Seribu Langkah Ibu Studi Peran Istri pad

Jurus Seribu Langkah Ibu
(Studi Peran Istri dalam Rumah Tangga yang Suaminya Merantau, Dusun Krajan, Desa
Gunungsari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang)
Alfisyahr Izzati
Mahasiswa Jurusan Sosiologi dan Antropologi 2012
Universitas Negeri Semarang

Sari
Migrasi atau merantau merupakan salah satu strategi livelihood pada masyarakat di
pedesaan. Migrasi atau merantau merupakan strategi hidup yang penting. Biasanya, orangorang yang melakukan migrasi merupakan orang-orang yang kurang atau tidak mendapatkan
akses pekerjaan atau pendidikan yang bisa ia dapatkan di tempat asalnya. Banyak hal yang
menjadi faktor penarik maupun pendorong bagi seseorang untuk melakukkan kegiatan
migrasi. Faktor-faktor tersebut ada yang berasal dari dalam lingkungan desa ada pula yang
berasal dari luar daerah tempat tinggal seseorang tersebut. Adapun golongan-golongan yang
biasa melakukan migrasi atau merantau adalah berasal dari kalangan laki-laki usia produktif
(usia 16–65 tahun).
Bagi seorang laki-laki yang telah menikah (suami), memiliki istri dan anak merupakan
tanggung jawab yang sangat besar dan mereka berupaya untuk memenuhi kebutuhan primer
maupun sekunder dalam kehidupan rumah tangganya. Merantau sebagai suatu usaha untuk
mencari kesempatan-kesempatan ekonomi yang dinilai di dunia luar terbuka lebih lebar. Bagi
suami yang merantau, meninggalkan istri dan anak di kampung halaman menjadi pilihan yang

terbaik. Istri dituntut untuk mampu mensubtitusi peran suami dan mengelola keuangan dalam
rumah tangganya. Oleh sebab itu, saya tertarik untuk meneliti lebih dalam bagaimana peran
istri dalam rumah tangga yang suaminya merantau. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mendeskripsikan secara mendalam mengenai peran istri dalam rumah tangga yang
suaminya merantau. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peran berganda
pada para istri yang ditinggal suaminya merantau.
Metode dalam penelitian ini yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik dalam
pengumpulan data penelitian digunakan sistem wawancara, observasi partisipasi dan
dokumentasi.
Keyword: merantau, peran istri, rumah tangga

Pendahuluan
Artikel ini merupakan hasil dari studi lapangan yang penulis lakukan di dusun Krajan,
desa Gunungsari, kabupaten Pemalang, provinsi Jawa Tengah. Studi lapangan dilakukan mulai
tanggal 15 Januari 2014 dan berakhir sampai dengan 28 Januari 2014. Setelah beberapa hari
tinggal dan menyatu dengan masyarakat, penulis menemukan fenomena yang menarik bagi
penulis. Pertama kali memasuki desa Gunungsari dan sehari berada di sana, kesan pertama
yang ditangkap penulis adalah seolah-olah desa ini isinya perempuan dan ibu-ibu semua,
hingga penulis memberikan sebutan pada desa tersebut sebagai “desanya para ibu”. Hal
tersebut cukup menarik bagi penulis, kemudian penulis ingin mengetahui bagaimana peran

seorang istri dalam rumah tangga yang yang suaminya merantau. Adapun tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mendeskripsikan secara mendalam mengenai peran istri dalam rumah tangga
yang suaminya merantau.
Metode pengumpulan informasi yang penulis gunakan adalah dengan wawancara dan
dokumentasi. Studi lapangan diawali dengan pencarian informasi yang dilakukan dengan
metode snowball methode yaitu dengan bertanya kepada ibu-ibu di dusun Krajan yang
mengetahui keberadaan ibu-ibu yang suaminya pergi merantau. Kemudian salah satu informan
ideal didapatkan, dari informan itulah selanjutnya pencarian dan pengumpulan informasi atau
data dilakukan dan didapatkan. Dari informan kedua kemudian diperoleh keterangan tentang
informan ketiga dan seterusnya. Wawancara yang dilakukan lebih bersifat terbuka dan
wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan untuk beberapa informan yang dianggap
penulis paling cocok. Observasi partisipasi dilakukan oleh penulis selama tinggal di dusun
Karajan dalam jangka waktu empat belas hari dengan terlibat langsung dan menjadi bagian dari
berbagai aktivitas ibu-ibu yang ada di dusun Krajan, sehingga penulis memperoleh data yang
valid.

Selayang Pandang Desa Gunungsari dan Dusun Krajan
Desa Gunungsari adalah salah satu desa di kecamatan Pulosari, kabupaten Pemalang,
Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan data monografi desa semester satu yaitu data pada bulan
Januari hingga Juni tahun 2013, desa Gunungsari memiliki luas wilayah administratif seluas

1.002 hektar. Desa Gunungsari berbatasan langsung dengan desa-desa lain di kecamatan
Pulosari dan kabupaten lain di Jawa Tengah, berikut perinciannya;
Batas Utara

: Desa Karangsari

Batas Selatan : Kabupaten Banyumas
Batas Barat

: Desa Jurangmangu

Batas Timur

: Desa Penakir

Desa Gunungsari berada pada ketinggian terendah 1000 mdpl dan titik tertinggi berada
1.114 mdpl. Keberadaan desa tepat di kaki Gunung Api Slamet yang hingga kini masih aktif
sehingga memiliki tanah yang subur. Tanah menjadi sumber daya alam yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat di pedesaan. Menurut penggunaannya, tanah digunakan sebagai
ladang, tegalan, dan hutan. Desa Gunungsari memiliki luas tanah yang digunakan untuk

perladangan

dan tegalan seluas 350 ha dengan sistem pengairan tadah hujan. Selain itu

terdapat tanah pekarangan seluas 70 ha dan sementara belum ada area khusus untuk perdangan
seperti pasar. Jika masyarakat desa Gunungsari ingin pergi berbelanja, mereka bisa pergi ke
pasar di desa Karangsari atau di kecamatan Moga. Namun, diketahui sejumlah 952 orang
bekerja sebagai pedagang yang tersebar di dalam desa Gunungsari sendiri dan berbagai tempat
di Pemalang juga di kota-kota besar terutama di Jakarta dan Semarang.
Seiring perkembangan keadaan, dan bertambahnya jumlah penduduk desa akibat
perkawinan, warga pendatang, terdapat perubahan penggunaan lahan pertanian ke non
pertanian, dan adanya kecendrungan naik dari tahun ke tahun. Perubahan fungsi lahan sawah
yang paling menonjol adalah kepada fungsi perumahan. Tanah desa yang diperuntukan menjadi
permukiman yaitu seluas 55, 250 hektar, kemudian tanah yang digunakan untuk bangunan
milik publik seluas 1,5 hektar dan jalan desa sepanjang 12 kilometer.
Desa Gunungsari sendiri terbagi atas empat dusun, yaitu dusun Krajan, dusun Sibedil,
dusun Sipendil dan dusun Silegok. Menurut data dari catatan kependudukan, desa Gunungsari

memiliki total 1.146 kepala keluarga. Adapun rincian pembagian jumlah penduduk berdasarkan
beberapa kriteria adalah sebagai berikut;

Kriteria

Perincian
… Orang
Laki-laki
1932
Jenis Kelamin
Perempuan
2127
00 – 03 tahun
221
04 – 06 tahun
105
Kelompok
07 – 12 tahun
334
1315
tahun
326
Pendidikan

16 – 18 tahun
280
>19 tahun
2770
15 – 19 tahun
535
20 – 26 tahun
682
Kelompok Tenaga
27 – 40 tahun
945
Kerja
41 – 56 tahun
640
>57 tahun
470
Sumber : Data Monografi Desa Gunungsari 2013 (telah diolah)

Jumlah Keseluruhan
4059


4036

3272

Sementara jumlah penduduk menurut mobilitas atau mutasi penduduk yaitu kelahiran
sejumlah 37 orang, kematian sejumlah 11 orang, warga yang masuk ke dalam desa Gunungsari
sebanyak 17 orang dan warga yang pindah atau keluar dari desa Gunungsari sebanyak 25
orang. Terdapat 27 unit RT dan 4 unit RW di desa Gunungsari dengan 26 orang tim penggerak
PKK dan 40 orang kader PKK yang tersebar seantero desa. Semua penduduk desa Gunungsari
beragama Islam dengan enam kelompok majelis ta’lim yang beranggotakan 250 orang, juga
enam kelompok remaja masjid yang beranggotakan 145 orang pemuda desa. Terdapat sarana
peribadatan yaitu enam masjid dan dua puluh mushola yang tersebar di setiap dusun. Mayoritas
penduduk desa Gunungsari bermatapencaharian sebagai buruh tani (1.586 orang), wiraswasta
(952 orang) dan pertukangan (405 orang), sementara yang lainnya sejumlah 228 orang bekerja
pada sektor pertanian yaitu sebagai tani, pegawai negeri sipil (PNS), pensiunan, jasa, swasta
dan pemulung.
Ketika pertama kali masuk desa Gunungsari, penulis beserta tim disambut dengan
jalanan aspal yang rusak dan menanjak. Meskipun demikian,


rumah-rumah warga desa

Gunungsari tampak sudah banyak yang permanen maupun semi permanen dan sudah
mengikuti desain eksterior rumah minimalis seperti perumahan di perkotaan. Meskipun
demikian, rumah-rumah di pedesaan tetaplah tipe rumah keluarga besar yang memiliki ruangan
tamu dan ruang keluarga yang luas.

Selama studi lapangan peneliti tinggal di dusun Krajan. Seorang tokoh masyarakat di
desa Gunungsari dan sekarang menjadi kepala sekolah di SDN 03 Desa Gambuhan, Bapak H.
Agus, bercerita tentang asal usul dusun Krajan. Dusun Krajan berasal dari kata “kerajaan” yang
kemudian masyarakat menyebutnya “krajan” dulunya merupakan pusat pemerintahan di desa
Gunungsari sebelum akhirnya pindah ke dusun Sipendil karena pergantian lurah. Dusun Krajan
dianggap sebagai pusat pemerintahan karena dulu lurah pertama desa Gunungsari berasal dari
orang dusun Krajan, yaitu mertuanya Pak H. Agus sendiri. Setelah 10 tahun memipin, mertua
Pak H. Agus pensiun. Kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh Pak H. Agus selama satu
periode dan sekarang Pak Teteg Winanteya lah yang menjadi kepala desa di Gunungsari.
Dusun Krajan memiliki tujuh rukun tetangga. Di dusun Krajan terdapat satu masjid yang
bernama “Masjid Thorriqul Jannah” yang letaknya di tepi jalan utama desa Gunungsari. Masjid
Thorriqul Jannah menjadi tempat berkumpulnya ibu-ibu di dusun Krajan untuk melaksanakan
kegiatan pengajian rutin seminggu sekali yang diselenggarakan pada setiap hari Jumat, maupun

pengajian ibu-ibu per-RT yang dilaksanakan pada hari yang berbeda. Tak jauh dari masjid
Tharriqul Jannah terdapat bangunan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yang mencakup
Pos PAUD dan Posyandu.
Sebagian besar masyarakat dusun Krajan melakukan kegiatan mobilitas ke luar desa
dengan merantau. Kebanyakan yang keluar desa untuk merantau adalah laki-laki. Ada
sebanyak 125 orang laki-laki pada bulan Desember 2013 hingga Januari 2014 yang pergi
merantau, termasuk pemuda desa yang belum menikah dengan tujuan untuk bekerja dan
melanjutkan belajar.
Melakukan sebuah mobilitas sementara dari desa berpindah ke kota maupun mobilitas
secara geografis dari Jawa ke Sumatera dan Kalimantan adalah sebuah pilihan untuk
memperbaiki kualitas hidup. Hidup di Jawa begitu sulit dirasakan untuk bisa mencapai
kemapanan dan ketercukupan ekonomi, modal pendidikan bagi anak-anak, dan strata sosial
berdasarkan kepemilikan barang berharga dan kekayaan. Dapat dikatakan bahwa mobilitas
yang dilakukan bertujuan untuk mencapai mobilitas vertikal dengan indikator naiknya kualitas
hidup berdasarkan besarnya penghasilan. Dalam intensitas yang tinggi migrasi dapat
memberikan pengaruh modernisasi pada daerah tujuan migrasi. Seperti yang sudah penulis ulas
sebelumnya, bangunan rumah-rumah masyarakat desa Gunungsari khususnya di dusun Krajan
telah berbentuk permanen dan semi permanen dengan desain eksterior meniru rumah-rumah
minimalis di perkotaan. Warga dusun Krajan juga menggunakan warna-warna yang atraktif


(perpaduan dari dua atau lebih warna) sehingga menarik pandangan mata. Hal ini menunjukkan
bahwa hunian warga dusun Krajan sudah terpengaruh dengan gaya hunian dari perkotaan yang
dibawa masuk oleh para perantau yang kembali ke desa. Sebagaimana diketahui, ada 405 orang
warga desa Gunungsari yang tersebar di berbagai dusun mencari nafkah dalam bidang
pertukangan. Ketika penulis mengikuti arisan ibu-ibu RT 05 dan RT 06, penulis sempat
bertanya pada ibu-ibu yang menghadiri acara tersebut. Penulis mendapatkan informasi bahwa
rata-rata suami para ibu yang hadir saat acara arisan tersebut sedang merantau ke Jakarta dan
Bandung untuk bekerja sebagai tukang bangunan.
Dalam konteks yang lebih luas, meningkatnya arus mobilitas dapat mempengaruhi
terjadinya perubahan komposisi penduduk di daerah yang terkait dan juga mempengaruhi pola
komunikasi baik individu maupun kolektif dalam komunitas yang berbeda. Kepergian sebagian
besar suami untuk merantau membuat keadaan desa seolah hanya dihuni oleh kaum hawa saja,
meskipun sebenarnya pun tidak demikian. Bapak-bapak masih dapat kita jumpai dalam
berbagai kesempatan. Hanya saja memang sebagian besar diantaranya pergi merantau.

Peran Istri dalam Rumah Tangga yang Suaminya Merantau
Strategi nafkah dalam keluarga petani di pedesaan yang dominan dilaksanakan adalah
perpindahan penduduk, baik itu bermigrasi, mobilisasi, transmigrasi. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, banyak anggota rumah tangga petani yang melakukan migrasi ke
beberapa kota besar. Sebagian besar pelaku perpindahan adalah laki-laki. Pelaku migrasi dan

mobilitas pada umumnya masih berusia produktif, yaitu sekitar usia 16 tahun hingga 65 tahun.
Rendahnya pendapatan menjadi salah satu alasan mereka untuk meninggalkan sektor pertanian
yang selama ini turun-temurun digeluti oleh orang tua mereka.
“ekonomi disini agak sulit ya. Musiman, musiman tanamannya cengis (cabe),
cengis tradisonal, artinya bukan budidaya cengis cuma mereka menanamnya
itu banyak sekali dalam satu lahan. Itu banyak sekali tanaman yang ada. Jadi
ibaratnya bukan pertanian khusus seperti di daerah Guci yang orang nanam
bawang tropong semua. Orang disini itu pengennya itu semuanya
menghasilkan, hahaha... cengisnya hasil, kopinya hasil, jagungnya hasil,
makanya disini termasuk pertanian tradisional. Ngaritnya juga, kepinginnya
ternaknya juga hasil. Tetapi ya memang rata-rata mereka ke Jakarta, jadi yang
bertani dan berternak disini rata-rata ibu-ibunya. Bapak-bapaknya banyak
yang pergi merantau, baik jadi tukang, jadi penjual, ya pedagang lah… kalo
sini mayoritas pedagangnya sate, bakso, dan mie, nasi goreng pun nggih. Itu…
tapi kalo secara umum saya lihat Gunungsari perekonomiannya bagus, artinya
gini, njenengan silahkan survey, rumah di Gunungsari dengan rumah di daerah
Moga yang sebelah selatan itu lebih baik sini, seperti itu. Jadi… kesulitannya
itu kalau mau berusaha artinya mau berindustri, misalnya sini mau membuat
makanan nah kemudian kita pemasarannya yang belum bergerak, belum bagus.
Pemasarannya… Disini kan banyak gori, pisang ya, tetapi itu pisang keluarnya
mentah semua, artinya pisangnya yang dipotong di tegalan ya, harganya satu
pohon pisang hanya Rp 7000,-, tujuh ribu ya. Rata-rata 10 pohon kan pitung
puluh ewu, paling pol yo wolung puluh ewu gitu lah. Seandainya bisa diolah
kan mungkin nilai jualnya akan lebih tinggi. Lah ini memang selama ini , bakul
pisang, bakul gori, itu semuanya keluarnya mentah. Jadi kita jual, petani itu
menjualnya 10 batang = Rp 70.000,-. Batangnya sudah dihitung, jantungnya
juga ya dihitung, ji, ro, lu, pat…tapi nebangnya nanti kalau sudah tua” jelas bu
Nunik Moyowati, seorang kepala urusan keuangan desa Gunungsari yang
penulis temui di Kantor Balai Desa Gunungsari.
(wawancara Selasa, 21 Januari 2014)
Berdasarkan kutipan pernyataan seorang informan sekunder yang mempunyai jabatan
penting di desa tersebut, dapat kita pahami bahwa suami-suami dengan keahlian tertentu lebih
memilih berhijrah ke kota untuk mencari nafkah. Hijrah yang dilakukan para suami ini
bukanlah hijrah untuk menetap, tetapi hanya sementara. Meninggalkan suatu daerah dalam
kurun waktu yang singkat untuk melakukan suatu pekerjaan tanpa memboyong keluarganya

untuk pindah dan menetap disana. Hal ini ditunjukkan oleh sepenggal pernyataan Bu Nunik di
atas, “tetapi ya memang rata-rata mereka ke Jakarta, jadi yang bertani dan berternak disini
rata-rata ibu-ibunya”. Yang dimaksud dengan “mereka” adalah para suami yang merantau dan
meninggalkan istri serta anak-anaknya (keluarganya) dan harta bendanya di kampung (sawah
atau ladang dan ternak). Sebelum memutuskan untuk merantau, kepala rumah tangga (suami)
dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang patut dipertimbangkan. Pilihan-pilihan tersebut
meliputi; apakah mereka memang benar-benar butuh pergi merantau, apakah kebutuhan hidup
diri sendiri dan keluarganya akan terpenuhi, dan tak kalah penting adalah ketika mereka
memikirkan apakah mereka akan memboyong keluarga untuk ikut pergi ke daerah rantauan
atau tidak. Keputusan terhadap berbagai pilihan yang tersaji tidaklah diputuskan sendiri,
namun selalu dimusyawarahkan bersama istri dan anak-anak yang dianggap sudah dewasa.
Berikut penuturan salah satu informan yang bernama Ibu Wemi yang suaminya saat itu
suaminya, Pak Tabah, sedang berada di Jakarta;
“suaminya saya baru aja pergi ke Jakarta lagi waktu si mbaknya datang ke sini.
Ya kalo sekarang ikut kerja di pembangunan. Dulu ya sudah pernah ikut juga,
habis lebaran, terus dua bulan selesai ya pulang. Sebelum berangkat pasti ada
omong-omongan dulu, pamit sama keluarga. Setiap seminggu atau dua minggu
ya ngirim ke rumah, nitip sama orang yang pulang. Sekarang ikut kontraktor
lagi. Lah kalo di rumah kerjaan sih ada, kadang dipanggil orang bersihkan alas
ya datang. Kalo gak ada bapak, saya yang berangkat, tapi kalo bapak capek ya
saya juga yang datang, bapak ya momong anak bisa. Di rumah paling seminggu,
terus berangkat lagi. Orang desa sini rancogan mbak, apa-apa bisa…hahaha…
cuma bapak paling ora bisa ngumbahi pakaian.”
Penulis pertama kali bertemu dengan Ibu Weni pada saat beliau sedang membersihkan
rumput-rumput liar di kebun bawang milik Bu Iin. Pasangan Ibu Weni dan Pak Tabah telah
memiliki dua orang anak, anak yang pertama bernama Lesmi (18 tahun) dan anak yang kedua
bernama Bagus (5 tahun). Lesmi seharusnya telah duduk di bangku kelas 12 SMA. Namun,
karena kondisi keuangan keluarga mereka kurang memadai, Lesmi tidak melanjutkan sekolah.
Lesmi lah yang mem-back up beberapa pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan
ibunya, seperti memasak, membersihkan rumah dan kadang memomong adiknya. Demi
memenuhi kebutuhan sampingan (di luar biaya makan dan biaya sekolah) Bu Weni turut
membantu keuangan keluarga dengan mengurus ladang dan menerima panggilan dari para
tetangganya untuk membersihkan ladang mereka dari rumput-rumput liar. Bu Weni bercerita
tentang liku-liku perjuangan suaminya demi menafkahi keluarga sampai pada akhirnya
memilih untuk mengikuti ajakan temannya yang dianggap sudah sukses merantau.

“mulai merantau tahun lalu, baru satu tahun berarti. Dulu ya belum merantau,
dulu kerjanya di rumah. Dulu di rumah kan jualan sayur mbak. Jualan sayur, terus
motornya rusak terus dijual, bangkrut. Motornya rusak satu minggu, didandani,
habis 300, 200… Jual sayurnya keliling, di Randudongkal, dekat Moga…”
(wawancara Sabtu, 25 Januari 2014)
Keputusan untuk mengikuti teman yang dianggap sudah sukses ketika merantau
merupakan pilihan yang rasional, terlebih pilihan ini diambil dalam keadaan dimana seseorang
tidak lagi punya pilihan yang lebih baik. Pak Tabah tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan
yang ada. Meskipun keluarga Bu Weni merasa kebutuhan begitu banyak, namun tekanan dari
kebutuhan hidup tersebut masih dapat ditolerir. Terlebih keluarga Bu Weni masih memiliki
kebun dan beberapa ekor kambing sebagai pegangan, sehingga keluarga Bu Weni tidak perlu
ikut merantau. Di perantauan, Pak Tabah tinggal bersama teman yang membawanya merantau.
Berikut bagan yang menggambarkan hubungan kebutuhan dengan pola mobilitas penduduk;
Kebutuhan dan Aspirasi

Terpenuhi

Tidak Terpenuhi

Dalam batas
toleransi

Tidak pindah

Di luar batas
toleransi

Mobilitas Non
permanen
Pindah
Ulang-alik
(Ing: Commuters; Jawa: ngelaju)

Menginap atau
mondok

Sumber: Mantra (2000)
Dapat dilihat dari bagan di atas bahwa perpindahan penduduk berawal dari dorongan
kebutuhan dalam kehidupan (baik itu kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder). Pada
dasarnya kebutuhan setiap individu berbeda-beda dan kebutuhan hidup itulah yang dapat
memberikan tekanan dalam diri seseorang. Jika seseorang merasa di tempat tinggalnya ia

sudah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, maka seseorang cenderung bertahan di tempat
tersebut, tidak melakukan perpindahan. Di sisi lain, jika seseorang mulai merasa tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga di tempat asalnya, maka ada kecenderungan
seseorang melakukan perpindahan. Mereka mencari tempat lain yang sekiranya dapat
membukakan kesempatan kerja yang lebih luas kepada mereka. Selanjutnya, para pelaku
mobilitas ini dihadapkan lagi dengan pilihan, apakah kebutuhan yang tidak terpenuhi itu masih
bisa ditolerir atau tidak? Jika kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi masih dalam batas wajar,
maka mereka memilih untuk tidak melakukan perpindahan. Mereka memilih untuk
meninggalkan keluarga bertahan di kampung halaman, sementara mereka pergi ke tempat lain
untuk mengumpulkan uang dan dikirim ke kampung. Jenis perpindahan tersebut hanya sebatas
mobilitas penduduk. Namun, jika kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sudah tidak bisa di
tolerir, di kampung juga tidak memiliki pegangan apa-apa seperti sawah, ladang dan ternak,
maka mereka akan membawa keluarga mereka untuk pindah. Perpindahan inilah yang disebut
migrasi termasuk didalamnya program transmigrasi.
Rata-rata masyarakat di desa Gunungsari khususnya di dusun Krajan memiliki pola
pertanian dengan lahan yang jaraknya dekat dengan rumah tinggal dan sistem tumpang sari.
Tumpang sari merupakan sistem tanam dalam satu lahan ditanami beberapa tanaman, misalnya
pohon kopi diselingi cabe, lengkuas, dan sayur kubis. Sehingga hasil kebun kurang maksimal.
Selain itu daya tarik kehidupan kota masih menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya
mobilitas penduduk. Pelaku migrasi pada umumnya masih berusia muda dan bekerja di kota
besar pada sektor informal. Tujuan merantau adalah kota-kota besar yang ada di Jawa, seperti
Jakarta, Bandung dan Semarang. Ketiga kota tersebut merupakan salah satu kota tujuan yang
paling diminati. Jenis pekerjaan yang dilakukan antara lain pedagang kaki lima, buruh pabrik,
tukang becak hingga pengepul besi tua. Mobilitas para suami mencari nafkah ke tempat lain
dilakukan secara berkelompok baik berdasarkan kekerabatan atau hubungan sosial yang lain.
Sudah menjadi kebiasaan apabila ada perantau yang telah sukses kemudian mengajak kerabat,
tetangga dan temannya satu kampung untuk ikut serta merantau. Selama dalam perantauan,
kebutuhan hidup akan ditanggung oleh perantau yang telah atau bisa dikatakan sukses. Bahkan
tak jarang mereka yang telah sukses bersedia untuk memberi pinjaman modal. Modal, tak
selamanya berbentuk modal uang, namun modal sosial juga patut diperhitungkan dan relasi
adalah modal yang besar bagi perantau. Jaring-jaring relasi yang terbangun akan membukakan
lebih banyak kesempatan untuk berkarir.

Strategi keuangan yang ditempuh sudah jelas, suami merantau, sementara istri dan anak
ditinggal di kampung halaman. Ternyata strategi ini memiliki manfaat bagi perekonomian
keluarga. Ketika para suami merantau dan mengumpulkan uang, mereka mengirimkan uang
tersebut kepada istri di kampung halaman. Uang yang dikirimkan suami dipakai sesuai dengan
kebutuhan saja. Menurut informan, pengaturan keuangan yang disesuaikan kebutuhan di desa
membuat mereka bisa sedikit demi sedikit menyisihkan uang. Uang tersebut akan digunakan
untuk keperluan mendadak saja, seperti sakit atau untuk sumbangan orang hajatan. Seandainya
saja mereka ikut suami merantau ke kota besar, mengontrak rumah dan beli makanan, mungkin
pengeluaran akan lebih besar lagi. Para ibu sangat bersyukur tinggal di desa. Meskipun
demikian ada suatu pengeluaran besar (bahkan bisa disebut terbesar) yang tidak dapat
dielakkan, yaitu pengeluaran untuk tradisi nyumbang. Nyumbang merupakan tradisi atau
kebiasaan memberi sumbangan kepada orang yang sedang memiliki hajat, entah itu orang
membangun rumah, menikah, melahirkan anak, khitan dan sakit.
Selama dua minggu penulis tinggal di dusun Krajan, penulis sempat mendatangi
hajatan orang menikah atau kondangan di dusun Kecepit kecamatan Randudongkal, melihat
bayi yang baru lahir di dusun Silegok dan ikut menjenguk kolega yang sakit di RSUD Dr.
Ashari di Pemalang. Selain itu, setiap berapa hari sekali, para ibu di dusun Krajan juga harus
memberikan sumbangan berupa makanan dan minuman untuk para pekerja yang membangun
mushola dan untuk pekerja yang membangun rumah tetangganya secara bergiliran.
“…disini kebutuhan banyak mbak, gak cuma makan doang. Ada orang mbangun,
ada apa lah gitu… kondangan…iya buat nyumbang orang, bukan buat makan
doang. Kalo buat makan doang sih gampang, uang satu juta cukup berapa bulan.
Tapi yang nggak tau kan itu, orang mbangun rumah, orang sakit, ada bayi, orang
nikah gitu.” Ungkap Bu Iin
“Kalau anaknya baru satu ya kebutuhannya ora banyak, kalo saya anak dua
udah harus dibagi dua, tiga malah… pulsa seminggu aja udah sepuluh ribu, itu
(nunjuk sepeda motor) harus diisi, mau kemana-mana harus diisi, bensin, listrik.
Listrik iuran Rp 20.000,-, kadang Rp 24.000,-, kadang juga Rp 18. 000,- per
bulan. Ditambah lagi nyaur buat kondangan. Iya beban, beban hidup mbak…
hahaha…ya kadang ngasih Rp 25.000,-, kalo datang berempat ya kasihnya Rp
40.000,-,iuran Rp 10.000,- satu orang”
Selanjutnya informan menjelaskan sumber dana yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari selain makan. Sering kali informan tidak mempunyai cukup uang untuk
nyumbang. Demi memenuhi kebutuhan tidak terduga tadi mereka berhutang kepada kerabat.

Mereka lebih memilih berhutang kepada kerabat daripada tetangga lain yang tidak mempunyai
hubungan darah.
Keputusan meninggalkan istri dan mempercayakan uang hasil jerih payah di rantau,
kebun dan ternak dikelola oleh istri menunjukkan suatu pandangan bahwa istri dinilai pandai
mengelola urusan dari dalam rumah tangga. Intinya suami tidak mengharuskan istri bekerja
lebih keras daripada diri mereka. Namun, pada kenyataannya istri juga melakukan pekerjaan
yang tidak kalah berat dengan menggantikan peran suami, seperti mengurus ladang dan
mengurus ternak.
Menurut Friedrich Engels (1884, dalam Ferrante; 2011), “…distinguishes between
productive and reproductive work. Productive work involves the actual manufacture of food,
clothing, and shelter and the tools necessary to produce them. Reproductive work involves
bearing children, caregiving, managing households, and educating children. Both are work:
bearing children and caregiving activities are fundamental to the perpetuation of society
However, reproductive work is disproportionately performed by women, whether or not pay is
involved”
Melihat keluarga dari sudut pandang konflik dalam kacamata Sosiologi, keluarga
mempertahankan ketidaksetaraan terhadap anggota-anggotanya. Ketidaksetaraan yang
dimaksud adalah ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam posisinya di keluarga
yang seharusnya seimbang. Hal ini sangat terkait dengan bagaimana peran dari laki-laki dan
perempuan dalam rumah tangga dimana terdapat adanya pembagian kerja. Reproduktive work
dan productive work yang disebutkan Friederich Engels di atas erat kaitannya dengan
pemaknaan kerja dan gender. Stigma yang berkembang selama ini sebelum gender dikenal dan
diketahui oleh banyak orang, perempuan selalu diasumsikan dengan domestic work, bahwa
tugas perempuan dalam keluarga adalah mengurus rumah, merawat anak, dan sebagainya yang
berkaitan pula dengan tugas-tugas reproduktif. Sedangkan seorang laki-laki bertugas untuk
mencari nafkah yang hal ini berkaitan dengan tujuan produksi. Domestic work dan
reproductive work yang dibebankan pada seorang perempuan menjadi sesuatu yang tak bernilai
ekonomi, padahal jika kita analogikan pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang perempuan
di dalam keluarga dengan seorang pembantu rumah tangga, betapa banyak uang yang harus
dikeluarkan untuk membayar gaji seorang pembantu rumah tangga. Inilah yang kemudian
disebut dengan reproductive work dalam buku Seeing Sociology yang ditulis oleh Joan
Ferrante (2011).

Setali tiga uang, Lehmann dalam bukunya yang berjudul Durkheim and Woman
menyebutkan, “The specific process by which sexual differentiation emerges and advances is
the gradual development of men, combined with the stagnation or regression of women. Men
and women begin history equivalently, as simple, primitive, instinctual, natural creatures. Men
diverges from women to become something different, to become social, mental, and moral
human beings. Men become social and society become male in the same movement, a
movement in which women do not and cannot participate. Men envolved into men, become
civilized and humanized, leaving women behind in species limbo as primitive.” (Lehmann,
1994; 39).
Jadi menurut Lehmann berdasarkan kajiannya terhadap pemikiran Emile Durkheim
dalam naskah “The Division of Labor”, secara historis ada proses yang spesifik dimana
perbedaan seksualitas muncul dan merupakan suatu kemajuan dimana pengembangan secara
bertahap dari laki-laki, dikombinasikan dengan stagnasi atau regresi dari perempuan. Pria dan
wanita memulai sejarah kesetaraan yang sederhana, primitif, mengikuti insting, makhluk yang
masih alamiah. Pria menyimpang dari perempuan untuk menjadi sesuatu yang berbeda,
menjadi manusia sosial, mental dan moral. Pria yang kemudian menjadi sosok yang berjiwa
sosial dan masyarakat menjadi laki-laki dalam pergeseran yang sama, sebuah pergeseran
dimana wanita tidak dapat melakukan apa-apa dan tidak bisa berpartisipasi. Pria harus menjadi
pria, menjadi beradab dan manusiawi, meninggalkan wanita di belakang, tertinggal menjadi
spesies limbo yang primitif. Oleh sebab itu, hingga kini seorang pria lebih dikenal dengan
sikap sosialnya dan pemikirannya yang berdasarkan logika. Sementara seorang wanita selalu
dianggap menjadi orang nomor dua.
Dalam kenyataannya, yang terjadi pada masyarakat dusun Krajan pun demikian.
Kesadaran bahwa perempuan selalu berada di belakang laki-laki tercermin dari ucapan-ucapan
para ibu yang ketika penulis bertanya, “mengapa ibu pergi ke kebun, kemudian menjual
hasilnya dan mengurus ternak?”, kemudian mereka menjawab, “ya untuk membantu suami saja
mbak…”. Demikianlah jawaban yang terlontar dari informan dan ibu-ibu lainnya. Para ibu
selalu menomorduakan dirinya dan hasil pekerjaan atau hasil karyanya. Sikap dan pemikiran
seperti ini memang sudah menjadi suatu yang wajar bagi masyarakat.
Kerja selalu didefinisikan dengan segala aktivitas yang mampu menghasilkan uang,
oleh karenanya pekerjaan seorang ibu rumah tangga dianggap bukan sebuah pekerjaan. Hal
yang kemudian dimunculkan oleh para pemikir sosial dalam kajian gender adalah

ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk yaitu marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan yang tidak penting dalam keputusan politik,
pembentuk gender stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja
lebih panjang dan lebih banyak (double burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender
(Mansour Fakih, 2012). Berbekal konsepsi double burden seperti yang dijelaskan Prof.
Mansour Fakih dalam bukunya “Analisis Gender” inilah penulis mengakaji fenomena sosial
budaya masyarakat dusun Krjan terkait dengan peran istri dalam rumah tangga yang suaminya
merantau. Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin,
serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan
domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Perempuan yang telah
berstatus istri dari seorang pria sekaligus ibu bagi anak-anaknya memiliki beban berganda,
terlebih disaat suaminya pergi meninggalkan keluarga untuk sementara demi mencari nafkah
dengan merantau. Mereka harus pergi ke ladang untuk “mengarit” atau memotong rumput, baik
itu di ladang maupun di hutan dan memberikan rumput tersebut kepada hewan ternak yang
juga mereka pelihara sendiri. Sosok istri yang ideal sebagaimana dikonstruksikan masyarakat,
memiliki seabreg pekerjaan di dalam rumah tangga. Pekerjaan-pekerjaan seorang istri di dalam
rumah tangga antara lain seperti memasak makanan enak bagi suami dan anak-anaknya,
memberikan tempat yang nyaman (membersihkan dan menjaga rumah), mencuci pakaian
suami, anak dan dirinya sendiri, disaat musim kemarau, seorang ibu mau tidak mau harus
mengambil dan “mengangsu” air dalam jerigen sejauh minimal satu kilometer (bisa juga lebih)
dari penampungan air menuju ke rumahnya, pergi-pulang. Kedua pekerjaan ini harus ditangani
oleh istri dengan strategi manajemen waktu yang luar biasa. Secara sederhana Suwondo (1981;
266) mengemukakan;
a.

Sebagai warga Negara dalam hubungannya dengan hak-hak dalam bidang sipil dan
politik, termasuk perlakuan terhadap wanita dalam partisipasi tenaga kerja; yang dapat
disebut fungsi ekstern.

b.

Sebagai ibu dalam keluarga dan istri dalam hubungan rumah tangga; yang dapat disebut
fungsi intern.
Kedua fungsi tersebut (ekstern dan intern) merupakan dasar dari peran yang dimiliki

para istri di dusun Krajan, terlebih bagi mereka yang memiliki karier misalnya menjadi guru di
PAUD maupun SD. Oleh sebab itu, istri harus benar-benar mengatur perannya agar kedua
peran tersebut tidak ada yang terabaikan. Jika tidak mampu melakukkan kedua peran tersebut

dengan baik, maka kehidupan akan berjalan tidak seimbang, sehingga mau tidak mau, istri
harus bijak membuat pilihan dengan mengorbankan salah satu diantaranya.
Penulis menemukan pandangan lain tentang para istri yang bekerja menjadi tenaga
pendidik atau guru. Pada dasarnya mereka memang memiliki peran ganda yang mengharuskan
mereka setiap pagi berangkat ke sekolah dan mendidik anak orang lain, namun mereka juga
dapat menjalankan peran mereka sebagai ibu rumah tangga sekaligus. Menjadi seorang guru
PAUD atau SD dengan jam kerja mulai pukul setengah tujuh pagi hingga pukul sepuluh atau
sebelas siang memberikan mereka lebih banyak kesempatan untuk mengurus segala urusan
dalam rumah tangga. Sebelum berangkat mengajar, mereka sempat memasak air untuk minum
dan untuk mandi anak-anak, sempat pula mencuci pakaian, mencuci piring, masak,
membersihkan rumah dan menyiapkan anak-anak mereka yang juga bersekolah. Dengan jurus
seribu langkahnya, entah bagaimana seorang ibu mampu menyelesaikan pekerjaan rumah
tangga dengan begitu cepat, begitu cekatan. Sepulang mengajar, mereka sempat menyetrika
pakaian untuk dipakai esok hari atau untuk pergi ke acara tertentu, sempat mengajar anak
mereka mengerjakan pekerjaan rumah (pr), sempat berbenah-benah rumah dan tak lupa mereka
selalu sempat bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya. Hari libur atau
tanggal merah menjadi bonus tersendiri bagi mereka, para ibu guru, mereka bisa mengerjakan
ladang, mengambil rumput untuk pakan kambing dan pokoknya ada saja kegiatan yang dapat
mereka lakukan. Tak lupa, mereka pun memiliki waktu istirahat yang cukup baik, masih bisa
tidur siang dan di malam hari dapat tidur dengan cepat.
Sementara itu, para istri di dusun Krajan yang ditinggalkan suaminya merantau dalam
kurun waktu tertentu, secara langsung harus mengurus kebun dan ternak. Mereka pun tak kalah
sibuknya dengan ibu-ibu yang menjadi guru PAUD atau SD tadi. Hampir setiap pagi mereka
bangun sebelum matahari terbit. Mereka langsung menuju ke suatu tempat yang mana
masyarakat memandang bahwa tempat itu melambangkan kekuasaan tertinggi perempuan,
yaitu dapur. Di dapur itulah mereka mulai mengeluarkan seribu jurus andalan. Mereka mulai
mencuci piring-piring kotor bekas makan tadi malam. Ada suatu kepercayaan dalam
masyarakat bahwa pamali mencuci piring di malam hari, jadi mereka mencuci piring kotor sisa
tadi malam di pagi hari esok. Setelah mencuci piring, mencuci baju juga, kemudian memasak
makanan untuk sarapan, merebus air untuk diisi ke dalam termos-termos demi menjaga air
tetap dalam keadaan panas, menanak nasi (untungnya sekarang sudah ada teknologi magic jar
jadi para ibu tidak terlalu repot memasak nasi secara tradisional), menyapu rumah, belanja

bahan lauk atau camilan dan kerupuk di bakul sayur keliling. Pada saat penulis tinggal di desa
Gunungsari, cuaca kurang mendukung. Hujan turun sepanjang hari selama dua minggu. Jadi
kegiatan ibu-ibu tidak begitu padat. Yang pasti jika hujan reda di pagi hari, para ibu sudah
keluar rumah dan pergi ke ladang dengan membawa arit serta karung beras ukuran besar.
Menjelang siang, mereka sudah kembali ke rumah dan meletakkan “rumput gajah” (suatu jenis
rumput) segar untuk persediaan pakan kambing hingga beberapa hari kedepan.
Disela-sela kegiatan harian yang begitu padat dan beban berganda yang harus
ditanggung para ibu di dusun Krajan, mereka tetap menyempatkan diri untuk bergabung dalam
kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) baik itu sebagai anggota maupun
ketua dari tim penggerak. Selain bergabung dalam tim PKK, para ibu juga mengikuti arisan
(ada yang mengikuti lebih dari satu kelompok arisan) dengan tujuan untuk mempererat tali
silaturahmi dan solidaritas antar ibu-ibu baik itu lingkup dusun maupun lingkup desa. Selain
organisasi PKK dan kelompok arisan, ibu-ibu di dusun Krajan juga membentuk kelompok
pengajian. Pengajian yang diadakan rutin setiap hari Jumat ini selalu dihadiri ibu-ibu yang
jumlahnya lebih dari tiga puluh orang. Antusiasme ibu-ibu semakin bertambah apabila sedang
memperingati atau merayakan hari besar tertentu. Hal ini tampak dan begitu terasa pada
pelaksanaan pengajian hari Jumat, 17 Januari 2014 yang secara khusus memperingati Maulid
Nabi Muhammad SAW. Antusiasme ibu-ibu pada kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan
solidaritas yang kuat sesama ibu-ibu di dusun Krajan yang ditinggal suaminya merantau.

Simpulan

Strategi nafkah dalam keluarga petani di pedesaan yang dominan dilaksanakan adalah
perpindahan penduduk. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, banyak anggota rumah tangga
petani yang melakukan migrasi ke beberapa kota besar. Melakukan sebuah mobilitas sementara
adalah sebuah pilihan untuk memperbaiki kualitas hidup. Keputusan untuk merantau
kebanyakan diambil oleh laki-laki yang telah menikah (suami) dan memiliki keterampilan
khusus, seperti memasak dan bertukang. Sementara para suami pergi merantau, istri dan anakanak tetap tinggal di kampung halaman. Oleh sebab itu, istri mempunyai peran berganda.
Seorang istri harus berperan sebagai ibu rumah tangga sekaligus menggantikan peran suami
yang seharusnya mengurus ladang dan ternak. Meskipun para istri yang ditinggalkan suaminya
merantau memiliki aktivitas yang cukup padat dan beban berganda, mereka masih sempat
mengikuti kegiatan bersama ibu-ibu yang lain bahkan ada yang menjadi pengurus organisasi
seperti PKK dan Posdaya.

DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender and Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Ferrante, Joan. 2011. Seeing Sociology : An Introduction. Northern Kentucky University
Laporan Monografi Desa Gunungsari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang, Provinsi
Jawa Tengah pada Semester Satu Tahun 2013
Lehmann, Jennifer M. 1994. Durkheim and Woman. Chapter 2: Descriptions of Women.
University of Nebraska Press: Lincoln and London
Mantra, I.B. 2000., Demografi Umum. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Suwondo, Nani. 1981. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Ghalia
Indonesia: Jakarta