PROGRAM KELAS KARYAWAN Semester Genap Ta

PROGRAM KELAS KARYAWAN
Semester Genap – Tahun Akademik 2013/2014
Fakultas Ilmu Komunikasi – Marketing Communication & Advertising
M E T O D E

K U A L I T AT I F

Dosen : Dr. Farid Hamid, S.Sos, M.Si

Pesan Dalam Tarian Kecak di Bali
Penelitian Kualitatif
dengan
Pendekatan Etnografi Skripsi

Penulis :
Octavia Riama

44311110063

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Komunikasi

adalah

“transmisi

informasi,

gagasan,

emosi,

keterampilan,

dengan

menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau
proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi”. (Berelson dan Steiner, dalam
Mulyana, 2002: 62). Sementara itu, pendapat lain mengemukakan bahwa: Pesan merupakan

seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai atau gagasan. Pesan
mempunyai tiga komponen, yaitu makna, simbol yang digunakan untuk menyampaikan
makna, dan bentuk organisasi pesan. Simbol terpenting adalah kata-kata (bahasa), yang dapat
mempresentasikan objek (benda), gagasan, dan perasaan, baik ucapan (percakapan,
wawancara, diskusi, ceramah dan sebagainya) ataupun tulisan (surat, esai, artikel, novel,
puisi, pamflet, dan sebagainya).
Kata-kata memungkinkan kita berbagi pikiran dengan orang lain. Pesan juga dapat
dirumuskan secara nonverbal, seperti melalui tindakan atau isyarat anggota tubuh (acungan
jempol, anggukan kepala, senyuman, tatapan mata, dan sebagainya), juga melalui musik,
lukisan, patung, tarian. (Lasswell, dalam Mulyana, 2002: 63). Kita mempersepsi manusia
tidak hanya lewat bahasa verbalnya, bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, dan
sebagainya), namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Pentingnya pesan nonverbal ini,
misalnya dilukiskan frase, “bukan apa yang ia katakan, melainkan bagaimana ia
mengatakannya”.
Lewat perilaku nonverbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia
sedang bahagia, bingung, atau sedih. Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan
perilaku nonverbalnya, yang mendorong untuk mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana,
pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata: Komunikasi nonverbal
mencakup semua rangsangan, (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi,
yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan, mempunyai nilai pesan potensial

bagi pengirim atau penerima. Jadi, defenisi mencakup perilaku yang disengaja ataupun tidak
sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan.

Kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa hal tersebut bermakna bagi
orang lain. (Samovar dan Porter, dalam Mulyana, 2002: Beberapa subkultur tari dan musik
menunjukkan kekhasan perilaku nonverbal penari atau penyanyinya ketika mereka sedang
menari atau menyanyi. Bahasa tubuh penari yang menarikan tari Bali sangat khas, sekhas
bahasa tubuh penari India ketika menarikan tari India. Bahasa tubuh penyanyi dangdut
banyak menggoyangkan pinggul. Sama halnya, dengan pesan yang terkandung dalam tarian
Kecak Bali, yakni dilihat dari bahasa tubuhnya, mengisyaratkan bahwa tariannya memiliki
karakteristik yang gaib, tari Kecak diambil dari ritual tarian sanghyang. Tari Kecak adalah
Tarian Bali yang unik dan populer bagi turis di pulau Dewata Bali .Tari dinyanyikan oleh
para penari tari kecak dianggap mirip dengan suara monyet, maka turis mancanegara
menyebut tari kecak Bali ini sebagai “Monkey Dance”. Istilah nama kecak sendiri diduga
berasal dari suara tarian ini sendiri, yaitu kecak, kecak, cak, cak, cak,cak uhh. Suara yang
terdengar aneh tapi unik, harmonis irama bunyi ini diucapkan sepanjang pertunjukan tari
kecak Bali, dengan diselingi ucapan dengan aksen tertentu dalam tarian kecak ini, dimana
ritme irama harmonis bunyi nyanyian para penari tari kecak ini menimbulkan suasana magis.
Pada Tari kecak, penari kecak tidak menggunakan alat musik lain, tapi hanya menggunakan
kincringan yang berbunyi pada kaki para penari kecak. Tari Kecak disebut juga sebagai tari

"Cak" atau tari api (Fire Dance) merupakan tari pertunjukan masal atau hiburan dan cendrung
sebagai sendratari yaitu seni drama dan tari karena seluruhnya menggambarkan seni peran
dari "Lakon Pewayangan" seperti Rama Sinta dan tidak secara khusus digunakan dalam ritual
agama hindu seperti pemujaan, odalan dan upacara lainnya.

Pada awalnya tari kecak merupakan suatu seni musik yang di hasilkan dari perpaduan suara
yang biasa mengiringi tarian sahyang. Pada mulanya hanya dapat di pentaskan di pura,
karena Tarian Sahyang merupakan salah satu tarian sakral. Namun pada tahun 1930an
muncul seorang seniman bernama Wayan Limbak yang bekerja sama dengan seorang pelukis
dari Jerman yang bernama Walter Spies yang mencoba mengembangkan tarian ini dengan
mengambil bagian dari cerita ramayana yang di dramatarikan sebagai pengganti dari tarian
sahyang dengan tujuan agar tarian ini dapat dipentaskan di depan khalayak ramai. Bagian
cerita yang diambil dan di dramatarikan awalnya adalah ketika Dewi Shinta di culik oleh
Raja Rahwana. Tari kecak di Bali mengalami terus mengalami perubahan dan perkembangan
sejak tahun 1970-an. Perkembangan yang bisa dilihat adalah dari segi cerita dan pementasan.
Dari segi cerita untuk pementasan tidak hanya berpatokan pada satu bagian dari Ramayana

tapi juga bagian bagian cerita yang lain dari Ramayana. Kemudian dari segi pementasan juga
mulai mengalami perkembangan tidak hanya ditemui di satu tempat seperti Desa
Bona,Gianyar namun juga desa-desa yang lain di Bali mulai mengembangkan tari kecak

sehingga di seluruh Bali terdapat puluhan group kecak dimana anggotanya biasanya para
anggota banjar. Kegiatan kegiatan seperti festival tari Kecak juga sering dilaksanakan di Bali
baik oleh pemerintah atau pun oleh sekolah seni yang ada di Bali. Serta dari jumlah penari
terbanyak yang pernah dipentaskan dalam tari kecak tercatat pada tahun 1979 dimana
melibatkan 500 orang penari. Pada saat itu dipentaskan kecak dengan mengambil cerita dari
Mahabarata. Namun rekor ini dipecahkan oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan yang
menyelenggarakan kecak kolosal dengan 5000 penari pada tanggal 29 September 2006,
di Tanah.
Sebagai suatu pertunjukan tari kecak didukung oleh beberapa factor yang sangat penting,
Lebih lebih dalam pertunjukan kecak ini menyajikan tarian sebagai pengantar cerita, tentu
musik sangat vital untuk mengiringi lenggak lenggok penari. Namun dalam dalam Tari
Kecak musik dihasilkan dari perpaduan suara angota cak yang berjumlah sekitar 50 – 70
orang semuanya akan membuat musik secara akapela, seorang akan bertindak sebagai
pemimpin yang memberika nada awal seorang lagi bertindak sebagai penekan yang bertugas
memberikan tekanan nada tinggi atau rendah seorang bertindak sebagai penembang solo, dan
sorang lagi akan bertindak sebagai ki dalang yang mengantarkan alur cerita. Penari dalam tari
kecak dalam gerakannya tidak mestinya mengikuti pakem pakem tari yang diiringi oleh
gamelan. Jadi dalam tari kecak ini gerak tubuh penari lebih santai karena yang diutamakan
adalah jalan cerita dan perpaduan suara. Iring-iringan lagu atau musik yang mengiringi tari
Kecak selama berlangsung diambil dari ritual tarian Sanghyang, yang tidak menggunakan

alat musik. Akan tetapi hanya menggunakan kincringan yang dikenakan pada kaki penari
yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana.

Ciri khas tari kecak adalah harmonisasi suara dan gerak yang ditampilkan puluhan penarinya
dan semuanya itu dilakukan bahkan tanpa adanya seseorang yang bertugas sebagai pemberi
komando. Tentu tidak mudah mengharmonisasikan suara dan gerak sekian puluh orang untuk
menjadi sebuah rangkaian tari bernuansa magis tersebut. Inilah salah satu keunggulan Bali,
selain memiliki pesona keindahan alam yang menjadikannya dinobatkan sebagai Pulau
Dewata, Bali juga mampu mengolah dan mengemas seni budayanya menjadi sebuah sajian
atau atraksi wisata yang menarik bagi wisatawan. Makna sebuah kesenian bisa berubah

sesuai dengan zamannya dan sesuai dengan orang yang memaknainya. Pemaknaan itu juga
akan sangat tergantung kepada tujuan orang yang memberi makna itu. Demikian halnya
dengan Tarian Kecak. Maknanya berubah dari dahulu sebagai kepercayaan gaib dan sekarang
berubah menjadi seni dan panggung hiburan, namun perubahan itu hanyalah menyangkut
paham sesuai dengan alam pikirannya masing-masing, sedangkan intinya sama.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: Bahwa pesan yang
dikomunikasikan melalui tarian Kecak Bali, ditujukan kepada manusia agar dapat bertingkah
laku setia, tidak tamak/serakah dan takwa kepada Tuhan. Pesan tersebut bersifat nonverbal

dan hanya dapat ditangkap dan dimaknai melalui gerakan tari dan musiknya.
1.3. Identifikasi Masalah
Setelah melakukan penelitian awal, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yang akan
dijadikan dasar untuk mengetahui lebih jauh mengenai pesan dalam tarian Kecak Bali sebagai
berikut:
1. Bagaimana tarian Kecak dimaknai sebagai suatu pesan yang diungkapkan melalui
gerak dan musik dalam konteks kehidupan masyarakat Bali?
2. Bagaimana pesan moral itu disampaikan melalui tarian Kecak?
1.4. Alasan Pemilihan Masalah
Masalah yang dipilih dalam penelitian ini, karena ketertarikan penulis untuk mengupas lebih
jauh mengenai pesan dalam tarian Kecak. Selain itu, keunikan pesan dalam tarian Kecak
merupakan daya tarik bagi penulis untuk menelusuri lebih jauh lagi. Pesan dalam tarian
Kecak, ialah nonverbal, yakni menginformasikan kepada manusia agar bertingkah laku setia,
tidak tamak/serakah dan takwa kepada Tuhan. Dengan kata lain, tarian Kecak merupakan
tokoh dalam cerita Rama yang memohon kepada Dewata, yang diperankan oleh senimannya,
kemudian memberikan pesan moral di dalamnya.
1.5. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1. Makna pesan yang diungkapkan melalui gerak dan musik dalam konteks kehidupan
masyarakat Bali.

2. Pesan moral yang disampaikan melalui sosok Rama dalam tarian Kecak.

1.6. Pembatasan Masalah dan Pengertian Istilah
Agar permasalahan yang diteliti tidak terlalu luas, maka penulis membatasi masalah sesuai
judul yang diketengahkan, yakni permasalahan berkisar pada pesan dalam tarian Kecak Bali.
Pesan tersebut bersifat nonverbal, yang divisualisasikan dalam bentuk tariannya dan
mengandung nilai-nilai moral bagi manusia untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata
sehari-hari. Tarian Kecak menginformasikan kepada manusia agar dapat berlaku sabar,
bertingkah laku setia, tidak tamak/serakah dan takwa kepada Tuhan. Pengertian istilah akan
dipaparkan sesuai judul yang diteliti penulis. Berikut adalah pengertian istilah:
 Pesan : Perintah, nasihat, permintaan, amanat yang harus dilakukan atau disampaikan
kepada orang lain.
 Tari : Gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama dan biasanya diiringi
bunyi-bunyian (musik, gamelan).
 Kecak : Merupakan tari pertunjukan masal atau hiburan dan cendrung sebagai
sendratari yaitu seni drama dan tari karena seluruhnya menggambarkan seni peran
dari "Lakon Pewayangan" seperti Rama Sita dan tidak secara khusus digunakan
dalam ritual agama hindu seperti pemujaan, odalan dan upacara lainnya.
1.7. Kerangka Pikir
Sebagai pegangan dasar untuk mengetahui pesan yang disampaikan dalam tarian Kecak, dan

mengetahui hubungan teks dan konteksnya, perlu disampaikan beberapa pandangan para ahli
mengenai komunikasi, semiotika, serta Kecak itu sendiri. Hal ini penting mengingat pesan itu
sendiri, khususnya dalam Kecak, pada dasarnya adalah sesuatu yang dikomunikasikan lewat
tanda-tanda dan simbol-simbol.
Komunikasi ialah “ketika suatu sumber menyampaikan suatu proses kepada penerima dengan
niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima”. (Miller, 2002:62). Sementara itu,
pesan agar membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki, ialah: Pertama pesan harus
dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikan.
Kedua, pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama
antara komunikator dan komunikan, sehingga secara bersamaan dimengerti. Ketiga, pesan
harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk
memperoleh kebutuhan tersebut. Keempat, pesan harus menyarankan suatu jalan untuk
memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok dan komunikan berada pada

saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki. (Scrhamm, 2003: 41-42).
Adapun fungsi komunikasi menurut Lasswell adalah sebagai berikut:
a. The surveillance of the environment (pengamatan lingkungan)
b. The correlation of the parts of society in responding to the environment (korelasi
kelompok-kelompok dalam masyarakat ketika menanggapi lingkungan)
c. The transmission of the social heritage from one generations to the next (transmisi

warisan sosial dari generasi yang satu ke generasi yang lain) (2003:253254).
Sementara itu, komunikasi terdiri dari verbal dan nonverbal, seperti yang dijelaskan sebagai
berikut: Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi
di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa
banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam
pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat
nonverbal. Ray L. Birdwhistell mengemukakan 65 % dari komunikasi tatap muka adalah
nonverbal, sementara menurut Albert Mehrabian, 93 % dari semua makna sosial dalam
komunikasi tatap muka diperoleh dari isyarat-isyarat noverbal.(Knapp, 2002: 312).
Setiap orang, dalam arti tertentu, membutuhkan sarana atau media untuk berkomunikasi.
Media ini terutama ada dalam bentuk-bentuk simbolis sebagai pembawa maupun pelaksana
makna atau pesan yang akan dikomunikasikan. Makna atau pesan sesuai dengan maksud
pihak komunikator ditangkap oleh pihak lain. Hanya, perlu diingat bahwa simbol-simbol
komunikasi tersebut adalah konstektual dalam suatu masyarakat dan kebudayaannya.
Memang ada sekian banyak definisi kebudayaan. Dari kemungkinan lebih seratus macam
definisi tentang kebudayaan, yang diajukan ilmuwan Amerika “spesialis” Jawa, Clifford
Geertz, barangkali lebih relevan dalam kaitan dengan simbol-simbol komunikasi. Dikatakan
lebih lanjut mengenai simbol-simbol komunikasi sebagai berikut : Kebudayaan adalah sebuah
pola dari makna- makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah.
Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan

dalam bentuk-bentuk simbolik melalui manusia berkomunikasi, mengekalkan dan
memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan.
(Geertz, dalam Susanto, 1992:57). Titik sentral rumusan kebudayaan Geertz terletak pada
simbol, yakni manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui
dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara
historis, bermuatan nilai-nilai. Di sisi lain simbol merupakan acuan wawasan, memberi

“petunjuk” warga budaya tertentu menjalani hidup, media sekaligus pesan komunikasi dan
representasi realitas sosial.
Pesan komunikasi dinyatakan dengan tanda-tanda. Tanda-tanda tersebut terdapat dalam
semiotika, yakni ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah
perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah
manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai
dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).
“Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal objek
objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda”.
(Barthes, 1988:179: Kurniawan, 2001:53).
Salah satu kebutuhan pokok manusia adalah “kebutuhan simbolisasi atau penggunaan
lambang. Manusia memang satu-satunya hewan yang menggunakan lambang, dan itulah yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya”. (Langer, 2002: 83-84). “Keunggulan
manusia atas makhluk lainnya adalah keistemewaan mereka sebagai animal symbolicum ”.
(Cassier, 2002:84). Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan menunjuk sesuatu
lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan
verbal), perilaku nonverbal, dan objek maknanya disepakati bersama, misalnya memasang
bendera di halaman rumah untuk menyatakan penghormatan dan kecintaan kepada negara.
Lebih lanjut lagi dijelaskan mengenai simbol sebagai berikut: Bahwa simbol tidak mewakili
objeknya, tetapi wahana bagi konsep tentang objek. Dalam bicara mengenai sesuatu, kita
bicara tentang konsep mengenai sesuatu itu, dan bukan sesuatu itu sendiri; dan semuanya ini
tentang konsep, bukan sesuatu itu, simbol-simbol harus diartikan. Bilamana sebuah simbol
diungkapkan, maka muncullah makna. Lebih jauh lagi Langer membedakan antara simbol
diskursif dan presentatif.
Simbol diskursif digunakan dalam bahasa tulis dan lisan untuk keperluan komunikasi dengan
pihak lain. Jadi, simbol ini lebih berupa penjelasan tentang sesuatu. Sedangkan simbol
presentasi, misalnya gambar, merupakan bahasa presentasi suatu makna yang tak terkatakan
dalam simbol diskursif. (Langer, 2006: 43). Jadi, simbol ini bersifat penggambaran. Tetapi,
simbol seni, menurut Langer, melampaui kedua jenis simbol di atas. Simbol seni merupakan
wilayah ketiga simbol. Seni adalah fenomena sensoris yang mengandung makna implisit,

misalnya dalam ritus dan mitos, namun lebih bersifat besar dan umum. Pelaksanaan upacara
ataupun kesenian merupakan suatu simbol: Simbol yang terdapat pada hal yang bersifat
relegius merupakan symbol konstitutif, di mana berbagai kelompok masyarakat secara
bersama melak- saksanakan kegiatan yang bersifat relegius. Simbol konstitutif bentuk
kongkritnya adalah berupa kepercayaan dan dasar inti prilaku keagamaan, atau agama dilihat
sebagai sistem simbol dapat menghubungkan manusia dengan beberapa pengalaman yang
bersifat transendental, merepresentasikan hakikat hal yang bersifat suci atau kudus berisi
kebaikan, kebenaran dan kekuatan. (Hadi, 1999:54).
Sedangkan pendapat lainnya memandang, bahwa simbol bukanlah tanda semata. Tanda dan
simbol adalah dua hal yang pengertiannya dipisahkan. Simbol bila diartikan secara tepat,
tidak dapat dijabarkan menjadi tanda semata-mata. Tanda dan simbol masing-masing terletak
pada dua bidang pembahasan yang berlainan: tanda adalah bagian dari dunia fisik; symbol
adalah bagian dari dunia-makna manusiawi. Tanda adalah “operator”, simbol adalah
“designator”. Tanda, bahkan pun bila dipahami dan dipergunakan seperti itu, bagaimanapun
merupakan sesuatu yang fisik dan substansial; simbol hanya memiliki nilai fungsional.
(Cassier, 1987:48).
Sebagai simbol, kegiatan upacara mempunyai hubungan dua arah, yakni hubungan yang
bersifat horizontal dan vertikal, yang dinyatakan seperti di bawah ini:
Perbuatan manusia selalu berdimensi dua (dwimatra). Satu dimensi khusus dari perbuatan
konkret satu dimensi yang memprabayangkan latar belakang kekal. Dengan itu, setiap
perbuatan khusus bersifat simbolis; melambangkan kenyataan yang mengatasinya. Nilai
immanen mengarah ke nilai transenden. Tanda lambang bukanlah sesuatu yang timbul di luar
perbuatan manusia. (Subagya, 1981:115).
Telah berabad-abad yang lampau, seni tari, baik yang mengenakan alat ataupun tidak,
dipergunakan mengiringi upacara-upacara dari semua aspek penting kehidupan, dan tidak
kurang juga kematian. Alasan-alasan kuno yang dikemukakan oleh Holt amat penting
dipaparkan di sini, karena penjelasannya berkaitan erat dengan tari upacara ( ritual dance ). Ia
menjelaskan bahwa Tari adalah satu benang-benang kesinambungan yang paling kokoh pada
kebudayaan Indonesia. Dengan aman kita bisa menduga bahwa penduduk kepulauan
Indonesia, seperti pada kemanusiaan yang lain, selalu menari bila menemukan rahasia gerak
ritmis yang mencuat dari rangsangan, apakah dari keinginan, ketakutan atau kegembiraan.

‘Magi’ yang melekat pada tari adalah pembangkitannya akan vitalitas pada penari dan
penonton keduanya. Dilahirkan dari kesuburan serta dilengkapi oleh keterampilan, tari dari
masa yang teringatkan telah memperkokoh kehidupan perseorangan serta masyarakat,
terutama aspek-aspek religiusnya. Di dunia yang belum beradab, tari adalah sebuah jampijampi pembebasan seperti nyanyian dan doa-doa. Selagi hidup ditegaskan kembali dengan
kekuatan tertentu diambang kematian, dan karena menghidupkan terus kehidupan berarti
kesuburan tak dapat dipisahkan dari ritus-ritus kematian kuna, seperti halnya kebangkitan
kembali dari kematian dalam kepercayaan Kristiani. (Holt, 2000:124). Beberapa pendapat
tentang konteks pertunjukan tarian Kecak dalam kehidupan masyarakat, baik pada masa
lampau maupun pada masa kini, dikemukakan oleh beberapa tokoh pemerhati tarian Kecak,
seperti di bawah ini:
Bahwa pertunjukan tarian Kecak berdasarkan m penampilannya menurut tradisi ada empat
fungsi, yaitu :
1. Tari sebagai upacara : fungsi tari sebagai sarana upacara merupakan bagian dari
tradisi yang ada dalam suatu kehidupan masyarakat yang sifatnya turun temurun dari
generasi ke generasi berikutnya sampai masa kini yang berfungsi sebagai ritual.
2. Tari sebagai sarana hiburan : salah satu bentuk penciptaan tari ditujukan hanya untuk
di tonton. Tari ini memiliki tujuan hiburan pribadi lebih mementingkan kenikmatan
dalam menarikan
3. Tari sebagai sarana pertunjukkan : tari pertunjukkan adalah bentuk momunikasi
sehingga ada penyampai pesan dan penerima pesan. Tari ini lebih mementingkan
bentuk estetika dari pada tujuannya. Tarian ini lebih digarap sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat
4. Tari sebagai sarana pendidikan : tari yang digunakan untuk sarana pendidikan dengan
mengajarkan di sekolah – sekolah formal.

1.8. Metode dan Teknik Penelitian
Berikut ini akan dipaparkan secara singkat pengertian atau makna dari pendekatan kualitatif
dan metode etnografi.

1.8.1. Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah: Penelitian yang bersifat empiris (dapat diamati dengan
pancaindera sesuai dengan kenyataan), hanya saja pengamatan atas data bukanlah
berdasarkan ukuran-ukuran matematis yang terlebih dulu ditetapkan peneliti dan harus dapat
disepakati (direplikasi) oleh pengamatan lain, melainkan berdasarkan ungkapan subjek
penelitian, sebagaimana yang dikehendaki dan dimaknai oleh subjek penelitian. Pendekatan
kualitatif menggunakan konsep kealamiahan (kecermatan, kelengkapan, atau orisinalitas)
data dan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Pendekatan kualitatif terutama layak untuk menelaah sikap atau perilaku dalam lingkungan
yang agak artifisial, seperti dalam survei atau eksperimen. Peneliti kualitatif lebih
menekankan proses dan makna ketimbang kuantitas, frekuensi atau intensitas (yang secara
matematis dapat diukur), meskipun peneliti tidak mengharamkan statistik deskriptif dalam
bentuk distribusi frekuensi atau presentase untuk melengkapi analisis datanya. (Mulyana,
2007:11).
1.8.2. Metode Etnografi
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan termasuk di dalamnya
kesenian. Menurut Spradley metode ini ialah sebagai berikut:
Tujuan utama aktifitas ini adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut
pandang penduduk asli, sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa
tujuan etnografi adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan
kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya”. Oleh karena itu,
penelitian etnografi melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar,
melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Jadi,
etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu. Etnografi belajar dari
masyarakat. (Spradley, 2007: 4). Sementara itu, Spradley mengemukakan langkah-langkah
yang ditempuh dalam penelitian etnografi meliputi hal-hal sebagai berikut:
Langkah I, yakni menetapkan informan, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi beberapa karakteristik dan informan yang baik.
2. Untuk menemukan informan yang sebaik mungkin dalam mempelajari keterampilan
wawancara dan melakukan penelitian etnografi.

Langkah II, yakni mewawancarai informan, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi unsur-unsur dasar dalam wawancara etnografis.
2. Untuk memformulasikan dan menggunakan beberapa macam penjelasan etnografis.
3. Untuk melakukan wawancara praktis.
Langkah III, yakni membuat catatan etnografis, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar catatan etnografis.
2. Untuk menyusun buku catatan penelitian lapangan.
3. Untuk melakukan kontak dengan seorang informan dan melakukan wawancara
pertama.
Langkah IV, yakni mengajukan pertanyaan deskriptif, tujuannya:
1. Untuk melaksanakan etnografis pertama.
2. Untuk memahami proses perkembangan hubungan dengan informan.
3. Untuk mengumpulkan sampel dari percakapan informan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan deskriptif.
Langkah V, yakni melakukan analisis wawancara etnografis, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar analisis etnografis.
2. Untuk mempelajari bagaimana tercita dengan simbol-simbol budaya.
3. Untuk memulai suatu analisis domain dengan melakukan pencarian suatu domain
pendahuluan.
Langkah VI, yakni membuat analisis domain, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar hubungan semantik serta peran hubungan itu dalam
pembuatan suatu analisis domain.
2. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam menjalankan analisis domain.
3. Untuk melakukan analisis domain sistematis terhadap semua data yang terkumpul
sekarang.
4. Untuk memasukkan satu atau dua pertanyaan struktural ke dalam wawancara
etnografis.

Langkah VII, yakni mengajukan pertanyaan struktural, tujuannya:
1. Untuk mengidentifikasi berbagai jenis pertanyaan struktural.
2. Untuk mempelajari menggunakan pertanyaan struktural dalam etnografi.
3. Untuk menguji domain-domain yang telah dihipotesiskan dan menemukan istilahistilah tercakup yang lain untuk domain-domain itu dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan struktural.
Langkah VIII, yakni membuat analisis taksonomik, tujuannya:
1. Untuk memilih suatu fokus yang bersifat sementara untuk membuat analisis
mendalam.
2. Untuk memahami berbagai taksonomi rakyat dan bagaimana taksonomi itu
mengorganisir domain.
3. Untuk mempelajari bagaimana membuat analisis taksonomik.
4. Untuk membangun suatu taksonomi rakyat untuk satu domain atau lebih dengan
mengikuti langkah-langkah dalam mengerjakan analisis taksonomik.
Langkah IX, yakni mengajukan pertanyaan kontras, tujuannya:
1. Untuk memahami prinsip-prinsip penemuan utama dalam studi makna budaya.
2. Untuk mempelajari cara-cara untuk menemukan berbagai kontras atau perbedaan
diantara berbagai simbol budaya.
3. Untuk memformulasikan dan menggunakan berbagai pertanyaan kontras.
Langkah X, yakni membuat analisis komponen, tujuannya:
1. Untuk memahami peran analisis komponen dalam studi sistem makna budaya.
2. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam membuat analisis komponen.
3. Untuk melakukan analisis komponen yang sistematik pada satu rangkaian kontras
atau lebih.
4. Untuk menggunakan pertanyaan kontras untuk membuktikan dan melengkapi analisis
komponen.
Langkah XI, yakni menemukan tema-tema budaya, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar tema-tema dalam sistem makna budaya.
2. Untuk mengidentifikasi beberapa strategi membuat suatu analisis tema
3. Untuk melaksanakan suatu analisis tema pada suasana budaya yang sedang dipelajari.

Langkah XII, yakni menulis suatu etnografi, tujuannya:
1. Untuk memahami sifat dasar penulisan etnografis sebagai bagian dari proses
penerjemahan.
2. Untuk mengidentifikasi tahap-tahap yang berbeda dalam penulisan etnografi.
3. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah dalam melaksanakan suatu etnografi.
4. Untuk menulis suatu etnografi. (Spradley, 2007:65-70).
1.8.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah:
1. Langkah pertama yang dilakukan, dengan mengumpulkan berbagai sumber tertulis berupa
buku, jurnal ilmiah, dokumen pribadi, dokumen resmi, makalah dan sebagainya. Langkah ini
penting, mengingat banyaknya tulisan- tulisan yang mengandung sudut pandang berbeda.
2. Langkah kedua, yakni pengamatan atau observasi. Artinya, penulis melakukan pengamatan
secara langsung terhadap pertunjukan tarian Kecak. Selain itu, pengamatan juga dilakukan
melalui rekaman audio visual.
3. Langkah ketiga, ialah dengan melakukan wawancara. Wawancara, seperti yang ditegaskan
antara lain, “mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan,
motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan, memverifikasi, mengubah dan
memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain.” (Guba, dalam Moleong, 1991:135).
Wawancara dilakukan dengan para tokoh tari.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Tari Kecak menggambarkan bahwa tari ini dijadikan sebagai sarana untuk melatih
kejiwaan seseorang, sehingga menimbulkan kebersihan dalam bathin maupun fisik. Hal
tersebut, mengingatkan kita kepada orang-orang Budha yang selalu bertapa atau
bermeditasi di tempat-tempat yang jauh dari keramaian. Misalnya, di gua-gua, orang
Budha melakukan hal tersebut sebagai sifat bawaan atau budaya yang diciptakan secara
turun temurun, dan aktifitas itu hingga kini masih tetap ada. Bermeditasi seperti yang
orang Budha lakukan, pada dasarnya melatih kesabaran, pemusatan pikiran atau
konsentrasi terhadap suatu hal, berperang melawan hawa nafsu, dan sebagainya. Hal
tersebut, dimaknai sama oleh tari topeng Panji yang melambangkan kehalusan dan
kelemah lembutan geraknya.
3. Pada penelitian terdahulu dengan judul skripsi : “(Makna Simbol-Simbol Tarian
Topeng Tumenggung Cirebon)”. Dengan menggunakan pendekatan etnografi yang
ditulis oleh Oon Sujono (Program Studi Hubungan Masyarakat, 2010. Fikom Unpad)
menganilisis tentang Symbol dalam karakter Tari Topeng Tumenggung Cirebon yang
menggambarkan seorang ponggawa (prajurit dengan kedudukan tinggi) kerajaan yang
siap siaga untuk melaksanakan tugas, Symbol dalam koreografi Tari Topeng
Tumenggung Cirebon ini yaitu menggambarkan seorang manusia yang memiliki
kedewasaan yang diperlihatkan dengan gerakan-gerakan tari topeng tumenggung daan
Symbol kedok Tumenggung Cirebon menggambarkan seorang sikap kedewasaan
manusia yang beribawa dan bertanggung jawab.
Pada penelitian penulis mengenai “Makna Simbol-simbol Tarian Topeng Tumenggung
Cirebon: yang menggunakan pendekatan etnografi menjelaskan mengenai tanda-tanda fisik
yang mengacu pada objek penelitian yang ada dalam Tarian Topeng Tumenggung Cirebon
seperti karakteristik, busana gerakan tari, serta atribut lainnya yang secara rinci.
Berbeda dengan fokus penelitian yang penulis kerjakan, topeng Panji sebagai tari
meditasi, selalu mengarahkan pandangannya kepada hal yang bernuansa
olah jiwa atau kesehatan jiwa. Hal tersebut, persis dengan yoga yang dianggap sebagai bagian

dari kegiatan olahraga, selain dari meditasi ala Budha. Yoga pun menghilangkan gerakan atau
aktifitasnya yang bersifat agresif.
Sementara itu, penulis meneliti topeng Panji dari aspek pesannya, yakni bersifat nonverbal
dan mengandung moral di dalamnya. Bersifat nonverbal, karena dikomunikasikan tanpa kata
kata, yang ada ialah berupa gerakan-gerakan, warna dan sifat-sifat topeng Panji sebagai
bentuk karakteristiknya,
2.2. Matriks Penelitian
Judul

Tujuan

“Pertunjukan
Tari Topeng
Cirebon (Studi
Kasus Tentang
Upacara
Mapag Sri di
Desa
Pangkalan
Kecamatan
weru
Kabupaten
Cirebon”.
Yang ditulis
oleh Yoyoh
Siti Mariah
(Program Studi
Hubungan
Masyarakat
Fikom Unpad
2008

Untuk
mengetahui latar
belakang,
pelaksanaan dan
mitos
pertunjukan Tari
Topeng Cirebon
pada Upacara
“mapag sri di
desa Pangkalan

“Reprentasi
Fase
Kehidupan
Manusia dalam
Tari Topeng
Cirebon” yang
ditulis oleh

Untuk
mengetahui
makna
denotative dan
konotatif dan
mitos mengenai
Representasi

Hasil
Latar belakang
pertunjukan
Tari Topeng
Cirebon pada
upacara
“Mapag sri”
merupakan
ritual tahunan
yang
dilaksanakan
setiap akan
tiba musim
menanam padi
di desa
pangkalan
yang
mengandung
mitos bahwa
dengan
melaksanakan
ritual upacara
“Mapag Sri
akan mendapat
berkah dari
arwah leluhur
dan nenek
moyang untuk
kemajuan
Representasi
pada tari
topeng Cirebon
tersebut
merupakan
fase kehidupan
manusia dari

Perbedaan
1).
Metode
Penelitian.
2).
Pembahas
an
Masalah.
3). Judul
Penelitian.
1).
Metode
Penelitian.
2).
Pembahas
an
Masalah.
3). Judul
Penelitian.

1).
Metode
Penelitian.
2).
Pembahas
an
Masalah.

Persama
an
1).
Tema
penelitia
n.
2).
Konsep
penelitia
n.
1).
Tema
penelitia
n.
2).
Konsep
penelitia
n.

1).
Tema
penelitia
n.
2).
Konsep
penelitia

Kritik
Pada penelitian
ini
menitikberatkan
pada Upacara
Mapag sri,
meskipun di
dalam ritual
tersebut terdapat
pertunjukkan
Tari Topeng
Cirebon yang
merupakan tema
dari penelitian
ini. Oleh karena
itu
pembahasannya
pun lebih
cenderung
mengupas
masalah “mapag
sri”.

Pada penelitian
ini dalam
pembahasannya
meskipun
mengupas
masalah Tari
Topeng Cirebon,

Tjahya Murni
(Program studi
Manajemen
Komunikasi,
2008. Fikom
Unpad).

Kehidupan
Manusia dalam
Tarian Topeng
Tumenggung
Cirebon

“(Makna
Simbol-Simbol
Tarian Topeng
Tumenggung
Cirebon)”.
Dengan
menggunakan
pendekatan
etnografi yang
ditulis oleh
Oon Sujono
(Program Studi
Hubungan
Masyarakat,
2010. Fikom
Unpad

Untuk
mengetahui
tanda yang
digunakan dalam
tarian topeng
tumenggung
Cirebon dan
untuk
mengetahui
makna apa yang
terkandung
dalam tarian
topeng
tumenggung
Cirebon.

awal hingga
3). Judul
kehidupan
Penelitian.
akhir manusia.
Pemunculan
ideology yang
membentuk
mitos bahwa
kehidupan
manusia adalah
sebuah proses
perjalanan
yang penuh
warna
Sebagai hasil
kebudayaan,
tari topeng
meliputi aspek
kehidupan
manusia
seperti
kepribadian,
kebijaksanaan,
kepemimpinan,
cinta bahkan
angkara murka
serta
menggambarka
n perjalanan
hidup manusia
sejak
dilahirkan
hingga
menginjak
dewasa

n.

namun kurang
dapat dipahami
khususnya bagi
pembaca karena
penjelasan dalam
tiap bagian tari
Topeng Cirebon
kurang lengkap
dan terperinci.

Pada penelitian
ini mengupas
mengenai
symbol-simbol
Tarian Topeng
Tumenggung
Cirebon, akan
tetapi
pembahasannya
kurang non fiksi.

2.3. Pesan dan Semiotika
2.3.1. Pengertian Pesan
Pesan merupakan bagian dari komunikasi. Jika komunikasi merupakan proses penyampaian
informasi, baik verbal maupun nonverbal yang dilakukan oleh komunikator terhadap
komunikannya dan dimaknai secara bersama (melalui pengertian antara keduanya), maka
pesan adalah kata-kata atau seperangkat simbol yang disampaikan untuk tujuan tertentu.
“Pesan adalah perintah, nasihat, permintaan, amanat yang harus dilakukan atau disampaikan
kepada orang lain.” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:677).

Menjelaskan tentang pesan, kita tidak dapat lepas dari komunikasi. Sebagaimana yang telah
dikemukakan dalam penjelasan di atas, pesan merupakan bagian dari komunikasi, yang
berupa kata-kata, nasihat dan sebagainya. Oleh karena itu, sebelum komunikasi terjadi dan
didalamnya terdapat pesan verbal atau nonverbal yang ingin disampaikan kepada pihak lain,
maka pernyataan lain perlulah disampaikan, karena terdapat unsur-unsur interaksi sesama
manusia: Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan
who says what in which channel to whom with what effect atau siapa mengatakan apa dengan
saluran apa kepada siapa dengan pengaruh bagaimana?.
Berdasarkan definisi Lasswell ini dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling
bergantung satu sama lain, yaitu:
pertama,

sumber

(source),

sering

disebut

juga

pengirim

(sender),

penyandi

(encoder),komunikator (communicator), pembicara (speaker) atau originator
Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi.
Sumber boleh jadi seorang individu, kelompok, organisasi, perusahaan atau bahkan suatu
negara. Kebutuhannya bervariasi, mulai dari sekadar mengucapkan “selamat pagi” untuk
memelihara hubungan yang sudah dibangun, menyampaikan informasi, menghibur, hingga
kebutuhan untuk mengubah ideologi, keyakinan agama dan perilaku pihak lain.
Untuk menyampaikan apa yang ada dalam hatinya (perasaan) atau pikiran, sumber harus
mengubah perasaan atau pikiran tersebut ke dalam seperangkat simbol verbal dan/atau
nonverbal yang idealnya dipahami oleh penerima pesan. Proses inilah yang disebut
penyandian (encoding).
Pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola pikir, dan perasaan sumber
mempengaruhinya dalam merumuskan pesan tersebut. Setiap orang dapat saja merasa bahwa
ia mencintai seseorang, namun komunikasi tidak terjadi hingga orang yang Anda cintai itu
menafsirkan rasa cinta berdasarkan perilaku verbal dan/atau nonverbal.
Kedua, pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima.
Pesan merupakan seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai,
gagasan atau maksud sumber tadi. Pesan mempunyai tiga komponen: makna, simbol yang
digunakan untuk menyampaikan arti, dan bentuk atau organisasi pesan. Simbol terpenting
adalah kata-kata (bahasa), yang dapat merepresentasikan objek (benda), gagasan, dan
perasaan, baik ucapan (percakapan, wawancara, diskusi, ceramah, dan sebagainya) ataupun
tulisan (surat, esai, artikel, novel, puisi, pamplet, dan sebagainya). Kata-kata memungkinkan
kita berbagi pikiran dengan orang lain. Pesan juga dapat dirumuskan secara nonverbal, seperti

melalui tindakan atau isyarat anggota tubuh (acungan jempol, anggukan kepala, senyuman,
tatapan mata, dan sebagainya), juga melalui musik, lukisan, patung, tarian, dan sebagainya.
Ketiga, saluran atau media, yakni alat atau wahana yang digunakan sumber untuk
menyampaikan pesannya kepada penerima...
Keempat , penerima (receiver), sering juga disebut sasaran tujuan (destination), komunikate
(communicate), penyandi balik (decoder) atau khalayak (audience), pendengar (listener),
penafsir (interpreter), yakni orang yang menerima pesan dari sumber. Berdasarkan
pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola pikir dan perasaan,
penerima pesan ini menerjemahkan atau menafsirkan seperangkat symbol verbal dan
nonverbal yang ia terima menjadi gagasan yang dapat dipahami. Proses ini disebut
penyandian balik ( decoding).
Kelima , efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut,
misalnya penambahan pengetahuan (dari tidak tahu menjadi paham), terhibur, perubahan
sikap (dari tidak setuju menjadi setuju), perubahan keyakinan, dan sebagainya. (Lasswell,
dalam Mulyana, 2002:62-65).
Jika Laswell menjelaskan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, di
antaranya, sumber, pesan, saluran atau media, penerima, dan efek, maka pernyataan lain
mengemukakan suatu pesan yang efektif agar dapat ditanggapi oleh komunikannya atau
dengan istilah the condition of success in communication , yang mengatakan bahwa:
Pertama, pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik
perhatian komunikan.
Kedua,pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama
antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama mengerti.
Ketiga, pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan
beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
Keempat, pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak
bagi situasi kelompok, tentunya komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk
memberikan tanggapan yang dikehendaki. (Scrhamm, dalam Effendy, 2003:41-42).
2.3.2. Pesan Sebagai Bentuk Semiotika
Semiotika dalam pembahasan ini digunakan sebagai alat bedah untuk memudahkan peneliti
mengupas teori-teori yang diperlukan. “Tanda-tanda ( signs) adalah basis dari seluruh
komunikasi”. (Littlejohn, 1996:64). “Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat

melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia
ini. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda”. (Sobur,
2003:15). Sementara itu, menurut pendapat lainnya, semiotika adalah:
Kata semiotika berasal dari kata Yunani
Semeion , yang berarti tanda. Maka, semiotika berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang
ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda. Ahli Stoa (Zeno)
dan ahli-ahli skolastik abad pertengahan (Augustinus, William van Ockham, Duns Scotus)
telah menekuni masalah-masalah yang berhubungan dengan penggunaan tanda. (Zoest,
1993:1).
Semiotika berurusan dengan tanda seperti dikatakan bahwa semiotika adalah “teori tentang
tanda dan penandaan”. (Lechte, 2001:191). Lebih jelasnya lagi, “semiotika adalah suatu
disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs ‘tandatanda’ dan berdasarkan pada sign system (code) ‘sistem tanda’.” (Segers, 2004:4). Tanda
sebagai “suatu keterhubungan antara wahana ekspresi (expression plan) dan isi (content
plan)”. (Hjelmslev, dalam Christomy, 2001:7). Pendapat lain menyebutnya sebagai
“disicipline is simply the analysis of signs or the study of the functioning of sign systems”
(ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi).”
(Cobley dan Jansz, 1999:4). Tanda selalu mempunyai tiga wajah, yaitu, “tanda itu sendiri,
aspek material (entah berupa suara, huruf, bentuk, gambar, gerak) dari tanda yang berfungsi
menandakan atau yang dihasilkan oleh aspek material ( signifier), dan aspek mental atau
konseptual yang ditunjuk oleh aspek material (signified)”.
(Saussure, dalam Sunardi, 2004:41). Tanda yang ditimbulkan oleh manusia dapat dibedakan
atas yang bersifat verbal dan nonverbal
”. (Petada, 2001:48). Tanda bersifat verbal adalah yang digunakan sebagai alat komunikasi
yang dihasilkan oleh alat bicara, sedangkan nonverbal dapat berupa, tanda yang
menggunakan anggota badan atau bukan kata-kata. Selanjutnya, dalam hal pengaplikasian
semiotika pada tanda nonverbal, yang terutama penting diperhatikan adalah pemahaman
tentang bidang nonverbal. Bidang nonverbal adalah suatu wilayah yang menekankan
pentingnya fenomena yang bersifat empiris, faktual, atau konkret, tanpa ujaran-ujaran bahasa.
Ini berarti, bidang nonverbal berkaitan dengan benda konkret, nyata dan dapat dibuktikan
melalui indera manusia. (Budianto, 2001:15). Dalam kategori semiotika, budaya sering
diartikan sebagai komunikasi atau signifikasi. Budaya pada intinya adalah system of
signification . Jika tujuan kajian semiotika adalah mencari berfungsinya sistem tersebut, hal

itu dilakukan karena dinamika budaya dapat diamati. Dalam sistem tersebut, kita melihat
kemungkinan

anggota-anggota

masyarakat

untuk

memilih,

menggabungkan,

dan

mengungkapkan tanda-tanda yang sudah tersedia. Dalam dinamika budaya terjadi tarikmenarik atau hubungan dialektis antara sistem tanda-tanda yang ada (bahasa) dan kebebasan
orang untuk memakainya sesuai dengan kebutuhan pribadi atau kelompok (wicara atau
wacana).
2.4. Komunikasi Verbal
“Pesan verbal adalah semua jenis lambang yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir
semua rancangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja,
yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara
lisan”. (Mulyana, 2002:237).
Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan bahwa bahasa verbal adalah: Sarana utama untuk
menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang
merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah
abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek
atau konsep yang diwakili kata-kata itu. (Mulyana, 2002:238).
Kita sering tidak menyadari pentingnya bahasa, karena sepanjang hidup menggunakannya.
Kita baru menyadari bahasa itu penting ketika menemukan jalan buntu dalam
menggunakannya. Misalnya, ketika berupaya berkomunikasi dengan orang yang sama sekali
tidak memahami bahasa kita yang membuat frustasi, ketika sulit menerjemahkan suatu kata,
frase atau kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Ketika kita harus menulis lamaran
pekerjaan atau diwawancarai dalam bahasa Inggris untuk memperoleh pekerjaan yang baik.
Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk memberikan nama atau menjuluki orang, objek
dan peristiwa. Setiap orang mempunyai nama untuk identifikasi sosial. Orang juga dapat
memberikan nama apa saja, objek-objek yang berlainan, termasuk perasaan tertentu yang
mereka alami. Penamaan adalah dimensi pertama dan basis bahasa, dan pada awalnya itu
dilakukan manusia sesuka mereka, yang selalu menjadi konvensi. Menurut ahli komunikasi
lainnya, bahasa memiliki tiga fungsi:
Penamaan (naming atau labeling ), interaksi dan transmisi informasi.
Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha untuk mengidentifikasi objek, tindakan, atau
orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi
menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat megundang simpati dan pengertian atau
kemarahan.

Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Anda juga menerima
informasi setiap hari, sejak bangun tidur hingga tidur kembali, dari orang lain, baik secara
langsung maupun tidak (melalui media massa misalnya).
Fungsi bahasa inilah yang disebut transmisi. Keistimewaan bahasa sebagai sarana transmisi
informasi yang lintas waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan,
memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita. Tanpa bahasa, tidak mungkin
bertukar informasi dan menghadirkan semua objek untuk kita rujuk dalam komunikasi.
(Barker, dalam Mulyana, 2002:243).
Agar komunikasi kita berhasil, setidaknya bahasa harus memiliki tiga fungsi, yaitu:
Untuk mengenal dunia di sekitar kita, berhubungan dengan orang lain, dan untuk
menciptakan koherensi dalam kehidupan. Fungsi pertama, yakni mengenal dunia di sekitar
kita. Melalui bahasa kita mempelajari apa saja yang menarik minat, mulai dari sejarah suatu
bangsa yang hidup pada masa lalu dan tidak pernah diketahui, seperti bangsa Mesir Kuno
atau Yunani. Kita dapat berbagi pengalaman, bukan hanya peristiwa masa lalu yang kita
alami sendiri, tetapi juga pengetahuan tentang masa lalu yang diperoleh melalui sumber
kedua, seperti media cetak atau elektronik. Kita juga menggunakan bahasa untuk
memperoleh dukungan atau persetujuan dari orang lain atas pengalaman atau pendapat.
Melalui bahasa pula anda memperkirakan apa yang akan dikatakan atau dilakukan seorang
kawan, seperti dalam kalimat “kemarin kawan saya itu begitu marah kepada saya.
Sepertinya ia tidak ingin lagi berhubungan dengan saya”. Meskipun gambaran kita mengenai
masa depan tidak selalu akurat, setidaknya bahasa memungkinkan kita memikirkan,
membicarakan, dan mengantisipasi masa depan, misalnya apa yang akan terjadi terhadap
manusia dan alam semesta berdasarkan dugaan yang dikemukakan para ahli ilmu
pengetahuan serta orang bijak lainnya, juga atas wahyu Tuhan atau sabda nabi.
Fungsi kedua bahasa, yakni sebagai sarana untuk berhubungan dengan orang lain. Melalui
bahasa kita dapat mengendalikan lingkungan, termasuk orang-orang di lingkungan sekitar.
Seorang kandidat dari sebuah partai politik dapat menyampaikan gagasannya, namun
sekaligus juga membujuk rakyat untuk memilih partainya dan mempertimbangkan dirinya
sebagai calon presiden yang potensial. Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain
bergantung tidak hanya pada bahasa yang sama, namun juga pengalaman dan makna yang
sama kita berikan kepada kata-kata. Semakin jauh perbedaan antara bahasa yang kita
gunakan dengan mitra komunikasi kita, semakin sulit untuk mencapai saling pengertian.
Meskipun orang Indonesia dan Malaysia berbicara bahasa Melayu, atau orang Amerika dan

Inggris berbicara bahasa Inggris, mereka belum tentu mencapai kesepahaman, karena
beberapa perbedaan yang ada dalam kedua bahasa tersebut.
Sedangkan fungsi ketiga memungkinkan kita untuk hidup lebih teratur, saling memahami
mengenai diri, kepercayaan-kepercayaan, dan tujuan- tujuan. Kita tidak mungkin
menjelaskan semua itu dengan menyusun kata- kata secara acak, melainkan berdasarkan
aturan-aturan tertentu yang telah disepakati bersama. Akan tetapi, kita sebenarnya tidak
selamanya dapat memenuhi ketiga fungsi bahasa tersebut, karena meskipun bahasa
merupakan sarana komunikasi dengan manusia lain, sarana ini secara inheren mengandung
kendala dan keterbatasannya. (Book, dalam Mulyana, 2002:243).
Dalam bahasa atau komunikasi verbal, tentunya apa yang seseorang katakan harus dipahami
maknanya terlebih dahulu, sehingga ia mengetahui maksud yang akan disampaikannya,
kemudian mengirimkannya kepada orang yang ditujukan.
Transfer atau kiriman informasi itu pun harus tepat kepada orang yang dituju. Dengan kata
lain, pihak komunikan yang dituju memiliki kesamaan makna dalam menafsirkan pesan yang
disampaikan oleh komunikator, sehingga tidak terjadi miscommunication dalam komunikasi
verbal. Jangan sampai pesan yang kita sampaikan tidak dimengerti oleh orang lain karena
perbedaan budaya, misalnya. Kesamaan makna pesan, dapat diartikan sebagai suatu interaksi
antara komunikator dan komunikan yang memiliki bidang pengalaman yang sama, seperti,
berlatar belakang budaya dan bahasa yang sama. Artinya, perbedaan budaya atau bahasa
antara komunikator dengan komunikan dapat mengaburkan arti pesan yang dimaksud. Atas
pernyataan itu, kita simak dalam penjelasan di bawah ini:
Pertama-tama yang akan dilakukan manakala diberi kesempatan mengurus negara adalah
membina bahasa. Sebab, apabila bahasa tidak tepat, apa yang dikatakan bukan yang
dimaksudkan. Jika yang dikatakan bukan yang dimaksudkan, maka yang mestinya
dikerjakan, tidak dilakukan. Jikalau yang harus dilakukan terus menerus tidak dilaksanakan,
seni dan moral menjadi mundur. Bila seni dan moral mundur, keadilan menjadi kabur ...
akibatnya rakyat menjadi bingung, kehilangan pegangan. (K