Komodifikasi Program Ramadhan Televisi doc

Komodifikasi Program Ramadhan Televisi *
Oleh Umaimah Wahid
Wakil Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Budi Luhur
Pendahuluan
Pada bulan Ramadhan tahun ini, sebagaimana pada tahun-tahun sebelumnya,
semua stasiun TV berlomba menayangkan acara yang dinayatakan ‘program Islami’
Braagam acara tersebut baik yang khsusus dipersiapkan untuk memeriahkan bulan
ramadhan ataupun acara rutin yang kemudian dikomodifikais menjadi acara bulann
ramadhan. Beragam acara baik dalam bentuk sinetron, reality show, ceramah agama,
musik dan lain-lain dikemas sedemikian rupa agar dapat dianggap memenuhi ‘nilai
Islami’. Realitasnya nilai-nilai Islami dalam tayangan bulan puasa sangat patut
dipertanyakan.
Bulan Ramadhan seakan menjadi alasan logis bagi semua stasiun televisi
untuk melakukan komodifikasi beragam acara yang diprediksi laku dan akan ditonton
masyarakat. Stasiun RCTI dan SCTV yang mengklain diri sebagai stasiun terbesar di
tanah air dengan jumlah penonton dan share iklan nomor 1 dna nomor 2 berlomba
menyajikan sinetron sebagai kemasan acara ramadhan, bahkan SCTV melalui
sinetron ‘Para Pencari Tuhan” sudah memasaki tahun ketujuh atau jilid ketujuh. RCTI
lebih bertahan dengan program sinetron sebagai andalan seperti “Tukang Bubur Naik
Haji”. Sedangkan Trans 7 lebih memilih melakukan komodifikasi program Reality

Show “Opera Van Jawa” yang merupakan acara rutin yang ditayangkan setiap hari
menjadi program unggulan mereka pada waktu sahur.
Agama dan Televisi
Kesemua acara di bulan ramadhan, seakana ditasbihkan menjadi acara
bernafaskan Islami, walau pada dasarnya sebagian acara-acara tersebut sama sekali
tidak mencerminkan nilai-nilai Islam bahkan keluar dari norma-norma agama Islam.
Program atau acara yang diyatangkan televise umumnya lebih bersifat menghibur
sebagaimana salah satu fungsi yang dikandung oleh televisi. Fungsi hiburan snagat
menonjol dibandingkan fungsi-fungsi lainnya seperti fungsi informasi, pengawasan
dan pendidikan. Fungsi pendidkan bahkan dari tahun ke tahun semakin menghilang
dati isi (content) yang ada. Yang sangat dominan justru nuansa hiburan, seperti
program hiburan Opera Van Jawa Trans 7, muatannya hampir tidak terlihat nilai-nilai
keislamannya atau ajaran-ajaran Islam, melainkan lebih sebagai acara hiburan biasa
yang banyak mangandung kelucuan yang tidak masuk akal, kekerasaan fisik dan
verbal.

Program-program bukan puasa tidaklah semuanya buruk, terdapat juga
program-program yang baik, seperti ceramah agama. Namun tiga tahun belakangan
komponen ini semakin menipis. Masyarakat lebih banyak menonton media massa
khususnya televises untuk menghabiskan waktu mereka khususnya pada waktu

menuggu magrib dna sahur. Isi tayangan tersebut kurang tepat jika dipandang dari
pemahaman agama Islam. Misalnya, adegan sinetron antara pemeran laki-laki dan
perempuan yang melakukan pelukan, saling mencaci, menfitnah atau lainnya.
Demikian juga pengisi acara yang menggunakan pakaian yang identik dengan
pakaian Islami, namun tindakan, sikap dan perilaku baik verbal maupun nonverbal
tidak layak ditampilkan.
Berdasarkan perspektif ekonomi politik media, program-program acara
tersebut tidak lebih hanya merupakan bentuk komodifikasi stasiun televisi untuk
mendekatkan ‘psikologi massa atau pemirsa televisi’ yang sedang berpuasa.
Tujuannya tidak lain adalah agar program tersebut laku. Sekaligus memperkuat
stigma promosi dari iklan-iklan yang dihasilkan oleh program yang ditayangkan.
Disatu sisi wajar, jika televisi sebagai sebuah media komersial berusaha menjaring
sebanyak mungkin penonton yang implikasinya akan menghasilkan keuntungan
besar. Namun di sisi lainnya, bnagaimana dengan tanggung jawab social kepada
masyarakat untuk menyajikan isi program yang mendidik, informatif dan tidka
merusak.
Kecenderungan demikian telah mengakibatkan agama di televisi menjadi
‘diterjen’ yang hanya kosmetik layar kaca. Agama bukan lagi sesuatu yang urgen
dalam setiap tayangan yang ada, namun yang lebih diutamakan justru kekonyolan
dari tokoh-tokoh yang ada. Hal itu sama saja dengan tayangan-tayangan sebelum

bulan ramadhan, hanya dihias dengan simbol-simbol islami tapi bukan religiusitas
yang menjadi titik berangkat. Logika ini kemudian berakibat pada menggambankan
agama, dimana agama yang harus mengikuti trend zaman tapi bukan sama sekali
trend kehidupan yang harus mengikuti nilai-nilai agama.
Mudahnya pemahaman agama yang ditampilkan selama bulan ramadhan di
televisi telah berakibat pada taraf ‘mengentengkan’ nilai-nilai agama dalam
kehidupan sosial masyarakat. Hal ini bukan juga suatu yang keliru bila kita kaitkan
dengan paradigma televisi itu sendiri, sebagai media hiburan dan transformasi
informasi yang letak kekuatannya pada visualisasi tayangan, maka tidak akan
mungkin menyajikan keseriusan semata dalam televise uang diarahkanhanya sebagai
hiburan semata.
Televisi telah menjadi agama baru bagi sebagian besar masyarakat kita.
Masyarakat belajar dan memang lebih menyukai belajar banyak hal dalam kehidupan
mereka dari televisi karena mudah, cepat dan menarik. Televisi telah mampu
menggantikan kehadiran ustand-ustand, atau bahkan televisi telah menggantikan
kebutuhan masyarakat untuk belajar agama secara khusus dan benar. Televisi
cenderung hadir dengan kemudahan dan magic-nya menjadi pemikat yang luar biasa
bagi masyarakat dalam memahami agama. Maraknya bulan ramadhan, bukan
cerminan bahwa televisi telah religius, tapi lebih hanya mendukung ideologi pasar


yaitu kapitalisme. Maka selama tayangan tersebut laku, akan terus diproduksi terlepas
apakah tayangan tersebut telah jauh melenceng dari kaidah-kaidah agama. Konsep
laku akan jauh diutamakan dari konsep mutu sebuah tayangan.
Visi televisi atau media umumnya masih sangat berkuasa menentukan pilihanpilihan mereka dalam memproduksi tayangan. Pilihan tersebut sayangnya sangat
seragam, dan hampir tidak ada yang berani keluar dari trend produksi yang ada.
Beberapa inovasi memang sempat dilakukan, tapi biasanya tidak bertahan lama
karena dianggap tidak bisa beradaptasi dengan selera pasar, disisi lain beberapa acara
yang pernah sukses malah lebih disukai untuk ditayang ulang daripada diproduksi
dalam kemasan baru karena dianggap terlalu beresiko terhadap kemauan pasar.
Jika dikomposisikan, acara – acara dakwah dengan formula 70-80 %
entertaint dan 10-20 % dakwah ternyata jauh lebih menarik minat audience dari pada
sebaliknya, maka berdasarkan kepentingan kapitalisme media, maka televisi akan
lebih memilih menayamgkan program-program ramadhan yang lebih menghibur
daripada mendidik. Lalu bagaimana solusi yang dapat ditawarkan dalam situasi
demikian ? Mau tidak mau, semua pihak baik pemerintah, lembaga-lembaga Islam
dan masyarakat terutama harus berperan aktif meakukan kontrol sosial terhadap
stasiun-staisun televisi sehingga mampu mempengaruhi isi tayangan dakwah pada
bulan ramadhan. Hal tersebut mendasak diperlukan, agat pemahaman agama yang
dipahamai oleh masyarakat bukan sebagaimana yang ditayangkan dalam acara
ramadhan seperti sekarang ini. Dahsyatnyaa efek televisi ditengah masyarakat,

Kapitalisasi Agama
Banyaknya tayangan ramadhan ditelevisi tidak dapat dikatakan telah
berubahnya televisi kita menjadi lebih Islami, namun fenomena tersebut tidak lebih
hanya merupakan kosmetik televisi yang mengislamkan dengan bahasa dan pola pikir
industri media khususnya televisi yang sangat kapitalisme. Dimana sistem
kapitalisme ini, industri budaya telah dikelola dengan pengaruh sangat kuat dari
pemahaman kapitalisme itu sendiri.
Disisi lain harapan bahwa televisi menjadi lebih moralis, juga dianggap sangat
berlebihan. Banyak harapan akan muncul televisi yang menjujung tinggi nilai-nilai
moralitas dan tidak sekedar mementingkan kepentingan pasar. Namun lebih lanjut,
menurut Said Ramadhan, harapan Televisi menjunjung moralitas dan harkat
kemanusiaan adalah harapan yang amat naif. Juga teramat lugu bila mempercayai
idealisme seorang pekerja atau pengelola televisi yang akan menggagas program
yang lebih bermartabat dan cerdas. Hal itu dapat dipahami karena bukan moralitas
dan harkat kemanusiaan yang dipikirkan atau menjadi orientasi pihak pekerja dan
pengelola televisi. Tapi justru pertimbangan mereka adalah apakah sebuah program
yang dibuat akan mampu mendatangkan spot iklan yang banyak sehingga
mendatangkan keuntungan yang banyak pula.
Dalam konteks diatas McQuail (1996) menjelaskan bahwa pada dasarnya
tayangan televisi bersifat amoral. Artinya para pekerja dan pengelola televisi tidak

akan memikirkan apakah program yang mereka hasilkan dan siarkan akan

mengakibatkan kerusakan moral dan kehidupan sosial masyarakat pemirsanya. Jadi
televisi tidak memiliki tanggung jawab moral. Mereka justru memahami bahwa
pilihan masyarakat sendiri yang menentukan apakah sebuah tontonan akan di tonton
atau tidak. Jadi masyarakatlah yang bertanggung jawab atas akibat yang mereka pilih
yang muncul dari pengaruh sebuah acara televisi. Karena dengan mengemukakan
alasan lain banyak juga orang yang menonton acara televisi tapi mereka tidak
terpengaruh oleh isi acara tersebut.
Penyataan tersebut tentu sulit diterima oleh para kalangan pemikir kritis,
karena memiliki asumsi bahwa media bekerja dan berproduksi sangat dipengaruhi
oleh ideologi kapitalisme. Pihak televisi khususnya dan media umumnya memiliki
apa yang dinamakan oleh Nick Stevenson dalam Artikelnya Marxism and Mass
Communication (dalam buku Understanding Media Culture, 1995:9) bahwa media
mampu melahirkan kesadaran industri dan pola pikir industri. Maksudnya media di
satu sisi merupakan alat ideal dan paling kuat pengaruhnya dalam
mentrarnsformasikan informasi, Namun tidak mungkin disangkal bahwa di sisi lain
kekuatan yang terbesar justru pada kemampuan media dalam mentransformasikan
acara-acara yang bersifat hiburan dan inilah yang utama dijual oleh pihak televisi
termasuk dalam kaitannya dengan tayangan ramadhan. Semua tayangan lebih

dikemas dengan sifat menghibur semata yang lalu diselipi nuansa agama. Sebenarnya
bukan tayangan agama, tapi hiburan yang dikemas dengan sedikit kosmetik agama.
Kepentingan yang dominan dalam setiap produksi tayangan ramadhan adalah
ideologi kapitalis yang bertujuan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Dan
karenaya acara disesuaikan dengan suasana masyarakat yang sedang melaksanakan
ibadah puasa,juga kecenderungan bahwa ibadah puasa di Indonesia seakan lebih
diutamakan karena lebih bergairah dilaksanakan dibandingkan dengan ibadah-ibadah
lainnya. Kekuatan kapitalis dalam proses dan tujuan produksi sebuah acara yang
bahkan tidak dapat ditolak sekalipun oleh kuatnya nuansa Ramadhan, yang ada ialah
pemanfaatan Bulan Ramadhan itu sendiri untuk mencapai atau meraih tujuan-tujuan
diatas. Acara dinilai sukses secara komersial, maka terbuka kemungkinan untuk
ditayangkan terus di tahun mendatang, sebaliknya jika tidak maka akan dicari format
dan kemasan yang berbeda sehingga lagi-lagi tujuannya adalah mendatangkan iklan
dan keuntungan yang banyak.
Media memang tidak mungkin melepaskan diri dari orientasi pasar, dimana
yang lakulah yang akan terus bertahan sedangkan yang tidak laku walau bermutu
tetap akan ditiadakan. Karena memang pertimbangan moral dan kualitas martabat
manusia bukan orientasi utama, tapi hiburanlah yang menjadi orientasi utama.
Produksi yang muncul dan bertahan karenanya juga jenis produksi yang ringan
menurut ukuran kebanyakan pemirsa televisi. Karena penonton bukan memaknai

fenomena kehidupan dan menjelaskankan atau mencari jawaban tapi bagaimana
memaparkan dan menghibur. Tapi bukan berarti bahwa media tidak berpengaruh pada
konstruksi budaya, justru sangat berpengaruh dan bahkan media massa khusunya
televisi telah menjadi alat transformasi budaya yang paling kuat dan dominan di
masyarakat. Hampir tidak ada kekuatan lainnya yang mampu menyaingi kedahsyatan

media massa dalam persoialan tersebut. Karenanya tantangan sangat serius bagi para
da’i, pemikir islam untuk mampu menggunakan media sesuai dengan kapasitas
ummat islam.
Mampukah kalangan pemikir islam melawan superstruktur yang telah ada,
dimana telah terbentuk persepsi dan wacana tertentu dimasyarakat tentang jenis
budaya yang diterima dan tidak, berdasarkan kecenderungan tayangan media yang
telah mengakar saat ini. Kecenderungan tersebut membentuk frame bahwa tayangan
yang menarik adalah tayangan yang mewakili nilai-nilai modern yaitu ideologi dan
dominasi pop culture (budaya pop), dimana semuanya diharapkan berlangsung cepat
dan mendapatkan hasil yang cepat pula,serta kalau bisa usaha yang mudah. Ini yang
kemudian akan memunculkan kaum hedonis baru yang justru mengutamakan
kesenangan, bagaimana menikmati hidup dengan mudah.
Perkembangan kosmopolitan ini kemudian mengharuskan da’i dan pemikir
Islam untuk lebih peka dan tahu apa yang harus segera dilakukan untuk menjadi

penyeimbang guna menciptakan perspektif dan alternatif gaya hidup di tengah
masyarakat dan bukan hanya menjadi ‘pengikut atau diterjen’ dari perkembangan
yang berlangsung. Para da’i bukan hanya pelaku pasif yang hanya mengisi acara
sesuai dengan format yang telah dibuat oleh stasiun televisi semata. Da’i diharapkan
tidak hanya menjadi kosmetik televisi sesaat pada bulan ramadhan, melainkan dapat
berperan mementukan conten program.
Upaya ini dapat diwujudkan apabila masyarakat muslim memiliki media
sendiri dan kuat sehingga mampu mengkonstruksi budaya sendiri, sehingga muncul
menjadi kekuatan yang mencounter pemahaman yang ada dan telah mengakar bahkan
diperkuat oleh kekuatan global. Mampukan pemikir islam untuk lebih serius
menyadari bahwa media adalah istitusi sosial di masyarakat yang memilki kekuatan
penuh untuk mengkonstruksi budaya. Bagaimana kita akan mungkin memunculkan
budaya sesuai dengan nilai-nilai Islam jika kita bukan sebagai pengambil keputusan,
pemilik media dan memiliki orientasi tanggung jawab sosial budaya dan moral, jika
kita tidak memiliki media massa. Jadi jangan bicara kekuatan mengubah dunia
dengan niali-nilai islam jika tidak memiliki media. Harapan tersebut sebenarnya
sangat wajar dan justru aneh bila sampai saat ini tidak ada media yang dikelola dan
berorientasi Islam. Persoalannya mampukah umat Islam mewujudkan ‘mimpi besar’
untuk memiliki media massa khususnya televisi.


Dokumen yang terkait

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENGEMBANGAN PROGRAM ACARA CHATZONE(Studi Terhadap Manajemen Program Acara di Stasiun Televisi Lokal Agropolitan Televisi Kota Batu)

0 39 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Komodifikasi isi media terhadap trend Berjilbab gaul dalam rubrik fashion Majalah annisa

0 27 118

Tingkat Pemahaman Fiqh Muamalat kontemporer Terhadap keputusan menjadi Nasab Bank Syariah (Studi Pada Mahasiswa Program Studi Muamalat Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

1 34 126

Perilaku Kesehatan pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakrta Angkatan 2012 pada tahun2015

8 93 81

Implementasi Program Dinamika Kelompok Terhada Lanjut Usia Di Panti Sosial Tresna Werdha (Pstw) Budi Mulia 1 Cipayung Jakarta Timur

10 166 162

Analisis Prioritas Program Pengembangan Kawasan "Pulau Penawar Rindu" (Kecamatan Belakang Padang) Sebagai Kecamatan Terdepan di Kota Batam Dengan Menggunakan Metode AHP

10 65 6

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1

Peranan Komunikasi Antar Pribadi Antara Pengajar Muda dan Peserta Didik Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar ( Studi pada Program Lampung Mengajar di SDN 01 Pulau Legundi Kabupaten Pesawaran )

3 53 80