Pendidikan Politik Peran Mahasiswa dalam
PENDIDIKAN POLITIK: PERAN MAHASISWA DALAM PEMILU 2014
Oleh: Ahmad Fikri Sabiq
ABSTRAK
Judul
: Pendidikan Politik: Peran Mahasiswa dalam Pemilu 2014
Keyword
: General Election, Student, Politic Education
Indonesia has held 10 general election since its independence in 1945. In
this year, Indonesia will held 11th of it. General election is a change’s moment for
the country. Because from this moment, there are new leaders who will operate
Indonesia from five years. Prosperous of a country is caused by foreigh of leader.
Therefore, an attention for it is very important.
History’s fact tell us about action of students for Indonesia’s history.
Students as a person have intellectual, critical of thought, brave, and power,
become a pioner for others. Student have a big expectation to change of this
country.
The general election have many problems, like apathetic, money politic,
etc. And they must be attended for all, of them is students. The students must
participate to solve them by educate for people.
PENDIDIKAN POLITIK:
PERAN MAHASISWA DALAM PEMILU 2014
Sebagaimana tertulis dalam Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD)
1945, disebutkan “..... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada .....”. Terkait dengan kedaulatan rakyat, disebutkan juga
dalam UUD 1945 amandemen ketiga pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang
dasar.”
Konstitusi itulah yang kemudian mendasari sistem keberlangsungan bagi
negara Indonesia ini. Sumber dari ajaran kedaulatan rakyat adalah demokrasi.
Sedangkan arti dari demokrasi adalah pemerintahan rakyat yang berarti
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. (Suprihatini, 2008:4)
Dengan demikian, kedaulatan rakyat berarti bahwa kekuasaan tertinggi dalam
suatu negara berada di tangan rakyat. Kepala pemerintahan hanya sebagai
pelaksana terhadap segala sesuatu yang menjadi keinginan rakyat. Untuk
melaksanakan prisip tersebut, kemudian muncullah pemilihan umum (pemilu)
sebagai sarana aktualisasi dari sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat. Pemilu
merupakan syarat mutlak bagi negara demokrasi untuk melaksanakan
kedaulatan rakyat, dimana rakyat bisa memilih pemimpin atau wakilnya untuk
duduk di parlemen.
Perjalanan Pemilu di Indonesia
Konsep demokrasi yang telah dikenalkan oleh Socrates sejak zaman
Yunani Kuno sebenarnya adalah konsep demokrasi langsung. Namun, secara
bertahap seiring waktu berjalan, konsep ini mengalami revisi hingga
terekonstruksi model demokrasi tak langsung. (Nadir, 2005:17) Kedua konsep
ini – demokrasi langsung dan tak langsung – memiliki perdebatan pemikiran
tersendiri di kalangan filsuf Yunani Kuno saat itu. Dan perbedaan pendapat
tersebut berlangsung sampai era modern. Termasuknya pada tataran praktis di
perpolitikan dan sistem demokrasi di Indonesia ini.
Sejak kemerdekaan, Indonesia telah mengadakan pemilu sebanyak 10
kali. Dan baru pada tahun 2004, rakyat Indonesia mulai terlibat aktif dalam
pemilu langsung dimana pada pemilu pemilu sebelumnya, masyarakat hanya
memilih wakil-wakilnya dan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden
hanya keterwakilan. Dengan perubahan peraturan tersebut, setidaknya bisa
membuka peluang masyarakat untuk menyatakan keinginannya secara
langsung yang itu tentunya bisa membuat masyarakat lebih peduli dengan
pemimpin.
Suprihatini
menuturkan
bahwa
pemilu
merupakan
manifestasi
pelaksanaan kedaulatan rakyat. (Suprihatini, 2008:1) Oleh karenanya, pemilu
harus dilaksanakan dengan demokratis dan berwibawa sehingga memiliki
derajat kompetitif yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan
yang tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Oleh
karenanya, pemilu merupakan hal yang sangat urgen bagi keberlangsungan
sistem negara yang menganut demokrasi ini, dimana merupakan sarana bagi
rakyat untuk menyatakan kedaulatannya.
Sejarah perjalanan pemilu di Indonesia dari sejak kemerdekaan secara
garis besar bisa dikelompokkan menjadi tiga masa yang masing-masing
memiliki sejarah tersendiri, yaitu masa Orde Lama, Orde Baru, dan masa
Reformasi. Pada masa Orde Lama atau pemerintahan Presiden Soekarno, sudah
merencanakan pemilu, seperti pada tahun 1946 yang sudah direncanakan
pemerintah Soekarno. Namun karena ada beberapa hal, pemilu tersebut tidak
jadi dilaksanakan. Baru pada tahun 1955, pemilu pertama berhasil
dilaksanakan dengan aman, lancar, jujur, dan adil serta sangat demokrati
meskipun awalnya sempat diragukan. Hal inilah yang kemudian Indonesia
mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuknya dari luar negeri.
(Suprihatini, 2008:29-36)
Selanjutnya, pada masa Orde Baru berhasil melaksanakan enam kali
pemilu, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. (Suprihatini,
2008:37-46) Pada pemilu 1971, terdapat 10 partai politik peserta pemilu.
Sedangkan pada pemilu 1977-1997 hanya terdapat tiga partai politik yang
terlibat, yaitu Partai Golkar, PPP, dan PDI.
Setelah Orde Baru atau pemerintahan Soeharto berhenti dari kursi
pemerintahannya pada 1998 yang kemudian diambil alih oleh BJ Habibie,
sejak itulah Indonesia mulai memasuki era reformasi. Dan baru berjalan 13
bulan, pemerintah melaksanakan pemilu ke-8 atas desakan publik, yaitu pada
tahun 1999. Pada pemilu kali ini, turut sebagai peserta yaitu 48 partai politik.
Jumlah yang sangat besar ketika dibandingkan pada pemilu sebelumnya ini
dimungkinkan
karena
adanya
kebebasan
mendirikan
partai
politik.
(Suprihatini, 2008:46-48)
Hal yang sangat berbeda terjadi pada pemilu ke-9 yaitu tahun 2004.
Kalau pada pemilu sebelumnya, untuk memilih DPR, rakyat hanya memilih
lambang partai politik. Sedangkan pada tahun 2004 ini rakyat memilih para
wakilnya secara terbuka, yaitu dengan memilih nama-nama calon DPR secara
langsung, serta memilih Dewan Perwakilan Daerah secara langsung pula.
(Suprihatini, 2008:53-55) Model pemilu 2004 ini kemudian diikuti juga pada
pemilihan kepala daerah (pilkada). Hal yang tidak jauh beda juga terjadi pada
pemilu selanjutnya, yaitu pemilu ke-10 pada tahun 2009 dan 2014 nantinya.
Perjalanan Mahasiswa di Indonesia
Mahasiswa berasal dari dua kata, yaitu “maha” yang artinya besar dan
“siswa” yang artinya orang yang sedang belajar dalam suatu instansi. Jadi,
mahasiswa bukan hanya pelajar selayaknya anak SD, SMP, ataupun SMA.
Mahasiswa memegang tanggungjawab besar dalam melaksanakan perannya
sebagai kelompok dari kaum muda terdidik dan berintelektual. Dengan watak
kritis, intelektual, independen, serta energi yang dimiliki, mahasiswa harus
sadar akan kondisi bangsa ini untuk saat ini dan hari esok. Paradigma
mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) yang kemudian oleh
Rama Pratama diganti menjadi pengarah perubahan (director of change)
merupakan hal yang patut dibenarkan mengingat perjalanan kelompok ini
dalam sejarah bangsa dari masa ke masa dan untuk seterusnya. (Hamzah,
2008:26)
Mahasiswa merupakan suatu pemeran penting yang tidak bisa dipisahkan
dari perjalanan negeri ini. Dari eranya organisasi Budi Utomo (Boedi Oetomo)
yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 yang kemudian diikuti oleh
organisasi-organisasi lainnya seperti Perhimpunan Indonesia, yang dipelopori
oleh Muh. Hatta, dan lainnya ini setidaknya menjadi bukti akan adanya peran
dari kaum intelektual tersebut. (wikipedia.com)
Munculnya kelompok-kelompok pada masa itu merupakan satu episode
perjalanan sejarah bangsa yang menandai akan munculnya sebuah pambaharu
dan perjuangan yang memiliki sikap kritis terhadap refleksi dari keadaan negeri
ini. Para kelompok ini memiliki misi utama yaitu untuk menumbuhkan
kesadaran kebangsaan dan mendorong masyarakat untuk bersama berjuang
membebaskan bangsa ini dari penindasan dan kolonialisme.
Dari proses tersebut, kemudian muncullah generasi baru Indonesia yang
kemudian mencetuskan Sumpah Pemuda pada 26-28 Oktober 1928 pada
Kongres Pemuda II di Jakarta yang menandakan kebangkitan kaum terpelajar,
mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda. Dan yang menjadi pelopor atau
aktor utama dalam hal ini tidak lain adalah para kaum terpelajar dan
mahasiswa. (wikipedia.com)
Pergerakan dari mahasiswa ini semakin berkembang ditandai dengan
munculnya organisasi-organisasi serta aksi-aksi mereka terhadap kebijakankebijakan pemerintah. Termasuknya aksi besar-besaran dari para mahasiswa
tahun 1998 yang berhasil menumbangkan orde baru. Dalam aksi yang
kemudian menggantikan orde baru menjadi era reformasi ini diikuti oleh
puluhan organisasi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang tersebar
dari Aceh sampai Makassar. (wikipedia.com)
Namun ada sebuah hal terjadi ketika era reformasi sudah muncul. Ketika
Soeharto masih berkuasa, para mahasiswa memiliki satu visi bersama yaitu
menjatuhkan rezim tersebut. Akan tetapi setelah rezim orde baru ini jatuh, arah
gerakan mahasiswa menjadi terpecah. (Hamzah, 1998:38) Meskipun demikian,
mahasiswa tetap diharapkan memiliki jiwa nalar kritisnya sebagai bagian dari
konduktor antara pemerintah dengan masyarakat.
Meminjam istilah dari Haryo Setiyoko, Mantan Sekjen Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Era ‟98 yang juga mantan ketua
BEM UGM, bahwa gerakan mahasiswa merupakan gerakan jalan tengah yang
memikul moralnya secara proporsional (Hamzah, 1998:39) Dalam peran ini,
mahasiswa menjadi pembawa aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada
pemerintah, serta mengoreksi penyimpangan serta kepincangan yang terjadi di
tengah masyarakat.
Kondisi Pra Pemilu
Pemilu merupakan aktualisasi prinsip keterwakilan politik yang
merupakan prinsip dari sistem demokrasi. Dari prinsip tersebut, masyarakat
bisa dengan bebas untuk memilih sosok yang akan membawa dan meneruskan
perjuangan para pendiri dan pejuang bangsa ini (founding father). Disadari atau
tidak, pemilu, baik legislatif maupun eksekutif, merupakan sebuah momentum
perubahan dan kebangkitan negeri ini. Kegiatan yang dilakukan dalam satu
hari ini menentukan nasib bangsa ini setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Dari siklus yang diadakan lima tahun sekali ini, masyarakat menaruh harapan
besar agar bangsa ini menjadi lebih baik, maju, dan sejahtera.
Pemilu bukan tujuan akhir dari proses yang harus diikuti akan tetapi
pemilu merupakan awal dari bangkitnya bangsa. Pemimpin yang terpilih akan
menjadi penggerak dan penentu masa depan bangsa. Oleh karenanya,
momentum lima tahunan ini harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya oleh
semua pihak, termasuknya bagi masyarakat dalam menentukan pilihan serta
bagi penyelenggara untuk mempersiapkan agenda ini dengan baik.
Terkait dengan urgensi pemilu sebagai momentum perubahan (moment of
change), setidaknya ada tiga dimensi yang menjadi perhatian, yaitu pihak
penyelenggara, peserta pemilu, serta masyarakat.
Sebagai penyelenggara dalam hal ini yaitu KPU, baik yang ada di
lingkup nasional maupun daerah. Pemilu yang merupakan sarana aktualisasi
dari suatu proses demokrasi ini tentunya menjadi kepentingan bagi semua
pihak. Oleh karenanya, sangat memungkinkan bagi beberapa pihak yang
terlibat di jajaran internal pemilu untuk melakukan hal-hal yang menjadi
kepentingan bagi kelompoknya.
Ketua Gerakan Pemuda Islam Daerah Kudus, Mahfudz Fauzi,
menyebutkan bahwa KPU menjadi „panah‟ penentu masa depan bangsa.
Sedangkan di sisi lain, Pemilu menjadi „anak panah‟ yang masa depan
bangsa juga beradu nasib olehnya. Oleh karena itu, independensi KPU dan
kemurnian Pemilu harus tetap terjaga. Baik independen etis (condong kepada
yang baik) dan independensi organisatoris (tidak dicengkram oleh pihak lain).
Jadi, KPU memang harus benar-benar berdikari tanpa ada campur tangan
pihak lain, apa-lagi orang partai. Sesungguhnya pemilu yang merupakan
tradisi sakral ini menjadi konsekuensi logis atas asas demokrasi yang diusung
oleh bangsa Indonesia. Oleh karenanya, sangat diperlukan suatu kredibilitas
dan
netralitas
dari
penyelenggara
itu
sendiri.(http://pelitaonline.com/opinions/peran-mahasiswa-dalam-pemilu-2014)
Peserta pemilu yaitu partai politik, calon legislatif, dan calon eksekutif
tentunya memiliki kepentingan untuk kemenangan bagi dirinya ataupun
kelompoknya. Dari kepentingan tersebut, terkadang menjadikan para peserta
pemilu untuk menggunakan berbagai cara, termasuknya hal-hal yang kurang
etis. Hal inilah yang kemudian menjadikan panggung sandiwara politik ini
menjadi kurang enak dipandang.
Masalah selanjutnya yaitu terkait dengan permasalahan yang terjadi di
kalangan masyarakat pemilih. Dan pembahasan inilah yang akan menjadi
pembahasan utama oleh penulis terkait dengan peran bagaimana peran
mahasiswa yang bisa dilakukan.
Setidaknya ada dua hal yang terjadi di kalangan masyarakat terkait
dengan pemilu yang dilakukan secara langsung oleh rakyat ini. Pertama yaitu
sikap apatis dari masyarakat yang kemudian menjadikan bentuk golput oleh
masyarakat. Kedua yaitu politik uang (money politic) yang menjadikan suara
masyarakat bisa dibeli. Dari dua permasalahan penting yang ada di kalangan
masyarakat, yaitu golput dan politik uang, kiranya perlu perhatian lebih untuk
masalah ini.
Terlepas dari alasan yang muncul, golput merupakan fenomena lazim
yang terjadi di kalangan masyarakat ini. Ada beberapa alasan yang menjadikan
masyarakat tidak berpartisipasi dalam momentum lima tahunan ini.
Diantaranya yaitu pertama karena tidak ada kesempatan. Kondisi ini biasanya
dialami oleh orang yang dalam keadaan merantau sehingga menjadikannya
tidak ada kesempatan untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) di
daerahnya. Alasan kedua yaitu adanya sikap tidak percaya masyarakat kepada
peserta pemilu (partai politik, calon legislatif, ataupun calon eksekutif).
Dengan hasil-hasil yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang
tidak memuaskan bisa menjadikan rakyat bersifat apatis terhadap pemilu.
Masyarakat yang apatis ini kemudian menjadi kelompok golput yang mereka
sudah tidak memiliki harapan kepada para pelaku pemilu. Dari tahun ke tahun,
angka golput naik secara signifikan. Dari hal tersebut, banyak ahli pakar politik
yang
khawatir
angka
golput
meningkat
pada
pemilu
tahun
ini.
http://www.rumahpemilu.org/read/4088/Diskusi-Publik-Pemilu-Itu-KerenPeran-Strategis-Mahasiswa-Dalam-Memilih
Masalah pemilu yang ada pada masyarakat yang kedua yaitu tentang
politik uang (money politic). Pada pemilu 2014 ini, Komisi Pemilihan Umum
melakukan sebuah penelitian di 11 kota bahwa mayoritas pemilih menilai
politik uang merupakan hal yang lazim. (Suara Merdeka, 20 Maret 2014)
Peran Mahasiswa
Mahasiswa sebagai representasi dari kaum muda dan kaum intelektual
yang faham akan kondisi dan kebutuhan bangsa ini tidak bisa tinggal diam
melihat kondisi bangsa ini dalam menghadapi pesta demokrasi pemilihan
umum tahun ini. Mahasiswa harus sadar dan mengetahui bahwa tahun ini
adalah momentum perubahan negeri., tahun yang menentukan nasib bangsa
setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Selanjutnya, hal konkret yang bisa dilakukan oleh mahasiswa adalah
melakukan pendidikan politik (politic education). Masyarakat Indonesia secara
umum masih dalam proses belajar terkait halnya dengan demokrasi. Oleh
karenanya, pencerdasan mengenai politik merupakan hal yang sangat penting
untuk diterima oleh masyarakat. moPendidikan politik ini dilakukan dengan
menyampaikan mengenai betapa pentingnya pemilu dan keterlibatan
masyarakat di dalamnya. Mahasiswa juga ikut mengedukasi masyarakat untuk
memilih wakil dan pemimpin yang kapabel, bermoral, bersih, dan mau
berkarya untuk bangsa. Pendidikan politik yang dilakukan mahasiswa ini
diharapkan bisa mengurangi tindakan golput dari masyarakat, serta mengurangi
praktik money politic.
Pendidikan politik ini dilakukan di kalangan keluarga, teman, tetangga,
serta kepada masyarakat umum
melalui berbagai media yang bisa
dilakukannya. Hal penting bagi mahasiswa adalah aktualisasi pendidikan
politik terhadap diri sendiri yaitu dengan berpartisipasi dengan menggunakan
hak pilihnya dan tidak menerima politik uang.
Penutup
Pemilu bukan hal kecil yang cukup diusung oleh KPU dan partai politik,
akan tetapi pemilu merupakan momentum besar yang harus diusung secara
bersama-sama dan mendahulukan asas kepentingan bangsa. Oleh karenanya,
sangat diperlukan kontribusi dari berbagai kalangan, termasuknya dari
kalangan mahasiswa, untuk mengawal, mengawasi, serta memberikan
pendidikan dan kesadaran bagi semua pihak. Sehingga pemilu 2014 ini
menghasilkan orang-orang yang memiliki kapabilitas dan amanah yang akan
membawa bangsa ini menjadi lebih baik, mensejahterakan dan menjadikan
bangsa ini mampu bersaing dengan negara-negara lainnya.
Penulis sebagai bagian dari mahasiswa yang memiliki notabene sebagai
agent of change berharap kepada pembaca sekalian – terlepas dari latar
belakang masing-masing pembaca - untuk bersama membangun bangsa ini
menjadi lebih baik dengan berkontribusi dalam momentum 2014 ini. Penulis
juga berharap pesta demokrasi 2014 ini bisa menghasilkan pemimpin yang
memiliki kapabilitas dan amanah dalam mengisi bangsa ini. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Suprihartini, Amin. 2008. Pemilu dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Cempaka
Putih.
Hamzah, Alfian, dkk. 1998. Suara Mahasiswa Suara Rakyat. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Pimpinan MPR dan Tim. 2013. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Nadir, Ahmad. 2005. Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi di
Indonesia. Malang: Averroes Press.
Suara Merdeka. 20 Maret 2014.
Undang-undang Dasar RI 1945
http://wikipedia.com
http://pelitaonline.com/opinions/peran-mahasiswa-dalam-pemilu-2014
http://www.rumahpemilu.org/read/4088/Diskusi-Publik-Pemilu-Itu-Keren-PeranStrategis-Mahasiswa-Dalam-Memilih
Oleh: Ahmad Fikri Sabiq
ABSTRAK
Judul
: Pendidikan Politik: Peran Mahasiswa dalam Pemilu 2014
Keyword
: General Election, Student, Politic Education
Indonesia has held 10 general election since its independence in 1945. In
this year, Indonesia will held 11th of it. General election is a change’s moment for
the country. Because from this moment, there are new leaders who will operate
Indonesia from five years. Prosperous of a country is caused by foreigh of leader.
Therefore, an attention for it is very important.
History’s fact tell us about action of students for Indonesia’s history.
Students as a person have intellectual, critical of thought, brave, and power,
become a pioner for others. Student have a big expectation to change of this
country.
The general election have many problems, like apathetic, money politic,
etc. And they must be attended for all, of them is students. The students must
participate to solve them by educate for people.
PENDIDIKAN POLITIK:
PERAN MAHASISWA DALAM PEMILU 2014
Sebagaimana tertulis dalam Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD)
1945, disebutkan “..... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada .....”. Terkait dengan kedaulatan rakyat, disebutkan juga
dalam UUD 1945 amandemen ketiga pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang
dasar.”
Konstitusi itulah yang kemudian mendasari sistem keberlangsungan bagi
negara Indonesia ini. Sumber dari ajaran kedaulatan rakyat adalah demokrasi.
Sedangkan arti dari demokrasi adalah pemerintahan rakyat yang berarti
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. (Suprihatini, 2008:4)
Dengan demikian, kedaulatan rakyat berarti bahwa kekuasaan tertinggi dalam
suatu negara berada di tangan rakyat. Kepala pemerintahan hanya sebagai
pelaksana terhadap segala sesuatu yang menjadi keinginan rakyat. Untuk
melaksanakan prisip tersebut, kemudian muncullah pemilihan umum (pemilu)
sebagai sarana aktualisasi dari sistem demokrasi atau kedaulatan rakyat. Pemilu
merupakan syarat mutlak bagi negara demokrasi untuk melaksanakan
kedaulatan rakyat, dimana rakyat bisa memilih pemimpin atau wakilnya untuk
duduk di parlemen.
Perjalanan Pemilu di Indonesia
Konsep demokrasi yang telah dikenalkan oleh Socrates sejak zaman
Yunani Kuno sebenarnya adalah konsep demokrasi langsung. Namun, secara
bertahap seiring waktu berjalan, konsep ini mengalami revisi hingga
terekonstruksi model demokrasi tak langsung. (Nadir, 2005:17) Kedua konsep
ini – demokrasi langsung dan tak langsung – memiliki perdebatan pemikiran
tersendiri di kalangan filsuf Yunani Kuno saat itu. Dan perbedaan pendapat
tersebut berlangsung sampai era modern. Termasuknya pada tataran praktis di
perpolitikan dan sistem demokrasi di Indonesia ini.
Sejak kemerdekaan, Indonesia telah mengadakan pemilu sebanyak 10
kali. Dan baru pada tahun 2004, rakyat Indonesia mulai terlibat aktif dalam
pemilu langsung dimana pada pemilu pemilu sebelumnya, masyarakat hanya
memilih wakil-wakilnya dan untuk pemilihan presiden dan wakil presiden
hanya keterwakilan. Dengan perubahan peraturan tersebut, setidaknya bisa
membuka peluang masyarakat untuk menyatakan keinginannya secara
langsung yang itu tentunya bisa membuat masyarakat lebih peduli dengan
pemimpin.
Suprihatini
menuturkan
bahwa
pemilu
merupakan
manifestasi
pelaksanaan kedaulatan rakyat. (Suprihatini, 2008:1) Oleh karenanya, pemilu
harus dilaksanakan dengan demokratis dan berwibawa sehingga memiliki
derajat kompetitif yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan
yang tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas. Oleh
karenanya, pemilu merupakan hal yang sangat urgen bagi keberlangsungan
sistem negara yang menganut demokrasi ini, dimana merupakan sarana bagi
rakyat untuk menyatakan kedaulatannya.
Sejarah perjalanan pemilu di Indonesia dari sejak kemerdekaan secara
garis besar bisa dikelompokkan menjadi tiga masa yang masing-masing
memiliki sejarah tersendiri, yaitu masa Orde Lama, Orde Baru, dan masa
Reformasi. Pada masa Orde Lama atau pemerintahan Presiden Soekarno, sudah
merencanakan pemilu, seperti pada tahun 1946 yang sudah direncanakan
pemerintah Soekarno. Namun karena ada beberapa hal, pemilu tersebut tidak
jadi dilaksanakan. Baru pada tahun 1955, pemilu pertama berhasil
dilaksanakan dengan aman, lancar, jujur, dan adil serta sangat demokrati
meskipun awalnya sempat diragukan. Hal inilah yang kemudian Indonesia
mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuknya dari luar negeri.
(Suprihatini, 2008:29-36)
Selanjutnya, pada masa Orde Baru berhasil melaksanakan enam kali
pemilu, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. (Suprihatini,
2008:37-46) Pada pemilu 1971, terdapat 10 partai politik peserta pemilu.
Sedangkan pada pemilu 1977-1997 hanya terdapat tiga partai politik yang
terlibat, yaitu Partai Golkar, PPP, dan PDI.
Setelah Orde Baru atau pemerintahan Soeharto berhenti dari kursi
pemerintahannya pada 1998 yang kemudian diambil alih oleh BJ Habibie,
sejak itulah Indonesia mulai memasuki era reformasi. Dan baru berjalan 13
bulan, pemerintah melaksanakan pemilu ke-8 atas desakan publik, yaitu pada
tahun 1999. Pada pemilu kali ini, turut sebagai peserta yaitu 48 partai politik.
Jumlah yang sangat besar ketika dibandingkan pada pemilu sebelumnya ini
dimungkinkan
karena
adanya
kebebasan
mendirikan
partai
politik.
(Suprihatini, 2008:46-48)
Hal yang sangat berbeda terjadi pada pemilu ke-9 yaitu tahun 2004.
Kalau pada pemilu sebelumnya, untuk memilih DPR, rakyat hanya memilih
lambang partai politik. Sedangkan pada tahun 2004 ini rakyat memilih para
wakilnya secara terbuka, yaitu dengan memilih nama-nama calon DPR secara
langsung, serta memilih Dewan Perwakilan Daerah secara langsung pula.
(Suprihatini, 2008:53-55) Model pemilu 2004 ini kemudian diikuti juga pada
pemilihan kepala daerah (pilkada). Hal yang tidak jauh beda juga terjadi pada
pemilu selanjutnya, yaitu pemilu ke-10 pada tahun 2009 dan 2014 nantinya.
Perjalanan Mahasiswa di Indonesia
Mahasiswa berasal dari dua kata, yaitu “maha” yang artinya besar dan
“siswa” yang artinya orang yang sedang belajar dalam suatu instansi. Jadi,
mahasiswa bukan hanya pelajar selayaknya anak SD, SMP, ataupun SMA.
Mahasiswa memegang tanggungjawab besar dalam melaksanakan perannya
sebagai kelompok dari kaum muda terdidik dan berintelektual. Dengan watak
kritis, intelektual, independen, serta energi yang dimiliki, mahasiswa harus
sadar akan kondisi bangsa ini untuk saat ini dan hari esok. Paradigma
mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change) yang kemudian oleh
Rama Pratama diganti menjadi pengarah perubahan (director of change)
merupakan hal yang patut dibenarkan mengingat perjalanan kelompok ini
dalam sejarah bangsa dari masa ke masa dan untuk seterusnya. (Hamzah,
2008:26)
Mahasiswa merupakan suatu pemeran penting yang tidak bisa dipisahkan
dari perjalanan negeri ini. Dari eranya organisasi Budi Utomo (Boedi Oetomo)
yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 yang kemudian diikuti oleh
organisasi-organisasi lainnya seperti Perhimpunan Indonesia, yang dipelopori
oleh Muh. Hatta, dan lainnya ini setidaknya menjadi bukti akan adanya peran
dari kaum intelektual tersebut. (wikipedia.com)
Munculnya kelompok-kelompok pada masa itu merupakan satu episode
perjalanan sejarah bangsa yang menandai akan munculnya sebuah pambaharu
dan perjuangan yang memiliki sikap kritis terhadap refleksi dari keadaan negeri
ini. Para kelompok ini memiliki misi utama yaitu untuk menumbuhkan
kesadaran kebangsaan dan mendorong masyarakat untuk bersama berjuang
membebaskan bangsa ini dari penindasan dan kolonialisme.
Dari proses tersebut, kemudian muncullah generasi baru Indonesia yang
kemudian mencetuskan Sumpah Pemuda pada 26-28 Oktober 1928 pada
Kongres Pemuda II di Jakarta yang menandakan kebangkitan kaum terpelajar,
mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda. Dan yang menjadi pelopor atau
aktor utama dalam hal ini tidak lain adalah para kaum terpelajar dan
mahasiswa. (wikipedia.com)
Pergerakan dari mahasiswa ini semakin berkembang ditandai dengan
munculnya organisasi-organisasi serta aksi-aksi mereka terhadap kebijakankebijakan pemerintah. Termasuknya aksi besar-besaran dari para mahasiswa
tahun 1998 yang berhasil menumbangkan orde baru. Dalam aksi yang
kemudian menggantikan orde baru menjadi era reformasi ini diikuti oleh
puluhan organisasi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang tersebar
dari Aceh sampai Makassar. (wikipedia.com)
Namun ada sebuah hal terjadi ketika era reformasi sudah muncul. Ketika
Soeharto masih berkuasa, para mahasiswa memiliki satu visi bersama yaitu
menjatuhkan rezim tersebut. Akan tetapi setelah rezim orde baru ini jatuh, arah
gerakan mahasiswa menjadi terpecah. (Hamzah, 1998:38) Meskipun demikian,
mahasiswa tetap diharapkan memiliki jiwa nalar kritisnya sebagai bagian dari
konduktor antara pemerintah dengan masyarakat.
Meminjam istilah dari Haryo Setiyoko, Mantan Sekjen Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Era ‟98 yang juga mantan ketua
BEM UGM, bahwa gerakan mahasiswa merupakan gerakan jalan tengah yang
memikul moralnya secara proporsional (Hamzah, 1998:39) Dalam peran ini,
mahasiswa menjadi pembawa aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada
pemerintah, serta mengoreksi penyimpangan serta kepincangan yang terjadi di
tengah masyarakat.
Kondisi Pra Pemilu
Pemilu merupakan aktualisasi prinsip keterwakilan politik yang
merupakan prinsip dari sistem demokrasi. Dari prinsip tersebut, masyarakat
bisa dengan bebas untuk memilih sosok yang akan membawa dan meneruskan
perjuangan para pendiri dan pejuang bangsa ini (founding father). Disadari atau
tidak, pemilu, baik legislatif maupun eksekutif, merupakan sebuah momentum
perubahan dan kebangkitan negeri ini. Kegiatan yang dilakukan dalam satu
hari ini menentukan nasib bangsa ini setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Dari siklus yang diadakan lima tahun sekali ini, masyarakat menaruh harapan
besar agar bangsa ini menjadi lebih baik, maju, dan sejahtera.
Pemilu bukan tujuan akhir dari proses yang harus diikuti akan tetapi
pemilu merupakan awal dari bangkitnya bangsa. Pemimpin yang terpilih akan
menjadi penggerak dan penentu masa depan bangsa. Oleh karenanya,
momentum lima tahunan ini harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya oleh
semua pihak, termasuknya bagi masyarakat dalam menentukan pilihan serta
bagi penyelenggara untuk mempersiapkan agenda ini dengan baik.
Terkait dengan urgensi pemilu sebagai momentum perubahan (moment of
change), setidaknya ada tiga dimensi yang menjadi perhatian, yaitu pihak
penyelenggara, peserta pemilu, serta masyarakat.
Sebagai penyelenggara dalam hal ini yaitu KPU, baik yang ada di
lingkup nasional maupun daerah. Pemilu yang merupakan sarana aktualisasi
dari suatu proses demokrasi ini tentunya menjadi kepentingan bagi semua
pihak. Oleh karenanya, sangat memungkinkan bagi beberapa pihak yang
terlibat di jajaran internal pemilu untuk melakukan hal-hal yang menjadi
kepentingan bagi kelompoknya.
Ketua Gerakan Pemuda Islam Daerah Kudus, Mahfudz Fauzi,
menyebutkan bahwa KPU menjadi „panah‟ penentu masa depan bangsa.
Sedangkan di sisi lain, Pemilu menjadi „anak panah‟ yang masa depan
bangsa juga beradu nasib olehnya. Oleh karena itu, independensi KPU dan
kemurnian Pemilu harus tetap terjaga. Baik independen etis (condong kepada
yang baik) dan independensi organisatoris (tidak dicengkram oleh pihak lain).
Jadi, KPU memang harus benar-benar berdikari tanpa ada campur tangan
pihak lain, apa-lagi orang partai. Sesungguhnya pemilu yang merupakan
tradisi sakral ini menjadi konsekuensi logis atas asas demokrasi yang diusung
oleh bangsa Indonesia. Oleh karenanya, sangat diperlukan suatu kredibilitas
dan
netralitas
dari
penyelenggara
itu
sendiri.(http://pelitaonline.com/opinions/peran-mahasiswa-dalam-pemilu-2014)
Peserta pemilu yaitu partai politik, calon legislatif, dan calon eksekutif
tentunya memiliki kepentingan untuk kemenangan bagi dirinya ataupun
kelompoknya. Dari kepentingan tersebut, terkadang menjadikan para peserta
pemilu untuk menggunakan berbagai cara, termasuknya hal-hal yang kurang
etis. Hal inilah yang kemudian menjadikan panggung sandiwara politik ini
menjadi kurang enak dipandang.
Masalah selanjutnya yaitu terkait dengan permasalahan yang terjadi di
kalangan masyarakat pemilih. Dan pembahasan inilah yang akan menjadi
pembahasan utama oleh penulis terkait dengan peran bagaimana peran
mahasiswa yang bisa dilakukan.
Setidaknya ada dua hal yang terjadi di kalangan masyarakat terkait
dengan pemilu yang dilakukan secara langsung oleh rakyat ini. Pertama yaitu
sikap apatis dari masyarakat yang kemudian menjadikan bentuk golput oleh
masyarakat. Kedua yaitu politik uang (money politic) yang menjadikan suara
masyarakat bisa dibeli. Dari dua permasalahan penting yang ada di kalangan
masyarakat, yaitu golput dan politik uang, kiranya perlu perhatian lebih untuk
masalah ini.
Terlepas dari alasan yang muncul, golput merupakan fenomena lazim
yang terjadi di kalangan masyarakat ini. Ada beberapa alasan yang menjadikan
masyarakat tidak berpartisipasi dalam momentum lima tahunan ini.
Diantaranya yaitu pertama karena tidak ada kesempatan. Kondisi ini biasanya
dialami oleh orang yang dalam keadaan merantau sehingga menjadikannya
tidak ada kesempatan untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) di
daerahnya. Alasan kedua yaitu adanya sikap tidak percaya masyarakat kepada
peserta pemilu (partai politik, calon legislatif, ataupun calon eksekutif).
Dengan hasil-hasil yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang
tidak memuaskan bisa menjadikan rakyat bersifat apatis terhadap pemilu.
Masyarakat yang apatis ini kemudian menjadi kelompok golput yang mereka
sudah tidak memiliki harapan kepada para pelaku pemilu. Dari tahun ke tahun,
angka golput naik secara signifikan. Dari hal tersebut, banyak ahli pakar politik
yang
khawatir
angka
golput
meningkat
pada
pemilu
tahun
ini.
http://www.rumahpemilu.org/read/4088/Diskusi-Publik-Pemilu-Itu-KerenPeran-Strategis-Mahasiswa-Dalam-Memilih
Masalah pemilu yang ada pada masyarakat yang kedua yaitu tentang
politik uang (money politic). Pada pemilu 2014 ini, Komisi Pemilihan Umum
melakukan sebuah penelitian di 11 kota bahwa mayoritas pemilih menilai
politik uang merupakan hal yang lazim. (Suara Merdeka, 20 Maret 2014)
Peran Mahasiswa
Mahasiswa sebagai representasi dari kaum muda dan kaum intelektual
yang faham akan kondisi dan kebutuhan bangsa ini tidak bisa tinggal diam
melihat kondisi bangsa ini dalam menghadapi pesta demokrasi pemilihan
umum tahun ini. Mahasiswa harus sadar dan mengetahui bahwa tahun ini
adalah momentum perubahan negeri., tahun yang menentukan nasib bangsa
setidaknya untuk lima tahun ke depan.
Selanjutnya, hal konkret yang bisa dilakukan oleh mahasiswa adalah
melakukan pendidikan politik (politic education). Masyarakat Indonesia secara
umum masih dalam proses belajar terkait halnya dengan demokrasi. Oleh
karenanya, pencerdasan mengenai politik merupakan hal yang sangat penting
untuk diterima oleh masyarakat. moPendidikan politik ini dilakukan dengan
menyampaikan mengenai betapa pentingnya pemilu dan keterlibatan
masyarakat di dalamnya. Mahasiswa juga ikut mengedukasi masyarakat untuk
memilih wakil dan pemimpin yang kapabel, bermoral, bersih, dan mau
berkarya untuk bangsa. Pendidikan politik yang dilakukan mahasiswa ini
diharapkan bisa mengurangi tindakan golput dari masyarakat, serta mengurangi
praktik money politic.
Pendidikan politik ini dilakukan di kalangan keluarga, teman, tetangga,
serta kepada masyarakat umum
melalui berbagai media yang bisa
dilakukannya. Hal penting bagi mahasiswa adalah aktualisasi pendidikan
politik terhadap diri sendiri yaitu dengan berpartisipasi dengan menggunakan
hak pilihnya dan tidak menerima politik uang.
Penutup
Pemilu bukan hal kecil yang cukup diusung oleh KPU dan partai politik,
akan tetapi pemilu merupakan momentum besar yang harus diusung secara
bersama-sama dan mendahulukan asas kepentingan bangsa. Oleh karenanya,
sangat diperlukan kontribusi dari berbagai kalangan, termasuknya dari
kalangan mahasiswa, untuk mengawal, mengawasi, serta memberikan
pendidikan dan kesadaran bagi semua pihak. Sehingga pemilu 2014 ini
menghasilkan orang-orang yang memiliki kapabilitas dan amanah yang akan
membawa bangsa ini menjadi lebih baik, mensejahterakan dan menjadikan
bangsa ini mampu bersaing dengan negara-negara lainnya.
Penulis sebagai bagian dari mahasiswa yang memiliki notabene sebagai
agent of change berharap kepada pembaca sekalian – terlepas dari latar
belakang masing-masing pembaca - untuk bersama membangun bangsa ini
menjadi lebih baik dengan berkontribusi dalam momentum 2014 ini. Penulis
juga berharap pesta demokrasi 2014 ini bisa menghasilkan pemimpin yang
memiliki kapabilitas dan amanah dalam mengisi bangsa ini. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Suprihartini, Amin. 2008. Pemilu dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Cempaka
Putih.
Hamzah, Alfian, dkk. 1998. Suara Mahasiswa Suara Rakyat. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Pimpinan MPR dan Tim. 2013. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Nadir, Ahmad. 2005. Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi di
Indonesia. Malang: Averroes Press.
Suara Merdeka. 20 Maret 2014.
Undang-undang Dasar RI 1945
http://wikipedia.com
http://pelitaonline.com/opinions/peran-mahasiswa-dalam-pemilu-2014
http://www.rumahpemilu.org/read/4088/Diskusi-Publik-Pemilu-Itu-Keren-PeranStrategis-Mahasiswa-Dalam-Memilih