Pembangunan Desa Diskursus atas Hegemoni

-w@*a>

w
SEMINAR & LOKAKARYA NASIONAL 20 I6
INDON ESIAN ASSOCIATION FOR
PUBLIC ADM INISTRATION SU MUT-NAD

**

px h,$s r rx mAN&eru

x

ru*w$x

LiNYeJ K pXyX m&NGUr\*&N mm$&

Y&exffi sxKKxlerujuT&uru"

EDITOR:
Dr. Tunggul Sihombing, M.A

Asima Yanty Siahaafl, M.A, P.hD

Siti Hajar, S.Sos, M.SP
Prof. Dr. Erika Revida, M.S

INOVASI YANG BERWAWASAN LOCAL WISDOM DALAM
MENINGKATKAN PEMBANGLNAN DESA
R. Sally Marisa

Sihombing

..........219

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR (PPD DESA LAFEU
KECAMATAN BUNGKU PESISIR KABUPATEN MOROWALI
PROVINSI SULAWESI TENGAH
Roma

Tressa.......


........230

PERBANDINGAN PEMBANGLINAN PEDESAAN
RIAU DAN NEGERI SELANGOR MALAYSIA
Rodi Wahyudi, Muammar

Alkadafi

DI

PROVINSI
...............242

MOTIVASI KERJA PERANGKAT DESA: PENDEKATAN TINTUK
GOOD GOVERNANCE
Selfi Budi

Helpiastuti


...................265

MENINGKATKAN KAPABILITAS KELEMBAGAAN DESA UNTUK
PEMBANGUNAN DESA YANG BERKELANJUTAN
Simson

Ginting

..........272

PENGUATAN SDM DESA MELALUI KARYA INOVATIF
PENGOLAHAN BAHAN PANGAN DI DESA BALESARI
KECAMATAN WINDUSARI KABUPATEN MAGELANG PROVINSI
JAWA TENGAH
Sri Mulyani ................
...........,......291
PENGELOLAAN ASET DESA BERBASIS PETA BIDANG TANAH
PARTISIPATIF

Sutaryono


...................295

PEMBANGTINAN DESA: DISKURSUS ATAS HEGEiUONI..KOTA,,,
MARJINALISASI PEDESAAN, DAN KUASA PENGETAHUAN

LOKAL
Tomi Setiawan .............
PENGELOLAAN DANA DESA DI INDONESIA
(Antara Harapan Dan Kenyataan)
Yanhar Jamaluddin

.....312

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
(TNP2K) Dr KEC.TANJi-TNGANOM KAB.N'GANJUK
(Tentang Analisis Penerapan Peraturan Nomor 166 Tahun 2014)
Yenik Pujowati...
........325


PROSIDING

I

SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT

- NAD 2016

vlr

Pembangunan Desa: Diskursus atas Hegemoni “Kota”, Marjinalisasi
Pedesaan, dan Kuasa Pengetahuan Lokal
Tomi Setiawan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21 Jatinangor-Sumedang
Email: tomi.setiawan@unpad.ac.id
Abstract
The genesis of Law Number 6 of 2014 about The Village, bolster the theory that the village is a
political object of the "actors" as the culmination of the phenomenon of urban backwash effect.
Unfortunately in later period it is found that the benefits of economic growth was only concentrated

in urban areas (net capital outflow), brain drain, and a variety of resource transfer turned out to
not only benefit urban areas, but also unable to push the growth of the village. The opening of access
to rural areas often push urban elite actors, government officials, and entrepreneurs are scrambling
to take control and exploit existing resources in the village. On the other hand, it is undeniable that
in the structure of the 'hierarchy-region', growth occurred at the village level, but also followed by
the increase in inequality, and the poverty rate is more difficult to decrease. Overall rural
marginalization can be seen in the perspective of theory of sovereignty erosion, in which local
sovereignty in setting the order of life systematically eroded by the mechanisms of socio-economic
setting-of global politics. Meanwhile, in the present, the term rural development by the bottom-up
mechanism is not something new. But it also, afterwards partially led to the term 'public
participation' or 'planning from below' as an alternative to improve the pattern of development that
has been happening. Conception of ‘bottom-up’ also can be used to hinder development model
ever, by introducing a local study approach (self-development).
Keywords: rural marginalization, city hegemony, power of knowledge.

Manusia menciptakan sejarah mereka sendiri, tetapi
mereka tidak menciptakannya sebagaimana yang mereka
senangi. Mereka tidak menciptakannya dalam keadaan
dimana mereka bisa memilih sendiri, tetapi dalam
keadaan yang secara langsung bertemu dari masa lalu.

Tradisi dari semua yang telah meninggal, menghimpit
seperti sebuah mimpi buruk dalam otak kehidupan.
(Marx, 1852)

Pendahuluan: Hegemoni “Kota” atas Desa.
Desa1 secara etimologi berasal dari kata bahasa Sanskerta yaitu “deshi” yang berarti
tanah kelahiran (mother land). Sedangkan dalam terminologi kontemporer desa memiliki
keragaman makna. Lipton dan Moore (1981) memberikan variasi dari keberagaman definisi
dengan melihat karakteristik pencirinya (yang membedakannya dengan terminologi kota),
yaitu : (1) desa dalam konteks kondisi ekologis dan lanscape, (2) jumlah dan kepadatan
penduduk, (3) pola aktivitas ekonomi, (4) fungsi ekonomis dalam konteks geografiekonomi, (5) pola interaksi masyarakat.
Secara faktual pemberian istilah pada masyarakat pedesaan sering digambarkan
sebagai satu kelompok masyarakat yang bertumpu pada aktivitas yang berbasis pada sumber
daya alam. Ciri-ciri desa secara dalam koteks sosial (sosiologis) juga dapat dilihat dari
beberapa hal yang membedakannya dengan kota yaitu: (a) adanya kelompok primer
(kelompok dengan mata pencaharian sama dalam satu kawasan tertentu), (b) komunikasi
1

Menurut Kartohadikoesoemo (1982) istilah desa hanya dikenal di Jawa, Madura, dan Bali.


PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016

304

antar keluarga terjalin secara langsung, dan informal, (c) kelompok atau asosiasi dibentuk
atas dasar faktor geografis, (d) hubungan lebih bersifat mendalam dan langgeng (kohesif),
(e) kehidupan sehari-hari ditandai dengan homogenitas, dan (f) keluarga lebih ditekankan
sebagai unit ekonomi2.
Tidak dapat dipungkiri lahirnya Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
menguatkan teori bahwa desa merupakan objek politik dari “aktor-aktor” perkotaan sebagai
puncak dari fenomena backwash efect. Fenomena ini menurut Hunt (1989) tidak lepas dari
kekeliruan praktek pembangunan yang diintroduksi oleh Arthur W. Lewis dalam ‘dual
sectors model in developmental economic theory’ yang menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi dan modernisasi pembangunan dapat didorong bila terjadi transfer surplus dari
kawasan pertanian di pedesaan, ke industri di perkotaan. Wujud transfer surplus yang terjadi
adalah sumber daya manusia (tenaga kerja), modal, dan sumber daya lainnya yang ada di
pedesaan atas nama kepentingan pembangunan.
Celakanya pada masa-masa selanjutnya ditemukan fakta bahwa manfaat
pertumbuhan ekonomi ternyata hanya terkonsentrasi di perkotaan saja. Aliran modal (net
capital outflow), brain drain, dan berbagai transfer sumber daya ternyata bukan hanya

menguntungkan perkotaan saja, tetapi juga tidak mampu mendorong pertumbuhan desa.
Bahkan potensi desa semakin menurun, pedesaan menjadi semakin miskin dan tertinggal
seiring dengan semakin berkurangnya kapasitas sumber daya pedesaan. Kecenderungan ini
akan meningkatkan ketergantungan desa terhadap ekonomi kota dan pada akhirnya desa
hanya sekedar menjadi objek dari aktor perkotaan.3
Terbukanya akses ke kawasan pedesaan sering kali mendorong aktor elit kota,
pejabat pemerintah, dan pengusaha berebut untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber
daya yang ada di desa. Sementara masyarakat desa tidak berdaya untuk berperan dalam
mengelola sumber dayanya karena posisi tawar yang lebih rendah dibanding dengan pelaku
eksploitasi tersebut. Letak geografis pedesaan yang memiliki kedekatan dengan kota juga
tidak secara otomatis meningkatkan aksesibilitas masyarakat desa ke sumber daya ekonomi
yang ada di perkotaan. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, aktor perkotaan menjadi lebih
dapat mengeksploitasi sumber daya yang dimiliki masyarakat pedesaan.
Secara khusus Harvey (2010) menjelaskan pada kondisi-kondisi tersebut dengan
‘theory of capital bondage’ atau ‘the spatial range of goods theory’, bahwa
ketidakseimbangan ini bisa saja terjadi antar sektor dan antar wilayah dan bussiness cycle
dan resesi tingkat lokal bisa terjadi. Pada kondisi dimana akses ke-input lebih murah
dibandingkan akses ke-output, meskipun perluasan sama pentingnya untuk menghasilkan
keuntungan secara terbuka. Maka implikasinya adalah ekspansi ke wilayah-wilayah nonkapitalistik bukan saja untuk perdagangan, tetapi lebih penting untuk membuat terjadinya


2

Dalam konteks sosiologis ini juga Sayogyo (2007) mempertegas bahwa, desa di Jawa berbeda sekali dengan
di luar Jawa, baik besarannya, susunannya, dan hubungan sosialnya. Walaupun beberapa ciri seperti
keakraban, tolong-menolong, dan keterikatan pada tempat pemukimannya sama.
3
Berdasarkan data BPS, jika di tahun 1980, sekitar 78% penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan, maka
kondisi tersebut kini justru mengalami kebalikan. Penduduk desa masih berkisar di angka 120 juta jiwa,
sementara penduduk yang tinggal di perkotaan justru mengalami kenaikan hingga empat kali lipat, dari 32,76
juta jiwa menjadi sekitar 123,12 juta jiwa. Jika tren urbanisasi tetap seperti saat ini, maka di tahun 2025 nanti
sekitar 65% penduduk akan berada di kota, sementara sisanya akan berdiam di pedesaan dengan mayoritas
usia non-produktif dan senja. Lihat dalam http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/urbanisasi-paska-lebaran-danapbn-2016.

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016

305

penetrasi kapital dalam berinvestasi dengan memanfaatkan tenaga kerja yang lebih murah,
bahan mentah yang melimpah, tanah yang berbiaya rendah, dan seterusnya4.
Aspek lain terkait hegemoni “kota” atas desa ini adalah apa yang dikenal dengan

‘siphoned out of pheripheral society and into global ciruit capital’, yaitu ketertinggalan
pedesaan sebagai akibat melakukan spesialisasi pada satu komoditas pertanian atau sumber
daya alam untuk melayani perkotaan (Armstrong dan McGee, 1985). Akibatnya kemudian
banyak desa yang akhirnya justru menjadi pasar bagi berbagai produk korporasi. Produk itu
di antaranya sarana produksi pertanian dan bahan makanan. Struktur ekonomi desa menjadi
semakin bergantung pada korporasi dan kota. Desa yang pada masa lalu merupakan daerah
penghasil atau produsen kini menjadi konsumen. Masyarakat petani, juga sudah banyak
beralih dari sektor pertanian ke non-pertanian, terutama perdagangan mikro dengan cara
membuka warung kelontong di desa. Kemudian mereka menjual produk-produk dari kota.
Hasilnya adalah uang yang masuk ke desa bertambah banyak. Namun pada saat yang sama,
akibat struktur ekonomi desa yang kian bergantung pada korporasi dan kota tersebut, uang
di desa cepat mengalir kembali ke kota yang pada akhirnya, kota dan korporasilah yang
sebenarnya lebih diuntungkan dan kemudian melanggengkan hegemoni aktor-aktor kota atas
desa.
Transformasi atau Marginalisasi Pedesaan?
Selain menjadi objek “politik” [melalui berbagai kebijakan dan programprogramnya] dari aktor-aktor “kota”, dalam berbagai perubahan ekonomi di pedesaan,
proses ekspansi kapital juga menjadi pemicu terjadinya marjinalisasi pedesaan. Proses ini
terjadi baik akibat bekerjanya faktor-faktor endogen seperti makin mengecilnya land-man
ratio5, munculnya kerja upah, peningkatan penduduk, maupun karena desakan kekuatan
eksogen seperti hadirnya komersialisasi, monetisasi pertanian, difusi teknologi, peningkatan
aksesibilitas jaringan transportasi dan komunikasi.
Selama lebih dari dua dasawarsa terakhir ini desa mengalami akselerasi dalam pola
perubahan sosialnya. Akselerasi perubahan dapat dilihat dalam skala intensitas, tempo
ataupun dimensi-dimensinya. Cakupannya pun tidak hanya fisik ekonomis tetapi juga
dimensi sosio-teknik, tata nilai pengetahuan, dan aksesibilitas spasial. Berbagai bentuk dan
pola perubahan sosial di pedesaan yang terjadi lahir dari pemikiran teknokratis aktor kota
melalui rekayasa sosial (social enginering) yang terencana.6 Oleh karenanya perubahan
sosial di pedesaan tidak lagi value-free, political-free, maupun idiological-free, karena
sejatinya sampai saat ini tunduk pada ideologi developmentalism. Dengan demikian, proses
perubahan yang terjadi merupakan refleksi dari ideologi pembangunanisme yang dianut oleh
negara dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya7.
Pada saat yang sama, atas nama pertumbuhan, agenda pembangunan ekonomi suatu
negara diintervensi oleh skenario lembaga-lembaga keuangan internasional. Melalui
4

Pada koteks ini, Tjondronegoro (2008) juga menolak konsep shared property, dan kemudian berargumen
bahwa pemiskinan (improverishment) sudah terang terjadi hanya dalam hubungan kota-desa.
5
Terdapat ketimpangan rasio lahan-perpenduduk (land-man ratio) antara Jawa dan di luar Jawa. Sebagai
perbandingan, rasio lahan sawah terhadap penduduk di Jawa sebesar 0,024 ha per penduduk, semantara di
Kalimantan sebesar 0,077 ha per penduduk. Lihat dalam www.litbang.pertanian.go.id/buku/konversifragmentasi-lahan/BAB-V-1.pdf.
6
Dalam pandangan lain misalnya Sosialismanto (2001) menjelaskan bahwa realitas ini akan menunjukkan
gejala yang nyata di negara berkembang dalam hal penerapan kebijakan pembangunan yang diterapkan di
pedesaan, seperti meng-gejalanya introduksi teknologi mekanisasi pertanian, serta masuknya lembagalembaga politik dan ekonomi di pedesaan yang disusun oleh negara secara teknokratik-birokratis.
7
Pada titik ini juga kemudian aktor “kota” menempatkan dirinya dalam posisi sentral yang akan mendominasi
pola dan bentuk perubahan ekonomi-politik pedesaan.

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016

306

mekanisme bantuan pembangunan (yang sebetulnya adalah hutang dan pinjaman), negaranegara maju juga memasukkan kepentingan dan agenda mereka ke dalam kebijakankebijakan pemerintah negara-negara berkembang8. Karena negara maju tersebut merupakan
pemegang saham mayoritas pada lembaga-lembaga keuangan tersebut, mereka dapat dengan
leluasa memaksa negara penerima bantuan untuk mengikuti kemauannya. Hancock (2005),
menjelaskan bahwa rakyat akar rumput di dunia ketiga tidak banyak menikmati hasil
“industri pembangunan”. Alih-alih menikmati, mereka sering dirugikan atau menderita
dampak negatif dari proyek-proyek raksasa yang dibiayai IMF, Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia, atau badan-badan keuangan lainnya dari kerja sama dengan negara
kaya.
Lebih lanjut Khudori (2004) menjelaskan bahwa ketiadaan strategi dan kebijakan
negara pasca AoA 1995, telah membuat sektor pertanian pedesaan semakin remuk.
Celakanya lagi, keadaan ini diperburuk dengan naiknya impor produk-produk pertanian
dengan cepat, dan sebaliknya tidak terjadi peningkatan ekspor pertanian secara menyeluruh.
Impor produk-produk pertanian Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan
dengan rata-rata volume impor 3,2 juta ton setiap tahunnya. Konsekuensi
termarginalisasinya petani dengan semakin numpuknya angka impor ini adalah dengan
ditandai tidak imbangnya harga jual hasil produksi pertanian (output pertanian) dengan biaya
produksi (input pertanian) dan juga laju inflasi. Kondisi ini diperparah dengan dicabutnya
subsidi atas input-input pertanian, hal ini juga yang kemudian menyebabkan turunnya
produktivitas pertanian karena pertanian pedesaan terlanjur diarahkan pada sistem
konvensional yang berasupan tinggi (high external input). Dampak lainnya adalah, bukan
saja hama dan penyakit merajalela tanpa ampun, tetapi juga biaya produksi yang semakin
melambung tinggi, dan akibatnya petani terus-menerus merugi (Arifin, 2013). Demikian
pula dengan modernisasi pertanian melalui mekanisasi teknologi pertanian telah memaksa
sebagian petani untuk terus menerus memupuk modal agar bisa melakukan proses
reproduksi kapital.
Dengan kata lain, secara subjektif petani saat ini hanya sebagai “perakit”, bukan lagi
produsen yang otonom. Sementara bagi desa sendiri, sebagai struktur terbawah pada
piramida struktur ekonomi, tetap miskin. Orang desa harus bekerja keras untuk mendapatkan
penghasilan, dengan input produksinya semua dari kota. Disisi lain, tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam struktur ‘hierarki wilayah’, desa kemudian menjadi tumbuh, akan tetapi diikuti
juga dengan kesenjangan yang semakin meningkat, dan angka kemiskinan yang semakin
sulit untuk ditekan. Dalam hierarki wilayah kota secara lebih luas, kota-kota menjadi
berkembang karena mendapatkan migrasi buruh murah dari pedesaan. Sementara bagi
masyarakat pedesaan pada umumnya, mereka tetap dalam kemiskinan dan tereksploitasi
secara berlebih, yang mengakibatkan perekonomian desa semakin termarjinalisasi, dan
secara perlahan-lahan mengalami keterpurukan secara sistematis. Keseluruhan marjinalisasi
pedesaan ini dapat dilihat dalam perspektif ‘theory of sovereignty errosion’ (Fukuyama,
2004) dimana kedaulatan lokal dalam pengaturan tatanan kehidupan tererosi secara
sistematis oleh mekanisme-mekanisme pengaturan sosial-ekonomi-politik global.
8

Pada konteks marginalisasi pedesaan, tesis tadi dapat dijelaskan dengan mengambil contoh pengalaman
dimasa Orde Baru yang pernah mengintroduksi kebijakan revitalisasi pertanian pedesaan dengan nama
‘Revolusi Hijau’. Kebijakan ini pada awalnya menjanjikan peningkatan hasil produksi pertanian, akan tetapi
kemudian diketahui bahwa kebijakan ini sebetulnya merupakan bagian grand scenario negara-negara maju
sebagai satu upaya untuk memperluas ekspansi pasar industri kimianya. Akibatnya, hingga sekarang petani
Indonesia ketergantungan pada pupuk kimia, pestisida, dan bahan-bahan kimiawi lainnya demi meningkatkan
hasil produksi pertanian

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016

307

Sementara itu, dengan semakin terbukanya topeng kejahatan lembaga-lembaga
keuangan internasional, negara-negara maju pada saat ini telah memiliki strategi baru
sebagai suatu modus ekspansi kapital melalui berbagai industri pertanian dan kehutanan
skala besar dengan berbagai bentuk dan nama. Sehingga, barangkali tidak salah apabila
kemudian saat ini dikatakan revitalisasi pembangunan melalui peningkatan beragam
investasi asing ala Jokowi sebagai jargon baru rezim penguasa baru di Indonesia, tidak lain
adalah sistem kapitalisme internasional yang dikemas dalam bungkus baru. Yang menurut
Sowell (1984) dijelaskan bahwa sistem kapitalisme ini lebih dari sekedar sistem ekonomi,
karena sejatinya kapitalisme merupakan sistem kekuasaan dimana kekuatan-kekuatan politis
yang diubah menjadi relasi-relasi ekonomi. Kemudian, Bachriadi (1995) juga telah
mengingatkan bahwa terbukanya peluang investasi untuk pihak swasta di sektor pertanian
di Indonesia, akan menjadi pintu masuk bagi perusahaan-perusahaan multinasional untuk
memulai kembali proses penetrasi kapital pada sektor ini secara intensif dan besar-besaran
Oleh karena itu, kesadaran akan adanya sistem kapitalisme gaya baru ini harus
dijadikan titik pangkal dalam berpikir untuk mendalami penetrasi kapital yang semakin
memenjarakan aktivitas ekonomi di Indonesia [dan secara khusus di pedesaan]. Selain hal
tersebut, menurut Chambers (1987) perlu dipahami juga bahwa pembangunan pedesaan
yang terjadi sampai dengan saat ini merupakan ekspansi kapital yang memiliki logikanya
sendiri, dimana proses dan desain kebijakan pembangunan pedesaan dibuat oleh para
teknokrat-birokratis yang selalu tunduk pada penguasa kapital. Dalam konteks global,
Dharmawan (2011) memberikan gambaran kondisi desa yang menjadi ajang perebutan
kepentingan sosial-ekonomi-politik berakibat pada ‘local authority loss’ dalam menentukan
arah perkembangannya sendiri. Kemudian, tesis tentang beradunya the strong state dan the
weak state pada arena pertarungan global akan menyeret desa pada arus kuat politik yang
akan mempengaruhi derajat kedaulatannya dalam menata kehidupan entitas sosial yang
diayominya.
Kuasa Pengetahuan Lokal dalam Transformasi Pedesaan.
Istilah pembangunan pedesaan secara botom-up pada saat sekarang memang
bukanlah sesuatu hal yang baru9. Tetapi hal itu jugalah yang kemudian secara parsial
memunculkan istilah ‘partisipasi masyarakat’ ataupun ‘perencanaan dari bawah’ sebagai
alternatif untuk memperbaiki pola “pembangunan” yang selama ini terjadi10. Dalam kajian
Johnson (2013) konsepsi “botom-up” ini dapat juga digunakan untuk “merintangi” model
pembangunan yang pernah ada dengan mengintroduksi pendekatan studi lokal
(kewilayahan). Argumentasinya adalah, pertama, gagasan bahwa pembangunan bisa di
teorisasikan dan dijalankan lebih baik terutama diatas basis proses-proses lokal untuk
transformasi struktural dan historis yang lebih besar. Kedua, terkait metodologi dan
epistemologi, penekanan pada proses-proses lokal dengan menekstrapolasi pengamatan
mendalam dari penelitian lokal akan memberikan landasan informasi yang lebih valid bagi
usaha-usaha untuk menghubungkan teori sosial dengan perubahan sosial. Dalam hal ini
penelitian-penelitian antropologi dan sosiologi dengan studi kasus memiliki peran dalam
9

Meskipun hal ini perlu disikapi dengan hati-hati, Abrahamsen (2004) mengingatkan bahwa risalah-risalah
pembangunan selalu bersifat strategis dan taktis [mendukung, mengijinkan, serta menjustifikasi intervensi
dan praktik-praktik tertentu], mendelegitimasi dan menyingkirkan yang lain.
10
Ada beberapa pelajaran terkenal yang bisa diambil jika pembangunan ditinjau dari sudut pandang
pengetahuan, seperti (misalnya) menurut Johnson, (2013) bahwa makna penting dari rezim perdagangan
bebas dan dari pendidikan dasar untuk semua orang. Sudut pandang itu juga akan membuat perhatian kita
terarah pada kebutuhan-kebutuhan yang kadang kala terlewatkan, seperti manajemen pengetahuan lokal
(local wisdom, local knowledge, local management of knowledge).

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016

308

pembentukan pengetahuan lokal tersebut. Sehingga pembangunan yang akan diwujudkan
harus menyandarkan kebenarannya pada dokumentasi dan analisis atas proses-proses dan
kejadian-kejadian lokal dan yang bersifat kontingen secara lokal sebagai perwujudan dari
pengetahuan lokal.11
Pada konteks pendekatan pengetahuan lokal ini, Johnson (2013) kemudian
mengajukan argumen bahwa pembangunan haruslah dihidupkan dengan apa yang pernah
disebut oleh Evans (1995) sebagai teori tradisi perbandingan institusional (theory of
comparative isntitutional tradition). Dan yang menjadi jantung dari pendekatan ini adalah
suatu metodologi induktif yang mencari kesamaan-kesamaan dan hubungan-hubungan
dengan kecenderungan-kecenderungan dan problem-problem historis yang lebih luas.
Sementara pada saat yang bersamaan memasukan pandangan-pandangan yang berlainan dan
berpotensi bersaingan mengenai hakikat dari sejarah, kultur, dan pembangunan. Atau dengan
kata lain, Mills (2000) dengan mengutip kalimat Mao Tse-Tung, menulis “Biarkan Ratusan
Bunga Bermekaran”, “Biarkan Ratusan Pemikiran Unjuk Diri”, dan “Tetaplah Hidup
Berdampingan dan saling Mengawasi”.12
Kemudian, langkah awal untuk memainkan ilmu pengetahuan lokal dalam orkestra
pembangunan di pedesaan adalah mendalami arti penting kata-kata dari rakyat. Rendra
pernah memberikan ‘quotes’ dalam satu puisinya bahwa “Rakyat adalah Sumber Ilmu”13.
Ilmu pengetahuan sangat bisa digali dari pengetahuan lokal, bukan hanya terkait nilai atau
hubungan sosial tetapi juga aspek-aspek yang menyangkut teknologi lokal. Meskipun pada
konteks ini, teknologi lokal tidak bisa dilepaskan dari budayanya, sehingga konsep teknologi
lokal harus dipahami dalam konteks kehidupan dan budaya masyarakatnya.
Selanjutnya, dalam proses ini juga harus memunculkan sebuah arena yang
mempertemukan antara gagasan-gagasan dari masyarakat desa dengan kecanggihan
metodologi dari aktor teknokratik, sehingga dapat menghasilkan gagasan-gagasan
pembangunan yang bukan saja dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah akan tetapi juga
mendasarkan rumusan kebijakannya pada sumber pengetahuan lokal. Dan secara relatif
gagasan-gagasan yang terlahir dari pengetahuan lokal akan mudah dimengerti masyarakat
desa karena disusun berdasarkan ‘logika rakyat’. Kemudian, untuk memperkuat basis
pengetahuan lokal tersebut, maka harus didukung dengan membangun “server-server” (hal
ini tidak dipahami dalam konteks computerize) sistem (manajemen) ilmu pengetahuan lokal
yang berpusat di pedesaan. Gagasan utamanya adalah mengawali pembangunan dengan titik
pangkal pada pengetahuan lokal, dan menempatkan masyarakat desa sebagai subjek utama
pembangunan desa.
Penutup.
Lahirnya Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah menguatkan
teori bahwa desa merupakan objek politik dari “aktor-aktor” perkotaan. Terbukanya akses
ke kawasan pedesaan sering kali mendorong aktor elit kota, pejabat pemerintah, dan
pengusaha berebut untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya yang ada di desa.
11

Sebagai contoh adalah dengan mengeksplorasi mekanisme-mekanisme sebab akibat, menyelidiki atau
menguji validitas teori-teori dan konsep-konsep, memfalsifikasi asumsi-asumsi teoritis dan menghasilkan
teori-teori dan tesis-tesis baru mengenai proses-proses dan kejadian-kejadian sosial.
12
Slogan-slogan ini sebenarnya dikemukakan dalam kondisi tertentu di Cina, dengan berbasis pada pengakuan
bahwa bermacam jenis kontradiksi masih ada dalam masyarakat sosialis, dan sebagai tanggapan terhadap
kebutuhan mendasar negara itu untuk memacu perkembangan ekonomi dan budayanya.
13
“Rakyat Adalah Sumber Ilmu “ adalah salah satu puisi yang dibuat oleh W. S Rendra pada tahun 1975
kemudian dihadirkan kembali ditahun 2013 dalam buku “Doa untuk Anak Cucu” yang diterbitkan oleh
Bentang Pustaka, Yogyakarta.

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016

309

Sementara masyarakat desa tidak berdaya untuk berperan dalam mengelola sumber dayanya
karena posisi tawar yang lebih rendah dibanding dengan pelaku eksploitasi tersebut.
Terbukanya akses ke kawasan pedesaan sering kali mendorong aktor elit kota, pejabat
pemerintah, dan pengusaha berebut untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya yang
ada di desa. Sementara masyarakat desa tidak berdaya untuk berperan dalam mengelola
sumber dayanya karena posisi tawar yang lebih rendah dibanding dengan pelaku eksploitasi
tersebut. Dalam konteks global, gambaran kondisi desa tidak kalah membahayakan yakni
menjadi ajang perebutan kepentingan sosial-ekonomi-politik berakibat pada ‘local authority
loss’ dalam menentukan arah perkembangannya sendiri. Pada konteks pendekatan
pengetahuan lokal, pembangunan haruslah dihidupkan dengan apa yang pernah disebut oleh
teori tradisi perbandingan institusional (theory of comparative isntitutional tradition). Dan
yang menjadi jantung dari pendekatan ini adalah suatu metodologi induktif yang mencari
kesamaan-kesamaan dan hubungan-hubungan dengan kecenderungan-kecenderungan dan
problem-problem historis yang lebih luas. Selanjutnya, dalam proses ini juga harus
memunculkan sebuah arena yang mempertemukan antara gagasan-gagasan dari masyarakat
desa dengan kecanggihan metodologi dari aktor teknokratik, sehingga dapat menghasilkan
gagasan-gagasan pembangunan yang bukan saja dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah akan tetapi juga mendasarkan rumusan kebijakannya pada sumber pengetahuan lokal.

Bibliografi
Abrahamsen, Rita. 2004. Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa dan Wacana Pembangunan.
Yogyakarta. Lafadh Pustaka
Amstrong, T dan McGee, T.G. 1985. Theathre of Accumulation: Study in Asian and Latin
American Urbanization. New York: Methuen
Ariffin, Bustanul. 2013. Ekonomi Pembangunan Pedesaan. Bogor: IPB Press
Bachariadi, Dianto. 1995. Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital. Bandung: Penerbit
Akatiga.
Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang. Jakarta: Penerbit
LP3ES.
Dharmawan, Arya H. 2011. Otoritas Lokal Dalam Mengelola Sumber Daya Alam:
Menantap Otonomi Desa dalam Perspektif Sosiologi Pembangunan dan Ekologi
Politik. dalam: Satria, Arif, dik. 2011. Menuju Desa 2030. Bogor Crestpent Press.
Evans, P. 1995. Embedded Autonomy: State and Industrial Transformation. Princeton:
Princeton University Pess.
Hancock, Graham. 2005. Dewa-dewa Pencipta Kemiskinan: Kekuasaan, Prestise, dan
Korupsi Bisnis Bantuan Internasional. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat
Harvey, David. 2010. Imperialisme Baru. Yogyakarta: Resist Book dan Institute for Global
Justice (IGJ).
Hauser P. 1985. Penduduk dan Masa Depan Perkotaan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Hunt, Diana. 1989. Economic Theories of Development: An Analysis of Competing
Paradigms. New York: Harvester Wheatsheaf.
Johnson, Craig. 2013. Pembangunan tanpa Teori: Kuasa Pengetahuan dan Perubahan
Sosial. Yogyakarta: Resist Book.
Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani: Menyingkap Kejahatan Industri Pangan.
Yogyakarta: Resist Book.
Lipton, M dan Moore, M., 1980. Metodologi Studi Pedesaaan di Negara Berkembang.
Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016

310

Kartohadikoesoemo S. 1984. Desa. Jakarta: Balai Pustaka.
Mills, C. Wright. 2003. Aktor Marxis: Ide-ide Dasar dan Sejarah Perkembangannya.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Rendra, W. S. 2013. Doa untuk Anak Cucu. Yogyakarta: Bentang Pustaka
Sayogyo. 2006. Ekososiologi: Deideologi Teori, Restrukturisai Aksi (Petani dan Pedesaaan
Sebagai Kasus Uji). Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Setiawan, Tomi. 2013. Berpaling ke Desa, Menyelamatkan Kota. Makalah diskusi Gema
Publika, 11 Desember 2014.
Sosialismanto, Duto. 2001. Hegemoni Negara: Ekonomi Politik di Pedesaan Jawa.
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Sowell, Thomas. 1985. Marxism: Philosophy and Economics. New York: Quil William
Morrow.
Tjondronegoro, S.M.P. 2008. Ranah Kajian Sosiologi Pedesaaan. Bogor: Fakultas Ekologi
Manusia IPB.

PROSIDING | SEMILOKA NASIONAL IAPA SUMUT – NAD 2016

311