Kelaparan dan Penipuan di Papua Lengkap
Kelaparan
dan
Penipuan
Cerita
Kelaparan
Massal
Menunjukkan
Bagaimana
Liputan
Media
dan
Pemerintah
Daerah
di
Papua
Bobby
Anderson
Aslinya
diterbitkan
di
Inside
Indonesia
117,
Jul-‐Sep
2014,
http://www.insideindonesia.org/feature-‐editions/famine-‐and-‐fraud
'Jalan Raya' dari Sorong ke Tambrauw | Bobby Anderson
Pada
April
2013
dilaporkan
95
masyarakat
asli
Papua
meninggal
dunia
akibat
kelaparan
di
Kecamatan
Kwoor,
Kabuapten
Tambrauw,
Papua
Barat.
Sebanyak
533
orang
lainnya
dalam
kondisi
gawat
dan
dirawat
di
Rumah
Sakit.
Banyak
orang
telah
meninggal
sejak
Desember
2012
dan
banyak
korban
terkonsentrasi
di
desa-‐desa
terpencil
Tambraw
seperti
Baddei
(atau
Bakdei),
Jokbi
Joker
(atau
Jokjoker),
dan
Kasyefo.
Tambraw
terletak
di
pesisir
Utara
daerah
Kepala
Burung.
Laporan
tentang
kelaparan
ini
sangat
ironis
karena
Tambrauw
terletak
tepat
di
daerah
dengan
sumberdaya
perikanan
terkaya
di
dunia.
Walaupun
sebagian
besar
populasi
Tambrauw
terkonsentrasi
pada
dan
hidup
dari
laut,
desa-‐desa
yang
dilaporkan
terpapar
bencana
kelaparan
berada
di
belakang
pantai,
dengan
jarak
sekitar
enam
jam
sampai
tiga
hari
berjalan
kaki
dari
Kampung
Kwoor.
Cerita
ini
lalu
beresonansi:
ini
menjadi
indikasi
dari
bagaimana
pandangan
Pemerintah
Indonesia
terhadap
warga
asli
yang
hidup
di
wilayah
paling
timur
dan
paling
tertinggal.
Dan
bagi
banyak
orang,
ini
menjadi
bukti
untuk
mendukung
bahwa
genosida
sedang
terjadi
di
Tanah
Papua.
Cerita
tentang
bencana
kelaparan
menambah
kekuatiran
saat
ada
berita
bahwa
dua
aktivis
Papua,
yohanis
Mambrasar
dan
ayahnya,
Hans,
ditahan
di
kota
Tambrauw,
Sausapor,
karena
mengumpulkan
jenazah
dari
warga
desa
di
sana,
yang
tampaknya
tidak
mendapatkan
pelayanan
kesehatan
yang
baik.
Komisi
Hak
Azasi
Manusia
melaporkan
bahwa
kedua
orang
tersebut
diinterogasi
selama
berjam-‐jam
tentang
aktivitas
separatis
di
daerah
tersebut
dan
kondisi
genting
dikeluarkan
oleh
AHRC.
Hal
implisit
dari
berita
ditahannya
dua
orang
ini
ada
dua:
bahwa
kelaparan
telah
semakin
menyebar
dari
laporan
pertama,
dan
bahwa
pemerintah
setempat
berupaya
menutup-‐nutupinya.
Setelah
beberapa
minggu
perhatian
ditujukan
pada
kelaparan
oleh
beberapa
media,
cerita
ini
kemudian
menghilang
dari
perederan
–
satu
contoh
lagi
dari
kekerasan
struktural
yang
ditujukan
bagi
masyarakat
Papua
oleh
negara,
sementara
para
aktivis
pemberani
berupaya
membuka
tabir
kejahatan
menghilang
akibat
ditahan
polisi.
Insiden
ini
bahkan
menjadi
lebih
penting
karena
bencana
kelaparan
yang
dimaksudkan
sebenarnya
tidak
terjadi.
Asal
mula
cerita
Cerita
bencana
kelaparan
di
Kwoor
pertama
kali
dipublikasikan
di
Suara
Papua,
sebuah
provider
berita
online.
Berita
tersebut
ditulis
Oktovianus
Pogau
dan
sumbernya
attributed
dengan
koalisi
terbesar
Indoensia
untuk
masyarakat
asli,
Aliansi
Masyarakat
Adat
Nusantara
(AMAN).
Cerita
ini
dipilih
begitu
saja
dan
didiseminasikan
oleh
para
aktivis
termasuk
dari
Australia
West
Papua
Association,
Free
West
Papua
Campaign,
West
Papua
Media,
ETAN,
dan
kelompok-‐kelompok
lainnya,
dan
segera
menjadi
perhatian
dan
diliput
oleh
Suara
Pembaruan,
Radio
New
Zealand
International,
Scoop,
Jakarta
Post,
the
Jakarta
Globe,
Kompas,
Waspada
dan
media
Indonesia
lainnya.
Sebuah
tugu
tua
‘ABRI
Masuk
Desa’
di
Kwoor,
didirikan
Juli
1993
|
Bobby
Anderson
Saat
cerita
kelaparan
ini
pertama
kali
dilaporkan,
cerita
ini
tampaknya
cukup
masuk
akal.
Keamanan
pangan
adalah
salah
satu
isu
di
Papua
dan
pernah
terjadi
situasi
darurat
yang
signifikan,
terutama
di
dataran
tinggi,
mulai
dari
pertengahan
1990
hingga
2005
yang
membutuhkan
perhatian
dari
luar.
Di
daerah
dataran
tinggi
yang
lebih
terpencil
dimana
saya
pernah
berkunjung,
saya
terus
melihat
tanda-‐tanda
anak
yang
kurang
gizi
dan
pertumbuhan
terhambat.
Hal
yang
tidak
biasa
tentang
Tambrauw
adalah
bahwa
ini
adalah
daerah
pesisir,
dan
daerah
yang
tergolong
terpencil,
walaupun
sulit
diakses,
tetap
dapat
dijangkau
dengan
berjalan
kaki
dalam
hitungan
hari.
Bagaimana,
kemudian,
orang-‐orang
bisa
mati
kelaparan
di
sana?
Pada
April
2014,
di
hari
yang
sama
dimana
seorang
teman
dengan
koneksi
ke
aktivits
kemerdekaan
di
Selandia
Baru
mengingatkan
sayat
tentang
cerita
ini
–
saya
menghubungi
dua
lembaga
sukarelawan
bidang
pendidikan
dan
kesehatan
yang
berbasis
di
Sorong.
Kedua
lembaga
ini
memiliki
beberapa
program
dan
staff
di
Tambrauw.
Saya
telah
bekerja
dengan
lembaga-‐lembaga
ini
dalam
beberapa
proyek
layanan
di
tahun
2012,
dan
saya
mengetahui
bagaimana
mereka
sangat
passionate
mengadvokasi
hak-‐hak
rakyat
Papua.
Ini
adalah
kelompok
yang
berupaya
menyediakan
layanan
kesehatan
di
tempat
di
mana
layanan
yang
sama
tidak
disediakan
oleh
Pemerintah.
Tidak
satupun
dari
kedua
lembaga
ini
maupun
staff-‐nya
yang
mengetahui
adanya
bencana
kelaparan
di
Kwoor,
dan
ini
termasuk
para
staff
mereka
yang
berdomisili
di
desa-‐desa
yang
disebutkan
dalam
artikel
di
Suara
Papua.
Sementara
itu,
pemerintah
Indonesia
mengeluarkan
penolakan
yang
tidak
dianggap
serius:
ketika
pemerintah
pertama
kali
merespon
cerita
tersebut,
hanya
dikatakan
bahwa
mereka
baru
mengetahui
kasus
tersebut
dan
akan
menindaklanjutinya.
Pernyataan
tersebut
secara
implisit
menunjukkan
bahwa
tidak
ada
perwakilan
pemerintah
di
daerah
tersebut
yang
peduli.
Jawaban
yang
berkesan
tidak
peduli
ini
dianggap
sebagai
bukti
bahwa
sesuatu
yang
buruk
pasti
tengah
terjadi.
Dalam
beberapa
minggu
berikutnya,
staff
dari
kedua
lembaga
ini
mencari
tau
mengenai
kematian
yang
diakibatkan
kelaparan
tersebut
–
tidak
hanya
di
Jokbi
Joker,
Baddei,
dan
Kasyefo,
tapi
juga
di
Syubi,
dan
satu
hari
perjalanan
dari
sana,
di
Kweserer
dan
Kwekrisnos,
di
daerah
yang
katanya
menjadi
pusat
kelaparan
dengan
korban
terbanyak,
namun
mreka
tidak
menemukan
satu
pun
kejadian
kelaparan
di
sana.
Dan
mereka
sangat
tekun
mencari,
tidak
hanya
sekedar
dengan
sinis
menginvestigasi
kebenaran
klaim
tersebut.
Sebaliknya,
mereka
mengejar
dugaan
krisis
untuk
memberi
respon,
hal
yang
sama
juga
mereka
lakukan
di
saat
ada
krisis
kemanusiaan
lainnya.
Salah
seorang
dari
beberapa
yang
terlibat
dalam
pencarian
tersebut
adalah
dokter
ekspatriat,
beliau
bisa
berbahasa
Abun
dengan
lancer,
dan
telah
hidup
dan
bekerja
selama
14
tahun
di
Kwoor,
Tambrauw
–
sebuah
daerah
yang
masyarakatnya
menggunakan
bahasa
Abun.
Mereka
mendapati
hanya
sedikit
jumlah
kematian
yang
disebabkan
demam
di
Jokbi
Joker,
sebuah
kampung
yang
berjarak
enam
jam
perjalanan
dari
Kampung
Kwoor
dan
pesisir
pantai.
Mereka
merasa
bingung,
bagaimana
bisa
terhitung
ada
95
orang
meninggal
dan
553
dalam
keadaan
gawat.
Kematian
yang
diakibatkan
kondisi
demam
di
Jokbi
Joker
kerap
terjadi.
Namun
apakah
jumlah
95
orang
meninggal
dari
demam
tersbut
terjadi
dalam
tiga
tahun
lebih?
Mereka
tidak
tahu.
Mereka
masih
belum
tahu.
Saya
ingin
mengetahui
bagaimana
sebuah
cerita
dapat
bermula
dan
bagaimana
cerita
itu
berakhir
begitu
saja
tanpa
liputan
atau
tindak
lanjut
baik
dari
para
jurnalis
maupun
aktivis.
Jika
para
pekerja
kesehatan
dengan
cepat
menyimpulkan
bahwa
cerita
tersebut
bohong
belaka,
mengapa
orang-‐orang
yang
menyebarkan
cerita
itu
tidak
segera
berhenti
sejak
awal?
Perjalanan
ke
Tambrauw
Pada
Januari
2014,
saya
pergi
dari
sorong
ke
Sausapor,
ibu
kota
Tambrauw,
dan
melanjutkan
perjalanan
ke
Kwoor.
Jalan
menuju
Tambrauw
mulai
rusak
begitu
memasuki
daerah
perbukitan
di
atas
Kota
Sorong,
tempat
dimana
sampah
kota
dibuang
dan
dikeliling
oleh
gubuk-‐gubuk
pendaur
ulang.
Selanjutnya
ada
jalur
jalan
besar
baru
dan
dinding
penahan
longsor
yang
dibangun
dengan
dana
pembangunan
otonomi
khusus.
Jembatan-‐jembatan
baru
menggantikan
jembatan
lama
yang
dibuat
dari
bahan
alam
dan
pepohonan.
Semakin
jelas
terlihat
menyedihkan
begitu
berkendara
memasuki
pinggiran
Sorong
dan
memasuki
Tambrauw,
bahwa
jalan-‐jalan
ini
punya
satu
tujuan:
untuk
membantu
pengrusakan
hutan-‐
hutan
yang
masih
perawan
di
sana.
Camp
penebangan
liar
dan
gubuk-‐gubuk
mulai
bermunculan
seiring
dengan
semakin
banyaknya
tempat
pemotongan
kayu.
Tumpukan-‐
tumpukan
kayu
jelas
terlihat
di
sepanjang
sisi
jalan
sementara
kayu
bulat
hasil
tebangan
diapungkan
di
sungai
Sebuah
pasar
di
Kwoor,
dibangun
dan
dilupakan
|
Bobby
Anderson
Meninggalkan
perbukitan
dan
masuk
ke
daerah
pesisir,
kami
menemukan
jalan
yang
mengerikan,
di
satu
sisinya
masih
ada
hutan,
namun
di
sisi
lainnya
dipenuhi
tanaman
merambat.
Jauh
di
bawah,
deburan
ombak
membuat
kami
berdebar
dan
terjaga
sepanjang
malam
meski
berada
setengah
mil
dari
pantai.
Sausapor
dapat
dicapai
lima
jam
dari
Sorong.
Tempat
ini
mungkin
yang
paling
suram
di
Papua,
dibangun
di
sekitar
landasan
udara
Amerika
yang
dibuat
pada
akhir
Perang
Dunia
II,
dengan
beberapa
jalan
dan
toko
yang
sudah
tutup.
Dua
jam
dari
tepi
kota
Sausapor
terletak
Kwoor.
Kampung
Kwoor,
ibukota
kecamatan
di
mana
layanan
publik
semestinya
tersedia
dan
paling
professional,
terdapat
sekolah
dasar
yang
sebagian
besar
kaca
jendelanya
sudah
pecah.
Ada
juga
sebuah
sekolah
menengah,
yang
dikelola
oleh
yayasan
swasta,
masih
berfungsi.
Dari
tulisan
di
papan
tulis,
tampaknya
saat
itu
para
siswa
sedang
belajar
tentang
peran
Indonesia
di
ASEAN
–
pelajaran
yang
mungkin
ditujukan
untuk
mengajarkan
aspek
positif
tentang
negara
yang
hilang
dari
hidup
mereka.
Tanda-‐tanda
proyek
pembangunan
yang
gagal
sebelumnya
sangat
banyak:
sarana
MCK
tanpa
air,
tangki
air
yang
rusak,
generator
yang
tak
berfungsi,
pasar
tradisional
yang
tak
berdinding
dan
kemudian
dijadikan
tempat
parker
sepeda
motor;
dan
seterusnya.
Pusat
birokrasi
Kwoor
ditandai
dengan
buruknya
layanan,
PNS
yang
mangkir,
dan
gedung-‐gedung
pemerintah
yang
kosong:
ketidakamanan
yang
muncul
dengan
terlalu
sedikitnya
kehadiran
negara.
Pusat
birokrasi
Kwoor
ini
dibedakan
dengan
layanan
terlantar,
absensi
PNS,
dan
gedung-‐
gedung
pemerintah
yang
kosong:
rasa
tidak
aman
yang
datang
dengan
terlalu
sedikit
negara
bukan
terlalu
banyak.
Di
sebelah
timur
Kwoor,
terletak
beberapa
desa
yang
pernah
menjadi
bagian
dari
Kampung
Kwoor.
Desa-‐desa
ini
adalah
desa
hasil
pemekaran.
Tidak
seperti
banyak
contoh
negatif
dari
pemekaran
wilayah,
namun
pemecahan
Kampung
Kwoor
menjadi
beberapa
desa
lagi
tampaknya
memang
tepat
karena
jarak
dari
Kwoor
ke
desa-‐desa
tersebut
membutuhkan
waktu
satu
hari
berjalan
kaki.
Kami
mencoba
pergi
ke
timur,
dan
mengira
perjalanannya
mudah,
karena
peta
saya
menunjukkan
ada
sebuah
jembatan
dari
sungai
di
ujung
timur
kampung,
selain
itu
ada
jalur
jalan
di
sepanjang
garis
pantai.
Tapi
apa
yang
ditunjukkan
peta
berbeda
dengan
kenyataan:
jalanannya
berakhir
di
tepi
sungai,
tempat
di
mana
dahulu
pernah
ada
jembatan.
Kami
menyeberangi
sungai
satu
demi
satu
dalam
perahu
kecil
yang
didayung
oleh
seorang
anak
perempuan
berumur
12
tahun.
Ia
mendayng
sangat
cepat
karena
takut
buaya.
Setibanya
kami
di
sisi
lain
sungai,
kami
berjalan
kaki
selama
45
menit
di
pantai
sebelum
mencengkeram
tanaman
rambat
untuk
memanjat
bukit
curam.
Kami
menemukan
sisa-‐sisa
tanaman
merambat
memenuhi
jalan
perintis
yang
hilang
disapu
banjir
bandang
dalam
hitungan
bulan.
Setelah
berjalan
setengah
jam
di
jalur
barulah
kami
menyadari
bahwa
jalur
yang
kami
lewati
ini
dulu
adalah
jalanan.
Setelah
beberapa
jam
kami
menyadari
bahwa
orang
yang
memandu
kami
tidak
begitu
memahami
konsep
ruang
dan
waktu.
Dia
selalu
menjawab
setiap
pertanyaan
yang
berkaitan
dengan
jarak:
'satu
jam
setengah'.
Semakin
ke
timur
pesisir
Tambrauw
terletak
pantai
peneluran
penyu
belimbing
terbesar
di
dunia.
Sementara
kea
rah
darat,
terdapat
daerah
penebangan
kayu
yang
besar
sekali,
dimiliki
oleh
perusahaan
kayu
dari
Jakarta
bernama
PT
Multi
Wahana
Wijaya
yang
memegang
hak
konsesi
selama
45
tahun.
Semakin
beratnya
kondisi
topografi
membuat
perjalanan
semakin
sulit,
namun
tidak
selamanya
demikian.
Bagi
kami
perjalanan
ini
lebih
ke
masalah
waktu,
bukan
soal
medan
yang
sulit.
Bila
mencoba
hidup
di
sini,
kondisi
saya
mungkin
saja
jadi
tidak
begitu
baik
karena
kekurangan
protein,
namun
saya
masih
bisa
bertahan
hidup
dengan
memakan
buah,
umbi-‐
umbian,
dan
air.
Ancaman
terbesar
bisa
datang
dari
pemilik
kebun
yang
buah
dan
umbinya
saya
ambil.
Ancaman
lainnya
adalah
nyamuk.
Namun
bagi
penduduk
setempat
yang
sudah
mengenal
seluk
beluk
daerah
ini,
hutan,
sungai
dan
laut,
kesemuanya
berfungsi
sebagai
supermarket
alam.
Bagaimana
bisa
mati
kelaparan?
Bukan
hal
yang
klise
untuk
mengatakan
bahwa
Papua
adalah
tanah
yang
kaya
dan
subur.
Tambrauw
pun
demikian.
Populasi
di
distrik
ini
tersebar
dan
keberlanjutan
birokrasinya
sebagai
daerah
pemekaran
adalah
kelemahan
terbaiknya.
Meskipun
sudah
mulai
ditebang,
hutan
Tambrauw
masih
cukup
lebat,
di
dalamnya
hidup
banyak
babi
hutan,
kangguru
pohon,
dan
tikus
besar
yang
dianggap
lezat.
Masih
ada
lagi
singkong,
talas,
sagu,
dan
ubi
jalar
pada
daerah-‐daerah
yang
lebih
tinggi,
juga
ada
pisang,
papaya,
buah
merah
(yang
berbentuk
seperti
wortel
besar)
dan
buah-‐buahan
lainnya.
Mati
kelaparan
bukanlah
cara
yang
mudah
untuk
mati.
Perlu
proses
yang
panjang
dimana
sel
makro
rusak,
terjadi
atrofi
otot,
penglihatan
berkurang,
hingga
gagal
fungsi
organ.
Mereka
yang
meninggal
dengan
cepat
karena
kelaparan
biasanya
terjadi
karena
juga
mengalami
dehidrasi.
Untuk
kejadian
kelaparan
di
tempat
di
mana
air
melimpah
seperti
di
Tambrauw
yang
mengalami
musim
hujan
lebat
pada
periode
November-‐Maret
(saat
bencana
kelaparan
diduga
terjadi
pada
tahun
2012
dan
2013)
diperlukan
waktu
lebih
sebulan
bagi
seseorang
yang
kelaparan
untuk
sampai
pada
kematian.
Selama
masa
kelaparan,
orang
lanjut
usia
dan
anak
muda
adalah
golongan
pertama
yang
menyerah,
diikuti
oleh
orang
dewasa
yang
akan
mengalami
kematian
berdasarkan
kondisinya
sebelum
terpapar
kelaparan
dan
tergantung
pada
cadangan
otot
dan
lemaknya.
Dalam
teori,
90
orang
yang
diduga
meninggal
di
Kwoor
pastinya
adalah
orang-‐orang
yang
paling
lemah.
Mereka
mungkin
telah
ditinggalkan
secara
massal
oleh
orang-‐orang
yang
lebih
kuat
untuk
mencari
lokasi
lain
bersama
dengan
beberapa
orang
yang
mampu
dibawa
serta.
Bahkan
beberapa
minggu
dalam
kondisi
kelaparan
seperti
itu,
orang
terkuat
saja
yang
bisa
mencapai
pesisir,
menyeret
atau
menggendong
anggota
keluarga
mereka
yang
lebih
lemah
beserta
anak-‐anak.
Begitu
mereka
mencapai
pantai,
berita
tentang
kehadiran
mereka
pastilah
menyebar
melalui
kamera
HP,
SMS,
dan
gerakan
kemanusiaan
di
Sausapor
dan
Sorong.
Sebuah
cerita
seperti
yang
dipublikasikan
Suara
Papua
pastinya
akan
menjadi
awal
dari
berita
besar.
Kondisi
seperti
kelaparan
massal,
di
tanah
yang
kaya,
adalah
hal
yang
mustahil
kecuali
orang-‐orang
sengaja
tidak
diberi
makan
karena
sumber
makanannya
ditahan.
Walaupun
demikian,
menahan
sumber
pangan
bukanlah
hal
yang
mudah
karena,
tidak
seperti
beras,
makanan
di
sana
tidak
disimpan
di
antara
musim
panen
dan
waktu
konsumsi.
Satu-‐satunya
cara
adalah
dengan
menahan
orang
di
daerah
yang
tidak
memungkinkan
bagi
orang
untuk
meramu.
Sebuah
contoh
buruk
pernah
terjadi
di
bawah
militer
Indonesia,
terjadi
di
Lalerek
Mutin,
Timor
Timur
pada
tahun
1983
sehingga
dugaan
kelaparan
menjadi
lebih
masuk
akal
bagi
mereka
yang
melihat
Papua
dalam
bingkai
genosida
–
hal
yang
lebih
disukai
oleh
para
pendukung
kemerdekaan.
Kita
sering
mengasosiasikan
genosida
dengan
gambaran
struktur
fisik
seperti
kamp
atau
lapangan
tandus
yang
dikelilingi
kawat
berduri.
Di
Papua,
gambaran
seperti
ini,
tentu
saja
tidak
masuk
akal.
Sewaktu
berada
di
Tambrauw,
saya
tidak
melihat
satu
pun
petugas
TNI
maupun
Polisi.
Satu-‐
satunya
tanda
kehadiran
pelindung
rakyat
di
Kwoor
adalah
monument
beton
tua
berlumut
peninggalan
era
Soeharto
yang
dibaung
program
ABRI
Masuk
Desa
sekitar
tahun
1993,
dimana
saat
itu
tentara
dari
Komando
Militer
Cenderawasih
melakukan
latihan
‘memenangkan
hati
dan
pikiran’
dengan
mendirikan
sebuah
bangunan
dan
membuka
pelayanan
kesehatan.
Alih-‐alih
militer,
di
Tambraw
saya
melihat
apa
yang
biasanya
saya
jumpai
di
daerah
pemekaran:
kegagalan
dan
ketidakhadiran.
Orang-‐orang
Papua
di
Kwoor
menjalani
hidup
seperti
biasa,
berjalan
kaki,
menggunakan
perahu
dan
sampan,
dengan
hanya
sedikit
polesan
negara
yang
tampa
dalam
wujud
bangunan
yang
tertutup,
jalanan
yang
rusak,
infrastruktur
yang
tak
digunakan,
dan
tumpukan
kayu
yang
ditakdirkan
untuk
dunia
luar.
Caption
foto:
‘Jalan’
yang
semakin
menyempit
di
menuju
timur
dari
Kwoor
|
Bobby
Anderson
Ihwal
Cerita
yang
Bertentangan
Kepala
adat
Desa
Baddei
–
satu
dari
beberapa
desa
yang
disebut
dalam
berita
di
Suara
Papua
–
masih
kesal
dengan
berita
kelaparan,
seperti
halnya
banyak
orang
Papua
yang
saya
temui
di
Kwoor
dan
Sausapor.
Namun
Kepala
Baddei
tidak
tau
bahwa
cerita
itu
disambut
hangat
di
luar
negeri
atau
digunakan
sebagai
bukti
anekdot
mengenai
kejahatan
Pemerintah
Indonesia
terhadap
masyarakatnya.
Sebaliknya,
ia
dan
yang
lain
percaya
bahwa
tuduhan
itu
diciptakan
secara
sengaja
untuk
mendiskreditkan
Kepala
Distrik
Tambrauw,
Gabriel
Asem,
dan
struktur
partai
Golkar
setempat.
Ini
adalah
bagian
dari
perjuangan
politik,
pikir
mereka,
dimulai
dari
orang-‐orang
yang
tak
dikenal.
Seseorang
membuat
klaim
yang
tidak
jelas
bahwa
mungkin
cerita
itu
dibuat
oleh
orang-‐orang
yang
ditahan
di
Sausapor,
diduga
sedang
menyusun
berkas
kematian.
Ada
kemungkinan
Hans,
orang
yang
lebih
tua
dari
dua
laki-‐laki
yang
ditangkap,
telah
bertindak
di
luar
dari
niat
baik:
ia
mungkin
mencoba
memberi
tekanan
pada
Pemerintah
Distrik
untuk
segera
menyediakan
layanan
yang
diperlukan
di
daerah
terpencil
seperti
yang
disebut
dalam
cerita
tersebut.
Sama
halnya
dengan
di
dataran
tinggi
Papua,
orang-‐orang
sakit
atau
bahkan
anak-‐anak
yang
mau
ke
sekolah
–
harus
berjalan
keluar
dari
daerah-‐daerah
ini
dan
mencari
layanan
di
berbagai
tempat
dimana
jalan
benar-‐benar
dapat
diakses.
Puskesmas
di
Sausapor
mempertahankan
penggunaan
helikopter
untuk
keadaan
darurat
di
daerah-‐daerah
terpencil
ini,
namun
hal
ini
pun
tidak
efektif:
tidak
ada
radio
SSB
atau
jangkauan
sinyal
telepon
genggam
di
daerah
yang
disebut
mengalami
kelaparan,
dan
karenanya
berita
tentang
orang
yang
sakit
di
daerah-‐daerah
tersebut
biasanya
disampaikan
dari
mulut
ke
mulut,
pertama
ke
Kampung
Kwoor,
lalu
ke
Sausapor.
Dalam
berbagai
keadaan
darurat,
seseorang
bisa
sembuh
atau
meninggal
saat
berita
tersebut
sedang
disebarkan
untuk
bisa
mendapatkan
bantuan
helikopter.
Sekembalinya
saya
dari
Jayapura,
saya
terkejut
mendengar
bahwa
dua
yayasan
yang
berbasis
di
Sorong
bukanlah
satu-‐satunya
lembaga
yang
mencoba
merespon
krisis
pangan
tersebut.
Seorang
pekerja
kesehatan
dari
salah
satu
‘lembaga
adik’
PBB
mengatakan
bahwa
staff
medis
dari
lembaganya
yang
berada
di
Manokwari
juga
pernah
ditugaskan
ke
sana
pada
April
2013
untuk
melakukan
verifikasi
atas
laporan-‐laporan
kelaparan
dan
telah
mengunjungi
desa-‐desa
yang
disebut
dalam
berita
Suara
Papua.
Sebuah
tim
kecil
menuju
ke
Sausapor
dan
menggunakan
helikopter
Pemerintah
Distrik
untuk
mencapai
desa-‐desa
di
mana
diduga
terjadi
kelaparan.
Tim
ini
pergi
sejauh
mungkin
hingga
ke
batas
pantai
untuk
menghitung
bila
ada
makam
dan
mengunjungi
anggota
keluarga
dari
mereka
yang
diduga
telah
meninggal
dunia.
Sementara
tim
ini
menemukan
kurangnya
pelayanan
publik,
mereka
juga
menemukan
kenyataan
bahwa
tidak
ada
satupun
bukti
kematian
akibat
kelaparan.
Lembaga
ini
menuliskan
dalam
laporan
mereka
yang
telah
didiseminasikan
ke
Pemerintah
Provinsi
dan
Pemerintah
Nasional,
tidak
lebih
dari
itu.
Pelajaran
yang
bisa
diambil
Cerita
tentang
(tidak
adanya)
kelaparan
di
Tambrauw
adalah
sangat
relevan
untuk
bebrapa
alasan
kunci.
Cerita
ini
mengilustrasikan
bagaimana
tidak
kritisnya
orang
–
baik
orang
Indonesia
maupun
orang
asing
–
berpikir
tentang
Indonesia,
dan
tentang
Papua.
Cerita
ini
bisa
diterima
begitu
saja
oleh
banyak
jurnalis
dan
aktivis
hak
azasi
manusia
yang
dikenal
oleh
si
penulis,
walaupun
si
penulis
berita
awal
Suara
Papua
terkenal
karena
simpati
dengan
kelompok
aktivis
Papua.
Bagi
banyak
orang
Papua
–
termotivasi
oleh
the
Memoria
Passionis
yang
sulit
disangkal
–
tidak
ada
niat
jahat
yang
tidak
mampu
dilakukan
dari
Pemerintah
Nasional
maupun
Lokal.
Mahasiswa
Papua
di
Yogyakarta
melakukan
demonstrasi
atas
laporan
musibah
kelaparan
ini.
Mereka
kaget
dan
memang
wajar
bila
merasa
demikian.
Kurangnya
akuntabilitas
entara
pemerintah
dan
masyarakat
di
provinsi
paling
timur
saat
penggabungan
Papua
ke
dalam
wilayah
Indonesia,
dan
penderitaan
dari
semua
korban
akibat
penggabungan
tersebut,
menjadi
dasar
semua
alasan
untuk
curiga.
Keterasingan
itulah
yang
kemudian
membuka
ruang
bagi
cerita-‐cerita
semacam
ini
untuk
berakar.
Sementara
masyarakat
Papua
masih
mencurigai
adanya
kedengkian,
bagi
banyak
orang
Indonesia,
cerita
ini
menunjukkan
disfungsi
Pemerintah.
Bagi
kebanyakan
orang
Indonesia,
tidak
ada
tindakan
yang
bisa
diambil
untuk
mengatas
ketidakmampuan
pemerintah
–
mulai
dari
pemerintah
daerah
yang
baru
dimekarkan
hingga
Bupati
yang
sering
absen
dan
berperilaku
seperti
raja
kecil.
Beberapa
teman
di
Yogyakarta,
Jakarta,
dan
Makassar
bisa
percaya
pada
laporan
tentang
adanya
musibah
kelaparan
tersebut
sebab
mereka
yakin
pemerintah
Indoensia
sudah
sangat
rusak.
Namun
para
pengamat
Indonesia,
mereka
yang
peduli
terhadap
Papua
dan
masyarakat
Papua
dan
masyarakat
Indonesia,
memiliki
tanggung
jawab
untuk
curiga
dan
kritis.
Cerita
ini
tidak
benar.
Apapun
tujuan
fiksi
ini
–
apakah
itu
untuk
mendukung
tuduhan
genosida
dan
kemerdekaan
Papua,
atau
untuk
mendiskreditkan
pemimpin
lokal
–
kesemuanya
telah
melemahkan
tujuan
tersebut.
Tak
satupun
dari
tuduhan
tersebut
bisa
meningkatkan
pelayanan
kesehatan.
Lebih
jauh
pemerintah
Indonesia
sendiri
tidak
memberi
reaksi
atau
sanggahan
terhadap
apa
yang
sebenarnya
sudah
diketahui
tidak
benar.
Laporan
yang
dibuat
oleh
badan
PBB
sepertinya
telah
dimasukkan
ke
kantor
Wakil
Presiden.
Kenapa
tidak
didorong
lebih
jauh
lagi?
Reportase
ceroboh
dan
tak
diverifikasi
ini
kerap
kali
dibenarka,
setelah
diekspose,
sebagai
sebuah
perangkat
yang
berfungsi
untuk
menangkap
insiden-‐insiden
lain
yang
belum
pernah
dilaporkan.
Papua
memiliki
banyak
sekali
cerita
yang
dabaikan,
dan
tentang
kelaparan,
dengan
kasus
yang
diverifikasi
terakhir
terjadi
pada
tahun
2006.
Penulis
telah
melihat
beberapa
kasus
salah
gizi
di
dataran
tinggi
pada
tahun
2011
dan
2012.
Namun
menyebaran
fiksi
tidak
patut
dilakukan.
Banyak
sekali
daerah
di
Papua
yang
masih
tetap
terpencil.
Di
luar
kota-‐kota,
pelayanan
pendidikan
dan
kesehatan
masih
sangat
minim,
begitu
pula
dengan
jaringan
komunikasi,
jangkauan
sinyal
telepon
dan
jalur
jalan
yang
dapat
dilewati.
Berbagai
cerita
muncul
dari
berbagai
penjuru
–
tentang
perkelahian
antar
suku,
kedaruratan
bencana,
penyakit.
Kurangnya
pembangunan
menghalangi
cerita-‐cerita
ini
tersebar
lebih
cepat
dan
akurat
adalah
tanggung
jawab
dari
pemerintah
nasional
dan
lokal.
Dan
untuk
hal
itu
mereka
pantas
dikecam.
Namun
cerita-‐cerita
itu
tidak
perlu
sengaja
diciptakan
untuk
mengkritik
pemerintah.
Di
Papua,
terdapat
cukup
banyak
kebenaran
untuk
dipilih
tanpa
harus
menggunakan
fiksi.
-‐-‐
Informasi
Lebih
Lanjut:
Penulis
bekerja
dalam
berberapa
proyek
kesehatan,
pendidikan,
dan
tata
pemerintahan
di
kawasan
timur
Indonesia,
dan
sering
melakukan
perjalanan
ke
Papua.
Penulis
dapat
dihubungi
melalui
email
rubashov@yahoo.com.
dan
Penipuan
Cerita
Kelaparan
Massal
Menunjukkan
Bagaimana
Liputan
Media
dan
Pemerintah
Daerah
di
Papua
Bobby
Anderson
Aslinya
diterbitkan
di
Inside
Indonesia
117,
Jul-‐Sep
2014,
http://www.insideindonesia.org/feature-‐editions/famine-‐and-‐fraud
'Jalan Raya' dari Sorong ke Tambrauw | Bobby Anderson
Pada
April
2013
dilaporkan
95
masyarakat
asli
Papua
meninggal
dunia
akibat
kelaparan
di
Kecamatan
Kwoor,
Kabuapten
Tambrauw,
Papua
Barat.
Sebanyak
533
orang
lainnya
dalam
kondisi
gawat
dan
dirawat
di
Rumah
Sakit.
Banyak
orang
telah
meninggal
sejak
Desember
2012
dan
banyak
korban
terkonsentrasi
di
desa-‐desa
terpencil
Tambraw
seperti
Baddei
(atau
Bakdei),
Jokbi
Joker
(atau
Jokjoker),
dan
Kasyefo.
Tambraw
terletak
di
pesisir
Utara
daerah
Kepala
Burung.
Laporan
tentang
kelaparan
ini
sangat
ironis
karena
Tambrauw
terletak
tepat
di
daerah
dengan
sumberdaya
perikanan
terkaya
di
dunia.
Walaupun
sebagian
besar
populasi
Tambrauw
terkonsentrasi
pada
dan
hidup
dari
laut,
desa-‐desa
yang
dilaporkan
terpapar
bencana
kelaparan
berada
di
belakang
pantai,
dengan
jarak
sekitar
enam
jam
sampai
tiga
hari
berjalan
kaki
dari
Kampung
Kwoor.
Cerita
ini
lalu
beresonansi:
ini
menjadi
indikasi
dari
bagaimana
pandangan
Pemerintah
Indonesia
terhadap
warga
asli
yang
hidup
di
wilayah
paling
timur
dan
paling
tertinggal.
Dan
bagi
banyak
orang,
ini
menjadi
bukti
untuk
mendukung
bahwa
genosida
sedang
terjadi
di
Tanah
Papua.
Cerita
tentang
bencana
kelaparan
menambah
kekuatiran
saat
ada
berita
bahwa
dua
aktivis
Papua,
yohanis
Mambrasar
dan
ayahnya,
Hans,
ditahan
di
kota
Tambrauw,
Sausapor,
karena
mengumpulkan
jenazah
dari
warga
desa
di
sana,
yang
tampaknya
tidak
mendapatkan
pelayanan
kesehatan
yang
baik.
Komisi
Hak
Azasi
Manusia
melaporkan
bahwa
kedua
orang
tersebut
diinterogasi
selama
berjam-‐jam
tentang
aktivitas
separatis
di
daerah
tersebut
dan
kondisi
genting
dikeluarkan
oleh
AHRC.
Hal
implisit
dari
berita
ditahannya
dua
orang
ini
ada
dua:
bahwa
kelaparan
telah
semakin
menyebar
dari
laporan
pertama,
dan
bahwa
pemerintah
setempat
berupaya
menutup-‐nutupinya.
Setelah
beberapa
minggu
perhatian
ditujukan
pada
kelaparan
oleh
beberapa
media,
cerita
ini
kemudian
menghilang
dari
perederan
–
satu
contoh
lagi
dari
kekerasan
struktural
yang
ditujukan
bagi
masyarakat
Papua
oleh
negara,
sementara
para
aktivis
pemberani
berupaya
membuka
tabir
kejahatan
menghilang
akibat
ditahan
polisi.
Insiden
ini
bahkan
menjadi
lebih
penting
karena
bencana
kelaparan
yang
dimaksudkan
sebenarnya
tidak
terjadi.
Asal
mula
cerita
Cerita
bencana
kelaparan
di
Kwoor
pertama
kali
dipublikasikan
di
Suara
Papua,
sebuah
provider
berita
online.
Berita
tersebut
ditulis
Oktovianus
Pogau
dan
sumbernya
attributed
dengan
koalisi
terbesar
Indoensia
untuk
masyarakat
asli,
Aliansi
Masyarakat
Adat
Nusantara
(AMAN).
Cerita
ini
dipilih
begitu
saja
dan
didiseminasikan
oleh
para
aktivis
termasuk
dari
Australia
West
Papua
Association,
Free
West
Papua
Campaign,
West
Papua
Media,
ETAN,
dan
kelompok-‐kelompok
lainnya,
dan
segera
menjadi
perhatian
dan
diliput
oleh
Suara
Pembaruan,
Radio
New
Zealand
International,
Scoop,
Jakarta
Post,
the
Jakarta
Globe,
Kompas,
Waspada
dan
media
Indonesia
lainnya.
Sebuah
tugu
tua
‘ABRI
Masuk
Desa’
di
Kwoor,
didirikan
Juli
1993
|
Bobby
Anderson
Saat
cerita
kelaparan
ini
pertama
kali
dilaporkan,
cerita
ini
tampaknya
cukup
masuk
akal.
Keamanan
pangan
adalah
salah
satu
isu
di
Papua
dan
pernah
terjadi
situasi
darurat
yang
signifikan,
terutama
di
dataran
tinggi,
mulai
dari
pertengahan
1990
hingga
2005
yang
membutuhkan
perhatian
dari
luar.
Di
daerah
dataran
tinggi
yang
lebih
terpencil
dimana
saya
pernah
berkunjung,
saya
terus
melihat
tanda-‐tanda
anak
yang
kurang
gizi
dan
pertumbuhan
terhambat.
Hal
yang
tidak
biasa
tentang
Tambrauw
adalah
bahwa
ini
adalah
daerah
pesisir,
dan
daerah
yang
tergolong
terpencil,
walaupun
sulit
diakses,
tetap
dapat
dijangkau
dengan
berjalan
kaki
dalam
hitungan
hari.
Bagaimana,
kemudian,
orang-‐orang
bisa
mati
kelaparan
di
sana?
Pada
April
2014,
di
hari
yang
sama
dimana
seorang
teman
dengan
koneksi
ke
aktivits
kemerdekaan
di
Selandia
Baru
mengingatkan
sayat
tentang
cerita
ini
–
saya
menghubungi
dua
lembaga
sukarelawan
bidang
pendidikan
dan
kesehatan
yang
berbasis
di
Sorong.
Kedua
lembaga
ini
memiliki
beberapa
program
dan
staff
di
Tambrauw.
Saya
telah
bekerja
dengan
lembaga-‐lembaga
ini
dalam
beberapa
proyek
layanan
di
tahun
2012,
dan
saya
mengetahui
bagaimana
mereka
sangat
passionate
mengadvokasi
hak-‐hak
rakyat
Papua.
Ini
adalah
kelompok
yang
berupaya
menyediakan
layanan
kesehatan
di
tempat
di
mana
layanan
yang
sama
tidak
disediakan
oleh
Pemerintah.
Tidak
satupun
dari
kedua
lembaga
ini
maupun
staff-‐nya
yang
mengetahui
adanya
bencana
kelaparan
di
Kwoor,
dan
ini
termasuk
para
staff
mereka
yang
berdomisili
di
desa-‐desa
yang
disebutkan
dalam
artikel
di
Suara
Papua.
Sementara
itu,
pemerintah
Indonesia
mengeluarkan
penolakan
yang
tidak
dianggap
serius:
ketika
pemerintah
pertama
kali
merespon
cerita
tersebut,
hanya
dikatakan
bahwa
mereka
baru
mengetahui
kasus
tersebut
dan
akan
menindaklanjutinya.
Pernyataan
tersebut
secara
implisit
menunjukkan
bahwa
tidak
ada
perwakilan
pemerintah
di
daerah
tersebut
yang
peduli.
Jawaban
yang
berkesan
tidak
peduli
ini
dianggap
sebagai
bukti
bahwa
sesuatu
yang
buruk
pasti
tengah
terjadi.
Dalam
beberapa
minggu
berikutnya,
staff
dari
kedua
lembaga
ini
mencari
tau
mengenai
kematian
yang
diakibatkan
kelaparan
tersebut
–
tidak
hanya
di
Jokbi
Joker,
Baddei,
dan
Kasyefo,
tapi
juga
di
Syubi,
dan
satu
hari
perjalanan
dari
sana,
di
Kweserer
dan
Kwekrisnos,
di
daerah
yang
katanya
menjadi
pusat
kelaparan
dengan
korban
terbanyak,
namun
mreka
tidak
menemukan
satu
pun
kejadian
kelaparan
di
sana.
Dan
mereka
sangat
tekun
mencari,
tidak
hanya
sekedar
dengan
sinis
menginvestigasi
kebenaran
klaim
tersebut.
Sebaliknya,
mereka
mengejar
dugaan
krisis
untuk
memberi
respon,
hal
yang
sama
juga
mereka
lakukan
di
saat
ada
krisis
kemanusiaan
lainnya.
Salah
seorang
dari
beberapa
yang
terlibat
dalam
pencarian
tersebut
adalah
dokter
ekspatriat,
beliau
bisa
berbahasa
Abun
dengan
lancer,
dan
telah
hidup
dan
bekerja
selama
14
tahun
di
Kwoor,
Tambrauw
–
sebuah
daerah
yang
masyarakatnya
menggunakan
bahasa
Abun.
Mereka
mendapati
hanya
sedikit
jumlah
kematian
yang
disebabkan
demam
di
Jokbi
Joker,
sebuah
kampung
yang
berjarak
enam
jam
perjalanan
dari
Kampung
Kwoor
dan
pesisir
pantai.
Mereka
merasa
bingung,
bagaimana
bisa
terhitung
ada
95
orang
meninggal
dan
553
dalam
keadaan
gawat.
Kematian
yang
diakibatkan
kondisi
demam
di
Jokbi
Joker
kerap
terjadi.
Namun
apakah
jumlah
95
orang
meninggal
dari
demam
tersbut
terjadi
dalam
tiga
tahun
lebih?
Mereka
tidak
tahu.
Mereka
masih
belum
tahu.
Saya
ingin
mengetahui
bagaimana
sebuah
cerita
dapat
bermula
dan
bagaimana
cerita
itu
berakhir
begitu
saja
tanpa
liputan
atau
tindak
lanjut
baik
dari
para
jurnalis
maupun
aktivis.
Jika
para
pekerja
kesehatan
dengan
cepat
menyimpulkan
bahwa
cerita
tersebut
bohong
belaka,
mengapa
orang-‐orang
yang
menyebarkan
cerita
itu
tidak
segera
berhenti
sejak
awal?
Perjalanan
ke
Tambrauw
Pada
Januari
2014,
saya
pergi
dari
sorong
ke
Sausapor,
ibu
kota
Tambrauw,
dan
melanjutkan
perjalanan
ke
Kwoor.
Jalan
menuju
Tambrauw
mulai
rusak
begitu
memasuki
daerah
perbukitan
di
atas
Kota
Sorong,
tempat
dimana
sampah
kota
dibuang
dan
dikeliling
oleh
gubuk-‐gubuk
pendaur
ulang.
Selanjutnya
ada
jalur
jalan
besar
baru
dan
dinding
penahan
longsor
yang
dibangun
dengan
dana
pembangunan
otonomi
khusus.
Jembatan-‐jembatan
baru
menggantikan
jembatan
lama
yang
dibuat
dari
bahan
alam
dan
pepohonan.
Semakin
jelas
terlihat
menyedihkan
begitu
berkendara
memasuki
pinggiran
Sorong
dan
memasuki
Tambrauw,
bahwa
jalan-‐jalan
ini
punya
satu
tujuan:
untuk
membantu
pengrusakan
hutan-‐
hutan
yang
masih
perawan
di
sana.
Camp
penebangan
liar
dan
gubuk-‐gubuk
mulai
bermunculan
seiring
dengan
semakin
banyaknya
tempat
pemotongan
kayu.
Tumpukan-‐
tumpukan
kayu
jelas
terlihat
di
sepanjang
sisi
jalan
sementara
kayu
bulat
hasil
tebangan
diapungkan
di
sungai
Sebuah
pasar
di
Kwoor,
dibangun
dan
dilupakan
|
Bobby
Anderson
Meninggalkan
perbukitan
dan
masuk
ke
daerah
pesisir,
kami
menemukan
jalan
yang
mengerikan,
di
satu
sisinya
masih
ada
hutan,
namun
di
sisi
lainnya
dipenuhi
tanaman
merambat.
Jauh
di
bawah,
deburan
ombak
membuat
kami
berdebar
dan
terjaga
sepanjang
malam
meski
berada
setengah
mil
dari
pantai.
Sausapor
dapat
dicapai
lima
jam
dari
Sorong.
Tempat
ini
mungkin
yang
paling
suram
di
Papua,
dibangun
di
sekitar
landasan
udara
Amerika
yang
dibuat
pada
akhir
Perang
Dunia
II,
dengan
beberapa
jalan
dan
toko
yang
sudah
tutup.
Dua
jam
dari
tepi
kota
Sausapor
terletak
Kwoor.
Kampung
Kwoor,
ibukota
kecamatan
di
mana
layanan
publik
semestinya
tersedia
dan
paling
professional,
terdapat
sekolah
dasar
yang
sebagian
besar
kaca
jendelanya
sudah
pecah.
Ada
juga
sebuah
sekolah
menengah,
yang
dikelola
oleh
yayasan
swasta,
masih
berfungsi.
Dari
tulisan
di
papan
tulis,
tampaknya
saat
itu
para
siswa
sedang
belajar
tentang
peran
Indonesia
di
ASEAN
–
pelajaran
yang
mungkin
ditujukan
untuk
mengajarkan
aspek
positif
tentang
negara
yang
hilang
dari
hidup
mereka.
Tanda-‐tanda
proyek
pembangunan
yang
gagal
sebelumnya
sangat
banyak:
sarana
MCK
tanpa
air,
tangki
air
yang
rusak,
generator
yang
tak
berfungsi,
pasar
tradisional
yang
tak
berdinding
dan
kemudian
dijadikan
tempat
parker
sepeda
motor;
dan
seterusnya.
Pusat
birokrasi
Kwoor
ditandai
dengan
buruknya
layanan,
PNS
yang
mangkir,
dan
gedung-‐gedung
pemerintah
yang
kosong:
ketidakamanan
yang
muncul
dengan
terlalu
sedikitnya
kehadiran
negara.
Pusat
birokrasi
Kwoor
ini
dibedakan
dengan
layanan
terlantar,
absensi
PNS,
dan
gedung-‐
gedung
pemerintah
yang
kosong:
rasa
tidak
aman
yang
datang
dengan
terlalu
sedikit
negara
bukan
terlalu
banyak.
Di
sebelah
timur
Kwoor,
terletak
beberapa
desa
yang
pernah
menjadi
bagian
dari
Kampung
Kwoor.
Desa-‐desa
ini
adalah
desa
hasil
pemekaran.
Tidak
seperti
banyak
contoh
negatif
dari
pemekaran
wilayah,
namun
pemecahan
Kampung
Kwoor
menjadi
beberapa
desa
lagi
tampaknya
memang
tepat
karena
jarak
dari
Kwoor
ke
desa-‐desa
tersebut
membutuhkan
waktu
satu
hari
berjalan
kaki.
Kami
mencoba
pergi
ke
timur,
dan
mengira
perjalanannya
mudah,
karena
peta
saya
menunjukkan
ada
sebuah
jembatan
dari
sungai
di
ujung
timur
kampung,
selain
itu
ada
jalur
jalan
di
sepanjang
garis
pantai.
Tapi
apa
yang
ditunjukkan
peta
berbeda
dengan
kenyataan:
jalanannya
berakhir
di
tepi
sungai,
tempat
di
mana
dahulu
pernah
ada
jembatan.
Kami
menyeberangi
sungai
satu
demi
satu
dalam
perahu
kecil
yang
didayung
oleh
seorang
anak
perempuan
berumur
12
tahun.
Ia
mendayng
sangat
cepat
karena
takut
buaya.
Setibanya
kami
di
sisi
lain
sungai,
kami
berjalan
kaki
selama
45
menit
di
pantai
sebelum
mencengkeram
tanaman
rambat
untuk
memanjat
bukit
curam.
Kami
menemukan
sisa-‐sisa
tanaman
merambat
memenuhi
jalan
perintis
yang
hilang
disapu
banjir
bandang
dalam
hitungan
bulan.
Setelah
berjalan
setengah
jam
di
jalur
barulah
kami
menyadari
bahwa
jalur
yang
kami
lewati
ini
dulu
adalah
jalanan.
Setelah
beberapa
jam
kami
menyadari
bahwa
orang
yang
memandu
kami
tidak
begitu
memahami
konsep
ruang
dan
waktu.
Dia
selalu
menjawab
setiap
pertanyaan
yang
berkaitan
dengan
jarak:
'satu
jam
setengah'.
Semakin
ke
timur
pesisir
Tambrauw
terletak
pantai
peneluran
penyu
belimbing
terbesar
di
dunia.
Sementara
kea
rah
darat,
terdapat
daerah
penebangan
kayu
yang
besar
sekali,
dimiliki
oleh
perusahaan
kayu
dari
Jakarta
bernama
PT
Multi
Wahana
Wijaya
yang
memegang
hak
konsesi
selama
45
tahun.
Semakin
beratnya
kondisi
topografi
membuat
perjalanan
semakin
sulit,
namun
tidak
selamanya
demikian.
Bagi
kami
perjalanan
ini
lebih
ke
masalah
waktu,
bukan
soal
medan
yang
sulit.
Bila
mencoba
hidup
di
sini,
kondisi
saya
mungkin
saja
jadi
tidak
begitu
baik
karena
kekurangan
protein,
namun
saya
masih
bisa
bertahan
hidup
dengan
memakan
buah,
umbi-‐
umbian,
dan
air.
Ancaman
terbesar
bisa
datang
dari
pemilik
kebun
yang
buah
dan
umbinya
saya
ambil.
Ancaman
lainnya
adalah
nyamuk.
Namun
bagi
penduduk
setempat
yang
sudah
mengenal
seluk
beluk
daerah
ini,
hutan,
sungai
dan
laut,
kesemuanya
berfungsi
sebagai
supermarket
alam.
Bagaimana
bisa
mati
kelaparan?
Bukan
hal
yang
klise
untuk
mengatakan
bahwa
Papua
adalah
tanah
yang
kaya
dan
subur.
Tambrauw
pun
demikian.
Populasi
di
distrik
ini
tersebar
dan
keberlanjutan
birokrasinya
sebagai
daerah
pemekaran
adalah
kelemahan
terbaiknya.
Meskipun
sudah
mulai
ditebang,
hutan
Tambrauw
masih
cukup
lebat,
di
dalamnya
hidup
banyak
babi
hutan,
kangguru
pohon,
dan
tikus
besar
yang
dianggap
lezat.
Masih
ada
lagi
singkong,
talas,
sagu,
dan
ubi
jalar
pada
daerah-‐daerah
yang
lebih
tinggi,
juga
ada
pisang,
papaya,
buah
merah
(yang
berbentuk
seperti
wortel
besar)
dan
buah-‐buahan
lainnya.
Mati
kelaparan
bukanlah
cara
yang
mudah
untuk
mati.
Perlu
proses
yang
panjang
dimana
sel
makro
rusak,
terjadi
atrofi
otot,
penglihatan
berkurang,
hingga
gagal
fungsi
organ.
Mereka
yang
meninggal
dengan
cepat
karena
kelaparan
biasanya
terjadi
karena
juga
mengalami
dehidrasi.
Untuk
kejadian
kelaparan
di
tempat
di
mana
air
melimpah
seperti
di
Tambrauw
yang
mengalami
musim
hujan
lebat
pada
periode
November-‐Maret
(saat
bencana
kelaparan
diduga
terjadi
pada
tahun
2012
dan
2013)
diperlukan
waktu
lebih
sebulan
bagi
seseorang
yang
kelaparan
untuk
sampai
pada
kematian.
Selama
masa
kelaparan,
orang
lanjut
usia
dan
anak
muda
adalah
golongan
pertama
yang
menyerah,
diikuti
oleh
orang
dewasa
yang
akan
mengalami
kematian
berdasarkan
kondisinya
sebelum
terpapar
kelaparan
dan
tergantung
pada
cadangan
otot
dan
lemaknya.
Dalam
teori,
90
orang
yang
diduga
meninggal
di
Kwoor
pastinya
adalah
orang-‐orang
yang
paling
lemah.
Mereka
mungkin
telah
ditinggalkan
secara
massal
oleh
orang-‐orang
yang
lebih
kuat
untuk
mencari
lokasi
lain
bersama
dengan
beberapa
orang
yang
mampu
dibawa
serta.
Bahkan
beberapa
minggu
dalam
kondisi
kelaparan
seperti
itu,
orang
terkuat
saja
yang
bisa
mencapai
pesisir,
menyeret
atau
menggendong
anggota
keluarga
mereka
yang
lebih
lemah
beserta
anak-‐anak.
Begitu
mereka
mencapai
pantai,
berita
tentang
kehadiran
mereka
pastilah
menyebar
melalui
kamera
HP,
SMS,
dan
gerakan
kemanusiaan
di
Sausapor
dan
Sorong.
Sebuah
cerita
seperti
yang
dipublikasikan
Suara
Papua
pastinya
akan
menjadi
awal
dari
berita
besar.
Kondisi
seperti
kelaparan
massal,
di
tanah
yang
kaya,
adalah
hal
yang
mustahil
kecuali
orang-‐orang
sengaja
tidak
diberi
makan
karena
sumber
makanannya
ditahan.
Walaupun
demikian,
menahan
sumber
pangan
bukanlah
hal
yang
mudah
karena,
tidak
seperti
beras,
makanan
di
sana
tidak
disimpan
di
antara
musim
panen
dan
waktu
konsumsi.
Satu-‐satunya
cara
adalah
dengan
menahan
orang
di
daerah
yang
tidak
memungkinkan
bagi
orang
untuk
meramu.
Sebuah
contoh
buruk
pernah
terjadi
di
bawah
militer
Indonesia,
terjadi
di
Lalerek
Mutin,
Timor
Timur
pada
tahun
1983
sehingga
dugaan
kelaparan
menjadi
lebih
masuk
akal
bagi
mereka
yang
melihat
Papua
dalam
bingkai
genosida
–
hal
yang
lebih
disukai
oleh
para
pendukung
kemerdekaan.
Kita
sering
mengasosiasikan
genosida
dengan
gambaran
struktur
fisik
seperti
kamp
atau
lapangan
tandus
yang
dikelilingi
kawat
berduri.
Di
Papua,
gambaran
seperti
ini,
tentu
saja
tidak
masuk
akal.
Sewaktu
berada
di
Tambrauw,
saya
tidak
melihat
satu
pun
petugas
TNI
maupun
Polisi.
Satu-‐
satunya
tanda
kehadiran
pelindung
rakyat
di
Kwoor
adalah
monument
beton
tua
berlumut
peninggalan
era
Soeharto
yang
dibaung
program
ABRI
Masuk
Desa
sekitar
tahun
1993,
dimana
saat
itu
tentara
dari
Komando
Militer
Cenderawasih
melakukan
latihan
‘memenangkan
hati
dan
pikiran’
dengan
mendirikan
sebuah
bangunan
dan
membuka
pelayanan
kesehatan.
Alih-‐alih
militer,
di
Tambraw
saya
melihat
apa
yang
biasanya
saya
jumpai
di
daerah
pemekaran:
kegagalan
dan
ketidakhadiran.
Orang-‐orang
Papua
di
Kwoor
menjalani
hidup
seperti
biasa,
berjalan
kaki,
menggunakan
perahu
dan
sampan,
dengan
hanya
sedikit
polesan
negara
yang
tampa
dalam
wujud
bangunan
yang
tertutup,
jalanan
yang
rusak,
infrastruktur
yang
tak
digunakan,
dan
tumpukan
kayu
yang
ditakdirkan
untuk
dunia
luar.
Caption
foto:
‘Jalan’
yang
semakin
menyempit
di
menuju
timur
dari
Kwoor
|
Bobby
Anderson
Ihwal
Cerita
yang
Bertentangan
Kepala
adat
Desa
Baddei
–
satu
dari
beberapa
desa
yang
disebut
dalam
berita
di
Suara
Papua
–
masih
kesal
dengan
berita
kelaparan,
seperti
halnya
banyak
orang
Papua
yang
saya
temui
di
Kwoor
dan
Sausapor.
Namun
Kepala
Baddei
tidak
tau
bahwa
cerita
itu
disambut
hangat
di
luar
negeri
atau
digunakan
sebagai
bukti
anekdot
mengenai
kejahatan
Pemerintah
Indonesia
terhadap
masyarakatnya.
Sebaliknya,
ia
dan
yang
lain
percaya
bahwa
tuduhan
itu
diciptakan
secara
sengaja
untuk
mendiskreditkan
Kepala
Distrik
Tambrauw,
Gabriel
Asem,
dan
struktur
partai
Golkar
setempat.
Ini
adalah
bagian
dari
perjuangan
politik,
pikir
mereka,
dimulai
dari
orang-‐orang
yang
tak
dikenal.
Seseorang
membuat
klaim
yang
tidak
jelas
bahwa
mungkin
cerita
itu
dibuat
oleh
orang-‐orang
yang
ditahan
di
Sausapor,
diduga
sedang
menyusun
berkas
kematian.
Ada
kemungkinan
Hans,
orang
yang
lebih
tua
dari
dua
laki-‐laki
yang
ditangkap,
telah
bertindak
di
luar
dari
niat
baik:
ia
mungkin
mencoba
memberi
tekanan
pada
Pemerintah
Distrik
untuk
segera
menyediakan
layanan
yang
diperlukan
di
daerah
terpencil
seperti
yang
disebut
dalam
cerita
tersebut.
Sama
halnya
dengan
di
dataran
tinggi
Papua,
orang-‐orang
sakit
atau
bahkan
anak-‐anak
yang
mau
ke
sekolah
–
harus
berjalan
keluar
dari
daerah-‐daerah
ini
dan
mencari
layanan
di
berbagai
tempat
dimana
jalan
benar-‐benar
dapat
diakses.
Puskesmas
di
Sausapor
mempertahankan
penggunaan
helikopter
untuk
keadaan
darurat
di
daerah-‐daerah
terpencil
ini,
namun
hal
ini
pun
tidak
efektif:
tidak
ada
radio
SSB
atau
jangkauan
sinyal
telepon
genggam
di
daerah
yang
disebut
mengalami
kelaparan,
dan
karenanya
berita
tentang
orang
yang
sakit
di
daerah-‐daerah
tersebut
biasanya
disampaikan
dari
mulut
ke
mulut,
pertama
ke
Kampung
Kwoor,
lalu
ke
Sausapor.
Dalam
berbagai
keadaan
darurat,
seseorang
bisa
sembuh
atau
meninggal
saat
berita
tersebut
sedang
disebarkan
untuk
bisa
mendapatkan
bantuan
helikopter.
Sekembalinya
saya
dari
Jayapura,
saya
terkejut
mendengar
bahwa
dua
yayasan
yang
berbasis
di
Sorong
bukanlah
satu-‐satunya
lembaga
yang
mencoba
merespon
krisis
pangan
tersebut.
Seorang
pekerja
kesehatan
dari
salah
satu
‘lembaga
adik’
PBB
mengatakan
bahwa
staff
medis
dari
lembaganya
yang
berada
di
Manokwari
juga
pernah
ditugaskan
ke
sana
pada
April
2013
untuk
melakukan
verifikasi
atas
laporan-‐laporan
kelaparan
dan
telah
mengunjungi
desa-‐desa
yang
disebut
dalam
berita
Suara
Papua.
Sebuah
tim
kecil
menuju
ke
Sausapor
dan
menggunakan
helikopter
Pemerintah
Distrik
untuk
mencapai
desa-‐desa
di
mana
diduga
terjadi
kelaparan.
Tim
ini
pergi
sejauh
mungkin
hingga
ke
batas
pantai
untuk
menghitung
bila
ada
makam
dan
mengunjungi
anggota
keluarga
dari
mereka
yang
diduga
telah
meninggal
dunia.
Sementara
tim
ini
menemukan
kurangnya
pelayanan
publik,
mereka
juga
menemukan
kenyataan
bahwa
tidak
ada
satupun
bukti
kematian
akibat
kelaparan.
Lembaga
ini
menuliskan
dalam
laporan
mereka
yang
telah
didiseminasikan
ke
Pemerintah
Provinsi
dan
Pemerintah
Nasional,
tidak
lebih
dari
itu.
Pelajaran
yang
bisa
diambil
Cerita
tentang
(tidak
adanya)
kelaparan
di
Tambrauw
adalah
sangat
relevan
untuk
bebrapa
alasan
kunci.
Cerita
ini
mengilustrasikan
bagaimana
tidak
kritisnya
orang
–
baik
orang
Indonesia
maupun
orang
asing
–
berpikir
tentang
Indonesia,
dan
tentang
Papua.
Cerita
ini
bisa
diterima
begitu
saja
oleh
banyak
jurnalis
dan
aktivis
hak
azasi
manusia
yang
dikenal
oleh
si
penulis,
walaupun
si
penulis
berita
awal
Suara
Papua
terkenal
karena
simpati
dengan
kelompok
aktivis
Papua.
Bagi
banyak
orang
Papua
–
termotivasi
oleh
the
Memoria
Passionis
yang
sulit
disangkal
–
tidak
ada
niat
jahat
yang
tidak
mampu
dilakukan
dari
Pemerintah
Nasional
maupun
Lokal.
Mahasiswa
Papua
di
Yogyakarta
melakukan
demonstrasi
atas
laporan
musibah
kelaparan
ini.
Mereka
kaget
dan
memang
wajar
bila
merasa
demikian.
Kurangnya
akuntabilitas
entara
pemerintah
dan
masyarakat
di
provinsi
paling
timur
saat
penggabungan
Papua
ke
dalam
wilayah
Indonesia,
dan
penderitaan
dari
semua
korban
akibat
penggabungan
tersebut,
menjadi
dasar
semua
alasan
untuk
curiga.
Keterasingan
itulah
yang
kemudian
membuka
ruang
bagi
cerita-‐cerita
semacam
ini
untuk
berakar.
Sementara
masyarakat
Papua
masih
mencurigai
adanya
kedengkian,
bagi
banyak
orang
Indonesia,
cerita
ini
menunjukkan
disfungsi
Pemerintah.
Bagi
kebanyakan
orang
Indonesia,
tidak
ada
tindakan
yang
bisa
diambil
untuk
mengatas
ketidakmampuan
pemerintah
–
mulai
dari
pemerintah
daerah
yang
baru
dimekarkan
hingga
Bupati
yang
sering
absen
dan
berperilaku
seperti
raja
kecil.
Beberapa
teman
di
Yogyakarta,
Jakarta,
dan
Makassar
bisa
percaya
pada
laporan
tentang
adanya
musibah
kelaparan
tersebut
sebab
mereka
yakin
pemerintah
Indoensia
sudah
sangat
rusak.
Namun
para
pengamat
Indonesia,
mereka
yang
peduli
terhadap
Papua
dan
masyarakat
Papua
dan
masyarakat
Indonesia,
memiliki
tanggung
jawab
untuk
curiga
dan
kritis.
Cerita
ini
tidak
benar.
Apapun
tujuan
fiksi
ini
–
apakah
itu
untuk
mendukung
tuduhan
genosida
dan
kemerdekaan
Papua,
atau
untuk
mendiskreditkan
pemimpin
lokal
–
kesemuanya
telah
melemahkan
tujuan
tersebut.
Tak
satupun
dari
tuduhan
tersebut
bisa
meningkatkan
pelayanan
kesehatan.
Lebih
jauh
pemerintah
Indonesia
sendiri
tidak
memberi
reaksi
atau
sanggahan
terhadap
apa
yang
sebenarnya
sudah
diketahui
tidak
benar.
Laporan
yang
dibuat
oleh
badan
PBB
sepertinya
telah
dimasukkan
ke
kantor
Wakil
Presiden.
Kenapa
tidak
didorong
lebih
jauh
lagi?
Reportase
ceroboh
dan
tak
diverifikasi
ini
kerap
kali
dibenarka,
setelah
diekspose,
sebagai
sebuah
perangkat
yang
berfungsi
untuk
menangkap
insiden-‐insiden
lain
yang
belum
pernah
dilaporkan.
Papua
memiliki
banyak
sekali
cerita
yang
dabaikan,
dan
tentang
kelaparan,
dengan
kasus
yang
diverifikasi
terakhir
terjadi
pada
tahun
2006.
Penulis
telah
melihat
beberapa
kasus
salah
gizi
di
dataran
tinggi
pada
tahun
2011
dan
2012.
Namun
menyebaran
fiksi
tidak
patut
dilakukan.
Banyak
sekali
daerah
di
Papua
yang
masih
tetap
terpencil.
Di
luar
kota-‐kota,
pelayanan
pendidikan
dan
kesehatan
masih
sangat
minim,
begitu
pula
dengan
jaringan
komunikasi,
jangkauan
sinyal
telepon
dan
jalur
jalan
yang
dapat
dilewati.
Berbagai
cerita
muncul
dari
berbagai
penjuru
–
tentang
perkelahian
antar
suku,
kedaruratan
bencana,
penyakit.
Kurangnya
pembangunan
menghalangi
cerita-‐cerita
ini
tersebar
lebih
cepat
dan
akurat
adalah
tanggung
jawab
dari
pemerintah
nasional
dan
lokal.
Dan
untuk
hal
itu
mereka
pantas
dikecam.
Namun
cerita-‐cerita
itu
tidak
perlu
sengaja
diciptakan
untuk
mengkritik
pemerintah.
Di
Papua,
terdapat
cukup
banyak
kebenaran
untuk
dipilih
tanpa
harus
menggunakan
fiksi.
-‐-‐
Informasi
Lebih
Lanjut:
Penulis
bekerja
dalam
berberapa
proyek
kesehatan,
pendidikan,
dan
tata
pemerintahan
di
kawasan
timur
Indonesia,
dan
sering
melakukan
perjalanan
ke
Papua.
Penulis
dapat
dihubungi
melalui
rubashov@yahoo.com.