ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, FPE PADA KELUARGA DAN PERAN PMO TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA Rahmi Imelisa, Budi Anna Keliat, dan Sutanto Priyo Hastono Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Ka

  

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN, FPE PADA KELUARGA DAN PERAN PMO

TERHADAP KEMANDIRIAN DAN KEPATUHAN BEROBAT KLIEN SCHIZOPHRENIA

  Rahmi Imelisa, Budi Anna Keliat, dan Sutanto Priyo Hastono Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Kota

  Depok, Indonesia

  

e-mail:

Abstract

  Nursing process to client, FPE to family and PMO role to independency and medication adherence of schizophrenic client. The prevalence of schizophrenia in Kersamanah is 2.6/1000 person, and 39.8% client has been drop out in medication. This research aimed to found the effect of nursing process to the client, FPE to family and PMO role (as nursing therapy) to independency and medication adherence. This research used a quasy experiment design with purposive sampling. This research use the instrument of independency from the CMHN Jakarta research and the MARS instrumen for medication adherence. The result shows that there is a significant change of independency and medication adherence after intervension of nursing therapy (p- value < α=0.05). There is a significant differences change between intervention and control group (p-value < α=0.05). There is a close relation between independency and medication adherence (p-value < α=0.05). This research suggest continue implementation of nursing process to client, family and PMO role in Kersamanah.

  

Keyword : schizophrenia, independency, medication adherence, PMO, and family psychoeducation

A. Pendahuluan

  Schizophrenia dapat berefek terhadap individu, keluarga dan juga menyebabkan beban

  ekonomi yang besar di masyarakat (Townsend, 2009). Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa selain berbahaya, penyakit ini juga berdampak buruk pada keluarga dan menjadi beban bagi masyarakat.

  Kebanyakan orang dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Orang dengan schizophrenia akan mengalami gangguan dalam kemandiriannya menjalankan fungsi dan peran dalam kehidupan sehari hari, seperti merawat diri sendiri, sekolah atau bekerja dan fungsi lainnya. Oleh karena itu, pasien dengan schizophrenia memerlukan bantuan dari pihak lain untuk tetap bertahan hidup, atau dengan kata lain bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012).

  Schizophrenia dapat menyebabkan kematian karena kejadian bunuh diri. Radomsky, Haas,

  Mann, dan Sweeney (1999, dalam Townsend, 2009) memperkirakan 10% pasien dengan

  

schizophrenia meninggal karena bunuh diri. Penelitian lain memperkirakan kejadian ide bunuh diri

  pada klien schizophrenia sekitar 40 - 55% dan percobaan bunuh diri sekitar 20 – 50% (Addington, 2006 dalam Townsend, 2009).

  Hanya <10% orang dengan masalah kesehatan jiwa terlayani di fasilitas kesehatan (Diatri, 2011). Perawatan pasien dengan schizophrenia dapat disediakan pada taraf komunitas, dengan keaktifan keluarga dan keterlibatan komunitas di sekitar pasien (WHO, 2012). Sehingga untuk mengatasi masalah ini diperlukan penanganan tidak hanya kepada klien, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat yang dapat terkena dampak dari penyakit ini.

  Townsend (2009) menyatakan bahwa saat ini dan mungkin selamanya tidak akan ada satu penanganan saja yang bisa mengatasi schizophrenia. Karena itu, penanganan yang efektif memerlukan usaha yang komprehensif, melibatkan multidisiplin, termasuk terapi farmaka dan berbagai bentuk perawatan psikososial, seperti kemampuan untuk menjalani hidup sehari-hari dan keterampilan sosial, rehabilitasi dan terapi keluarga (Townsend, 2009). Karena itu, penanganan

  

schizophrenia memerlukan kombinasi antara terapi farmaka dan terapi lain seperti psikoterapi,

rehabilitasi dan sebagainya.

  Standar Asuhan Keperawatan (SAK) digunakan oleh perawat untuk memberikan tindakan keperawatan generalis kepada klien dan keluarga. Saat ini telah dikembangkan pula psikoterapi untuk keluarga antara lain Family Psychoeducation dan Triangle Therapy (Keliat & Walter, 2011). Psikoedukasi adalah pendekatan edukasional dan pragmatis yang bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan mengenai anggota keluarga yang sakit, mengurangi kekambuhan, dan memperbaiki keberjalanan fungsi pasien dan keluarga (Stuart, 2009).

  Pemberdayaan masyarakat dalam keperawatan kesehatan jiwa diwujudkan dengan dikembangkannya model Community Mental Health Nursing (CMHN). CMHN / Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas (KKJK) yang merupakan salah satu upaya yang digunakan untuk membantu masyarakat menyelesaikan masalah-masalah kesehatan jiwa akibat dampak konflik, tsunami, gempa maupun bencana lainnya (Keliat dkk, 2011).

  Penelitian terkait penerapan model CMHN yang dilakukan Keliat, Helena dan Riasmini (2011) yang mengujicobakan model CMHN pada 237 keluarga di DKI Jakarta. Pada penelitian ini perawat CMHN melakukan kunjungan rumah dilakukan sebanyak 12 kali kunjungan. Penelitian dilakukan dengan memberikan asuhan keperawatan kepada klien dan memberikan health

  

education kepada keluarga klien. Hasil analisis menunjukkan peningkatan kemandirian dan rata-

  rata waktu produktif klien. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa penerapan model CMHN berdampak positif terhadap klien dan keluarga.

  Peran kader dalam model CMHN salah satunya adalah melakukan kunjungan rumah ke keluarga pasien gangguan jiwa yang telah mandiri (Keliat, 2010). Kegiatan yang dapat dilakukan saat kader melakukan kunjungan rumah adalah menjalankan peran PMO (Pengawas Minum Obat) seperti yang telah dikembangkan oleh Departemen Kesehatan untuk penyakit tuberculosis. PMO bertugas untuk menjamin keteraturan pengobatan klien.

  Prevalensi gangguan jiwa di Kecamatan Kersamanah adalah 2,6/1000 jiwa. Angka ini lebih besar dari prevalensi di Provinsi Jawa Barat yang mencapai 2,2/1000 jiwa. Desa Kersamanah yang memiliki jumlah klien paling banyak, yaitu 35 klien, sempat diberitakan sebagai ‘desa gila’ pada tahun 2008 dalam salah satu media massa di Jawa Barat. Karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di kecamatan ini.

B. Metode Penelitian

  Sampel dalam penelitian ini adalah klien dengan schizophrenia yang tinggal dengan keluarganya sebagai caregiver. Pada penelitian ini digunakan teknik purposive sampling.

  Penelitian ini melibatkan keluarga dan kader dalam satu paket intervensi, dengan perhitungan sampel berdasarkan jumlah klien. Jumlah klien untuk kelompok intervensi adalah 18 orang. dan sampel untuk kelompok kontrol adalah 19 orang.

  Data yang diukur dalam penelitian ini adalah karakteristik responden, kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia. Pengukuran kemandirian menggunakan instrumen yang telah digunakan dalam penelitian mengenai penerapan model CMHN di Jakarta. Instrumen ini terdiri dari 26 pertanyaan mengenai kegiatan yang dapat dilakukan klien.

  Pilihan jawaban terdiri dari ‘dilakukan mandiri’, ‘dilakukan dengan bantuan’ dan ‘tidak pernah dilakukan’. Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen ini pada penelitian CMHN Jakarta adalah r alpha dengan pearson product moment sebesar 0,933. Pengukuran kepatuhan berobat menggunakan instrumen Medication Adherence Rating Scale (MARS) (virtual medical centre, 2012). Instrumen ini terdiri dari 10 pernyataan dengan pilihan jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’.

  Penelitian ini melibatkan 5 kader untuk menjalankan peran PMO. Paket terapi dilakukan dengan cara peneliti sebagai terapis bersama-sama dengan kader mengunjungi klien dan keluarganya. Terapi yang dilakukan peneliti adalah asuhan keperawatan generalis pada klien yang terdiri dari SP 1-SP 5 s/d SP 12. Kemudian terapis memberikan FPE yang terdiri dari 5 sesi. Kader melakukan peran PMO dengan mengkaji klien dan keluarga di setiap kunjungan. Kunjungan dilakukan selama 3 kali kunjungan.

C. Hasil dan Pembahasan

  Hasil analisa data menunjukkan bahwa rata-rata kemandirian keseluruhan klien schizophrenia sebelum dilakukan terapi berada dalam rentang kemandirian menengah.

  Kebanyakan orang dengan schizophrenia memiliki kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya atau bahkan untuk merawat dirinya sendiri, maka mereka bergantung pada bantuan orang lain (NIMH, 2012). Ini menunjukkan bahwa kemandirian klien terganggu karena kondisi schizophrenia.

  Masalah kemandirian klien schizophrenia perlu mendapat perhatian karena akan banyak masalah lain yang ditimbulkan seperti masalah stress pada caregiver dan menambah beban keluarga. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Safier (1997, dalam Townsend, 2009) bahwa keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan schizophrenia akan mengalami pergolakan yang besar dalam dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi schizophrenia dapat berdampak pada kondisi keluarga, karena itu keluarga pun memerlukan intervensi agar tidak menimbulkan masalah baru.

  Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna setelah diberikan terapi, yaitu berupa asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan peran PMO oleh kader pada kelompok intervensi. Terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata selisih kemandirian pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil analisa data menunjukkan peningkatan rata-rata nilai kemandirian klien schizophrenia setelah diberikan terapi. Perbedaan yang terjadi pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol menunjukkan bahwa pemberian terapi atau kunjungan secara rutin dan terstruktur dapat meningkatkan kemandirian klien.

  Salah satu penelitian dalam The British Journal of Psychology menunjukkan efek pemberian FPE pada keluarga yang merawat klien dengan depresi mayor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok pada kelompok yang diberikan FPE, waktu kekambuhan klien secara statistik lebih panjang dibandingkan dengan kelompok keluarga yang tidak diberikan FPE (Kaplan-Meier

  

survival analysis, P=0,002) (Shimazu, et.al, 2008). Dalam penelitian ini FPE diasumsikan dapat

berpengaruh terhadap perawatan keluarga sebagai caregiver kepada klien dengan schizophrenia.

  Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Keliat, Helena dan Riasmini (2011) mengenai penerapan model CMHN Jakarta. Intervensi yang dilakukan berupa pemberian asuhan keperawatan pada klien dan health education kepada keluarga yang dilakukan selama 12 kali kunjungan. Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan yang bermakna sebelum dan sesudah penelitian baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Terdapat peningkatan kemandirian sebesar 8,88 pada kelompok intervensi dan sebesar 3,96 pada kelompok kontrol. Penelitian tersebut dapat menjadi dasar perbandingan dengan penelitian ini yang melakukan kunjungan untuk kelompok intervensi sebanyak 3 kali dengan menambah peran kader sebagai Pengawas Minum Obat.

  Pada penelitian ini, setelah dilakukan terapi rata-rata nilai kemandirian klien masih berada pada rentang kemandirian sedang. Pada kelompok intervensi terjadi peningkatan sebesar 1,778 dan pada kelompok kontrol sebesar 0,368. Pada penelitian ini terjadi peningkatan 3,7% dalam 3 kali kunjungan, sedangkan pada penelitian CMHN Jakarta terjadi peningkatan 17,1% dalam 12 kali kunjungan.

  Keberhasilan asuhan keperawatan sebagai bagian dari paket intervensi dalam meningkatkan kemandirian klien schizophrenia didukung pula oleh penelitian sebelumnya. Penelitian Sari (2009) mengenai pengaruh FPE terhadap beban keluarga dan kemampuan keluarga dalam merawat klien pasung di Nangroe Aceh Darussalam, juga mengukur dampak pemberian asuhan keperawatan kepada klien terhadap kemandirian klien pasung. Dari penelitian ini diketahui bahwa setelah diberikan intervensi defisit perawatan diri terjadi peningkatan yang bermakna pada aspek kemandirian klien, yang terdiri dari aktivitas harian, aktivitas sosial, cara mengatasi masalah dan pengobatan klien (Sari, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa intervensi langsung kepada klien memberikan pengaruh yang bermakna pada kemandirian klien.

  Peningkatan yang dicapai pada kelompok intervensi dalam penelitian ini adalah sebesar 3,7% dan nilai kemandirian sesudah intervensi adalah 31,61. Hal ini berarti peningkatan yang dihasilkan belum optimal pada klien, dilihat dari nilai maksimum kemandirian yang belum tercapai, yaitu 48. Dan walaupun terjadi peningkatan setelah intervensi dalam penelitian ini, namun rata-rata kemandirian tersebut masih berada pada rentang kemandirian sedang. Hal ini dapat disebabkan karena diperlukan pembudayaan yang lebih lama untuk merubah perilaku dan diperlukan kekonsistenan pendampingan pada klien dan keluarga agar perilaku yang sudah baik dapat bertahan dan meningkat. Karena itu untuk terus meningkatkan kemandirian klien dan mencapai nilai optimal dari kemandirian dapat dilakukan dengan cara pendampingan secara teratur oleh kader, evaluasi secara berkala oleh pihak puskesmas atau spesialis jiwa sekaligus sebagai pendampingan, serta dilakukan konsultasi kepada spesialis jiwa untuk psikoterapi yang tepat pada masing-masing klien dan keluarga.

  Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa pada kelompok intervensi rata-rata kemandirian klien

  

schizophrenia setelah dikontrol oleh faktor confounding mengalami penurunan dari 31.61 menjadi

  30.42 (selisih -1.19). Sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata kemandirian klien schizophrenia mengalami peningkatan dari 28.84 menjadi 29.971 (selisih 1.131). Gambaran analisa mengenai kemandirian klien dapat dilihat pada diagram 1.

   Diagram 1. Analisa kemandirian klien schizophrenia

  Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata kepatuhan berobat keseluruhan klien

  

schizophrenia yang diikutsertakan dalam penelitian berada dalam rentang rendah. Kepatuhan

  berobat yang rendah dapat terjadi pada penyakit-penyakit kronis yang memerlukan waktu jangka panjang untuk pengobatan. Rata-rata kepatuhan berobat keseluruhan klien schizophrenia yang diikutsertakan dalam penelitian berada dalam rentang kepatuhan rendah. Klien dengan

  

schizophrenia biasanya menjalani

  pengobatan dalam jangka waktu yang lama. Seperti dinyatakan dalam Stuart (2009) bahwa pada beberapa klien dengan masalah kesehatan jiwa, program pengobatan dapat berlangsung selama beberapa bulan atau bahkan seumur hidup. Kondisi ini dapat menyebabkan muncul perasaan bosan, lelah dan sebagainya sehingga dapat menurunkan kepatuhan berobat klien schizophrenia.

  Penelitian Wardhani (2009) menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan dapat disebabkan oleh berbagai aspek, yaitu aspek yang berkaitan dengan obat, aspek yang berkaitan dengan pasien, aspek yang berkaitan dengan keluarga, dan aspek yang berkaitan dengan tenaga kesehatan. Perilaku ketidakpatuhan pasien yang paling banyak dilakukan adalah perilaku menurunkan dosis obat. Penyebab perilaku ini adalah pandangan pasien bahwa kerugian minum obat lebih besar dibandingkan dengan manfaat minum obat.

  Analisa data penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata selisih kepatuhan berobat klien schizophrenia pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Setelah dilakukan terapi terjadi peningkatan rata-rata kepatuhan berobat sebesar 1.167 pada kelompok intervensi dan sebesar 0,368 pada kelompok kontrol. Peningkatan tersebut dapat terjadi karena terapi yang diberikan kepada klien dan keluarga serta peran PMO oleh kader. Seperti dinyatakan dalam penelitian Wardhani (2009) bahwa kepatuhan berobat dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu diantaranya adalah aspek yang berkaitan dengan pasien, aspek yang berkaitan dengan keluarga dan aspek yang berkaitan dengan tenaga kesehatan. Paket intervensi yang diberikan dalam penelitian pada klien schizophrenia di Kersamanah Garut ini memberikan intervensi pada aspek-aspek yang dapat mempengaruhi kepatuhan berobat tersebut sehingga kepatuhan berobat dapat meningkat.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kepatuhan berobat sebelum dan sesudah terapi baik pada kelompok kontrol maupun kelompok intervensi. Intervensi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah asuhan keperawatan kepada klien

  

schizophrenia sesuai SAK Jiwa, FPE kepada keluarga sebagai caregiver dan peran PMO oleh

  kader untuk menjamin keteraturan berobat klien. Intervensi yang diberikan kepada klien berupa asuhan keperawatan sesuai SAK dapat membantu meningkatkan kepatuhan berobat klien karena dalam salah satu strategi pelaksanaan asuhan keperawatan tersebut, terdapat satu strategi pelaksanaan mengenai pengobatan klien. Dalam intervensi tersebut klien diberikan penjelasan mengenai obat-obatan yang diminum klien, fungsi obat-obatan tersebut, berapa lama klien harus berobat dan apa alasannya, klien juga diajarkan mengenai pengobatan yang benar, jadwal kontrol dan akibat yang ditimbulkan jika klien tidak teratur berobat. Penjelasan-penjelasan ini dapat meningkatkan kepatuhan berobat klien karena pengetahuan yang baik menjadi dasar untuk perilaku yang sesuai. Sesuai dengan teori perilaku yang dikemukakan oleh Bloom (dalam Notoatmodjo, 2002), bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengetahuannya. Berbagai penelitian membuktikan hubungan searah antara pengetahuan dan perilaku seseorang, dengan arti bahwa semakin baik pengetahuan seseorang maka dapat diasumsikan semakin baik pula perilakunya.

  Rata-rata nilai kepatuhan berobat setelah dilakukan terapi adalah 2,76 yang berarti masih berada pada rentang kepatuhan rendah. Peningkatan yang hanya sebesar 1,9% dalam penelitian ini dapat disebabkan karena perubahan perilaku klien memerlukan pendampingan agar membudaya. Dan untuk mencapai nilai optimal yaitu 6 diperlukan intervensi lebih lanjut seperti keberlanjutan peran PMO oleh kader dengan rentang kunjungan yang lebih sering, karena pada saat penelitian kader melakukan kunjungan 1 kali dalam seminggu menyesuaikan dengan kunjungan peneliti. Selain itu dapat dilakukan kunjungan berkala dari pihak puskesmas, serta konsultasi pada spesialis jiwa secara berkala untuk psikoterapi yang tepat yang dapat mendukung meningkatnya kepatuhan berobat klien. Analisa mengenai kepatuhan berobat klien schizophrenia dapat dilihat pada diagram 2.

   Diagram 2. Analisa kepatuhan berobat klien schizophrenia

  Faktor usia, keyakinan terhadap pelayanan medis, jenis kelamin dan kelompok tidak mempengaruhi kepatuhan ber33obat klien schizophrenia secara bermakna. Dan setelah dikontrol oleh faktor perancu pada kelompok intervensi terdapat peningkatan nilai rata-rata kepatuhan berobat dari 2.89 menjadi 3.012. Sedangkan pada kelompok kontrol nilai rata-rata kepatuhan berobat mengalami penurunan dari 2.63 menjadi 2.515. Pada kelompok intervensi dapat dilihat bahwa efek terapi saja tanpa faktor yang lain menyebabkan peningkatan kepatuhan berobat. Dan pada kelompok kontrol tanpa intervensi cenderung menunjukkan penurunan kepatuhan berobat pada klien.

  Peran Pengawas Minum Obat adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk meyakinkan keteraturan klien meminum obat. Peran PMO sendiri dapat dilakukan oleh keluarga atau kader atau pemberi layanan kesehatan (Nizar, 2010). Pengembangan peran PMO telah banyak dikenal pada penyakit tuberculosis karena kepatuhan minum obat pada penyakit ini dianggap rendah, sementara drop out berobat dapat memperburuk kondisi pasien dengan

  

tuberculosis. Peran PMO yang dijalankan dalam penelitian ini adalah kader memotivasi klien untuk

  teratur berobat, memberikan penjelasan kepada keluarga untuk mengawasi pengobatan klien dan menganjurkan klien untuk teratur melakukan pemeriksaan ke puskesmas (Nazir, 2010). Dengan dikunjungi oleh kader klien dan keluarga mendapatkan informasi bahwa pengobatan mudah dan murah didapat. Selain itu dengan m3endapatkan penjelasan dari kader, klien dan keluarga dapat lebih memahami manfaat dari pengobatan, sehingga termotivasi untuk teratur menjalani pengobatan. Dalam penelitian ini kader juga memotivasi klien untuk berobat dengan cara menceritakan keberhasilan pengobatan pada klien lain.

D. Kesimpulan

  Kesimpulan yang dapat dibuat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Karakteristik usia klien adalah rata-rata 36.16 tahun, lebih dari setengah klien berjenis kelamin laki-laki, sebagian besar tidak memiliki keluhan nyeri dan hampir seluruhnya memiliki keyakinan positif terhadap pelayanan kesehatan.

  2. Kemandirian klien schizophrenia di Kersamanah Garut adalah kemandirian sedang.

  3. Kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut adalah kepatuhan rendah.

  4. Pemberian asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan pelaksanaan peran PMO oleh kader meningkatkan kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia secara bermakna.

  5. Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia yang tidak mendapatkan asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan pelaksanaan peran PMO oleh kader mengalami peningkatan yang tidak bermakna.

  6. Kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut memiliki hubungan yang erat. Peningkatan kemandirian akan menyebabkan peningkatan kepatuhan berobat, dan peningkatan kepatuhan berobat akan meningkatkan kemandirian klien schizophrenia di Kersamanah Garut.

  7. Tidak ada karakteristik klien schizophrenia yang berkontribusi secara bermakna terhadap kemandirian dan kepatuhan berobat klien schizophrenia di Kersamanah Garut.

  Referensi

  Brannon, L., & Feist, J. (2010).Health psychology: an introduction to behavior and health

  th (7 ed). USA: Wadsworth Cengage Learning.

  Chang & Johnson. (2008). Chronic illness & disability: Principles for nursing practice. Australia: Elsevier Australia. Dharma, K.K. (2011).Metodologi penelitian keperawatan: Panduan melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. Jakarta: Trans Info Media.

  

th

Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing(6 ed). New Jersey: Pearson Prentice Hall.

  Hastono, S.P. (2007). Analisis data kesehatan. Depok: FKM UI. Keliat, B.A. (2007). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas : CMHN (Basic Course). Jakarta : EGC.

  __________. (2010). Manajemen Keperawatan Jiwa Komunitas Desa Siaga : CMHN (Intermediate Course). Jakarta : EGC. Keliat, B.A., Helena, N. & Riasmini, N.M. (2011). Efektifitas penerapan model community

  mental health nursingterhadap kemampuan hidup pasien gangguan jiwa dan keluarganyadi wilayah DKI Jakarta.Hibah riset unggulan UI.

  Keliat & Walter. (2011). Buku Saku Terapi Keperawatan. Depok : FIK UI. NANDA International. (2010). diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC. Nazir, M. (2010). Pemberantasan dan penanggulangan tuberkulosis.Yogyakarta: Gosyen Publishing.

  Nursalam. (2008). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan: pedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitian keperawatan (ed.2). Jakarta: Salemba Medika.

  th

  Polit, D.F., & Beck, C.T. (2006).Nursing research: principles and methods (7 ed). Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins. Shimazu, et.al. (2008). Family psychoeducation for major depression: randomised controlled trial. The British JournalYV67YB GH VN VCFDMof Psychology. Februari 26, 2012.

  th

  Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of psychiatric nursing(9 ed). St.Louis, Missouri: Mosby Elsevier. th

  Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health nursing (6 ed). Philadelphia: F.A. Davis Company. Videbeck, S. L. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: EGC.

Dokumen yang terkait

View of Kandungan Timbal Pada Air dan Padi di Daerah Industri Leuwigajah Cimahi

0 0 10

View of Pengaruh Penggunaan Sabun Pembersih Kewanitaan terhadap Perubahan Mikro Flora Normal Vagina dan Bakterial Vaginosis dengan Menggunakan Kriteria Skor Nugent

1 3 12

View of PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP PENGETAHUAN IBU POST PARTUM TENTANG ASI EKSKLUSIF DI RUANG MELATI 1 RS SARININGSIH KOTA BANDUNG TAHUN 2013

0 0 16

EFEKTIFITAS MENDENGARKAN MUSIK UNTUK MENGURANGI KECEMASAN PADA IBU HAMIL DI BPM WANTI MARDIAWATI, Amd.Keb Fitri Nurhayati1 , Agus Riyanto2 ABSTRAK - View of EFEKTIFITAS MENDENGARKAN MUSIK UNTUK MENGURANGI KECEMASAN PADA IBU HAMIL DI BPM WANTI MARDIAWATI,

0 0 13

View of ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PADA PASIEN DAN BIDAN YANG MEMPENGARUHI PELAKSAAN SKRINNING KANKER SERVIKS DIWILAYAH KOTA CIMAHI TAHUN 2010

0 0 13

HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG ANEMIA DEFISIENSI BESI DENGAN KEPATUHAN MENGKONSUMSI TABLET Fe DI PUSKESMAS HAURGOMBONG Sri Mulyati, SST; Sinta Nuryati, SST; Farhati, SST ABSTRAK - View of HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG ANEMIA DEFISIENSI BE

0 1 9

A. LATAR BELAKANG - View of EFEKTIVITAS KOMPRES ALKOHOL TERHADAP DERAJAT FLEBITIS PADA ANAK YANG DILAKUKAN PEMASANGAN INFUS DI RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG

0 0 9

View of PENGARUH INTERVENSI PSIKOEDUKASI TERHADAP DEPRESI PADA LANSIA DI KELURAHAN SITU KABUPATEN SUMEDANG

0 0 24

PERBANDINGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRAOPERATIFMAYOR SEBELUM DAN SESUDAH DIBERIKANTERAPI RELAKSASI NAPAS DALAM DI RUANG RAFAEL RUMAH SAKIT CAHYA KAWALUYAN BANDUNG

0 0 12

View of Study Komparatif Mekanisme Koping Pasien Coronary Artery Disease (CAD) Sebelum dan Sesudah Diberikan Pendidikan Kesehatan di High Care Unit RS Immanuel Bandung

0 0 21