BAB II PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIKSEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA - Tinjauan Yuridis Mengenai Pembuktian Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Dikaitkan Dengan UU No. 11 tahun 200

BAB II PENGATURAN MENGENAI BUKTI ELEKTRONIKSEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Teori Pembuktian atau Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Pidana Indonesia Dilihat dari hukum pembuktian yang dianut oleh Indonesia sekarang,

  sistem pembuktian dapat diberi batasan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan dari berbagai ketentuan perihal kegiatan pembuktian yang saling mengait dan berhubungan satu dengan lain yang tidak terpisahkan dan menjadi suatu kesatuan yang utuh. Adapun isinya sistem pembuktian terutama tentang alat-alat bukti apa yang boleh digunakan untuk membuktikan, cara bagaimana alat bukti ini boleh dipergunakan, dan nilai kekuatan dari alat-alat bukti tersebut serta standar/ kriteria yang menjadi ukuran dalam mengambil kesimpulan tentang terbuktinya sesuatu

   (objek) yang dibuktikan.

  Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana. Oleh karena itu, hukum acara pidana mencari kebenaran materil. Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian dapat diuraikan sebagai

  

  berikut : 1.

  Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden); 46 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hal.24. 47 Bambang Purnomo, Pokok-Pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, (Jogjakarta: Liberti),

  2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau (bewijsmiddelen); 3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering);

  4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht);

  5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast);

6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum).

  Pada hakekatnya pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum. Menurut Adami Chazawi, pada dasarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum penyelesaian perkara pidana, sejak penyelidikan sampai putusan akhir diucapkan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah berupa kegiatan yang

   berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan.

  Ilmu pengetahuan mengenal empat sistem pembuktian, yaitu:

  1. Sistem Pembuktian Keyakinan Hakim Belaka (Conviction In Time) Menurut sistem ini, hakim dapat menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan berdasarkan keyakinannya saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia membentuk keyakinannya tersebut. Juga tidak perlu mempertimbangkan apakah logis ataukah tidak logis. Bekerjanya sistem ini benar-benar bergantung kepada

  

  hati nurani hakim. Sehingga pembuktian ini sangatlah subyektif, seseorang bisa dinyatakan bersalah tanpa bukti apa-apa yang mendukungnya, sebaliknya pembuktian sistem ini bisa membebaskan seseorang dari perbuatan yang

   dilakukannya.

  Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu. Di samping itu, pada sistem ini terbuka peluang praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin. Walaupun mengandung kelemahan yang besar, sistem ini pernah berlaku di Indonesia pada zaman Hindia Belanda

   dahulu, yaitu pada Pengadilan District dan Pengadilan Kabupaten .

  

2. Sistem Pembuktian Melulu Undang-Undang (Positief Wettelijk

Bewijstheorie)

  Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar undang- undang secara positif (positiefwettelijkbewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah 49 50 Ibid . Hal 25.

  Tb. Irman S, HukumPembuktianPencucianUang, (Jakarta: MQS Publishing, 2006), hal. 136. 51 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1985), hal. 110 seperti dikutip oleh Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 25. terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang- undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut

  

  Sistem pembuktian ini hanya sesuai dengan hukum acara pidana khususnya dalam hal pemeriksaan yang bersifat inkuisitoir (inquisitoir) seperti

  

  yang pernah dianut dahulu di benua Eropa. Menurut D. Simons, sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan- peraturan pembuktian yang

  

  

  keras. Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-

   undang.

  

3. Sistem Pembuktian Keyakinan dengan Alasan Logis (Laconviction in

Raisonne)

  Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan- peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatuhkan dengan suatu

  52 53 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 251.

  Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1985), hal. 110., seperti dikutip oleh Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 27. 54 D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordring, hal. 1., seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 251. 55 A. Minkenhof, De Nederlandse Strafvordering, hal. 1., seperti dikutip oleh ibid. motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena

   hakim bebas menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrijebewijstheorie).

  Dibandingkan dengan Sistem pembuktian keyakinan hakim belaka

  (conviction in time) , sistem ini lebih maju sedikit, walaupun kedua sistem ini

  dalam hal menarik hasil pembuktian tetap didasarkan pada keyakinan. Lebih maju, karena dalam sistem ini dalam hal membentuk dan menggunakan keyakinan hakim untuk menarik kesimpulan tentang terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana, didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Walaupun alasan-alasan itu menggunakan alat-alat bukti baik yang ada disebutkan dalam UU

   maupun di luar UU.

  4. Sistem Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (NegatiefWettelijk) Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang- undang, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan oleh

  

  undang-undang. Jadi, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bewijstheorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag, D. Simons) 57 58 Ibid ., hal. 253.

  Adami Chazawi, Op. Cit., hal. 26. undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan undang- undangan.

   “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

  Hukum pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia sejak berlakunya

  

hetHerzieneIndonesischReglement (HIR) dahulu dan kini KUHAP adalah

  menganut sistem ini secara konsekuen. Pasal 294 ayat (1) HIR merumuskan bahwa:

  “tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang boleh dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu”.

  Intinya, sistem pembuktian dalam Pasal 294 HIR itu diadopsi dengan penyempurnaan ke dalam Pasal 183 KUHAP yang rumusannya ialah:

   Dalam sistem menurut undang-undang secara terbatas atau disebut juga dengan

  sistem undang-undang secara negatif – sebagai intinya, yang dirumuskan dalam

  Pasal 183, dapatlah disimpulkan pokok-pokoknya, ialah

   a.

  Tujuan akhir pembuktian untuk memutus perkara pidana, yang jika memenuhi syarat pembuktian dapat menjatuhkan pidana.

  : Sesungguhnya, pembuktian itu ditujukan untuk memutus suatu perkara, dalam hal ini perkara pidana, dan bukan semata-mata menjatuhkan pidana. Sebab, untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan 60 D. Simons, Beknopte Handleiding tot het Wetboek van Strafvordring, hal. 1., seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 256. 61 Ibid ., hal. 29.

  terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian dijalankan, dan berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah majelis hakim mendapatkan keyakinan: (1) terbukti terjadinya tindak pidana; (2) terdakwa melakukannya; dan (3) keyakinan terdakwa bersalah (tanpa terbukti adanya peniadaan pidana selama persidangan), maka terdakwa dijatuhi pidana (veroordeling). Sebaliknya, jika menurut keyakinan hakim tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti, maka akan dijatuhi pembebasan (vrijspraak).

  Apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa, tetapi dalam persidangan terbukti adanya dasar/ alasan yang meniadakan pidana baik di dalam UU maupun di luar UU, maka tidak dibebaskan dan juga tidak dipidana melainkan dijatuhkan amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum (ontslagvanallerechtsvervolging).

  b.

  Standar/ syarat tentang hasil pembuktian untuk menjatuhkan pidana.

  Sesungguhnya ada 2 (dua) syarat untuk mencapai suatu hasil pembuktian agar dapat menjatuhkan pidana yang saling berhubungan dan tidak terpisahkan, tetapi dapat dibedakan, ialah:

1) Harus menggunakan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah.

  Maksud alat bukti yang sah adalah alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

  2) Dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua alat bukti hakim memperoleh keyakinan. Ada tiga macam/ tingkat keyakinan yang harus bukti yang sah tersebut. Hakim yakin tindak pidana benar telah terwujud, yakin terdakwa melakukannya, dan dalam hal itu hakim yakin terdakwa bersalah.

  Mengenai syarat yang pertama, hal sekurang- kurangnya 2 (dua) alat bukti, bukanlah berarti jenisnya yang harus dua, seperti 1 orang saksi (keterangan saksi) dan lainnya keterangan terdakwa atau surat, tetapi yang dimaksud sekurang- kurangnya 2 alat bukti yang sah, adalah bisa saja terdiri dari 2 alat bukti yang sama jenisnya, misalnya saksi A dan saksi B yang menerangkan hal yang sama. Mengenai syarat kedua: keyakinan hakim. Keyakinan hakim haruslah dibentuk atas dasar fakta-fakta hukum yang diperoleh dari minimal dua alat bukti yang sah. Keyakinan hakim yang harus dibentuk atas dasar mempergunakan minimal

   dua alat bukti yang sah tadi.

B. Ruang Lingkup Alat Bukti dalam Hukum Pidana Indonesia

  Mengenai macam alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan untuk membuktikan yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah: a.

  Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa;

  Jika dibandingkan dengan alat-alat bukti dalam Pasal 295 HIR, maka alat-alat bukti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ada perbedaan. Perbedaan itu ialah:

  1. Alat bukti pengakuan menurut HIR, yang dalam KUHAP diperluas menjadi keterangan terdakwa. Pengertian keterangan terdakwa lebih luas dari sekedar pengakuan.

  2. Dalam KUHAP ditambahkan, alat bukti baru yang dulu dalam HIR bukan merupakan alat bukti, yakni keterangan ahli.

a. Alat Bukti Keterangan Saksi

  KUHAP telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 angka 26). Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

   pengetahuannya (Pasal 1 angka 27).

  Dari batasan UU tentang saksi dan keterangan saksi tersebut, dapatlah ditarik 3 kesimpulan, yakni:

  1. Bahwa tujuan saksi memberikan keterangan ialah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung pengertian bahwa saksi diperlukan dan memberikan keterangannya dalam 2 tingkat yakni ditingkat penyidikan dan ditingkat penuntutan di sidang pengadilan.

  2. Bahwa isi apa yang diterangkan, adalah segala sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan mengenai segala sesuatu yang sumbernya di luar 3 sumber tadi, tidaklah mempunyai nilai atau kekuatan pembuktian. Ketentuan ini menjadi suatu prinsip pembuktian dengan menggunakan alat bukti keterangan saksi.

  3. Bahwa keterangan saksi haruslah disertai alasan dari sebab apa ia mengetahui tentang sesuatu yang ia terangkan. Artinya, isinya keterangan baru berharga dan bernilai pembuktian apabila setelah memberikan keterangan ia kemudian menerangkan tentang sebab-sebab dari pengetahuannya tersebut. Hal ini pun

   merupakan prinsip umum alat bukti keterangan saksi dalam hal pembuktian.

  Di dalam batasan pengertian saksi dan keterangan saksi (Pasal 1 angka 26 dan 27), terdapat mengenai syarat, yakni: apa yang diterangkan adalah mengenai hal yang dilihat, didengar dan dialami saksi sendiri. Apabila syarat itu tidak dipenuhi maka keterangan saksi tersebut tidak bernilai pembuktian, karena bukan sebagai alat bukti yang sah. Oleh karena itu, tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti perkara pidana. Tentu saja tidak dapat digunakan untuk membentuk

   keyakinan hakim.

  Syarat keterangan saksi agar keterangannya itu menjadi sah dan berharga, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya, dapat terletak pada beberapa hal, ialah:

65 Ibid ., hal. 38.

  i. Hal kualitas pribadi saksi Kualitas pribadi yang dimaksud adalah kualitas saksi dalam hubungan dengan terdakwa. Prinsip umum mengenai kualitas pribadi saksi dalam hukum pembuktian adalah tidak ada hubungan keluarga. Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP berikut:

  1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

  2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

  3) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama- sama sebagai terdakwa.

  Ratio dari pembatasan ini adalah untuk mencapai objektivitas isi keterangan saksi. Namun, bila ada hubungan keluarga, maka ada batas-batas hubungan tertentu yang tidak boleh menjadi saksi. Sedangkan hubungan keluarga diluar batas-batas yang ditetapkan, tidak berhalangan untuk memberikan keterangan saksi, tetapi masih juga ada perkecualian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 170. Menurut ayat (1) pasal ini dikecualikan untuk menjadi saksi adalah mereka yang karena jabatan, harkat dan martabat atau jabatannya memberikan keterangan sebagai saksi, yakni tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

  Ada perkecualian dari orang yang tidak boleh didengar keterangannya dalam sidang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 168 tersebut, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 169. Menurut Pasal 169, orang –orang yang berkualitas dalam hubungan kekeluargaan sebagaimana disebutkan Pasal 168 dapat memberikan keterangannya apabila:

  1) Mereka yang berkedudukan dalam hubungan keluarga itu menghendaki untuk memberikan keterangan;

2) Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa secara tegas menyetujuinya.

  Biasanya, dalam praktik saksi yang demikian diajukan oleh penasihat hukum. Kemudian hakim akan menanyakan relevansinya dengan pokok perkara yang sedang diperiksa. Apabila menurut pertimbangan hakim cukup alasannya untuk dapat didengar keterangannya, maka hakim meminta kepastian kepada jaksa penuntut umum dan terdakwa apakah mereka menyetujuinya. Keterangan saksi keluarga ini harus tidak diatas sumpah. Karena tidak diatas disumpah, maka keterangan demikian nilai pembuktiannya sepenuhnya bergantung kepada pertimbangan hakim. Artinya, hakim boleh menggunakannya dan boleh juga tidak. Jika digunakan, maka tidak dapat disamakan nilainya dengan nilai keterangan saksi yang disumpah, melainkan sekedar dipergunakan sebagai tambahan atas keterangan saksi yang disumpah (Pasal 185 ayat 7), atau sekedar memperkuat alat bukti yang sudah ada saja. Dapat menambah nilai pembuktian dari alat bukti yang sudah ada dengan syarat isi keterangan saksi yang tidak disumpah tadi harus bersesuaian dengan keterangan saksi yang disumpah; dan keterangan saksi yang disumpah ini telah memenuhi syarat minimal pembuktian.

   Artinya, isinya bersesuaian dengan isi dari alat bukti yang lain.

  ii. Hal apa yang diterangkan saksi Ada 2 syarat yang menyangkut keterangan saksi di muka sidang pengadilan yang tidak bisa dipisahkan, agar keterangan itu bernilai dan berharga pembuktian, yang dapat dipertimbangkan untuk membentuk keyakinan hakim, yaitu:

  1. Sumber pengetahuan saksi Artinya, bahwa apa yang diterangkan oleh saksi haruslah bersumber dari pribadinya sendiri, bukan keterangan yang didapat dari orang lain.

  Keterangan yang didapat dari cerita orang lain, tidaklah mempunyai nilai pembuktian.

  2. Substansi isi keterangan Isi keterangan saksi haruslah keterangan mengenai fakta, yaitu apa yang dia lihat, dia dengar dan dia alami sendiri. Oleh karena itu, pendapat bukanlah termasuk fakta sehingga tidak termasuk keterangan saksi yang dimaksud Pasal 1 angka 27. Mengenai hal itu ditegaskan oleh Pasal 185 ayat (5), yang menyatakan bahwa:

  “baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran,

   bukan merupakan keterangan saksi”.

67 Ibid ., hal. 42.

  iii. Alasan apa saksi mengetahui tentang apa yang diterangkan Apa yang dimaksud dengan alasan adalah segala sesuatu yang menjadi sebab mengapa seorang saksi melihat, dan mendengar atau mengalami tentang peristiwa yang diterangkan saksi. Keterangan saksi di muka sidang pengadilan, tetapi dari rangkaian keterangannya tidak didapat keterangan mengenai sebab pengetahuan mengenai apa yang saksi terangkan, maka keterangan tanpa sebab

   pengetahuannya itu tidak bernilai pembuktian.

  iv. Syarat mengucap sumpah atau janji

  Pasal 160 ayat (3) KUHAP mewajibkan pada saksi sebelum memberikan keterangan untuk terlebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya, yang isinya sumpah atau janji bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Cara penyumpahan ini disebut dengan promissoris, artinya sanggup berkata yang benar.

  Kepercayaan atas kebenaran isi keterangan yang diletakkan diatas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah, didasarkan pada dua alasan yang bersifat menekan secara psikologis orang, yaitu: Pertama, pada kepercayaan terhadap sanski dosa dan kutukan dari Tuhan kepada orang yang dengan sengaja melanggar sumpah, sesuai dengan agama yang dianut. Dengan alasan ini maka sumpah yang diucapkan saksi haruslah berdasarkan dan menurut cara agama masing-masing.

  Kedua, pada sanksi hukum pidana. Hukum pidana telah menentukan sanksi pidana maksimum 7 tahun sampai 9 tahun penjara bagi orang yang memberikan v. Syarat adanya hubungan keterangan saksi dengan keterangan saksi lainnya atau alat bukti lain.

  Pasal 185 ayat (2) menentukan bahwa:

  “keterangan seorang saksi sadja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

  Mengikuti ketentuan ini, maka suatu fakta yang didapat dari keterangan saksi yang satu agar menjadi berharga haruslah didukung dengan keterangan saksi yang lain, atau didukung oleh alat bukti lain. Maksudnya didukung adalah keterangan satu saksi harus sama, yang dalam praktik disebut bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain. Fakta yang diperoleh dari keterangan satu saksi yang saling bersesuaian dengan keterangan saksi lain atau alat bukti lain saja yang dapat dipertimbangkan hakim untuk membentuk keyakinannya bahwa tindak pidana telah terjadi dan terdakwa bersalah melakukannya. Hanya diatas keyakinan yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat yang sah itu saja pidana boleh

   dijatuhkan.

  Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menilai kekuatan keterangan saksi dalam persidangan. Dalam menilai keterangan saksi, disamping harus memperhatikan tentang syarat sah dan berharganya keterangan saksi, juga harus memperhatikan standar penilaian keterangan saksi. Hal yang harus diperhatikan sebagaimana yang telah ditentukan Pasal 185 ayat (6), ialah: 1.

  Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lainnya; Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain;

3. Alasan saksi memberikan keterangan tertentu; 4.

  Cara hidup dan kesusilaan saksi. Di samping itu, ada hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam menilai keterangan saksi, ialah:

  1. Tanggapan terdakwa terhadap keterangan saksi (Pasal 164 ayat (1) KUHAP), dan 2. Persesuaian keterangan saksi di persidangan dengan keterangannya di tingkat penyidikan (Pasal 163 KUHAP).

b. Alat Bukti Keterangan Ahli

  Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua setelah keterangan saksi oleh Pasal 184 KUHAP. Dalam praktik alat bukti ini disebut alat bukti saksi ahli. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk menyatakan terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28). Dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa:

  “keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”. Isi keterangan yang disampaikan ahli adalah terkait hal-hal mengenai bidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa.

  Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. KUHAP membedakan keterangan ahli di persidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti “surat” (Pasal 187 butir c KUHAP). Contohnya ialah visum et repertum yang dibuat oleh seorang dokter.

c. Alat Bukti Surat

  Menurut Sudikno Mertokusumo, surat adalah: “segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda- tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah

  

  termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat.”

  Pasal 187 KUHAP menguraikan tentang alat bukti surat yang terdiri dari 4, yaitu:

  a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

  b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

  d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Dari macam-macam surat resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf a,

  

  b, dan c KUHAP, maka dapat digolongkan menjadi

  a) Acte ambtelijk , yaitu akta yang dibuat oleh pejabat umum. Pembuatan akta otentik tersebut sepenuhnya merupakan kehendak dari pejabat umum 71 tersebut. Jadi isinya adalah keterangan dari pejabat umum tentang yang ia

  Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 62. lihat dan ia lakukan. Misalnya, berita acara tentang keterangan saksi yang dibuat oleh penyidik.

  b) Acte partij , yaitu akta otentik yang dibuat para pihak di hadapan pejabat umum. Pembuat akta otentik tersebut, sepenuhnya berdasarkan kehendak dari para pihak dengan bantuan pejabat umum. Isi akta otentik tersebut merupakan keterangan-keterangan yang berisi kehendak para pihak.Misalnya, akta jual beli yang dibuat di hadapan notaris. Menurut Martiman Prodjohamodjojo seperti dikutip oleh Andi Hamzah,

  Pasal 187 butir (d) adalah surat yang tidak sengaja dibuat untuk menjadi alat bukti, tetapi karena isinya surat ada hubungannnya dengan alat bukti yang lain, maka dapat dijadikan sebagai alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti yang lain. Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut dalam Pasal 187 huruf (a), (b), dan (c) adalah alat bukti sempurna, sebab dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sedangkan surat yang disebut dalam butir (d) bukan merupakan alat bukti yang sempurna. Dari segi materil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 bukanlah alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Sama seperti keterangan saksi atau keterangan ahli, surat juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas (vrij bewijskracht).

  Meskipun tidak ada pengaturan khusus tentang cara memeriksa alat bukti surat seperti yang diatur dalam Pasal 304 HIR, maka harus diingat bahwa sesuai hakim terhadap alat bukti yang diajukan di persidangan. Nilai alat bukti oleh karena itu bersifat bebas. Dalam hukum acara pidana, yang dicari adalah kebenaran materil atau kebenaran sejati, sehingga konsekuensinyahakim bebas untuk menggunakan atau mengesampigkan sebuah surat. Disamping itu haruslah diingat tentang adanya minimum pembuktian, walaupun ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi (otentik) yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaannya, pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak berdiri sendiri, melainkan sekurang-kurangnya harus dibantu dengan satu alat bukti yang sah lainnya.

d. Alat Bukti Petunjuk

  Pasal 188 ayat (1) memberikan pengertian petunjuk, yaitu: “perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.

  Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa pemberian nilai atas petunjuk itu diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Karena alat bukti petunjuk ini adalah berupa pemikiran atau pendapat hakim yang dibentuk dari hubungan atau persesuaian alat bukti yang ada dan dipergunakan dalam sidang, maka sifat subyektivitas hakim lebih dominan. Oleh karena itu, Pasal 188 ayat (3) mengingatkan hakim agar dalam menilai kekuatan alat bukti petunjuk dalam setiap keadaan tertentu harus dilakukan dengan arif dan bijaksana, setelah hakim memeriksa dengan cermat dan seksama yang didasarkan hati nuraninya. Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP dalam hal cara memperoleh alat bukti petunjuk, hanya

  1) Keterangan saksi;

  2) Surat;

3) Keterangan terdakwa.

  Nilai kekuatan pembuktian (bewijskracht) dari alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti lainnya yaitu bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Dalam menggunakan alat bukti petujuk, tugas hakim akan lebih sulit, ia harus mencari hubungan antara perbuatan, kejadian atau keadaan, menarik kesimpulan yang perlu serta mengkombinasikan akibat-akibatnya dan akhirnya sampai pada suatu keputusan tentang terbukti atau tidaknya sesuatu yang telah didakwakan.

e. Keterangan Terdakwa

  Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 15 KUHAP). Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP). Keterangan terdakwa yang diberikan dalam persidangan barulah merupakan alat bukti. Keterangan tersebut berisi pernyataan terdakwa tentang apa yang ia perbuat, apa yang ia lakukan, dan apa yang ia alami. Keterangan terdakwa di luar sidang (keterangan tersangka) tidak bisa dipergunakan untuk menemukan bukti dalam sidang, jika tidak didukung alat bukti yang sah. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian keterangan terdakwa

   tersebut tidak bisa untuk memberatkan sesama terdakwa.

  C.

  

Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Sah dalam Hukum Pidana

Indonesia

  Sgarlata Chung dan David J. Byer, memberikan deskripsi mengenai ruang lingkup alat bukti elektronik, yang mencakup:

  “any information created or stored in digital form whenever a computer is used to accompish a task... Therefore, electronic evidence... may include information databases, operating systems, application programs, computer-generated models, electronic and voice mail messages and records, and other information or instructions residing in computer

   memory”.

  Alat bukti elektronik memiliki cakupan yang luas dan jenis yang beragam, sehingga pengumpulan dan pemeriksaan alat bukti elektronik membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit. Pengaturan alat bukti elektronik harus didasarkan pada sistem dan prinsip pembuktian hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. KUHAP belum mengatur mengenai alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah, namun beberapa peraturan perundang-undangan telah mengatur bahwa data elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Surat Mahkamah Agung kepada Menteri Kehakiman Nomor 39/TU/88/102/Pid tanggal

  14 Januari 1988 menyatakan bahwa “microfilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat, dengan catatan microfilm tersebut sebelumya dijamin keotentikasiannya yang dapat ditelusuri kembali dari registrasi maupun

  

  berita acara”. Menurut Fakhriah (2009), pengakuan microfilm atau microfiche sebagai alat bukti dalam Surat MA tersebut didasarkan pada analogi dari Putusan 74 Josua Sitompul, Op. Cit., hal. 263.

  Mahkamah Agung Nomor 71.K/Sip/1974 mengenai fotokopi dokumen sebagai alat bukti. Dalam Putusan MA tersebut diakui bahwa fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti bila disertai keterangan atau dengan jalan apapun secara sah dapat ditunjukkan bahwa fotokopi tersebut sesuai dengan aslinya. Oleh karena itu, berdasarkan analogi maka hasil print out mesin faximili, microfilm atau

   microfiche juga dapat diterima sebagai alat bukti.

  Adapun yang dimaksud dengan bukti elektronik adalah bukti yang didapat dari kejahatan yang menggunakan peralatan teknologi untuk mengarahkan suatu peristiwa pidana berupa data-data elektronik baik yang berada di dalam perangkat teknologi itu sendiri misalnya terdapat pada komputer, harddisk/ floppydisk,

  

memorycard , simcard atau yang merupakan hasil printout, ataupun telah

  mengalami pengolahan melalui suatu perangkat teknologi tertentu misalnya komputer ataupun dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas

   penggunaan teknologi.

  Mengenai alat-alat bukti elektronik ini, Hakim Mohammed Chawki dari

  ComputerCrimeResearchCenter mengklasifikasikan bukti elektronik menjadi tiga

  

  kategori, yaitu: a.

   Real Evidence Realevidence atau physicalevidence ialah bukti yang terdiri dari objek-

  objek nyata/ berwujud yang dapat dilihat dan disentuh. “Realevidence juga 76 Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, (Bandung: PT.

  Alumni, 2009), hal 57, seperti dikutip oleh Ibid. 77 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hal.

  455, seperti dikutip oleh Sara Yosephine Bangun, Kedudukan Bukti Surat Elektronik (Email) Dari Prespektif Hukum Acara Pidana Indonesia , (Medan: USU)., hal. 15. merupakan bukti langsung berupa rekaman otomatis yang diperoleh dari alat

  

  (device) yang lain, contohnya computerlogfiles”. Realevidence atau bukti nyata ini meliputi kalkulasi-kalkulasi atau analisa-analisa yang diolah oleh komputer melalui pengaplikasian software dan penerimaan informasi dari device lain seperti jam yang built-in langsung dalam komputer atau remotesender. Bukti nyata ini muncul dari berbagai kondisi. Bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah yang berdiri sendiri (realevidence), tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu rekaman/ salinan data (datarecording) berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa sehingga hasil printout suatu data dapat diterima dalam pembuktian kasus. Contohnya jika sebuah komputer bank secara otomatis mengkalkulasi (menghitung) nilai pembayaran pelanggan terhadap bank berdasarkan tarifnya, transaksi-transaksi yang terjadi dan credit balance yang dikliring secara harian, maka kalkulasi ini akan digunakan sebagai sebuah bukti nyata.

  b.

   Testamentary evidence Testamentaryevidence atau dikenal juga dengan istilah HearsayEvidence

  adalah keterangan dari saksi maupun expertwitness yaitu keterangan dari seorang ahli dapat diberikan selama persidangan, berdasarkan pengalaman dan pengamatan individu. Peranan dari keterangan ahli sesuai dengan peraturan perundang-undangan kita yaitu UU No.8 Tahun 1981 KUHAP, bahwa keterangan ahli dinilai sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian jika 79 Edmon Makarim, 12 April 2007, “Tindak Pidana terkait dengan Komputer dan

  Internet: Suatu Kajian Pidana Materiil dan Formil ”, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber bidang yang dimilikinya dan yang berupa keterangan “menurut pengetahuannya”

  

  secara murni. Kedudukan seorang ahli dalam memperjelas tindak pidana yang terjadi serta menerangkan atau menjelaskan bukti elektronik sangat penting dalam memberikan keyakinan hakim dalam memutus perkara kejahatan dunia maya. Termasuk pada Testamentaryevidence adalah dokumen-dokumen data yang juga diolah oleh komputer yang merupakan salinan dari informasi yang diberikan (dimasukkan) oleh manusia kepada komputer. Cek yang ditulis dan slip pembayaran yang diambil dari sebuah rekening bank juga termasuk

   heraseyevidence .

  c.

   Circumstantial evidence

  Pengertian dari circumstansialevidence ini adalah merupakan bukti terperinci yang diperoleh berdasarkan ucapan atau pengamatan dari kejadian yang sebenarnya yang mendorong untuk mendukung suatu kesimpulan, tetapi bukan untuk membuktikannya. circumstantialevidence atau derivedevidence ini

  

  merupakan kombinasi dari realevidence dan hearsayevidence”. tau singkatnya, yang dimaksud dengan circumstantialevidence atau deriviedevidence adalah informasi yang mengkombinasikan antara bukti nyata (realevidence) dengan informasi yang diberikan oleh manusia kepada komputer dengan tujuan untuk membentuk sebuah data yang tergabung. Contohnya, tabel dari kolom-kolom 80 M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

  Pidana, Jilid II , (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hal. 301, seperti dikutip oleh Melda Octaria Damanik, Loc.Cit.,hal. 44. 81 82 Sara Yosephine Bangun, Loc.Cit.,hal. 16.

  Edmon Makarim, 12 April 2007, “Tindak Pidana terkait dengan Komputer dan Internet: Suatu Kajian Pidana Materiil dan Formil ”, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber

Crime di Indonesia , (FH UI, Jakarta), seperti dikutip oleh Lamgok Herianto Silalahi, harian sebuah statement bank karena tabel ini adalah diperoleh dari realevidence (yang secara otomatis membuat tagihan bank) dan hearseyevidence (check

   individu dan entry pembayaran lewat slip-playingin).

  Sampai saat ini ada beberapa perundang-undangan yang secara parsial telah mengatur eksistensi alat bukti elektronik, yaitu: a. UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

  UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan telah meletakkan dasar penting dalam penerimaan (admissibility) informasi atau dokumen

  

  elektronik. Dengan dikeluarkannya UU No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan). Misalnya compact disk- read

  only memory (CD-ROM), dan Write Once- Read- Many (WORM), yang diatur

  dalam Pasal 12 UU tentang Dokumen Perusahaan tersebut sebagai alat bukti yang

   sah.

  Pengalihan dokumen perusahaan ke dalam bentuk mikrofilm atau media lainnya tersebut harus memenuhi persyaratan yang secara implisit diatur dalam UU Dokumen Perusahaan.

  83 84 Sara Yosephine Bangun, Loc. Cit.,hal. 16. 85 Josua Sitompul, Op. Cit., hal. 271.

  Petrus Reinhard Golose, 12 April 2007,” Penegakan Hukum Cyber Crime dalam sistem Hukum Indonesia ”, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia,(FH UI,

  1) Setiap pengalihan dokumen wajib dilegalisasi yang dilakukan oleh pemimpin perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan tersebut dengan dibuatkan berita acara yang memuat sekurang-kurangnya memuat: 1.

  Keterangan tempat waktu pelaksanaan legalisasi; 2. Keterangan bahwa pengalihan dokumen tersebut telah sesuai dengan hasilnya;

3. Tanda tangan dan nama jelas pejabat yang bersangkutan.

  2) Dapat dilakukan sejak dokumen dibuat atau diterima perusahaan;

  3) Pimpinan perusahaan wajib mempertimbangkan kegunaan naskah asli dokumen yang perlu;

  4) Pimpinan perusahaan wajib menyimpan naskah asli Dokumen Perusahaan yang dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya adalah naskah asli yang mempunyai kekuatan pembuktian otentik dan masih mengandung kepentingan hukum tertentu.

  Lebih lanjut, UU Dokumen Perusahaan juga mengatur bahwa apabila dianggap perlu maka dalam hal tertentu dan untuk keperluan tertentu, dapat dilakukan legalisasi terhadap hasil cetak dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media lainnya. Dari pengaturan tersebut, setidaknya ada dua kesimpulan yang dapat diambil. Pertama informasi atau dokumen elektronik harus dilegalisasi. Sebenarnya, legalisasi ini merupakan usaha untuk menjaga atau mempertahankan keautentikan konten dari Dokumen Perusahaan. Melalui proses dinyatakan sesuai dengan aslinya sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah. Kedua, yang dimaksud dengan alat bukti yang sah menurut Pasal 15 ayat (1) UU Dokumen Perusahaan ialah alat bukti surat, khususnya akta di bawah

   tangan.

  b. Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

  Pasal 27 UU Terorisme mengatur bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: 1)

  Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; 2)

  Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

  3) Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a)

  Tulisan, suara, atau gambar;

  b) Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;

  c) Huruf, tanda, angka simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

  c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  Berdasarkan undang-undang ini, ada perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Berdasarkan KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, tetapi menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, bukti petunjuk juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronik data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, faksimili dan dari dukumen, yakni setiap rekaman atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

  d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

  Pasal 29 mengatur mengenai alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, dapat pula berupa: a)

  Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu dan b)

  Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan denegan atau tanpa bantuan suatu sarana, bauk yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:

  (1) Tulisan, suara atau gambar;

  (2) Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;

  (3) Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya;

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum SKRIPSI

0 0 8

Pemberlakuan Bebas Visa Bagi Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (Oki) Menurut Tinjauan Hukum Internasional

0 0 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG VISA DALAM LINGKUP INTERNASIONAL - Pemberlakuan Bebas Visa Bagi Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (Oki) Menurut Tinjauan Hukum Internasional

0 0 20

Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judicial Review Terhadap Piagam Asean Di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

1 2 13

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL A. Perkembangan Hukum Internasional terhadap Pengaturan Perjanjian Internasional - Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judici

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judicial Review Terhadap Piagam Asean Di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

0 0 28

Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judicial Review Terhadap Piagam Asean Di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

0 1 20

Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

0 0 35

BAB I I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

0 0 16

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP IZIN PENGELOLAAN HUTAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 21 TAHUN 2002 SKRIPSI

0 0 9