbeda sekali dengan sifat perlwanan itu, gerakan nasionalisme mewujudkan
corak dan bentuk jawaban yang disesuaikan dengan struktur serta masyarakat
kolonial, maka pada periode gerakan itu dapat dibedakan dari masa sebelumnya.
Gerakan inilah yang kemudian dikenal dengan Pergerakan Nasional.
Pada masa Pergerakan Nasional inilah orientasi perlawanan dan perjuangan
menuju kemerdekaan mengalami perubahan. Kondisi ini dikarenakan munculnya
kalangan terpelajar yang telah mengenyam pendidikan. Kalangan terpelajar inilah

yang menggugah kesadaran identitas kebangsaan dan pola perjuangan melawan
penjajah. Hal ini tentunya tidak lepas dari adanya politik etis yang pada masa itu
telah diterapkan. Dalam kondisi yang demikian, salah satu sarana perjuangan
melawan penjajah menuju ke gerbang kemerdekaan adalah melalui pers yang
pada masa itu sudah berkembang dengan surat kabar sebagai sarananya.
Sebagai suatu sarana perjuangan, surat kabar selanjutnya mengalami
perkembangan. Yang paling mencolok dari perkembangan ini adalah tumbuhnya
pers pribumi dan bangkitnya kesadaran sosial kaum pribumi di Jawa. Selanjutnya
didirikan pers bersama milik pribumi dan tumbuh kesadaran ekonomi sosial yang
baru. Beragam surat kabar dengan berbagai redaksi. Hal ini tentunya ditopang
oleh tokoh-tokoh yang bergerak di bidang pers yang senantiasa menuangkan
pemikiranya dalam perjuangan menuju kemerdekaan.

1

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan rumusan


masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran umum munculnya Pergerakan Nasional?
2. Bagaimana kondisi pers pada masa Pergerakan Nasional?
3. Bagaimana peran pers dalam Pergerakan Nasional?
4. Bagaimana Respon Pemerintah Hindia Belanda terhadap Perkembangan
Pers?
5. Apa saja surat kabar yang terbit pada masa Pergerakan Naional?
6. Siapa saja Tokoh-tokoh pers pada masa Pergerakan Nasional?
C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan

1.

Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini

adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
a. Gambaran umum munculnya Pergerakan Nasional;
b. Kondisi pers pada masa Pergerakan Nasional;

c. Peran pers dalam Pergerakan Nasional;
d. Respon Pemerintah Hindia Belanda terhadap Perkembangan Pers;
e. Surat kabar yang terbit pada masa Pergerakan Nasional;
f. Tokoh-tokoh pers pada Masa Pergerakan Nasional.
2.

Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami hal-hal sebagai

berikut:
a. Gambaran umum munculnya Pergerakan Nasional;
b. Kondisi pers pada masa Pergerakan Nasional;
c. Peran pers dalam Pergerakan Nasional;
d. Respon Pemerintah Hindia Belanda terhadap Perkembangan Pers;
e. Surat kabar yang terbit pada masa Pergerakan Nasional;
f. Tokoh-Tokoh Pers pada Masa Pergerakan Nasional.

2

BAB II

PEMBAHASAN
A.

Gambaran Umum Munculnya Pergerakan Nasional
Sistem kolonial beserta sistem eksploitasinya membawa dampak luas seperti

terwujud sebagai proses komersialisasi, industrialisasi pertanian, birokratisasi.
Pendeknya, modernisasi di segala bidang, termasuk bidang komunikasi,
transportasi, dan edukasi. Suatu hal yang tidak disengaja terjadi adalah timbulnya
mobilisasi sosial yang lebih tinggi serta munculnya golongan intelegensia.
Mendirikan sekolah-sekolah dapat diibaratkan seperti membuka kotak pandora.
Segala macam kekuatan sosial terlepas dan sukar dikendalikan, atau seperti apa
yang diucapkan oleh Kennedy, “Pendidikan merupakan dinamit bagi sistem
kolonial” (Kartodirdjo, 1999: ix).
Akar dari hal tersebut dapat terjadi adalah adanya politik etis yang
dicetuskan oleh Van de Venter yang salah satu slogan dari pelaksanaan politik etis
tersebut adalah edukasi atau pendidikan. Meskipun dalam pelaksanaannya, adanya
pendidikan ini dimaksudkan untuk mendapatkan tenaga kerja terdidik yang
muerah dan banyak menguntungkan pemerintah kolonial, akan tetapi, setidaknya
dengan dibukanya berbagai sekolah menjadikan akses rakyat pribumi ke dalam

bidang pendidikan menjadi terbuka. Dengan demikian, rakyat pribumi bisa
mengenyam pendidikan dan terbebas dari buta huruf. Lebih dari hal itu, sebagian
di antaranya dapat terus melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi
sehingga dari merekalah lahir kaum intelegensia atau kalangan terpelajar yang
nantinya mengubah pola perjuangan dan perlawanan terhadap penjajah (Duliman,
2012:65).
Di samping itu, dengan masuknya lembaga-lembaga modern, masyarakat
Indonesia mengalami perubahan, di satu pihak proses destrukturisasi sistem
feodal-tradisional, dan di pihak lain restrukturisasi sistem sosial yang lebih sesuai
dengan struktur sosial masyarakat semi-industrial. Dipandang dengan wawasan
modernisasi itu, menjadi jelas bahwa periode yang dikaji sekarang adalah periode
adaptasi terhadap sistem modern (Kartodirdjo, 1999: x).

3

Proses adaptasi itu sekaligus mencakup proses inovasi dalam berbagai
bidang seperti ekonomi, sosial, poltik, dan kultural. Berbagai unsur kebudayaan
Barat, baik berupa nilai ataupun sistem, diserap dan dilembagakan, antara lain
teknologi, pengetahuan, sistem organisasi, administrasi pengajaran, dan lain
sebagainya.

Sehubungan dengan hal itu perlu ditambahkan bahwa berbagai perlawanan
terhadap kolonialsime dalam abad ke-19 dan sebelumnya lebih tepat disebut
protonasionalisme. Perlawanan bersenjata secara tradisional dapat dipadamkan
oleh kekuatan militer penguasa kolonial dengan teknologi perang modern.
Gerakan nasionlaisme membangun kekuatan sosial dengan membentuk
organisasi gaya modern serta memobilisasi pendukung berdasarkan kesadaran
sosial pada awalnya dan kemudian nasional. Kesadaran itu tidak terpisah dari
perkembangan ideologi modern, yaitu nasionalisme (Kartodirdjo, 1999: x).
Adalah sangat wajar bilamana dalam menghadapi kolonial yang penuh
dengan pengingkaran hak-hak manusia, antara lain ketidaksamaan, ketidakadilan,
kontras antara berkedudukan istimewa dan yang tak berkedudukan, kontradiksi
dan konflik, kaum cendekiawanlah yang ada dalam posisi serta berpengetahuan
untuk mendefinisikan situasi, menidentifikasi permasalahan, serta menyusun
perumusan siasat dan cara bagaimana mengatasi situasi itu. Golongan elite baru
itulah yang mempunyai kemampuan untuk menentukan identitas mereka, semula
yang negatif yang dipengaruhi oleh stigma-stigma, baru kemudian lambat-laun
secara positif, yaitu identitas nasionalisme.
Fase pertama gerakan nasionalis yang diawali oleh berdirinya Budi Utomo,
Sarekat Islam, Jong Sumatera, dan lain sebagainya yang kesemuanya
menunjukkan gejala penemuan kembali identitasnya, yang logis sekalipun masih

terikat kebudayaan etnik masing-masing (Kartodirdjo, 1999: x).
Barulah generasi tahun dua puluhan berhasil merumuskan konsep
nasionalisme Indonesia, yaitu tahun 1925 dengan Manifesto Politik yang
dinyatakan perhimpunan Indonesia. Di dalam pernyataan itu tercakup prinsipprinsip nasionalisme, antara lain kebebasan (kemerdekaan), kesatuan, dan
kesamaan. Sudah barang tetntu nasionalisme itu antikolonial sehingga dalam

4

rangka program perjuangan nasional tercantum prinsip non-kooperatif terhadap
penguasa kolonial. Inilah suatu fase yang kemudian dikenal dengan fase
Pergerakan Nasional (Kartodirdjo, 1999: xi).
Dari paparan tersebut dapat dipahami bahwa, fase atau masa Pergerakan
Nasional digawangi oleh para kaum intelegensia atau kalangan terpelajar yang
bermula dari adanya politik etis dalam bidang pendidikan. Dari bidang pendidikan
itulah yang kemudian melahirkan kaum terpelajar tersebut. Merekalah yag
mengubah pola perjuangan dan perlawanan terhadap penguasa kolonial melalui
ideologi dan semangat nasionalisme. Ide-ide yang mereka keluarkan, dibubuhkan
melalui berbagai sarana, diantaranya dengan mendirikan berbagai organisasi
ataupun partai. Di samping itu, ide-ide dan gagasan tersebut mereka tuangkan
dalam berbagai bentuk tulisan, diantaranya melalui surat kabar. Inilah fungsi dan

peranan pers dalam surat kabar sebagai salah satu media perjuangan untuk
mencapai kemerdekaan pada masa Pergerakan Nasional.
B.

Kondisi Pers Pada Masa Pergerakan Nasional

1.

Sebelum Pergerakan Nasional
Pers di Indonesia dalam sejarah kemunculannya dapat digolongkan dalam

tiga kategori, yaitu pers Kolonial, Pers Cina dan Pers Nasional. Pers Kolonial
diusahakan oleh orang-orang Belanda, berupa surat kabar, majalah-majalah dalam
bahasa Belanda, daerah atau Indonesia dan bertujuan membela kaum kolonialis
Belanda, di samping membantu usaha-usaha pemerintah Hindia Belanda dan
kadangkala mengkritik pemerintah jika terdapat tindakan-tindakan pemerintah
yang dirasakan merugikan pemilik modal serta kedudukan kaum kapitalis Belanda
(Taufiq, 1977:17).
Tentang pers kolonial dapat dikemukakan bahwa sejarahnya sudah sma
tuanya dengan bercokolnya Kolonialis Belanda di Indonesia. Pers Kolonial pada

masa itu telah banyak menerbitkan koran-koran, seperti Memories der Nouvelles,
Bataviasche Nouvelles, Venduniuews, Bataviasche Koloniale Courant, The Java
Government Gazette, dan lain sebagainya (Taufiq, 1977:17). Meskipun pada
mulanya yang dimuat dalam koran-koran tersebut hanya berupa iklan-iklan saja,

5

akan tetapi kemudian muatan dalam koran-koran tersebut semakin beragam
mencakup berbagai bidang, termasuk di dalamnya yang bermuatan politik.
Sementara yang dimaksud Pers Cina adalah koran-koran, majalah-majalah
dalam bahasa Cina, Indonesia dan ada juga bahasa Belanda yang diterbitkan oleh
golongan penduduk Cina yang ada di Hindia Belanda saat itu. Dalam
perkembangannya, pers Cina ini telah menerbitkan berbagai jenis koran di
antaranya Li Po, Siang Po, Bin Seng, dan lain sebagainya (Taufiq, 1977:18).
Koran-koran tersebut diterbitkan untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri.
Sedangkan Pers nasional yang dimaksud adalah surat-surat kabar, majalahmajalah yang diterbitkan dalam bahasa Indoneisa atau daerah, malahan ada juga
yang berbahasa Belanda dan diperuntukan terutama bagi kepentingan bangsa
Indoneisa. Pers nasional ini diusahakan oleh orang-orang Indonesia, biasanya oleh
kaum pergerakan nasional atau menurut istilah dewasa ini kaum perintis
kemerdekaan dan bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa

penjajahan.
Jadi, kondisi pers Indonesia di masa penjajahan, memang sesuai dengan
keadaan masyarakat di mana ketiga golongan penduduk tersebut mencerminkan
situasi keadaan penduduk yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan. Dengan sendirinya di masa penjajahan ini, pers nasional dapat
dikatakan yang paling menderita sebagai akibat dari pendirian dan cita-citanya
terutama dalam pertentangannya dengan pers kolonial (Taufiq, 1977:18).
2.

Masa Pergerakan Nasional
Menguraikan tentang sejarah pers Nasional di zaman penjajahan Belanda

merupakan sebuah perjalanan panjang karena bertaut dengan sejarah pergerakan
bangsa Indoneisa. Seperti yang diungkapkan oleh Saruhum dalam tulisannya
“Perjuangan Surat kabar Indonesia”, dia berkata, “Tumbuhnya perusahaanperusahaan surat kabar Indonesia, sebenarnya sebagian besar adalah sejalan
dengan tumbuhnya kebangkitan nasional Indonesia, yaitu sesudah tahun 1908”
(Taufiq, 1977:23).
Sungguhlah tepat apa yang dikatakan Saruhum tersebut di atas bahwa
karena surat kabar Indonesia yang benar-benar ditujukan kepada bangsa Indoneisa


6

dan merupakan alat perjuangan untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional
adalah setelah berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan para
karyawanpun, baik para wartawannya, maupun para pengusahanya, pada
umumnya adalah orang-orang yang tegolong orang pergerakan di masa itu.
Pada umumnya surat-surat kabar yang muncul di waktu itu merupakan
terompet dari partai-partai politik yang turut muncul setelah tanggal 20 Mei 1908.
Di antaranya dapat dikemukakan harian “Sedio Tomo” di Yogyakarta yang
sebenarnya adalah lanjutan dari Harian “Budi Oetomo” dalam tiga edisi, bahasa
Jawa, Indonesia dan Belanda. Harian ini didirikan bulan Juni 1920. Harian
“Darmo Kondo” di Solo yang antara lain dipimpin oleh Sudaryo Cokrosiswo,
sedangkan salah satu anggota direksinya adalah Wongsonegoro S.H. dan di
Surabaya ada harian “Oetoesan Hindia” yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto,
harian “Fadjar Asia” di Jakarta, antara lain dipimpin oleh Haji Agus Salim.
Demikianlah beberapa diantara harian yang diterbitkan oleh kaum pergerakan
pada masa itu (Taufiq, 1977:24).
Di samping harian-harian tersebut juga ada majalah-majalah mingguan yang
dipimpin oleh Ir. Soekarno sebagai suaranya Partai Nasional Indonesia, yaitu
“Daulat Rakyat” dan “Kedaulatan Rakyat”. Dari pendidikan Nasional Hindia yang
dipimpin oleh Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir, “Persatuan Indonesia” dari Partindo
yang antara lain dipimpin oleh Amir Sjafrudin, Moh. Yamin dan Sartono, dan
masih banyak lagi harian-harian serta berkala yang terbitkan oleh partai-partai
politik. Ada juga yang diusahakan di luar partai politik, tetapi pada hakikatnya
bertujuan juga untuk membela kepentingan bangsa Indonesia, diantaranya
“Bintang Timoer” di Jakarta yang dipimpin oleh Parada Harahap (Taufiq,
1977:24).
Di samping melalui tulisan surat kabar dan majalah, Pers Nasional juga
mempunyai kantor berita. Jika dalam kalangan Pers Kolonial di zaman penjajahan
Belanda ada kantor berita “Aneta”, maka pada tanggal 13 Desember 1937, di
tengah-tengah pergerakan dan pers nasional kita menghadapi hantaman dari pihak
penjajah, berdirilah Kantor Berita Nasional “Antara” yang dalam sejarah pers
Indonesia memegang peranan penting terlebih di masa Penjajahan.

7

Jika “Aneta” menyiarkan berita-berita yang sifatnya membela segala
prestasi serta kebaikan hati kolonialisme dan kapitalisme Belanda, maka
berdirinya “Antara” dimaksudkan tidak hanya untuk sekedar sebagai suatu ikhtiar
menandingi Kantor Berita “Aneta” saja, melainkan juga sebagai suatu ikhtiar
untuk mengoordinasikan dan mempersatukan kekuatan-kekuatan pers nasional
dalam suatu bentuk penyuimberan berita-berita yang tidak kolonial dan tidak
nasional. Malahan dalam suatu bentuk penyumberan berita-berita yang sesuai
dengan jiwa serta gerak irama pergerakan nasional di waktu itu.
Tokoh-tokoh yang mendirikan “Antara” adalah Albert Manumpak Sipahutar
dan Adam Malik yang pada tanggal 13 Desember 1937 tersebut bersepakat
mendirikan suatu Kantor Berita Nasional yang dinamakan berdasarkan majalah
“Perantaraan” yang terbit di Bogor dan diusahakan oleh Sumanang. Dengan
berdirinya “Antara” ini, Adam Malik didapuk sebagai direkturnya dan sebagai
pendukung ide politiknya, sedangkan A.M. Sipahutar sebagai pemimpin redaksi
dan pendukung ide jurnalistiknya. Modal “Antara” yang pertama adalah cita-cita
yang tinggi serta kemauan yang keras. “Antara” didirikan ketika sedang
menghebatnya hantaman yang dilancarkan oleh kolonialis Belanda terhadap
pergerakan Nasional, sedangkan keadaan di luar negeripun sedang bergolak
karena menghadapi perubahan-perubahan besar dengan tindakan-tindakan Nazi
Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler (Taufiq, 1977:28).
C.

Peran Pers pada Masa Pergerakan Nasional
Surat kabar atau majalah merupakan sarana komunikasi yang utama dalam

menumbuhkan kesadaran nasional dan meluaskan Kebangkitan Nasional guna
mencapai cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa. Sejak berlakunya ketentuan
liberalisasi, khususnya keputusan penguasa kolonial untuk menghapus sensor
mulai tahun 1906, wartawan Indonesia memperoleh peluang untuk menerbitkan
surat kabar sendiri. Memang, liberalisasi di negeri jajahan bagaimana pun tentu
mengandung kontradiksi. Pasal-pasal karet dalam undang-undang yang masih
diberlakukan bahkan Persbreidel Ordonantie tahun 1931 tetap merupakan senjata
pengekangan dan penindasan (Said, 1988:23-24).

8

Pers dan wartawan pergerakan Indonesia berbeda dengan pers milik
Belanda dan Cina di masa ini dilihat dari dua aspek. Pers Belanda dan Cina
umumnya lebih unggul secara material dibanding pers pribumi. Dari segi ideal,
perbedaan tersebut lebih tajam. Wartawan pergerakan Indonesia yang berperan
sejak awal kebangkitan nasional memenuhi dua syarat pokok. Pertama,
memperjuangkan cita rasa kebangsaan dengan motivasi dasar menegakkan
kemerdekaan guna mencapai kehidupan yang adil dan sejahtera. Dan kedua,
mengusahakan pengadaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana pers dalam
kerangka perjuangan kebangsaan tersebut.
Dilihat dari kelahiran pers nasional pertama dan peningkatan jumlahnya
bersamaan dengan kelahiran dan dampak keberadaan Budi Utomo, maka
wartawan dan pers pergerakan Indonesia bermula tahun 1908. Pada gilirannya,
dengan berpedoman pada pertumbuhan pers nasional sejak itu, juga tercatat
bahwa wawasan peranan pers pergerakan di masa pra-1945 berkembang dalam
bobot maupun penampilan seiring dengan tahap-tahap perjuangan bangsa. Secara
spesifik, wawasan dan peranan tersebut selaras dengan, pertama, tahap
kebangkitan nasional (periode 1908 ke atas); kedua, tahap penegasan perjuangan
kebangsaan menuju Indonesia merdeka (sejak sumpah Pemuda tahun 1928 ke
atas); dan ketiga, rahap persiapan kemerdekaan (masa pendudukan militer jepang
hingga menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia) (Said, 1988:23-24).
Sejarah perkembangan pers di Indonesia dimulai dengan terbitnya surat
kabar belanda seperti De Bataviasche Nouvelles di Batavia tahun 1744 dan De
Locomotief di Semarang sejak tahun 1852 serta Bataviaasche Nieuwsblad di
Batavia sejak tahun 1885.
Bromatani di Surakarta dapat dianggap sebagai perintis dalam pers pribumi.
Baru dalam dasawarsa kedua abad ke-19 pers pribumi benar-benar mengalami
pertumbuhan seperti jamur di musim hujan. Infrastruktur seperti kereta api,
telepon, telegraf, pos, kesemuanya telah memungkinkan komunikasi secara cepat
dan luas. Lagi pula mulai timbul permintaan akan informasi yang tidak lain
karena telah meningkatnya jumlah kaum terpelajar dan yang tidak kurang penting
hal yang menyertai pertumbuhan itu adalah meluasnya cakrawala perhatian

9

ataupun empati terhadap dunia luar, batas-batas kekerabatan, kesukuan, subkultur,
dan tempat tinggal (Adam, 2003:28).
Dipandang dari sudut penglihatan saat itu, pers telah membuat revolusi
komunikasi antara lain mengubah pola komunikasi tradisional yang terutama oral
(lisan) sifatnya menjadi tertulis sehingga menjadi lebih mantap dalam arti bahwa
tidak berubah-ubah dalam proses penerusannya. Yang lebih penting ialah bahwa
pers menciptakan sistem komunikasi yang terbuka, dimana informasi dapat
diperoleh oleh golongan sosial manapun. Sirkulasi informasi yang terbuka mau
tak mau mengurangi keketatan hierarki menurut usia dan kedudukan, posisi
monopolistis golongan yang berstatus tinggi dan lain sebagainya.
Aliran informasi lewat pers sangat meningkatkan intensitas komunikasi.
Meskipun aliran itu lebih bersifat satu arah, namun pers mempunyai potensi
membangkitkan kesadaran kolektif, antara lain mengenai kepentingan umum,
seperti keamanan, kesejahteraan, kemasyarakatan dan ketatanegaraan, dan lain
sebagainya. Berita-berita mengenai luar negeri secara tidak langsung tidak hanya
menambah pengetahuan politik dunia, tetapi juga menambah kesadaran politik
pembaca. Satu langkah lebih lanjut akan membangkitkan kecenderungan untuk
membandingkan situasi politik luar negeri dengan dalam negeri sehingga akhirnya
tidak dapat dielakkan lagi adanya pemikiran dan pemandangan kritis terhadap
lingkungan politik di dalam negeri yang dalam segala-galanya masih didominasi
oleh penguasa kolonial dengan sistem dualisme ekonomi dan diskriminasi
rasialnya. Sudah barang tetntu berbagai pola kehidupan tradisional juga mendapat
sorotan; jadi, mulai dibicarakan secara umum dan dipersoalkan. Lewat tulisan,
orang mungkin lebih berani melontarkan permasalahan dan melancarkan kritik
terhadap tradisi-tradisi yang dirasakan tidak lagi sesuai dengan zamannya. Oleh
pers diciptakan forum yang cukup bebas untuk mengajukan pendapat, pikiran,
kritik sosial, dan lain sebagainya (Kartodirdjo, 1999:113).
Di sini fungsi pers sangat membantu tumbuhnya massa kritikal dalam
masyarakat, kesadaran kolektif, dan solidaritas umum, sehingga dengan demikian,
berbagai gerakan sebagai wahana aksi kolektif mendapat dukungan kuat. Tidak

10

mengherankan bila kemudian berbagai aliran dan gerakan mempunyai persnya
sendiri yang berperan sebagai juru bicaranya.
Kesadaran akan keterbelakangan beserta perasaan inferior menyertai krisis
tradisi tersebut. Aspirasi-aspirasi untuk mencapai kemajuan meluap, terpaparnya
gagasan lewat media massa dengan cepat dan secara luas menggalakkan
pensosialisasiannya sehingga tumbuhlah kesadaran yang semakin meluas di
kalangan masyarakat. Dengan demikian, kondisi sudah masak bagi suatu gerakan
akan mencapai “kemajuan” sebagai bentuk reaksi kolektif terhadap tantangan
modernisasi (Kartodirdjo, 1999:114).
Dalam proses itu tidak ternilai peranan yang dipegang oleh media massa,
khususnya surat kabar. Jalur komunikasi tidak hanya terbatas pada hubungan tatap
muka, tetapi mampu melampaui batas golongan sosial, subkultur, dan kedaerahan
sehingga dapat mengatasi kungkungan segmentasi.
Meskipun jumlah surat kabar yang berhaluan radikal sangat terbatas, namun
proses politisasi masyarakat berlangsung semakin gencar juga, tidak lain karena
surat-surat kabar yang moderat pun banyak mengkomunikasikan faktor politik.
Keradikalan lebih berwujud sikap antikolonilisme dan antikapitalisme.
Pada umumnya surat kabar sudah memakai bahasa melayu sebagai bahasa
perantara seperti Pemberita Betawi, Sinar di Jawa, Oetoesan Hindia, meskipun
daerah peredarannya tidak memakai bahasa tersebut sebagai lingua franca-nya.
Ini sangat besar artinya bagi demokratisasi dan sekaligus Indonesiasasi.
Komunikasi atas-bawah, antargolongan, dan antaretnik. Dengan demikian, sangat
dipermudah. Kerangka pemikiran tradisional mau tak mau mengalami
perombakan seperti munculnya konsep baru, berubah dan bertambahnya
perbendaharaan kata-kata. Yang paling penting ialah timbulnya pikiran skeptis
terhadap banyak aspek kehidupan tradisional serta kebebasan berpikir
mengekspresikannya. (Adam, 2003:25)
Peran besar pers juga ditunjukkan dengan berdirinya Kantor Berita Nasional
“Antara” pada tanggal 13 Desember 1937 dengan tokoh-tokoh pendiorinya, yaitu
Albert Manumpak Sipahutar, Sumanang, dan Adam Malik. Walaupin dalam
azasnya “Antara” didirikan untuk menyiarkan berita-beraita yang objektif dari

11

seluruh penjuru tanah air, namun setiap pejuang dan nasionais di waktu itu sadar
dan mengerti bahwa yang dimaksud oleh “Antara” dengan istilah objektif dalam
penberitaan adalah berita-berita yang sejiwa dengan Pergerakan nasional dan
seirama dengan usaha-usaha kaum pergerakan dalam membela kepentingankepentingan rakyat Indonesia. Sungguhlah tepat jika dikatakan bahwa dengan
lahirnya kantor berita nasinal pertama ini tersediualah saluran bagi kaum
pergerakan Indonesia yang pada waktu itu sedang menuntut suatu parlemen dari
pemerintah Hindia Belanda (Taufiq, 1977:27-28). Dengan demikian, adanya
Kantor Berita nasional “Antara” berjasa besar dalam menegakkan pers nasional
pada masa itu.
Bahwasanya pers merupakan ancaman bagi penguasa kolonial tidak dapat
diragukan lagi. Kesempatan mengeluarkan pendapat menjadi fasilitas untuk
mengecam sistem kolonial serta unsur-unsur prakteknya. Agitasi poitik juga
berbahaya sekali bagi “ketentraman dan ketertiban” masyarakat. Lagi pula secara
langsung membuat pemerintah kolonial sebagai target kritik. Tidak mengherankan
apabila beberapa surat kabar berkali-kali terkena “pemberangusan” (persbreidel).
Hanya pers yang moderat saja dapat mengalami hidup cukup panjang.
Dari uraian fungsi-fungsinya tersebut, jelaslah bahwa pers mempunyai
peranan penting dalam menjalankan pendidikan politik bagi bangsa Indonesia.
Dipaparkan berbagai sistem politik; kejadian-kejadian besar di berbagai negeri,
antara lain di Jepang, Turki, Eropa; ideologi-odeologi revolusi; kelakuan politik
negarawan-negarawan, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu membangkitkan
pengetahuan akan proses dan sisem politik serta kelakuan politik, lebih-lebih
ideologi-ideologi politik pada satu pihak dan pada pihak lain kesadaran akan
kondisi politik di negeri sendiri. Diduga bahwa lewat media massa banyak
pengaruh memancar dan kemenangan Jepang terhadap Rusia (1905), gerakan
Turki Muda di bawah Kemal Attaturk (1908), Revolusi Cina di bawah Sun Yat
Sen (1911), dan pergolakan-pergolakan lainnya. Apa yang terjadi dipanggung
politik dunia mulai dipentaskan kepada umum. Secara berangsur-angsur
tumbuhlah sensitivitas umum terhadap proses politik (Kartodirdjo, 1999:115).

12

Kesadaran, dengan demikian bertambah dengan dimensi politik yang
menunjukan tujuan yang lebih kongkrit daripada kesadaran akan beremansipasi.
Memang, ide emansipasi mencakup langkah liberasi dari kungkungan tradisi,
kemudian fase mengejar ketertinggalan atau mengurangi kondisi serba
terbelakang yang langsung disusul oleh gerakan meningkatkan taraf hidup dalam
berbagai bidang: ekonomi, politik, sosial, kultural, dan religius. Kesemuanya itu
tercakup dalam ruang lingkup wawasan pers. Adalah perkembangan yang wajar
sekali apabila kesadaran politik akhirnya menjadi dominan serta menjadi titik
konvergensi aspirasi di kalangan luas (Kartodirdjo, 1999:115).
Sungguh tak ternilai sumbangan pers dalam memperbesar volume
informasi, meningkatkan intensitas komunikasi, atau mempercepat sirkulasi ide,
serta membuka alam pikiran rakyat. Itu semuanya secara komulatif mendukung
mobilisasi, gerakan kemajuan, dan akhirnya gerakan nasional dalam berbagai
warna/alirannya. Pergerakan nasional dan pers pribumi dapat didibaratkan sebagai
kembar siam, dua bidang kegiatan bangsa Indonesia yang hidup berdampingan
secara simbolik; ada saling ketergantungan secara organik, yang satu sukar
mempertahankan eksistensinya tanpa yang lain.
Apabila pergerakan nasional dapat dipandang sebagai proses mobilisasi
rakyat untuk berpartisipasi dalam perjuangan mewujudkan cita-cita nasional, hal
itu berarti bahwa fungsi pokok pergerakan itu lewat organisasi-organisasinya ialah
mensosialisasikan politik di kalangan rakyat. Meskipun telah ada kesempatan
mengadakan perkumpulan ataupun pertemuan, rapat besar ataupun muktamar,
namun kesempatan itu masih terbatas. Sedangkan forum yang tersedia oleh media
massa adalah kontinyu dan intensif, sehingga penggarapan kesadaran dapat
terlaksana secara lebih efektif. Perlu ditambahkan bahwa kaum terpelajar pada
umumnya buta politik, tidak lain karena sistem pendidikan kolonial dengan
sengaja menghambat proses pendewasaan politik pribumi, antara lain pelajaran
sejarah nasional dan kebudayaan nasional sangat terbatas tempatnya dalam
kurikulum sekolah. Seorang tamatan sekolah pada umumnya masih apolitik,
belum berkembang perhatiannya terhadap dunia politik. Cita-citanya masih
dikuasai boleh timangan tradisional ialah bersekolah untuk menjadi priyayi.

13

Proses pengintegrasian kaum terpelajar lewat pers ditingkatkan, baik secara
regional maupun nasional, tetapi sekaligus terjadi segmentasi menurut aliran
pokitik, kepentingan golongan, serta kelompok sosial lainnya. Memang
diferensiasi semacam itu secara wajar timbul dalam proses modernisasi.
Mengingat peranan strategis pers dalam perkembangan politik itu, maka
pemerintah

kolonial

tidak

segan-segan

melakukan

pemberangusan

pers

(persbreidel). Penerapan artikel 155 dan 157 secara leluasa dilakukan oleh
gubernurmen (Kartodirdjo, 1999:116).
Sebagai media massa, pers Indonesia dapat menciptakan forum yang jauh
melampaui batas-batas arena politik pada waktu itu terbatas pada organisasi
pergerakan saja. Yang menjadi sasaran penindasan adalah apa yang terkenal
sebagai haatzaai artikel, karangan penyebar kebencian. Terhadap pesanan politik
yang tidak langsung atau terselubung penguasa kolonial tidak berdaya sama
sekali. Bagaimanapun juga arus informasi mengenai kejadian-kejadian politik
semakin meluas dan deras dengan akibat bahwa kesadaran pembaca semakin
membesar.
D.

Respon Pemerintah Hindia Belanda terhadap Perkembangan Pers
Banyak rintangan yang di hadapi pers nasional di masa Hindia Belanda,

terutama dari pihak pemerintah Belanda dengan ancaman “persbreidel
ordonantie”. Walaupun banyak rintangan dan kesulitan yang aharus dihadapi pers
nasional, namun semakin lama semakin kuat kedudukannya dalam kalangan
masyarakat bangsa Indonesia di waktu itu karena rakyat yang merasa dibela
kepentingannya oleh surat-surat kabar bangsanya, selalu berikhtiar untuk terus
menghidupkannya. Yang menyebabkan pers Indonesia di zaman penjajahan
Belanda mendapat kedudukan kuat ialah karena baik para pengusahanya, maupun
para wartawannya berani berkorban untuk kepentingan bangsa (Taufiq, 1977:2425).
Dalam perjuangannya menyebarkan cita-cita bangsa Indoneia di zaman
penjajahan Belanda, maka selalu terjalinlah hubungan moral antara pers dan
rakyat, sehingga dapatlah dikatakan bahwa pers Indonesia di masa lalu itu adalah

14

suatu parlemen masyarakat atau parlemen bangsa Indonesia yang terjajah, di mana
semua hasrat dan hal-hal yang ditentang oleh masyarakat Indonesia dikemukakan.
Isi surat kabar di masa itu merupakan refleksi dari isi hati masyarakat, malahan
jadi pendorong bagi Pergerakan Nasional dalam perjuangan memperbaiki nasib
serta kedudukan rakyat Indonesia. Tajamnya pers sebagai alat perjuangan
sungguh-sungguh disadari, maka tidaklah mengherankan jika di masa penjajahan
Belanda, kaum pergerakan senantiasa berikhtiar suatu surat kabar atau
mempengaruhi sesuatu surat kabar (Taufiq, 1977:25).
Pemerintah Hindia Belanda yang melihat bawha pers Indonesia adalah alat
yang ampuh di tangan kaum pergerakan, tidak henti-hentinya menimbulkan
rintangan-rintangan dalam usaha pers kita, tidak saja dengan mengancam akan
menggunakan undang-undang yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Belanda yang di dalamnya terdapat beberapa pasal yang
melarang penyebaran tulisan-tulisan tajam, terutama tulisan-tulisan yang
menyebarkan bibit permusuhan dan kebencian. Padal-pasal itu disebut dengan
pasal-pasal tentang “penyebaran kebencian” (Duijs: 1985:79-80).
Namun pada praktiknya adalah bahwa pemerintah Hindia Belanda melalui
persnya setiap saat malah dengan bebas menyebarluaskan pernyataan dan ucapan
yang menghina dan merendahkan rakyat Indonesia dengan cara yang
bagaimanapun tanpa dtegur atau dihukum. Mereka seolah merdeka membakar dan
menghidupkan rasa kebencian dan permusuhan terhadap bangsa Indonesia tanpa
diganggu pelaksana undang-undang.
Tak cukup dengan itu, ditambah pula dengan beberapa pasal yang sangat
terkenal di masa itu, yaitu pasal-pasal tambahan seperti pasal 153 bis dan ter,
pasal 161 bis dan ter dan pasal 154 KUHP. Tetapi pasal-pasal inipun belum
dirasakan cukup sehingga diadakanlah suatu persbreidel ordonantie, yang
memberi hak kepada pemerintah Hindia Belanda untuk memberangus surat-surat
kabar penerbitan-penerbitan Indonesia pada umumnya, apabila dipandang
berbahaya bagi kedudukan pemerintah kolonial. Malahan sampai kepada
percetakan-percetakan yang mencetak surat-surat kabar nasional dapat ditutup.

15

Sungguhlah tepat jika dikatakan bahwa pers Indoneisa merupakan momok yang
ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda (Taufiq, 1977:25).
Jikalau kita namakan periode zaman penjajahan Belanda ketika mulai
timbulnya pers nasional, sebagai suatu periode pergerakan nasional adalah tepat,
karena banyak wartawan-wartawan nasional yang tanpa memandang berbagai
ancaman yang datang dari pihak pemerintah kolonial atau ancaman pembuangan
ke Boven Digul dan lain sebagainya, dengan memegang semboyann ”lebih dahulu
menegakkan Indonesia Merdeka, baru kemudian wartawan.” Demikianlah yang
menjadi tekad para wartawan nasional pada masa itu.
Telah diterangkan sebelumnya bahwa pers nasional sangat erat pertautannya
dengan sejarah pergerakan bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya di
sekitar tahun 1937, ketika pemerintah Hindia Belanda menjatuhkan pukulanpukulan yang tak henti-hentinya terhadap pergerakan bangsa Indonesia. Pers
nasional di masa itu mengalami hantaman umum dari pemerintah Hindia Belanda.
Rentetan pers di muka pengadilan Hindia Belanda dengan dijatuhkannya
hukuman-hukuman yang tidak ringan kepada wartawan-wartwan adalah suatu
bukti yang nyata. Betapa sempitnya ruang gerak pers nasional yang dibuat oleh
Belanda. Terbukti bahwa bukan saja di lapangan jurnalistik, tetapi juga dalam
lapangan ekonomi dan keuangan. Pers nasional di waktu itu banyak menghadapi
kesulitan-kesulitan, tidak hanya karena jiwa non-kooperatif yang ditunjukkan oleh
para karyawan pers nasional terhadap pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga
karena saingan berat dari pers Belanda dan pers asing lainnya yang selain ruang
gerak politiknya lebih luas dan lebar, juga dasar ekonomi serta keuangannya lebih
kokoh dan kuat berkat bantuan, baik secara terang-terangan maupun secara
rahasia dari pemerintah Hindia Belanda. Tetapi justru dalam keadaan sulit
demikian itu bagi pers nasional, timbul gejala yang baik sekali, yaitu gejala yang
mencari titik-titik pertemuan serta persatuan dalam menghadapi tindakan-tindakan
pemerintah Hindia Belanda. Demikianlah keadaan pers nasional pada masa itu,
tepatnya di sekitar 1937, di mana usaha-usahanya sejalan dengan pergerakan
nasional di waktu tersebut, yakni lebih memperhebat lagi persatuan rakyat dalam
mengadapi hantaman-hantaman dan respon dari pihak pemerintah Hindia belanda.

16

Adapun hantaman dan respon dari pemerintah Hinda Belanda terhadap pers
nasional tidak hanya terjadi pada surat kabar dan majalah saja. Akan tetapi, hal ini
juga terjadi pada kantor bertia Nasional “Antara”. Pihak kolonial menuduh
“Antara” tidak menyiarkan berita-berita yang objektif karana dalam beritaberitanya jelas tersirat usaha-usaha kaum kolonialis yang merugikan rakyat
(Taufiq, 1977:27).
Gangguan-gangguan yang dilakukan Belanda tidak henti-hentinya, seperti
berbagai penggeldahan, penangkapan dan penahanan terus dialami oleh para
karyawan “Antara” dan ketika perang Pasifik meletus, Adam Malik, Sipahutar dan
Pandu Kartawiguna serta A. Hakim bersama sejumlah pemimpin-pemimpin
pergerakan nasiaonal, ditangkap dan dimasukan dalam kamp tawanan di
Sukabumi.
Namun, meskipun mengalami berbagai macam rintangan, “Antara” dapat
berjalan terus dan melakukan tugasnya seperti yang diharapkan oleh bangsa
Indoneisa yang terjajah. Hal ini dapat terjadi, karena bantuan yang sadar dari
masyarakat Indoneisa yang berjuang sehingga dalam tahun 1941, “Antara yang
semual berkantor di Buitentijgerstraat 30 di Jakarta-kota dalam suatu ruangan
yang kecil, dapt pindah ke tanah Abang Barat 90 Jakarta dengan memperoleh
ruangan-ruangan kerja yang lebih luas, walaupun masih jauh dari cukup untuk
sebuah kantor berita (Taufiq, 1977:30).
Dari uraian di atas dapat dirangkum secara umum bahwa upaya-upaya yang
diakukan pemerintah Hinda Belanda dalam menekan dan menghantam pers
Nasional di antaranya sebagai berikut:
1. Larangan memasukan barang cetakan dari luar negeri;
2. Pembatasan masuknya barang cetakan dari negeri Belanda;
3. Memonopoli kabar dari radio yang dikhawatirkan menyuiplai informasi
terhadap pers nasional;
4. Penerapan dan ketentuan hukum pidana, diantaranya pasal 153 Bis dan Ter.
5. Kontrapropaganda terhada berita-berita yang disampaikan pers nasional.

17

E.

Surat Kabar yang Terbit pada Masa Pergerakan Nasional
Perkembangan kuantitatif dan kualitatif pers di Indonesia, termasuk pers

pergerakan, sebelum budi Utomo, majalah Medan Prijaji yang diterbitkan di
Bandung pada tahun 1907 oleh RM. Tirtoadisujo, merupakan pers nasional
pertama. Barulah setelah kelahiran Budi Utomo, jumlah pers nasional mengalami
peningkatan yang cukup signifikan.
Pada bulan Juli, 1909, di Jakarta terbit mingguan Boemipoetra di bawah
pimpinan Sutan Mohammad Salim dengan penampilan wajah dan warna nasional
Indonesia. Di kota Medan, pada tahun 1910 terbit pula surat kabar nasional
bernama Pewarta Deli di bawah pimpinan Dja (Radja) Endar Muda, yang
sebelumnya adalah pemimpin redaksi surat kabar Padang, Pertja Barat, pada
tahun 1903. Pewarta Deli diterbitkan dan dicetak oleh perusahaan percetakan
pribumi bernama Serikat Tapanuli di Medan. Pengusaha Pribumi pertama yang
memiliki mesin cetak adalah Kemas Mohammad Asahari di Palembang pada
tahun 1830, tetapi berbeda dengan Tirtoadisurjo di Bandung atau Serikat
Tapanoeli di Medan, Asahari tidak menerbitkan surat kabar. Setelah Muda keluar
dari Pewarta Deli, pimpinan radaksinya beralih ke tangan Djamaludin Adinegoro
(Said, 1988:26-28).
Masih di Medan, pada bulan Nopember 1916 terbit koran pertama yang
memakai kara ‘Merdeka’, yaitu Benih Merdeka, di bawah peimpinan redaksi
Mohammad Samin, tokoh Sarekat Islam setempat. Direktur surat kabar tersebut
adalah T. Radja Sabarudin, ketua Sarekat Islam cabang Medan. Diterbitkan oleh
perusahan percetakan Setia Bangsa, Benih Merdeka menampilkan semboyan:
“Organ oentoek menoentoet keadilan dan kemerdekaan”. Dan dalam daftar
redakturnya

tercantum

nama-nama

seperti

Mohammad

Yunus,

R.K.

Mangunatmodjo, Abdoel Moeis (anggota pimpinan Sarekat Islam Pusat), A.
Ramli, Parada Harahap, dan lain-lain.
Parada harahap pernah menerbitkan koran di kota Padang Sidempuan,
Sumatera Utara bagian Selatan, bernama Sinar Merdeka, pada tahun 1919, dan
satu tahun sebelum itu menjadi pemimpin redaksi majalah karyawan/pegawai

18

perkebunan bernama De Cranie dengan dibantu redaktur-redaktur wanita seperti
T.A. Sabariah, Butet Sutijah, Siti Rohana, dan istrinya sendiri Setiaman.
Seiring dengan peningkatan gerakan-gerakan politik radikal di Indonesia,
jumlah surat kabar nasional naik pesat sejak tahun 1920. Di kota Bandung terbit
Sora Merdeka (1920), di Tasikmalaya mingguan Sipatahoenan (1924), di Padang
Soematera Bergerak (1922), di Sibolga Soeara Tapanoeli (1925), di Malang
Soeara Kita (1921), di Purworejo Soeara Kaoem Boeroeh (1921), di Banjarmasin
Soeara Borneo (1926), dan di Pontianak dengan nama sama (1923) dan lain-lain
di sejumlah kota di seluruh Indonesia. Di kota Garut terbit Sora Ra’jat Merdika
(1931) dalam bahasa Sunda. Pemimpin redaksinya adalah tokoh politik Arudji
Kartawinata dibantu penulis-penulis seperti Oemar Said Tjokroaminoto, S.M.
Kartosoewirjo, Oerjopranoto (tokoh buruh Sarekat islam pusat yang dijuluki ‘Raja
Mogok’) dan Sjamsuridjal (Said, 1988:33).
Penerbitan-penerbitan pers lainnya antara lain di medan terbit Matahari
Indonesia dengan pimpinan redaksi Iwa Kusumasumantri (1929) dan Sinar Deli
di bawah pimpinban Mangaradja Ihutan dan Hassan Noel Arifin, dengan
dibantuwartawan B.M. Diah, Ani Idrus, dan lain-lain. Hamka dan M. Yunan
nasution mengasuh Pedoman Masjarakat di Medan, yang semula dipimpin oleh
H. Asbirah Ya’kub (1935). Sebelumnya terbit majalah Pandji Islam (1934) di
bawah pimpinan redaksi Zainal Abidin Ahmad.
Di Banjarmasin terbit antara lain surat kabar Soeara Kalimantan (1930),
pertama kali nama “Kalimantan”; digunakan untuk suatu surat kabar dengan
pimpinan radaksi Adnan Abdul Hamidhan.
Di Palembang tercatat Pertja Selatan di bawah Asuhan Mas Arga dan
Bratanata; Langkah Pemoeda dengan radaktur Hambali Usman dan Obor Rakjat
yang dipimpin oleh Adnan Kapau (A.K) Gani (Said, 1988:33-34).
Di Surabaya terbit pada tahun 1929 surat kabar Sin Tit Po di bawah
pimpinan Liem Koen Hian. Liem adalah seorang aktivis Cina yang menyokong
kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut menempatkannya dalam kedudukan
berlawanan dengan koran-koran Cina lainnya di Indonesia yang masih terikat

19

pada nasionalisme Cina atau yang merupakan pendukung pemerintahan Kolonial
Belanda.
Di kota Samarinda pada tahun 1928 terbit koran bernama Prasaan Kita
yang diasuh oleh seorang tokoh Sarekat Islam setempat, R.S. Maradja Sajuthy.
Sajuthy kemudian pindah ke Jawa dan memimpin organisasi partai Islam
Indonesia bernama Islam Bergerak. Pada tahun 1923, nama Sajuthy tercantum
dalam susunan rdaksi mingguan Ra’jat bergerak yang terbit di Yogyakarta dengan
direktur dan penasihat H. Misbach, waktu itu dalam tahanan preventif kolonial
Belanda. Di Ponianak tercatat surat kabar bernama Borneo Barat Bergerak.
Di Jakarta tercatat beberapa penerbitan pers, seperti Bintang Timoer (1926)
di bawah pimpinan Prada Harahap; Pemandangan (1933); Kebangoenan (1938),
organisasi Gerakan Rakjat Indonesia dengan redaktur Sanusi Pane, Muhammad
Yamin dan Amir Sjarifudin, di samping koran-koran yang sudah lebih dulu terbit
seperti Neratja yang dipimpin Abdul Muis dan H. Agus Salim (Said, 1988:33-36).
Surat kabar Pemandangan pada mulanya terbit sebagai mingguan di bawah
asuhan Saerun. Beberapa bulan kemudian, Saerun bergabung dengan RHO.
Djunaidi untuk meningkatkan surat kabar tersebut menjadi harian. Wartawanwartawan yang pernah menjadi pemimpin redaksi Pemandangan adalah M.
Tabrani, Sumanang, Anwar Tjokroaminoto, A. Hamid, dan Asa Bafagih.
Pada masa pergerakan, dua penerbitan yang terkemuka di lingkunagn pers
nasional dan terkenal di kalangan pejuang politik nasional adalah Fikiran Ra’jat
yang terbit di Bandung dan Daulat Ra’jat jakarta. Tulisan-tulisan Ir. Soekarno
yang menentang penjajahan banyak disiarkan melalui Fikiran Ra’jat, sedang Drs.
Mohammad Hatta secara regular menulis di Daulat Ra’jat, organisasi Club
Pendidikan Nasional Indonesia. Pada bulan Oktober 1932, Hatta juga menjadi
pemimpin radaksi harian Oetoesan Indonesia, Yogyakarta yang diterbitkan oleh
dr. Sukiman, seorang pemimpin Partai Sarekat Islam Indonesia. Terkenalnya
Fikiran Ra’jat dan Daulat Ra’jat pada masa itu adalah karena polemik-polemik
yang terjadi antara Soekarno dan Hatta mengenai strategi dan taktik perjuangan
nasional. Adapun Fikiran Ra’jat adalah organisasi partai Indonesia (Partindo)
yang dipimpin oleh Ir. Soekarno setelah Partai Nasional Indonesia dilarang oleh

20

penguasa kolonial Belanda. Karena kedua tokoh ini masing-masing mempunyai
pengikut atau pendukung, baik dalam jajaran organisasi yang mereka pimpin
maupun di lingkungan masyarakat dalam arti luas, maka dampak dan pengaruh
dari polemik mereka tidak boleh diremehkan (Said, 1988:36).
Di samping berupa harian surat kabar, majalah dan pers tertulis lainnya yang
telah diterbitkan pada masa pergerakan, pada tanggal 13 Desember 1937
berdirilah Kantor Berita nasional “Antara” yang dalam sejarah pers kita
memegang peranan penting yang telah berjasa besar dalam menegakkan pers
nasional walaupun secara terus-menerus menadapat tekanan dan hantaman dari
pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian, meskipun hal tersebut tersu
dilakukan, aksistensi Kantor Berita Nasional tersebut dapat mengatasinya dengan
semangat perjuangan yang tak kunjung padam dan tekad yang sedalam-dalamnya
untuk memperjuangkan kemerdekaan nusa dan bangsa (Taufiq:1977:27).
F.

Tokoh-Tokoh Pers pada Masa Pergerakan Nasional

1.

Dr. Abdul Rivai
Dr. Abdul Rivai lahir pada tahun 1871. Dia adalah seorang dokter, namun

dia mengabdikan dirinya dalam dunia kewartawanan. Tulisannya berisi anjurananjuran politik untuk kemajuan bangsa Indonesia saat itu. Bahkan ada salah satu
surat kabar Pewarta Deli (9 Oktober 1930) menyebutnya sebagai “bapak dalam
golongan jurnalistik”. Cita-citanya adalah ingin bersekolah di sekolah dokter.
Sampai pada saatnya beliau berangkat ke Jawa dan mendaftarkan diri sebagai
murid di STOVIA. Beliau lulus pada tahun 1895 lalu ditempatkan sebagai dokter
di Medan.
Pada tahun 1918, beliau diangkat sebagai anggota Volksraad, terbukti saat
itu beliau juga merupakan orator yang tangguh. Dalam waktu satu tahun menjadi
anggota Volksraad, beliau kehilangan penghasilannya. Akhirnya beliau pergi ke
Eropa, Amerika, dan Swiss. Sekembalinya dari perjalanan itu, beliau menetap di
Jakarta. Beliau sering menulis artikel di Bintang Timoer, pimpinan Parada
Harahap pada masa jayanya. Saat itu, beliau mulai sakit-sakitan sehingga dokter
menyarankannya untuk tinggal di tempat yang dingin, maka pindahlah beliau k

21

Bandung. Namun tak lama tinggal di Bandung, tanggal 16 Oktober 1933 beliau
meninggal

dunia

dalam

usia

62

tahun

(http://afrianties.blogspot.co.id/-

2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015
pada pukul 23.50).
2.

R. Bakrie Soeraatmadja
Bakrie Soeraatmadja dilahirkan tanggal 26 Juni 1895 dan mempunyai istri

bernama Nyi Iyar Widarsih serta mempunyai anak sebanyak 12 orang. Beliau
pernah menjabat sebagai ketua PERDI (Persatuan Djurnalis Indonesia) Bandung
dan anggota pengurus besar PERDI di Solo. Selain beliau menulis di
Sipatahoenan, beliau juga membantu surat kabar Perbintjangan, Berita
Periangan, dan yang lainnya. Namun itu semua tidak berlangsung lama. Tahun
1949 dia menjadi Kepala Japen Tasikmalaya, dan tahun 1950 di karesidenan
Priangan. Pada tahun 1955 beliau menjalani hak pensiun sebagai pegawai Jawatan
Sosial Kotamadya Bandung. Tahun 1964, beliau menerima Satyalencana Perintis
Kemerdekaan. Pada tanggal 1 Juni 1971, beliau dikabarkan wafat di rumahnya di
Jalan Pajajaran No. 100 Bandung, dan dimakamkan di Makam Pahlawan Cikutra,
Bandung (http://afrianties.blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50).
3.

R. M. Bintarti
R. M. Bintarti adalah seoranga anak dari abdi dalem keraton Yogya, yaitu

Raden Mas Kartodirdjo, seorang priyayi yang suka mengarang dan menulis buku
yang kemudian diterbitkan di Balai Pustaka. Sebelum beliau benar-benar terjun
dalam dunia jurnalistik. Sebelumnya beliau juga pernah menjalankan beberapa
profesi. Sampai pada akhirnya beliau pergi ke Bandung dan berguru kepada R. M.
Tirtohadisoerjo yang memimpin majalah Medan Prijaji. Kemudian beliau
mendapat julukan sebagai “wartawan Jawa yang pertama”. Namun, dia tidak lama
tinggal di Bandung.
Di Yogya, dia mencoba menulis dan mengirimkan tulisannya ke Bintang
Mataram, dan juga pada Perniagaan. Beliau menjadi seorang redaktur di Tjahaja
Selatan, sebuah surat kabar yang dikeluarkan oleh Yanagi. Kemudian beliau
berhenti dan pindah menjadi wartawan Pewarta Soerabaja. Tidak lama beliau di

22

Pewarta, lalu beliau mengemudikan Tjahaja Timoer, sebuah majalah yang terbit
tiga minggu sekali di Malang. Pada tahun 1923, bersama Raden Pandji Soeroso,
beliau menerbitkan harian Kemadjoean Hindia, sebuah harian yang dirintis
olehnya. Tanggal 1 Agustus 1942, Beliau ditunjuk sebagai kepala redaksi Domei
bagian Indonesia di Surabaya. Lalu beliau bergabung di kantor berita Antara
Yogya. Di kantor pusat Antara, beliau ditugaskan untuk mengurusi wartawanwartawan dan segala urusan yang ada hubungannya dengan daerah. Tahun 1950,
beliau pindah ke Surabaya, menjadi redaktur harian bahasa Jawa Express dan
setelah keluar dari situ pindah lagi ke Surabaya Post. Meski sudah pensiun, beliau
masih

mengirim

tulisannya

mengenai

cerita

wayang

(http://afrianties.-

blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal
12-09-2015 pada pukul 23.50).
4.

Dr. Danudirdja Setiabudhi (Ernest Francuis Eugene Douwes Dekker)
Douwes Dekker alias Setiabudhi lahir di Pasuruan pada tanggal 8 Oktober

1879. Beliau dikenal sebagai pemimpin Ksatriaan Institut di Bandung yang
memiliki berbagai ragam sekolah. Pada tahun 1947-an, beliau ditempatkan di
Gedung Agung “Istana RI” di Yogya. Di Indonesia, Douwes Dekker melamar
sebgai wartawan di Bataviaasch Nieuwsblad. Mulanya beliau menjadi seorang
reporter, kemudian karirnya menanjak sampai menjadi redaktur pertama. Suatu
ketika, tulisannya dikutip oleh surat kabar Perniagaan yang juga terbit di Jakarta.
Kemudian Douwes Dekker berhenti di Bataviaasch Nieuwsblad, tetapi masih
terus menyumbangkan tulisan-tulisannya ke berbagai surat kabar. Pada saat di
Bandung, beliau bekerja menjadi freelance journalist. Di situ menulis di majalah
Het Tijdshrift yang isinya revolusioner dan cukup berpengaruh di kalangan bangsa
Belanda.
Douwes Dekker kemudian memilih tinggal di Eropa. Dibalik pidato dan
ceramahnya yang diadakan disana, darah kewartawannya terus mengalir dan
menerbitkan sebuah majalah De Indier, dengan bantuan Dr. Tjipto dan Frans
Berding yang menaruh minat pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sekembalinya ke Indonesia, beliau mendirikan National Indische Party dan
menerbitkan majalah De Beweging. Tanggal 28 Agustus 1950, eliau

23

menghembuskan

nafas

terakhirnya

di

kota

Bandung

(http://afrianties.-

blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-ke-masa.htm diunduh pada tanggal
12-09-2015 pada pukul 23.50).
5.

R. Darmosoegito
Darmosoegito berasal dari Demak, lahir pada tanggal 5 Juni 1892, dan

masih keturunan Sunan Kali Jaga. Di sekitar tahun 1937-an, dalam harian
Pemandangan Jakarta dimuat tulisan bersambung dari seorang penulis yang
berinisialkan D. Pada hakekatnya D (Darmosoegito) membuat tulisannya yang
cukup pedas terhadap para pengganggu keamanan dan penyelewengan
ketidakadilan. Jauh sebelumnya, pada decade abad ini, beliau sudah berani
menulis artikel yang menentang hal-hal yang dianggapnya kurang tepat. Berbagai
Koran dan majalah dibantu oleh Darmosoegito. Beberapa tulisannya dimuat
dalam harian Bramartani, Djawi Kando, Djawi Hiswara, Pasopati, Madjapahit,
Darmo Kondo, Taman Pewarta, Taman Sari, Selompret Melajoe, Sinar Djawa,
Berita Betawi, dan Pewarta Soerabaja. Beliau meninggal pada tanggal 9 Oktober
1972 dalam usia 80 tahun lebih. Setelah beberapa waktu menderita sakit hingga
akhir hayatnya. (http://afrianties.blogspot.co.id/2012/03/tokoh-pers-dari-masa-kemasa.htm diunduh pada tanggal 12-09-2015 pada pukul 23.50).
6.

Djokomono Alias R. M. Tirtohadisoerjo
Djokomono lahir pada tahun 1875, beliau adalah saudara bupati purwodadi,

sedangkan orang tuanya sendiri adal