Proyeksi Integrasi Vertikal Film di Indo

Proyeksi Integrasi Vertikal Film di Indonesia

Cinemaxx adalah nama jaringan bioskop baru kepemilikan Lippo Group, yang
bergerak dalam jenis usaha ekshibisi dan distribusi film. Pada liputan Variety di
Cannes 2014 tanggal 23 Mei 2014, dijelaskan bahwa,”Lippo sees Cinemaxx as part
of a vertically integrated media empire spanning newspapers, TV (First Media, Big
TV), cable and recently Internet service provision.” (http://variety.com/2014/biz/news/cannescinemaxx-seeks-new-exhibition-order-in-indonesia-1201189186/ ) Apakah ini mengindikasikan
integrasi vertikal industri media kepemilikan Lippo Group akan merambah ke jenis
usaha film?
Apakah Integrasi Vertikal Film?
Tanggal 3 Mei 1948 mencatat sejarah penting dalam industri film Amerika, yaitu
runtuhnya Hollywood Studio System. Sistem tersebut memperbolehkan sebuah
entitas, yang disebut studio, untuk berperan tunggal sebagai pemilik serta pelaku
usaha film dari hulu ke hilir atau integrasi vertikal—produksi, distribusi dan ekshibisi.
Kasus ini mengacu pada bebeberapa studio, tetapi secara khusus Paramount
Pictures, sebagai satu-satunya studio film Hollywood saat itu, yang menguasai ketiga
usaha film tersebut.
Kasus ini muncul ke permukaan karena adanya gugatan resmi dari Mahkamah
Agung Amerika terhadap Paramount Pictures. Penyebab kasus ini adalah adanya
ketidakadilan pembelian dan penayangan film di bioskop milik studio, khususnya
terkait film yang tidak diproduksi oleh studio tersebut. Pemutusan tali integrasi

vertikal ini dikenal sebagai Paramount Decree. Alhasil, Paramount Pictures
diputuskan menangani usaha produksi dan distribusi, sedangkan usaha ekshibisi
dipegang oleh United Paramount Pictures, dengan syarat diversifikasi afiliasi
bioskop.
Dampak dari keputusan ini adalah munculnya produser, studio dan bioskop
independen. Bentuk kerjasama selanjutnya adalah dukungan finansial studio besar,
melalui pembelian hak distribusi film produksi studio independen. Sedangkan usaha
ekshibisi afiliasi dibatasi dalam bentuk pembatasan jumlah slot tayang, dan area
geografis bioskop. Artinya integrasi vertikal sangat kondusif terhadap monopoli
industri film akibat investasi modal skala besar.
Jepang dan Thailand
Eiren atau Motion Picture Producers Association of Japan (MPPAJ) adalah asosiasi
produser film Jepang, yang terdiri dari empat perusahaan film terbesar yaitu: Toho,
Toei, Sochiku dan Kadokawa. Mengapa sebuah asosisasi produser film hanya terdiri
dari empat perusahaan saja? Jawabannya adalah karena keempat perusahaan
tersebut melakukan integrasi vertikal utuh meliputi produksi, distribusi dan ekshibisi.
Seluruh produser film diluar anggota MPPAJ disebut sebagai produser film
independen. Mereka juga memberlakukan peraturan tidak diperbolehkannya
produser film independen untuk memasukkan film secara langsung ke bioskop,
tanpa melewati distributor, yang juga MPPAJ. Hanya ada segelintir distributor


Meiske Taurisia – Integrasi Vertikal Film – 24052014

independen yang diperbolehkan. Mereka adalah distributor yang memiliki sejarah
hubungan personal, misalnya mantan pekerja MPPAJ.
Dampak dari integrasi vertikal di Jepang, menyebabkan banyak film independen
kesulitan menjual filmnya. Sebagai gambaran: di tahun 2008, sejumlah 806 film
tayang di bioskop dengan komposisi 418 film lokal dan 388 film impor. 17 film lokal
yang diproduksi dan didistribusi oleh MPPAJ menguasai 84% dari angka gross box
office film lokal (97.29 Billion JPY). Sedangkan 344 film lokal lainnya, atau film
independen yang didistribusi oleh MPPAJ, berbagi 16% sisanya.
UniJapan, selaku organisasi dibawah Kementrian Ekonomi, Perdagangan dan
Industri (METI) mengakui kesulitan usaha komersialisasi film independen dengan
sistem ini. Film independen lainnya yang tidak didistribusikan oleh MPPAJ akan
tayang di Mini Theaters (Art-house Cinema) yang tersebar di seluruh Jepang.
Di Thailand sistem kepemilkan jaringan bioskop dibagi berdasarkan daerah yaitu:
Bangkok, Chiang Mai, North Zone, North East (Korat), East (Chonburi), dan South
(Surat Thani).Pembagian ini menimbulkan jaringan bioskop yang berbeda di tiap
daerah. Seorang produser atau distributor film asal Bangkok, bila menjual filmnya ke
area lain di luar Bangkok, akan melakukan sistem jual-putus. Yang besarnya sekitar

8-10% dari box office Bangkok.
Di Bangkok, jaringan bioskop terbesar dimiliki oleh Major Cineplex, SF Cinema dan
(yang akan muncul) Kantana Movie Mall (KMM). SF Cinema berkonsentrasi penuh
pada kegiatan distribusi dan ekshibisi film impor, sedangkan film produksi lokal
sifatnya minor. Sebaliknya Major Cineplex, selaku jaringan Cineplex terbesar,
memiliki konsentrasi pada film lokal termasuk produksi dan distribusi film.
Kembali ke soal integrasi vertikal, baik Major Cineplex, SF Cinema, maupun KMM,
semua melakukan integrasi vertikal secara utuh. Penyeimbang ekosistem industri
film Thailand adalah (1) Adanya spesialisasi distribusi dan ekshibisi film lokal dan
impor, (2) Kepemilikan bioskop berdasarkan daerah, dan (3) Kenyataan bahwa
mayoritas film box office diproduksi oleh studio GTH (GMM, Thai, Hub Ho Hin) yang
tidak terafiliasi dengan usaha ekshibisi. Contohnya Pee Mak, box office terbesar
sepanjang sejarah film Thailand (18.1 Million THB).
(http://www.hollywoodreporter.com/news/cannes-southeast-asias-high-hopes-705043)
Film independen di luar studio akan melakukan pemutaran di Lido, Scala and HouseRCA (Art-house Cinema) yang berlokasi di Bangkok.
Proyeksi Integrasi Vertikal Film di Indonesia
Cineplex21 selama ini fokus melakukan kegiatan ekshibisi film lokal dan impor, serta
terafiliasi dengan distribusi film impor. Blitz Megaplex memiliki jumlah layar sekitar
10% dari kompetitornya, dan terafiliasi dengan usaha distribusi home video (DVD).
Kedua jenis usaha tersebut termasuk kategori skala pasar minor. Dominasi

Cineplex21 dalam rentang waktu yang panjang dan dalam skala nasional, tidak
memunculkan kompetisi usaha distribusi film. Oleh karena itu, produser film
merangkap sebagai distributor.
Cinemaxx selaku jaringan bioskop baru, akan melakukan kegiatan distribusi film. Di
tahun 2009, First Media Entertainment, sebuah anak perusahaan Lippo Group
dengan jenis usaha produksi film, memproduksi Sepuluh. Keberadaan First Media
Entertainment (produksi) dan Cinemaxx (ekshibisi sekaligus distribusi) merupakan
satu-satunya entitas (atau calon studio) tunggal pertama di Indonesia yang memiliki
usaha film dari hulu ke hilir atau integrasi vertikal—produksi, distribusi, ekshibisi.
Dalam skala modal yang sangat besar, integrasi ini akan memonopoli industri film
seutuhnya.

Meiske Taurisia – Integrasi Vertikal Film – 24052014

Pembatasan Skala Afiliasi Usaha Distribusi dan Ekshibisi Film
Kedatangan Cinemaxx diyakini akan membawa angin segar dalam konstelasi
perfilman Indonesia. Dari sisi keragaman maka akan muncul variasi film yang
selama ini sangat sulit karena keterbatasan variasi bioskop.
Di sisi lain, kombinasi antara besarnya potensi ekonomi Indonesia—terkait geografis
dan populasi—dengan belum jelasnya definisi jenis usaha film—terkait finansial dan

modal—membuat proyeksi diatas tidak dapat dikesampingkan. Apalagi mengingat
jenis usaha bioskop yang secara umum didominasi modal dibandingkan dengan
keahlian film lainnya.
Titik krusial adalah pada pembatasan skala afiliasi usaha distribusi dan ekshibisi, bila
tidak dimungkinkan adanya pemutusan total. Distributor dapat berafiliasi dengan
Rumah Produksi melalui kepemilikan film bersama lewat pembelian hak tayang film.
Iklim ini akan menciptakan rumah produksi dan/atau studio film di berbagai skala,
sekaligus mengembalikan jenis usaha distribusi yang selama ini absen.
Untuk mengembangkan gagasan ini, usaha bioskop seyogyanya
(1) Kepemilikannya dibagi secara geografis
(2) Hanya dapat menerima film lewat distributor, melalui proses peralihan bertahap
dari produser.
Sehingga, konsentrasi kebijakan finansial film dapat dipelopori dan diprioritaskan
pada
(1) Jenis usaha distribusi, selaku pembeli film dari rumah produksi dan penjual film
ke bioskop
(2) Jenis usaha produksi, dalam skala modal yang beragam
(3) Jenis usaha ekshibisi daerah yang akan menumbuhkembangkan pebisnis daerah
dan kebijakan film daerah.
Jepang maupun Thailand, bukanlah contoh ideal sebuah industri film. Akan tetapi

kedua negara tersebut mewakili kondisi lemahnya campur tangan pemerintah dalam
memfasilitasi kebijakan film. Berbeda dengan Korea Selatan, di mana pemerintahnya
sangat memfasilitasi kebijakan film. Oleh karena itu, kebijakan film bukanlah hal
yang bisa di copy-paste dari satu Negara ke Negara lain.
Bagaimanakah pandangan Kemenparekraf dan Kemendikbud, selaku induk jenis
usaha dan kegiatan film; Badan Perfilman Indonesia (BPI); Kemenkeu serta
Kemendag; dan segenap pemangku kepentingan film lainnya?
Bangkok, 24 Mei 2014
Meiske Taurisia
Produser film
Pengajar lepas, saat ini sedang melakukan penelitian film-financing di Thailand.
(Didukung API Fellowship-Nippon Foundation, Dewan Kesenian Jakarta)
dmeiske2@gmail.com

Meiske Taurisia – Integrasi Vertikal Film – 24052014