Matematika 2013 (1) Matematika 2013 (1) Matematika 2013 (1) Matematika 2013 (1) Matematika 2013 (1)
tujuan pembelajaran matematika ini dalam Kurikulum 2013 terangkum dalam 4
(empat) Kompetensi Inti yaitu Kompetensi Sikap Spritual, Kompetensi Sikap
Sosial, Kompetensi Pengetahuan dan Kompetensi Keterampilan. Kompetensi
sikap spritual dalam pembelajaran matematika dikembangkan melalui
kompetensi dasar menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
Kompetensi sikap sosial dikembangkan melalui kompetensi dasar:
2.1 Menunjukkan sikap logis, kritis, analitik, konsisten dan teliti, bertanggung
jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah.
2.2 Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika
serta memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang
terbentuk melalui pengalaman belajar.
2.3 Memiliki sikap terbuka, santun, objektif, menghargai pendapat dan karya
teman dalam interaksi kelompok maupun aktivitas sehari-hari
Langkah-langkah Pendekatan Scientific
Pendekatan saintifik atau pendekatan ilmiah ini memerlukan langkah-langkah pokok
1.
sebagai berikut :
Observing (mengamati)
Objek matematika yang dipelajari dalam matematika adalah buah pikiran manusia,
sehingga bersifat abstrak. Mengamati objek matematika dapat dikelompokkan dalam dua
a.
macam kegiatan yang masing-masing mempunyai ciri berbeda, yaitu:
Mengamati fenomena lingkungan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan topik
matematika tertentu
Fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat
dijelaskan serta dinilai secara ilmiah. Melakukan pengamatan terhadap fenomena dalam
lingkungan kehidupan sehari-hari tepat dilakukan ketika siswa belajar hal-hal yang terkait
dengan topik-topik matematika yang pembahasannya dapat dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari secara langsung. Fenomena yang diamati akan menghasilkan pernyataan yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya pernyataan tersebut dituangkan
dalam bahasa matematika atau menjadi pembuka dari pembahasan objek matematika yang
abstrak.
b. Mengamati objek matematika yang abstrak
Kegiatan mengamati objek matematika yang abstrak sangat cocok untuk siswa yang
mulai menerima kebenaran logis. Siswa tidak mempermasalahkan kebenaran pengetahuan
yang diperoleh, walaupun tidak diawali dengan pengamatan terhadap fenomena. Kegiatan
mengamati seperti ini lebih tepat dikatakan sebagai kegiatan mengumpulkan dan memahami
kebenaran objek matematika yang abstrak. Hasil pengamatan dapat berupa definisi, aksioma,
postulat, teorema, sifat, grafik dan lain sebagainya.
Proses mengamati fakta atau fenomena mencakup mencari informasi, melihat,
mendengar, membaca, dan atau menyimak.
2.
Questioning (menanya)
Menurut Bell (1978), objek kajian matematika yang dipelajari siswa selama belajar di
sekolah dapat berupa fakta (matematika), konsep (pengertian pangkal, definisi), prinsip
(teorema, rumus, sifat), dan skill (algoritma/prosedur). Fakta, konsep, prinsip, skill tersebut
adalah buah fikiran manusia, sehingga bersifat abstrak. Dalam mempelajari konsep atau
prinsip matematika yang tergolong sebagai pengetahuan, sebagaimana disampaikan oleh
Piaget (Wadsworth, 1984) sangat perlu dipertimbangkan bahwa tingkat berpikir siswa. Proses
pembelajaran untuk memahami konsep dan prinsip matematika perlu dikelola dengan
langkah-langkah pedagogis yang tepat dan difasilitasi media tertentu agar buah pikiran yang
abstrak tersebut dapat dengan mudah dipahami siswa. Langkah pedagogis dan penggunaan
media tersebut menuntut siswa dan guru terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan yang
menggiring pemikiran siswa secara bertahap, dari yang mudah (konkret) menuju ke yang
lebih kompleks (abstrak) sehingga akhirnya pengetahuan
diperoleh oleh siswa sendiri dengan bimbingan guru.
Dalam hal mempelajari keterampilan berprosedur matematika, kecenderungan yang ada
sekarang adalah siswa gagal menyelesaikan suatu masalah matematika jika konteksnya
berbeda, walaupun hanya sedikit perbedaannya. Ini terjadi karena siswa cenderung menghafal
algoritma atau prosedur tertentu. Pada diri siswa tidak terbangun kreativitas dalam
berprosedur. Kreativitas berprosedur dapat dibangkitkan dari pemberian pertanyaan yang
tepat. Pertanyaan-pertanyaan didesain agar siswa dapat berpikir tentang alternatif-alternatif
jawaban atau alternatif-alternatif cara berprosedur. Dalam hal ini guru diharapkan agar
menahan diri untuk tidak memberi tahu jawaban pertanyaan. Apabila terjadi kendala dalam
proses menjawab pertanyaan, atau diprediksi terjadi kendala dalam menjawab pertanyaan,
guru dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan secara bertahap yang mengarah pada
diperolehnya jawaban pertanyaan oleh siswa sendiri. Di sinilah peran guru dalam
memberikan scaffolding atau ‘pengungkit’ untuk memaksimalkan ZPD (Zone Proximal
3.
Development) yang ada pada siswa (Chambers, 2007).
Associating (menalar)
Secara umum dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berfikir yang logis dan
sistematis atas fakta-fakta yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa
pengetahuan. Dalam proses pembelajaran matematika, pada umumnya proses menalar terjadi
secara simultan dengan proses mengolah atau menganalisis kemudian diikuti dengan proses
menyajikan atau mengkomunikasikan hasil penalaran sampai diperoleh suatu simpulan.
Bentuk penyajian pengetahuan atau ketrampilan matematika sebagai hasil penalaran dapat
berupa konjektur atau dugaan sementara atau hipotesis.
Ada dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran
induktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena khusus untuk halhal yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada hasil
pengamatan inderawi atau pengalaman empirik. Penalaran deduktif merupakan cara menalar
dengan menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum
menuju pada hal yang bersifat khusus. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan
hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya
yang khusus (Sudarwan, 2013). Penalaran yang paling dikenal dalam matematika terkait
penarikan kesimpulan adalah modus ponen, modus tolen dan silogisme.
Sesuai dengan tingkat berpikirnya, siswa SD/MI dan SMP/MTs yang umumnya dalam
tingkat berpikir operasional konkret dan peralihan ke tingkat operasional formal, sehingga
cara memperoleh pengetahuan matematika pada diri siswa SD/MI dan SMP/MTs banyak
dilakukan dengan penalaran induktif, sedangkan untuk siswa SMA/MA sudah mulai banyak
4.
dilakukan dengan penalaran deduktif.
Experimenting (mencoba)
Berdasarkan hasil penalaran yang diperoleh pada tahap sebelumnya yakni berupa
konjektur atau dugaan sementara sampai diperoleh kesimpulan, maka selanjutnya perlu
dilakukan kegiatan ‘mencoba’. Kegiatan mencoba dalam proses pembelajaran matematika di
sekolah dimaknai sebagai menerapkan pengetahuan atau keterampilan hasil penalaran ke
dalam suatu situasi atau bahasan yang masih satu lingkup, kemudian diperluas ke dalam
situasi atau bahasan yang berbeda lingkup.
Tahap mencoba ini menjadi wahana bagi siswa untuk membiasakan diri berkreasi dan
berinovasi menerapkan dan memperdalam pengetahuan atau keterampilan yang telah
dipelajari bersama guru. Dengan memfasilitasi kegiatan ‘mencoba’ ini siswa diharapkan tidak
terkendala dalam memecahkan permasalahan matematika yang merupakan salah satu tujuan
penting dan mendasar dalam belajar matematika. Pengalaman ‘mencoba’ akan melatih siswa
yang memuat latihan mengasah pola pikir, sikap dan kebiasaan memecahkan masalah itulah
yang akan banyak memberi sumbangan bagi siswa dalam menuju kesuksesan mengarungi
kehidupan sehari-harinya. Kurikulum 2013 secara eksplisit menyiapkan siswa agar terampil
memecahkan masalah melalui penataan kompetensi kompetensi dasar matematika yang
dipelajari siswa. Kegiatan mencoba mencakup merencanakan, merancang, dan melaksanakan
5.
eksperimen, serta memperoleh, menyajikan, dan mengolah data.
Networking (membentuk jejaring)
Membentuk jejaring dimaknai sebagai menciptakan pembelajaran yang kolaboratif
antara guru dan siswa atau antar siswa. Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat
personal, lebih dari sekadar melaksanakan suatu teknik pembelajaran di kelas. Kolaborasi
esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan
memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja
sedemikian rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama
(Kemdikbud, 2013).
Dalam kegiatan pembelajaran kolaboratif, fungsi guru lebih sebagai manajer belajar dan
siswa aktif melaksanakan proses belajar. Dalam situasi pembelajaran kolaboratif antara guru
dan siswa atau antar siswa, diharapkan terjadi siswa berinteraksi dengan empati, saling
menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing, sehingga pada diri
siswa akan tumbuh rasa aman, yang selanjutnya akan memungkinkan siswa menghadapi
aneka perubahan dan tuntutan belajar secara bersama-sama.
Membentuk jejaring dapat dilaksanakan dengan memberi penugasan-penugasan belajar
secara kolaboratif. Penugasan kolaboratif dapat dilaksanakan pada proses mengamati,
menanya, menalar atau mencoba. Selain belajar mengasah sikap empati, saling menghargai
dan menghormati perbedaan, berbagi, dengan diterapkannya pembelajaran kolaboratif maka
bahan belajar matematika yang abstrak diharapkan akan menjadi lebih mudah dipahami
siswa.
Kegiatan membentuk jejaring adalah sarana untuk menyampaikan hasil konseptualisasi
dalam bentuk lisan, tulisan, gambar / sketsa, diagram, atau grafik. Kegiatan ini dilakukan agar
siswa mampu mengomunikasikan pengetahuan, keterampilan, dan penerapannya, serta kreasi
siswa melalui presentasi, membuat laporan, dan atau unjuk karya.
2.4
1.
Penerapan Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran
Penerapan pendekatan scientific dalam pembelajaran pada materi segiempat adalah
sebagai berikut :
Observing (mengamati)
Siswa mengamati gambar/foto/video dari peristiwa, kejadian, fenomena, konteks atau situasi
yang berkaitan dengan penerapan konsep segiempat.
2.
Questioning (menanya)
Guru dapat memotivasi siswa dengan bertanya tentang segiempat.
Siswa termotivasi untuk mempertanyakan berbagai segempat.
3.
Associating (menalar)
Siswa menganalisis, mengkaitkan dan mendefinisikan secara lebih persis perbedaan dan
4.
persamaan persegi, persegi panjang, trapezium, jajar genjang, belah ketupat, layang-layang.
Experimenting (mencoba)
Siswa mengidentifikasi dan menjelaskan benda-benda dengan permukaaan berbentuk
segiempat yang bersifat alamiah ataupun buatan manusia untuk kepentingan estetik, fungsi,
manfaat, ataupun fungsi ergonomisnya
Siswa menggambar atau melukis segi empat dengan berbagai ukuran sisi, sudut dan
modelnya. Mengukur sudutnya dengan dengan menggunakan busur derajat.
Siswa menentukan jenis, sifat dan karakteristik segiempat berdasarkan ukuran dan hubungan
5.
antar sudut dan sisi-sisi.
Networking (membentuk jejaring)
Siswa menyajikan secara tertulis dan lisan hasil pembelajaran atau apa yang telah dipelajari
pada tingkat kelas atau tingkat kelompok mulai dari apa yang telah dipahami, keterampilan
mengidentifikasi sifat-sifat segiempat yang dikuasai.
Guru memberikan tanggapan hasil presentasi meliputi tanya jawab untuk mengkonfirmasi,
memberikan tambahan informasi, melengkapi informasi ataupun tanggapan lainnya
Siswa melakukan resume secara lengkap, komprehensif dan dibantu guru dari konsep yang
dipahami, keterampilan yang diperoleh maupun sikap lainnya.
2.5 Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Scientific
Kelebihan pendekatan scientific yaitu :
Siswa harus aktif dan kreatif
Tak seperti kurikulum sebelumya materi di kurikulum terbaru ini lebih ke pemecahan
masalah. Jadi siswa untuk aktif mencari informasi agar tidak ketinggalan materi pembelajar.
Penilaian di dapat dari semua aspek.
Pengambilan nilai siswa bukan hanya di dapat dari nilai ujianya saja tetapi juga di
dapat dari nilai kesopanan, religi, praktek, sikap dan lain lain.
Kekurangan pendekatan scientific yaitu :
Guru jarang menjelaskan
Guru banyak yang beranggapan bahwa dengan kurikulum terbaru ini guru tidak perlu
menjelaskan materinya. Padahal kita tahu bahwa belajar matematika, fisika, dll tidak cukup
hanya membaca saja.
. Tujuan Pembelajaran Matematika
Matematika diajarkan di sekolah membawa misi yang sangat penting, yaitu
mendukung ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Secara umum tujuan
pendidikan matematika di sekolah dapat digolongkan menjadi:
a. Tujuan yang bersifat formal, menekankan kepada menata penalaran dan
membentuk kepribadian peserta didik
b. Tujuan yang bersifat material menekankan kepada kemampuan memecahkan
masalah dan menerapkan matematika.
Secara lebih terinci, tujuan pembelajaran matematika sebagai berikut:
a. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya
melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan,
perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi.
b. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan
penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu,
membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.
c. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.
d. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau
mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik, peta,
diagram, dalam menjelaskan gagasan tersebut.
Itulah beberapa alasan kuat kenapa kurikulum 2013 SMA menempatkan
matematika sebagai mata pelajaran dengan porsi jam terbanyak yaitu untuk
mengembangkan kemampuan- kemampuan matematis peserta didik bukan
hanya untuk menyelesaikan permasalahan didalam matematika saja, tetapi
peserta didik dilatih bagaimana mengembangkan kemampuan berpikirnya
untuk menyelesaikan masalah terkait dengan mata pelajaran lain dan masalah
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kedepannya ketika peserta didik sudah
terjun dalam masyarakat mereka dapat menggunakan nalarnya untuk
menyelesaikan masalah- masalah nyata yang lebih kompleks di dunia kerjanya
maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengembangkan proses berpikitr matematis peserta didik sehingga
peserta didik memahami matematika secara hakekatnya. Kurikulum 2013
menuntut proses pembelajaran matematika diarahkan pada pembelajaran
menemukan konsep-konsep matematika (discovery/inquiry learning), belajar dari
permasalahan real (problem/project based learning) sesuai dengan prinsip
pembelajaran konstruktivisme dengan menggunakan pendekatan ilmiah
(scientific approach) dimana peserta didik mendapatkan pengalaman belajar
melalui proses
6M (Mengamati, Menanya, Mengeksplorasi atau Mencoba, Menalar atau
Menyimpulkan, Mengkomunikasikan atau Membuat jejaring, dan Mencipta atau
Membuat karya kreatif. Terkait evaluasi hasil pembelajaran, kurikulum 2013
menghendaki evaluasi secara holistik mencakup aspek sikap (baik sikap
personal, sosial, maupun spiritual/ religius), pengetahuan, dan keterampilan.
Penilaian dilakukan bukan hanya dengan metoda tes (ulangan/ujian tertulis)
tetapi juga menggunakan metode non tes (portofolio) dimana penilaian
dilakukan terhadap proses yang mencakup ranah sikap, unjuk
kerja/performance, dan hasil karya) menggunakan autentic assesment.
Melalui proses pembelajaran dan proses penilaian seperti tersebut di atas,
dimana penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan dilakukan secara
terintegrasi, diharapkan pembelajaran matematika dapat menghasilkan peserta
didik yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif sesuai dengan tema
pengembangan kurikulum 2013.
Pengertian Matematika
Matematika dapat didefinisikan sebagai studi dengan logika yang ketat dari topik
seperti kuantitas, struktur, ruang, dan perubahan. Matematika merupakan tubuh
pengetahuan yang dibenarkan (justified) dengan argumentasi deduktif, dimulai
dari aksioma-aksioma dan definisi-definisi”.
Kecakapan atau kemahiran matematika merupakan bagian dari kecakapan hidup
yang harus dimiliki siswa terutama dalam pengembangan penalaran,
komunikasi, dan pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan
siswa sehari-hari. Matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan,
semua bidang studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai,
merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas, dapat digunakan
untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, meningkatkan kemampuan
berpikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan, memberikan kepuasan
terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang, mengembangkan
kreaktivitas dan sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap
perkembangan budaya
Pada struktur kurikulum SD/MI, mata pelajaran matematika dialokaskan setara 5
jam pelajaran ( 1 jam pelajaran = 35 menit) di kelas I dan 6 jam pelajaran kelas II
– VI per minggu, yang sifatnya relatif karena di SD menerapkan pendekatan
pembelajaran tematik-terpadu. Guru dapat menyesuaikannya sesuai kebutuhan
peserta didik dalam pencapaian kompetensi yang diharapkan. Satuan pendidikan
dapat menambah jam pelajaran per minggu sesuai dengan kebutuhan satuan
pendidikan tersebut.
Cakupan materi matematika di SD meliputi bilangan asli, bulat, dan pecahan,
geometri dan pengukuran sederhana, dan statistika sederhana serta kompetensi
matematika dalam mendukung pencapaian kompetensi lulusan SD ditekankan
pada:
a. Menunjukkan sikap positif bermatematika: logis, kritis, cermat dan teliti, jujur,
bertanggung jawab, dan tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan masalah,
sebagai wujud implementasi kebiasaan dalam inkuiri dan eksplorasi matematika
b. Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika, yang
terbentuk melalui pengalaman belajar
c. Menghargai perbedaan dan dapat mengidentifikasi kemiripan dan perbedaan
berbagai sudut pandang
d. Mengklasifikasi berbagai benda berdasar bentuk, warna, serta alasan
pengelompokannya
e. Mengidentifikasi dan menjelaskan informasi dari komponen, unsur dari benda,
gambar atau foto dalam kehidupan sehari-hari
f. Menjelaskan pola bangun dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan
dugaan kelanjutannya berdasarkan pola berulang
g. Memahami efek penambahan dan pengambilan benda dari kumpulan objek,
serta memahami penjumlahan dan pengurangan bilangan asli, bulat dan
pecahan
h. Menggunakan diagram, gambar, ilustrasi, model konkret atau simbolik dari
suatu masalah dalam penyelesaian masalah
i. Memberikan interpretasi dari sebuah sajian informasi/data
Prinsip-prinsip Pembelajaran Tematik Terpadu
Pembelajaran tematik terpadu memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Peserta didik mencari tahu, bukan diberi tahu.
2. Pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu nampak. Fokus
pembelajaran diarahkan kepada pembahasan kompetensi melalui tema-tema
yang paling dekat dengan kehidupan peserta didik.
3. Terdapat tema yang menjadi pemersatu sejumlah kompetensi dasar yang
berkaitan dengan berbagai konsep, keterampilan dan sikap.
4. Sumber belajar tidak terbatas pada buku.
5. Peserta didik dapat bekerja secara mandiri maupun berkelompok sesuai
dengan karakteristik kegiatan yang dilakukan
6. Guru harus merencanakan dan melaksanakan pembelajaran agar dapat
mengakomodasi peserta didik yang memiliki perbedaan tingkat kecerdasan,
pengalaman, dan ketertarikan terhadap suatu topik.
7. Kompetensi Dasar mata pelajaran yang tidak dapat dipadukan dapat diajarkan
tersendiri.
8. Memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik (direct experiences)
dari hal-hal yang konkret menuju ke abstrak.
Rambu-rambu pembelajaran tematik
Menurut Tim Puskur (2006) ada beberapa rambu yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan
pembelajaran tematik sebagai berikut.
1. Tidak semua mapel dapat dipadukan atau dikaitkan.
2. KD yang tidak dapat dipadukan atau diintegrasikan jangan dipaksakan untuk
dipadukan. Akan lebih baik bila dibelajarkan secara sendiri-sendiri.
3. KD yang tidak tercakup pada tema tertentu harus tetap diajarkan baik melalui tema
lain maupun disajikan secara mandiri.
4. Untuk siswa kelas I sampai II kegiatan ditekankan pada kemampuan membaca,
menulis, dan berhitung serta penanaman nilai-nilai moral.
5. Tema-tema yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik siswa, minat, lingkungan,
daerah setempat, dan tingkat problematika atau populer.
Evaluasi Pelaksanaan Pembelajaran Tematik Tahun 2004-2012
Permasalahan yang terekam dan sering terjadi dalam pembelajaran tematik pada tahun 20042010 antara lain sebagai berikut.
1. Standar Isi yang dikeluarkan oleh BNSP untuk SD/MI ditata rapi dan dipilah-pilah
atas sejumlah mapel. Setiap mapel dilengkapi SK dan KD secara terpisah-pisah sesuai
dengan rincian yang ada pada SI. Sementara dalam aplikasinya guru belum
mempunyai keterampilan yang utuh untuk menyatukan KD tersebut agar menjadi
pembelajaran yang menyatu. Permasalahan ini dapat dicarikan jalan keluar dengan
analisis SK dan KD, pembuatan jaring tema, silabus dan RPP secara kelompok di
KKG. Karena pada umumnya di KKG telah mempunyai pemandu yang ikut
sosialisasi pembelajaran tematik di tingkat kabupaten maupun propinsi. Atau apabila
dari segi dana memungkinkan, KKG dapat memanfaatkan pakar tematik dari
kabupaten atau propinsi.
2. Para guru masih bersikap acuh terhadap adanya suatu inovasi atau pembaharuan.
Permasalahan ini akan dapat dikurangi bila ada kepedulian dari Kepala Sekolah/
Pengawas serta pihak Dinas Pendidikan setempat untuk mensosialisasikan adanya
Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang menegaskan keharusan melaksanakan
pembelajaran tematik untuk kelas I, II, dan III SD/MI. Jadi tidak ada lagi alasan bagi
guru untuk tidak mau atau mengulur waktu melaksanakan pembelajaran tematik.
3. Pada umumnya guru-guru SD/MI kita berada pada kondisi sebagai berikut.
1. Lebih menekankan aspek kognitif daripada aspek afektif dan psikomotor, serta
kurang memperhatikan minat peserta didik.
2. Guru lebih senang menggunakan metode ceramah, tanya jawab daripada
metode diskusi, penemuan, dan proyek.
3. Pelaksanaan pembelajaran di kelas terpusat pada guru dan buku teks sehingga
interaksi yang terjadi hanya satu arah yakni guru-murid.
4. Sistem penilaian lebih menekankan pada hasil daripada proses.
5. Guru kurang wawasan terhadap pembaharuan pembelajaran, karena tidak mau,
kurang atau tidak mempunyai kesempatan untuk mengikuti atau
melaksanakan.
6. Guru kurang mendapat dukungan dari atasan untuk pembaharuanpembaharuan tentang pembelajaran baik dari segi kesempatan maupun dana.
Hal-hal tersebut di atas tidak sesuai dengan proses belajar mengajar yang dilaksanakan
dengan menggunakan pendekatan tematik. Kurangnya dukungan terhadap guru akan
menurunkan semangat untuk melaksanakan pembaharuan-pembaharuan pembelajaran seperti
pembelajaran tematik.
Permasalahan tersebut di atas dapat diminimalisir dengan bantuan Kepala Sekolah dan
Pengawas yaitu selalu memonitor kesesuaian antara perangkat pembelajaran dengan kegiatan
yang dilaksanakan guru di kelas. Tugas pokok Kepala Sekolah/ Pengawas sebagai fasilitator,
motivator, dan pembina sangat berpengaruh pada kinerja guru. Disamping itu guru juga perlu
diberi kesempatan untuk meningkatkan diri melalui kegiatan-kegiatan pembinaan baik di
forum KKG maupun forum peningkatan guru yang lain.
4. Minimnya buku-buku tentang pembelajaran tematik di lingkungan SD/MI, utamanya
yang berada di lingkungan pedesaan menyebabkan guru tidak mudah mendapatkan
referensi pembelajaran tematik. Juga dirasakan minimnya nara sumber di daerah
menyebabkan guru tidak mudah mendapatkan bimbingan.
Permasalahan di atas dapat dikurangi dengan masih tetap menggunakan buku-buku yang
lama atau buku yang ada di sekolah. Guru tinggal melengkapi dengan cara menyusun lembarlembar kerja (LKS) atau bacaan-bacaan khusus pembelajaran tematik yang disesuaikan
dengan tema yang dibicarakan. Kepala Sekolah hendaknya mau memberikan dukungan dan
fasilitas untuk penyusunan bahan ajar baik di sekolah secara mandiri maupun secara
kelompok di KKG.
5. Kurangnya sosialisasi pembelajaran dengan pendekatan tematik, menyebabkan guru
tidak mempunyai wawasan yang cukup tentang pembelajaran tematik. Permasalahan
ini dapat diatasi dengan cara mendatangkan nara sumber baik tingkat KKG maupun
tingkat yang lebih tinggi lagi, untuk sosialisasi pembelajaran tematik. Kepala Sekolah
dapat meminta bantuan Pengawas dan Dinas Pendikan, untuk memfasilitasi sosialisasi
dan pembimbingan penyusunan perangkat pembelajaran sekaligus praktek
pembelajaran. Monitoring terhadap guru saat praktek sangat bermanfaat untuk
perbaikan pembelajaran yang akan datang.
Ruang Lingkup Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik meliputi seluruh mata pelajaran pada kelas I sampai dengan kelasIII
SD/MI. Yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, PendidikanKewargaan
negara dan Ilmu pengetahuan social, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta pendidikan
jasmani. Sedangkan cirri-ciri pembelajaran tematik adalah sebagai berikut:
1. Berpusat pada anak didik;2.
Memberikan pengalaman langsung kepada anak didik;3.
Pemisahan antara mata pelajaran tidak begitu nyata dan jelas;4.
Menyajikan suatu konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran5.
Bersifat fleksibel;6.
Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak didik
(empat) Kompetensi Inti yaitu Kompetensi Sikap Spritual, Kompetensi Sikap
Sosial, Kompetensi Pengetahuan dan Kompetensi Keterampilan. Kompetensi
sikap spritual dalam pembelajaran matematika dikembangkan melalui
kompetensi dasar menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
Kompetensi sikap sosial dikembangkan melalui kompetensi dasar:
2.1 Menunjukkan sikap logis, kritis, analitik, konsisten dan teliti, bertanggung
jawab, responsif, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah.
2.2 Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika
serta memiliki rasa percaya pada daya dan kegunaan matematika, yang
terbentuk melalui pengalaman belajar.
2.3 Memiliki sikap terbuka, santun, objektif, menghargai pendapat dan karya
teman dalam interaksi kelompok maupun aktivitas sehari-hari
Langkah-langkah Pendekatan Scientific
Pendekatan saintifik atau pendekatan ilmiah ini memerlukan langkah-langkah pokok
1.
sebagai berikut :
Observing (mengamati)
Objek matematika yang dipelajari dalam matematika adalah buah pikiran manusia,
sehingga bersifat abstrak. Mengamati objek matematika dapat dikelompokkan dalam dua
a.
macam kegiatan yang masing-masing mempunyai ciri berbeda, yaitu:
Mengamati fenomena lingkungan kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan topik
matematika tertentu
Fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindera dan dapat
dijelaskan serta dinilai secara ilmiah. Melakukan pengamatan terhadap fenomena dalam
lingkungan kehidupan sehari-hari tepat dilakukan ketika siswa belajar hal-hal yang terkait
dengan topik-topik matematika yang pembahasannya dapat dikaitkan dengan kehidupan
sehari-hari secara langsung. Fenomena yang diamati akan menghasilkan pernyataan yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya pernyataan tersebut dituangkan
dalam bahasa matematika atau menjadi pembuka dari pembahasan objek matematika yang
abstrak.
b. Mengamati objek matematika yang abstrak
Kegiatan mengamati objek matematika yang abstrak sangat cocok untuk siswa yang
mulai menerima kebenaran logis. Siswa tidak mempermasalahkan kebenaran pengetahuan
yang diperoleh, walaupun tidak diawali dengan pengamatan terhadap fenomena. Kegiatan
mengamati seperti ini lebih tepat dikatakan sebagai kegiatan mengumpulkan dan memahami
kebenaran objek matematika yang abstrak. Hasil pengamatan dapat berupa definisi, aksioma,
postulat, teorema, sifat, grafik dan lain sebagainya.
Proses mengamati fakta atau fenomena mencakup mencari informasi, melihat,
mendengar, membaca, dan atau menyimak.
2.
Questioning (menanya)
Menurut Bell (1978), objek kajian matematika yang dipelajari siswa selama belajar di
sekolah dapat berupa fakta (matematika), konsep (pengertian pangkal, definisi), prinsip
(teorema, rumus, sifat), dan skill (algoritma/prosedur). Fakta, konsep, prinsip, skill tersebut
adalah buah fikiran manusia, sehingga bersifat abstrak. Dalam mempelajari konsep atau
prinsip matematika yang tergolong sebagai pengetahuan, sebagaimana disampaikan oleh
Piaget (Wadsworth, 1984) sangat perlu dipertimbangkan bahwa tingkat berpikir siswa. Proses
pembelajaran untuk memahami konsep dan prinsip matematika perlu dikelola dengan
langkah-langkah pedagogis yang tepat dan difasilitasi media tertentu agar buah pikiran yang
abstrak tersebut dapat dengan mudah dipahami siswa. Langkah pedagogis dan penggunaan
media tersebut menuntut siswa dan guru terlibat dalam pertanyaan-pertanyaan yang
menggiring pemikiran siswa secara bertahap, dari yang mudah (konkret) menuju ke yang
lebih kompleks (abstrak) sehingga akhirnya pengetahuan
diperoleh oleh siswa sendiri dengan bimbingan guru.
Dalam hal mempelajari keterampilan berprosedur matematika, kecenderungan yang ada
sekarang adalah siswa gagal menyelesaikan suatu masalah matematika jika konteksnya
berbeda, walaupun hanya sedikit perbedaannya. Ini terjadi karena siswa cenderung menghafal
algoritma atau prosedur tertentu. Pada diri siswa tidak terbangun kreativitas dalam
berprosedur. Kreativitas berprosedur dapat dibangkitkan dari pemberian pertanyaan yang
tepat. Pertanyaan-pertanyaan didesain agar siswa dapat berpikir tentang alternatif-alternatif
jawaban atau alternatif-alternatif cara berprosedur. Dalam hal ini guru diharapkan agar
menahan diri untuk tidak memberi tahu jawaban pertanyaan. Apabila terjadi kendala dalam
proses menjawab pertanyaan, atau diprediksi terjadi kendala dalam menjawab pertanyaan,
guru dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan secara bertahap yang mengarah pada
diperolehnya jawaban pertanyaan oleh siswa sendiri. Di sinilah peran guru dalam
memberikan scaffolding atau ‘pengungkit’ untuk memaksimalkan ZPD (Zone Proximal
3.
Development) yang ada pada siswa (Chambers, 2007).
Associating (menalar)
Secara umum dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berfikir yang logis dan
sistematis atas fakta-fakta yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa
pengetahuan. Dalam proses pembelajaran matematika, pada umumnya proses menalar terjadi
secara simultan dengan proses mengolah atau menganalisis kemudian diikuti dengan proses
menyajikan atau mengkomunikasikan hasil penalaran sampai diperoleh suatu simpulan.
Bentuk penyajian pengetahuan atau ketrampilan matematika sebagai hasil penalaran dapat
berupa konjektur atau dugaan sementara atau hipotesis.
Ada dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran
induktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena khusus untuk halhal yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada hasil
pengamatan inderawi atau pengalaman empirik. Penalaran deduktif merupakan cara menalar
dengan menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum
menuju pada hal yang bersifat khusus. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan
hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya
yang khusus (Sudarwan, 2013). Penalaran yang paling dikenal dalam matematika terkait
penarikan kesimpulan adalah modus ponen, modus tolen dan silogisme.
Sesuai dengan tingkat berpikirnya, siswa SD/MI dan SMP/MTs yang umumnya dalam
tingkat berpikir operasional konkret dan peralihan ke tingkat operasional formal, sehingga
cara memperoleh pengetahuan matematika pada diri siswa SD/MI dan SMP/MTs banyak
dilakukan dengan penalaran induktif, sedangkan untuk siswa SMA/MA sudah mulai banyak
4.
dilakukan dengan penalaran deduktif.
Experimenting (mencoba)
Berdasarkan hasil penalaran yang diperoleh pada tahap sebelumnya yakni berupa
konjektur atau dugaan sementara sampai diperoleh kesimpulan, maka selanjutnya perlu
dilakukan kegiatan ‘mencoba’. Kegiatan mencoba dalam proses pembelajaran matematika di
sekolah dimaknai sebagai menerapkan pengetahuan atau keterampilan hasil penalaran ke
dalam suatu situasi atau bahasan yang masih satu lingkup, kemudian diperluas ke dalam
situasi atau bahasan yang berbeda lingkup.
Tahap mencoba ini menjadi wahana bagi siswa untuk membiasakan diri berkreasi dan
berinovasi menerapkan dan memperdalam pengetahuan atau keterampilan yang telah
dipelajari bersama guru. Dengan memfasilitasi kegiatan ‘mencoba’ ini siswa diharapkan tidak
terkendala dalam memecahkan permasalahan matematika yang merupakan salah satu tujuan
penting dan mendasar dalam belajar matematika. Pengalaman ‘mencoba’ akan melatih siswa
yang memuat latihan mengasah pola pikir, sikap dan kebiasaan memecahkan masalah itulah
yang akan banyak memberi sumbangan bagi siswa dalam menuju kesuksesan mengarungi
kehidupan sehari-harinya. Kurikulum 2013 secara eksplisit menyiapkan siswa agar terampil
memecahkan masalah melalui penataan kompetensi kompetensi dasar matematika yang
dipelajari siswa. Kegiatan mencoba mencakup merencanakan, merancang, dan melaksanakan
5.
eksperimen, serta memperoleh, menyajikan, dan mengolah data.
Networking (membentuk jejaring)
Membentuk jejaring dimaknai sebagai menciptakan pembelajaran yang kolaboratif
antara guru dan siswa atau antar siswa. Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat
personal, lebih dari sekadar melaksanakan suatu teknik pembelajaran di kelas. Kolaborasi
esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan
memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja
sedemikian rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama
(Kemdikbud, 2013).
Dalam kegiatan pembelajaran kolaboratif, fungsi guru lebih sebagai manajer belajar dan
siswa aktif melaksanakan proses belajar. Dalam situasi pembelajaran kolaboratif antara guru
dan siswa atau antar siswa, diharapkan terjadi siswa berinteraksi dengan empati, saling
menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing, sehingga pada diri
siswa akan tumbuh rasa aman, yang selanjutnya akan memungkinkan siswa menghadapi
aneka perubahan dan tuntutan belajar secara bersama-sama.
Membentuk jejaring dapat dilaksanakan dengan memberi penugasan-penugasan belajar
secara kolaboratif. Penugasan kolaboratif dapat dilaksanakan pada proses mengamati,
menanya, menalar atau mencoba. Selain belajar mengasah sikap empati, saling menghargai
dan menghormati perbedaan, berbagi, dengan diterapkannya pembelajaran kolaboratif maka
bahan belajar matematika yang abstrak diharapkan akan menjadi lebih mudah dipahami
siswa.
Kegiatan membentuk jejaring adalah sarana untuk menyampaikan hasil konseptualisasi
dalam bentuk lisan, tulisan, gambar / sketsa, diagram, atau grafik. Kegiatan ini dilakukan agar
siswa mampu mengomunikasikan pengetahuan, keterampilan, dan penerapannya, serta kreasi
siswa melalui presentasi, membuat laporan, dan atau unjuk karya.
2.4
1.
Penerapan Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran
Penerapan pendekatan scientific dalam pembelajaran pada materi segiempat adalah
sebagai berikut :
Observing (mengamati)
Siswa mengamati gambar/foto/video dari peristiwa, kejadian, fenomena, konteks atau situasi
yang berkaitan dengan penerapan konsep segiempat.
2.
Questioning (menanya)
Guru dapat memotivasi siswa dengan bertanya tentang segiempat.
Siswa termotivasi untuk mempertanyakan berbagai segempat.
3.
Associating (menalar)
Siswa menganalisis, mengkaitkan dan mendefinisikan secara lebih persis perbedaan dan
4.
persamaan persegi, persegi panjang, trapezium, jajar genjang, belah ketupat, layang-layang.
Experimenting (mencoba)
Siswa mengidentifikasi dan menjelaskan benda-benda dengan permukaaan berbentuk
segiempat yang bersifat alamiah ataupun buatan manusia untuk kepentingan estetik, fungsi,
manfaat, ataupun fungsi ergonomisnya
Siswa menggambar atau melukis segi empat dengan berbagai ukuran sisi, sudut dan
modelnya. Mengukur sudutnya dengan dengan menggunakan busur derajat.
Siswa menentukan jenis, sifat dan karakteristik segiempat berdasarkan ukuran dan hubungan
5.
antar sudut dan sisi-sisi.
Networking (membentuk jejaring)
Siswa menyajikan secara tertulis dan lisan hasil pembelajaran atau apa yang telah dipelajari
pada tingkat kelas atau tingkat kelompok mulai dari apa yang telah dipahami, keterampilan
mengidentifikasi sifat-sifat segiempat yang dikuasai.
Guru memberikan tanggapan hasil presentasi meliputi tanya jawab untuk mengkonfirmasi,
memberikan tambahan informasi, melengkapi informasi ataupun tanggapan lainnya
Siswa melakukan resume secara lengkap, komprehensif dan dibantu guru dari konsep yang
dipahami, keterampilan yang diperoleh maupun sikap lainnya.
2.5 Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Scientific
Kelebihan pendekatan scientific yaitu :
Siswa harus aktif dan kreatif
Tak seperti kurikulum sebelumya materi di kurikulum terbaru ini lebih ke pemecahan
masalah. Jadi siswa untuk aktif mencari informasi agar tidak ketinggalan materi pembelajar.
Penilaian di dapat dari semua aspek.
Pengambilan nilai siswa bukan hanya di dapat dari nilai ujianya saja tetapi juga di
dapat dari nilai kesopanan, religi, praktek, sikap dan lain lain.
Kekurangan pendekatan scientific yaitu :
Guru jarang menjelaskan
Guru banyak yang beranggapan bahwa dengan kurikulum terbaru ini guru tidak perlu
menjelaskan materinya. Padahal kita tahu bahwa belajar matematika, fisika, dll tidak cukup
hanya membaca saja.
. Tujuan Pembelajaran Matematika
Matematika diajarkan di sekolah membawa misi yang sangat penting, yaitu
mendukung ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Secara umum tujuan
pendidikan matematika di sekolah dapat digolongkan menjadi:
a. Tujuan yang bersifat formal, menekankan kepada menata penalaran dan
membentuk kepribadian peserta didik
b. Tujuan yang bersifat material menekankan kepada kemampuan memecahkan
masalah dan menerapkan matematika.
Secara lebih terinci, tujuan pembelajaran matematika sebagai berikut:
a. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya
melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan,
perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi.
b. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan
penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu,
membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.
c. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.
d. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau
mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik, peta,
diagram, dalam menjelaskan gagasan tersebut.
Itulah beberapa alasan kuat kenapa kurikulum 2013 SMA menempatkan
matematika sebagai mata pelajaran dengan porsi jam terbanyak yaitu untuk
mengembangkan kemampuan- kemampuan matematis peserta didik bukan
hanya untuk menyelesaikan permasalahan didalam matematika saja, tetapi
peserta didik dilatih bagaimana mengembangkan kemampuan berpikirnya
untuk menyelesaikan masalah terkait dengan mata pelajaran lain dan masalah
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kedepannya ketika peserta didik sudah
terjun dalam masyarakat mereka dapat menggunakan nalarnya untuk
menyelesaikan masalah- masalah nyata yang lebih kompleks di dunia kerjanya
maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mengembangkan proses berpikitr matematis peserta didik sehingga
peserta didik memahami matematika secara hakekatnya. Kurikulum 2013
menuntut proses pembelajaran matematika diarahkan pada pembelajaran
menemukan konsep-konsep matematika (discovery/inquiry learning), belajar dari
permasalahan real (problem/project based learning) sesuai dengan prinsip
pembelajaran konstruktivisme dengan menggunakan pendekatan ilmiah
(scientific approach) dimana peserta didik mendapatkan pengalaman belajar
melalui proses
6M (Mengamati, Menanya, Mengeksplorasi atau Mencoba, Menalar atau
Menyimpulkan, Mengkomunikasikan atau Membuat jejaring, dan Mencipta atau
Membuat karya kreatif. Terkait evaluasi hasil pembelajaran, kurikulum 2013
menghendaki evaluasi secara holistik mencakup aspek sikap (baik sikap
personal, sosial, maupun spiritual/ religius), pengetahuan, dan keterampilan.
Penilaian dilakukan bukan hanya dengan metoda tes (ulangan/ujian tertulis)
tetapi juga menggunakan metode non tes (portofolio) dimana penilaian
dilakukan terhadap proses yang mencakup ranah sikap, unjuk
kerja/performance, dan hasil karya) menggunakan autentic assesment.
Melalui proses pembelajaran dan proses penilaian seperti tersebut di atas,
dimana penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan dilakukan secara
terintegrasi, diharapkan pembelajaran matematika dapat menghasilkan peserta
didik yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif sesuai dengan tema
pengembangan kurikulum 2013.
Pengertian Matematika
Matematika dapat didefinisikan sebagai studi dengan logika yang ketat dari topik
seperti kuantitas, struktur, ruang, dan perubahan. Matematika merupakan tubuh
pengetahuan yang dibenarkan (justified) dengan argumentasi deduktif, dimulai
dari aksioma-aksioma dan definisi-definisi”.
Kecakapan atau kemahiran matematika merupakan bagian dari kecakapan hidup
yang harus dimiliki siswa terutama dalam pengembangan penalaran,
komunikasi, dan pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan
siswa sehari-hari. Matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan,
semua bidang studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai,
merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas, dapat digunakan
untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara, meningkatkan kemampuan
berpikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan, memberikan kepuasan
terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang, mengembangkan
kreaktivitas dan sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap
perkembangan budaya
Pada struktur kurikulum SD/MI, mata pelajaran matematika dialokaskan setara 5
jam pelajaran ( 1 jam pelajaran = 35 menit) di kelas I dan 6 jam pelajaran kelas II
– VI per minggu, yang sifatnya relatif karena di SD menerapkan pendekatan
pembelajaran tematik-terpadu. Guru dapat menyesuaikannya sesuai kebutuhan
peserta didik dalam pencapaian kompetensi yang diharapkan. Satuan pendidikan
dapat menambah jam pelajaran per minggu sesuai dengan kebutuhan satuan
pendidikan tersebut.
Cakupan materi matematika di SD meliputi bilangan asli, bulat, dan pecahan,
geometri dan pengukuran sederhana, dan statistika sederhana serta kompetensi
matematika dalam mendukung pencapaian kompetensi lulusan SD ditekankan
pada:
a. Menunjukkan sikap positif bermatematika: logis, kritis, cermat dan teliti, jujur,
bertanggung jawab, dan tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan masalah,
sebagai wujud implementasi kebiasaan dalam inkuiri dan eksplorasi matematika
b. Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika, yang
terbentuk melalui pengalaman belajar
c. Menghargai perbedaan dan dapat mengidentifikasi kemiripan dan perbedaan
berbagai sudut pandang
d. Mengklasifikasi berbagai benda berdasar bentuk, warna, serta alasan
pengelompokannya
e. Mengidentifikasi dan menjelaskan informasi dari komponen, unsur dari benda,
gambar atau foto dalam kehidupan sehari-hari
f. Menjelaskan pola bangun dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan
dugaan kelanjutannya berdasarkan pola berulang
g. Memahami efek penambahan dan pengambilan benda dari kumpulan objek,
serta memahami penjumlahan dan pengurangan bilangan asli, bulat dan
pecahan
h. Menggunakan diagram, gambar, ilustrasi, model konkret atau simbolik dari
suatu masalah dalam penyelesaian masalah
i. Memberikan interpretasi dari sebuah sajian informasi/data
Prinsip-prinsip Pembelajaran Tematik Terpadu
Pembelajaran tematik terpadu memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Peserta didik mencari tahu, bukan diberi tahu.
2. Pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu nampak. Fokus
pembelajaran diarahkan kepada pembahasan kompetensi melalui tema-tema
yang paling dekat dengan kehidupan peserta didik.
3. Terdapat tema yang menjadi pemersatu sejumlah kompetensi dasar yang
berkaitan dengan berbagai konsep, keterampilan dan sikap.
4. Sumber belajar tidak terbatas pada buku.
5. Peserta didik dapat bekerja secara mandiri maupun berkelompok sesuai
dengan karakteristik kegiatan yang dilakukan
6. Guru harus merencanakan dan melaksanakan pembelajaran agar dapat
mengakomodasi peserta didik yang memiliki perbedaan tingkat kecerdasan,
pengalaman, dan ketertarikan terhadap suatu topik.
7. Kompetensi Dasar mata pelajaran yang tidak dapat dipadukan dapat diajarkan
tersendiri.
8. Memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik (direct experiences)
dari hal-hal yang konkret menuju ke abstrak.
Rambu-rambu pembelajaran tematik
Menurut Tim Puskur (2006) ada beberapa rambu yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan
pembelajaran tematik sebagai berikut.
1. Tidak semua mapel dapat dipadukan atau dikaitkan.
2. KD yang tidak dapat dipadukan atau diintegrasikan jangan dipaksakan untuk
dipadukan. Akan lebih baik bila dibelajarkan secara sendiri-sendiri.
3. KD yang tidak tercakup pada tema tertentu harus tetap diajarkan baik melalui tema
lain maupun disajikan secara mandiri.
4. Untuk siswa kelas I sampai II kegiatan ditekankan pada kemampuan membaca,
menulis, dan berhitung serta penanaman nilai-nilai moral.
5. Tema-tema yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik siswa, minat, lingkungan,
daerah setempat, dan tingkat problematika atau populer.
Evaluasi Pelaksanaan Pembelajaran Tematik Tahun 2004-2012
Permasalahan yang terekam dan sering terjadi dalam pembelajaran tematik pada tahun 20042010 antara lain sebagai berikut.
1. Standar Isi yang dikeluarkan oleh BNSP untuk SD/MI ditata rapi dan dipilah-pilah
atas sejumlah mapel. Setiap mapel dilengkapi SK dan KD secara terpisah-pisah sesuai
dengan rincian yang ada pada SI. Sementara dalam aplikasinya guru belum
mempunyai keterampilan yang utuh untuk menyatukan KD tersebut agar menjadi
pembelajaran yang menyatu. Permasalahan ini dapat dicarikan jalan keluar dengan
analisis SK dan KD, pembuatan jaring tema, silabus dan RPP secara kelompok di
KKG. Karena pada umumnya di KKG telah mempunyai pemandu yang ikut
sosialisasi pembelajaran tematik di tingkat kabupaten maupun propinsi. Atau apabila
dari segi dana memungkinkan, KKG dapat memanfaatkan pakar tematik dari
kabupaten atau propinsi.
2. Para guru masih bersikap acuh terhadap adanya suatu inovasi atau pembaharuan.
Permasalahan ini akan dapat dikurangi bila ada kepedulian dari Kepala Sekolah/
Pengawas serta pihak Dinas Pendidikan setempat untuk mensosialisasikan adanya
Permendiknas nomor 22 tahun 2006 yang menegaskan keharusan melaksanakan
pembelajaran tematik untuk kelas I, II, dan III SD/MI. Jadi tidak ada lagi alasan bagi
guru untuk tidak mau atau mengulur waktu melaksanakan pembelajaran tematik.
3. Pada umumnya guru-guru SD/MI kita berada pada kondisi sebagai berikut.
1. Lebih menekankan aspek kognitif daripada aspek afektif dan psikomotor, serta
kurang memperhatikan minat peserta didik.
2. Guru lebih senang menggunakan metode ceramah, tanya jawab daripada
metode diskusi, penemuan, dan proyek.
3. Pelaksanaan pembelajaran di kelas terpusat pada guru dan buku teks sehingga
interaksi yang terjadi hanya satu arah yakni guru-murid.
4. Sistem penilaian lebih menekankan pada hasil daripada proses.
5. Guru kurang wawasan terhadap pembaharuan pembelajaran, karena tidak mau,
kurang atau tidak mempunyai kesempatan untuk mengikuti atau
melaksanakan.
6. Guru kurang mendapat dukungan dari atasan untuk pembaharuanpembaharuan tentang pembelajaran baik dari segi kesempatan maupun dana.
Hal-hal tersebut di atas tidak sesuai dengan proses belajar mengajar yang dilaksanakan
dengan menggunakan pendekatan tematik. Kurangnya dukungan terhadap guru akan
menurunkan semangat untuk melaksanakan pembaharuan-pembaharuan pembelajaran seperti
pembelajaran tematik.
Permasalahan tersebut di atas dapat diminimalisir dengan bantuan Kepala Sekolah dan
Pengawas yaitu selalu memonitor kesesuaian antara perangkat pembelajaran dengan kegiatan
yang dilaksanakan guru di kelas. Tugas pokok Kepala Sekolah/ Pengawas sebagai fasilitator,
motivator, dan pembina sangat berpengaruh pada kinerja guru. Disamping itu guru juga perlu
diberi kesempatan untuk meningkatkan diri melalui kegiatan-kegiatan pembinaan baik di
forum KKG maupun forum peningkatan guru yang lain.
4. Minimnya buku-buku tentang pembelajaran tematik di lingkungan SD/MI, utamanya
yang berada di lingkungan pedesaan menyebabkan guru tidak mudah mendapatkan
referensi pembelajaran tematik. Juga dirasakan minimnya nara sumber di daerah
menyebabkan guru tidak mudah mendapatkan bimbingan.
Permasalahan di atas dapat dikurangi dengan masih tetap menggunakan buku-buku yang
lama atau buku yang ada di sekolah. Guru tinggal melengkapi dengan cara menyusun lembarlembar kerja (LKS) atau bacaan-bacaan khusus pembelajaran tematik yang disesuaikan
dengan tema yang dibicarakan. Kepala Sekolah hendaknya mau memberikan dukungan dan
fasilitas untuk penyusunan bahan ajar baik di sekolah secara mandiri maupun secara
kelompok di KKG.
5. Kurangnya sosialisasi pembelajaran dengan pendekatan tematik, menyebabkan guru
tidak mempunyai wawasan yang cukup tentang pembelajaran tematik. Permasalahan
ini dapat diatasi dengan cara mendatangkan nara sumber baik tingkat KKG maupun
tingkat yang lebih tinggi lagi, untuk sosialisasi pembelajaran tematik. Kepala Sekolah
dapat meminta bantuan Pengawas dan Dinas Pendikan, untuk memfasilitasi sosialisasi
dan pembimbingan penyusunan perangkat pembelajaran sekaligus praktek
pembelajaran. Monitoring terhadap guru saat praktek sangat bermanfaat untuk
perbaikan pembelajaran yang akan datang.
Ruang Lingkup Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik meliputi seluruh mata pelajaran pada kelas I sampai dengan kelasIII
SD/MI. Yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, PendidikanKewargaan
negara dan Ilmu pengetahuan social, Kerajinan Tangan dan Kesenian, serta pendidikan
jasmani. Sedangkan cirri-ciri pembelajaran tematik adalah sebagai berikut:
1. Berpusat pada anak didik;2.
Memberikan pengalaman langsung kepada anak didik;3.
Pemisahan antara mata pelajaran tidak begitu nyata dan jelas;4.
Menyajikan suatu konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran5.
Bersifat fleksibel;6.
Hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak didik