57182297 Tugas Ptk Eksperimen Ekspo Facto

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKTUAL
TERHADAP PRESTASI BELAJAR IPA DAN SIKAP ILMIAH
SISWA KELAS IV SD NO.2 AMBENGAN KECAMATAN SUKASADA
Dosen Pengajar : I Wayan Widiana, S.Pd., M.Pd

OLEH:
MERTA DWI YANI
0911035737

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2011

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam situasi masyarakat yang selalu berubah, idealnya pendidikan tidak hanya
berorientasi pada masa lalu dan kini, tetapi sudah seharusnya merupakan proses yang

mengantisipasi dan membicarakan masa depan. Pendidikan hendaknya melihat jauh ke depan
dan memikirkan apa yang akan dihadapi peserta didik di masa yang akan dating. Menurut
Buchori (dalam Khabibah, 2006;1), bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
tidak hanya mempersiapkan para siswanya untuk sesuatu profesi atau jabatan, tetapi untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cara mencari tahu tentang alam secara
sistematis untuk menguasai pengetahuan, fakta-fakta,konsep-konsep, prinsip-prinsip, proses
penemuan, memiliki sikap ilmiah. Pendidikan IPA di sekolah dasar diharapkan dapat menjadi
wahana bagi siswa untuk mempelajari dirinya sendiri dan alam sekitar. Sebagai salah satu
mata pelajaran di sekolah dasar, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan tujuannya berupanya
mendidik siswa yang berilmu dan berketerampilan yang unggul serta memiliki etos kerja
yang tinggi,melatih melakukan penelitian sesuai proses /metode ilmiah, dan belajar dengan
mengaplikasikan pengetahuan terbaiknya, mempunyai sikap disiplin, jujur, dan bertanggung
jawab.
Melalui penguasaan mata pelajaran IPA baik proses, produk, maupun sikap yang baik,
siswa diharapkan mampu mengembangkan ilmunya, bertenggang rasa, mampu membina
kerja sama yang sinergis demi tercapainya efisiensi dan efektivitas, kualitas serta kesuksesan
nyata bagi siswa.
Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah)
dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Seperti kita ketahui bahwa

pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) mulai diperkenankan pada kelas IV sekolah dasar.
Peserta didik dihadapkan pada sesuatu yang baru, serta banyaknya materi yang digabung
dalam satu mata pelajaran IPA, mengakibatkan peserta didik kesulitan memahami dan
menguasai mata pelajaran tersebut. Meskipun telah banyak dilakukan inovasi dalam
pendidikan dan pembelajaran, namun hasilnya belum memuaskan. Akibat nyata yang ditemui
adalah rata-rata pra ujian nasional dalam mata pelajaran IPA belum berkatagori baik. Nilai

ujian ini bukan satu-satunya ukuran menilai keberhasilan siswa, namun dapat memberikan
gambaran mengenai tingkat pemahaman dan penguasaan siswa terhadap mata pelajaran
Berdasarkan alasan tersebut, maka sangatlah urgen bagi para pendidik khususnya guru
memahami karakteristik materi pembelajaran, peserta didik, dan metodologi pembelajaran
dalam proses pembelajaran terutama berkaitan pemilihan terhadap materi pembelajaran
modern. Dengan demikian proses pembelajaran akan lebih variatif, inovatif dan konstruktif
dalam merekontruksi wawasan pengetahuan dan implementasinya sehingga dapat
meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik.
Persoalan sekarang adalah bagaimana menemukan cara yang terbaik untuk
menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan sehingga siswa dapat menggunakan dan
mengingat lebih lama konsep yang telah dipelajari. Bagaiman guru dapat berkomunikasi baik
dengan siswanya. Bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari
seluruh siswa, sehingga dapat mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya dalam

kehidupan nyata. Bagaimana guru yang baik dan bijaksana mampu menggunakan model
pembelajaran yang berkaitan dengan cara memecahkan masalah (problem solving).
Untuk membantu siswa memahami konsep-konsep dan memudahkan guru dalam
mengajarkan konsep-konsep tersebut diperlukan suatu model pembelajaran yang langsung
mengaitkan materi konteks pelajaran dengan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Model pembelajaran tersebut adalah pembelajaran kontektual (Trianto, 2008;9).
Dalam pembelajaran kontektual, setiap guru perlu mamahami tipe belajar dan dunia
siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar siswa. Dalam
proses pembelajaran konvensional hal ini sering terlupakan, sehingga proses pembelajaran
pemaksaan kehendak.
Dalam pembelajaran, guru juga biasanya menggunakan model pembelajran langsung
yaitu suatu model pembelajaran yang siffatnya berpusat pada guru. Model pembelajaran ini
didasarkan atas teori belajar bahaviorisme. Menurut teori ini, belajar merupakan perubahan
tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigm stimulus respons (S-R).
Sikap ilmiah adalah salah satu komponen penting dalam pembelajaran IPA yang
antara lain berupaya mendidik siswa yang berilmu dan berketerampilan yang unggul serta
memiliki etos kerja yang tinggi, melatih melakukan penelitian sesuai metode ilmiah, dan
belajar dengan mengaplikasikan pengetahuan terbaiknya, mempunyai sikap displin, jujur, dan
bertanggung jawab. Karena dengan memiliki sikap ilmiah yang tinggi seorang siswa akan
dapat mengasai dan menerapkan ilmu pengetahuan alam dengan baik dan benar. Hal ini dapat

diperoleh dengan cara melibatkan langsung siswa pada pembelajaran.

Hasil observasi di SD No 2 Ambengan menunjukkan bahwa dalam pembelajaran IPA
di kelas, proses belajar mengajar masih didominasi oleh guru, di mana guru sebagai sumber
utama pengetahuan. Hal ini dilakukan guru karena guru mengejar ketuntasan kurikulum
untuk menghabiskan materi pembelajaran atau bahan ajar dalam jangka waktu yang telah
ditentukan sesuai dengan jumlah hari efektif. Guru juga lebih menekankan pada siswa untuk
menghafal konsep-konsep, terutama rumus-rumus praktis, yang nantinya bisa digunakan oleh
siswa dalam menjawab soa ulangan harian, ulangan umum, ataupun UN tanpa melihat secara
nyata manfaat materi yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar
tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar sehingga benar-benar merupakan
kegiatan bertujuan yang ditata secara sistematis (Titiek Rostiah dan Setyabudi Hastuti,
2002;5).

1.2 Identifikasi Masalah
Proses pembelajaran bukan merupakan kegiatan yang tunggal, tetapi banyak factor
yang berkontruksi dan berinteraksi di dalamnya. Komponen-komponen yang berinteraksi

dalam proses pembelajaran terdiri dari raw input seperti kecerdasan, bakat, minat, motivasi
siswa dan lain-lain, instrumental input seperti kurtikulum, perpustakaan, laboratorium, guru
dan lain-lain.
Di antara factor-faktor tersebut, factor siswa sebagai raw input, dengan berbagai
karakteristiknya adalah merupakan titik sentral dalam proses pembelajaran, karena siswa
yang harus mengalami proses pembelajaran dan para siswa pula yang seharusnya paling
bertanggung jawab atas pembelajaran dirinya. Guru yang merupakan bagian instrumental
input mempunyai peran yang sangat strategis dalam proses pembelajaran. Guru harus mampu
mengorganisir dan mengelola potensi-potensi pembelajaran, baik potensi raw input,
instrumental input, maupun potensi environmental input, agar terjadi interaksi yang optimal,
yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Oleh karena itu
guru harus mampu memilih dan menerapkan sterategi pembelajaran yang tepat sesuai
karakteristik siswa, karakteristik materi ajar serta memperhatikan factor-faktor instrumental
dan factor lingkungan belajar.

1.3 Pembatasan Masalah
Banyak faktor yang berpengaruh pada hasil belajar siswa, seperti factor “raw input,
instrumental input, dan environmental input”. Namun dalam penelitian ini hanya difokuskan
pada penelitian eksperimen tentang model pembelajaran yaitu model pembelajaran
kontekstual pada mata pelajaran IPA di kelas IV. Dengan alasan bahwa model pembelajaran

kontektual melalui bukti-bukti empiric terbukti mampu meningkatkan hasil belajar siswa
namun belum banyak diterapkan dalam upaya peningkatan hasil belajar siswa.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran
konstektual terhadap hasil belajar IPA dan sikap ilmiah siswa kelas IV SD No. 2 Ambengan
dan dibandingkan dengan pengaruh penerapan model pembelajaran langsung terhadap hal
yang sama.

1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas masalah yang ingin dicari jawabanya dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah ada perbedaan hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti pembelajaran
kontekstual dengan siswa yang mengikuti pembelajaran langsung?
2. Apakah ada perbedaan sikap ilmiah antara siswa yang mengikuti pembelajaran
kontektual dengan siswa yang mengikuti pembelajaran langsung?
3. Apakah ada perbedaan hasil belajar IPa dan Sikap ilmiah antara siswa yang
mengikuti pembelajaran kontekstual dengan siswa yang mengikuti pembelajaran
langsung?

1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai

berikut:
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis perbedaan hasil belajar antara model
pembelajaran kontekstual dan model pembelajaran langsung.

2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis perbedaan sikap ilmiah antara siswa yang
mengikuti pembelajaran kontekstual dengan siswa yang mengikuti model
pembelajaran langsung.
3. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis perbedaan hasil belajar dan sikap ilmiah
antara siswa yang mengikuti model pembelajaran kontekstual dan model
pembelajaran langsung.

1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan model
pembelajaran pada mata pelajaran IPA. Pengkondisian tersebut diarahkan kepada
pembelajarn efaktif, interaktif, dan menarik bagi pebelajar, sehingga pebelajar lebih banyak
berinteraksi secara aktif dengan lingkungan belajar. Oleh sebab itu, manfaat teoritik yang
dapat dipetik dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan pedoman dan landasan teoritik terhadap pemecahan masalah
belajar dan pembelajaran di Sekolah Dasar, khususnya persoalan belajar dan

pembelajaran IPA di sekolah dasar.
2. Diharapkan kepada pemegang kebijakan dan perancang kurikulum untuk bisa
merancang kurikulum dan tujuan-tujuan pembelajaran yang fleksibel dan
adaptif,

sehigga

dalam

jangka

panjang

dapat

menjembatani

dunia

pengetahuan, dunia belajar, fan dunia kerja.

1.6.2. Manfaat Praktis
1. Bagi guru Sekolah Dasar, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam mencari alternatif dan inovasi pembelajaran untuk
menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan bagi
siswa, sehingga mutu pendidikan dapat ditingkatkan.
2. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat tentang
pembelajaran IPA secara lebih terintegrasi, menarik, dan penuh dengan
aktivitas mentalnya sehingga dapat meningkatkan pemahaman konsep dan
sikap ilmiah siswa.
3. Bagi sekolah yaitu Sekolah Dasar No. 2 Ambengan, dapat memberikan
kontribusi dalam upaya menentukan kebijakan sekolah dalam hal peningkatan

mutu pendidikan dengan berlandaskan model pembelajaran kontektual sebagai
salah satu model pembelajaran untuk meningkatkan sikap ilmiah siswa.

BAB II
LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori
Memudahkan pembelajaran bagi murid adalah tugas utama guru. Untuk itu, guru

tidak saja dituntut untuk membuat suasana pembelajaran menjadi nyaman dan menarik, tetapi
juga harus mampu menciptakan metode pembelajaran yang sesuai dengan keadaan diri
masing-masing murid. Disini, gur dituntut untuk benar-benar menetahui karakteristik tiap
anak didik. Sehigga metode dan pendekatan yang diterpakan pun benar-benar sesuai dengan
perkembangan diri murid yang menjadi subjek sekaligus objek pendidikan itu sendiri.
Pada bab ini akan dibahas tentang teori-teori yang melandasi penelitian ini yang
mencagkup ; 1) pembelajaran kontektual (CTL), 2) pembelajaran langsung, 3) hasil belajar
IPA dan, 3) sikap ilmiah.
2.2. Pembelajaran Kontektual
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru
mengaitkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari mereka baik sebagai anggota keluarga maupun masyarakat. Dengan
demikian, hasil pembelajaran akan menjadi lebih bermakna bagi siswa.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh Sadia (2009), mengapa pembelajaran
kontektual (CTL) menjadi pilihan antara lain;
1. Selama in proses pembelajaran di sekolah lebih didominasi oleh metode ekspositori
atau ceramah dan Tanya jawab. Siswa kurang diberdayakan dalam proses
pembelajaran, guru bersifat dominan dan siswa pasif. Guru seolah-olah merupakan
satu-satunya sumber otoritas pengetahuan.

2. Berdasarkan pandangan kontruktivisme

ynag

merupakan

landasan

filosofi

pembelajaran kontektual (CTL), bahwa “ pengetahuan dibangun di dalam pikiran
orang yang belajar” dan bahwa “ pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara utuh
dari pikiran guru ke pikiran siswa”.
3. CTL dipilih sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran dengan harapan siswa
akan belajar melalui proses “mengalami” bukan “menghafal” sehingga pembelajaran
menjadi lebih bermakna.
2.3. Pembelajaran langsung

Pembelajaran langsung merupakan suatu model pembelajaran yang bersifat terpusat
pada guru ( teacher centered ). Dalam penerapan model pembelajaran langsung, guru harus
mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan yang akan dilatihkan kepada siswa
selangkah demi selangkah. Karena dalam menjelaskan materi ajar dengan baik dan memberi
petunjuk mengenai hal-hal yang harus dilakukan oleh siswanya ( Roy Killen yang dikutip
oleh Wirata:2008)
Model pembelajaran langsung didasarkan atas teori belajar behaviorisme. Menurut
teori ini manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungan yang akan
memberikan pengalaman-pangalaman tertentu kepadanya. Menurut teori ini, belajar
merupakan perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma stimulus-respons
(S-R). oleh karena itu teori ini juga disebut teori stimulus-respons (Burn, 1995;102).
Proses stimulus-respons ini terdiri dari beberapa unsure yaitu: (1) unsur dorongan,
siswa merasakan adanya kebutuhan sesuatu dan terdorong untuk memenuhi kebutuhan ini,
(2) siswa diberikan stimulus yang selanjutnya akan dapat menyebabkan siswa member
respon, (3) siswa memberikan suatu reaksi terhadap stimulus yang diterimanya dengan jalan
melakukan suatu tindakan yang dapat dilihat, (4) unsur penguatan (reinforcement), unsur ini
diberikan kepada siswa agar dia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respon.
Pada model pembelajaran langsung terdapat lima fase yang sangat penting. Guru
mengawali pelajaran dengan pekerjaan tentang tujuan dan latar belakang pembelajaran, serta
mempersiapkan siswa untuk menerima penjelasan guru. Fase persiapan dan motivasi ini
diikuti oleh presentasi materi ajar yang diajarkan atau demonstrasi tentang keterampilan
tertentu. Pembelajaran itu termasuk juga pemberian kesempatan kepada siswa untuk
melakukan penelatihan dan pemberian umpan balik terhadap keberhasilan siswa. Pada fase
pelatihan dan pemberian umpan balik tersebut, guru perlu selalu mencoba memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan atau keterampilan yang telah
dipelajarinya (Arend, 1997;67). Rangkuman kelima fase tersebut dapat dilihat pada table
berikut.
Tabel 2.3 Sintak Model Pembelajaran langsung

Fase

Peran Guru

1. Menyampaikan tujuan pembelajaran
dan mempersiapkan siswa

Guru mempersiapkan TPK, menyampaikan
informasi

latar

pentingnya

belakang

pelajaran,

pembelajaran,

dan

mempersiapkan siswa untuk belajar
Guru mendemontrasikan keterampilan yang
2. Mendemontrasikan pengetahuan atau
keterampilan

3. Membimbing pelatihan
4. Mengecek pemahaman dan memberikan
umpan balik

5. memberikan kesempatan untuk
pelatihan lanjutan dan penerapanya

benar atau menyajikan informasi tahap demi
tahap, kemudian guru menyuruh siswa untuk
mengikutinya
Guru merancanakan

dan

memberikan

bimbingan pelatihan awal
Guru mengecek apakah siswa berhasil
melakukan tugas dengan baik, dan kemudian
guru memberikan umpan balik kepada siswa
Guru
mempersiapkan
kesempatan
melakakukan pelatihan lanjutan, dengan
perhatian khusus pada penerapan pada situasi
yang lebih kompleks.

Sumber : Kardi (2004;8)
2.4. Hasil Belajar IPA
Belajar merupakan salah satu kebutuahan hisup manusia yang vital dalam usahanya
untuk mempertahankan hidup dan pengembangan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Dirasakan belajar merupakan kebutuhan hidup yang vital karena semakin
pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang menimbulkan berbagai perubahan yang
melanda segenap aspek kehidupan dan penghidupan manusia.
Menurut Gagne (dalam Dahar, 1996;11), belajar dapat didefinisikan sebagai suatu
proses dimana suatu organism berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Disebutkan
ada lima macam perilaku perubahan yang dianggap sebagai factor-faktor penyebab dasar
dalam belajar. Pertama, pada tingkat emosianal paling primitif, terjadi perubahan perilaku
yang diakibatkan dari perpasangan suatu stimulus tak terkondisi. Sebagai suatu fungsi
pengalaman, stimulus terkondisi ini sewaktu-waktu memperolah kemampuan untuk
mengeluarkan respon kondisi. Bentuk belajar seperti ini disebut belajar responden dan
mendorong kita untuk memahami bagaimana para siswa menyenangi pelajaran. Kedua,
belajar komunitas, yaitu bagaimana dua peristiwa dipasangkan satu dengan yang lainya pada

suatu waktu, dan hal ini sering kita alami. Kita lihat bagimana asosiasi ini dapat
menyebabkan belajar dari “driil” dan belajar stereotif-stereotif. Ketiga, kita belajar
konsekuensi-konsekuensi perilaku mempengaruhi apakah perilaku itu akan diulangi atau
tidak, dan berapa besar pengulangan itu. Belajar seperti itu disebut operant. Keempat,
pengalaman belajr sebagai suatu hasil observasi manusia dan kejadian-kejadian. Kita belajar
dari model-model, dan masing-masing kita mungkin menjadi model bagi orang lain dalam
belajar observasional. Kelima, belajar kognitif terjadi dalam kepala kita, bila kita melihat dan
memahami peristiwa-peristiwa di sekitar kita, dan dengan insait, belajar menyelami
pengertian
Kingsley (dalam Sujana, 2002) membagi tiga macam hasil belajar, yaitu (a)
keterampilan dan kebiasaan. (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikat dan sita-cita. Masingmasing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Sedangkan Gagne (dalam Dahar, 1996) membagi lima kategori hasil belajar, yaitu
keterampilan intelelk (intellectual skill), strategi kognitif (cognitive strategies), Informasi
verbal (verbal information), keterampilan gerak (motor skiil), dan sikap (attitudes).
Prestasi belajar adalah hasil dari pengukuran serta penilaian usaha belajar, Tirtonegoro
(dalam Suwastrini, 2006). Dalam setiap perbuatan manusia untuk mencapai tujuan, selalu
diikuti oleh pengukuran dan penilaian, demikian pula dengan proses pembelajaran
Farid Nasution (2001;439) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah penguasaan
seseorang terhadap pengetahuan atau keterampilan tertentu dalam suatu mata pelajarn, yang
lazim diperoleh dari nilai tes atau angka yang diberikan guru. Bila angka yang diberikan oleh
guru rendah, maka prestasi siswa rendah bgitu juga sebaliknya jika angka yang diberikan
guru tinggi prestasi prestasi siswa tinggi.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, prestasi belajar IPA dalam penelitian ini
secara konseptual diartikan sebagai penilaian usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam
bentuk angka yang mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak dalam pelajaran
IPA baik berupa kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotor yang dapat diukur secara
langsung dengan menggunakan tes.

2.5. Sikap Ilmiah

Sikap meupakan salah satu pokok bahasan yang penting dalam psikologi, khususnya
psikologi sosial, pengertian atau definisi sikap para ahli adalah sebagai berikut.
1) Mental and neural state of rediness, organized through experience, exerting a directive
or dynamic influence upon the individua’s response to all objects and situations to which
it is related (Allport,dalam Sobur,2003)
2) Attitude of psychological tendency that is expressed by evaluating a particular entity with
some degree of favor or disfavor ( Eagly & Chiken,dalam Sobur,2003)
3) An attitude an disposition to respend favourably or unfavourably to an object, person,
institution or event (IAzjen,dalam Sobur,2003)
4) Attitude is a favourorable or unfavourable evaluative reaction to ward something,
exhibited in one’s belief, feeling or intended be behavior (Myers,dalam Sobur,2003)
Berdasarkan definisi-definisi di atas, tampak bahwa meskipun terdapat perbedaan,
semuanya berpendapat bahwa cirri khas dari sikap ilmiah (1) mempunyai objek tertentu,
(orang, perilaku, konsep, situasi, benda, dan sebagainya), (2) mengandung penilaian ( suka
tidak suka, stuju tidak setuju).
Sikap ilmiah merupakan suatu pendirian pola tindakan terhadap suatu stimulus yang
selalu berorientasi pada ilmu pengetahuan dan metode ilmiah. Jadi dalam tindakanya, metode
ilmiah merupakan hal yang menjadi sifat khas dalam sikap ilmiah. Siswa yang memiliki sikap
ilmiah yang baik akan selalu terdorong untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Sikap
ilmiah siswa dapat ditumbuhkan dan dikembangkan melalui kegiatan laboratorium. Sikap
terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar.
2.6. Perbedaan hasil balajar IPA antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran
konstektual dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran langsung
Prinsip kontruktivisme yang mendasari model pembelajaran konstektual sangat
memperhatikan struktur kognitif (prior knowledge) yang dimiliki siswa sebelum
pembelajaran dimulai. Dalam proses pembelajaran akan terjadi asimilasi, akomodasi dan
equilibrium. Asimilasi digunakan siswa sebagai satu kerangka logis dalam rangka
menginterpretasikan informasi baru. Akomodasi digunakan dalam rangka memecahkan
kontradiksi-kontradiksi sebagai bagian dari proses regulasi diri yang lebih luas dan kompleks.
Dalam pendekatan pembelajaran langsung meski memiliki keunggulan tertentu, tetapi
cenderung didominasi oleh guru. Peran guru yang sentralistik dalam proses belajar mengajar,
berimplikasi pada adanya kecendrungan siswa untuk selalu membenarkan setiap informasi

dari gurunya. Pada kondisi seperti ini sangat memungkinkan terjadi proses transfer
ilmupengetahuan secara utuh dari guru ke siswa. Hal ini justru bertentangan dengan teori
kontrovisme dalam pendidikan yang pada intinya menganggap bahwasetiap siswa sudah
dibekali dengan struktur kognitif. Informasi berjalan satu arah dari guru ke siswa lebih pasih
dan miskin kreativitas, sebaliknya dominasi dan otoritas guru dalam proses pembelajaran
berakibat pada menontonya irama pelajaran. Dengan demikian akan berefek pula pada iklim
pembelajarn yang tidak kondusif yang selanjutnya berpengaruh pada minat dan hasil belajar
siswa.

2.7. Perbedaan sikap ilmiah antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran
konstektual dengan siswa yang belajar dengan model pembelajaran langsung
Pembelajarn IPA baik dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi seharusnya tidak
bermuara pada orientasi nilai akhir yang diperoleh siswa setelah evaluasi dilakukan.
Penanaman sikap ilmiah siswa sebagai efek penyerta menjadi penekanan tersendiri dari
kegiatan pembelajaran. Pembelajaran IPA yang banyak melibatkan fenomena alam harus
dirancang kembali metode pembelajaranya di sekolah dengan rancangan yang relative tepat
mengacu pada paradikgma kontruktivisme. Rendahnya sikap ilmiah dari yang seharusnya
terjadi akibat pengembangan potensi diri yang tidak sempurna, yang disebabkan oleh
pembelajaran yang terlalu verbalistik. Sedikit sekali siswa diberikan secara terbimbing
mengembangkan kemampuan dalam mengemukakakn ide dan masalah. Dalam mengajarkan
IPA, pendekatan pembelajaran langsung tentu masih diperlukan. Tetapi pembelajaran IPA
yang juga menekankan pada kontruksi makna atau konsep, pendekatan yang berbasis
kontovisme kiranya lebih normal.
Piaget menyimpulkan seperti yang ddikutip Dahar (1989;155) siswa pada umur 11
tahun keatas tingkat intelektualnya sudah pada tingkat operasi formal. Pada periode ini anak
dapat menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih
kompleks. Kemampuan inilah yang berpotensi untuk mengembangkan kemampuan bersikap
pada siswa. Model pembelajarna konstektual memungkinkan kemampuan-kemampuan tadi
dapat secara optimal. Dengan demikian sikap ilmiah siswa yang belajar dengan model
pembelajaran konstektual dan yang belajar dengan model pembelajaran langsung berbeda
secara signifikan.

2.8. Hipotesis
Berdasarkan kajian teori yang sudah diuraikan diatas, maka dapat dirumnuskan
hipotesis penelitian sebagai beikut :
1) Terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara siswa yang mengikuti model pembelajaran
konstektual dengan yang mengikuti model pembelajaran .
2) Terdapat perbedaan sikap ilmiah antara siswa yang mengikuti model pembelajaran
konstektual dengan yang mengikuti model pembelajaran langsung.
3) Terdapat perbedaan hasil belajar IPA dan sikap ilmiah antara siswa yang mengikuti model
pembelajaran konstektual dengan yang mengikuti model pembelajaran langsung.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah post tesr only
control group design. Dalam rancangan ini pembagian individu atau subyek penelitian tidak
dilakukan secara random. populasi yang tersebar di dua kalas tersebut, semuanya diambil
untuk dijadikan sampel melalui proses undian karena kedua kelas tersebut mempunyai
kemampuan setara sehingga probabilitas sama untuk dijadikan sebagai sampel. Rancangan
ini dipilih karena selama eksperimen tidak memungkinkan untuk mengubah kelas yang telah
ada. Kelas-kelas tersebut dengan jumlah rombongan belajar tidak akan dimanipulasi untuk
membentuk kelas baru, melainkan diposisikan seperti apa adanya (Campbell dan Standey
(1963) dalam Tuekman,(1972;106) ).
rancangan penelitiannya dapat digambarkan sebagai berikut:

KE

X1

O

KK

X2

O

(Campbell dan Standey (1963) dalam Tuekman, (1972;106) ).
Keterangan:
KE = Kelas eksperimen
KK = Kelas control
X1 = perlakuan pembelajaran dengan model pembelajaran kontekstual
X2 = perlakuan pembelajaran dengan model pembelajaran langsung
O = Hasil post test kelompok eksperimen dan kelompok control
3.1.1 Prosedur Pelaksanaan Eksperimen
Pada tahap awal penelitian ini dilakukan persiapan eksperimen, diantaranya
mempersiapkan alat-alat eksperimen seperti sintak pembelajaran serta scenario pembelajaran,
kuisioner sikap ilmiah, tes hasil belajar IPA, dan pelatihan guru yang akan melaksanakan
pendekatan pembelajaran.
Eksperimen dilaksanakan selama 14 kali pertemuan, yang terdiri dari 12 kali
pembelajaran, 1 kali untuk menjawab tes hasil belajar IPA, dan 1 kali mengisi kuesioner
sikap ilmiah. Pelaksanaan dalam pembelajaranya dilaksanakan dengan pendekatan
pembelajaran yang sudah dirancang untuk masing-masing kelas eksperimen dan kelas control
dengan menggunakan scenario pembelajaran actual dengan pendekatan pembelajaran
kontekstual dan pembelajaran langsung dilaksanakan dalam 12 kali pertemuan. Kemudian 1
kali pertemuan untuk menjawab test hasil belajar, yang mana soal-soal berupa pilihan ganda
dengan jumalh 40 butir soal, baik kelas eksperimen maupun kelas control, serta 1 kali
pertemuan untuk menjawab kuisioner.
Pada tahap akhir penelitian dilakukan evaluasi untuk mengetahui pengaruh penerapan
model pembelajaran terhadap hasil belajar IPA dan sikap ilmiah siswa, dengan cara
memberikan tes hasil belajar IPA dan sikap ilmiah siswa, dengan cara memberikan tes hasil
belajar IPA dan kuesioner sikap ilmiah. Selanjutnya data-data yang diperoleh dianalisis secara
statistik.
Rancangan analisis penelitian ini adalah one-way multiple analysis of variant
(MANOVA). Model pembelajaran kontekstual selanjutnya disebut A1, dan model
pembelajaran langsung disebut A2. Sedangkan hasil belajar IPA siswa selanjutnya diswbut
Y1, dan sikap ilmiah siswa disebut Y2.
Tabel 3.1 Rancangan Analisis One Way Multiple Analysis of Variant (MANOVA)
A1

A2

Y11

Y12

Y21

Y22

Keterangan;
A1 = model pembelajaran kontektual
A2 = model pembelajaran langsung
Y11= hasil belajar IPA siswa yang mengikuti pembelajaran kontektual
Y12= sikap ilmiah siswa yang mengikuti pembelajaran kontektual
Y21= hasil belajar IPA siswa yang mengikuti pembelajaran langsung
Y22= sikap ilmiah siswa yang mengikuti pembelajaran langsung
Penelitian ini sebagaimana ditunjukkan pada table 3.1 di atas memberikan perlakuan
dalam pembelajaran melalui dua model pembelajaran yakni model pembelajaran kontektual
dikenakan kepada kelompok eksperimen dan model pembelajaran langsung dikenakan
kepada kelompok control.
pengontrolan validitas penelitian harus dilakukan agar hasil eksperimen benar-bemar
sebagai akibat pengaruh perlakuan. Perlu dibrdakan antara validitas penelitian dengan
validitas alat ukur. Validitas penelitian adalah kemampuan penelitian itu untuk
mengungkapkan apa yang ingin diteliti, sedangkan validitas alat ukur mengacu pada sejauh
mana alat tersebut mampu mengukur konten ataupun kontruk yang ingin diukur.
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh siswa kelas IV SD NO 2 Ambengan,
kecamatan Sukasada yang berjumlah 22 orang. Pemilihan kelas IV sebagai populasi didasari
oleh suatu pemikiran bahwa untuk menumbuhkan sikap ilmiah siswa sebaiknya dilakukan
sejak dini atau awal sehingga nantinya merupakan suatu kebiasaan dan untuk itu dibutuhkan
strategi pengajaran yang tepat, salah satunya pemilihan pendekatan pembelajaran yang
inovatif dan kreatif.
Sampel merupakan sebagian atau wakil populasi yang diteliti yang memiliki
karakteristik yang sama dengan populasi ( Suharsini Arikunto, 1998;117). kelas dipilih
sebagaiman telah terbentuk tanpa campur tangan peneliti dan tidak dilakukannya pengacakan
individu. kemungkinan pengaruh-pengaruh dari keadaan subyek mengetahui dirinya
dilibatkan eksperimen dapat dikurangi sehingga penelitian ini benar-beanr menggambarkan
pengaruh perlakuan yang diberikan.
JIka dilihat dari rumusan masalah diatas, penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen. Akan tetapi mengingat tidak semua variable atau gejala yang muncul dalam
kondisi eksperimen dapat diatur dan dikontrol secara ketat, maka penelitian ini termasuk
kategori quasi eksperimen (Campbell dan Stanley,1996). Desain ini dipilih karena
eksperimen dilakukan dua kelas tertentu dengan siswa yang telah ada.

Untuk memastikan kedua kelompok terseubut, peneliti melakukan uji-t untuk
mengetahui ada tidaknya perbedaan skor rata-rata hasil belajar siswa. Adapun uji-t yang
digunakan adalah
x 1−¿x

2

(√ N1 − N1 )

5 gab

1

2

Sutrisno,Hadi,2000;364

t=¿

3.3 Variabel Penelitian dan Definisis Operasional
3.3.1 Variabel Penelitian
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini terdiri atas variable bebas dan variable
terikat, variable bebas yang diuji dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru dalam pembelajaran IPA. Model pembelajaran tersebut terdiri atas
model pembelajaran kontektual (x1) dan model pembelajaran langsung (x2).
variable terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar IPA siswa (y1) yang
ditunjukkan oleh nilai tes mata pelajaran IPA, dan sikap ilmiah (y2) yang ditunjukkan oleh
skor yang diperoleh dalam menjawab kuisioner sikap ilmiah. Berdasarkan paparan di atas
maka kontelasi antar variabelnya dapat digambarkan sebagai berikut:

Pembelajaran CTL

Pembelajaran

Hasil Belajar

Sikap Ilmiah

langsung

3.3.2 Definisi Operasional
Untuk menggambarkan secara operasional variable penelitian yang akan
dilakukan, akan diberikan definisi operasional masing-masing variable tersebut. Variabel
tersebut adalah pembelajaran kontektual, pembelajaran langsung, hasil belajar IPA, dan sikap
ilmiah.
3.3.2.1 Pembelajaran Kontektual

Pembelajaran Kontektual (CTL) adalah suatu pembelajaran yang membantu guru
mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan bary ketika ia belajar. kegiatan
pembelajaran lebih difokuskan pada pencarian informasi melalui proses penemuan (inquiry)
dengan melibatkan talenta siswa. Model pembelajaran ini memiliki enam fase; 1) guru
menjelaskan kompetensi yang harus dicapai siswa dari proses pembelajaran, 2) siswa dibagi
menjadi kelompok-kelompok kecil (4-5) siswa, dan tiap kelompok melakukan observasi, 3)
guru melakukan Tanya jawab sekitar tugas untuk mencapai proses pembelajaran, 4) siswa
melakukan observasi dan menganalisis hasil temuanya, 5) siswa mendiskusikan hasil
temuanya dalam pleno kelas, 6) dengan bantuan guru siswa membuat kesimpulan dari hasil
yang diperoleh.
3.3.2.2 Pembelajaran Langsung
Pembelajaran langsung merupakan suatu pembelajaran yang bersifat terpusat
pada guru. Dalam menerapkan pembelajaran dilaksanakan dengan lima fase, yang meliputi:
1) Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa, 2) mendemonstrasikan pengetahuan, 3)
membimbing pelatihan, 4) mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik, 5)
memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan.
3.3.2.3 Hasil Belajar IPA
Hasil belajar IPA siswa adalah kemampuan actual yang dimiliki siswa setelah
mengikuti proses pembelajaran, berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dan
dapat diukur melalui standar kompetensi pada palajaran IPA. Secara operasional, hasil belajar
IPA merupakan skor yang dicapai siswa dalam menjawab tes hasil belajar IPA.
3.3.2.4 Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah pada dasarnya adalah sikap yang diperhatikan oleh para ilmuan saat
mereka melakukan kegiatan sebagai seorang ilmuan, atau dengan kata lain kecendrungan
individu untuk bertindak atau berprilaku dalam memecahkan masalah secara sistematis
melalui langkah-langkah ilmiah. Artinya sikap yang dilakukan oleh para ahli memecahkan

masalah ilmiah atau dengan metode ilmiah seperti : sikap ingin tahu, sikap kritis, sikap
obyektif, sikap terbuka, jujur, tekun, menyukai penjelasan ilmiah, dan dapat menerima
pengertian generalisasi. Sikap ilmiah dalam pembelajaran IPA adalah suatu pendirian
(kecendrungan) pola tindakan terhadap suatu stimulus tertentu yang selalu berorientasi pada
ilmu pengetahuan dan metode ilmiah yang nantinya akan menumbuhkan sikap disiplin, jujur,
dan bertanggung jawab. Secara operasional, yang dimaksud dengan sikap ilmiah adalah skor
yang dicapai siswa dalam menjawab kuesioner sikap ilmiah.
3.4 Metode dan Instrumen Pengumpulan Data
3.4.1 Metode Pengumpulan Data
Data yang di kumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari test hasil belajar siswa dan
sikap ilmiah siswa. Untuk mendapatkan data mengenai test hasil belajar dan sikap ilmiah
menggunakan metode test. Instrumen test hasil belajar disusun dan dikembanglan sendiri oleh
peneliti dengan persetujuan dari beberapa pakar (judgest). Instrumen sikap ilmiah disusun
dan dikembangkan oleh peneliti dengan memperhatikan aspek kognitif, afektif, psikomotor.
Metode pengumpulan data dan instrument yang digunakan dalam penelitian ini, disajikan
pada table berikut:

Tabel 3.2 Metode Pengumpulan Data
Data
Hasil Belajar

Metode Pengumpulan Data
Test

Instrument
Test obyektif pilihan ganda

Sikap Ilmiah

Kuesioner

Kuesioner

3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data
Kisi –kisi instrument dalam penelitian ini terdiri dari alat ukur tes dan alat ukur non
tes. Untuk mengukur hasil belajar IPA siswa digunakan alat ukur tes. Sedangkan untuk
mengukur sikap ilmiah digunakan alat ukur non tes, yaitu kuesioner. Penyusunan kisi-kisi
instrument adalah untuk merumuskan secara cermat dan tepat ruang lingkup tes dan bagian-

bagiannya, sehingga perumusan tersebut dapat menjadi petunjuk yang efektif bagi penyusun
tes (Suryabrata, 2000,60-61).

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Tes Hasil Belajar IPA
STANDAR
MATERI
KOMPETENS POKOK
I
Energi
dan 1. Gaya
perubahannya

INDIKATOR

JENJANG
C2 C3 C4 NO.SOAL

1. Menyebabkan bentuk gaya.

2. Mendemostrasikan
bahwa
gaya dapat menyebabkan
terjadinya perubahan gerak
suatu benda.
3. Menyimpulkan
hasil
percobaan
4. Mengkomunikasikan hasil
percobaan

Memahami
2. Panas 1. Mendiskusikan
macambebagai bentuk dan Bunyi
macam sumber enrgi panas
enrgi dan cara
yang ada di lingkungan
penggunaannya
sekitar.
dalam
2. Menggunakan thermometer
kehidupan
untuk mengukur panas suatu
sehari-hari
benda.
3. Membaca hasil atau skala
thermometer.
4. Mendemonstrasikan
perambatan
panas
(konduksi,konveksi,dan
radiasi)
5. Menggolongkan benda yang
termasuk penghantar panas
dan yang bukan.
6. membuat
table
hasil
percobaan.
7. Membuat kesimpulan.

8. Presentasi hasil percobaan.

9. Menyebutkan
pengertian
bunyi
frekuensi
dan
amplitudo.
10. Menjelaskan beda bunyi
ultra, audio dan infra.

1,2,5,6
3,4,7









11,23,30

9,10,15,20
,25,29
22


12,13,14,
27

15,26


16,28

17
24,9


8



11. Memberi contoh mahluk
hidup
yang
dapat
mendengarkan bunyi ultra
atau infra
12. membuat kesimpulan dan
presentasi



Instrumen sikap ilmiah mengacu pada teori yang dikemukakan Vogel (dalam
Maksum, 2006), bahwa untuk mengetahui sikap seseorang terhadap objek dapat ditinjau dari
3 unsur yang menjadi indicator sikap ilmiah, yaitu 1) kognitif, 2) afektif, 3) konasi.
Selanjutnya kisi-kisi instrument sikap ilmiah disajikan pada table berikut:
No
1

Komponen
Kognitif

Indikator
No butir
1. Berpikir Kritis
28,29
2. Memiliki kemampuan 5,6,7,8
menyelidiki

Jml soal
2
4

2.

Afektif

1. Rasa ingin tau
2. terbuka

1,2
17,18.19,20,21,22,23

2
7

3.

Konasi

1. ketekunan
2. teliti
3. respek
4. obyektif

24,25,26,27,30
3,4
9,10,11,12
13,14,15,16

5
2
4
4

3.4.3 Uji Coba Intrument
Sebelum instrument digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji coba untuk
mendapatkan kesahihan dan keterandalan kontruksi tes yag digunakan. Dalam uji kesahihan
ini alat ukur yang telah dibuat kemudian diminta penilaian dua pakar untuk mengetahui
kesahihan isi alat ukur.
Butir tes yang kurang relevan akan dibuang atau tidak dipakai jika keterwakilan butir
tes sudah memadai secara propesional materi atau sub materi yang diajarkan. sebaliknya butir
tes yang kurang relevan proporsional pada materi atau sub materi yang diajarkan, jumlah
responden sebesar lima kali jumlah item soal atau minimal melebihi sampel besar. Data yang
didapatkan selanjutnya dilakukan perhitungan kesahihan butir.
3.5 Metode Analisis Data
3.5.1 Uji Normalitas

Uji normalitas data dimasudkan untuk memperlihatkan bahwa sebuah frekuensi skor
pada setiap variable berdistribusi normal. Uji normalitas dilakukan pada empat kelompok
data dengan teknik Kolmogorof-Smirnov dan Teknik Chi Kuadrat.
Rumus Chi-Kuadrat adalah:
k

X 2=∑
i−1

(

fo−fe 2
fe
Riduan,2004

)

Kriteria yang digunakan adalah:
Jika X2 hitung ≥ X2 tabel artinya distribusi data tidak normal
Jika X2 hitung ≤ X2 tabel artinya distribusi data normal
Dengan memasukkan harga rerata dan simpangan baku untuk masing-masing variable
ke dalam table kurva normal serta menetukan sebaran frekuensi untuk kemudian
mendapatkan harga Chi-kuadrat masing-masing variable.
TABEL 3.7
Tabel Distribusi Normal
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kelas Interval
-3SD sampai -2SD
-2SD sampai -1SD
-1SD sampai mean
Mean sampai +1SD
+1SD sampai +2SD
+2SD sampai +3SD

Frekuensi Harapan
2%
14%
34%
34%
14%
2%

Harga Chi-kuadrat eksperimen kemudian dikomfirmasikan dengan harga Chi-Kuadrat table
dengan taraf signifikansi 0,05%. Jika harga Chi-kuadrat yang diperoleh lebih kecil daripada
harga Chi-Kuadrat table (X2

hitung

≤ X2), sebaran frekuensi skor berdistribusi normal

(Riduan;124).
3.5.2 Uji Homogenitas Varian
Uji homogenitas pada uji perbedaan dimasudkan untuk menguji bahwa setiap
kelompok yang akan dibandingkan memiliki variasi yang sama. Dengan demikian perbedaan

yang terjadi dalam uji hipotesis benar-bemnar berasal dari perbedaan antar kelompok, bukan
akibat perbedaan yang terjadi dalam kelompok.

3.5.3 Uji Multikoliniaritas
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat yang cukup tinggi atau tidak
antara variable sikap ilmiah dan prestasi belajar IPA. Jika tidak terdapat hubungan yang
cukup tinggi, berarti tidak ada aspek yang sama diukur pada variable tersebut, dengan
demikian analisis dapat dilanjutkan. Teknik yang akan dipakai untuk menentukan
multikoliniaritas adalah korelasi product moment. Kreteria yang digunakan untuk menguji
adalah: 1) jika koefesien korelasi antar variable < r

table(0,05)

berarti tidak ada masalah

multikoliniaritas, dan 2) jika sebaliknya koefesien korelasi antar variable > r

table(0,05)

berarti

ada masalah multikolianiritas.
3.6 Uji Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan.
Hipotesis pertama dan kedua analisisnya masing-masing menggunakan one way analysis of
variance (ANOVA).
Hipotesis statistic pertama:
Ho

: µ1ỵ1 = µ2ỵ1

H1

: µ1ỵ1 ≠ µ2ỵ1

hipotesis statistic kedua:
Ho

: µ1ỵ2 = µ2ỵ2

H1

: µ1ỵ2 ≠ µ2ỵ2

Hipotesis ketiga menggunakan

teknik One Way Multiple Analysis of Variance

(MANOVA) karena melibatkan lebih dari satu variable terikat dengan membandingkan dua
kelompok yang berlaku (Candiasa, 2007;78). Dalam penelitian, akan diuji hipotesis yang
secara statistic dirumuskan :
H0

:

µ1y1
µ1y2

=

µ2y1
µ2y2

H1

:

µ1y1
µ1y2



µ2y1
µ2y2

Keterangan :
µ1ỵ1

= hasil belajar melalui pembelajaran kontektual

µ1ỵ2

= sikap ilmiah melalui pembelajaran kontektual

µ2ỵ1

= hasil belajar melalui pembelajaran langsung

µ2ỵ2

= sikap ilmiah melalui pembelajaran langsung

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Prasetyo 1997. Strategi Belajar Mengaja. Bandung : Pustaka Setia
Analisis Butir desertai Aplikasi denan Iteman,Bigsteps dan SPSS; Singaraja: Undhiksha
Singaraja
Asri Budiningsih. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta; Rineka Cipta.
Bloom, Benjamin S.1956. Taxonomy Of Education Objektives The Classification Of
Education Goods Handbook I Cognitive Domain New York Logman Ine.
Burn,Robert. 1995; The Adult Learner at Work Australia; Ligare Pty Ltd.
Candiasa, I Made. 2007. Statistik Multivariant. Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha Singaraja 2004.
Departemen Pendidikan Nasional.2002 Pendekatan Kontekstual (Contektual Teachin
Teaching and Learning CTL). Jakarta. Depdikbud.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. KTSP SD Mata Pelajaran IPA
Dahar, Ratna Willis.1989. Teori-teori belajar. Jakarta;Erlangga.
Depdiknas.2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur, Balibang Depdiknas
Kardi, S dan nur, M. 2004. Pengajaran Langsung. Surabaya; University Press.
Rosa Kemala. 2006. Jelajah IPA. Jakarta; Yudhistira.
Suryabrata, S. 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi.
Suryabrata, B. 2000. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta; Depdiknas.
Suprayekti.2004. Interaksi Belajar Mengajar. Jakarta; Depdiknas
Winatapura, U. S. 1993, Strategi Belajar Mengajar IPA. Jakarta: Universitas Terbuka
Depdikbud.