Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002

  Pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia saat ini merupakan sebuah cerita yang beragam. Di sepanjang jutaan hektar, masyarakat setempat menanami hutan dengan buah-buahan, damar, kopi dan kakao dan sering ditanam bersama dengan pohon kayu-kayuan yang membentuk wilayah yang disebut wanatani (agroforest).

  Wilayah wanatani ini menyediakan jasa lingkungan yang sama seperti hutan alam, dengan pengecualian pada perbedaan keanekaragaman hayati yang lebih rendah.

  Banyak masyarakat setempat yang melindungi hutan alam, dan kadang bekerjasama dengan petugas Dinas Kehutanan pemerintah daerah setempat.

  Namun, secara keseluruhan keadaan hutan alam Indonesia dapat dikategorikan sebagai salah satu krisis yang dihadapi bangsa ini. Laju deforestasi per tahun yang mencapai satu juta hektar tetap bertahan sepanjang sepuluh tahun terakhir serta kemampuan terpasang industri pengolahan kayu terus berkembang melampaui tingkat pemanfaatan lestari per tahun. Pengelolaan sumber kehutanan modern berdasarkan sifat renewable dan potensi serba guna bagi kesejahteraan rakyat sepanjang masa.

  Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintahan menggunakan ijin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin juga suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu

   menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan.

  Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undag-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang

   buruk.

  Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum

  

mengharuskan pengawasan khusus atasnya.

  Izin juga dapat dilihat dari arti yang sempit yang tujuannya adalah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap

   tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekedarnya.

  Jadi, yang pokok pada izin adalah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan

   dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus.

  Membicarakan pengertian izin pada dasarnya mencakur suatu pengertian yang sangat kompteks yaitu berupa hal yang membolehkan seseorang atau badan hukum melakukan sesuatu hal yang rnenurut peraturan perundang-undangan harus memiliki izin. terlebih dahulu, maka akan dapat diketahui dasar hukum dari izinnya tersebut.

  Menurut Prajudi Admosudirjo, mengatakan bahwa "izin (verguning) adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi daripada suatu larangan oleh undang-

   undang".

  Pada umumnya pasal undang-undang yang bersangkutan berbunyi : "Dilarang tanpa izin memasuki areal/lokasi ini". Selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan rincian daripada syarat-syarat, kriteria dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan tersebut, disertai dengan

  19 20 Op.Cit, Philipus Mandiri Hadjon, hal 3 Ibid penetapan prosedur atau petunjuk pelaksanaan kepada pejabat pejabat administrasi negara yang bersangkutan.

  Menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Bachsan Mustafa : "Bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga mernperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka perbuatan administrasi negara yang

   memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (verguning)".

  Kata perizinan kita peroleh atau kita dengar dan sepintas lalu kata perizinan mengandung arti yang sederhana yaitu pemberian izin terhadap sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas atau kegiatan, namun bila kita telusuri lebih jauh mengenai pengertian perizinan itu tidaklah semudah apa yang kita sebutkan tadi. Lalu apa sebenarnya perizinan tersebut. Perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Perizinan maksudnya dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi sertifikat, penentuan kuota dan izin untuk melaksanakan sesuatu usaha yang biasanya hams dimiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan yang dilakukan.

  Setelah kita memahami arti daripada perizinan maka timbul suatu pertanyaan apa yang dimaksud dengan hukum perizinan ? Hukum perizinan adalah : ketentuan yang berkaitan dengan pemberian izin atau bentuk lain yang berkaitan dengan itu yang d.ikeluarkan oleh pemerintah sehingga dengan pemberian izin tersebut melahirkan hak bagi pemegang izin baik terhadap seseorang, badan usaha, organisasi, LSM dan sebagainya untuk beraktivitas.

  Hukum perizinan merupakan hukum publik yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah di pusat maupun di daerah sebagai aparatur penyelenggaraan negara mengingat hukum perizinan ini berkaitan dengan pemerintah maka mekanisme media dapat dikatakan bahwa hokum perizinan termasuk disiplin ilmu Hukum Administrasi Negara atau hukum 'Tata Pemerintahan seperti yang kita ketahui pemerintah adalah : sebagai pembinaan dan pengendalian dari masyarakat dan salah satu fungsi pemerintah di bidang pembinaan dan pengendalian izin adalah pemberian izin kepada masyaralat dan organisasi tertentu yang merupakan mekanisme pengendalian administratif yang harus dilakukan di dalam praktek pemerintahan.

  Hutan sebagai salah satu bagian dari lingkungan hidup merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat penting bagi umat manusia. Hal ini didasarkan pada banyaknya manfaat yang diambil dari hutan. Misalnya hutan sebagai penyangga paru-paru dunia. Menurut Black Law

  Dictionary , hutan (forest) adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi

   pepohonan tempat hidup segala binatang.

  Hutan adalah suatu lapangan pohon-pohon secara keseluruhan yang merupakan persekutuan hidup alam hayati besertaalam lingkungannya, dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Hutan merupakan harta kekayaan yang tidak ternilai, oleh karena itu hasil dari hutan perlu dijaga, dipertahankan dan di lindungi agar hutan dapat berfungsi dengan baik. Istilah hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forrest(Inggris).Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang dan dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutanan, seperti pariwisata. Di dalam hukum Inggris kuno, forrest (hutan) adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burung-burung hutan.

  Pengelelolaan hutan meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitas dan reklamasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam. Pemanfaatan pada kawasan hutan

   cagar alam serta zona inti dan zona rimba pad ataman nasional.

  Ada 4 (empat) unsur yang terkandung dari definisi hutan diatas, yaitu: 1. Unsur lapangan yang cukup luas yang disebut tanah hutan.

  2. Unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna.

  3. Unsur lingkungan.

  4. Unsur penetapan pemerintah.

  Unsur pertama, kedua dan ketiga membentuk persekutuan hidup yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pengertian hutan disini, menganut konsepsi hukum secara vertikal, karena antara lapangan (tanah), pohon, flora dan

   fauna, beserta lingkungannya merupakan satu kesatuan yang utuh.

  Adanya penetapan pemerintah mengenai hutan mempunyai arti yang sangat penting, karena dengan adanya penetapan pemerintah tersebut, kedudukan hutan menjadi sangat kuat.

  Ada dua arti penting penetapan pemerintah tersebut, yaitu:

25 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Cetakan ke-2, PT RajaGrafindo Persada,

1. Agar setiap orang tidak sewenang-wenang untuk membabat, menduduki dan atau mengerjakan kawasan hutan.

  2. Mewajibkan kepada pemerintah melalui Menteri Kehutanan untuk mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan, dan penggunaan hutan sesuai dengan fungsinya, serta menjaga dan melindungi hutan.

  Adapun tujuan dan prinsip-prinsip perlindungan hutan adalah penyelenggaraan perlindungan hutan adalah bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan

   fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari.

  Adapun prinsip- prinsip perlindungan hutan yaitu: 1. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.

  2. Mempertahankan dan menjaga hak-hak Negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan

   dengan pengelolaan hutan.

  Menurut Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 5 sampai dengan pasal 9 yaitu hutan berdasarkan statusnya adalah suatu pembagian hutan yang didasarkan pada status (kedudukan) antara orang, badan hukum, atau institusi yang melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan.

  Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok

   memproduksi hasil hutan.

  27 28 Peraturan Pemerintah No.45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Pasal 5 Ibid, Pasal 6

  Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,

   mengendalikan erosi, mencegah intrust air laut dan memelihara kesuburan tanah.

  Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya

   yang meliputi Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Baru.

  Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan

   kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.

  Pelaksanaan izin pemanfaatan hutan, pemegang izin diwajibkan melaksanakan semua ketentuan mengenai kewajiban selaku pemegang izin. Inti kewajiban tersebut terbagi pada tiga unsur utama yakni, pertama kewajiban yang berkaitan dengan teknis administrasi pemegang izin. Kedua, kewajiban financial kepada pemerintah, yakni membayar Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Kegita, kewajiban untuk menjaga kawasan izin yang telah diberikan. Ketiga kewajiban tersebut tidak tegas menyatakan, bahwa penyelenggaraan izin pemanfaatan hutan juga memperhatikan kemampuan daya dukung daya tampung lingkungan hidup. Pada paraturan tentang kehutanan tidak ditemukan kewajiban pemegang izin untuk melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). Padahal, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Upaya Pengelolaan

  30 Ibid, Pasal 1 angka 14 Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL)

   merupakan persyaratan untuk mendapatkan izin bidang kehutanan.

  Hutan yang pada umumnya terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu pertama hutan lindung, kedua hutan produksi dan ketiga hutan konservasi, di dalam pengelolaanya membutuhkan beberapa izin sesuai dengan jenis usaha pemanfaatannya. Jenis-jenis izin tersebut antara lain :

  1. Izin pemanfaatan kawasan hutan Jenis-jenis usaha dalam pemanfaatan kawasan hutan ini terdiri dari budidaya jamur, budidaya tanaman obat (herbal), budidaya tanaman hias, budidaya persatuaan alam, budidaya tanaman pangan, budidaya perlebahan, budidaya hijauan pakan ternak, budidaya payau, budidaya penangkaran satwa dan tumbuhan, budidaya rotan dan budidaya lainnya yang tidak merusak ekosistem sumber daya alam hutan.

  2. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan terhadap hutan lindung dan hutan produksi.

  Jenis-jenis usahanya terdiri dari; usaha pemanfaatan air, usaha wisata alam/rekreasi, usaha olah raga tantangan, perdagangan karbon, usaha penyelamatan hutan dan lingkungan.

  3. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu pada hutan produksi.

  Jenis-jenis usaha hasil hutan kayu meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, permanen, pengelolaan dan pemasaran hasil hutan, sementara jenis-jenis usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu meliputi kegiatan penebangan, permudaan, pemeliharaan, pengamanan, pengelolaan dan pemasaran hasil, pemanfaatan getah, kulit kayu, daun, buah atau biji meliputi kegiatan permanen, pemeliharaan, pengelolaan dan pemasaran hasil.

4. Izin pemungutan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi dan hutan lindung.

  Jenis-jenis usaha dalam pemungutan hasil hutan kayu meliputi pengambilan hasil hutan kayu meliputi pengambilan hasil hutan kayu untuk memenuhi kebutuhan individu dan atau fasilitas umum penduduk sekitar hutan pada kawasan hutan produksi alam. Sementara jenis-jenis usaha pemungutan hasil hutan bukan kayu dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung antara lain; mengambil madu, mengambil rotan, mengambil buah dan aneka hasil hutan lain dan perburuan satwa liar yang tidak dilindungi dan dilaksanakan secara tradisional.

B. Fungsi Pengelolaan Hutan

  Secara etimologis, hutan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta, berarti kumpulan rapat pepohonan dan berbagai tumbuhan lainnya dalam suatu wilayah tertentu. Hutan adalah habitat bermacam spesies tumbuhan, spesies hewan, beberapa kelompok etnik manusia, yang berinteraksi satu sama lain, sekaligus dengan lingkungan sekitarnya.

34 Hutan tidak hanya bermanfaat bagi spesies hewan, spesies tumbuhan, atau

  kelompok etnik tertentu yang meninggalinya saja. Setidaknya ada tiga manfaat hutan yang berpengaruh global terhadap bumi sebagai habitat yang lebih luas. Tiga manfaat tersebut adalah: hutan sebagai tempat resapan air; hutan sebagai payung raksasa; hutan sebagai paru-paru dunia; dan hutan sebagai wadah kebutuhan primer. Sebagai tempat resapan air, hutan merupakan daerah penahan dan area resapan air yang efektif. Banyaknya lapisan humus yang berpori-pori dan banyaknya akar yang berfungsi menahan tanah, mengotimalkan fungsi hutan sebagai area penahan dan resapan air tersebut. Kerusakan hutan bisa menyebabkan terganggunya fungsi hutan sebagai penahan air. Daerah dan habitat sekitar hutan yang rusak itupun sewaktu- waktu bisa ditenggelamkan banjir. Selain itu, kerusakan hutanpun akan membuat fungsi hutan sebagai area resapan terganggu. Ketiadaan area resapan ini bisa menimbulkan kelangkaan air yang bersih dan higienis, atau air siap-pakai.

  Selain fungsinya sebagai tempat resapan air, hutan berfungsi pula sebagai 'payung raksasa'. Rapatnya jarak antara tetumbuhan satu dengan tumbuhan lainnya, juga rata-rata tinggi pohon di segenap lokasinya, berguna untuk melindungi permukaan tanah dari derasnya air hujan. Tanpa 'payung raksasa' ini, lahan gembur yang menerima curah hujan tinggi lambat laun akan terkikis dan mengalami erosi.

  Maka, dengan begitu, daerah-daerah sekitarnyapun akan rentan terhadap bahaya longsor.

  Jika manfaat hutan sebagai daerah resapan terkait dengan keseimbangan kondisi air, bila fungsinya sebagai 'payung raksasa' terkait dengan kondisi tanah permukaan, maka sebagai 'paru-paru dunia' hutanpun 'bertanggung-jawab' atas keseimbangan suhu dan iklim. Kemampuan hutan hujan dalam menyerap karbondioksida, membuat suhu dan iklim di bumi selalu seimbang. Seandainya fungsi hutan sebagai 'paru-paru-nya dunia' itu terganggu, suhu dan iklim di bumi akan selalu bergerak ke titik ekstrem: kadang temperaturnya terlalu rendah, kadang temperaturnya bisa terlalu tinggi.

  Karena hutan kaya akan hasil bumi, hutanpun menyimpan manfaat bagi obatan, dan banyak jenis sumber hayati lainnya, membuat hutan pantas dijuluki sebagai 'warung hidup' atau 'apotek hidup' besar. Dengan hutan hujan tropis yang sangat luas, rakyat Indonesia seharusnya tercukupi dalam hal kebutuhan pokok, terutama oleh sumber nabati dan hewani yang banyak terdapat di dalam hutannya.

  Melihat lokasinya, hutan bumi terbagi dalam tiga kelompok besar: hutan tropis, hutan

   subtropis (temperate), dan hutan boreal .

  Aktivitas pengelolaan hutan dengan tujuan produksi hasil hutan pada umumnya melibatkan kegiatan inventarisasi hutan, tata hutan dengan membentuk blok dan petak, pelaksanaan silvikultur (misalnya penanaman, penjarangan, praning, dan pemeliharaan lainnya).

  Dalam pengelolaan hutan perlu memperhatikan beberapa fungsi diantaranya : 1. Fungsi ekonomi : masyarakat disekitar hutan dapat menikmati hasil dari hutan yang mereka kelola dengan harapan ada peningkatan ekonomi yang stabil dan menciptakan lapangan kerja bagi generasi mendatang dengan pola peningkatan pengelolaan hutan yang berteknologi ramah lingkungan.

  2. Fungsi sosial: terciptanya solidaritas masyarakat sekitar hutan dan menghindari kesenjangan sosial diantara kelompok masyarakat, maka dalam hal ini pengelolaan hutan dilakukan secar kolektif.

  3. Fungsi ekologi : hutan berfungsi sebagai konservasi, untuk mencegah terjadinya bencana banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran serta memberikan perlindungn

   terhadap masyarakat disekitarnya (dari segi keamanan dan kesehatan).

  35 Safari Putri, Hutan dan Permasalahannya, diakses tanggal 27 Februari 2015 36 1. Adhiprasetyo,

  Beberapa fungsi diatas sangat penting untuk diterapakan dalam pengelolaan hutan sistem masyarakat. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa masyarakat punya cara tersendiri dalam memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam yang ada di hutan, mereka tetap memperhatikan budaya yang diwarisi dari para pendahulunya dan juga kearifan lokal masyarakat sangat mendukung dengan langkah-langkah yang mereka lakukan dalam pengelolaan hutan,beberapa hal diantaranya : melindungi sumber air dengan melestarikan pepohonan yang banyak mengandung kadar air, tidak menebang pohon di area kemiringan yang rawan longsor/banjir, menanam pohon yang produktif (hanya diambil buahnya) serta menanam tanaman yang bisa mendatangkan satwa.

  Langkah-langkah yang dilakukan oleh masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian dan menyelamatkan fungsi hutan antara lain : membuat kesepakatan adat yang dibuat oleh para tokoh masyarakat yangn melibatkan semua lapisan masyarakat, yang isinya membuat peraturan yang harus ditaati dan sanksi bagi yang melanggar beberapa kesepakatan adat diantaranya : tidak menebang pohon yang berfungsi untuk penyerapan air, mengolah lahan dengan tidak menggunakan bahan kimia, bersdia dan sanggup menjaga serta melestarikan hutan, serta mewajibkan setiap masyarakat untuk menanam pohon yang produktif.

C. Permasalahan Pengelolaan Hutan Indonesia

  Permasalahan yang dihadapi sektor kehutanan saat ini adalah kondisi hutan yang mengalami degradasi cukup tajam. Kondisi ini mengakibatkan hutan tidak mampu lagi menjadi penyangga bagi kelestarian alam. Berbagai bencana alam yang terjadi belakangan ini menunjukkan keseimbangan dan kelestarian alam yang semakin ekonomi semata, dan bahkan Negara secara sentralistis mengeksploitir hutan sehingga fungsi sosial kepentingan umum terabaikan.

  Pengelolaan hutan yang dilakukan selama ini menimbulkan konflik kepentingan antara pusat dengan daerah dan masyarakat setempat. Kebijakan- kebijakan yang diambil selalu mendahulukan kepetingan pusat dan sering mengabaikan kepentingan masyarakat daerah, sehingga pengelolaan hutan yang semula bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk mensejaterahkan

   masyarakat hanya mensejahterahkan segelintir orang.

  Selama lebih dari tiga dasawarsa kepemimpinan di era baru. Keadaan hutan Indonesia memiliki potret yang menyedihkan pengelolaan kawasan hutan yang eksploitatif menjadikan hutan dan sumber daya alam yang ada didalamnya sebagai obyek eksploitasi untuk mengejar pembangunan ekonomi tanpa memperdulikan kerentanan 41 tahun 1999 sebenarnya telah mencoba mengubah paradigma pengelolaan hutan yang tadinya sangat eksploitatif ke arah pengelolaan yang juga menitikberatkan perlindungan sumber daya hutan dan pemberian akses pemanfaatan kawasan hutan bagi masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mencoba mengembangkan kewajiban Pemerintah dan peran serta masyarakat dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian terpenting dari unsur pembentuk lingkungan hidup. Namun, tampaknya komitmen Pemerintah dalam kedua undang-undang tersebut hanya berhenti sebatas regulasi semata tanpa ada aplikasi yang memadai.

  Secara keseluruhan, pengelolaan hutan Indonesia mengalami krisis yang bersifat multidimensional, mulai dari deforestasi kawasan hutan hingga konflik horizontal di masyarakat. Beberapa permasalahan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Deforestasi

  Deforestasi di Indonesia sebenarnya berangkat dari warisan suatu sistem politik dan ekonomi korup yang menganggap bahwa sumber daya alam, khususnya hutan merupakan sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi sebanyak- banyaknya demi mengejar keuntungan pribadi, tanpa memperdulikan akibatnya terhadap kelestarian ekosistem kawasan hutan. Pemanfaatan kawasan hutan selama ini telah membawa ancaman deforestasi yang cukup mengejutkan.

  Deforestasi disebabkan karena berbagai hal, diantaranya kebakaran hutan, penebangan liar (illegal logging), penambahan hutan secara ilegal, konversi hutan untuk tempat tinggal, industri serta kegiatan pembangunan lainnya dan kesalahan pengelolaan. Dengan angka deforestasi hutan yang sedemikian besar, tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan pemanfaatan hutan selama ini telah membawa kepada hilangnya ekosistem kawasan hutan.

2. Kebakaran Hutan

  Kebakaran hutan umumnya terjadi di hutan Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan diduga terjadi, baik secara disengaja maupun secara alami. Secara alami, kebakaran hutan diduga sebagai konsekuensi adanya endapan kayu asing. Namun, belakangan ini diketahui bahwa kebakaran hutan lebih disebabkan oleh faktor deforestasi yang sangat tinggi. Kebakaran hutan secara sengaja pada umumnya lebih untuk kegiatan perladangan maupun pembukaan lahan untuk tujuan lainnya. Kebakaran hutan tidak dapat disangkal menimbulkan kerugian yang cukup besar, baik dari segi ekonomi maupun konservasi yang meliputi rusaknya habitat dan ekosistem hutan, pencemaran udara, gangguan penerbangan, gangguan kesehatan, kematian maupun rusaknya harta benda.

3. Kebijakan otonomi daerah

  Instrumen kebijakan perimbangan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemeruntah Daerah, baik dalam UU No.22 tahun 2009 maupun UU No.32 tahun 2004 telah memberikan porsi kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Hal ini tentu saja memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, termasuk dalam sektor kehutanan. Namun, sayangnya, orientasi pemanfaatan hutan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah tidak mengutamakan unsur konservasi dan kelestarian ekosistem. Pemanfaatan hutan seringkali disalahartikan sebagai eksploitasi besar-besaran seluruh sumber daya hutan yang tentunya mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah.

4. Konflik Agraria

  Konflik agraria terjadi akibat adanya sengketa penggunaan lahan kehutanan yang terjadi antara masyarakat adat, para transmigran. Kegiatan perkebunan, kegiatan pertambangan maupun kegiatan kehutanan itu sendiri. Konflik antara masyarakat sekitar kawasan hutan yang mengklaimkan hak-haknya atas tanah dan sumberdaya hutan dengan pemerintah maupun perusahaan pertambangan dan perkebunan telah meningkat secara konsisten sepanjang lima belas tahun terakhir.

  Masyarakat sekitar kawasan hutan yang selama turun-temurun melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan menuntut haknya terhadap akses kawasan hutan yang telah diberikan konsesi baik kepada perusahaan pertambangan maupun perkebunan. Tidak adanya batas lahan yang jelas serta horizontal tersebut. Konflik atas pemanfaatan terhadap hutan dan sumber daya alam tersebut akan tetap terjadi konflik laten, kecuali jika ada satu usaha serius dan terorganisir untuk merasionalisasi kawasan hutan negara melalui strategi tindakan yang jelas.

5. Penebangan Liar (Illegal Loging) dan Penambangan Liar (Ilegal Mining)

  Timbulnya kegiatan penebangan liar lebih banyak dilatarbelakangin oleh lemahnya penegakan hukum dan buruknya sistem perekonomian. Ketika krisis ekonomi melanda tahun 1998, terjadi putusan hubungan kerja besar-besaran yang menyebabkan masyarakat kemudian beralih mencari nafkah dengan melakukan kegiatan penebangan hutan (ilegal logging). Selain itu, kegiatan penebangan liar juga tidak jarang dilakukan oleh perusahaan besar yang tidak memiliki izin.

  Diduga kerugian negara akibat penebangan liar mencapai miliaran rupiah, belum lagi kerugian akibat hilangnya tegakan serta habitat satwa liar. Khususnya penambangan liar pada umumnya dilakukan secara tradisional oleh masyarakat sekitar hutan maupun perusahaan pertambangan skala kecil yang tidak memiliki izin usaha. Namun, tidak jarang pula dilakukan oleh perusahaan besar yang bersekongkol dengan aparat pemerintah setempat. Contoh paling nyata kegiatan penambangan liar adalah tambang biji emas di kawasan daerah aliran sungai atau biasa disebut dengan penambangan emas tanpa izin.

6. Kerusakan Lingkungan

  Kegiatan pertambangan seringkali menjadi penyebab rusaknya kelestarian lingkungan dikawasan hutan. Kerusakan tersebut terjadi baik pada masa penambangan maupun pasca tambang. Dampak lingkungan ini sangat terkait dengan penerapan teknologi dan teknik pertambangan yang digunakan. Pada limbah (dumping), hilangnya biodiversity (keanekaragaman hayati) akibat pembukaan lahan maupun adanya air asam tambang. Sedangkan masa pasca tambang, banyak perusahaan yang kemudian meninggalkan wilayah pertambangannya apabila tidak terdapat kandungan bahan tambang atau cadangan telah habis. Oleh karena itu, kebijakan reklamasi pasca tambang harus memiliki aturan yang jelas serta pengawasan yang ketat dari aparat pemerintah.

7. Tumpang tindih lahan Pemanafaatan hutan

  Pemasalahan lain yang tidak kalah penting dalam tumpang tindih antara lahan tambang dan kehutanan. Hutan merupakan rumah bagi ribuan organisme alami dan tempat bagi senyawa-senyawa organik yang membusuk. Setelah melalui periode yang cukup panjang, senyawa organik yang membusuk tersebut tertimbun di dalam tanah dan menghasilkan mineral-mineral organik yang berpotensi menjadi bahan tambang. Oleh karena itu, kawasan hutan merupakan

   salah satu tempat paling strategis untuk pertambangan.

D. Ketentuan-Ketentuan Mengenai Masalah Perizinan Pengelolaan Hutan

  Berapa banyak masalah pengelolaan hutan yang diselesaikan. Salah satunya menyangkut proses perizinan yang melangkahi prosedur yang ada. Seluruh kebijakan dan izin pengelolaan hutan harus dievaluasi. Namun, yang melakukan evaluasi tersebut bukan pihak yang menjadi bagian dari masalah dalam pengelolaan hutan.

  Misalnya, pemerintah pusat memerintahkan pemerintah daerah (Pemda) untuk mengevaluasi izin yang sudah diterbitkan. Padahal, kepala daerah menjadi bagian dari masalah karena kerap menerbitkan izin tanpa mengacu prinsip perlindungan kawasan

   hutan, lingkungan dan sosial.

  Pekerjaan pemberian izin oleh pemerintah pada dasarnya merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi 1 (satu) yang dilakukan dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan instansi pemerintahan yang mengeluarkan izin tersebut. Sehingga membicarakan ketentuan-ketentuan mengenai masalah perizinan amat luas sekalanya karena beranekaragamnya jenis izin yang dikeluarkan sesuai dengan kedudukan masing-masing instansi pemerintahan itu sendiri. Tetapi meskipun demikian secara umum dapat dikatakan ketentuan ketentuan mengenai masalah perizinan tersebut merupakan pekerjaan pemerintah dalam bentuk nyata (konkret) yang diwujudkan dalam perbuatan mengeluarkan ketetapan yang mempunyai ciri konkret artinya nyata mengatur orang tertentu yang disebutkan identitasnya sebagai pemohon izin untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan pemerintah agar seseorang tersebut dapat diberikan izin.

  Ketentuan-ketentuan mengenai masalah perizinan pengelolaan hutan meliputi: 1. Undang - Undang Nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

  Kekayaan sumber daya alam hutan dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak menguasai sumber daya hutan oleh Negara menurut Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, memberikan wewenang kepada pemerintah untuk: (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

  Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. (Pasal 50 ayat (2)). Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf l); dan mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. (Pasal 50 ayat (3) huruf m).

  Sementara Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut ‘UU Kehutanan´) tidak mendefinisikan secara jelas illegal logging dan hanya menjabarkan tindakan-tindakan illegal logging. Kategori illegal logging menurut Pasal 50, antara lain:mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (ilegal), merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan, membakar hutan, dan lain-lain. Dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu: (1) perizinan, apabila kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izin yang telah kadaluarsa, (2) praktek, apabila dalam praktek tidak menerapkan logging yang sesuai peraturan, (3)lokasi, apabila dilakukan pada lokasi diluar izin, menebang di kawasankonservasi/lindung, atau asal-usul lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu, apabila kayunya sembarangan jenis (dilindungi), tidak ada batas dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu, (6) pelaku, apabila orang- perorang atau badan usaha tidak memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukum dibidang kehutanan, dan (7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu diseludupkan.

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

  Perusakan Hutan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

  Pemberantasan Perusakan Hutan yang terdiri dari 12 Bab dan 114 Pasal ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas dua orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tetapi tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional.

  Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat yang telah hidup secara turun-temurun di dalam wilayah hutan tersebut dan telah melakukan kegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi yang telah ditetapkan oleh kelompoknya.

  Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam

   lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya.

  Pembangunan hutan berkelanjutan memerlukan upaya yang sungguh- sungguh karena masih terjadi berbagai tindak kejahatan kehutanan, seperti pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin. Kejahatan itu telah menimbulkan kerugian negara dan kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar serta telah meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional.

  Akhir-akhir ini perusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses

  

  penetapannya oleh Pemerintah. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan harus dilakukan secara luar biasa. Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum,

   dan/atau korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan hutan.

  Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu

  

  secara tidak sah yang terorganisasi. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk

  

  kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannyIzin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu adalah izin usaha yang diberikan oleh Menteri 41 42 Ibid, Pasal 1 angka 3 Ibid, Pasal 7 untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan

   pemasaran.

3. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

  Lingkungan Hidup (UU PPLH) Melalui pengawasan yang konsisten dan teratur maka berbagai bentuk pelanggaran izin dan peraturan perundang-undangan yang berpotensi mencemari dan merusak lingkungan dapat dicegah sedini mungkin. Dengan demikian pengawasan merupakan "jantung" dari penegakan hukum administratif. Perangkat pengelolaan lingkungan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan izin (terutama izin lingkungan atau izin yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup) dapat dijadikan tolok ukur pelaksanaan pemantauan atau pengawasan penaatan dalam kemasan penegakan hukum administrasi. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa pengawasan (yang dilakukan oleh birokrasi/pemerintah/Pemda) merupakan jantung dari penegakan hukum administrasi. Sedangkan perizinan, baku mutu limbah/emisi atau baku mutu lingkungan dan kewajiban yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan merupakan perangkat administrasi yang digunakan sebagai tolok ukur pelaksanaan pengawasan pemerintah. Undang-Undang

  Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur Jenis-Jenis Sanksi Administratif dan Kewenangan Pejabat Pengawas (baik pengawas di tingkat pusat maupun daerah). Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan 4 (empat) jenis sanksi administratif yaitu: (a) teguran tertulis; (b) paksaan pemerintah; (c) pembekuan izin lingkungan; atau (d) pencabutan izin lingkungan. Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga dijelaskan bentuk-bentuk paksaan pemerintah antara lain penghentian sementara kegiatan produksi dan penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi.

   4.

  Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Versifikasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Atau pada Hutan Tanaman

  Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada hutan alam adalah izin untuk memanfaatkan hutan produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan hutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengelolaan dan pemasaran hasil hutan kayu.

   Sedangkan Izin usaha

  pemanfaatan hasil hutan kayu (IUHHK) pada hutan tanaman adalah lahan, perbenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, pengelolaan dan pemasaran hasil hutan kayu.

  

  Hidup , Pasal 25 47 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 tentang Pedoman Versifikasi , Pasal 1

  Maksud verifikasi Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUHHK) pada hutan alam dan atau hutan tanaman adalah dalam rangka memberikan kepastian hukum atas Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUHHK) yang diterbitkan oleh Gubernur

46 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

  atau Bupati/Walikota dengan tujuan agar pemanfaatan hutan dilaksanakan sesuai

   ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  6. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan

  Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan hutan dalam upaya menjaga kelestarian hutan, yang dilakukan antara lain, dengan menata hutan dan menyusun rencana pengelolaan hutan, serta memanfaatkan hutan dalam rangka menjaga kelestarian hutan.

  Satu atau lebih fungsí pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan. Dalam hal satu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), dapat terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, penetapan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Ketentuan mengenai tata cara penetapan

50 Kesatuan Pengelolaan Hutan.

  Berdasarkan ketentuan dari Peraturan Pemerintah bahwa hasil kegiatan disusun rencana pengelolaan hutan, yang dilakukan dengan mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan meliputi rencana pengelolaan hutan jangka panjang dan

   rencana pengelolaan hutan jangka pendek.

  Kemudian Pemegang izin, dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan aliran air dan pemanfaatan air pada hutan lindung, harus membayar biaya sesuai

   dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 49 50 Ibid, Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana , Pasal 6 Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, wajib: menyusun rencana kerja untuk seluruh areal kerja dan melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, 1 (satu) bulan sejak diberikan izin pemungutan hasil hutan, 1 (satu) tahun untuk Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam hutan alam, Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam maupun hutan tanaman; atau 6 (enam) bulan sejak diberikan izin penjualan

   tegakan hasil hutan dalam hutan hasil rehabilitasi.

  Apabila pada saat berakhirnya izin, pemegang izin tidak mengajukan

   permohonan perpanjangan, pemberi izin menerbitkan keputusan hapusnya izin.

  Izin yang diberikan oleh gubernur ditembuskan kepada Menteri, bupati/walikota, dan kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, dan izin yang diberikan oleh bupati/walikota ditembuskan kepada Menteri, gubernur, dan kepala Kesatuan

55 Pengelolaan Hutan.

  Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, selain melaksanakan kegiatan pemanfaatan hutan, wajib melaksanakan pengelolaan

   hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari.

  Memuat Pasal 129 Sanksi administratif berupa penghentian sementara pelayanan administrasi dikenakan pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu dalam hutan alam pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran, pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran pemegang Izin 53 54 Ibid, Pasal 71 ayat (1) Ibid, Pasal 81 ayat (3) Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam hutan tanaman pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran, pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dalam hutan tanaman pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran dan pemegang

   Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu yang melakukan pelanggaran.

  Pasal 128 ayat (1) bahwa Sanksi administratif berupa penghentian sementara pelayanan administrasi, penghentian sementara kegiatan di lapangan, denda danpengurangan jatah produksi; atau pencabutan izin. Ayat (2) Sanksi administratif dijatuhkan oleh pemberi izin sesuai dengan kewenangannya masing- masing, kecuali sanksi administratif berupa denda, dijatuhkan oleh Menteri. Ayat (3) bahwa Sanksi administratif berupa denda merupakan penerimaan negara

   bukan pajak (PNBP) yang disetorkan ke Kas Negara.

5. Peraturan Daerah No.21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan Di Propinsi

  Sumatera Utara Keberadaan hutan sangat penting dalam kehidupan dan pelestarian lingkungan sehingga perlu ditingkatkan pengelolaannya dalam rangka mewujudkan peran dan fungsinya secara optimal. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan berupa pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, secara optimal, berkeadilan untuk kesejahteraan

  

  masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan kawasan hutan

   dapat dilakukan pada hutan lindung dan hutan produksi.

  57 58 Ibid, Pasal 129 Ibid, Pasal 128 ayat (3)

  Jenis usaha dalam rangka pemanfaatan kawasan hutan adalah: a) budidaya jamur; b) budidaya tanaman obat (herbal); c) budidaya tanaman hias; d) budidaya tanaman pangan; e) budidaya perlebahan; f) budidaya persuteraan alam; g) budidaya hijauan pakan ternak; h) budidaya payau; i) budidaya penangkaran satwa dan tumbuhan; J) budidaya rotan dan k) budidaya lainnya yang tidak merusak ekosistem

  

  sumber daya alam hutan. Pemanfaatan jasa lingkungan dapat dilakukan pada hutan

  

  lindung dan hutan produksi. Jenis usaha dalam rangka pemanfaatan jasa lingkungan adalah a) usaha pemanfaatan air, b) usaha wisata alam/rekreasi, c) usaha olahraga tantangan, d) perdagangan karbon, usaha penyelamatan hutan dan

  

  lingkungan. Pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemanfaatan hasil hutan bukan

  

  kayu dapat diiakukan pada hutan produksi. Jenis usaha dalam rangka pemanfaatan hasil hutan kayu meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan,

  

  pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Jenis usaha dalam rangka pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, adalah a) pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu meliputi kegiatan penebangan, permudaan, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil, b) pemanfaatan getah, kulit kayu, daun, buah atau biji meliputi

   kegiatan pemanenan, pemelihataan pengolahan dan pemasaran hasil.

  Kegiatan pemanfaatan hasil hutan wajib melaksanakan hal-hal sebagai berikut: a) mengikuti aturan teknis yang berlaku, b) setiap produksi yang dihasilkan wajib dilaporkan kepada Gubernur melalui Dinas, c) setiap yang diproduksi dan atau yang akan diangkut wajib dilakukan pemeriksaan berupa pengukuran dan atau pengujian hasil hutan oleh petugas yang berwenang, d) terhadap setiap hasil hutan 61 62 Ibid, Pasal 17 ayat 2 63 Ibid, Pasal 18 ayat 1 64 Ibid, Pasal 18 ayat 2 Ibid, Pasal 19 ayat 1 yang diangkut, dimiliki, dan atau dikuasai wajib disertai dengan bukti legalitas hasil hutan berupa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) atau Surat Angkutan Tumbuhan dan Satwa.(SATS), e) khusus bagi Pengusaha Industri Pengolahan Hasil Hutan wajib mendaftarkan dan melaporkan kepada Gubernur melalui Dinas mengenai keberadaannya serta penerimaan hasil hutan sebagai bahan baku, hasil produksi, dan pemasaran serta hasil hutan yang diterima berasal dari sumber-sumber yang sah.

67 Tata cara pemanfaatan hasil hutan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

   1.

  Pada kawasan suaka alam dan pelestarian alam, pengelolaannya diarahkan untuk terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga lebih dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu lingkungan hidup. Dalam peraturan daerah Propinsi Sumatera Utara No.21 Tahun 2002 tentang

  Pengelolaan hutan di propinsi Sumatera Utara tiada ada diatur tentang pemanfaatan hutan konservasi. Padahal pada hutan konservasi dapat dimanfaatkan atau dilakukan pula kegiatan sebagai berikut: 2.

  Pada suaka alam dan pelestarian alam, pengelolaannya disesuaikan dengan fungsi kawasan, sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya, untuk pemanfaatan secara lestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, untuk pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

  3. Pada kawasan suaka alam dan pelestarian alam dapat dimanfaatkan untuk keperluan, a) penelitian dan pengembangan, b) ilmu pengetahuan, c) pendidikan, pelatihan, penerangan, penyuluhan dan, d) kegiatan penunjang budidaya dan budaya.

4. Pada kawasan pelestarian alam dapat pula dilakukan kegiatan wisata alam/rekreasi.

  Ketentuan-ketentuan tentang perizinan ini sangat menyangkut perihal kepentingan Hukum Administrasi Negara, khususnya dalam penegakan Hukum Administrasi Negara. Tentang isi dan ruang lingkup atau lapangan Hukum Adrninistrasi Negara secara tegas baru pada tahun 1926 diuraikan secara konkrit oleh Van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul : Omtrek van het administratifrecht.

Dokumen yang terkait

BAB II PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT A. Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan - Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

0 1 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Penahanan Debitur Pailit dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

0 0 20

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENAHANAN DEBITUR PAILIT DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum SKRIPSI

0 0 8

Pemberlakuan Bebas Visa Bagi Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (Oki) Menurut Tinjauan Hukum Internasional

0 0 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG VISA DALAM LINGKUP INTERNASIONAL - Pemberlakuan Bebas Visa Bagi Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (Oki) Menurut Tinjauan Hukum Internasional

0 0 20

NURUL PERTIWI 110200076 Departemen Hukum Internasional DiketahuiDisetujui oleh : Ketua Departemen Hukum Internasional

0 0 11

Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judicial Review Terhadap Piagam Asean Di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

1 2 13

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PENGESAHAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN INTERNASIONAL A. Perkembangan Hukum Internasional terhadap Pengaturan Perjanjian Internasional - Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judici

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judicial Review Terhadap Piagam Asean Di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

0 0 28

Pemberlakuan Perjanjian Internasional Di Indonesia Dikaitkan Dengan Judicial Review Terhadap Piagam Asean Di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

0 1 20