1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika Hukum Pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh Suami Isteri

  

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

  Kehadiran Perseroan Terbatas (PT) sebagai suatu bentuk badan usaha berbadan hukum berupa persekutuan modal dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi dapat diabaikan. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kehadiran Perseroan Terbatas (PT) sebagai salah satu sarana untuk melakukan kegiatan ekonomi menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawar lagi. Situasi tersebut berdampak panjang yaitu terjadinya perlombaan dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT) untuk semata-mata mencari keuntungan tanpa melihat substansi hukum dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) menjelaskan mengenai pengertian Perseroan Terbatas (PT). Dalam Pasal 1 angka (1) Undang- Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) berbunyi :

  

Adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan

  berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya

  ”.

  Unsur penting yang dapat ditemukan dari Pasal tersebut bahwa Perseroan

1 Terbatas (PT) sebagai berikut :

  Badan Hukum yang merupakan persekutuan modal

  • Didirikan berdasarkan perjanjian
  • 1

  Tri Budiyono, Hukum Perusahaan Telaah Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Griya Media, Salatiga, 2011, (selanjutnya disingkat Tri Budiono I) h. 32.

  Melakukan kegiatan usaha Seluruh modalnya terbagi dalam bentuk saham

  • Memenuhi persyaratan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya.
  • Dalam praktik bisnis yang dilakukan oleh para pelaku usaha baik pedagang,

  2

  

3

  investor , distributor, perusahaan asuransi dan lainnya, tidak lagi dapat dipisahkan dari kehadiran Perseroan Terbatas (PT).

  Secara garis besar badan usaha terdiri dari 2 (dua) macam yaitu yang bukan berbadan hukum dan berbadan hukum. Perseroan Terbatas (PT) merupakan badan usaha berbadan hukum yang mana harus dimohonkan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk memperoleh keputusan mengenai pengesahan badan hukum. Bagi badan usaha yang berbadan hukum, tanggung jawab pemegang saham adalah

  4

  terbatas pada sebesar modal yang disanggupi. Perseroan Terbatas (PT) yang juga termasuk sebagai subjek hukum berupa badan hukum tentulah memiliki hak dan kewajiban tersendiri.

  5 Terbentuknya suatu Perseroan Terbatas (PT) didirikan atas perjanjian.

  Artinya bahwa perjanjian ini dilakukan oleh para pihak yang memiliki kepentingan masing-masing untuk tujuan yang sama. Berhubung dasarnya menggunakan perjanjian, maka pendirian Perseroan Terbatas (PT) tidak dapat dilepaskan dari

  2 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724). 3 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara

  Republik Indonesia Nomor 3467) 4 Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2016, h. 3. 5 Ibid., h. 23.

  BW yang memuat : Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

  • Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  • Suatu hal tertentu;
  • Suatu sebab yang halal;
  • Para pihak yang melakukan suatu perjanjian ini nantinya akan menjadi para pendiri dalam Perseroan Terbatas (PT) yang kemudian menjadi para pemegang saham. Ketentuan dalam mendirikan Perseroan Terbatas dalam Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) menjelaskan syarat mendirikan Perseroan Terbatas (PT) minimal oleh 2 orang. Ketentuan ini menjadi norma dalam hukum Perseroan Terbatas (PT) sehingga sudah menjadi keharusan untuk dijalani. Dalam aturan tersebut, hanya mengatur mengenai jumlah subjek hukum untuk dapat mendirikan sebuah Perseroan Terbatas (PT) tetapi tidak menjelaskan mengenai hubungan diantara para pendiri tersebut. Dengan tidak menjelaskan hubungan dari para pendiri tersebut tentu akan menimbulkan kekosongan (Gap) dan ketidakjelasan. Masalah kekosongan ini bersumber dari kodrat manusia yang merumuskan peraturan (legislator maupun regulator). Pandangan bahwa sistem peraturan bersifat lengkap dan mampu menjawab semua pertanyaan secara

  6 subsumtif adalah pernyataan yang bertentangan dengan kodrat manusia.

  Implikasinya atas kekosongan tersebut akan menimbulkan suatu pendirian apakah sah bila mendirikan Perseroan Terbatas (PT) oleh suami istri yang ditekankan masih terikat dalam perkawinan. Atas hal tersebut tentulah menjadi penting bagaimana dari sisi hukum Perusahaan menjelaskan kedudukan suami istri untuk dapat melihat 6 Titon Slamet Kurnia, Sistem Hukum Indonesia Sebuah Pemahaman Awal, Mandar Maju, Bandung, 2016, h. 39. para subjek hukum yang cakap melakukan perbuatan hukum, sehingga kategori mendirikan sebuah Perseroan Terbatas (PT), suami isteri sudah memenuhi kriteria sebagai subjek hukum. Subjek hukum sendiri biasa dikenal dengan bahasa Belanda yaitu rechtssubject, sedangkan dalam bahasa Inggrisnya dikenal dengan sebutan

  

person . Arti dari teori subjek hukum sendiri ialah keberadaannya diciptakan oleh

  hukum. Salmond menyatakan : “so far as legal theory is concerned, a person is being whom the law

  

regards as capable of rights and duties. Any being that is so capable

is person, whether a human being or not, and no being that is so

capable is a person, even thought he be a man ” .

  Dari apa yang dikemukakan oleh Salmond tersebut jelas bahwa baik manusia maupun bukan manusia mempunyai kapasitas sebagai subjek hukum atau

  7

  istilah Salmond person kalau dimungkinkan oleh hukum . Sehingga dari penjelasan ini kapasitas suami istri sebagai 2 subjek hukum jelas. Namun oleh Salmond membedakan person antara manusia dan bukan manusia. Manusia sebagai subjek hukum biasa disebut natural person/ natuurlijke persoon (orang) sedangkan yang bukan manusia disebut legal person/rechtspersoon (badan hukum).

  Isu hukum yang kemudian muncul adalah apakah perjanjian yang dibuat oleh suami istri tersebut dalam mendirikan sebuah Perseroan Terbatas (PT) bisa dianggap sah, lalu bagaimana kedudukan suami istri sebagai pendiri Perseroan Terbatas (PT) yang nantinya juga sebagai pemegang saham, melihat bahwa suami

7 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2013, h.206

  nantinya. Maka, dari sisi hukum perkawinan juga dianggap perlu untuk menjawab atas isu hukum tersebut dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Lalu dari sisi perjanjian, apakah Perseroan Terbatas (PT) itu bisa dianggap sah melihat dari perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Dengan terjadinya perjanjian tersebut antara suami istri apakah membuat pertanggungjawaban tersebut menjadi tidak terbatas lagi atau tetap terbatas? Hal ini juga sebagai masalah hukum dalam mendirikan sebuah Perseroan Terbatas (PT) yang para pendirinya sebagai suami istri. Atas hal ini tentu perlu melihat keabsahan mengenai teori perjanjian serta konsep mengenai Badan Hukum.

  8 Konsep dari Badan Hukum sendiri tentunya memiliki ciri yang signifikan:

  • karena ia telah menjadi badan hukum yang juga termasuk subjek hukum di samping manusia.

  Yang menjadi subjek hukumnya ialah badan usaha itu sendiri,

  • para pengurus /anggotanya. Hal ini berakibat bila perusahaan pailit, yang disita hanyalah harta perusahaannya bukan dari anggotanya.

  Harta kekayaan perusahaan terpisah dari harta kekayaan pribadi

  Dengan penjelasan dari konsep badan hukum diatas dapat terlihat bahwa ciri khusus badan hukum adalah pertanggungjawabannya menjadi terbatas (limited

  

liability ), namun dalam Undang - Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007

  tentang Perseroan Terbatas (PT) terdapat penyebab pertanggungjawabannya 8 Chidir Ali, BADAN HUKUM, Penerbit Alumni, Bandung, 1991, h. 109. tentang Perseroan Terbatas (PT) pada Pasal 7 angka 6 berbunyi :

  

Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah

  dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut ”.

  Dengan bunyi norma seperti diatas, menjadikan bahwa pendirian Perseroan Terbatas (PT) minimal oleh 2 orang dikarenakan adanya sebuah perjanjian serta bentuk badan usaha berupa persekutuan modal. Implikasi dengan tidak terpenuhinya 2 subjek hukum tersebut dalam membuat perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas ( PT ) akan berimbas pada penyetoran modal dari masing- masing pemegang saham. Dengan pemegang saham yang pendirinya adalah suami istri yang masih terikat dalam perkawinan akan berimbas pada harta kekayaan mereka. Penyetoran modal tersebut harus berdasarkan masing-masing harta para subjek hukum sehingga bila suami istri yang terikat dalam perkawinan melakukan penyetoran modal maka adanya unsur harta bersama yang disetorkan di dalam Perseroan Terbatas (PT) tersebut. Hal ini tentu akan berdampak pada teori badan usaha berbadan hukum yang dimana harus adanya pertanggungjawaban terbatas bagi organ Perseroan Terbatas (PT).

  Hukum perkawinan yang salah satunya sebagai hukum postif di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalamnya diatur tentang dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya,

  9

  ketentuan-ketentuan lain. Sekalipun pada hakikatnya perkawinan itu adalah suatu perjanjian juga adanya persetujuan atau perjanjian (perkawinan) itu telah sejak semula ditentukan oleh hukum, perkawinan harus didasarkan atas persetujuan

  10

  kedua calon mempelai. Bila melihat dari sisi hukum perkawinan, suami isteri yang

  11

  merupakan subjek hukum dalam hukum perkawinan tentu akibat yuridisnya adalah sah bila memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . Dengan sahnya suami istri sebagai subjek hukum tentu menjadikan keduanya dapat bertindak keluar dengan melakukan suatu perbuatan hukum karena entitas masing-masing nya sebagai person. Masing-masing pihak tersebut dapat melakukan kehendaknya masing-masing tanpa perlu persetujuan salah satu pihak karena terdapat persamaan derajat serta kebebasan melakukan perbuatan hukum walaupun telah melangsungkan perkawinan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2), Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi :

  Pasal 31 ayat (1) “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat

  

  Pasal 31 ayat (2)

  Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum

  9 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung. 2007, h. 4. 10 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 5. 11 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, h. 7. hukum perkawinan sederajat dan dianggap sebagai subjek hukum karena pada penjelasan tersebut mereka secara masing-masing dapat melakukan perbuatan hukum sehingga bisa dianggap secara formil berkedudukan secara mandiri. Dengan demikian rumusan tersebut bisa dianggap memenuhi salah satu unsur syarat dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT) pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) yang berbunyi :

  

Perseoran didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris

  yang dibuat dalam bahasa Indonesia” Penjelasan dari rumusan tersebut menyatakan bahwa batas minimal mendirikan Perseroan Terbatas (PT) adalah 2 orang sehingga dari sisi hukum perkawinan suami isteri masuk dalam kategori tersebut. Dari sisi keabsahan perjanjian suami istri memenuhi unsur dalam melakukan suatu perjanjian dikarenakan terdapatnya asas konsensualisme yang mana terlihat dalam Pasal 1320 BW, asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 BW, asas Pacta Sunt Servanda yang dimana perjanjian atau kontrak yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihaknya, dan yang terakhir adanya itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) BW untuk pembuatan perjanjian tersebut. Dengan beberapa teori tersebut maka problematika hukum yang juga muncul adalah melihat keabsahan perjanjian pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh suami istri sebagai pihaknya. Tidak ada larangan dalam membuat perjanjian kepada siapa saja karena terdapatnya asas kebebasan berkontrak. Namun dengan asas ini tentu akan selalu muncul perdebatan apakah kebebasan berkontrak meliputi semua pihak.

  Dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT) dimana suami isteri sebagai pendirinya sekaligus pemegang saham merupakan salah satu pemenuhan kebutuhan melakukan perbuatan hukum. Akibat dari perkawinan tersebut adalah adanya persatuan harta kekayaan. Persatuan ini merupakan akibat yuridis dalam hukum perkawinan. Hal tersebut disinggung pada Pasal 35 ayat (1) jo Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa :

  Pasal 35 ayat (1) “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” Pasal 36 ayat (1) “Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak

  

  Dari penjelasan Pasal tersebut terdapat pengecualian yang dimana harta mereka dapat dipisah atas kesepakatan bersama, hal ini kemudian disebut sebagai perjanjian perkawinan. Manakala kesepakatan tersebut tidak dibuat maka secara materiil dianggap harta bersama dan dari sisi materiil dianggap menjadi 1 (satu) subjek hukum karena kepentingan atas harta tersebut menjadi satu. Hal ini menjadi penting dikarenakan akibat dari harta bersama akan menimbulkan problem hukum berkaitan dengan keabsahan dalam membuat perjanjian serta konsep dari badan hukum itu sendiri, yang kemudian berimplikasi ke penyetoran modal nantinya.

  Penyetoran modal ini merupakan akibat yuridis dari hasil pembuatan perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas (PT) oleh suami istri sebagai pendiri Perseroan Terbatas (PT) yang nantinya akan menjadikan para pemegang saham untuk mengembangkan modal. yang sah tersebut akan membawa akibat berupa hubungan hukum. Hubungan

  12

  hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum , seperti perkawinan, pendirian Perseroan Terbatas, melakukan suatu perjanjian dan lainnya. Selain hubungan hukum dengan sesama subjek hukum, tentu juga dapat dilakukan hubungan hukum

  13

  antara subjek hukum dengan barang , seperti contohnya perkawinan, selain ikatan lahir dan batin antara sesama subjek hukum juga terciptanya hubungan hukum dengan harta benda subjek hukum dalam hal ini suami dan isteri yang sering disebut harta bersama. Hubungan hukum ini merupakan kategori hubungan hukum yang

  14

  bersifat privat karena hanya dapat diciptakan oleh subjek hukum manusia. Dengan adanya hubungan hukum ini tentu akibat dari persatuan harta kekayaan akan berdampak pada hubungan hukum dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT). Dari sisi hukum perkawinan hal tersebut sangat tidak dimungkinkan karena walaupun sebagai subjek hukum mereka dapat mendirikan Perseroan Terbatas, tetapi dari sisi materiil mereka dianggap 1 subjek hukum. Sangat jelas dikatakan bahwa Perseroan Terbatas (PT) merupakan persekutuan modal, maka dari itu tiap-tiap modal dari para penyetor haruslah jelas kedudukannya sehingga dalam RUPS nanti kedudukan atas suara yang mewakili modal mereka dapat jelas terlihat terkait dalam pengambilan kebijakan Perseroan Terbatas (PT) maupun pembagian deviden masing-masing.

  Permasalahan yang kemudian diangkat penulis mengenai suami isteri dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT) adalah permasalahan mengenai sah tidaknya 12 13 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, h. 216. 14 Ibid.

  Ibid., h. 217 termasuk 1 subjek hukum yang bila mendirikan Perseroan Terbatas (PT) akan menyebabkan adanya pemegang saham tunggal dan menjadikan pertanggungjawabnnya tak terbatas lagi, bagaimana kedudukan harta kekayaan mereka nantinya dalam mendirikan Perseroan Terabatas (PT). Ketika suami isteri sebagai pendiri nantinya dan kemudian menjadi pemegang saham, tentu akan selalu mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam menjalankan Perseroan Terbatas (PT).

  Hal ini sebagai implikasi serta dampak apabila suami istri yang terikat dalam perkawinan sebagai pendiri Perseroan Terbatas (PT). Ketika dalam pelaksanaan RUPS dimana suami isteri juga sebagai pemegang saham nantinya, kepemilikan saham ini sangat berdampak pada pemiliknya baik bagian deviden, memberikan suara dalam pengambilan keputusan pada saat RUPS serta pembagian hasil kekayaan pada saat likuidasi Perseroan Terbatas (PT), semakin besar kepemilikan saham seseorang, semakin besar peluang untuk ikut serta melakukan pengawasan

  15

  dan pengambilan kebijakan Perseroan. Dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menjelaskan sebagai berikut :

  

RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi

  atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang- Undang ini dan/atau anggaran dasar” Dengan penjelasan seperti itu RUPS memegang wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi dan/atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan/atau

16 Anggaran Dasar (AD) Perseroan. Ketentuan ini memberikan penjelasan bahwa

  15 16 Tri Budiono I, Op.Cit., h. 89.

  Ibid, h. 149. oleh seluruh pemegang saham dalam AD. Namun keputusan RUPS juga dapat

  17

  berasal dari RUPS sendiri sepanjang memenuhi syarat kuorum. Penulis menganggap akan selalu ada penggabungan suara atas kebijakan tersebut, hal ini adalah ilmplikasi atau kelanjutan dari pendirian Perseroan Terbatas (PT) oleh suami istri yang dimana telah lolos dan mendapat status badan hukum sehingga berlanjut ke tahap beroprasinya Perseroan Terbatas (PT) tersebut. Hal ini kemudian suami isteri akan selalu berjalan beriringan sehingga dalam pengambilan suara implikasinya akan adanya penggabungan suara yang tergolong itikad tidak baik hingga mencapai suara bulat terkait kebijakan Perseroan Terbatas (PT) serta pemegang saham mayoritas akan menang dalam RUPS.

  Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menguraikan lebih lanjut mengenai wujud dan ruang lingkup dari harta bersama itu, tetapi meskipun demikian telah tertanam suatu kaidah hukum bahwa semua harta yang

  18

  diperoleh selama masa perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama. Maka, implikasinya kemudian akan berdampak pada saham yang dimiliki, adanya pemegang saham tunggal sehingga tidak adanya kejelasan mana pemegang saham mayoritas dan minoritas oleh suami isteri dan menjadikannya saham milik bersama.

  Atas dasar itu tentu menjadi pertimbangan penulis bahwa perlunya dilakukan analisis dari segi kontrak apakah mereka sah dalam melakukan suatu perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas (PT) hal ini untuk melihat dari pra 17 18 Ibid.

  Sonny Dewi Judiasih, Harta Benda Perkawinan Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan Kedudukan Suami dan Isteri Atas Kepemilikan Harta Dalam Perkawinan, Refika Aditama, Bandung, 2015, h. 24. perkawinan. Perjanjian perkawinan di atur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 29. Dalam pengertian perjanjian perkawinan pada ayat (1) mengalami perubahan berupa penambahan isi pasal oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang berbunyi :

  “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian terrtulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut” Perubahan ini didasari oleh batasan yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (1)

  Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, karena dirasa membatasi ruang lingkup untuk dibuatnya perjanjian perkawinan. Sebelum ada penambahan frasa tersebut berupa dapatnya dibuat perjanjian perkawinan pada saat ikatan perkawinan, Pasal 29 ayat (1) tersebut hanya memberikan ruang lingkup dibuatnya perjanjian perkawinan pada saat waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan sehingga dilakukannya judicial review. Dibuatnya perjanjian perkawinan lazimnya untuk memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak isteri. Pemisahan ini didasari adanya kesataraan hak atas status kedudukan isteri seperti yang dijelaskan di dalam Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari penjelasan Pasal tersebut kemudian didukung bahwa ketentuan mengenai pembagian peran antar suami dan isteri dalam rumah tangga sebagaimana

  19 harus diterapkan secara rigid (kaku).

  Perjanjian perkawinan dibuat untuk pemisahan harta kekayaan sehingga suami isteri dapat memiliki kepentingannya masing-masing atas kepengurusan harta kekayaan tanpa ada campuran dari pihak suami atau isteri. Dengan begitu masing-masing dapat melakukan perbuatan hukum serta bertanggung jawab atas akibatnya secara pribadi. Dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal dengan teori kepentingan (belangen theorie) yang menyatakan bahwa hak adalah kepentingan yang terlindungi, salah seorang penganutnya adalah Rudolf von Jhering yang berpendapat “hak itu sesuatu yang penting bagi seseorang yang dilindungi oleh

  20 hukum, atau suatu kepentingan yang terlindungi”.

  Penulis menegaskan bahwa dalam mendirikan sebuah Perseroan Terbatas suami isteri seharusnya tidak dapat mendirikan Perseroan Terbatas (PT) karena adanya persatuan harta kekayaan, dengan persatuan harta kekayaan ini tentu akan berpengaruh terhadap modal yang akan disetorkan nantinya. Bahwa dalam badan hukum Perseroan Terbatas (PT) sudah diatur mengenai bahwa syarat pendirian adalah dua orang sehingga menegaskan bahwa modal minimal yang disetorkan tentu menjadikannya harus minimal dua modal. Dengan tidak memisahkan persatuan harta kekayaan tersebut antara suami isteri akan menjadikan percampuran harta kekayaan pribadi dengan harta kekayaan Perseroan Terbatas (PT). Tujuan dilakukannya pemisahaan ini adalah untuk memberikan kejelasan atas saham yang

  19 Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgelijk Wetboek dan Undang Undang Perkawinan, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2017, h. 26. 20 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2015, h. 28. memiliki saham mayoritas dan minoritas. Selain itu dapat memperjelas kepentingan masing-masing pihak sebagai pemegang saham sehingga dalam pengambilan kebijakan Perseroan Terbatas tidak terjadinya suatu pengaruh atas dasar hubungan suami isteri. Selain memperjelas kedudukan suami isteri dalam mendirikan Perseroan Terbatas juga untuk, melindungi para pendiri sebagai pemegang saham maupun pemegang saham lainnya yang bukan sebagai pendiri, serta memberikan kejelasan dari sisi praktisnya sehingga konsep dari badan usaha berbadan hukum yaitu pertanggungjawaban menjadi terbatas dapat tercapai. Hal demikian juga menjaga profesionalitas dirinya sebagai sesama organ di dalam Perseroan Terbatas sehingga dapat dilakukan pengawasan agar tidak terjadinya monopoli kepentingan di dalam organ Perseroan Terbatas (PT).

  B. Rumusan Masalah

  Berpijak pada uraian di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah : Bagaimana keabsahan Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan oleh Suami Istri ?

  C. Tujuan

  Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. untuk mengetahui bagaimana keabsahan Perseroan Terbatas ( PT) yang didirikan oleh suami istri.

  2. Bagaimana implikasi yuridis dari Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan oleh suami istri dalam hal : a.

  Harta Kekayaan

  Permodalan c. Pemegang Saham Tunggal d.

  Pertanggungjawaban

  D. Manfaat Penelitian

  Manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini dari segi teoritis adalah untuk memperjelas mengenai keabsahan pendirian Perseroan Terbatas (PT) yang dilakukan oleh suami isteri. Sementara itu, dalam tataran praktis untuk membantu legislator dalam memperjelas materi muatan mengenai pendirian Perseroan Terbatas (PT) kedepannya agar terdapat kepastian hukum.

  E. Metode Penelitian

  Penelitian yang hendak dilakukan penulis adalah penelitian hukum (legal

  

research ) yang tertuju pada kedudukan suami isteri dalam mendirikan Perseroan

  Terbatas (PT). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual

  

approach ). Pendekatan perundang-undangan karena bahan hukum yang digunakan

  dalam penelitian ini adalah meliputi peraturan perundang-undangan, kesesuaian Undang-Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antara Undang-Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lainnya. Sementara pendekatan konseptual, karena penulis akan merujuk pada perkembangan pemikiran pakar hukum ataupun sarjana sebagai pandangan/doktrin dalam ilmu hukum. Pendekatan konseptual akan membahas mengenai teori perjanjian dalam mendirikan Perseroan Terbatas (PT) oleh suami isteri, Badan Hukum berupa Perseroan Terbatas (PT), serta membahas mengenai Subjek Hukumnya. Kedua pendekatan ini digunakan penulis dalam

  (PT) untuk melihat keabsahannya dari sisi hukum.

F. Bahan Hukum

  Adapun bahan hukum yang digunakan oleh penulis ialah : 1.

  Bahan hukum primer seperti : UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

  • UU No. 40 tahun 2007 tentan Perseroan Terbatas -
  • Pengambilalihan Perseroan Terbatas.

  PP No. 27 tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan,

  • 2.

  Burgelijk Wetboek (BW) buku ketiga

  Bahan hukum sekunder seperti : literatur-literatur, jurnal hukum FH UKSW (Refleksi Hukum), hasil penelitian, dan artikel-artikel hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penulisan ini.

Dokumen yang terkait

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS a. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian a. Letak Geografis - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaturan Alih Fungsi Lahan Pertanian Menjadi Non Pertanian di Kota Salatiga

0 0 60

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sanksi Pidana Denda bagi Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Teori Keadilan Bermartabat: Studi Kasus Putusan Nomor 04/P

0 0 20

BAB II PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN A. Tinjuan Pustaka - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sanksi Pidana Denda bagi Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Teori Keadilan Bermartabat: Studi Kasus Putu

0 0 60

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbandingan Pengaturan tentang Pidana Kebiri Kimia di Indonesia dan Australia Barat

0 0 11

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbandingan Pengaturan tentang Pidana Kebiri Kimia di Indonesia dan Australia Barat

0 0 54

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Akomodasi Ketentuan-Ketentuan Konvensi Asean tentang Pemberantasan Terorisme dalam Hukum Nasional Indonesia

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS A. Konsep Tentang Terorisme - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Akomodasi Ketentuan-Ketentuan Konvensi Asean tentang Pemberantasan Terorisme dalam Hukum Nasional Indonesia

0 0 50

BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG MASALAH - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Hubungan Hukum yang Terjadi pada Transaksi E-Commerce Model C2C

0 0 12

BAB II TRANSAKSI E-COMMERCE DI TOKOPEDIA A. Hukum E-Commerce Di Indonesia Sebagai Dasar Tokopedia Dalam Layaan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Hubungan Hukum yang Terjadi pada Transaksi E-Commerce Model C2C

0 1 27

40 BAB III HUBUNGAN HUKUM YANG TERJADI DALAM SITUS TOKOPEDIA A.Hubungan Hukum Yang terjadi Di Dalam Situs Tokopedia

0 0 23