Definisi Etik Dalam Pendekatan Konseling

A.
Definisi
Etin
Dalan
Konseling Lintas Budeaya

Pendeenatan

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendeenatan
enin berusaha memahami perilaku individu atau masyarakat dari sudut
pandang si pelaku sendiri (individu tersebut atau anggota masyarakat yang
bersangkutan).
Sedangkan Pendeenatan Etin menganalisa perilaku atau gejala sosial dari
pandangan orang luar serta membandingkannya dengan budaya lain.
Dengan demikian maka pendekatan etik bersifat lebih objektif, dapat diukur
dengan ukuran dan indikator tertentu, sedangkan pendekatan emik relatif
lebih subjektif dan banyak menggunakan kata-kata atau bahasa dalam
menggambarkan perasaan individu yang menjadi obyek studi.
Studei enin bersifat lebih unik, sukar untuk digeneralisasikan secara luas
(Pelto, 1970). Ditambahkan oleh Foster bahwa pendekatan emik mencakup
upaya untuk mengkomunikasikan keadaan diri-dalam (inner psychological

states) dan perasaan individu yang berkaitan dengan suatu perilaku.
Asumsi dari pendekatan emik ini adalah bahwa pelaku atau aktor suatu
tindakan itu lebih tahu tentang proses-proses yang terjadi dalam dirinya
daripada orang lain. Dan pengetahuan tentang proses mental ini diperlukan
untuk memahami mengapa seseorang melakukan suatu tindakan atau
mengapa dia menolak untuk melakukan tindakan tersebut (Foster, 1978).
Kedua pendekatan ini dapat digunakan untuk studi antar budaya, hanya etik
memberikan
perbandingan
dan
generalisasi
sedangkan
emik
menggambarkan keunikan penghayatan masing-masing individu atau
kelompok. Studi-studi sosiologi biasanya menggunakan kedua pendekatan
ini guna memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang gejala yang
diselidiki. Jika studi itu menggunakan informan untuk memperoleh
infornasi yang bersifat etin misalnya siapa saja yang datang dalam
gotong royong, maupun emik misalnya apa makna upacara kremasi bagi
penganut agama Hindu-Bali.

PENGERTIANBUDAYA
Tokoh pendidikan nasional bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan
definisi budaya sebagai berikuta Budaya berarti buah budi manusia, adalah
hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam
dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup
manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam
hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang
pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi
(1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah
yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau
akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi

atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,
mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat. Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan
mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun
kecilnya). Dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitua
1.
2.

3.

merupakan produk budidaya manusia,
menentukan ciri seseorang,
manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.

PENGERTIAN KONSELING
Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi
hambatan-hambatan perkembangn dirinya,dan untuk mencapai
perkembangan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya ,proses
tersebuat dapat terjadi setiap waktu. (Division of Conseling Psychologi).
Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk
mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang
yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk
mengapresiasikan ketiga hal tersebut. (Berdnard & Fullmer ,1969) Dalam
pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitua
1. adanya hubungan,
2. adanya dua individu atau lebih,
3. adanya proses,
4. membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat

keputusan.
KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYAIsu-isu tentang antar atau lintas
budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an,
yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an.
Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikapsikap rasialis yang memecahbelah secara meningkat pula (Hansen, L. S.,
1997a41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan
baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi
orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman
budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensidimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan
pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat dibutuhkan dalam
kehidupan manusia abad-21.
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang
sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral
dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Suatu masalah yang berkaitan
dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-

lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara
pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah
diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan
perbedaan budaya yang memberi artinya.

Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan
pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir
cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabelvariabelnya (Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain
menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang
dari kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna,
dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama,
keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan
Birman, 1994).
Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam
menggunakan pendekatan universal atau etik, yang menekankan
inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok; atau
pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristikkarakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan
konseling khusus mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan
universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula
konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik;
dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan
karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja
dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Tampaknya konsep konseling lintas budaya yang melingkupi dua
pendekatan tersebut dapat dipadukan sebagai berikut. Konseling lintas

budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta
yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan
konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik
sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabelvariabel
lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia
(Atkinson, Morten, dan Sue, 1989a37).
Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari
latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling
sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang
mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka
konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari
bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan
memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara
kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan
budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien (Dedi Supriadi,
2001a6).

Maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan
klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien
pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan

budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain
sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal
dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika
konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam
atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang
berasal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang
berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas
dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh,
konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada
klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku
atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara
orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur
lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum.
Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada
umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama
tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan
langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling
lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas
budaya memiliki tiga elemen yaitua
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat)
konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda,
dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991)
dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalaha
1. latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,
2. latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien,
3. asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan
konseling, dan

dihadapi

selama


4. nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya
kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana
konseling itu dilaksanakan.
5. Nah, dari uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitua
6. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku
manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
7. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral
8. Memahami bahwa kekuatan susio-politik akan mempengaruhi dan
menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
9. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup
10.
Jujur
dalam
konseling
eklektik,
mempergunakan
keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan
pengalaman dan gaya hidup mereka.


B.
Definisi
Enin
Dalan
Konseling Lintas Budeaya

Pendeenatan

Kehidupan masyarakat tidaklah pernah dapat dihindari keyataan
bahwa budaya sangat berpengaruh terhadap perilaku, ekspresi emosi,
kepribadian, keyakinan, dan kehendak. Budaya dapat diartikan secara
umum sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia. Shiraf dan Levi (dalam buku Sarlita W. Sarwono) mengemukan
sebuah defenisi budaya ialah suatu set dari sikap, perilaku, dan simbolsimbol yang dimilki bersam oleh manusia dan biasanya dikomikasikan dari
satu generasi ke generasi selanjutnya.
Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dikatakan bahwa didalam
masyarakat sebuah budaya menempatkan posisi penting dalam kehidupan
masyarakat. Budaya dalam kehidupan individu atau kelompok membuat
suatu perbedaan antara sekelompok orang dengan kelompok lain. Didalam

penelitian para ahli dalam psikologi lintas budaya di kemukakan ada dua
jenis ragam budaya yang ada dalam masyarakat yaitu etik dan emik.
Salah satu cara utama mengkoseptualisasikan prinsip-prinsip serta
perbedaan budaya, dapat dilakukan melalui penggunaan istilak etik (etic)
dan emik (emics). Kedua istilah ini mengacu pada keunikan yang bersifat
universal dan kekhasan budaya, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam hal ini

etik mengacu pada temuan-temuan yang tampak konsisten tetap diberbagai
budaya ; dengan kata lain, sebuah etik mengacu pada sebuah kebenaran
atau prinsip –prinsip yang universal. Emik sebaliknya mengacu pada
temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda; dengan
dengan demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas
budaya (cultur specific).
Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran
yang bersifat khas budaya. Etik dan emik merupakan konsep-konsep yang
kuat (power full). Kalau kita tahu sesuatu tantang perilaku manusia dan
menganggapnya

sebagai

kebenaran,

dan

hal

itu

adalah

suatu

etik

(universal) maka kebenaran sebagaimana kita ketahui itu adalah kebenaran
bagi semua orang dari budaya lain. Kalau yang kita ketahui tentang
perilaku manusia dan yang kita anggap sebagai kebenara itu ternyata
adalah suatu emik (bersifat khas budaya), maka apa yang kita angggap
kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari
budaya lain. Bahkan kebenaran itu bisa sangat berbeda, kebenaran dalam
hal ini adalah hal yang relative. Defenisi kebenaran yang memperhitungkan
etik dan emik ini memaksa kita semua untuk mempertimbangkan kebenaran
hal-hal yang kita yakini.
Etik dan Emik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi
yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya,
mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut
pandang masyarakat itu sendiri, sebaliknya Etik merupakan penggunaan
sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang
mengamati) untuk menjelaskan fenomena dalam masyarakat.
Secara sederhana, berdasarkan beberapa penjelasan diatas dapat
ditarik suatu kesimpulan tentang defenisi Etik dan Emik. Etik adalah suatu
kebenaran

yang

diakui,

diterima

oleh

seluruh

masyarakat

tanpa

memandang perbedaan budaya, dengan kata lain kebenaran yang dimaksud
berlaku untuk semua orang (bersifat universal). Sebaliknya, Emik adalah
suatu kebenaran yang hanya diterima dan di akui oleh masyarakat

setemapat dan tidak berlaku bagi orang yang berasal dari budaya yang
berbeda. Emik dalam hal ini menawarkan sesuatu yang lebih obyektif.
Secara umum, sebagian besar ahli psikologi lintas budaya, sepakat
bahwa jumlah etik dan emik sama, atau bahkan lebih banyak emik dari pada
etik. Artinya, orang dari budaya yang berbeda memang menemukan caracara yang berbeda dalam kebanyakan aspek perilaku manusia. Kalau
dipikirkan hal ini tidaklah mengejutkan. Setiap budaya berevolusi dengan
cara khasnya masing-masing untuk menangani perilakun manusia dengan
gaya yang paling efisien dan sesuai agar sukses bertahan hidup. Cara-cara
ini akan berbeda tergantug kepadatan penduduk, ketersediaan makanan,
dan sumber-sumber lain. Karena pasti menghadap kebutuhan yang berbeda
dengan lingkunganya, setiap kebudayaan akan mengembangkan perbedaanperbedan yang kemudian berdampak kepada orang-orang yang berada
didalam budaya tersebut.
Adanya emik atau perbedaan cultural, bukan sesuatu yang problematic
dalam diri individu/ kelompok masyarakat. Namun permasalahnya secara
potensial akan muncul ketika kita mencoba menafsirkan alasan yang
mendasari atau yang menyebabkan adanya bebagai perbedaan itu. Karena
kita berada dlam budaya kita masing-masing, dengan latar belakang kultur
kita sendiri, kita cenderung melihat sesuatu dari kacamata latar belakng
tersebut.

dengan

kata

lain,

budaya

bertindak

sebagai

suatu

filter

(penyaring), tidak hanya ketika kita memperesepsikan seseorang, tetapi
juga ketika kita berpikir tentang menafsirkan suatu kejadian . kita bisa
menafsirkan perilaku orang lain dari latar belakang cultural kita sendiri dan
menarik beberapa kesimpulan tentang perilaku tersebut berdasarkan
keyakinan kita tentang perilaku dan budaya kita sendiri. Tetapi penafsiran
kita bisa salah bila perilaku yang sedang kita nilai berasal dari suatu
orientasi cultural yang berbeda dari budaya kita

C.

Persanaan

Dan

Perbedeaan

Pendeenatan Etin Dan Enin

Antara

Etik mengcakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di
berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran
atau prinsip yang universal. Sedangkan emik sebaliknya, mengacu pada
temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan
demikian, sebuah emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya
(culture-specifc).
Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, emik
dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat (powerful). Kalau kita tahu
sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran,
dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran
sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari
budaya apa pun. Kalau yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang
kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias
bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut
belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Dalam konseling lintas budaya menggunakan perspektif objektif ini seorang
konselor akan menggunakan dua pendekatan kebudayaan yang berbeda
terhadap klien. Penggunaan perbedaan kebudayaan dilakukan untuk
menunjukkan dimensi dan variabilitas kebudayaan dan untuk menunjukkan
bahwa teori-teori komunikasi antar budaya tidak dimaksudkan untuk
meneliti perbedaan budaya. Emik Etik Peneliti mempelajari perilaku
manusia dari luar kebudayaan objek konseling, konselor menguji banyak
kebudayaan dan membandingkan kebudayaan tersebut, Struktur
kebudayaan ditemukan sendiri oleh konselor, Struktur diciptakan oleh
konselor, Umumnya kriteria-kriteria yang diterapkan ke dalam karakteristik
kebudayaan sangat realtif, Kriteria-kriteria kebudayaan bersifat mutlak dan
berlaku universal.
Secara sangat sederhana, emik mengacu pada pandangan warga
masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si
pengamat. Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu
yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya
dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri,
berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa
itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan
dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan
dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.
Contoh nasus:
Pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. Bila perilaku
pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah keniscayaan.
Maka berlaku sebutana pengemis adalah sampah masyarakat, manusia
tertindas, manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia korban
kemiskinan struktural, dsb. Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir,

melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis untuk
menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan
emik, bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri.
Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis,
pengemis adalah subjek. Mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki
hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subjektif seperti ini
diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru
memojokkan mereka, melihat mereka sebagai korban kehidupan,
kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas
masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka
rasakan dan alami sendiri.
Jika yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang kita anggap
sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias bersifat khasbudaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu
merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Secara sangat
sederhana dapat saya simpulkan bahwa emik mengacu pada pandangan
konselor terhadap kebudayaan klien, sedangkan etik mengacu pada
pandangan konselor terhadap kebudayaan secara keseluruhan dalam proses
konseling.
Jadi dengan konsep atau landasan teori maka dalam melakukan proses
hubungan konseling dengan klien, maka pendekatan yang akan saya
lakukan adalah memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini
berarti yang harus saya lakukan adalah bisa atau dapat memahami budaya
klien secara spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien
dan memahami manusia secara umum atau universal yang sifatnya
keseluruhan(Etik). Namun dalam memahami budaya spesifik berarti harus
mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari
sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting
karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri sendiri (Etik).
Ada banyak contoh etik dan emik dalm psikologi lintas budaya. Bahkan
barangkali bias dikatakan bahwa tujuan utama psikologi lintas budaya
sebagai sebuah disiplin adalah untyk memeriksa mana aspek-aspek perilaku
manusia yang etik dan mana manusia yang emik. Salah satu tujuan utama
adalah untuk menyajikan berbagai contoh etik dan emik yang diperoleh dari
penelitian lintas budaya.
Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang
cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya,
mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut
pandang masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, etik merupakan penggunaan
sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang
mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.

D.
pendeenatan etin dean
nonseling lintas budeaya

enin

dealan

Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang
cukup

mengundang

perdebatan.

Emik

(native

point

of

view)

misalnya,mencoba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan
sudut

pandang

masyarakat

itu

sendiri.

Sebaliknya,

etik

merupakan

penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini siapa
yang mengamati) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.
Secara sangat sederhana emik mengacu pada pandangan warga
masyarakat yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si
pengamat. pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu
yang lebih obyektif. karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya
dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri
berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa
itu sendiri. bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan
dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan
dipaksakan secara etnosentrik.
Etik mencakup pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau
tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada
kebenaran atau prinsip yang universal. Sedangkan emik sebaliknya,
mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang
berbeda dengan demikian sebuah emik mengacu pada kebenaran yang
bersifat khas-budaya (culture-specifc).
Karena implikasinya pada apa yang kita ketahui sebagai kebenaran,
emik dan etik merupakan konsep-kosep yang kuat (powerful). Kalau kita
tahu sesuatu tentang prilaku manusia dan menganggapnya sebagai
kebenaran dan hal itu adalah suatu etik (alias universal), maka kebenaran
sebagaimana kita ketahui itu adalah juga kebenaran bagi semua orang dari
budaya apa pun. Kalau yang kita ketahui tentang prilaku manusia dan yang

kita anggap sebagai kebenaran itu ternyata adalah suatu emik (alias
bersifat khas-budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut
belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain.
Contoh kasusapada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. bila
perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial atau sebuah
keniscayaan, maka berlaku sebutana pengemis adalah sampah masyarakat,
manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah, manusia
korban kemiskinan struktural, dsb. anggapan ini bukan sebuah kesalahan
berpikir, melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis
untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan
pandangan emik bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri.
Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis,
pengemis adalah subjek. mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki
hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. pandangan subjektif seperti ini
diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru
memojokkan

mereka,

melihat

mereka

sebagai

korban

kehidupan,

kesenjangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas
masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka
rasakan dan alami sendiri.

B. Etnosentris dan Stereotype
Etnosentrisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas
inheren kelompok atau budayanya sendiri. etnosentrisme mungkin disertai
rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak sekelompok. etnosentrisme
cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan
dianggap asing.etnosentrisme memandang dan mengukur budaya-budaya
asing dengan budayanya sendiri. (Mulyanaa2000;70).
Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak
dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masingmasing budaya yang patut kita hargai. dengan memandang budaya kita

sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya yang
salah, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan
karena kita akan cenderung lebih membatasi komunikasi yang kita lakukan
dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau
bertentangan dengan budaya kita. masing-masing budaya akan saling
merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling
menolak, sehingga sangat potensial muncul konfik di antaranya. Contoh
konfik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak
dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau
saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. adanya
anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementara yang
lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah
berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh
atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung
menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan
santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul
dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan
dengan orang barat. orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka
budaya asli akan tercemar—budaya barat sebagai polusi pencemar.
Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan
oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada
orang lain (Soekanto, 1993). secara lebih tegas Matsumoto (1996)
mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki
mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian.
beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah
stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut.
stereotip etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri.
stereotip orang Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina
adalah pelit dan pekerja keras.
Stereotip

berfungsi

menggambarkan

realitas

antar

kelompok,

mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang lain, membentuk imej

kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi,
dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa
lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu (Bourhis, Turner, &
Gagnon, 1997). Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang
sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. misalnya etnis jawa memiliki
stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan
bertindak berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-lembutnya
dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan
seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah generalisasi kesan,
stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak. Misalnya stereotip
etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran cukup tinggi
karena umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus terang. namun
tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena banyak juga etnis
jawa yang suka berterus terang.
Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa
verbal

tanpa

pernah

adanya

kontak

dengan

tujuan/objek

stereotip

(Brisslin,1993). misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah
dimiliki oleh seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah bertemu
sekalipun dengan etnis Cina. stereotip juga dapat diperkuat oleh TV, film,
majalah, koran, dan segala macam jenis media massa. Menurut Johnson &
Johnson (2000), stereotip dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat caraa
1. Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat
berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.
2. Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan
pada anggota kelompok lain. individu cenderung untuk begitu saja
menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi tipikal
sama.
3. Stereotip dapat menimbulkan kambing hitam.
4. Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang
cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. mendasarkan

pada stereotip bisa menyesatkan. lagi pula stereotip biasanya muncul
pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain.
apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip
tehadap etnik itu biasanya akan menghilang.
Matsumoto

(1996)

menunjukkan

bahwa

kita

dapat

belajar

untuk

mengurangi stereotip yang kita miliki dengan mengakui tiga poin kunci
mengenai stereotip, yaitua
 Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar
cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga
dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari
sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah
didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.
 Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa
diidentifikasi. ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi
tanpa alasan apapun. artinya bisa saja kita dengan begitu saja
mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
 Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang
di dalam kelompok tersebut. generalisasi mengenai sebuah kelompok
mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu
dalam kelompok tersebut.