Hukum dan Solidaritas Sosial pada

BUKU AJAR
SOSIOLOGI HUKUM
Kode Mata Kuliah

:

HM.101

Pengajar:
M. CHAIRUL BASRUN UMANAILO
NIPS: 137 030 233

e-mail: chairulbasrun@gmail.com
telp: 085243025000

JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS IQRA BURU
2013

Hukum dan Solidaritas Sosial

A. Pendahuluan
Teori-teori

mengenai

masyarakat,

berkembang

sesuai

dengan

perkembangan

masyarakatnya. Dari masa ke masa, teori-teori tersebut mengalami perkembangan dan
perubahan bahkan ada yang turut tenggelam bersama dengan bertumbuhnya teori baru
(kadang kala para akademisi sering menyebutkan teori lama sudah datang ajalnya). Dalam
konteks tersebut, kita tidak boleh menyanggah bahwa perubahanperubahan teori mengenai
masyarakat itu terjadi di dalam suatu masyarakat yang dinamis dengan daya pergerakan yang

tinggi. Beragam teori mengenai masyarakat itu memperlihatkan bahwa kemampuan
masyarakat untuk berubah itulah yang menjadi faktor penting dalam memahami masyarakat.
Artinya, masyarakat tidak dapat dimengerti dari suatu variabel, pernyataan, dan asumsi dari
sebuah teori saja, melainkan mesti dilihat secara riil dan kontekstual.
Dalam pemikiran Durkheim mengenai solidaritas sosial dalam karyanya The Division Of

Labour yaitu secara mekanis dan organis. Kedua terminologi tersebut perlu dipahami dalam
kerangka teori-teori Durkheim mengenai masyarakat. Bagi Durkheim, solidaritas banyak di
pengaruhi oleh fakta sosial itu memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha manusia
untuk membangun suatu komunitas, atau apa yang disebutnya masyarakat.
Lewis Coser (1971) menjelaskan bahwa yang dimaksud Durkheim mengenai fakta sosial
adalah suatu ciri atau sifat sosial yang kuat yang tidak harus dijelaskan pada level biologi dan
psikologi, tetapi sebagai sesuatu yang berada secara khusus di dalam diri manusia.
Ritzer (2004) juga menjelaskan bahwa fakta sosial, dalam teori Durkheim itu bersifat
memaksa karena mengandung struktur-struktur yang berskala luas misalnya undang-undang
yang melembaga. Sesuai dengan pernyataan beliau bahwa: Suatu fakta sosial harus dikenal
oleh kekuatan memaksanya yang bersifat eksternal yang memaksa atau mampu memaksa
individu, dan hadirnya kekuatan ini dapat dikenal kalau tidak diikuti, baik dengan adanya suatu
sanksi tertentu maupun sesuatu perlawanan yang diberikan kepada setiap usaha individu yang
condong untuk melanggarnya.


Namun orang dapat juga mengenalnya dengan tersebarnya fakta sosial itu dalam
kumpulan itu, asalkan dia dapat memperhatikan bahwa eksistensi fakta sosial itu sendiri
terlepas dari bentuk-bentuk individu yang diasumsikan dalam penyebaran tersebut (Emile
Durkheim 1964). indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanis adalah ruang lingkup
dan kerasnya nilai-nilai yang bersifat menekan (represif). Nilai-nilai ini men-justifikasi setiap
prilaku sebagai sesuatu yang jahat, mengancam atau melanggar kesadaran kolektif yang kuat
tersebut.
Hukuman pada pelaku kejahatan memperlihatkan pelanggaran moral dari kelompok
tersebut melawan ancaman atau penyimpangan yang demikian tersebut, karena mereka
dipandang sudah merusakkan keteraturan sosial. Hukuman tidak harus mencerminkan
pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif yang
memojokkan masyarakat itu, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk
menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya, sebaliknya ganjaran itu menggambarkan
dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul. Sebenarnya tidak terlalu banyak sifat orang
yang menyimpang atau tindakan kejahatannya seperti oleh penolakan terhadap kesadaran
kolektif yang diperlihatkannya, tetapi perlu diketahui suatu sifat kejahatan muncul dari umpan
balik nilai-nilai masyarakat. Yang penting dari solidaritas mekanis adalah bahwa solidaritas itu
didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen dan
sebagainya. Homogenitas ini hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat minim

(Johnson,1986), Berlawanan dengan solidaritas mekanis, solidaritas organis muncul karena
pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling
ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari
bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga
menggalakkan bertambahnya perbedaan pada kalangan individu.

B. Uraian Bahan Pembelajaran
Pendefenisian Solidaritas Sosial
Dalam pemikiran Durkheim mengenai solidaritas sosial dalam karyanya The Division Of

Labour yaitu secara mekanis dan organis. Kedua terminologi tersebut perlu dipahami dalam
kerangka teori-teori Durkheim mengenai masyarakat. Bagi Durkheim, solidaritas banyak di
pengaruhi oleh fakta sosial itu memperlihatkan adanya berbagai cara dan usaha manusia
untuk membangun suatu komunitas, atau apa yang disebutnya masyarakat.
Lewis Coser (1971) menjelaskan bahwa yang dimaksud Durkheim mengenai fakta sosial
adalah suatu ciri atau sifat sosial yang kuat yang tidak harus dijelaskan pada level biologi dan
psikologi, tetapi sebagai sesuatu yang berada secara khusus di dalam diri manusia. Ritzer
(2004) juga menjelaskan bahwa fakta sosial, dalam teori Durkheim itu bersifat memaksa
karena mengandung struktur-struktur yang berskala luas misalnya undang-undang yang
melembaga. Sesuai dengan pernyataan beliau bahwa:

Suatu fakta sosial harus dikenal oleh kekuatan memaksanya yang bersifat eksternal yang
memaksa atau mampu memaksa individu, dan hadirnya kekuatan ini dapat dikenal kalau
tidak diikuti, baik dengan adanya suatu sanksi tertentu maupun sesuatu perlawanan
yang diberikan kepada setiap usaha individu yang condong untuk melanggarnya.
Namun orang dapat juga mengenalnya dengan tersebarnya fakta sosial itu dalam
kumpulan itu, asalkan dia dapat memperhatikan bahwa eksistensi fakta sosial itu sendiri
terlepas dari bentuk-bentuk individu yang diasumsikan dalam penyebaran tersebut
(Emile Durkheim 1964) (Setiawan, 2013).

Solidaritas Sosial Dalam Perspektif Sosiologi Dan Hukum
Sosiolog Emile Durkheim menamakan hal pembagian kerja tersebut dengan sebutan
solidaritas. Selanjutnya, Durkheim membagi jenis solidaritas tersebut ke dalam dua bentuk
sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu dan hingga kini rasanya masih relevan
untuk
dikemukakan.
Pertama, solidaritas organik. Yakni, solidaritas yang terbangun antara sesame manusia
yang didasari akar-akar humanisme serta besarnya tanggung jawab dalam kehidupan sesama.
Solidaritas tersebut mempunyai kekuatan sangat besar dalam membangun kehidupan
harmonis antara sesama.
Karena

tersebut

itu,
lebih

bersifat

landasan
lama

dan

solidaritas
tidak

temporer.

Kedua, solidaritas mekanistik. Bentuk hubungan antar sesama selalu dilandaskan pada
hubungan sebab akibat (kausalitas), bukan pada kesadaran akan nilai-nilai kemanusiaan.
Hubungan yang terjalin lebih bersifat fungsional sehingga lebih temporer sifatnya. Pada

tataran lebih luas, bisa saja solidaritas yang terbangun di dalamnya didasarkan pada kacamata
niaga, yang di dalamnya berlaku hukum untung rugi.
M‘nurut Em”l‘ Durk“‘”m, sol”dar”tas sos”al adala“ k‘s‘t”akawanan yang m‘nunjuk pada
satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan
moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
b‘rsama .
Solidaritas sosial menurutnya, sebagaimana yang telah diungkapkan, di bagi menjadi
dua ya”tu: p‘rtama, m‘kan”k adala“ sol”dar”tas sos”al yang d”dasarkan pada suatu k‘sadaran
kol‘kt”’

(collective consciousness) bersama yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-

kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat
yang sama itu. Yang ikatan utamanya adalah kepercayaan bersama, cita-cita, dan komitmen
moral. Sedangkan yang kedua, organik adalah solidaritas yang muncul dari ketergantungan

antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya akibat spesialisasi jabatan
(pembagian kerja).
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat
kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang

pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada
sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri.
Dalam masyarakat yang m‘kan”s , m”salnya, para p‘tan” gur‘m “”dup dalam masyarakat yang
swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama.
Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus
mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan
makanan, pakaian, dan lain-lain) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian
kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual
berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif-seringkali malah berbenturan
dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan
dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas
mekanis hukum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang
akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh
kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran.
Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia
bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu
masyarakat yang kompleks.
Menurut Durkheim Terjadi Suatu evolusi berangsur-berangsur dari Solidaritas mekanis
ke solidaritas organis yang didasarkan atas pembagian kerja. Evolusi itu dapat dilihat dari

meningkatnya hukum restitutif yang mengakibatkan berkuranya hukum represif dan dari
melemahnya kesadaran kolektif. Surutnya kesadaran kolektif itu tampak paling jelas
didalamnya hilangnya arti agama. Dengan demikian maka terdapat lebih banyak ruang bagi
perbedaan-perbedaan individual. Tetapi Durkheim mengemukakan pada waktu yang sama

bahwa kesadaran kolektif dalam segi-segi tertentu justru bertambah kuat, yaitu dimana
kesadaran kolektif ini memberi tekanan kepada martabat individu.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja
menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak
pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial
yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie
muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.

Faktor Pendukung Dan Perusak Solidaritas Sosial
Perspektif hukum dalam konteks interaksi sosial dapat mengalami perubahan dalam
pengaturan dan penerapan. Hukum yang diharapkan bisa memecahkan masalah secara adil
dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, dalam kenyataan bisa berubah ke arah
pengaturan dan penerapan hukuman bagi siapa yang kuat dialah yang menang. Inilah
fenomena yang mewarnai penerapan hukum dalam konteks sosial.
Perubahan dalam penerapan hukum itu merupakan fenomena yang berlangsung secara

alami, karena itu perlu dipahami apa yang sesungghnya terjadi, mengapa hal itu bisa terjadi
dan bagaimana penerapan hukum itu berlangsung. Diskursus tentang penerapan hukum
dalam masyarakat merupakan topik yang menarik karena sering bersifat kontroversial.
Terdapat pakar yang berpendapat bahwa secara konseptual perangkat hukum merupakan
instrumen yang inhernt dalam kehidupan sosial, tetapi dalam kenyataan hal itu
terkesampingkan. Karena itulah masyarakat menuntut p‘rlunya tatanan hukum baru dalam
rangka menjaga ketertiban sosial.
Peralihan dari solidaritas mekanik ke yang organis tidak selalu merupakan proses yang
lancar dan penuh keseimbangan tanpa ketegangan. Karena ikatan sosial primordial yang lama
dalam bidang agama, kekerabatan, dan komunitas dirusak oleh meningkatnya pembagian
kerja, mungkin ada ikatan-ikatan sosial lainnya yang tidak berhasil menggantikannya.
Akibatnya masyarakat menjadi terpecah yang ditandai individu-individu terputus dengan

ikatan sosialnya, dan kelompok yang menjadi perantara individu menjadi tidak berkembang
dengan baik.
Studi tentang perubahan hukum sangat lekat dengan cara mengarahkan peran manusia
sebagaimana yang diharapkan. Di sini posisi hukum menjadi multi dimensi dalam kehidupan
manusia, oleh karena itu dalam perubahan hukum juga menyangkut secara langsung
terhadap keperluan ketertiban sosial yang meliputi nilai dan norma sosial, sistem
kemasyarakatan, kebiasaan dan relasi sosial yang belum maupun yang sudah mapan, dan

sistem kelembagaan sehingga meskipun ada pergeseran tetapi pranata hukum diharapkan
tetap terjaga.
Perubahan hukum dalam kehidupan sosial merupakan suatu kenyataan yang terjadi
dalam usaha manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Perubahan hukum itu bisa berbentuk
evolusi, transformasi ataupun revolusi, tergantung dari dinamikanya. Perubahan hukum juga
bisa terjadi secara sepotong-sepotong (graduil) atau serempak (radical). Perubahan hukum
dan akibatnya terhadap kondisi masyarakat telah menjadi fakta dalam kehidupan manusia,
sebagai reaksi atas rangsangan dari luar maupun dari dalam masyarakat sendiri. Akibat dari
perubahan itu terhadap kehidupan manusia menimbulkan efek positif ataupun negatif.
Selain perubahan hukum (law change), dikenal juga perkembangan hukum (law

development), yaitu suatu perubahan yang ditujukan untuk mencapai kemajuan atau
perbaikan keadaan hidup masyarakat. Dengan perkataan lain perkembangan hukum berkaitan
dengan rekayasa yang dapat dicapai melalui penggunaan ilmu pengetahuan untuk
memperbaiki tatanan sosial agar dengan perbaikan itu manusia dapat hidup lebih layak sesuai
dengan martabatnya.
Dengn demikian dalam rangka perkembangan hukum (setelah menjadi kenyataan)
selalu menuntut penyesuaian diri dari anggota masyarakat yang ada di dalamnya. Tetapi
menyesuaikan saja tidaklah cukup, memahami dan menghayati peraturan baru adalah lebih
penting untuk menghindari kekacauan di dalam masyarakat akibat dari kemajuan yang telah
dicapai. Pemikiran ini berdasarkan argumen bahwa pada hakikatnya keberadaan hukum

adalah untuk menyelesaikan benturan kepentingan antar sesama manusia (conflict of human

interests) yang terjadi di masyarakat melalui proses distribusi keadilan (dispensing justices).
Bagi masyarakat tertentu perkembangan hukum bisa dianggap sebagai pemicu
terjadinya kontradiksi yang menajam dan keras bahkan menjadi penyebab timbulnya
kerusuhan sosial karena implementasinya yang tidak adil. Pandangan ini didasarkan pada
fakta yang terjadi disekitar kehidupan manusia bahwa, instrumen hukum tidak bekerja secara
memuaskan dan justru memicu konflik yang membesar dan distruktif. Masyarakat sering
dikecewakan oleh tindakan dari aparat yang tidak adil, tidak tegas, bertele-tele, tidak tuntas
dan cenderung mencari-cari kesalahan orang (extra yudicial crime). Bahkan masyarakat sering
melihat dan merasakan kolusi antar preman (lawer maupunhigh) dengan aparat penegak
hukum, sehingga muncul istilah seperti mafia pengadilan atapun mafia penyidikan.
Potret solidaritas sosial dalam konteks masyarakat dapat muncul dalam berbagai
kategori atas dasar karakteristik sifat atau unsur yang membentuk solidaritas itu sendiri.
Veeger, K.J. (1992) mengutip pendapat Durkheim yang membedakan solidaritas sosial dalam
dua kategori :

Solidaritas mekanis
Solidaritas mekanis ini, terjadi dalam masyarakat yang memiliki ciri khas keseragaman
pola-pola relasi sosial, memiliki latar belakang pekerjaan yang sama dan kedudukan semua
anggota. Apabila nilai-nilai budaya yang melandasi relasi mereka, dapat menyatukan mereka
secara menyeluruh. Maka akan memunculkan ikatan sosial yang kuat dan di tandai dengan
munculnya identitas sosial yang kuat pula. Individu menyatukan diri dalam kebersamaan,
sehingga tidak ada aspek kehidupan yang tidak diseragamkan oleh relasi-relasi sosial yang
sama. Individu melibatkan diri secara penuh dalam kebersamaan pada masyarakat. Karena itu,
tidak terbayangkan bahwa hidup mereka masih dapat berlangsung apabila salah satu aspek
kehidupan di pisahkan dari kebersamaan.
Solidaritas mekanis menunjukan berbagai komponen atau indikator penting. Contohnya
yaitu, adanya kesadaran kolektif yang di dasarkan pada sifat ketergantungan individu yang

memiliki kepercayaan dan pola normatif yang sama. Individualitas tidak berkembang karena
di hilangkan oleh tekanan aturan atau hukum yang bersifat represif. Sifat hukuman cenderung
mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul atas penyimpangan atau
pelanggaran kesadaran kolektif dalam kelompok sosialnya.
S”ngkatnya, sol”dar”tas m‘kan”s d” dasarkan pada suatu k‘sadaran kol‘kt”’ (collective

consciousness) yang di lakukan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total di
antara para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen
dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan,
baik sosial, politik bahkan kepercayaan atau agama.
Doyle Paul Johnson (1994), secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok social
yang di dasarkan pada solidaritas mekanis, yakni :
a)

Pembagian kerja rendah

b)

Kesadaran kolektif kuat

c)

Hukum represif dominan

d)

Individualitas rendah

e)

Konsensus terhadap pola normatif penting

f)

Adanya keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang

g)

Secara relatif sifat ketergantungan rendah

h)

Bersifat primitif atau pedesaan.

Contoh masyarakat solidaritas mekanis dan organis. Yaitu masyarakat yang memiliki
pola pembagian kerja yang sedikit, seperti pada masyarakat desa. Masyarakat desa memiliki
homogenitas pekerjaan yang tinggi misalnya sebagai petani. Karena kesamaan yang dimiliki
oleh masyarakat desa, membuat membuat kesadaran kolektif antara individu di dalam
masyarakat itu sangat tinggi. Masyarakat desa juga homogenitas dalam hal kepercayaan di
bandingkan masyarakat kota. Homogenitas itulah yang mepersatukan masyarakat desa.

Solidaritas organis
Solidaritas organis terjadi di masyarakat yang relatif kompleks dalam kehidupan
sosialnya namun terdapat kepentingan bersama atas dasar tertentu. Pada kelompok sosialnya,
terdapat ciri-ciri tertentu, yaitu :
a)

Adanya pola antar-relasi yang parsial dan fungsional

b)

Terdapat pembagian kerja yang spesifik,

c)

Adanya perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan sebagainya.

Perbedaan pola relasi-relasi dapat membentuk ikatan sosial dan persatuan melalui
pemikiran yang membutuhkan kebersamaan serta diikat dengan kaidah moral, norma,
undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat universal. Karena itu, ikatan solidaritas
tidak lagi menyeluruh, melainkan terbatas pada kepentingan bersama yang bersifat parsial.
Solidaritas organis muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini di
dasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Ketergantungan ini di akibatakan
karena spesialisasi yang tinggi di antara keahlian individu. Spesialisasi ini juga sekaligus
mengurangi kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis. Akibatnya, kesadaran
dan homogenitas dalam kehiduan sosial tergeser. Keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu,
munculah ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu yang memiliki
spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Menurut Durkheim itulah pembagian kerja
yang mengambil alih peran yang semula di dasarkan oleh kesadaran kolektif.
Contoh

dalam

solidaritas

organis

ialah

perusahaan

dagang.

Alasan

yang

mempersatukan organisasi itu kemungkinan besar ialah motivasi-motivasi anggotanya.
Keinginan mereka akan imbalan ekonomi yang akan di terima atas partisipasinya, dan di
dalam organisasi dagang masing-masing anggotanya akan merasa tergantung satu dengan
yang lain. Misalnya dalam suatu pabrik, ada kecenderungan orang berada di mesin teknisi,
pengawas, penjual, orang yang memegang pembukuan, sekretaris, dan seterusnya. Semua
kegiatan mereka memiliki hubungan spesialisasi dan saling ketergantungan. Sehingga sistem
tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi berdasarkan pada saling
ketergantungan.

Contoh lainnya yaitu dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis, proses perubahan
kepemimpinan di lakukan secara turun temurun dari kepala suku atau etua adat. Berbeda
dengan masyarakat organis proses suksesi kepemimpinan di lakukan dengan melibatkan
partisipasi masyarakat atau individu. Contohnya seperti pemilihan umum Presiden dan Wakil
Presiden di Indonesia melalui Pemilihan Umum yang melibatkan seluruh warga Negara
Indonesia.
Karl Manheim lebih mencermati pandangan Durkheim, di mana dalam solidaritas
organis di ciptakan pembagian kerja dalam kelompok sosial. Pembagian kerja tersebut
membagi aktivitas yang mulanya hanya dilaksanakan oleh satu individu menjadi lebih besar
dengan bagian-bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Pembagian kerja akan
menimbulkan sebuah integrasi sosial yang kuat, secara fungsional di butuhkan untuk saling
melengkapi. Karena itu untuk memunculkan suatu solidaritas sosial dalam kelompok
berdasarkan kepentingan bersama yang sifatnya tertentu.
Nampak bahwa pada solidaritas organis menekankan tingkat saling ketergantungan
yang tinggi, akibat dari spesialisasi pembagian pekerjaan dan perbedaan di kalangan individu.
Perbedaan individu akan mengurangi kesadaran kolektif, yang tidak penting lagi sebagai
dasar untuk keteraturan sosial. Kuatnya solidaritas organis menurut Durkheim di tandai
dengan

eksistensi

hukum yang

bersifat restitutif atau memulihkan, melindungi

pola

ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang terspesialisasi atau kelompokkelompok dalam masyarakat.
Doyle Paul Johnson pun secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial
atau masyarakat pada solidaritas organis, yakni;
a)

Pembagian kerja tinggi;

b)

Kesadaran kolektif lemah;

c)

Hukum restitutif/memulihkan dominan;

d)

Individualitas tinggi;

e)

Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting;

f)

Badan-badan kontrol sosial menghukum orang yang menyimpang;

g)

Saling ketergantungan tinggi; dan

h)

Bersifat industrial perkotaan.

Peranan Hukum Sebagai Perekat Solidaritas
Bagi

Emile

Durkheim,

masyarakat

berbeda

dengan

individu

(John

J.

Macionis, Sociology), Masyarakat berada di luar (beyond) individu. Masyarakat ada sebelum,
di tengah, dan setelah kehadiran individu di dunia. Masyarakat akan tetap ada kendati
individu-individu sudah tidak lagi menjadi anggotanya. Masyarakatlah yang punya kekuasaan
mengarahkan pemikiran dan tindakan manusia. Sebab itu, kajian psikologi atau biologi
dianggap tidak pernah bisa menangkap inti pengalaman sosial seseorang. Segera setelah
dibentuk oleh sekumpulan orang, masyarakat seterusnya bergerak secara mandiri. Bahkan,
masyarakat menuntut kepatuhan dari orang-orang yang telah membentuknya.
Bagi Durkheim, struktur sosial adalah pola perilaku manusia yang meliputi norma, nilai,
dan kepercayaan. Pola perilaku tersebut dikodifikasi di dalam budaya. Struktur sosial juga
disebut Durkheim sebagai fakta sosial. Fakta sosial adalah struktur sosial yang benar-benar
ada di luar individu, sifatnya permanen, bukan trend. Selain struktur, masyarakat juga punya
fungsi. Fungsi ini memastikan masyarakat mampu beroperasi. Salah satu fakta sosial adalah
kriminalitas. Bagi Durkheim, secara sosial fungsi kriminalitas tidaklah abnormal. Eksisnya
kriminalitas menunjukkan kemampuan masyarakat dalam mendefinisikan moralitas. Sanksi
yang diberikan sanksi masyarakat atas para pelaku kriminal menunjukkan eksistensi norma
sosial yang harus dipatuhi setiap anggotanya.
Durkheim juga menyatakan, masyarakat tidak hanya berada di luar individu melainkan
juga di dalam-nya. Personalitas pribadi merupakan representasi masyarakat di dalam diri
individu. Konsekuensi logisnya, apapun yang individu lakukan, bayangkan, pikirkan, putuskan,
sesungguhnya dipengaruhi apa yang masyarakat introjeksikan kepadanya. Masyarakat-lah
yang mengatur apa yang boleh diinginkan individu, bagaimana cara mencapainya, serta apa
saja batasannya.

Durkheim juga menyorot integrasi sosial. Pandangan menarik Durkheim mengenai ini
adalah kasus bunuh diri. Menurut Durkheim, bunuh diri lebih banyak terjadi dalam masyarakat
yang lemah integrasi sosialnya. Dalam sebuah penelitian – dimuat dalam karya tulisnya,

Suicide tingkat bunuh diri rendah di kalangan masyarakat Katolik ketimbang Protestan. Bagi
Durkheim penyebabnya adalah, penekanan kolektivitas pada masyarakat Katolik lebih besar,
sementara Protestan lebih kepada individualitas.
Durkheim berbeda dengan Weber dalam memandang konsep masyarakat tradisional
dan modern. Bagi Durkheim, masyarakat modern punya pembatasan yang lebih sedikit atas
individu ketimbang yang dilakukan masyarakat tradisional. Akibat sedikitnya keterlibatan
masyarakat atas individu modern, masyarakat modern cenderung menciptakan anomie.
Anomie adalah kondisi di mana individu hanya sedikit mendapat bimbingan moral dari
masyarakat. Akibat anomie, tingkat perceraian, kehamilan di luar nikah, bunuh diri, stress dan
depresi individual lebih banyak terdapat di masyarakat modern ketimbang tradisional.
Durkheim juga mengkomparasikan kohesi sosial antara masyarakat tradisional dengan
modern. Komparasi Durkheim lakukan atas aspek solidaritas sosial. Pada masyarakat praindustrial, tradisi bertindak sebagai perekat sosial (kohesi) masyarakat. Masyarakatnya
mengembangkan solidaritas-mekanik. Solidaritas-mekanik adalah ikatan sosial berdasarkan
nilai-nilai moral dan sentimen bersama dan masih kuat dianut serta dipatuhi oleh para
anggota masyarakat. Solidaritas-mekanik sekaligus merupakan produk kesamaan struktur,
okupasi, dan proses sosial masyarakat.
Dalam masyarakat industri, kepadatan moral (moral density) meningkat. Peningkatan
berakibat pada melemahnya solidaritas-mekanik yang membuat individu merasa tidak lagi
terikat tradisi. Sebagai penggantinya di masyarakat modern muncul solidaritas-organik yaitu
ikatan sosial berdasarkan spesialisasi dan kesalingtergantungan okupasi antaranggota
masyarakat. Perbedaan spesialisasi kerja (okupasi) pada masyarakat modern membuat para
anggotanya saling bergantung satu sama lain. Ketergantungan bukan karena punya nilai,
norma, atau budaya serupa melainkan kepentingan okupasi. Transaksi antar kepentingan
okupasi direkat oleh uang. Dalam membangun rumah misalnya, terdapat sejumlah profesi

yang saling bergantung seperti arsitek, mandor, teknik sipil, tukang listrik, tukang pipa, buruh
bangunan kasar, ataupun pejabat yang mengurus Izin Mendirikan Bangunan. Mereka tidak
bisa bekerja sendiri dalam mendirikan suatu bangunan, dan mereka hanya mau bekerja jika
kompetensi masing-masing diimbali dengan uang.

C. Penutup
Durkheim menggunakan istilah solidaritas mekanis untuk menganalisa masyarakat
keseluruhannya. Solidaritas mekanis lebih menekankan pada sesuatu kesadaran kolektif
bersama (collective consciousness yang menyandarkan pada totalitas kepercayaan dan
sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama.
Solidaritas mekanis merupakan sesuatu yang bergantung pada individu-individu yang
memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola norma yang sama pula.
Oleh karena itu sifat individualitas tidak berkembang, individual ini terus menerus akan
dilumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali untuk konformitas. Individu tersebut tidak harus
mengalami atau menjalani satu tekanan yang melumpuhkan, karena kesadaran akan
persoalan hal yang lain mungkin juga tidak berkembang. Inilah yang menjadi akar
memudarnya atau deintegrasi nilai pada solidaritas mekanis.
Pertama, perlu diketahui bahwa nilai barang bersifat ekonomis semakin lama nilainya
akan menyusut. Kedua, kesadaran kolektif sebenarnya tidak stagnan atau tetap, melainkan
bergerak liar dalam setiap tindakan masyarakat.
Berlawanan dengan solidaritas mekanis, solidaritas organis muncul karena pembagian
kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan
yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi
dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggalakkan bertambahnya
perbedaan pada kalangan individu.
Munculnya perbedaan-perbedaan pada kalangan individu ini merombak kesadaran
kolektif itu, yang pada gilirannya menjadi kurang penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan

sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah antara
individu-individu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya.
S‘p‘rt” yang d”nyatakan Durk“‘”m ba“wa ”tula“ pembagian kerja yang terus saja
mengambil peran yang tadinya d””s” ol‘“ k‘sadaran kol‘kt”’ . Durkheim mempertahankan
bahwa kuatnya solidaritas organis itu ditandai oleh pentingnya undang-undang yang bersifat
memperbaiki, menyehatkan maupun yang bersifat memulihkan (restitutif) daripada yang
bersifat represif.
Tujuan dari kedua bentuk undang-undang tersebut sangat berbeda. Undang-undang
represif lebih mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat sedangkan undangundang restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan
yang kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Oleh karena itu, sifat ganjaran-ganjaran yang diberikan kepada seseorang pelaku
kejahatan berbeda dalam kedua undang-undang itu. Mengenai tipe sanksi yang bersifat
restitutif Durkheim mengatakan bukan b‘rs”’at balas d‘ndam, m‘la”nkan “anya s‘k‘dar
m‘ny‘“atkan k‘adaan .
Terlaksananya undang-undang represif sebenarnya bukan memperkuat keadaan karena sudah
adanya investasi nilai tetapi represif sedikit demi sedikit akan menuju kepada undang-undang
restitutif.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24