Alam yang Sakral Konsep Alam dalam Persp
Alam yang Sakral: Konsep Alam dalam Perspektif Islam
Di jaman ini banyak terjadi fenomena perusakan alam oleh manusia: membuang limbah
pabrik di sungai, penggundulan hutan, penggunaan bahan peledak di laut, dan sebagainya.
Tindakan-tindakan tersebut dapat menyebabkan rusaknya alam seperti matinya hewan-hewan di
dalam sungai, banjir, tanah longsor, matinya terumbu karang, semakin tingginya tingkat racun
dalam hewan. Semua itu juga berdampak pada manusia, semisal resiko penyakit yang meningkat
karena mengkonsumsi hewan-hewan di sungai yang sudah teracuni, adanya kerugian finansial
atau kondisi psikologis yang memburuk karena bencana alam. Fenomena-fenomena alam yang
berdampak manusia biasanya dianalisis terbatas pada level fisik, terindera, atau terukur, di mana
tidak ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Contohnya seperti banjir yang merugikan
penduduk
Jakarta semata-mata disebabkan oleh semakin berkurangnya daerah serapan. Ini
merupakan salah satu gejala sekulerisasi dalam memandang alam semesta.
Penting untuk menjelaskan konsep sekulerisasi terlebih dahulu karena ini merupakan
worldview (cara pandang terhadap konsep realitas dan kebenaran) yang umum bagi banyak orang
saat ini, dan pada akhirnya mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak. Sekulerisasi
didefinisikan oleh Van Peursen, dikutip oleh Harvey Cox (2013):
Liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away
from other worlds and toward this one.
Secara singkat sekulerisasi memiliki ciri penghilangan unsur metafisik dan agama dari
kehidupan dunia. Perhatian manusia pun hanya ditujukan pada dunia ini. Metafisik adalah hal
ghoib yang tidak terjangkau oleh indera atau akal semata, contohnya seperti Tuhan dan akhirat.
Keduanya tidak dapat terlihat dan dibayangkan oleh akal semata. Sekulerisasi memiliki tiga
dimensi: disenchantment of nature, desacralization of politics, deconsecration of values.
Disenchantment of nature adalah penghilangan unsur sakral pada alam. Desacralization of
politics adalah konsep di mana agama tidak boleh masuk ke ranah politik. Deconsecration of
values adalah membuat nilai-nilai manusia menjadi relatif. Sekulerisasi memiliki worldview
yang terbuka. Pembahasan pada tulisan ini akan berfokus pada pembahasan disenchantment of
nature untuk dapat menjelaskan konsep alam semesta.
Penghilangan unsur kesakralan pada alam menjadikan Tuhan berada di luar proses alam.
Ada pemisahan antara alam dan Tuhan, serta pembedaan manusia dari alam. Alam bukan sesuatu
yang sakral, serta dipandang sebagai hal yang dapat dimanfaatkan saja, sehingga wajar ketika
seseorang dengan pemikiran ini melakukan eksploitasi alam besar-besaran dan merusak tatanan
alam semesta. Tindakan tersebut tidak disetujui oleh Harvey Cox (2013), yang menyatakan
bahwa perusakan alam adalah hal yang kekanak-kanakan. Manusia yang dewasa tidak merusak
alam, namun tidak juga melakukan penghormatan terhadapnya karena alam bukan hal yang
sakral. Tugas manusia adalah memanfaatkannya, untuk memikul tanggung jawab yang diberikan
pada manusia, namun tidak dijelaskan siapa yang memberikan tanggung jawab, tujuan, dan
bagaimana manusia memikul tanggung jawab tersebut.
Salah satu paham yang menganut disenchantment of nature adalah naturalisme, yang
menganggap bahwa alam ini tidak berhubungan dengan hal-hal metafisik. Tidak perlu ada usaha
untuk melihat apa yang ada di balik alam. Ronald Hepburn (dalam Taliaferro, 1998) menyatakan
God is outside the universe, outside space and time.
Naturalisme hanya membatasi penjelasan tentang dunia melalui penginderaan. Ini seperti yang
dinyatakan oleh Bertrand Russell (dalam Taliaferro, 1998).
The Whole concept of cause is one we derive from our observation of particular things; I
see no reason whatsoever to suppose that the total has any cause whatsoever.
Inilah konsep sekulerisme di mana alam tidak dipandang secara sakral.
Hal yang perlu ditanyakan adalah, dengan pemikiran seperti itu apakah ada
jaminan bahwa manusia akan selalu untung atau tidak dirugikan ?
Penulis mencoba memaparkan argumentasi dari sudut pandang Islam dalam menyikapi
disenchantment of nature. Penulis berpendapat bahwa penghilangan kesakralan alam tidak perlu
dilakukan. Tidak ada dikotomi antara fisik dan metafisik, serta dunia dan akhirat. Memang
terlihat sangat berbeda dengan konsep sekuler karena Islam memiliki worldview yang berbeda
pula, dari konsep realitas (bagaimana sesuatu dikatakan “ada”), aksiologi (nilai atau penerapan
ilmu), ontologi (konsep tentang wujud), bahkan sampai epistemology (bagaimana ilmu
diperoleh).
Konsep dunia dijelaskan secara bahasa. S.M.N. Al-Attas (2011) menyampaikan bahwa
“dunia” dalam bahasa Arab berasal dari kata Danaa, yang memiliki arti “sesuatu yang dibawa
dekat”. Allah memperkenalkan diri melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Dia mendekatkan diri-Nya
pada semua makhluk di alam semesta, termasuk manusia, dengan menciptakan dunia. Hal
tersebut dilakukan dengan tujuan agar Dia dapat dikenali. Itu sebabnya alam ini merupakan
tanda-tanda keberadaan-Nya, sehingga bersifat sakral dari awalnya. Sakral dalam hal ini tidak
mencakup konsep-konsep seperti banyak dewa, animisme, ataupun hal-hal bersifat klenik.
Contoh kesakralan yang dimaksud seperti hujan yang membawa rizki bagi semua makhluk.
Hujan membuat banyak tumbuh-tumbuhan subur yang kemudian dapat dikonsumsi oleh hewan
ataupun manusia. Ini merupakan salah satu sifat Allah, yaitu ar-Razzaq atau Maha Pemberi rizki.
Dari beberapa contoh tersebut dapat diketahui bahwa alam semesta bagaikan “Buku” yang
bercerita kepada manusia tentang Sang Pencipta. Inilah konsep realitas dalam Islam.
Orang dengan Worldview Islam ketika memikirkan tentang alam semesta pasti juga akan
memikirkan Allah. Dia akan selalu ingat bahwa dunia ini penuh dengan tanda-tanda keberadaanNya. Kekaguman pun akan ditujukan pada siapa yang menciptakan dan memelihara alam ini,
bukan kagum pada tanda-tanda-Nya semata.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka. (Ali- Imran: 190-191).
Pergantian siang dan malam menunjukkan bahwa Allah Maha Mengetahui, Adil,
Berkuasa, Penyayang. Dia Maha Mengetahui, termasuk tentang apa yang terjadi ketika siang dan
malam melebihi kadar masing-masing. Jika siang akan jauh lebih lama atau sebaliknya dan itu
terjadi terus-menerus, bumi dan seisinya akan binasa. Maka dari itu Allah yang Maha Adil
membuat sesuatu terjadi sesuai dengan kadarnya. Dia tidak ingin kebinasaan itu terjadi selama
dunia masih ada karena Dia Maha Penyayang. Membuat pergantian itu sangatlah mudah bagi
Allah karena Dia Maha Kuasa. Itulah sedikit contoh yang dipikirkan oleh orang-orang yang
memang menggunakan akalnya. Mereka tahu bahwa dunia ini memang mengandung sifat-sifat
Allah, yang mengantarkan pada pemahaman bahwa alam ini merupakan tanda-tanda keberadaanNya.
Tanda-tanda keberadaan-Nya memang sengaja dibuat dekat dengan manusia karena sifat
Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Andai tanda-tanda tersebut tidak dibawa dekat pada
manusia, manusia tidak akan pernah mengenal-Nya. Pengenalan terhadap-Nya merupakan
konsep yang vital bagi kehidupan manusia. Ketika sudah kenal, manusia akan melibatkan-Nya
dalam berpikir, termasuk menyikapi suatu realitas. Memasukkan Tuhan dalam kerangka berpikir
dengan melibatkan hati ketika manusia memandang dunia, membuat manusia tidak perlu
melakukan “lompatan iman,”
di mana kita memandang Tuhan sebagai sesuatu yang tidak
rasional namun memaksa diri untuk beriman pada-Nya. Hal ini dapat membuat manusia ragu dan
bingung.
Pengenalan terhadap Tuhan akan membuat manusia memandang alam sebagai sesuatu
yang sakral. Pandangan ini akan tercerminkan dalam tingkah laku manusia dalam
memperlakukan alam, yaitu menghormatinya, bukan hanya sekedar memanfaatkannya. Dengan
begitu tidak ada kerusakan alam, dan akhirnya membuat manusia rugi. Alam yang damai dan
bebas dari kerusakan dapat membuat kehidupan manusia tenang.
Konsep yang dipaparkan sebelumnya tidak dibahas dalam worldview sekuler. Alam
dianggap bebas dari hal-hal metafisik, konsekuensinya adalah manusia tidak tahu pasti siapa
yang ada di balik alam semesta ini, apa tujuan penciptaan dunia, dan tidak ada aturan baku
mengenai bagaimana manusia semestinya menggunakan alam, mengingat worldview sekuler
bersifat terbuka. Akhirnya kemungkinan perusakan alam akan lebih besar.
Pemaparan mengenai konsep alam membuat kita tahu bahwa Islam dan sekulerisme
memiliki cara pandang yang berbeda. Worldview Islam memiliki pandangan yang lebih luas
daripada worldview sekuler. Worldview yang ada pada seseorang berdampak pada bagaimana dia
memandang dan memperlakukan alam. Memandang alam semesta sebagai tanda-tanda-Nya akan
membuat manusia menghormati alam sehingga berusaha untuk tidak merusaknya. Inilah sikap
yang lebih bijak untuk diterapkan. Semoga pembahasan singkat ini dapat dipahami dan
menambah wawasan keilmuan dalam memandang alam.
Daftar Pustaka
Al-qur’an al-karim
Cox, H. (2013). The Secular City: Secularization and urbanization in theological perspective.
Diunduh dari http://press.princeton.edu/chapters/s10117.pdf.
Al-Attas, S.M.N. (2011). Islam dan Sekulerisme. Penerjemah: Khalif Muammar. Bandung:
PIMPIN.
Taliaferro, C. (1998). Contemporary Philosophy of Religion. Great Britain: Blackwell Publishers
Ltd.
Di jaman ini banyak terjadi fenomena perusakan alam oleh manusia: membuang limbah
pabrik di sungai, penggundulan hutan, penggunaan bahan peledak di laut, dan sebagainya.
Tindakan-tindakan tersebut dapat menyebabkan rusaknya alam seperti matinya hewan-hewan di
dalam sungai, banjir, tanah longsor, matinya terumbu karang, semakin tingginya tingkat racun
dalam hewan. Semua itu juga berdampak pada manusia, semisal resiko penyakit yang meningkat
karena mengkonsumsi hewan-hewan di sungai yang sudah teracuni, adanya kerugian finansial
atau kondisi psikologis yang memburuk karena bencana alam. Fenomena-fenomena alam yang
berdampak manusia biasanya dianalisis terbatas pada level fisik, terindera, atau terukur, di mana
tidak ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Contohnya seperti banjir yang merugikan
penduduk
Jakarta semata-mata disebabkan oleh semakin berkurangnya daerah serapan. Ini
merupakan salah satu gejala sekulerisasi dalam memandang alam semesta.
Penting untuk menjelaskan konsep sekulerisasi terlebih dahulu karena ini merupakan
worldview (cara pandang terhadap konsep realitas dan kebenaran) yang umum bagi banyak orang
saat ini, dan pada akhirnya mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak. Sekulerisasi
didefinisikan oleh Van Peursen, dikutip oleh Harvey Cox (2013):
Liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away
from other worlds and toward this one.
Secara singkat sekulerisasi memiliki ciri penghilangan unsur metafisik dan agama dari
kehidupan dunia. Perhatian manusia pun hanya ditujukan pada dunia ini. Metafisik adalah hal
ghoib yang tidak terjangkau oleh indera atau akal semata, contohnya seperti Tuhan dan akhirat.
Keduanya tidak dapat terlihat dan dibayangkan oleh akal semata. Sekulerisasi memiliki tiga
dimensi: disenchantment of nature, desacralization of politics, deconsecration of values.
Disenchantment of nature adalah penghilangan unsur sakral pada alam. Desacralization of
politics adalah konsep di mana agama tidak boleh masuk ke ranah politik. Deconsecration of
values adalah membuat nilai-nilai manusia menjadi relatif. Sekulerisasi memiliki worldview
yang terbuka. Pembahasan pada tulisan ini akan berfokus pada pembahasan disenchantment of
nature untuk dapat menjelaskan konsep alam semesta.
Penghilangan unsur kesakralan pada alam menjadikan Tuhan berada di luar proses alam.
Ada pemisahan antara alam dan Tuhan, serta pembedaan manusia dari alam. Alam bukan sesuatu
yang sakral, serta dipandang sebagai hal yang dapat dimanfaatkan saja, sehingga wajar ketika
seseorang dengan pemikiran ini melakukan eksploitasi alam besar-besaran dan merusak tatanan
alam semesta. Tindakan tersebut tidak disetujui oleh Harvey Cox (2013), yang menyatakan
bahwa perusakan alam adalah hal yang kekanak-kanakan. Manusia yang dewasa tidak merusak
alam, namun tidak juga melakukan penghormatan terhadapnya karena alam bukan hal yang
sakral. Tugas manusia adalah memanfaatkannya, untuk memikul tanggung jawab yang diberikan
pada manusia, namun tidak dijelaskan siapa yang memberikan tanggung jawab, tujuan, dan
bagaimana manusia memikul tanggung jawab tersebut.
Salah satu paham yang menganut disenchantment of nature adalah naturalisme, yang
menganggap bahwa alam ini tidak berhubungan dengan hal-hal metafisik. Tidak perlu ada usaha
untuk melihat apa yang ada di balik alam. Ronald Hepburn (dalam Taliaferro, 1998) menyatakan
God is outside the universe, outside space and time.
Naturalisme hanya membatasi penjelasan tentang dunia melalui penginderaan. Ini seperti yang
dinyatakan oleh Bertrand Russell (dalam Taliaferro, 1998).
The Whole concept of cause is one we derive from our observation of particular things; I
see no reason whatsoever to suppose that the total has any cause whatsoever.
Inilah konsep sekulerisme di mana alam tidak dipandang secara sakral.
Hal yang perlu ditanyakan adalah, dengan pemikiran seperti itu apakah ada
jaminan bahwa manusia akan selalu untung atau tidak dirugikan ?
Penulis mencoba memaparkan argumentasi dari sudut pandang Islam dalam menyikapi
disenchantment of nature. Penulis berpendapat bahwa penghilangan kesakralan alam tidak perlu
dilakukan. Tidak ada dikotomi antara fisik dan metafisik, serta dunia dan akhirat. Memang
terlihat sangat berbeda dengan konsep sekuler karena Islam memiliki worldview yang berbeda
pula, dari konsep realitas (bagaimana sesuatu dikatakan “ada”), aksiologi (nilai atau penerapan
ilmu), ontologi (konsep tentang wujud), bahkan sampai epistemology (bagaimana ilmu
diperoleh).
Konsep dunia dijelaskan secara bahasa. S.M.N. Al-Attas (2011) menyampaikan bahwa
“dunia” dalam bahasa Arab berasal dari kata Danaa, yang memiliki arti “sesuatu yang dibawa
dekat”. Allah memperkenalkan diri melalui ciptaan-ciptaan-Nya. Dia mendekatkan diri-Nya
pada semua makhluk di alam semesta, termasuk manusia, dengan menciptakan dunia. Hal
tersebut dilakukan dengan tujuan agar Dia dapat dikenali. Itu sebabnya alam ini merupakan
tanda-tanda keberadaan-Nya, sehingga bersifat sakral dari awalnya. Sakral dalam hal ini tidak
mencakup konsep-konsep seperti banyak dewa, animisme, ataupun hal-hal bersifat klenik.
Contoh kesakralan yang dimaksud seperti hujan yang membawa rizki bagi semua makhluk.
Hujan membuat banyak tumbuh-tumbuhan subur yang kemudian dapat dikonsumsi oleh hewan
ataupun manusia. Ini merupakan salah satu sifat Allah, yaitu ar-Razzaq atau Maha Pemberi rizki.
Dari beberapa contoh tersebut dapat diketahui bahwa alam semesta bagaikan “Buku” yang
bercerita kepada manusia tentang Sang Pencipta. Inilah konsep realitas dalam Islam.
Orang dengan Worldview Islam ketika memikirkan tentang alam semesta pasti juga akan
memikirkan Allah. Dia akan selalu ingat bahwa dunia ini penuh dengan tanda-tanda keberadaanNya. Kekaguman pun akan ditujukan pada siapa yang menciptakan dan memelihara alam ini,
bukan kagum pada tanda-tanda-Nya semata.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka. (Ali- Imran: 190-191).
Pergantian siang dan malam menunjukkan bahwa Allah Maha Mengetahui, Adil,
Berkuasa, Penyayang. Dia Maha Mengetahui, termasuk tentang apa yang terjadi ketika siang dan
malam melebihi kadar masing-masing. Jika siang akan jauh lebih lama atau sebaliknya dan itu
terjadi terus-menerus, bumi dan seisinya akan binasa. Maka dari itu Allah yang Maha Adil
membuat sesuatu terjadi sesuai dengan kadarnya. Dia tidak ingin kebinasaan itu terjadi selama
dunia masih ada karena Dia Maha Penyayang. Membuat pergantian itu sangatlah mudah bagi
Allah karena Dia Maha Kuasa. Itulah sedikit contoh yang dipikirkan oleh orang-orang yang
memang menggunakan akalnya. Mereka tahu bahwa dunia ini memang mengandung sifat-sifat
Allah, yang mengantarkan pada pemahaman bahwa alam ini merupakan tanda-tanda keberadaanNya.
Tanda-tanda keberadaan-Nya memang sengaja dibuat dekat dengan manusia karena sifat
Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Andai tanda-tanda tersebut tidak dibawa dekat pada
manusia, manusia tidak akan pernah mengenal-Nya. Pengenalan terhadap-Nya merupakan
konsep yang vital bagi kehidupan manusia. Ketika sudah kenal, manusia akan melibatkan-Nya
dalam berpikir, termasuk menyikapi suatu realitas. Memasukkan Tuhan dalam kerangka berpikir
dengan melibatkan hati ketika manusia memandang dunia, membuat manusia tidak perlu
melakukan “lompatan iman,”
di mana kita memandang Tuhan sebagai sesuatu yang tidak
rasional namun memaksa diri untuk beriman pada-Nya. Hal ini dapat membuat manusia ragu dan
bingung.
Pengenalan terhadap Tuhan akan membuat manusia memandang alam sebagai sesuatu
yang sakral. Pandangan ini akan tercerminkan dalam tingkah laku manusia dalam
memperlakukan alam, yaitu menghormatinya, bukan hanya sekedar memanfaatkannya. Dengan
begitu tidak ada kerusakan alam, dan akhirnya membuat manusia rugi. Alam yang damai dan
bebas dari kerusakan dapat membuat kehidupan manusia tenang.
Konsep yang dipaparkan sebelumnya tidak dibahas dalam worldview sekuler. Alam
dianggap bebas dari hal-hal metafisik, konsekuensinya adalah manusia tidak tahu pasti siapa
yang ada di balik alam semesta ini, apa tujuan penciptaan dunia, dan tidak ada aturan baku
mengenai bagaimana manusia semestinya menggunakan alam, mengingat worldview sekuler
bersifat terbuka. Akhirnya kemungkinan perusakan alam akan lebih besar.
Pemaparan mengenai konsep alam membuat kita tahu bahwa Islam dan sekulerisme
memiliki cara pandang yang berbeda. Worldview Islam memiliki pandangan yang lebih luas
daripada worldview sekuler. Worldview yang ada pada seseorang berdampak pada bagaimana dia
memandang dan memperlakukan alam. Memandang alam semesta sebagai tanda-tanda-Nya akan
membuat manusia menghormati alam sehingga berusaha untuk tidak merusaknya. Inilah sikap
yang lebih bijak untuk diterapkan. Semoga pembahasan singkat ini dapat dipahami dan
menambah wawasan keilmuan dalam memandang alam.
Daftar Pustaka
Al-qur’an al-karim
Cox, H. (2013). The Secular City: Secularization and urbanization in theological perspective.
Diunduh dari http://press.princeton.edu/chapters/s10117.pdf.
Al-Attas, S.M.N. (2011). Islam dan Sekulerisme. Penerjemah: Khalif Muammar. Bandung:
PIMPIN.
Taliaferro, C. (1998). Contemporary Philosophy of Religion. Great Britain: Blackwell Publishers
Ltd.