Analisis Pengelolaan Kawasan Pesisir Secara Terpadu di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara

  

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi

  Kabupaten Serdang Bedagai merupakan satu diantara beberapa kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis

  o o

  Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 3 01’2,5’’- 3 46’33” Lintang

  o o

  Utara, 98 44’22” – 99 19’01” Bujur Timur. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki 17 kecamatan yang terdiri dari wilayah dataran tinggi dan dataran rendah di antaranya 5 kecamatan merupakan kawasan pesisir yakni: Kecamatan Pantai Cer min, Kecamatan Perbaungan, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kecamatan Tanjung Beringin, dan Kecamatan Bandar Khalifah (http://serdangbedagaikab.go.id, 2006).

  Gambar 2. Peta Administratif Kabupaten Serdang Bedagai (http://serdangbedagaikab.go.id, 2006)

  Definisi Wilayah Pesisir Wilayah pesisir merupakan wilayah daratan yang berbatasan dengan laut.

  Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh pasang surut dan intrusi air laut.

  Sedangkan batas di laut adalah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan, seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Sedangkan menurut kesepakatan bersama dunia internasional, pantai diartikan sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, apabila ditinjau dari garis pantai maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu batas sejajar garis pantai (longshore), dan batas tegak lurus pantai (crossshore) (Supriharyono, 2000).

  Menurut UU No.. 27 tahun 2007, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

  Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan ekosistem yang memiliki hubungan sangat erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air permukaan (run off) maupun air tanah (ground water), dan dengan aktivitas manusia. Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas dan kerentanan di wilayah pesisir. Secara konseptual, hubungan tersebut dapat digambarkan dalam keterkaitan antara lingkungan darat (bumi), lingkungan laut, dan aktivitas manusia (Asti, 2009).

  Sumberdaya pesisir merupakan potensi penting dalam pembangunan masa depan, mengingat luas laut Indonesia adalah 62% dari luas wilayah nasional,

  2 belum termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 2,7 juta km (Sari, 2010). Menurut Syah (2010), wilayah pesisir dan lautan merupakan daerah yang mempunyai potensi sumberdaya alam yang besar dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pembangunan. Sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan secara garis besar terdiri dari tiga kelompok yaitu:

  1. Sumber daya dapat pulih (renewable resources) meliputi hutan bakau, terumbu karang, padang lamun, rumput laut, sumberdaya perikanan laut dan bahan-bahan bioaktif.

  3. Jasa-jasa lingkungan, meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi (seperti: Ocean Thermal Energy Conversion, energi dari gelombang laut dan energi pasang surut), sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.

  Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

  Pengelolaan wilayah peisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone

  Management /ICZM) merupakan sebuah wawasan baru dengan cakupan yang luas,

  sehingga dikatakan sebagai cabang ilmu baru. Proses pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dilakukan secara kontinu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan budaya serta aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan yang tersedia (Bohari, 2009).

  Menurut Dahuri, dkk (2010), pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosisitem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

  Dalam konteks ini keterpaduan (integration) mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.

  Pengelolaan wilayah pesisir adalah pengelolaan yang bersifat komprehensif, sehingga paling tidak menuntut tiga pendekatan: (1) perhatian yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai sumber daya alam yang unik; (2) optimalisasi pemanfaatan serbaneka dari ekosistem pesisir serta seluruh sumber daya alam didalamnya dengan mengintegrasikan segenap informasi ekologi, sosial-budaya dan ekonomi; dan (3) peningkatan pendekatan interdisipliner dan koordinasi antar sektor-sektor dan antar pemangku kepentingan (stakeholders) dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di wilayah pesisir yang kompleks. Melalui ketiga pendekatan diatas, diharapkan pengelolaan wilayah pesisir dapat memberikan hasil yang nyata sesuai dengan tujuan pengelolaan itu sendiri, antara lain: kualitas lingkungan hidup pesisir beserta sumberdaya alam di dalamnya; dan membaiknya kondisi sosial-budaya dan ekonomi masyarakat pesisir (Nezon, dkk., 2011).

  Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan sumberdaya pada umumnya, pada pengelolaan sumberdaya pesisir yang berbeda dengan pengelolaan sumberdaya yang lain adalah pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai, pendidikan dan kesehatan dimana contoh-contoh tersebut tidak melihat wilayah pesisir sebagai target paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial (Pramudiya, 2008).

  Hirarki Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir

  Menurut UU No. 1 Tahun 2014 pasal 7 ayat 1 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil , terdiri atas: a.

  Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RSWP-3-K; b.

  Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RZWP-3-K; c.

  Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan d.

Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RAPWP-3-K

  Menurut Tajerin (2009), Keterpaduan secara sektoral berarti perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggungjawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai tingkat pusat (vertical integration). Hirarki pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilihat pada Gambar 3.

  \ Gambar 3. Hirarki Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

  (Suparno, 2008) Menurut Tajerin (2009), selain pendekatan sektoral diperlukan juga pendekatan ekonomi politik untuk mengetahui gambaran pembangunan yang akan diterapkan disebuah kawasan. Hal ini dikarenakan masalah pembangunan pasti melibatkan pemerintah dan para pengusaha. Perbedaannya hanya terletak pada seberapa jauh dan dengan cara bagaimana. Untuk masalah tersebut, paling tidak terdapat dua aliran utama, yaitu yang ingin mempertahankan sejauh mungkin keterbatasan peranan pemerintah dan menyerahkan perkembangan pada masyarakat sendiri, dan yang lain menghendaki peranan cukup aktif dari pemerintah dalam melakukan intervensi yang efektif guna mengatur perekonomian demi kepentingan umum.

  Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir

  Daerah pesisir pantai mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian masyarakat dan pembangunan karena merupakan ruang yang menjembatani antara wilayah daratan dengan wilayah perairan (lautan). Interaksi antara sumberdaya daratan dengan sumberdaya kelautan dicerminkan oleh kegiatan-kegiatan sektor pertanian, sektor perikanan, sektor perdagangan, sektor pengangkutan, kelembagaan, kegiatan ekonomi-sosial lainya (Adisasmita, 2006).

  Kondisi sosial-ekonomi masyarakat pesisir saat ini masih didominasi oleh kegiatan penangkapan ikan, sedangkan kegiatan ekonomi lainnya, seperti ekowisata pesisir dan laut belum berkembang dengan baik. Selain itu, kegiatan penangkapan ikan masih dilakukan dalam skala kecil, dengan produksi yang belum memadai di satu sisi, dan biaya produksi atau operasional yang tinggi di sisi lain. Semua hal ini menyebabkan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di daerah pesisir (Tuwo, 2011).

  Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Sesungguhnya nelayan bukanlah entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dari segi pemilik alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya, nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan alat tangkap sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain (Subri, 2007) Sedangkan menurut UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan dan nelayan kecil adalah orang orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

  Rumah tangga nelayan memiliki ciri khusus seperti penggunaan wilayah pesisir dan laut (common property) sebagai faktor produksi, jam kerja harus mengikuti kondisi oseanografis (melaut hanya rata-rata sekitar 20 hari dalam satu bulan, sisanya relatif menganggur). Demikian juga pekerjaan menangkap ikan adalah pekerjaan yang penuh resiko, sehingga pekerjaan ini umumnya dikerjakan oleh lelaki. Hal ini mengandung arti bahwa keluarga yang lain tidak dapat membantu secara penuh, sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir pada umumnya sering diidentikkan dengan masyarakat miskin (Wasak, 2012).

  Menurut Stanis (2005), dilihat dari perspektif antropologis, masyarakat pesisir nelayan berbeda dari masyarakat lain, seperti masyarakat petani, perkotaan atau masyarakat di dataran tinggi. Perspektif antropologis ini didasarkan pada realitas sosial bahwa masyarakat nelayan memiliki pola-pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain sebagai hasil dari interaksi mereka dengan lingkungan berserta sumberdaya yang ada di dalamnya. Pola-pola kebudayaan itu menjadi kerangka berpikir atau referensi perilaku masyarakat nelayan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

  Permasalahan Pengelolaan Kawasan Pesisir Sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang dibarengi dengan eksploitasi

sumberdaya alam secara besar-besaran, ekosistem wilayah pesisir mengalami

degradasi yang terus memburuk. Meningkatnya jumlah dan aktivitas ekonomi

penduduk juga menghasilkan limbah, mulai dari limbah domestik yang sederhana

hingga limbah imdustri yang kompleks dan beracun. Kenyataan tersebut

menyebabkan hilangnya aset nasional berupa penurunan produktivitas dan

  

keanekaragaman hayati yang dimiliki. Dengan segala potensi dan manfaat yang

terkandung didalamnya pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilakukan dengan

memperhatikan asas keberlanjutan (Sari, 2010).

  Menurut Adisasmita (2006), adapun beberapa permasalahan yang penting dihadapi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan laut : a.

  Aspek Sosial Masih lemahnya kesadaran masyarakat terhadap ancaman kerusakan

  • lingkungan pesisir dan laut
  • berpartisipasi secara aktif dan diberdayakan dalam berbagai upaya pelestarian lingkungan serta dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan untuk pengelolaan sumberdaya kelautan.

  Masih rendahnya keterlibatan dan kemampuan masyarakat lokal untuk

  b.

  Aspek Ekonomi Belum dilaksanakannya secara optimal dan berkelanjutan kegiatan

  • pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan laut karena keterbatasan modal, sarana produksi, pengetahuan, dan keterampilan, serta faktor eksternal seperti keterbatasan pelayanan dan penyediaan fasilitas oleh pemerintah.
  • penyusunan dan perencanaan dan pengambilan keputusan oleh instansi- instansi pemerintah daerah yang berkaitan dengan perairan laut.

  Masih perlunya ditingkatkan secara lebih terpadu koordinasi dalam

  c.

  Aspek Ekologi Masih rendahnya pengertian dan kesadaran masyarakat untuk melindungi, menjaga keseimbangan dan memantapkan ekosistem pesisir dan laut, sehingga terjadi banyak pengerusakan hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun untuk kepentingan jangka pendek.

  Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Serdang Bedagai

  Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarki memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya (UU No.. 26 Tahun 2007).

  Adapun azas yang tertera dalam pasal 2 dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang adalah keterpaduan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan, pelindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan, dan akuntabilitas.

  Setiap daerah diwajibkan untuk membuat peraturan daerah yang mengatur tentang penataan ruang. Adapun rencana tata ruang Kabupaten Serdang Bedagai berdasarkan Perda No. 12 Tahun 2013 dapat dilihat pada peta pola ruang Kabupaten Serdang Bedagai tersaji pada Gambar 4. Gambar 4. Peta Tutupan Lahan (Peraturan Kabupaten Serdang Bedagai No 12 Tahun 2013)

  Berdasarkan peta diatas dapat dilihat pola ruang yang terdiri dari kawasan lindung (hutan lindung dan mangrove) dan kawasan budidaya (hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, perkebunan, pemukiman, pertanian lahan basah, dan pertanian lahan kering). pada keterangan lingkaran warna hitam dapat dilihat kawasan lindung mangrove dan pada keterangan lingkran silver dapat dilihat kawasan budidaya tambak.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kewajiban Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 2.1.1 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) - Analisis Pengaruh Kewajiban Kepemilikan NPWP, Kepatuhan Wajib Pajak, Pemeriksaan Pajak, dan Penagihan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak (

0 0 38

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengaruh Kewajiban Kepemilikan NPWP, Kepatuhan Wajib Pajak, Pemeriksaan Pajak, dan Penagihan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak (Studi Empiris Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Medan/Sumatera Utara

0 2 9

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH KEWAJIBAN KEPEMILIKAN NPWP, KEPATUHAN WAJIB PAJAK, PEMERIKSAAN PAJAK DAN PENAGIHAN PAJAK TERHADAP PENERIMAAN PAJAK (Studi Kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah MedanSumatera Utara I)

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Hidrograf Satuan Sintetik di DAS Wampu Kab. Langkat

0 4 22

KATA PENGANTAR - Analisis Hidrograf Satuan Sintetik di DAS Wampu Kab. Langkat

0 0 15

BAB II PROFIL KABUPATEN GAYO LUES 2.1 Kabupaten Gayo Lues - Demokrasi Di Tanoh Gayo Lues

0 1 16

Pemikiran Amien Rais Tentang Kekuasaan (Studi Analisis Konsep Kekuasaan Pada Pasca Reformasi)

0 1 18

BAB I Pendahuluan - Pemikiran Amien Rais Tentang Kekuasaan (Studi Analisis Konsep Kekuasaan Pada Pasca Reformasi)

0 0 28

Evaluasi Sifat Kimia Tanah Inceptisol Pada Kebun Inti Tanaman Gambir (Uncaria gambir Roxb.) Di Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat

0 0 22

Analisis Pengelolaan Kawasan Pesisir Secara Terpadu di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara

0 0 24