Pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat dala
LIBRARY RESEARCH
Pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan
dan Perlindungan Lingkungan Hidup di Indonesia
MATA KULIAH:
HUKUM LINGKUNGAN (ROMBEL 05)
Disusun Oleh :
1. ADIB NOR FUAD
8111416107
2. ANDO TRI KURNIAWAN
8111416102
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2017
i
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan kasih‐Nya, atas
kami
terima,
serta
anugerah
petunjuk‐Nya
hidup
dan
kesehatan
yang
telah
sehingga memberikan kemampuan dan
kemudahan bagi kami dalam penyusunan makalah ini. Didalam
makalah
ini
kami selaku penyusun hanya sebatas ilmu yang bisa kami sajikan dengan
topik
“Pemenuhan
Hak
Asasi
Masyarakat
Adat
Dalam
Pengelolaan
Dan
Perlindungan Lingkungan Hidup Di Indonesia” sebagai tugas mata kuliah Hukum
Lingkungan Rombel 03. Dimana didalam topik tersebut ada beberapa hal yang
bisa kita pelajari khususnya
pengetahuan
tentang pemenuhan hak asasi
masyarakat adat di dalam kegiatan pengelolaan dan perlindungan lingkungan
hidup dalam lingkum Negara Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih
kepada bapak Ridwan Arifn,. S. H,. L.Lm selaku pengampu mata kuliah Hukum
Lingkungan yang selalu membimbing kami dalam proses menyusunan makalah
ini.
Kami menyadari
bahwa keterbatasan
kami tentang perancangan output
sistem,
pengetahuan
menjadikan
dan pemahaman
keterbatasan
kami
pula untuk memberikan penjabaran yang lebih dalam tentang masalah ini,
kiranya mohon dimaklumi apabila masih terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Harapan
ini
membawa
manfaat
bagi
kita,
setidaknya
kami, semoga
untuk
makalah
sekedar membuka
cakrawala berpikir kita tentang bagaimana merancang sebuah output sistem
dalam kehidupan kita.
Semarang, 10 Oktober 2017
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Cover Depan
i
……………………………………………………………………………………..
Kata Pengantar
ii
……………………………………………………………………………….....
Daftar Isi
iii
…………………………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………
A. Latar Belakang ..…..
1
1
……………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah ……………………………..
3
………………………………………
A. C. Metode Penelitian ...…..……………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………………..
A. Defnisi
Masyarakat
Hukum
Adat
……………………..
…………………………….
B.
Pemenuhan
Hak
Asasi
Masyarakat
Adat
Indonesia
……………………………….
BAB III KESIMPULAN DAN PENUTUP ………………………………………………......
Daftar Pustaka
…………………………………………………………………………………...
iii
..
3
4
4
6
13
15
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Pembukaan
Undang-Undang
Dasar 1945 alenia keempat telah
diungkapkan maksud dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia diantaranya
yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
Dengan
demikian
masyarakat adat harus mendapatkan
perlindungan hukum, agar dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam
yang ada di Indonesia selalu memperhatikan hak-hak masyarakat adat setempat
seperti pemenuhan Hak Asasi Manusia kepada masyarakat adat. Istilah Hak Asasi
Manusia (HAM) merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menggantikan
istilah Human Rights, Karena anggota masyarakat adat seringkali mengalami
pengabaian dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh sekelompok
oknum tertentu ataupun pihak pemerintah sendiri, diantaranya perlakuan teror,
intimidasi dan perlakuan represif oleh oknum-oknum satuan pengamanan dari
perusahaan.
Jika melihat aturan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3),
telah mengamanatkan dan menjelaskan bahwa Bumi, dan air dan kekayaan alam
yang
terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat1. Pengertian sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat menunjukkan bahwa rakyat harus menerima manfaat dari sumber daya
alam yang ada di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup
masyarakat Indonesia itu sendiri.
Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur sumber daya alam agar
dimanfaatkan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
rakyat
dan
mencapai
kebahagiaan hidup yang berdasarkan Pancasila dan juga UUD 1945. Oleh karena
itu,
perlu
dilaksanakan
pembangunan
berkelanjutan
lingkungan hidup, berdasarkan kebijaksanaan nasional
menyeluruh
generasi
1
dengan
yang
akan
UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
memperhitungkan
datang.
Untuk
kebutuhan
itu
perlu
yang
berwawasan
yang terpadu dan
generasi
sekarang
melaksanakan
dan
pengelolaan
1
lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang
guna
menunjang
terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup2.
Sebagai
wujud
nyata
tindakan
pemerintah
untuk
menjamin
hak
masyarakat adat yaitu dengan memacu semangat rakyat untuk memanfaatkan
ataupun menggali kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia ini. Salah satu
upaya dari masyarakat yaitu dengan memanfaatkan hak ulayat yang berada
di masing-masing daerah, yang masing- masing berbeda bentuk dan coraknya.
Menyangkut hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, akan
mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya dalam negara Indonesia
dewasa ini, seperti yang tergambar dalam Pasal 3 UUPA yang menentukan :
"Pelaksanaan
hak
ulayat
dan
hak-hak
yang
serupa
itu
dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih
ada,
harus
sedemikian
rupa
sehingga
sesuai
dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan yang lebih tinggi".3
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang menghargai dan mengakui
serta mengakomodasi akses, kepentingan dan hak-hak masyarakat adat, maka
pemerintah harus memberikan ruang bagi prinsip-prinsip keadilan, demokrasi,
partisipasi, transparansi, penghargaan dan pengakuan atas kearifan lokal
sebagaimana tercermin dalam sistem pengetahuan, institusi, dan tradisi-tradisi
yang
secara
nyata
hidup
dan
berkembang
dalam
komunitas-komunitas
masyarakat adat.4 Hak untuk tidak didiskriminasi berhubungan erat dengan
persamaan hak di hadapan hukum. Prinsip keadilan juga menjadi hal yang
penting untuk diperhatikan, baik dalam tataran pembentukan hukum maupun
implementasinya. Prinsip keadilan meliputi aspek-aspek kesejahteraan rakyat,
pemerataan, pengakuan kepemilikan masyarakat adat, dan adanya sanksi bagi
para perusak. Prinsip keadilan ini bertujuan untuk perwujudan penyelenggaraan
pengelolaan sumber daya alam yang menjamin keadilan antar dan intra generasi.
2
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa,
Jakarta:Rineka Cipta, 2005, hlm. 1.
3
Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Jakarta: Total Media, 2009, hlm. 4.
4
I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Jakarta,
Prestasi Pustaka, 2008, hal. 45Menjadi
2
Dengan adanya prinsip ini diharapkan terwujud perlindungan hukum bagi
masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sesuatu yang menarik jika dilihat hubungan antara keadilan (justice) dengan
persamaan (equality). Hubungan di antara keduanya adalah bahwa persamaan
merupakan unsur yang paling penting dari keadilan. Persamaan berkaitan dengan
hubungan antar dua manusia atau lebih, dimana perlakuan yang tidak sama
antara mereka akan menghasilkan ketidakadilan. Persamaan yang dimaksud di
sini tidak harus selamanya berarti sama rata, tetapi tergantung kondisi dan
kualifkasi
masing-masing
individu
yang
disebut
juga
persamaan
yang
proporsional (proportionate equality). Dengan prinsip persamaan ini, secara
prinsipil hukum harus diterapkan secara sama kepada siapa saja, baik kepada si
kaya maupun kepada si miskin, kepada laki-laki maupun kepada perempuan,
kepada mayoritas maupun kepada golongan minoritas, kepada kulit putih
maupun kepada kulit berwarna. Namun, tidak berarti keadilan hanya mengenai
perlakuan yang sama saja. Memberlakukan hukum yang sama kepada orang
dalam kualifkasi yang berbeda justru dapat menimbulkan ketidakadilan. Jadi,
kualifkasi orang-orang dalam masyarakat tetap dibutuhkan untuk mengukur
suatu keadilan. Siapa pun yang dapat memenuhi kualifkasi yang sama, harus
diberikan hak yang sama pula, di situlah terletak keadilan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah klasifkasi masyarakat hukum adat ?
2. Apakah pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup di Indonesia sudah terpebuhi ?
C. Metode Penulisan
Penulisan
penelitian
ini
ini
menggunakan
tipe
menggunakan pendekatan
penelitian
hukum
normatif.
normatif
Mengingat
yang
tidak
bermaksud untuk menguji hipotesis, maka titik berat penelitian tertuju pada
penelitian kepustakaan. Biasanya, pada penelitian hukum normatif yang
diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mencakup bahan
hukum primer, sekunder dan tertier. Bahan hukum yang telah diperoleh
3
kemudian diolah dan dianalisis secara
logika
berpikir
secara
normatif
deduksi yang
dengan
menggunakan
didasarkan pada aspek hukum
normatif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Masyarakat Hukum Adat
Jika membahas tentang masyarakat hukum adat terlebih dahulu kita
harus mengetahui defnisi dari adat itu sendiri, dalam buku Soerojo Wignjodipuro
pengantar dan asas-asas hukum adat (hlm.13) Adat merupakan pencerminan
daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada
jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad kea bad. Oleh karena itu, maka tiap
bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu sama lainnya
tidak sama seperti adat yang ada di Indonesia.5
Pada mulanya, istilah masyarakat hukum adat diperkenalkan oleh van
Vollenhoven untuk menunjukkan warga pribumi (native) atau suku asli Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan keluarnya kebijakan politik Pemerintah Belanda
didasarkan pada Pasal 131 Indische Staatregeling (IS) 1939, maka warga negara
Indonesia ketika itu dibedakan ke dalam warga pribumi (Irlander), Eropa dan Timur
Asing.
Pengakuan
atas
perbedaan
warga
negara
tersebut
membawa
konsekuensi timbulnya keanekaragaman hukum (Pluralstic legal systems).
Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan yang
5
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1995,
hlm. 13.
4
dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya
yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Hukum adat juga merupakan hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam
bentuk
perundang-undangan
Republik
Indonesia
yang
di
sana-sini
mengandung unsur agama atau religious. Para ahli hukum adat sepakat bahwa
dalam hukum adat mengandung unsur-unsur keagamaan, dan magis (magic
religious), keajegan (constant), tunai (concrete) dan luwes (fexible).
Isitilah masyarakat adat atau masyarakat hukum adat kemudian
berkembang sebagai “Indigenous people” dalam pengerian hukum internasional,
yaitu sekelompok masyarakat yang terikat dengan sejarah sebelum era
kolonialisasi (colonial continuity), dengan budaya, sosial, ekonomi dan politik
sebagai sesuatu kekhasan (distinctiveness) dari yang “meanstream”. Kelompok
ini adalah kelompok „non-dominance‟ yang mempunyai kecenderungan menjaga
wilayah adat, institusi sosial-budaya, bahasa ibu dan kepercayaan lokal secara
terus menerus.6
Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup BAB I Pasal 1 butir 31 adalah, “masyarakat
hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim
di wilayah geografs tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya
hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum”. 7 Pandangan dasar dari
kongres
I
Masyarakat
Adat
Nusantara
tahun
1999
menyatakan
bahwa
“masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul
secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas
tanah dan kekayaan alam, serta kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum
3
adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan
masyarakat”. Secara sederhana dikatakan bahwa masyarakat adat terikat oleh
hukum adat, keturunan dan tempat tinggalnya. International Labour Organization
(ILO) mengkategorikan masyarakat adat sebagai:
6
Martinez Cobo dan UNPFII, tentang tujuh kriteria Indigenous Peoples;http://www.ohchr.org/
Documents/Issues/IPeoples/UNDRIPManualForNHRIs.pdf dan http://www.iwgia.org/culture-andidentity/identification-of-indigenous-peoples
7
UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
5
1. Suku-suku asli yang mempunyai kondisi sosial budaya dan ekonomi yang
berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebuah negara, dan yang
statusnya sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi
atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri yang khusus.
2. Suku-suku yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai
suku asli karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang
mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa
penjajah,
atau
sebelum
adanya
pengaturan
batas-batas
wilayah
administratif seperti yang berlaku sekarang, dan yang mempertahankan
atau
berusaha
mempertahankan–terlepas
dari
apapun
status
hukum mereka–sebagian atau semua ciri dan lembaga sosial, ekonomi,
budaya dan politik yang mereka miliki. Dalam pengertian itu masyarakat
adat juga dikenal sebagai memiliki bahasa, budaya, agama, tanah dan
teritoriyang terpisah dari kelompok masyarakat lain, dan hidup jauh
sebelum terbentuknya negara bangsa modern.
Konsep dasar tentang masyarakat hukum adat dan hak-haknya dalam
sistem hukum Indonesia terdapat dalam pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 I UUD
1945. Dua pasal ini secara eksplisit menjelaskan pengakuan hak-hak masyarakat
hukum adat, namun tidak menjelaskan secara eksplisit rumusan defnisi
masyarakat hukum adat. Pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 I menjelaskan posisi
hukum masyarakat hukum adat sebagai subjek hak. Artinya, Konstitusi kita
mengatur jaminan konstitusional atas keberadaan masyarakat hukum adat
sebagai subjek hukum penyandang hak dan kewajiban.
B. Pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat Indonesia dalam
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
Istilah Hak Asasi Manusia atau yang sering disebut dengan HAM merupakan
istilah yang bias digunakan untuk menggantikan istilah Human Rights, di samping
itu ada juga yang menggunakan istilah fundamental rights atau basic rights.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa melindungi segenap tumpah darah merupan tujuan bangsa. Salah satun
6
bentuk
perlindungannya
adalah
menjamin
keamanan,
ketentraman
dan
ketertiban sesuai norma kehidupan bermasyarakat. Segenap penyelenggaraan
pemerintahan harus berorientasi pada pencapaian tujuan tersebut. Demikian pula
institusi, struktur dan aparatur pemerintahan harus dibentuk dengan tegas, fungsi
serta
kultur
yang
mendukung
penyelenggaraan
pemerintahan,
khususnya
menjamin keamanan, ketentraman, dan ketertiban sosial.8
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto mengartikan HAM sebagai hak-hak
mendasar (fundamental) yang diakui secara universal sebagai hak-hak yang
melekat pada manusia karena hakikatnya dan kodratnya sebagai manusia.
Sementara itu Mulyadi menyatakan bahwa apapun rumusannya, HAM adalah hak
yang melekat secara alamiah (inberent) pada diri manusia sejak manusia lahir,
dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai
manusia yang utuh.9 Berkaitan dengan defnisi HAM, maka sampai saat ini belum
terdapat kesatuan pendapat yang baku mengenai hak asasi manusia yang dapat
diterima secara universal.
Dari sekian banyak hak masyarakat adat, hak atas pengelolaan sumber
daya alam menjadi topik yang menarik karena sumber daya alam memiliki peran
yang besar dalam rangka mempertahankan eksistensi masyarakat adat. Banyak
masyarakat adat di Negara Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada
sumber daya alam yang ada di wilayah kediamannya. Mereka hidup secara
tradisional yang membuat mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup yang
mendasar dari alam sekitarnya. Pendapatan masyarakat adat sebagian besar,
bahkan ada juga yang seluruhnya, berasal dari mengumpulkan atau memproses
sumber daya alam. Bagi masyarakat adat, sumber daya alam merupakan bagian
menyeluruh dari kehidupannya, tidak hanya terbatas sebagai aset ekonomi
semata.
Prinsip umum yang tersembunyi dalam berbagai penerapan konsep
keadilan adalah bahwa para individu dihadapan yang lainnya berhak atas
kedudukan relatif berupa kesetaraan atau ketidaksetaraan tertentu. 10 Akan tetapi,
8
Oki Wahju Budijanto, “Evaluasi Terhadap Peran Satuan Pamong Praja dalam Perlindungan Hak
Asasi Manuusia bagi Masyarakat”, Jurnal Hak Asasi Manusia, vol. 3 No. 2, Desember, 2012, hal. 4.
9
Rahayu Hukum Hak Asasi Manusi hlm 1-2
H. L. A. Hart, Konsep Hukum The Concept Of Law, Bandung, Nusa Media, 2009, hal. 246
10
7
keadilan bukan hanya masalah persamaan perlakuan, atau dengan kata lain,
keadilan tidak hanya menyangkut dengan masalah diskriminasi, tapi jauh lebih
luas lagi dari itu, misalnya keadilan berhubungan juga dengan masalah
pengakuan atas hak-hak dasar manusia. Berkaitan dengan hal tersebut,
perlindungan terhadap hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya
alam bukan berarti negara harus mempersamakan perlakuan antara masyarakat
adat dengan para pengusaha swasta ataupun negara dalam pengelolaan sumber
daya alam. Namun sesuai dengan prinsip non-diskriminasi, tanpa terkecuali
negara harus menjamin pemenuhan hak masyarakat adat dalam pengelolaan
sumber daya alam. Negara harus memberikan porsi yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat adat saat ini dan juga memperhitungkan untuk di masa
yang akan datang demi keberlangsungan eksistensi mereka dan keturunannya.
Negara harus menyediakan sarana atau mekanisme yang memberi akses kepada
rakyat untuk menuntut apabila hak-hak tersebut tidak terpenuhi. 11 Memang
bukan sesuatu yang mudah untuk menjembati antara dua kepentingam, yaitu
kepentingan negara dan kepentingan masyarakat adat. Namun pemerintah harus
tetap menjalankan kewajibannya secara bijak dan adil sehingga dapat terwujud
kesejahteraan tidak hanya bagi segelintir orang saja.
Masyarakat adat memelihara hubungan sejarah dan hubungan kerohanian
dengan sumber daya alamnya di wilayah di mana masyarakat adat tersebut
hidup.
Jika
sumber
daya
alam
terusik,
apalagi
terasingkan
oleh
negara/pemerintah atau pihak ketiga, maka yang akan terancam bukan hanya
kehidupan ekonomi dari masyarakat adat tersebut saja, tetapi juga keseluruhan
eksistensi masyarakat adat itu sendiri. Hak untuk hidup, hak untuk menentukan
nasib sendiri, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak atas kesehatan,
dan berbagai hak asasi manusia lainnya akan ikut dilanggar ketika masyarakat
adat secara tidak adil dipisahkan dari sumber daya alamnya yang secara turun
temurun telah menjadi sumber penghidupan.
Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur mengenai ruang lingkup
sumber daya alam yaitu meliputi meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
11
Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta,
Rajagrafndo, 2008, hal. 15
8
alam yang terkandung di dalamnya. Pasal ini juga mengatur tentang ideologi
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang dikenal dengan ideologi
hak menguasai negara atas sumber daya alam. Hak menguasai negara tersebut
bukan berarti hak untuk memiliki, tetapi suatu pengertian yang mengandung
kewajiban dan wewenang hukum publik kepada negara sebagai organisasi
kekuasaan dari Bangsa Indonesia, dimana wewenang tersebut harus digunakan
untuk tercapainya kemakmuran rakyat Indonesia sendiri. Ideologi hak menguasai
negara ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) menjelaskan bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada
Bangsa Indonesia, merupakan permukaan bumi, demikian pula tubuh bumi dan
air serta ruang yang ada di atasnya.12
Sumber daya alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara. Sebaiknya hak menguasai negara tersebut
dipergunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Konsep
hak menguasai negara tersebut tidak boleh diartikan secara sempit dan
disalahgunakan sehingga negara dengan hak tersebut mengatur mengenai
pengelolaan sumber daya alam dan menyingkirkan keberadaan masyarakat adat.
Negara/pemerintah
pemenuhan
hak
Negara/pemerintah
memiliki
masyarakat
kewajiban
adat
atas
untuk
melindungi
pengelolaan
dan
sumber
menjamin
daya
alam.
hendaknya lebih memperhatikan keberadaan masyarakat
adat dan hak-hak asasi mereka sebelum memberikan ijin pengelolaan sumber
daya alam kepada pihak pengusaha swasta. Negara/pemerintah harus berlaku
cermat, hati-hati dan penuh itikad baik dalam melaksanakan kewajibannya
melindungi hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam. Dengan
dilaksanakannya kewajiban negara atas hak masyarakat adat dalam pengelolaan
sumber daya alam berarti negara juga melakukan perlindungan terhadap hak
asasi masyarakat adat.
Hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dalam segi hak
asasinya memiliki cakupan yang luas, tidak hanya hak untuk mengelola sumber
daya alamnya, tetapi juga hak bagi masyarakat adat untuk memperoleh
12
Dian Agustina Wulandari. “Pengelolaan Administrasi Tanah Aset Pemerintah Guna Mendapatkan
Kepastian Hukum”, Unnes Law Journal, vol. 4, No.1, Juli, 2015, hlm.95.
9
perlindungan hukum dalam menikmati hak tersebut sehingga keberlangsungan
hidup mereka pun akan tetap terjamin. Dalam ketentuan menimbang butir b
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)
menyebutkan bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, sehingga harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, tidak boleh diabaikan, tidak boleh dikurangi atau
dirampas oleh siapapun (termasuk oleh negara/pemerintah). Dengan menjadikan
masalah hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai isu
keadilan dan HAM, maka dapat diklaim bahwa masyarakat adat memiliki hak
untuk mengelola sumber daya alam sama seperti pihak-pihak lainnya dan negara/
pemerintah bertanggungjawab untuk merealisasikan hal tersebut.
Namun
sayangnya,
seringkali
masyarakat
adat
tersingkir
ketika
negara/pemerintah dengan hak menguasai yang dimilikinya meminggirkan hak
masyarakat
adat
dalam
pengelolaan
sumber
daya
alam
dengan
alasan
kepentingan nasional. Kompensasi yang diberikan kepada masyarakat adat tidak
seimbang dengan keuntungan yang didapat oleh negara/pemerintah. Bahkan
tidak jarang, alih-alih mendapatkan kompensasi, keberadaan masyarakat adat
malahan tidak diakui oleh negara/pemerintah. Di tengah himpitan globalisasi,
privatisasi dan otonomi daerah, hak-hak masyarakat adat, termasuk hak
masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sangat terancam. Dalam
banyak kasus, masyarakat adat berada dalam posisi tidak terlindungi oleh
keadilan dan penyelesaian hukum. Mereka kesulitan untuk membela hak-haknya
karena faktor kemiskinan dan kurangnya pendidikan. Masyarakat adat sering
dicap sebagai perusak lingkungan, kelompok masyarakat terbelakang, kuno, dan
berbagai anggapan lainnya terkait aktiftas kehidupan sehari-harinya yang
memanfaatkan sumber daya alam.
Masyarakat adat juga sering dipandang sebagai kelompok masyarakat
penghambat pembangunan ketika mereka berusaha memperjuangkan hakhaknya atas sumber daya alam. Posisi masyarakat adat yang lemah secara politik
dibandingkan
dengan
pengusaha-pengusaha
swasta
maupun
pemerintah
mengakibatkan pengambilalihan sumber daya alam dengan mudahnya oleh
pemerintah tanpa
melalui proses
hukum yang adil, atau bahkan tanpa
10
kompensasi apapun. Sebagai contoh adalah kasus antarawarga Rembang, Jawa
Tengah dengan PT. Semen Indonesia dimulai sejak 16 Juni 2014 lalu. Saat itu PT
Semen
Indonesia
mulai
meletakkan
batu
pertama
pembangunan
pabrik.
Pembangunan pabrik tersebut menuai kontroversi panjang. Sebagian penduduk
Pegunungan
Kendeng
Utara
menolak
rencana
pembangunan
tersebut.
Masyarakat lokal pun melakukan penolakan. Penolakan tersebut dengan alasan
bahwa pembangunan pabrik semen yang akan menambang batu gamping di
pegunungan kars akan mengancam ketahanan pangan dan ketersediaan air yang
telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Upaya penambangan di kawasan karst Watuputih dinilai sejumlah kalangan
merupakan sebuah bentuk pelanggaran. Penggunaan kawasan karst Watuputih
sebagai tempat penambangan batu kapur, melanggar Perda Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah nomor 06/2010. Pasal 63 perda tersebut
menetapkan
areal
menjadi
kawasan
lindung. 13
Pemberitaan
yang
dimuat
Mongabay.co.id pada tanggal 16 Juni 2014 menyebutkan bahwa penebangan
kawasan hutan tidak sesuai dengan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan
hutan oleh Menteri Kehutanan. Surat Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22
April 2013, dalam surat tersebut menyatakan bahwa kawasan yang diijinkan
untuk ditebang adalah kawasan hutan KHP Mantingan. Perlu diketahui dalam
Perda no 14 tahun 2011 tentang RTRW Kab. Rembang Kecamatan Bulu tidak
diperuntukkan sebagai kawasan industri besar.
Mengacu pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi, air dan
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat” maka
sudah sewajarnya warga Rembang merasa diresahkan dan berujung penolakan
atas pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia. Semestinya sumber daya
alam dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat bukan melahirkan
ketimpangan kepentingan antara pengusaha pabrik dan petani. Dilihat dari kasus
– kasus sebelumnya, penambangan dan pembangunan pabrik yang sedemikian
rupa dapat mempersempit lahan pertanian lalu menurunkan produktivitas
13
Mongabay.co.id pada tanggal 16 Juni 2014
11
pertanian pada wilayah tersebut hingga bagian terburuknya adalah menyebabkan
lemahnya ketahanan pangan daerah dan nasional.
Pembangunan
proyek
tersebut
juga
dapat
menyebabkan
kerusakan
lingkungan di sekitar, terganggunya keseimbangan ekosistem, hilangnya daerah
resapan air, dan pencemaran limbah yang terjadi akibat proses produksi semen.
Dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan berperan aktif
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang artinya masyarakat
berhak menolak segala macam tindakan asing yang dapat membahayakan
keberlangsungan lingkungan hidup mereka. Dalam kasus ini, jika dikaitkan
dengan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), telah dijelaskan segala hal
tentang tanah termasuk didalamnya ditegaskan bahwa tanah Indonesia adalah
seluruhnya untuk kemakmuran bangsa bukan untuk kemakmuran asing. Konfik di
Rembang menunjukkan adanya kelalaian serta ketidakpedulian pemerintah
terhadap nasib petani di daerah tersebut. Pemerintah mencegah adanya usahausaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dari perseorangan yang
bersifat monopoli swasta.
Menyikapi konfik tersebut, Komnas HAM sejak Juni 2015 telah membentuk
Tim Pemantauan dan Penyelidikan Pemenuhan HAM Masyarakat di Sekitar
Kawasan Karst. Tim yang dipimpin oleh Komisioner Muh. Nurkhoiron tersebut
hampir menyelesaikan laporannya untuk disampaikan ke Presiden dan pihakpihak terkait, tentang pelestarian ekosistem karst dan perlindungan HAM. Dalam
kajian itu, disimpulkan bahwa Pulau Jawa tidak layak lagi sebagai wilayah untuk
penambangan, karena daya dukungnya yang sudah sangat terbatas dan padat
oleh penduduk. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah membuat
Indeks Kebencanaan di masing-masing kabupatan/kota yang memetakan wilayah
rawan bencana di Indonesia khususnya di Pulau Jawa yang rentan oleh berbagai
bencana. Pembangunan pabrik semen yang disertai dengan penambangan batu
gamping dikhawatirkan akan menambah kerentanan bencana itu.
Selain itu, disampaikan tentang masih lemahnya data tentang dampak
pabrik semen bagi kesehatan dan penghidupan masyarakat. Padahal, banyak
pabrik semen yang telah beroperasi sejak puluhan tahun, akan tetapi kajian atas
12
dampak-dampaknya, masih belum dilakukan secara komprehensif. Padahal di
China, ratusan pabrik semen telah ditutup karena menjadi sumber polutan yang
besar dan sangat serius.
Di
Indonesia,
peraturan
perundang-undangan
yang
terkait
dengan
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam terdapat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, UndangUndang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, UndangUndang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang,
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang No.
7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD,
menjelaskan pengertian hak menguasai SDA oleh negara. Sesuai dengan
Penjelasan Umum II/2 UUPA, perkataan "dikuasai" dalam pasal ini bukanlah
berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang
kepada
negara,
sebagai
organisasi
kekuasaan
dari
bangsa Indonesia itu,
untuk pada tingkatan yang tertinggi:
a.
Mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan,
persediaan dan pemeliharaannya;
b.
Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari)
bumi, air dan ruang angkasa itu;
c.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruartg angkasa.
d. Segala
sesuatu
dengan
tujuan
untuk
mencapai
sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan demikian, menurut konsep UUPA, pengertian "dikuasai" oleh
negara bukan berarti "dimiliki", melainkan hak yang memberi wewenang
kepada negara untuk mengatur 3 hal tersebut di atas.
13
Untuk mencapai tujuan pelestarian sumber daya alam, perlu ditetapkan
kebijakan
nasional
atau
peraturan perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaan yang dapat menjamin terlaksananya prinsip-prinsip pengelolaan
hutan secara berkelanjutan. Kelemahan hukum nasional selama ini terletak pada
fungsi
pengaturannya,
artinya
hukum
belum
berfungsi
sebagai
sarana
perubanahan, padahal hukum mempunyai peranan dari fungsi;14
1. Untuk menstrukturkan seluruh proses agar kepastian dan ketertiban
teijamin.
2. Sebagai
mekanisme
tindakan
pengaturan
yang ditekankan
pada
pencegahan dan pemulihan (remedy) seperti : perizinan,
insentif (peringanan pajak) dan denda, hukuman.
3. Untuk
memberikan
pemahaman
kepada
masyarakat
tentang
peraturan perundang-undangan dan ketentuan- ketentuan yang
berlaku. Berdasarkan pendapat di atas, fungsi hukum sebagai control
social
dan
social
engenering
pada
sektor
kehutanan
dapat
menciptakan kesadaran tidak hanya pada masyarakat tetapi juga
kesadaran pemerintah selaku penguasa, sehingga dapat mewujudkan
tujuan pengelolaan hutan secara berkelanjutan..15
BAB III
KESIMPULAN
Pada umumnya masyarakat adat rentan terhadap pelanggaran atau
pengabaian hak asasinya. Oleh sebab itu perlu mendapat perlindungan hukum
khususnya dalam bentuk peraturan pemndang-undangan dari negara. Negara
mempunyai tanggung jawab untuk memajukan, melindungi serta menegakkan
hak asasi manusia terhadap warganya. Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945 yaitu
Perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara terutama pemerintah, jaminan terhadap pelaksanaan
14
Mochtar Kusumaatmadja, Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia Beberapa
Pikiran dan Saran, Cetakan Pertama, Bina Cipta, FH-UNPAD, 1975, hlm 1
15
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,
Alumni, Bandung, 1992, him. 184
14
fungsi dan peranan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam akan
berdampak positif terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Peran serta masyarakat akan menumbuhkan rasa memiliki tanggung jawab
terhadap kelestarian lingkungan hidup. Sehingga masyarakat akan mengawasi
atas pengelolaan sumber daya hutan. Pihak perusahaan sebagai pemegang ijin
usaha
atas
pengusahaan
mempunyai
kewajiban
untuk
memperhatikan
keberadaan masyarakat adat setempat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 dinyatakan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia
masih banyak kelompok penduduk yang rentan terhadap dampak pembangunan
yang negatif. Kelompok penduduk yang rentan diantaranya masyarakat adat. Hal
ini karena masyarakat adat tidak mempunyai kemampuan dana, ilmu maupun
teknologi untuk membentengi kehidupannya dari kerusakan lingkungan. Oleh
karena itu perlu mendapatkan perlindungan dari Negara Indonesia.
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang menghargai dan mengakui
serta mengakomodasi akses, kepentingan dan hak-hak masyarakat adat, maka
pemerintah harus memberikan ruang bagi prinsip-prinsip keadilan, demokrasi,
partisipasi, transparansi, penghargaan dan pengakuan atas kearifan lokal
sebagaimana tercermin dalam sistem pengetahuan, institusi, dan tradisi-tradisi
yang
secara
nyata
hidup
dan
berkembang
dalam
komunitas-komunitas
masyarakat adat. Hak untuk tidak didiskriminasi berhubungan erat dengan
persamaan hak di hadapan hukum. Prinsip keadilan juga menjadi hal yang
penting untuk diperhatikan, baik dalam tataran pembentukan hukum maupun
implementasinya. Prinsip keadilan meliputi aspek-aspek kesejahteraan rakyat,
pemerataan, pengakuan kepemilikan masyarakat adat, dan adanya sanksi bagi
para perusak. Prinsip keadilan ini bertujuan untuk perwujudan penyelenggaraan
pengelolaan sumber daya alam yang menjamin keadilan antar dan intra generasi.
Dengan adanya prinsip ini diharapkan terwujud perlindungan hukum bagi
masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sesuatu yang menarik jika dilihat hubungan antara keadilan (justice)
dengan persamaan (equality). Hubungan di antara keduanya adalah bahwa
15
persamaan merupakan unsur yang paling penting dari keadilan. Persamaan
berkaitan dengan hubungan antar dua manusia atau lebih, dimana perlakuan
yang tidak sama antara mereka akan menghasilkan ketidakadilan. Persamaan
yang dimaksud di sini tidak harus selamanya berarti sama rata, tetapi tergantung
kondisi dan kualifkasi masing-masing individu yang disebut juga persamaan yang
proporsional (proportionate equality). Dengan prinsip persamaan ini, secara
prinsipil hukum harus diterapkan secara sama kepada siapa saja, baik kepada si
kaya maupun kepada si miskin, kepada laki-laki maupun kepada perempuan,
kepada mayoritas maupun kepada golongan minoritas, kepada kulit putih
maupun kepada kulit berwarna. Namun, tidak berarti keadilan hanya mengenai
perlakuan yang sama saja. Memberlakukan hukum yang sama kepada orang
dalam kualifkasi yang berbeda justru dapat menimbulkan ketidakadilan. Jadi,
kualifkasi orang-orang dalam masyarakat tetap dibutuhkan untuk mengukur
suatu keadilan. Siapa pun yang dapat memenuhi kualifkasi yang sama, harus
diberikan hak yang sama pula, di situlah terletak keadilan.
Daftar Pustaka
16
Budijanto, Oki Wahju. “Evaluasi Terhadap Peran Satuan Pamong Praja dalam
Perlindungan Hak
Asasi Manuusia bagi Masyarakat”, Jurnal Hak Asasi
Manusia, vol. 3 No. 2, Desember, 2012, hlm. 4.
Erwiningsih, Winahyu. 2009. Hak Menguasai Negara Atas Tanah. Jakarta: Total
Media.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1975. Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup
Manusia Beberapa Pikiran dan Saran, Bandung: Bina Cipta.
Mongabay Indonesia. Kepungan Tambang Karst Ancam Sumber Mata Air, diakses
dari http://www.mongabay.co.id/2014/06/30/kepungan-tambang-karstancam-sumber-mata-air/ pada tanggal 16 Juni 2014.
Muhtaj, Majda El. 2008. Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya, Jakarta: Rajagrafndo
Nurjaya, I Nyoman. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif
Antropologi Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Rahayu. 2015. Hukum Hak Asasi Manusia. Semarang: Universitas Diponegoro.
Sunarso, Siswanto. 2005. Hukum
Pidana
Lingkungan
Hidup Dan Strategi
Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Rineka Cipta.
UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
Wignjodipoero, Soerojo. 1995. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta:
Gunung Agung.
Wulandari, Dian Agustina. “Pengelolaan Administrasi Tanah Aset Pemerintah
Guna Mendapatkan Kepastian Hukum”, Unnes Law Journal, vol. 4, No.1,
Juli, 2015, hlm.95.
17
Pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan
dan Perlindungan Lingkungan Hidup di Indonesia
MATA KULIAH:
HUKUM LINGKUNGAN (ROMBEL 05)
Disusun Oleh :
1. ADIB NOR FUAD
8111416107
2. ANDO TRI KURNIAWAN
8111416102
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2017
i
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan kasih‐Nya, atas
kami
terima,
serta
anugerah
petunjuk‐Nya
hidup
dan
kesehatan
yang
telah
sehingga memberikan kemampuan dan
kemudahan bagi kami dalam penyusunan makalah ini. Didalam
makalah
ini
kami selaku penyusun hanya sebatas ilmu yang bisa kami sajikan dengan
topik
“Pemenuhan
Hak
Asasi
Masyarakat
Adat
Dalam
Pengelolaan
Dan
Perlindungan Lingkungan Hidup Di Indonesia” sebagai tugas mata kuliah Hukum
Lingkungan Rombel 03. Dimana didalam topik tersebut ada beberapa hal yang
bisa kita pelajari khususnya
pengetahuan
tentang pemenuhan hak asasi
masyarakat adat di dalam kegiatan pengelolaan dan perlindungan lingkungan
hidup dalam lingkum Negara Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih
kepada bapak Ridwan Arifn,. S. H,. L.Lm selaku pengampu mata kuliah Hukum
Lingkungan yang selalu membimbing kami dalam proses menyusunan makalah
ini.
Kami menyadari
bahwa keterbatasan
kami tentang perancangan output
sistem,
pengetahuan
menjadikan
dan pemahaman
keterbatasan
kami
pula untuk memberikan penjabaran yang lebih dalam tentang masalah ini,
kiranya mohon dimaklumi apabila masih terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Harapan
ini
membawa
manfaat
bagi
kita,
setidaknya
kami, semoga
untuk
makalah
sekedar membuka
cakrawala berpikir kita tentang bagaimana merancang sebuah output sistem
dalam kehidupan kita.
Semarang, 10 Oktober 2017
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Cover Depan
i
……………………………………………………………………………………..
Kata Pengantar
ii
……………………………………………………………………………….....
Daftar Isi
iii
…………………………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………
A. Latar Belakang ..…..
1
1
……………………………………………………………………
B. Rumusan Masalah ……………………………..
3
………………………………………
A. C. Metode Penelitian ...…..……………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………………..
A. Defnisi
Masyarakat
Hukum
Adat
……………………..
…………………………….
B.
Pemenuhan
Hak
Asasi
Masyarakat
Adat
Indonesia
……………………………….
BAB III KESIMPULAN DAN PENUTUP ………………………………………………......
Daftar Pustaka
…………………………………………………………………………………...
iii
..
3
4
4
6
13
15
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Pembukaan
Undang-Undang
Dasar 1945 alenia keempat telah
diungkapkan maksud dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia diantaranya
yaitu, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
Dengan
demikian
masyarakat adat harus mendapatkan
perlindungan hukum, agar dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam
yang ada di Indonesia selalu memperhatikan hak-hak masyarakat adat setempat
seperti pemenuhan Hak Asasi Manusia kepada masyarakat adat. Istilah Hak Asasi
Manusia (HAM) merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menggantikan
istilah Human Rights, Karena anggota masyarakat adat seringkali mengalami
pengabaian dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh sekelompok
oknum tertentu ataupun pihak pemerintah sendiri, diantaranya perlakuan teror,
intimidasi dan perlakuan represif oleh oknum-oknum satuan pengamanan dari
perusahaan.
Jika melihat aturan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3),
telah mengamanatkan dan menjelaskan bahwa Bumi, dan air dan kekayaan alam
yang
terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat1. Pengertian sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat menunjukkan bahwa rakyat harus menerima manfaat dari sumber daya
alam yang ada di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup
masyarakat Indonesia itu sendiri.
Negara mempunyai kewajiban untuk mengatur sumber daya alam agar
dimanfaatkan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
rakyat
dan
mencapai
kebahagiaan hidup yang berdasarkan Pancasila dan juga UUD 1945. Oleh karena
itu,
perlu
dilaksanakan
pembangunan
berkelanjutan
lingkungan hidup, berdasarkan kebijaksanaan nasional
menyeluruh
generasi
1
dengan
yang
akan
UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
memperhitungkan
datang.
Untuk
kebutuhan
itu
perlu
yang
berwawasan
yang terpadu dan
generasi
sekarang
melaksanakan
dan
pengelolaan
1
lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang
guna
menunjang
terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup2.
Sebagai
wujud
nyata
tindakan
pemerintah
untuk
menjamin
hak
masyarakat adat yaitu dengan memacu semangat rakyat untuk memanfaatkan
ataupun menggali kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia ini. Salah satu
upaya dari masyarakat yaitu dengan memanfaatkan hak ulayat yang berada
di masing-masing daerah, yang masing- masing berbeda bentuk dan coraknya.
Menyangkut hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, akan
mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya dalam negara Indonesia
dewasa ini, seperti yang tergambar dalam Pasal 3 UUPA yang menentukan :
"Pelaksanaan
hak
ulayat
dan
hak-hak
yang
serupa
itu
dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih
ada,
harus
sedemikian
rupa
sehingga
sesuai
dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan yang lebih tinggi".3
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang menghargai dan mengakui
serta mengakomodasi akses, kepentingan dan hak-hak masyarakat adat, maka
pemerintah harus memberikan ruang bagi prinsip-prinsip keadilan, demokrasi,
partisipasi, transparansi, penghargaan dan pengakuan atas kearifan lokal
sebagaimana tercermin dalam sistem pengetahuan, institusi, dan tradisi-tradisi
yang
secara
nyata
hidup
dan
berkembang
dalam
komunitas-komunitas
masyarakat adat.4 Hak untuk tidak didiskriminasi berhubungan erat dengan
persamaan hak di hadapan hukum. Prinsip keadilan juga menjadi hal yang
penting untuk diperhatikan, baik dalam tataran pembentukan hukum maupun
implementasinya. Prinsip keadilan meliputi aspek-aspek kesejahteraan rakyat,
pemerataan, pengakuan kepemilikan masyarakat adat, dan adanya sanksi bagi
para perusak. Prinsip keadilan ini bertujuan untuk perwujudan penyelenggaraan
pengelolaan sumber daya alam yang menjamin keadilan antar dan intra generasi.
2
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa,
Jakarta:Rineka Cipta, 2005, hlm. 1.
3
Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Jakarta: Total Media, 2009, hlm. 4.
4
I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum, Jakarta,
Prestasi Pustaka, 2008, hal. 45Menjadi
2
Dengan adanya prinsip ini diharapkan terwujud perlindungan hukum bagi
masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sesuatu yang menarik jika dilihat hubungan antara keadilan (justice) dengan
persamaan (equality). Hubungan di antara keduanya adalah bahwa persamaan
merupakan unsur yang paling penting dari keadilan. Persamaan berkaitan dengan
hubungan antar dua manusia atau lebih, dimana perlakuan yang tidak sama
antara mereka akan menghasilkan ketidakadilan. Persamaan yang dimaksud di
sini tidak harus selamanya berarti sama rata, tetapi tergantung kondisi dan
kualifkasi
masing-masing
individu
yang
disebut
juga
persamaan
yang
proporsional (proportionate equality). Dengan prinsip persamaan ini, secara
prinsipil hukum harus diterapkan secara sama kepada siapa saja, baik kepada si
kaya maupun kepada si miskin, kepada laki-laki maupun kepada perempuan,
kepada mayoritas maupun kepada golongan minoritas, kepada kulit putih
maupun kepada kulit berwarna. Namun, tidak berarti keadilan hanya mengenai
perlakuan yang sama saja. Memberlakukan hukum yang sama kepada orang
dalam kualifkasi yang berbeda justru dapat menimbulkan ketidakadilan. Jadi,
kualifkasi orang-orang dalam masyarakat tetap dibutuhkan untuk mengukur
suatu keadilan. Siapa pun yang dapat memenuhi kualifkasi yang sama, harus
diberikan hak yang sama pula, di situlah terletak keadilan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah klasifkasi masyarakat hukum adat ?
2. Apakah pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat dalam Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup di Indonesia sudah terpebuhi ?
C. Metode Penulisan
Penulisan
penelitian
ini
ini
menggunakan
tipe
menggunakan pendekatan
penelitian
hukum
normatif.
normatif
Mengingat
yang
tidak
bermaksud untuk menguji hipotesis, maka titik berat penelitian tertuju pada
penelitian kepustakaan. Biasanya, pada penelitian hukum normatif yang
diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mencakup bahan
hukum primer, sekunder dan tertier. Bahan hukum yang telah diperoleh
3
kemudian diolah dan dianalisis secara
logika
berpikir
secara
normatif
deduksi yang
dengan
menggunakan
didasarkan pada aspek hukum
normatif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Masyarakat Hukum Adat
Jika membahas tentang masyarakat hukum adat terlebih dahulu kita
harus mengetahui defnisi dari adat itu sendiri, dalam buku Soerojo Wignjodipuro
pengantar dan asas-asas hukum adat (hlm.13) Adat merupakan pencerminan
daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada
jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad kea bad. Oleh karena itu, maka tiap
bangsa didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu sama lainnya
tidak sama seperti adat yang ada di Indonesia.5
Pada mulanya, istilah masyarakat hukum adat diperkenalkan oleh van
Vollenhoven untuk menunjukkan warga pribumi (native) atau suku asli Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan keluarnya kebijakan politik Pemerintah Belanda
didasarkan pada Pasal 131 Indische Staatregeling (IS) 1939, maka warga negara
Indonesia ketika itu dibedakan ke dalam warga pribumi (Irlander), Eropa dan Timur
Asing.
Pengakuan
atas
perbedaan
warga
negara
tersebut
membawa
konsekuensi timbulnya keanekaragaman hukum (Pluralstic legal systems).
Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan yang
5
Soerjono Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1995,
hlm. 13.
4
dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya
yang menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Hukum adat juga merupakan hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam
bentuk
perundang-undangan
Republik
Indonesia
yang
di
sana-sini
mengandung unsur agama atau religious. Para ahli hukum adat sepakat bahwa
dalam hukum adat mengandung unsur-unsur keagamaan, dan magis (magic
religious), keajegan (constant), tunai (concrete) dan luwes (fexible).
Isitilah masyarakat adat atau masyarakat hukum adat kemudian
berkembang sebagai “Indigenous people” dalam pengerian hukum internasional,
yaitu sekelompok masyarakat yang terikat dengan sejarah sebelum era
kolonialisasi (colonial continuity), dengan budaya, sosial, ekonomi dan politik
sebagai sesuatu kekhasan (distinctiveness) dari yang “meanstream”. Kelompok
ini adalah kelompok „non-dominance‟ yang mempunyai kecenderungan menjaga
wilayah adat, institusi sosial-budaya, bahasa ibu dan kepercayaan lokal secara
terus menerus.6
Masyarakat hukum adat menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup BAB I Pasal 1 butir 31 adalah, “masyarakat
hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim
di wilayah geografs tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya
hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum”. 7 Pandangan dasar dari
kongres
I
Masyarakat
Adat
Nusantara
tahun
1999
menyatakan
bahwa
“masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul
secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas
tanah dan kekayaan alam, serta kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum
3
adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan
masyarakat”. Secara sederhana dikatakan bahwa masyarakat adat terikat oleh
hukum adat, keturunan dan tempat tinggalnya. International Labour Organization
(ILO) mengkategorikan masyarakat adat sebagai:
6
Martinez Cobo dan UNPFII, tentang tujuh kriteria Indigenous Peoples;http://www.ohchr.org/
Documents/Issues/IPeoples/UNDRIPManualForNHRIs.pdf dan http://www.iwgia.org/culture-andidentity/identification-of-indigenous-peoples
7
UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
5
1. Suku-suku asli yang mempunyai kondisi sosial budaya dan ekonomi yang
berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebuah negara, dan yang
statusnya sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan atau tradisi
atau oleh hukum atau aturan mereka sendiri yang khusus.
2. Suku-suku yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai
suku asli karena mereka merupakan keturunan dari penduduk asli yang
mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa
penjajah,
atau
sebelum
adanya
pengaturan
batas-batas
wilayah
administratif seperti yang berlaku sekarang, dan yang mempertahankan
atau
berusaha
mempertahankan–terlepas
dari
apapun
status
hukum mereka–sebagian atau semua ciri dan lembaga sosial, ekonomi,
budaya dan politik yang mereka miliki. Dalam pengertian itu masyarakat
adat juga dikenal sebagai memiliki bahasa, budaya, agama, tanah dan
teritoriyang terpisah dari kelompok masyarakat lain, dan hidup jauh
sebelum terbentuknya negara bangsa modern.
Konsep dasar tentang masyarakat hukum adat dan hak-haknya dalam
sistem hukum Indonesia terdapat dalam pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 I UUD
1945. Dua pasal ini secara eksplisit menjelaskan pengakuan hak-hak masyarakat
hukum adat, namun tidak menjelaskan secara eksplisit rumusan defnisi
masyarakat hukum adat. Pasal 18 b ayat (2) dan Pasal 28 I menjelaskan posisi
hukum masyarakat hukum adat sebagai subjek hak. Artinya, Konstitusi kita
mengatur jaminan konstitusional atas keberadaan masyarakat hukum adat
sebagai subjek hukum penyandang hak dan kewajiban.
B. Pemenuhan Hak Asasi Masyarakat Adat Indonesia dalam
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
Istilah Hak Asasi Manusia atau yang sering disebut dengan HAM merupakan
istilah yang bias digunakan untuk menggantikan istilah Human Rights, di samping
itu ada juga yang menggunakan istilah fundamental rights atau basic rights.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa melindungi segenap tumpah darah merupan tujuan bangsa. Salah satun
6
bentuk
perlindungannya
adalah
menjamin
keamanan,
ketentraman
dan
ketertiban sesuai norma kehidupan bermasyarakat. Segenap penyelenggaraan
pemerintahan harus berorientasi pada pencapaian tujuan tersebut. Demikian pula
institusi, struktur dan aparatur pemerintahan harus dibentuk dengan tegas, fungsi
serta
kultur
yang
mendukung
penyelenggaraan
pemerintahan,
khususnya
menjamin keamanan, ketentraman, dan ketertiban sosial.8
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto mengartikan HAM sebagai hak-hak
mendasar (fundamental) yang diakui secara universal sebagai hak-hak yang
melekat pada manusia karena hakikatnya dan kodratnya sebagai manusia.
Sementara itu Mulyadi menyatakan bahwa apapun rumusannya, HAM adalah hak
yang melekat secara alamiah (inberent) pada diri manusia sejak manusia lahir,
dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai
manusia yang utuh.9 Berkaitan dengan defnisi HAM, maka sampai saat ini belum
terdapat kesatuan pendapat yang baku mengenai hak asasi manusia yang dapat
diterima secara universal.
Dari sekian banyak hak masyarakat adat, hak atas pengelolaan sumber
daya alam menjadi topik yang menarik karena sumber daya alam memiliki peran
yang besar dalam rangka mempertahankan eksistensi masyarakat adat. Banyak
masyarakat adat di Negara Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada
sumber daya alam yang ada di wilayah kediamannya. Mereka hidup secara
tradisional yang membuat mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup yang
mendasar dari alam sekitarnya. Pendapatan masyarakat adat sebagian besar,
bahkan ada juga yang seluruhnya, berasal dari mengumpulkan atau memproses
sumber daya alam. Bagi masyarakat adat, sumber daya alam merupakan bagian
menyeluruh dari kehidupannya, tidak hanya terbatas sebagai aset ekonomi
semata.
Prinsip umum yang tersembunyi dalam berbagai penerapan konsep
keadilan adalah bahwa para individu dihadapan yang lainnya berhak atas
kedudukan relatif berupa kesetaraan atau ketidaksetaraan tertentu. 10 Akan tetapi,
8
Oki Wahju Budijanto, “Evaluasi Terhadap Peran Satuan Pamong Praja dalam Perlindungan Hak
Asasi Manuusia bagi Masyarakat”, Jurnal Hak Asasi Manusia, vol. 3 No. 2, Desember, 2012, hal. 4.
9
Rahayu Hukum Hak Asasi Manusi hlm 1-2
H. L. A. Hart, Konsep Hukum The Concept Of Law, Bandung, Nusa Media, 2009, hal. 246
10
7
keadilan bukan hanya masalah persamaan perlakuan, atau dengan kata lain,
keadilan tidak hanya menyangkut dengan masalah diskriminasi, tapi jauh lebih
luas lagi dari itu, misalnya keadilan berhubungan juga dengan masalah
pengakuan atas hak-hak dasar manusia. Berkaitan dengan hal tersebut,
perlindungan terhadap hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya
alam bukan berarti negara harus mempersamakan perlakuan antara masyarakat
adat dengan para pengusaha swasta ataupun negara dalam pengelolaan sumber
daya alam. Namun sesuai dengan prinsip non-diskriminasi, tanpa terkecuali
negara harus menjamin pemenuhan hak masyarakat adat dalam pengelolaan
sumber daya alam. Negara harus memberikan porsi yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat adat saat ini dan juga memperhitungkan untuk di masa
yang akan datang demi keberlangsungan eksistensi mereka dan keturunannya.
Negara harus menyediakan sarana atau mekanisme yang memberi akses kepada
rakyat untuk menuntut apabila hak-hak tersebut tidak terpenuhi. 11 Memang
bukan sesuatu yang mudah untuk menjembati antara dua kepentingam, yaitu
kepentingan negara dan kepentingan masyarakat adat. Namun pemerintah harus
tetap menjalankan kewajibannya secara bijak dan adil sehingga dapat terwujud
kesejahteraan tidak hanya bagi segelintir orang saja.
Masyarakat adat memelihara hubungan sejarah dan hubungan kerohanian
dengan sumber daya alamnya di wilayah di mana masyarakat adat tersebut
hidup.
Jika
sumber
daya
alam
terusik,
apalagi
terasingkan
oleh
negara/pemerintah atau pihak ketiga, maka yang akan terancam bukan hanya
kehidupan ekonomi dari masyarakat adat tersebut saja, tetapi juga keseluruhan
eksistensi masyarakat adat itu sendiri. Hak untuk hidup, hak untuk menentukan
nasib sendiri, hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, hak atas kesehatan,
dan berbagai hak asasi manusia lainnya akan ikut dilanggar ketika masyarakat
adat secara tidak adil dipisahkan dari sumber daya alamnya yang secara turun
temurun telah menjadi sumber penghidupan.
Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur mengenai ruang lingkup
sumber daya alam yaitu meliputi meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
11
Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta,
Rajagrafndo, 2008, hal. 15
8
alam yang terkandung di dalamnya. Pasal ini juga mengatur tentang ideologi
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang dikenal dengan ideologi
hak menguasai negara atas sumber daya alam. Hak menguasai negara tersebut
bukan berarti hak untuk memiliki, tetapi suatu pengertian yang mengandung
kewajiban dan wewenang hukum publik kepada negara sebagai organisasi
kekuasaan dari Bangsa Indonesia, dimana wewenang tersebut harus digunakan
untuk tercapainya kemakmuran rakyat Indonesia sendiri. Ideologi hak menguasai
negara ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) menjelaskan bahwa tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada
Bangsa Indonesia, merupakan permukaan bumi, demikian pula tubuh bumi dan
air serta ruang yang ada di atasnya.12
Sumber daya alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara. Sebaiknya hak menguasai negara tersebut
dipergunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Konsep
hak menguasai negara tersebut tidak boleh diartikan secara sempit dan
disalahgunakan sehingga negara dengan hak tersebut mengatur mengenai
pengelolaan sumber daya alam dan menyingkirkan keberadaan masyarakat adat.
Negara/pemerintah
pemenuhan
hak
Negara/pemerintah
memiliki
masyarakat
kewajiban
adat
atas
untuk
melindungi
pengelolaan
dan
sumber
menjamin
daya
alam.
hendaknya lebih memperhatikan keberadaan masyarakat
adat dan hak-hak asasi mereka sebelum memberikan ijin pengelolaan sumber
daya alam kepada pihak pengusaha swasta. Negara/pemerintah harus berlaku
cermat, hati-hati dan penuh itikad baik dalam melaksanakan kewajibannya
melindungi hak masyarakat adat atas pengelolaan sumber daya alam. Dengan
dilaksanakannya kewajiban negara atas hak masyarakat adat dalam pengelolaan
sumber daya alam berarti negara juga melakukan perlindungan terhadap hak
asasi masyarakat adat.
Hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam dalam segi hak
asasinya memiliki cakupan yang luas, tidak hanya hak untuk mengelola sumber
daya alamnya, tetapi juga hak bagi masyarakat adat untuk memperoleh
12
Dian Agustina Wulandari. “Pengelolaan Administrasi Tanah Aset Pemerintah Guna Mendapatkan
Kepastian Hukum”, Unnes Law Journal, vol. 4, No.1, Juli, 2015, hlm.95.
9
perlindungan hukum dalam menikmati hak tersebut sehingga keberlangsungan
hidup mereka pun akan tetap terjamin. Dalam ketentuan menimbang butir b
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)
menyebutkan bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, sehingga harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, tidak boleh diabaikan, tidak boleh dikurangi atau
dirampas oleh siapapun (termasuk oleh negara/pemerintah). Dengan menjadikan
masalah hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sebagai isu
keadilan dan HAM, maka dapat diklaim bahwa masyarakat adat memiliki hak
untuk mengelola sumber daya alam sama seperti pihak-pihak lainnya dan negara/
pemerintah bertanggungjawab untuk merealisasikan hal tersebut.
Namun
sayangnya,
seringkali
masyarakat
adat
tersingkir
ketika
negara/pemerintah dengan hak menguasai yang dimilikinya meminggirkan hak
masyarakat
adat
dalam
pengelolaan
sumber
daya
alam
dengan
alasan
kepentingan nasional. Kompensasi yang diberikan kepada masyarakat adat tidak
seimbang dengan keuntungan yang didapat oleh negara/pemerintah. Bahkan
tidak jarang, alih-alih mendapatkan kompensasi, keberadaan masyarakat adat
malahan tidak diakui oleh negara/pemerintah. Di tengah himpitan globalisasi,
privatisasi dan otonomi daerah, hak-hak masyarakat adat, termasuk hak
masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam sangat terancam. Dalam
banyak kasus, masyarakat adat berada dalam posisi tidak terlindungi oleh
keadilan dan penyelesaian hukum. Mereka kesulitan untuk membela hak-haknya
karena faktor kemiskinan dan kurangnya pendidikan. Masyarakat adat sering
dicap sebagai perusak lingkungan, kelompok masyarakat terbelakang, kuno, dan
berbagai anggapan lainnya terkait aktiftas kehidupan sehari-harinya yang
memanfaatkan sumber daya alam.
Masyarakat adat juga sering dipandang sebagai kelompok masyarakat
penghambat pembangunan ketika mereka berusaha memperjuangkan hakhaknya atas sumber daya alam. Posisi masyarakat adat yang lemah secara politik
dibandingkan
dengan
pengusaha-pengusaha
swasta
maupun
pemerintah
mengakibatkan pengambilalihan sumber daya alam dengan mudahnya oleh
pemerintah tanpa
melalui proses
hukum yang adil, atau bahkan tanpa
10
kompensasi apapun. Sebagai contoh adalah kasus antarawarga Rembang, Jawa
Tengah dengan PT. Semen Indonesia dimulai sejak 16 Juni 2014 lalu. Saat itu PT
Semen
Indonesia
mulai
meletakkan
batu
pertama
pembangunan
pabrik.
Pembangunan pabrik tersebut menuai kontroversi panjang. Sebagian penduduk
Pegunungan
Kendeng
Utara
menolak
rencana
pembangunan
tersebut.
Masyarakat lokal pun melakukan penolakan. Penolakan tersebut dengan alasan
bahwa pembangunan pabrik semen yang akan menambang batu gamping di
pegunungan kars akan mengancam ketahanan pangan dan ketersediaan air yang
telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.
Upaya penambangan di kawasan karst Watuputih dinilai sejumlah kalangan
merupakan sebuah bentuk pelanggaran. Penggunaan kawasan karst Watuputih
sebagai tempat penambangan batu kapur, melanggar Perda Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah nomor 06/2010. Pasal 63 perda tersebut
menetapkan
areal
menjadi
kawasan
lindung. 13
Pemberitaan
yang
dimuat
Mongabay.co.id pada tanggal 16 Juni 2014 menyebutkan bahwa penebangan
kawasan hutan tidak sesuai dengan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan
hutan oleh Menteri Kehutanan. Surat Nomor S. 279/Menhut-II/2013 tertanggal 22
April 2013, dalam surat tersebut menyatakan bahwa kawasan yang diijinkan
untuk ditebang adalah kawasan hutan KHP Mantingan. Perlu diketahui dalam
Perda no 14 tahun 2011 tentang RTRW Kab. Rembang Kecamatan Bulu tidak
diperuntukkan sebagai kawasan industri besar.
Mengacu pada pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi, air dan
ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat” maka
sudah sewajarnya warga Rembang merasa diresahkan dan berujung penolakan
atas pembangunan pabrik semen PT Semen Indonesia. Semestinya sumber daya
alam dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat bukan melahirkan
ketimpangan kepentingan antara pengusaha pabrik dan petani. Dilihat dari kasus
– kasus sebelumnya, penambangan dan pembangunan pabrik yang sedemikian
rupa dapat mempersempit lahan pertanian lalu menurunkan produktivitas
13
Mongabay.co.id pada tanggal 16 Juni 2014
11
pertanian pada wilayah tersebut hingga bagian terburuknya adalah menyebabkan
lemahnya ketahanan pangan daerah dan nasional.
Pembangunan
proyek
tersebut
juga
dapat
menyebabkan
kerusakan
lingkungan di sekitar, terganggunya keseimbangan ekosistem, hilangnya daerah
resapan air, dan pencemaran limbah yang terjadi akibat proses produksi semen.
Dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup disebutkan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan berperan aktif
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang artinya masyarakat
berhak menolak segala macam tindakan asing yang dapat membahayakan
keberlangsungan lingkungan hidup mereka. Dalam kasus ini, jika dikaitkan
dengan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), telah dijelaskan segala hal
tentang tanah termasuk didalamnya ditegaskan bahwa tanah Indonesia adalah
seluruhnya untuk kemakmuran bangsa bukan untuk kemakmuran asing. Konfik di
Rembang menunjukkan adanya kelalaian serta ketidakpedulian pemerintah
terhadap nasib petani di daerah tersebut. Pemerintah mencegah adanya usahausaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dari perseorangan yang
bersifat monopoli swasta.
Menyikapi konfik tersebut, Komnas HAM sejak Juni 2015 telah membentuk
Tim Pemantauan dan Penyelidikan Pemenuhan HAM Masyarakat di Sekitar
Kawasan Karst. Tim yang dipimpin oleh Komisioner Muh. Nurkhoiron tersebut
hampir menyelesaikan laporannya untuk disampaikan ke Presiden dan pihakpihak terkait, tentang pelestarian ekosistem karst dan perlindungan HAM. Dalam
kajian itu, disimpulkan bahwa Pulau Jawa tidak layak lagi sebagai wilayah untuk
penambangan, karena daya dukungnya yang sudah sangat terbatas dan padat
oleh penduduk. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah membuat
Indeks Kebencanaan di masing-masing kabupatan/kota yang memetakan wilayah
rawan bencana di Indonesia khususnya di Pulau Jawa yang rentan oleh berbagai
bencana. Pembangunan pabrik semen yang disertai dengan penambangan batu
gamping dikhawatirkan akan menambah kerentanan bencana itu.
Selain itu, disampaikan tentang masih lemahnya data tentang dampak
pabrik semen bagi kesehatan dan penghidupan masyarakat. Padahal, banyak
pabrik semen yang telah beroperasi sejak puluhan tahun, akan tetapi kajian atas
12
dampak-dampaknya, masih belum dilakukan secara komprehensif. Padahal di
China, ratusan pabrik semen telah ditutup karena menjadi sumber polutan yang
besar dan sangat serius.
Di
Indonesia,
peraturan
perundang-undangan
yang
terkait
dengan
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam terdapat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, UndangUndang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, UndangUndang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang,
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Undang-Undang No.
7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD,
menjelaskan pengertian hak menguasai SDA oleh negara. Sesuai dengan
Penjelasan Umum II/2 UUPA, perkataan "dikuasai" dalam pasal ini bukanlah
berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang
kepada
negara,
sebagai
organisasi
kekuasaan
dari
bangsa Indonesia itu,
untuk pada tingkatan yang tertinggi:
a.
Mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan,
persediaan dan pemeliharaannya;
b.
Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari)
bumi, air dan ruang angkasa itu;
c.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruartg angkasa.
d. Segala
sesuatu
dengan
tujuan
untuk
mencapai
sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan demikian, menurut konsep UUPA, pengertian "dikuasai" oleh
negara bukan berarti "dimiliki", melainkan hak yang memberi wewenang
kepada negara untuk mengatur 3 hal tersebut di atas.
13
Untuk mencapai tujuan pelestarian sumber daya alam, perlu ditetapkan
kebijakan
nasional
atau
peraturan perundang-undangan dan peraturan
pelaksanaan yang dapat menjamin terlaksananya prinsip-prinsip pengelolaan
hutan secara berkelanjutan. Kelemahan hukum nasional selama ini terletak pada
fungsi
pengaturannya,
artinya
hukum
belum
berfungsi
sebagai
sarana
perubanahan, padahal hukum mempunyai peranan dari fungsi;14
1. Untuk menstrukturkan seluruh proses agar kepastian dan ketertiban
teijamin.
2. Sebagai
mekanisme
tindakan
pengaturan
yang ditekankan
pada
pencegahan dan pemulihan (remedy) seperti : perizinan,
insentif (peringanan pajak) dan denda, hukuman.
3. Untuk
memberikan
pemahaman
kepada
masyarakat
tentang
peraturan perundang-undangan dan ketentuan- ketentuan yang
berlaku. Berdasarkan pendapat di atas, fungsi hukum sebagai control
social
dan
social
engenering
pada
sektor
kehutanan
dapat
menciptakan kesadaran tidak hanya pada masyarakat tetapi juga
kesadaran pemerintah selaku penguasa, sehingga dapat mewujudkan
tujuan pengelolaan hutan secara berkelanjutan..15
BAB III
KESIMPULAN
Pada umumnya masyarakat adat rentan terhadap pelanggaran atau
pengabaian hak asasinya. Oleh sebab itu perlu mendapat perlindungan hukum
khususnya dalam bentuk peraturan pemndang-undangan dari negara. Negara
mempunyai tanggung jawab untuk memajukan, melindungi serta menegakkan
hak asasi manusia terhadap warganya. Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945 yaitu
Perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara terutama pemerintah, jaminan terhadap pelaksanaan
14
Mochtar Kusumaatmadja, Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia Beberapa
Pikiran dan Saran, Cetakan Pertama, Bina Cipta, FH-UNPAD, 1975, hlm 1
15
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,
Alumni, Bandung, 1992, him. 184
14
fungsi dan peranan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam akan
berdampak positif terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Peran serta masyarakat akan menumbuhkan rasa memiliki tanggung jawab
terhadap kelestarian lingkungan hidup. Sehingga masyarakat akan mengawasi
atas pengelolaan sumber daya hutan. Pihak perusahaan sebagai pemegang ijin
usaha
atas
pengusahaan
mempunyai
kewajiban
untuk
memperhatikan
keberadaan masyarakat adat setempat dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 dinyatakan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam kehidupan masyarakat Indonesia
masih banyak kelompok penduduk yang rentan terhadap dampak pembangunan
yang negatif. Kelompok penduduk yang rentan diantaranya masyarakat adat. Hal
ini karena masyarakat adat tidak mempunyai kemampuan dana, ilmu maupun
teknologi untuk membentengi kehidupannya dari kerusakan lingkungan. Oleh
karena itu perlu mendapatkan perlindungan dari Negara Indonesia.
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang menghargai dan mengakui
serta mengakomodasi akses, kepentingan dan hak-hak masyarakat adat, maka
pemerintah harus memberikan ruang bagi prinsip-prinsip keadilan, demokrasi,
partisipasi, transparansi, penghargaan dan pengakuan atas kearifan lokal
sebagaimana tercermin dalam sistem pengetahuan, institusi, dan tradisi-tradisi
yang
secara
nyata
hidup
dan
berkembang
dalam
komunitas-komunitas
masyarakat adat. Hak untuk tidak didiskriminasi berhubungan erat dengan
persamaan hak di hadapan hukum. Prinsip keadilan juga menjadi hal yang
penting untuk diperhatikan, baik dalam tataran pembentukan hukum maupun
implementasinya. Prinsip keadilan meliputi aspek-aspek kesejahteraan rakyat,
pemerataan, pengakuan kepemilikan masyarakat adat, dan adanya sanksi bagi
para perusak. Prinsip keadilan ini bertujuan untuk perwujudan penyelenggaraan
pengelolaan sumber daya alam yang menjamin keadilan antar dan intra generasi.
Dengan adanya prinsip ini diharapkan terwujud perlindungan hukum bagi
masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sesuatu yang menarik jika dilihat hubungan antara keadilan (justice)
dengan persamaan (equality). Hubungan di antara keduanya adalah bahwa
15
persamaan merupakan unsur yang paling penting dari keadilan. Persamaan
berkaitan dengan hubungan antar dua manusia atau lebih, dimana perlakuan
yang tidak sama antara mereka akan menghasilkan ketidakadilan. Persamaan
yang dimaksud di sini tidak harus selamanya berarti sama rata, tetapi tergantung
kondisi dan kualifkasi masing-masing individu yang disebut juga persamaan yang
proporsional (proportionate equality). Dengan prinsip persamaan ini, secara
prinsipil hukum harus diterapkan secara sama kepada siapa saja, baik kepada si
kaya maupun kepada si miskin, kepada laki-laki maupun kepada perempuan,
kepada mayoritas maupun kepada golongan minoritas, kepada kulit putih
maupun kepada kulit berwarna. Namun, tidak berarti keadilan hanya mengenai
perlakuan yang sama saja. Memberlakukan hukum yang sama kepada orang
dalam kualifkasi yang berbeda justru dapat menimbulkan ketidakadilan. Jadi,
kualifkasi orang-orang dalam masyarakat tetap dibutuhkan untuk mengukur
suatu keadilan. Siapa pun yang dapat memenuhi kualifkasi yang sama, harus
diberikan hak yang sama pula, di situlah terletak keadilan.
Daftar Pustaka
16
Budijanto, Oki Wahju. “Evaluasi Terhadap Peran Satuan Pamong Praja dalam
Perlindungan Hak
Asasi Manuusia bagi Masyarakat”, Jurnal Hak Asasi
Manusia, vol. 3 No. 2, Desember, 2012, hlm. 4.
Erwiningsih, Winahyu. 2009. Hak Menguasai Negara Atas Tanah. Jakarta: Total
Media.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1975. Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup
Manusia Beberapa Pikiran dan Saran, Bandung: Bina Cipta.
Mongabay Indonesia. Kepungan Tambang Karst Ancam Sumber Mata Air, diakses
dari http://www.mongabay.co.id/2014/06/30/kepungan-tambang-karstancam-sumber-mata-air/ pada tanggal 16 Juni 2014.
Muhtaj, Majda El. 2008. Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya, Jakarta: Rajagrafndo
Nurjaya, I Nyoman. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif
Antropologi Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Rahayu. 2015. Hukum Hak Asasi Manusia. Semarang: Universitas Diponegoro.
Sunarso, Siswanto. 2005. Hukum
Pidana
Lingkungan
Hidup Dan Strategi
Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Rineka Cipta.
UU No.32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
Wignjodipoero, Soerojo. 1995. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta:
Gunung Agung.
Wulandari, Dian Agustina. “Pengelolaan Administrasi Tanah Aset Pemerintah
Guna Mendapatkan Kepastian Hukum”, Unnes Law Journal, vol. 4, No.1,
Juli, 2015, hlm.95.
17